Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 2, Februari 2024
IMPLIKASI HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KEJAHATAN PERANG YANG DILAKUKAN
OLEH TENTARA BAYARAN (STUDI KASUS LEGIUN GEORGIA)
Ferdinand Purnama, Ida Kurnia
Universitas
Tarumangara, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Tentara bayaran adalah individu yang berpartisipasi
dalam konflik bersenjata dengan tujuan mengejar keuntungan pribadi. Tentara
bayaran sering dipandang sebagai pejuang yang melanggar hukum yang tidak harus
mengikuti aturan perang yang sama dengan pasukan negara. Tentara bayaran tetap
tunduk pada hukum Humaniter Internasional seperti Konvensi Jenewa yang melarang
pihak-pihak melakukan kejahatan perang dan pelanggaran Hukum Humaniter
Internasional berat lainnya. Artikel ini berfokus pada implikasi hukum dari
kejahatan perang yang dilakukan oleh Legiun Georgia, sebuah kelompok Tentara
Bayaran yang secara aktif berpartisipasi dalam perang Rusia-Ukraina bersama
pasukan Ukraina di wilayah Donbad di Ukraina timur pada tahun 2022, tuduhan
dibuat terhadap Legiun karena terlibat dalam eksekusi tawanan perang Rusia
(POW) di Dmytrovka, Oblast Kiev pada Maret 2022. Penelitian ini didasarkan pada
metode penelitian hukum normatif yang pendekatannya berbasis bahan pustaka dan
data sekunder. Artikel ini dimulai dengan menyajikan ringkasan kedudukan hukum
tentara bayaran sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI), termasuk
larangan melakukan kejahatan perang kemudian artikel tersebut mengkaji kasus
Legiun Georgia dan bagaimana penuntutan kejahatan perang dilakukan. Artikel ini
menyimpulkan bahwa tindakan mengeksekusi tawanan perang oleh tentara bayaran
adalah pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Kasus ini juga
menjadi bukti pendukung perlunya kolaborasi global dalam penuntutan terhadap
tentara bayaran yang melakukan kejahatan perang.
Kata
kunci: Mercenaries, Perang di Ukraina, Hukum Humaniter Internasional,
Konvensi Jenewa
Abstract
Mercenaries are individuals who participate in a
armed conflict with the objective of pursuing personal gain. Mercenaries are
often viewed as a unlawful combatant who does not have
to follow the same rules of war as state forces. Mercenaries are nevertheless
subject to International Humanitarian law such as Geneva Convention which
prohibites parties from commiting war crimes and other grave International
Humanitarian Law infractions.This articles focuses on legal implications of war
crimes commited by Georgian Legion, a Mercenaries group that actively
participate in Russo-Ukrainian war
alongside Ukrainian forces within the Donbad region of eastern Ukraine
in 2022, allegations were made against the Legion for engaging in the execution
of Russian prisoners of war (POWs) in Dmytrovka, Kiev Oblast in March 2022. This studies based on normative legal research method which approach
based on library materials and secondary data. This articles
begins by presenting summary of the legal standing of mercenaries in accordance
with International Humanitarian Law (IHL), including the prohibiton on
commiting war crimes then the article examines the case of Georgian Legion and how
the prosecution of the war crimes were conducted. This
articles concludes that the act of executing prisoners of war by
mercenaries is a grave infringement of international humanitarian law. This
case is also serves as evidence supporting the needs
of global collaboration in the prosecution of mercenaries who commit war
crimes.
Keywords: Mercenaries,
War in Ukraine, International Humanitarian Law, Geneva Convention
Pendahuluan
Hukum Humanter Internasional menurut Mochtar
Kusumaatmadja adalah bagian dari hukum yang
mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum
perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melakukan perang itu sendiri (Kusumaatmadja,
1980). Tujuan utama dari
Hukum Humaniter Internasional adalah untuk memberikan perlindungan dan
pertolongan kepada mereka yang menderita/ menjadi korban perang, baik mereka
yang secara nyata/ aktif turut dalam permusuhan, maupun mereka yang tidak turut
serta dalam permusuhan (penduduk sipil) (Haryomataram,
2005). Hukum Humaniter
Internasional sendiri dibagi menjadi dua jenis yakni (Kusumaatmadja,
1979):
1. Jus ad
Belum atau hukum tentang perang yang mengatur dalam hal –
hal bagaimanakah suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata.
2. Jus in
Bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibedakan lagi
menjadi dua yaitu,
a. Ketentuan
– ketentuan hukum yang mengatur dalm hal – hal bagaimanakah suatu negara
dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata.
b. Ketentuan
– ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan orang – orang yang menjadi
korban peran baik sipil maupun milter. Bagian ini disebut pula peraturan –
peraturan atau ketentuan – ketentuan hukum Jenewa.
Menurut Hans-Peter Gasser,
“Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan di mana
aturan-aturan hukum humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk
menyebutkan pencipta dari hukum humaniter tersebut” (Gasser, 1994). Hukum Humaniter Internasional
Modern berasal dari praktek-praktek negara yang timbul pada abad ke-18.
Praktek- praktek tersebut menjadi hukum dan kebiasaan dalam berperang. Sebelum
dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional, hukum yang mengatur mengenai
peeprangan dikenal denan hukum perang. Hukum perang sendiri mulai dikenal
dengan pendirian organsiasi Palang Merah (Red Cross) dan penandatanganan
Konvensi Jenewa tahun 1864 (Haryomataram, 2005). Pada masa perang saudara
Amerika, Presiden Abraham Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran
Jerman, untuk menyusun aturan berperang yang hasilnya adalah Instructions for
Government of Armies of the Unites States atau disebut sebagai Lieber Code yang
dipublikasikan pada tahun 1863 (Effendi et al., 1995). Aturan yang dibuat oleh Lieber
ini memuat mengenai aturan secara rinci pada tata cara peperangan di darat,
perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap tawanan perang. Hukum
perang baru dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional semenjak adanya
Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang terdiri atas 4 konvensi dan 3 protokol
tambahan. Konvensi Jenewa 1949 sendiri
mengatur mengenai perlindungan bagi anggota militer yang terluka baik di darat
maupun laut, perlakuan terhadap tawanan perang, dan perlindungan bagi warga
sipil yang terdampak oleh perang.
Secara
eksplisit, pengertian tentara bayaran baru ada dalam Protokol Tambahan I 1977
Konvensi Jenewa (Tabah, 2022). Salah satu pihak yang terlibat
dalam perang adalah tentara bayaran (mercenaries) yang diatur dalam Pasal 47
Protokol tambahan 1 Konvensi Jenewa. Peraturan Internasional yang mengatur
secara detail mengenai tentara bayaran adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Tentang Pelarangan Perekrutan, Penggunaan, Pendanaa, dan Pelatihan
Tentara Bayaran Tahun 1989 yang merupakan perluasan terhadap Protokol Tambahan
1 Konvensi Jenewa 1977. Konvensi PBB ini telah diratifikasi oleh 39 negara
termasuk Ukraina yang merupakan subjek dalam penelitian ini. Dalam Perang
Rusia-Ukraina ysng dimulai sejak Februari 2022, kedua belah pihak menggunakan tentara
bayaran dalam peperangan. Meskipun Ukraina merupakan negara yang telah meratifikasi
Konvensi Tentara Bayaran, dengan dalih untuk bela diri Ukraina merekrut tentara
bayaran dari seluruh dunia dan untuk menghindari Konvensi tersebut maka para
tentara bayaran mendapatkan status sebagai sukarelawan (volunteer) atau
direkrut sebagai anggota dari angkatan bersenjata Ukraina sehingga berdasarkan
Pasal 1 Konvensi Tentara Bayaran, orang tersebut bukan merupakan seorang
tentara bayaran.
Kasus
yang diteliti dalam penelitian ini terjadi pada Maret 2022 dimana saat awal
konflik terjadi dimana pasukan Rusia yang berusaha bergerak ke arah ibukota
Ukraina, Kiev terlibat pertempuran dengan anggota Legiun Georgia yang membela
pihak Ukraina (Komala et al., 2023). Dalam video berdurasi 1 menit 53 detik yang
beredar di kanal Telegram Pro Rusia menunjukkan anggta Legiun Georgia yang
sedang melakukan eksekusi terhadap empat orang tentara Rusia yang tergeletak di
tanah dengan kondisi tangan terikat ke belakang dan luka bekas tembakan. Eksekusi
terhadap tawanan perang merupakan pelanggaran berat terhadap kejahatan perang
(war crimes), Legiun Georgia merupakan tentara bayaran sehingga berdasarkan
Pasal 47 Protokol Tambahn 1 Konvensi Jenewa merupakan kombatan tidak sah (unlawful
combatant) sehingga dapat dipersekusi berdasarkan hukum Internasional
karena telah mengeksekusi anggota tentara Rusia.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui; (1) bagaimana
legalitas dari tentara bayaran menurut Hukum Humaniter Internasional, (2) upaya-upaya apa yang dilakukan oleh Ukraina dalam mengatasinya ?
Metode Penelitian
Menurut Soerjono
Soekanto, definisi penelitian adalah “penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada analisis dan konstruksi yang dilakukan secara
sistematis, metodologis dan konsisten dan bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran sebagai salah satu manifestasi keinginan manusia untuk mengetahui apa
yang sedang dihadapinya” (Soekanto & Mamudji, 2014). Melalui tahapan – tahapan yang dilakukan dalam penelitian, penulis
berharap untuk dapat mengungkapkan kebenaran dari suatu kasus yang sedang
diteliti agar dapat menjadi rujukan atas kasus yang sama di masa depan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu
proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu yang sedang dihadapi . Metode
penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan cara menganalisis peraturan
perundang – undangan, doktrin hukum, asas – asas hukum, dan sumber buku-buku
hukum. Penelitian berbasis metode normatif ini bertujuan untuk memberikan
penjelasan mengenai norma hukum dan mengananlisis apakah norma hukum tersebut
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta memberikan solusi
dan rekomendasi untuk memperbaharui norma hukum tersebut.
Penelitian yang dilakukan bersifat penelitian deskriptif analitis, yaitu
dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berkaitan dengan
permasalahan (Soemitro, 1990).
Jenis data atau sumber hukum diperlukan untuk membantu memahami
fakta-fakta hukum dalam permasalahan yang timbul akibat kasus ini. Menurut
Peter Mahmud Marzuki, sumber hukum dibagi menjadi 2 jenis, antara lain :
a. Jenis
data / bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritas. Di mana
dalam hal ini bahan hukum primer adalah terdiri dari peraturan perundang-undangan
(Nurbani,
2018), catatan- catatan
resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang - undangan. Dalam
penelitian ini digunakan bahan hukum primer yaitu :
1) Konvensi Jenewa;
2) Konvensi
Internasional Menentang Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan, dan Pelatihan
Tentara Bayaran;
3) Konvensi Den Haag Tahun 1907;
4) Dokumen Montreux
Tentang Praktik Tata Kelola Mengenai Perusahaan Militer dan Keamanan Swasta di
Zona Perang;
5) Konvensi Uni Afrika tentang
Penghapusan Tentara Bayaran di Afrika Tahun 1977.
b. Jenis
data / bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berfungsi untuk memperkuat
bahan hukum primer dengan memberi penjelasan /analisa mengenai bahan hukum
primer secara mendalam. bahan hukum sekunder terdiri dari semua publikasi yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar komentar atas putusan pengadilan (Mahmud, 2017).
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam membuat penelitian ini adalah teknik studi
Pustaka terhadap sumber–sumber hukum terkait. Sumber pustaka hukum sendiri
berasal dari literatur– literatur dan dokumen–dokumen hukum. Dalam melakukan
studi Pustaka terhadap sumber–sumber / bahan hukum terkait dilakukan studi
melalui membaca buku – buku terkait dan melalui riset di internet.
Dalam
penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deduktif.
Teknik deduktif adalah cara analisis data dari kesimpulan umum yang diuraikan
dalam contoh – contoh konkrit untuk menjelaskan kesimpulan. Dalam teknik
analisis data deduktif terdapat 3 macam susunan, yaitu :
a)
Proporsi Umum (Premis mayor) yang
bersifat self evident,given dan
sumber – sumber formal.
b) Proporsi
Khusus (Premis Minor)
c)
Konklusi
Hasil dan Pembahasan
Bagaimana legalitas dari tentara bayaran
menurut Hukum Humaniter
Internasional?
Sumber hukum internasional yang mengatur
mengenai definisi serta hak dan kewajiban dari tentara bayran sendiri pertama
kali diatur dalam Konvensi Jenewa Tahun 1949 tepatnya pada Pasal 47 Protokol
Tambahan I yang menyatakan bahwa seorang tentara bayaran tidak akan mendapat
hak sebagai seorang kombatan atau tawanan perang. Hak yang dimiliki oleh
tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III yakni dalam Pasal 12 hingga
Pasal 20 yang memuat:
1.
Tidak
kehilangan statusnya sebagai anggota angkatan bersenjata meskipun telah
menyerah (Pasal 12);
2.
Tawanan
mendapatkan perlakuan manusiawi sehingga tidak boleh dibunuh, disiksa, atau
diperlakukan dengan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (Pasal
13);
3.
Tawanan
harus segara diberi tahu mengenai status sebagai tawanan perang dan hak-haknya
sesuai Konvensi Jenewa III (Pasal 14);
4.
Tawanan
Perang harus diizinkan untuk berkomunikasi dengan keluarga (Pasal 15);
5.
Tawanan
yang sakit atau terluka harus mendapatkan perawatan medis atau menerima bantuan
medis dari pihak ketiga (Pasal 16);
6.
Tawanan
perang harus mendapatkan jaminan atas kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian,
dan temapt tinggal (Pasal 17);
7.
Tawanan
perang harus tetap bersifat netral dan tidak boleh dipaksa unutk mengambil
bagian dalam perang atau memberikan informasi kepada pihak lawan (Pasal 18);
8.
Tawanan
perang yang terlibat dalam kejahatan perang harus diadili secara adil dan
diberi kesempatan untuk membela diri (Pasal 19);
9.
Tawanan
perang harus dibebaskan atau dipulangkan setelah konflik berakhir (Pasal 20).
Kriteria yang menentukan seseorang menjadi
tentara bayran sendiri terdapat dalam ayat 2 Pasal 47 Protokol tambahan I
Konvensi Jenewa, yakni:
a.
Direkrut
secara lokal atau diluar negara itu untuk bertempur di dalam suatu sengketa
bersemjata
b.
Yang
secara nyata ikut dalam permusuhan
c.
Mempunyai
motivasi untuk ikut serta dalam permusuhan terutama karena keinginan mendapat
keuntungan pribadi yang dijanjikan oleh atau atas nama Pihak dalam sengketa,
konpensasi material yang jauh melebihi yang dijanjikan kepada atau dibayarkan
kepada kombatan yang nama, pangkat atau fungsi dalam kekuatan bersenjata dari
pihak tersebut.
d.
Bukan
warga negara dari suatu pihak dalam sengketa ataupun bukan penduduk wilayah
yang dikuasau oleh suatu pihak dalam sengketa;
e.
Bukan
anggota angkatan perang suatu pihak dalam sengekta; dan
f.
Tidak
dikirim oleh suatu negara yang bukan pihak dalam sengketa untuk bertugas resmi
sebagai anggota dan angkatan perangnya.
Sementara itu, Hukum internasional bersifat regional pertama yang
mengatur mengenai pelarangan penggunaan tentara bayaran digagas oleh organisasi
Uni Afrika yakni Konvensi Uni Afrika tentang Penghapusan Tentara Bayaran di
Afrika Tahun 1977. Konvensi ini telah ditandatangani dan diratifikasi oleh 49
dari 53 negara yang tergabung dalam Uni Afrika. Ketentuan dalam Pasal 1
Konvensi yang mengatur mengenai kriteria orang yang dapat dikategorikan sebagai
tentara bayaran dalam Konvensi ini sama dengan kriteria tentara bayaran yang
ada dalam Pasal 47 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa namun tidak terbatas
pada seorang yang menjadi tentara bayaran saja melainkan juga melarang pihak
individu maupun organiasi atau negara yang membiayai, melindungi, melatih atau
mendukung tentara bayaran. Dalam Pasal 7 Konvensi menyatakan bahwa pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 1 dikenakan hukuman terberat berdasarkan
hukum nasional negara tersebut termasuk hukuman mati.
Hukum Internasional yang bersifat universal
yang mengatur mengenai pelarangan penggunaan tentara bayaran sendiri digagas
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989 dengan adanya Konvensi
Internasional Terhadap Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan dan Pelatihan Tentara
Bayaran yang telah diratifikasi oleh 37 negara anggota PBB. Dalam Pasal 9
Konvensi Tentara Bayaran menyatakan bahwa negara yang telah meratifikasi
Konvensi ini berhak untuk melakukan penuntutuan sesuai dengan hukum nasional
dan dalam Pasal 10 ayat (2) negara yang telah meratifikasi wajib untuk mengirim
notifikasi kepada Sekretaris Jendral PBB apabila telah menangkap seseorang yang
melanggar Pasal 1 Konvensi.
Dalam Poin 2 huruf C Pasal 47 Protokol Tambahan
I Konvensi Jenewa yang menyatakan salah satu definisi tentara bayaran yakni
keuntungan pribadi, dianggap telah usang karena definisi tersebut ditulis padal
1949 dan perkembangan jasa persewaan senjata sangat pesat di era modern (Daniati et
al., 2020). Salah satu alasan isi Pasal
tersebut dianggap usang adalah akibat dari pendirian perusahaan militer dan
keamanan swasta yakni Private Military Company (PMC) dan Private Security
Company (PSC). PMC sendiri merupakan perusahaan swasta yang bergerak di
bidang pelatihan anggota militer, pengiriman logistik militer, perancanaan
operasi militer hingga terlibat sebagai kombatan dalam konflik bersenjata itu
sendiri. Salah satu contoh dari PMC adalah perusahaan Blackwater di Amerika dan
Grup Wagner di Rusia. PSC adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa
keamanan obyek vital, aset kemnusiaan, perlindungan personil dan harta benda (Daniati et
al., 2020). Contoh dari PSC adalah
perusahaan G4S di Amerika dan ISS di Denmark. Kemunculan PMC sendiri diprakasai
oleh seorang veteran pasukan khusus SAS Inggris yakni David Striling yang membentuk
perusahaan WatchGuard International pada tahun 1965 (Baghai, 2023). WatchGuard International
menawarkan berbagai jasa yakni pelatihan anggota militer dan penasihat keamanan.
Keberadaan PMC ini tidak membuat isi Pasal 1 Protokol Tambahan I Konvensi
Jenewa tidak lagi relevan karena anggota PMC bukan merupakan individu melainkan
anggota dari sebuah perusahaan swasta yang terlibat dalam konflik.
Untuk mengatasi permasalahan mengenai kewajiban hukum internasional
dari PMC dan PSC, Pemerintah Swiss dan Palang Merah Internasional membuat suatu
perjanjian internasional yakni Dokumen Montreux yang mengatur mengenai praktik
tata kelola perusahaan militer dan keamanan swasta di zona perang pada
September 2008 dan telah diratifikasi oleh 59 negara. Dokumen Montreux mengatur
bahwa negara yang menggunakan jasa PMC dan PSC bertanggungjawab apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum internasional dan PMC serta PSC merupakan subyek
dari Hukum Humaniter Internasional serta Hak Asasi Manusia.
Bagaimana Tindak Lanjut Pihak Ukraina Atas
Kejadian Ini?
Setelah video eksekusi tawanan perang Rusia
yang dilakukan oleh anggota legiun Georgia tersebut beredar, dalam sebuah
video, pendiri sekaligus komandan dari Legiun Georgia, Mamuka Mamulashvili
membuat pernyataan yaitu bahwa sebagai komandan Legiun Georgia dia
memerintahkan anggota Legiun untuk tidak menerima pihak musuh yang menyerah (Nicastro,
2023). Pernyataan ini mengejutkan
banyak pihak karena apabila pihak musuh telah menyerah secara sukarela maka
statusnya berubah menjadi tawanan dan berdasarkan Pasal 13 Konvensi Jenewa III
menyataka bahwa tawanan perang harus mendapat perlakuan manusiawi dan tidak
boleh dibunuh. Menurut Pasal 85 Konvensi Jenewa III, Eksekusi tawanan perang
merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat dari kejahatan perang.
Ukraina merupakan negara yang telah
meratifikasi Konvensi Tentara Bayaran PBB namun Ukraina merekrut warga negara
asing untuk berpartisipasi dalam perang melawan Rusia (Komala et
al., 2023). Cara yang digunakan Ukraina
untuk menghindar dari Konvensi tentara bayaran adalah dengan memberikan
kewarganegaraan Ukraina kepada individu tersebut atau merekrut individu
tersebut menjadi anggota angkatan bersenjata Ukraina. Pemberian kewarganegaraan
ini telah diatur dalam hukum Nasional Ukraina yakni melalui Dekrit Presiden No.
248/2016 Tentang Regulasi mengenai dinas militer yang memperbolehkan warga
negara asing yang tidak memiliki kewarganegaraan namun memiliki izin tinggal
yang sah dapat mengajukan diri secara sukarela untuk bertugas dalam tentara
Ukraina dengan kontrak pertama selama 3 tahun.
Legiun Georgia sendiri dibentuk pada tahun
2014 yang merupakan unit militer bagian dari Angkatan Darat Ukraina yang
awalnya beranggotakan individu dari etnik Georgia yang memiliki kewarganegaraan
Ukraina maupun warga negara asing. Semenjak perang antara Ukraina dan Rusia
pecah pada Februari 2022, Komandan Legiun Georgia Mamuka Mamulashvili
menyatakan bahwa anggota Legiun Georgia berasal dari 33 negara (Ozawa, 2023). Berdasarkan investigasi yang
dilakukan oleh jurnalis media Georgia, POSTV mengungkap bahwa anggota Legiun
menerima sekitar 1500 hingga 2000 dollar Amerika setiap bulan, sekitar 3-4 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan dengan gaji Tentara Ukraina sendiri (Kontributor,
2023). Kedua hal ini telah masuk ke
dalam individu yang dapat dikategorikan sebagai tantara bayaran menurut Pasal 1
Konvensi Pelarangan Tentara Bayaran PBB.
Dalam wawancara CNN dengan Menteri Luar
Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba menyatakan bahwa pihaknya belum melihat kejadian
ini namun sudah mendengar dan berjanjia akan melakukan investigasi terhadap
kasus ini karena meskipun dalam keadaan perang, hal ini bukan menjadi adalasan
untuk melanggar hukum perang (Hodge, 2023). Namun semenjak wawancara ini,
tidak ada kelanjutan kasus ini dari pihak Ukraina dan pihak yang terlibat tidak
pernah mendapat konsekuensi hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; (1) tentara bayaran adalah seorang yang
direkrut didalam atau diluar negeri untuk mengikuti sebuah konflik bersenjata
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi dan bukan merupakan warga negara atau
anggota Angkatan bersenjata suatu negara. Individu yang dikategorikan sebagai
tentara bayaran tidak memiliki hak yang sama dengan hak tawanan perang dalam
Konvensi Jenewa namun tetap mendapat Hak Asasi Manusia, (2) Ukraina telah
melanggar Konvensi Internasional Terhadap Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan
dan Pelatihan Tentara Bayaran yang telah
diratifikasi pada 1991 karena melakukan perekrutan tentara bayaran dari luar
negeri dengan dalih sebagai sukarelawan yang bergabung ke dalam Angkatan
bersejata Ukraina, dan (3) eksekusi terhadap tawanan perang Rusia oleh anggota
Legiun Georgia merupakan kejahatan perang yang seharusnya di investigasi dan
diadili oleh pihak Ukraina namun tidak pernah ada tindak lanjut dari pihak
Ukraina.
BIBLIOGRAFI
Baghai, C. (2023). David Stirling and
the Genesis of Private Military Companies: The WatchGuard International Story.
https://christianbaghai.medium.com/david-stirling-and-the-genesis-of-private-military-companies-the-watchguard-international-story-2af7d8d62c19
Daniati, N. P.
E., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. (2020). Status Hukum Tentara
Bayaran Dalam Sengketa Bersenjata Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional. Jurnal
Komunitas Yustisia, 3(3), 283–294.
Effendi, M.,
Ridwan, M., & Subandi, M. (1995). Pengantar dan Dasar- dasar Hukum
Internasional. IKIP.
Gasser, H.-P.
(1994). International humanitarian law an introduction. International Review
of the Red Cross (1961-1997), 34(298), 88.
Haryomataram, G.
P. H. (2005). Pengantar Hukum Humaniter Internasional. Raja Grafindo
Persada.
Hodge, N.
(2023). Video Appears to Show Execustion of Russian Prisoner by Ukrainian
Forces. https://edition.cnn.com/2022/04/07/europe/ukraine-execution-russian-prisoner-intl/index.html
Komala, M.,
Setiawan, A., Zaman, A. N., & Tohari, A. (2023). Diplomasi Indonesia
Menghadapi Konflik Rusia dan Ukraina Tahun 2022. INDEPENDEN: Jurnal Politik
Indonesia Dan Global, 4(2), 97–112.
Kontributor.
(2023). Shocking Difference in Salary Generates Conflicts Between Ukrainian
Soldiers and Foreign Volunteers.
https://greekcitytimes.com/2023/02/26/shocking-difference-in-salary/
Kusumaatmadja,
M. (1979). Konvensi-Konvensi Palang Merah tahun 1949 Mengenai Perlindungan
Korban Perang. Penerbit Binacipta, Bandung.
Kusumaatmadja,
M. (1980). Hukum Humaniter Internasional Dalam Pelaksanaanya dan
Penerapannya di Indonesia. Bina Cipta.
Mahmud, M. P.
(2017). Penelitian Hukum edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nicastro, A.
(2023). So Ukrainian soldiers killed Russian prisoners.
https://www.corriere.it/esteri/22_aprile_08/cosi-militari-ucraini-hanno-ucciso-prigionieri-russi-1d12e8bc-b72b-11ec-857a-5568ac9f145b.shtml
Nurbani, E. S.
(2018). Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan Yang Bersamaan Konvensi
Jenewa 1949. Jatiswara, 33(3), 331–345.
Ozawa, H.
(2023). Japanese Men Among Over 30 Nationalities Joining Ukraine’s Fight.
https://www.nst.com.my/opinion/columnists/2023/06/924282/japanese-men-among-over-30-nationalities-joining-ukraines-fight
Soekanto, S.,
& Mamudji, S. (2014). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
cet. 16. Rajawali Pers, Jakarta.
Soemitro, R. H.
(1990). Metodologi penelitian hukum dan jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta,
167.
Tabah, A. W. A.
(2022). Pemberian Sanksi Terhadap Adanya Tentara Bayaran Atas Keterlibatan
Dalam Sengketa Bersenjata Ditinjau Dari Perspektif Hukum Humaniter
Internasional. Jurnal Pacta Sunt Servanda, 3(2), 1–10.
Copyright holder: Ferdinand Purnama, Ida Kurnia (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |