Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
Aspek Hukum Nilai Pembuktian Dalam Akta Notaris
Dzaky Alwan
Bisyir1*, Mohamad Fajri Mekka Putra2
1,2Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]1*, [email protected]2
Abstrak
Notaris adalah pejabat umum yang disumpah oleh Negara dalam perannya untuk memberikan jasa hukum kepada masyarakat. Salah satu kewenangan Notaris yang utama yaitu membuat akta notaris atau akta autentik yang merupakan bentuk dari alat bukti tertulis. Akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, dan dibuat di tempat akta dibuatkan serta bentuknya diatur secara tegas dalam undang-undang. Adapun permasalahan yang diangkat pada penelitian ini yaitu bagaimana nilai pembuktian akta notaris atas suatu perbuatan hukum oleh para pihak. Metode penelitian yang digunakan adalah bentuk penelitian hukum yuridis normatif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder didapat dengan cara melaksanakan pencarian literatur/studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Tanggung jawab notaris yaitu untuk menjamin kebenaran terdapatnya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak. Dalam praktik, Notaris seringkali dianggap sebagai pihak dalam akta, namun nyatanya dalam akta notaris berisikan suatu hal yang dikehendaki oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Notaris hanya berwenang menuliskan kehendak para pihak ke dalam akta notaris sehingga akta dimaksud hanya berisi suatu pernyataan atau perbuatan hukum asli dari kehendak para pihak yang ditulis menggunakan kalimat hukum. Apabila isi akta tersebut dipermasalahkan, maka masalah tersebut seharusnya merupakan masalah dari para pihak tersebut.
Kata kunci: Notaris; Akta Notaris; Autentik
Abstract
A notary is a public official who is sworn in by the State
in his role to provide legal services to the public. One of the main powers of
a Notary is to make a notarial deed or authentic deed which is a form of
written evidence. An authentic deed is a deed made by or before a Notary, and
made at the place where the deed is made and its form is strictly regulated by
law. The problem raised in this research is the evidentiary value of a notarial
deed regarding a legal action by the parties. The research method used is a
form of normative juridical legal research. The type of data used is secondary
data. Secondary data was obtained by carrying out a literature search/library
study consisting of primary legal materials, secondary legal materials and
tertiary legal materials. The responsibility of a notary is to guarantee the
truth of a legal act carried out by the parties. In practice, the Notary is
often considered a party to the deed, but in fact the notarial deed contains
something that is desired by the parties entering into an agreement. The notary
only has the authority to write the wishes of the parties into a notarial deed
so that the deed in question only contains a statement or original legal act of
the parties' wishes written using legal sentences. If the contents of the deed
are disputed, then the problem should be a matter for the parties.
Keywords: Notary
Public; Notarial Deed; Authentic
Pendahuluan
Notaris dalam pelaksanaan jabatannya memiliki fungsi yaitu memberikan jasa di bidang hukum perdata, terutama dalam hal terdapat suatu
perbuatan hukum antara para pihak yang dibuat dalam bentuk
akta. Notaris menerbitkan produk yaitu akta, dimana
akta tersebut diharapkan menjadi wujud kepastian serta perlindungan hukum bagi para pihak. Dalam Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut sebagai UUJN) ditegaskan bahwa Notaris merupakan
pejabat umum yang memiliki kewenangan utama untuk membuat
akta autentik maupun kewenangan lainnya, sebagaimana maksud dari undang-undang
ini ataupun undang-undang lainnya. Selanjutnya aturan mengenai kewenangan Notaris secara jelas diatur dalam
Pasal 15 UUJN, yakni Notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik
yang berisi segala perbuatan, perjanjian serta penetapan yang diharuskan peraturan perundang-undangan dan/atau yang diinginkan oleh yang berkepentingan
untuk disebutkan dalam akta autentik,
menjamin kepastian tanggal dibuatnya akta, menyimpan akta, memberikan salinan dan kutipan akta, grosse, selama
pembuatan aktanya tidak diberikan kepada pejabat lain ataupun orang lain yang ditentukan
oleh undang-undang. Selain itu, kewenangan lainnya yaitu: mengesahkan tanda tangan serta menetapkan
kepastian tanggal surat di bawah tangan dalam buku
khusus untuk didaftarkan; membukukan surat di bawah tangan dalam buku
khusus untuk didaftarkan; membuat copy asli surat di bawah
tangan dalam bentuk salinan yang berisi uraian sebagaimana
tertulis dan tergambarkan dalam surat tersebut;
melaksanakan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta; membuat akta
risalah lelang; serta kewenangan lain yang telah diatur pada undang-undang.
Akta merupakan kumpulan tulisan yang dituangkan
oleh para pihak yang disepakati
atas suatu perbuatan hukum dan akta dapat berfungsi
sebagai alat bukti, sekaligus sebagai dasar pertimbangan
hakim dalam memutus suatu perkara di Pengadilan. Akta notaris pada prinsipnya telah memenuhi aturan dalam Pasal
1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut sebagai KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum berwenang
untuk membuatnya, dalam hal ini
Notaris, dan dibuat di tempat akta dibuatkan
serta bentuknya diatur secara tegas
dalam undang-undang. Akta notaris memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna dan kuat. Akta notaris harus
dianggap berlaku mengikat dan sah terhadap para pihak sesuai dengan apa
yang telah dijabarkan dalam akta, sampai
terdapat putusan berkekuatan hukum tetap yang bersifat final, hal ini dikenal
sebagai asas praduga keabsahan (presumption iustae causa).
Akta notaris dibuat berdasar pada kehendak para pihak, dengan demikian isi aktanya berisi
suatu pernyataan atau perbuatan hukum asli dari
kehendak para pihak yang ditulis menggunakan kalimat hukum berbentuk
akta autentik. Tanggung jawab notaris yaitu menjamin
kebenaran terdapatnya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak, terhitung pada tanggal, jam, tempat dibuatnya akta. Sedangkan isi dari
suatu perbuatan hukum yang tertulis dalam akta menjadi
tanggung jawab para pihak. Sebagai wujud pelayanan hukum terhadap para pihak, notaris dapat memberikan pendapat serta solusi hukum atas
suatu perbuatan hukum dengan mempertimbangkan
kaidah hukum. Notaris harus mendengar keterangan para pihak tanpa tendensi terhadap salah satu pihak, yang kemudian keterangan itu disebutkan dalam akta notaris sebagai
hasil dari keterangan para pihak tersebut. Selanjutnya akta notaris harus
dibacakan langsung serta disepakati oleh para pihak, dan terakhir para pihak menandatangani akta notaris dihadapan
Notaris.
Akta Notaris dapat menjamin hak perdata dari
subjek hukum, pasca dilaksanakannya perjanjian secara autentik. Selama tidak ada upaya
pembatalan dari para pihak yang berhak, maka hak perdata
dari subjek hukum tersebut tidak bisa diganggu
gugat. Sebagai contoh yaitu hak dari
subjek hukum yang tercantum dalam Perjanjian Kredit yang dibuat dalam akta
notaris salah satunya yaitu menerima cicilan pembayaran setiap tanggal 25 dalam sebulan, dan apabila tidak dibayarkan
dalam kurun waktu tertentu, maka terdapat akibat
hukum tertentu. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam akta notaris tersebut,
maka hak perdata dari subjek
hukum harus dihargai sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu bagaimana nilai pembuktian akta notaris atas
suatu perbuatan hukum oleh para pihak.
Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu yuridis
normatif atau disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan. Metode tersebut dipakai sebagai langkah untuk mendapatkan kebenaran yang nyata dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, khususnya yang berhubungan dengan hukum kenotariatan. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder didapat dengan cara melaksanakan pencarian literatur/studi kepustakaan yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yakni peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini, antara
lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan tambahan atas bahan hukum
primer, dan membantu memahami,
menjelaskan, menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
menggunakan buku, artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, maupun sumber lainnya. Bahan hukum tersier merupakan
bahan hukum yang memberikan keterangan tentang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dipakai
untuk mendapatkan pemahaman perihal suatu istilah yang didapat dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil dan Pembahasan
Pembuktian dengan sistem hukum perdata
di Indonesia menggunakan sistem
alat bukti tulisan sebagai alat bukti
utama, sebab alat bukti tulisan berada di posisi teratas diantara alat bukti lainnya
sesuai ketentuan undang-undang. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata merincikan jenis alat bukti, yaitu
alat bukti tulisan, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, serta sumpah. Alat bukti tulisan salah satu bentuknya yaitu akta autentik. Hal ini secara jelas
disebutkan pada Pasal 1868 KUHPerdata bahwa akta autentik merupakan
akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum berwenang
untuk membuatnya dan dibuat di tempat akta dibuatkan serta bentuknya diatur secara tegas
dalam undang-undang. Pejabat umum yang berhak untuk membuat
akta tersebut yaitu Notaris. Akta autentik mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna dan kuat, dapat mengikat para pihak yang sesuai dengan isi akta,
sampai terdapat putusan bersifat final atas bantahan maupun
sanggahan dari pihak yang mempermasalahkan akta tersebut. Namun, bantahan dan sanggahan yang dilakukannya itu tidak menurunkan
sifat autentik akta notaris. Hal ini disebabkan akta notaris merupakan
akta autentik yang secara jelas dan terang dibuat oleh pejabat umum berwenang
dan isinya telah disepakati oleh para pihak yang mengikat keduanya, serta akta notaris
dapat dijadikan sebagai peraturan bagi para pihak yang mengikatkan dirinya.
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata dijelaskan pula bahwa pembuktian dengan alat bukti
tulisan dilaksanakan dengan
tulisan yang bersifat autentik
atau dengan tulisan di bawah tangan, dari
bukti-bukti tersebut terdapat hal-hal penting untuk dilaksanakan
pembuktian, yakni pembuktian mengenai akta yang dibuat. Akta merupakan kumpulan tulisan yang nyata dibuat sebagai bukti mengenai suatu perbuatan hukum yang ditandangani oleh para
pihak yang mengikatkan dirinya. Oleh karena itu, unsur utama
dalam akta yaitu terdapat tindakan untuk membuat bukti tertulis
dan adanya penandatanganan akta tersebut.
Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN dijelaskan bahwa Notaris berwenang
membuat akta notaris yang dibuat berdasarkan kehendak para pihak yang berkepentingan. sehingga akta notaris
dapat disebut sebagai akta para pihak. Notaris hanya berwenang untuk membuatkan akta yang berisikan ketentuan-ketentuan yang mengikat
para pihak untuk diperjanjikan bersama atas suatu perbuatan
hukum. Notaris bukan merupakan
pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya. Akta notaris menjamin kepastian mengenai materi-materi yang disebutkan dalam akta. Oleh sebab itu, Notaris
memiliki peran memberikan kepastian hukum bagi para pihak, serta memiliki
sifat preventif yang merupakan upaya pencegahan dari permasalahan hukum dengan membuat akta notaris yang dibuat dihadapannya mengenai suatu perbuatan hukum sebagai wujud alat
bukti tulisan yang sempurna.
Kewenangan yang melekat pada Notaris pada hakikatnya merupakan kewenangan yang bersifat umum. Hal ini dimaksudkan bahwa kewenangan itu menyangkut tentang pembuatan jenis-jenis akta, terkecuali akta yang tidak dibuat oleh Notaris. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta-akta
tertentu sesuai amanah dalam UUJN. Agar dalam pembuatan akta menghindari kalimat-kalimat yang multitafsir atau menjadi permasalahan arti, maka diperlukan upaya itikad baik
dalam membuat akta oleh para pihak. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1343 KUHPerdata bahwa apabila semua kata dalam suatu perjanjian
dapat diberikan berbagai tafsiran, maka harus diselidiki
maksud dari para pihak yang membuat perjanjian tersebut, dibandingkan memegang teguh arti kata berdasarkan huruf.
Sejauh apapun penafsiran maupun alasan-alasan yang berujung pada pembatalan atas isi akta, maka
para pihak harus tetap berpegang teguh pada apa yang telah disebutkan dalam akta, tidak
berdasar pada alasan-alasan
di luar dari apa yang telah disebutkan dalam akta. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 1349 dan Pasal 1350 KUHPerdata, bahwa apabila terdapat
keraguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan berdasarkan pada kerugian pihak yang meminta diadakannya perjanjian serta keuntungan pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
tersebut, dan apabila pengertian kalimat yang digunakan untuk penyusunan suatu perjanjian sangat luas, maka perjanjian tersebut hanya terbatas hal-hal yang nyata dimaksudkan para pihak pada saat membuat perjanjian. Oleh karena itu, makna
tentang autentik pada akta yaitu pengertian
pada saat perjanjian dibuat, bukan pada saat perjanjian telah dibuat di hadapan Notaris.
Apabila terdapat dua pengertian yang berbeda pada isi akta, maka pengertian
yang digunakan yaitu pengertian menurut kebiasaan dimana perjanjian dibuat yang diartikan sebagai kebiasaan di tempat akta notaris dibuatlah
sebagai acuan, bukan mengacu dimana
para pihak berada. Hal ini diatur dalam
Pasal 1344 dan Pasal 1346 KUHPerdata, bahwa apabila suatu janji
diberi dua arti, maka janji tersebut
harus dipahami berdasarkan janji yang dimungkinkan untuk dilaksanakan, bukan berdasarkan janji yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, perkataan yang memiliki dua arti tersebut harus dijelaskan berdasarkan kebiasaan di tempat perjanjian tersebut dibuat. Selanjutnya ditegaskan pula pada Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak dibatasi untuk mengikat perihal yang dengan jelas dinyatakan didalamnya, namun juga untuk semua hal
tentang sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Akta notaris mengikat
baik secara materiil dan formil untuk para pihak yang kemudian ditaati sebagai peraturan atas suatu perbuatan
hukum yang diatur didalamnya.
Pasal 38 ayat (3) huruf c UUJN menyebutkan bahwa isi akta
yaitu berisi kehendak atau komitmen
para pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa isi akta merupakan
kehendak para pihak yang datang berhadapan dengan Notaris yang secara jelas menyatakan
keinginan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian, dimana notaris hanya mengakomodir
keinginan para pihak ke dalam akta
notaris, apabila isi aktanya dipermasalahkan,
maka masalah tersebut adalah masalahnya para pihak, bukan masalah Notaris.
Dengan demikian, Notaris tidak perlu
digugat oleh penegak hukum atas alasan
apapun.
Terdapat kesalahpahaman oleh
para pihak maupun masyarakat mengenai akta notaris yang menilai bahwa akta
notaris dibuat atas kehendak Notaris
sendiri. Dalam undang-undang telah jelas pada Pasal 38 ayat (2) huruf d dan Pasal 44 ayat (1) UUJN bahwa Notaris wajib
menuliskan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris pada awal akta dan pada akhir akta wajib
mencantumkan tanda tangan para pihak, saksi-saksi dan Notaris sendiri. Hal tersebut merupakan bentuk amanah UUJN atas bentuk akta notaris
yang membedakannya dengan akta di bawah tangan.
Letak perbedaannya yaitu pada penggunaan tanda tangan Notaris
pada akta notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
atas suatu perbuatan hukum oleh para pihak, berikut adanya saksi-saksi pada akta notaris.
Secara nyata dalam UUJN melarang notaris menyebutkan kepentingan dirinya sendiri serta kepentingan
keluarga pada akta notaris yang dibuat dihadapannya, hal ini tercantum dalam
Pasal 52 ayat (1) UUJN yang
menjelaskan bahwa Notaris tidak berkenan
untuk membuat akta demi kepentingan pribadi, istri/suami ataupun orang lain yang memiliki hubungan keluarga dengan Notaris baik dari
perkawinan maupun dari garis keturunan lurus ke atas/ke bawah tanpa
batas derajat, dan dari garis ke samping
sampai derajat ketiga, serta menjadi
pihak untuk pribadi, maupun dalam suatu kedudukan
atau dengan perantara kuasa. Segala yang ditulis oleh Notaris pada akta yang dibuat dihadapannya adalah bentuk akta
berdasarkan ketentuan UUJN serta isi akta
merupakan keinginan para pihak, bahkan Notaris
dilarang untuk mencantumkan mengenai keterangan-keterangan untuk pribadinya dan keluarganya atas akta tersebut.
Unsur esensialia dalam akta notaris
dapat dibagi menjadi unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur objektif mencakup bentuk aktanya sesuai dengan ketentuan UUJN, pembuatan akta di tempat Notaris berkedudukan, sistematika akta yang mencakup awal, badan, dan akhir akta, isi akta
yang merupakan kehendak
para pihak, unsur itikad baik dari
para pihak, akta yang tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan undang-undang, asas kepatutan, serta asas kesusilaan,
dan kesesuaian dengan mekanisme akta autentik yang diatur dalam undang-undang. Unsur subjektif melibatkan pejabat umum yang berwenang membuat akta, para pihak yang memenuhi syarat sebagai penghadap, dua orang saksi instrumenter yang memenuhi syarat, dan adanya kesepakatan para pihak yang ditunjukkan dengan pernyataan kehendak untuk dibuatkan akta oleh Notaris dihadapannya. Unsur naturalia dalam akta notaris
mencakup jaminan keautentikan akta oleh Notaris dan jaminan kebenaran atas kehendak yang dinyatakan dalam akta oleh para pihak. Unsur accidentalia
adalah hal-hal yang diatur secara khusus
dan disetujui oleh para pihak,
termasuk isi akta yang memuat pasal demi pasal berdasarkan kehendak para pihak dalam suatu
perbuatan hukum.
Dalam akta notaris sebagai bentuk kesepakatan para pihak, maka para pihak menandatangani akta tersebut. Hal tersebut merupakan unsur penting dalam
pembuatan akta notaris. Syarat mengenai penandatanganan akta terdapat dalam
Pasal 1874 KUHPerdata yang menyebutkan ketentuan mengenai tulisan yang dibuat oleh
orang Indonesia ataupun yang disetarakan
dengannya. Tulisan dibagi menjadi 2 (dua) golongan, antara lain akta serta tulisan-tulisan lainnya. Dengan menandatangani akta notaris, para pihak dianggap tahu atas
fakta-fakta yang telah tercantum dalam akta tersebut.
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib menjaga kerahasiaan
atas akta notaris yang dibuat dihadapannya berdasarkan amanah undang-undang. Ketentuan mengenai kerahasiaan jabatan tersebut dapat ditemui pada Pasal 1909 KUHPerdata, yaitu bahwa semua orang cakap untuk menjadi
saksi harus memberikan kesaksian di Pengadilan. Namun hal tersebut dapat
meminta untuk dihindarkan dari keharusan memberikan kesaksian :
Orang-orang yang memiliki
hubungan kekeluargaan sedarah dalam garis ke samping derajat
kedua/keluarga semenda salah satu pihak. Orang-orang yang memiliki hubungan darah dalam garis lurus tidak terbatas serta dalam garis ke samping dalam
derajat kedua dengan suami/istri
salah satu pihak.
Orang-orang yang karena jabatannya,
pekerjaannya atau kedudukannya yang diwajibkan oleh
undang-undang untuk merahasiakan suatu hal yang diamanahkan kepadanya dengan sebab jabatan, pekerjaan serta kedudukannya tersebut.
Notaris memiliki rahasia jabatan yang dilarang untuk disampaikan olehnya perihal isi akta
dan seluruh keterangan yang
diterima atas pembuatan akta notaris. Namun hal tersebut dikecualikan
terhadap para pihak maupun ahli waris.
Jika suatu jabatan memiliki rahasia jabatan atau wajib
merahasiakan sesuatu hal atas amanah
undang-undang, maka seandainya suatu rahasia dibuka tanpa syarat-syarat yang memperbolehkannya, hal tersebut melanggar undang-undang. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perihal larangan membuka rahasia jabatan, yaitu :
Barangsiapa secara sengaja membuka rahasia, berdasarkan pekerjaan atau jabatannya, baik sekarang ataupun dahulu, ia wajib
menyimpannya, apabila melanggar dikenai hukuman penjara maksimal 9 (sembilan) bulan atau denda
maksimal Rp 9.000,-. Apabila kejahatan tersebut dilaksanakan terhadap orang yang ditentukan, maka perbuatan tersebut hanya dituntut atas pelaporang
orang tersebut.
Ketentuan mengenai rahasia jabatan Notaris secara nyata ditegaskan pada Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris dalam
menjalankan jabatan wajib merahasiakan atas isi akta
yang dibuat dihadapannya serta seluruh keterangan
yang didapat untuk membuat akta sesuai
dengan janji/sumpah jabatan, hal ini dikecualikan
jika undang-undang menentukan lain. Rahasia jabatan Notaris diperlukan demi menjaga kepentingan para pihak, baik identitas
dan isi yang diperjanjikan,
tetapi dapat dikecualikan terhadap orang yang ditentukan oleh undang-undang.
Untuk menjaga kerahasiaan jabatan, Notaris dibekali suatu hak yaitu
hak ingkar (verschoningrecht). Hak ingkar ini merupakan
wujud perlindungan dalam menjalankan jabatan Notaris. Karena Notaris seringkali digugat dalam pengadilan,
baik pidana, perdata, atau tata usaha negara. Dalam situasi tersebut, Notaris dianggap sebagai pihak, tergugat, terdakwa, bahkan tersangka atau anggapan lainnya.
Agar Notaris dapat menjalankan jabatannya dengan baik sesuai
amanah undang-undang, Notaris dapat menggunakan
hak ingkar tersebut. Hak ingkar
digunakan ketika Notaris telah yakin
menjalankan jabatannya dengan tepat atas
akta yang dibuat dihadapannya.
Ketentuan hukum mengenai hak ingkar
Notaris secara jelas diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN bahwa Notaris wajib memberikan
pelayanan yang sesuai dengan aturan pada undang-undang ini, kecuali terdapat suatu alasan untuk
menolaknya dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yang mewajibkan Notaris untuk merahasiakan isi akta maupun
seluruh keterangan para pihak sesuai janji/sumpah jabatan. Ketentuan tersebut membuat Notaris memiliki hak ingkar
sesuai amanah UUJN untuk tercapainya kerahasiaan isi akta yang dibuat dihadapannya, dengan sebab telah terikat
dengan sumpah jabatan Notaris. Apabila hak ingkar
tersebut dilanggar, konsekuensinya yaitu dapat dikenai pelanggaran
atas Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan Notaris, Pasal 54 UUJN mengenai kewenangan Notaris hanya dapat memberikan
keterangan atas akta yang dibuat dihadapannya terhadap para pihak, ahli waris
serta pihak-pihak yang berhak mendapatkannya, serta Pasal 66 UUJN mengenai amanah UUJN untuk mengambil data minuta, memeriksa, dan memanggil Notaris harus memerlukan izin dari Majelis
Kehormatan Notaris. Akibat dari pelanggaran
tersebut, Notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena melaksanakan pelanggaran atas kewajiban, larangan jabatan, dan kode etik Notaris.
Hal tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN.
Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, Notaris dengan jabatan yang dijalaninya dapat meminta kemudahan
untuk tidak memaparkan keterangan ataupun kesaksian sebab telah jelas
suatu perbuatan hukum yang dipermasalahkan telah tertulis dalam akta. Jika seluruh pihak telah
mengerti prinsip jabatan Notaris, khususnya mengenai hak ingkar, maka
seluruh pihak dapat saling menghargai
karena Notaris dalam menjalankan jabatannya juga bersandar pada ketentuan Undang-Undang, yaitu UUJN.
Pada praktiknya, Notaris seringkali mendapatkan tindakan yang tidak wajar dalam
kaitannya dengan hak ingkar. Jika Notaris dipanggil oleh penegak hukum untuk
dimintai keterangan atau menjadi saksi
atas suatu akta yang dibuat dihadapannya. Para pihak yang menggugat isi akta
tersebut menganggap Notaris tidak mempunyai
rahasia jabatan, terlebih pula hak ingkar Notaris. Selain itu, dari
kalangan Notaris juga tidak memahami makna dari hak
ingkar tersebut, bahkan baru tahu
setelah menggunakan hak ingkar dalam
persidangan.
Notaris jika menggunakan hak ingkar dalam persidangan
memiliki akibat hukum, yaitu Notaris
harus terbebas dari keharusan memberikan kesaksian atau menjadi saksi
di pengadilan. Sebab secara hukum, mengenai
kesaksian yang akan disampaikan berdasarkan keilmuannya dinilai bertentangan dengan rahasia jabatan atau melanggar sumpah jabatan Notaris. Serta Notaris dapat terbebas dari seluruh tuntutan
hukum dari pihak yang berkepentingan, jika hak ingkar
Notaris ditolak oleh hakim ataupun ia diharuskan
memberikan keterangan di persidangan berdasarkan ketentuan hukum.
Apabila di kemudian hari terdapat suatu
hal yang harus dirahasiakan sebab jabatan kemudian dibuka atau terdapat
paksaan untuk membuka suatu hal
yang harus dirahasiakan, dapat berlaku ketentuan
Pasal 322 KUHP yang mengatur
tentang tindakan membuka rahasia jabatan.
Kesimpulan
Akta Notaris merupakan bentuk alat bukti tulisan yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum berwenang untuk membuatnya dan dibuat di tempat akta dibuatkan serta bentuknya diatur secara tegas
dalam undang-undang, hal tersebut diatur
dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Pejabat umum yang berwenang yaitu Notaris. Kewenangan ini diberikan berdasarkan amanah UUJN, terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan bahwa Notaris berwenang
membuat akta notaris yang dibuat berdasarkan kehendak para pihak yang berkepentingan. Notaris hanya berwenang
untuk membuatkan akta yang berisikan ketentuan-ketentuan yang mengikat
para pihak untuk diperjanjikan bersama atas suatu perbuatan
hukum. Maka, akta notaris merupakan
akta para pihak. Notaris bukan merupakan
pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya. Pasal 38 ayat (3) huruf c UUJN menyebutkan bahwa isi akta yaitu
berisi kehendak atau komitmen para pihak yang berkepentingan. Artinya, Notaris hanya mengakomodir keinginan para pihak untuk dinyatakan dalam akta notaris.
Jika dipermasalahkan, maka masalah itu merupakan
masalah para pihak. Oleh karena itu Notaris
tidak perlu digugat oleh penegak hukum atas alasan
apapun. Isi akta notaris juga dilarang memuat kepentingan Notaris sendiri maupun keluarganya. Hal ini diatur dalam
Pasal 52 ayat (1) UUJN. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib menjaga kerahasiaan
atas akta notaris yang dibuat dihadapannya berdasarkan amanah undang-undang. Ketentuan mengenai rahasia jabatan Notaris secara nyata ditegaskan pada Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris dalam
menjalankan jabatan wajib merahasiakan atas isi akta
yang dibuat dihadapannya serta seluruh keterangan
yang didapat untuk membuat akta sesuai
dengan janji/sumpah jabatan, hal ini dikecualikan
jika undang-undang menentukan lain. Untuk menjaga kerahasiaan
jabatan, Notaris dibekali suatu hak yaitu hak
ingkar (verschoningrecht). Hak ingkar ini
merupakan wujud perlindungan dalam menjalankan jabatan Notaris. Ketentuan hukum mengenai hak ingkar Notaris
secara jelas diatur dalam Pasal
16 ayat (1) huruf e UUJN
dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Jika Notaris melanggar hak ingkar,
maka dapat dikenai pelanggaran Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan Notaris, Pasal 54 UUJN mengenai kewenangan Notaris hanya dapat
memberikan keterangan atas akta yang dibuat dihadapannya terhadap para pihak, ahli waris serta
pihak-pihak yang berhak mendapatkannya, serta Pasal 66 UUJN mengenai amanah UUJN untuk mengambil data minuta, memeriksa, dan memanggil Notaris harus memerlukan
izin dari Majelis Kehormatan Notaris.
BIBLIOGRAFI
Adjie,
Habib. (2011) Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung:Refika Aditama.
Adjie,
Habib. (2011) Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris dan
PPAT. Bandung:Citra Aditya Bakti.
Amrizakar. (2020) Tabir Kesaksian
Akta Notaris. Depok:Khalifah Mediatama.
Arisaputra, Muhammad Ilham, (2012) Kewajiban
Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya
Dengan Hak Ingkar Notaris. Jurnal Perspektif. 12 (3), pp 173-183.
Boty, Rahmawati. (2017) Kekuatan Akta Notaris Dalam
Menjamin Hak Keperdataan, Jurnal Cendekia Hukum, 3 (1), pp 85-98.
I Ketut Tjukup Dkk, (2016) Akta Notaris (Akta
Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa
Hukum Perdata, Jurnal Acta Comitas, 2, pp 180-188.
Komang Ayuk Septianingsih Dkk. (2020) Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik
Dalam Pembuktian Perkara Perdata. Jurnal Analogi Hukum. 2(3), pp 336-340.
Mowoka, Valentine Phebe. (2014) Pelaksanaan
Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya.
Jurnal Lex et Societatis. 2
(4). pp 59-67.
Prabawa, Bagus Gede Ardiartha. (2017) Analisis Yuridis Tentang Hak Ingkar Notaris
Dalam Hal Pemeriksaan Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris. Jurnal Acta Comitas, 1, pp 98-110.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2019) Penelitian Hukum Normatif. Depok:Raja Grafindo.
Tumembouw, Deo Fandy. (2019) Tinjauan Yuridis Akta Otentik Sebagai
Alat Bukti Dalam Perkara Perdata. Jurnal Lex Privatum. 7 (6), pp 50-57.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Copyright holder: Dzaky Alwan Bisyir, Mohamad Fajri Mekka Putra (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |