Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 3,
Maret
2024
PENERAPAN TEKNIK
KOMPENSATORI POSTURAL CHIN-TUCK PADA LATIHAN MENELAN TERHADAP PENINGKATAN
KEMAMPUAN MENELAN PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DENGAN GANGGUAN MENELAN
Ridzka Ayyanun
Zabitha
Poltekkes Kemekes Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini mengungkapkan bahwa 27% pasien stroke
mengalami gangguan menelan akut, yang dapat meningkatkan risiko pneumonia
akibat silent aspiration. Teknik chin-tuck dapat diterapkan sebagai intervensi
kompensatori untuk meningkatkan kemampuan menelan dan mencegah perburukan
kondisi klinis. Studi kasus dengan 3 pasien stroke non-hemoragik menunjukkan
bahwa intervensi chin-tuck berhasil meningkatkan kemampuan menelan dari <60
menjadi >70. Penelitian juga mengidentifikasi perbedaan fisiologi menelan
antara pasien stroke hemisfer kiri dan kanan, yang dapat menyebabkan disfagia.
Korelasi antara elevasi laring, gangguan kapsul eksternal, dan internal juga
ditemukan. Stroke diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk gangguan menelan,
serta manifestasi klinis berupa gangguan komunikasi dan kelumpuhan wajah.
Kesimpulannya, penelitian ini menyoroti pentingnya memahami hubungan antara
tingkat keparahan stroke dan fisiologi gangguan menelan, serta menekankan
perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor kontribusi pada
disfagia. Intervensi chin-tuck dapat diimplementasikan secara mandiri dengan
latihan dua kali sehari, memberikan dampak positif pada peningkatan kemampuan
menelan pada pasien stroke non-hemoragik dengan gangguan menelan.
Keywords: Kemampuan
menelan; Chin-tuck; Gangguan menelan; Stroke non hemoragik.
Abstract
This research reveals that 27% of stroke patients
experience acute swallowing disorders, increasing the risk of pneumonia due to
silent aspiration. The chin-tuck technique can be applied as a compensatory
intervention to enhance swallowing ability and prevent worsening clinical
conditions. A case study involving three non-hemorrhagic stroke patients shows
that chin-tuck intervention successfully improved swallowing ability from
<60 to >70. The research also identifies physiological differences in
swallowing between left and right hemisphere stroke patients, potentially
causing dysphagia. Correlations between laryngeal elevation and disruptions in
external and internal capsules were found. Stroke is recognized as a risk factor
for swallowing disorders, with clinical manifestations such as communication
impairment and facial paralysis. In conclusion, this study emphasizes the
importance of understanding the relationship between stroke severity and
swallowing physiology, highlighting the need for further research to comprehend
contributing factors to dysphagia. Chin-tuck intervention can be independently
implemented with twice-daily exercises, positively impacting the improvement of
swallowing ability in non-hemorrhagic stroke patients with swallowing
disorders.
Keywords: Swallowing
ability; Chin-tuck; Swallowing disorders; Non-hemorrhagic stroke.
Pendahuluan
Ditemukan sekitar
27 % pasien stroke fase akut mengalami disfagia atau masalah gangguan menelan
atau sekitar 40% bila dihitung termasuk pasien stroke yang mengalami penurunan
kesadaran, kondisi terminal, atau mengalami disfagia sebelumnya. Post stroke
disfagia dikaitkan dengan penurunan fungsi mulut, faring, dan esofagus,
menyebabkan masalah serius yang mengakibatkan obstruksi jalan napas, aspirasi,
pneumonia aspirasi, dehidrasi, malnutrisi, sepsis, dan kematian, mempengaruhi
kualitas hidup, dan dapat menyebabkan penundaan rehabilitasi dan peningkatan
pengeluaran biaya kesehatan (Savcı & Acaroğlu, 2021).
Laporan terjadinya
kasus pneumonia pada pasien dengan gangguan fungsi menelan setelah stroke
berkisar antara 7% sampai 33%, dengan perkiraan konservatif sebesar 18% (Pipit Feriani, 2019).
Pasien dengan gangguan fungsi menelan setelah stroke memiliki peningkatan
risiko 3 kali lipat untuk pneumonia aspirasi, dan risiko ini nyata meningkat
menjadi 11 kali lipat pada pasien dengan aspirasi yang dikonfirmasi pada
videofluoroskopi setelah stroke. Aspirasi tanpa batuk (silent aspiration)
semakin meningkatkan kejadian pneumonia hingga 54%. Hal ini menjadi
masalah mengingat silent aspiration
terjadi pada dua pertiga pasien dengan disfagia setelah stroke (Martino et al., 2012). Dalam penanganan disfagia, metode
langsung dan tidak langsung digunakan dalam program rehabilitasi disfagia.
Metode yang dilakukan pada studi kasus ini adalah metode tidak langsung yang
diterapkan oleh perawat yaitu pengaturan postural (dagu ke dada) atau chin-tuck.
Selaras dengan tujuan dari studi kasus ini yaitu Menjelaskan asuhan keperawatan
dengan pemberian intervensi Chin-Tuck pada pasien stroke dengan gangguan
menelan.
Case Presentation
Berdasarkan studi
pendahuluan di RSD K.R.M.T Wongsonegoro terhadap asuhan keperawatan, terkhusus
masalah gangguan proses menelan, seringkali menjadi masalah yang terabaikan dan
jarang menjadi perhatian saat proses pemberian asuhan keperawatan baik saat
pengkajian, intervensi maupun evaluasi. Penanganan perawatan yang tepat sejak
awal, khususnya intervensi keperawatan yang mampu mempengaruhi peningkatan
kemampuan dalam menelan akan mampu menghasilkan outcome yang baik terhadap
status menelan pasien dan terutama menghindari komplikasi akibat disfagia,
sehingga waktu rawat pasien di rumah sakit dapat berkurang serta perawatan dan
biaya rawat lebih efisien.
Desain studi
kasus yang digunakan
adalah metode deskriptif
dengan pemaparan kasus dan
menggunakan pendekatan proses
keperawatan dengan memfokuskan
pada salah satu masalah penting dalam kasus yang dipilih. Subjek studi kasus
adalah pasien stroke non hemoragik dengan gangguan menelan sebanyak tiga
pasien, yang akan dipilih sesuai dengang kriteria inklusi dan dengan melakukan
skrining awal kemampuan menelan dengan menggunakan instrumen Massey Bedside
Swallowing Screen (MBS). Studi kasus dilakukan di rawat inap ruangan sadewa 3
di RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang pada bulan 1-13 Juli 2023. Dengan kriteria inklusi bersedia menjadi
responden, pasien Stroke non hemoragik, kesadaran kompos mentis, kooperatif serta
tanda-tanda vital stabil, pasien stroke non hemoragik dengan mengalami disfagia
berdasarkan hasil skrining,gangguan menelan yang terjadi fase faringeal derajat
2 (pasien stroke non hemoragik yang mengalami disfagia), mampu mengikuti
perintah. Kriteria eksklusi meliputi gangguan menelan derajat III (fase
esophageal), disfagia yang disebabkan oleh lesi pada medula oblongata, adanya
nyeri pada cervical spine, adanya disfungsi pada pembukaan katup esophageal
atas, menderita demensia yang berat atau gangguan fungsi kognitif.
Dalam studi kasus
ini Menerapkan evidence based nursing practice chin-tuck pada pasien post
stroke dengan masalah gangguan fungsi menelan.
Penerapan chin-tuck dilakukan saat jam makan dengan frekuensi dua kali
sehari selama lima hari dengan skrining kemampuan menelan di awal, selanjutnya
menentukan derajat disfagia, lalu kemudian menentukan status fungsi menelan
melalui skoring instrumen Parramata Hospital Dysphagia Assessment yang telah dimodifikasi dari Royal Adelaide
Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS)
sebelum melakukan intervensi chin-tuck dan di hari akhir dalam penerapan
intervensi chin-tuck sebagai bahan
evaluasi efek dari chin-tuck terhadap kemampuan menelan.
Intervention or Clinical Examination
Berdasarkan pengkajian
yang dilakukan pada tiga klien kelolaan yaitu:
Klien satu, Klien
bekerja sebagai buruh harian yang tidak memiliki riwayat penyakit terdahulu,
klien tidak terbiasa memeriksakan kesehatannya, namun sering mengeluhkan
keadaan pusing dan sakit kepala. Klien mengalami serangan mendadak stroke,
klien tiba tiba tidak jatuh dan lemah pada anggota gerak kanan serta tiba tiba
merasakan kaku pada mulut dan bicara pelo. Pemeriksaan Ct scan tanpa kontras
menunjukkan hasil dengan kesan infark pada corona radiata kanan dan kiri, tidak
tampak perdarahan maupun tanda-tanda intrakranial dan sinusitis pada maksilaris
kiri dengan lesi hipodens pada corona radiata kanan kiri dan capsula externa
kanan kiri. Klien positif disfagia dengan derajat disfagia II yaitu fase
faringeal dibuktikan dengan tersedak saat mencoba untuk menelan sejumlah air 25
ml, elevasi laring yang tidak adekuat, menelan berulang ulang dan keterlambatan
dalam refleks menelan. Tes kemampuan menelan ditemukan hasil skor lima puluh
sembilan.
Klien dua, Klien
merupakan karyawan swasta yang memiliki riwayat merokok sejak 30 tahun tahun
yang lalu, menurut istri klien, klien tidak pernah mengeluhkan adanya gangguan
pada kesehatan. Klien mengalami serangan stroke secara tiba-tiba, pasien tiba
tiba jatuh dan tidak dapat berbicara hanya mematung dan tidak dapat berdiri.
Pasien tidak memiliki riwayat serangan stroke sebelumnya. Gambaran CT scan
tanpa kontras menggambarkan hasill dengan kesan infark di centrum semi-ovale
dan capsula externa kanan, infark baru di lobus frontoparietal kiri, dengan
lesi hipodens di centrum semi-ovale dari capsula externa kanan, lesi hipodens
batas tak tegas pada lobus frontoparietal kiri mulai tampak tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Klien positif disfagia dengan derajat
disfagia II yaitu fase faringeal dibuktikan dengan tersedak saat mencoba untuk
menelan sejumlah air 25 ml, Batuk saat menelan air sebanyak 25 ml, elevasi laring yang tidak adekuat, menelan
berulang uang dan keterlambatan dalam refleks menelan. Tes kemampuan menelan
ditemukan hasil skor ditemukan hasil skor enam puluh satu.
Klien tiga, Klien
bekerja sebagai petani selama 20 tahun lebih, serangan stroke yang dialami
pasien merupakan serangan stroke yang pertama dan sebelumnya mengalami riwayat
penyakit TBC 3 tahun yang lalu namun pasien telah menjalani pengobatan 6 bulan
dan dinyatakan telah sembuh dari TBC. Klien dulunya seorang perokok aktif saat
masih muda namun telah berhenti semenjak 20 tahun yang lalu. Gambaran CT scan
tanpa kontras menggambarkan hasill dengan kesan lacunar infark di ganglia
basalis dan capsula interna dextra sinistra, dengan lesi hipodens kecil di
ganglia basalis dan capsula interna kanan kiri tidak tampak tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, dan tak tampak fraktur ossa cranium.
Sedangkan gambaran rontgen klien menunjukkan kesan bronkopneumonia. Tes
kemampuan menelan ditemukan hasil skor ditemukan hasil skor lima puluh enam.
Hasil pengkajian
yang dilakukan kepada tiga klien ditemukan data objektif makanan jatuh dari
mulut, tidak dapat membersihkan rongga mulut, sulit mengunyah, fase oral
abnormal, mengiler, dan menelan berulang-ulang diikuti dengan elevasi laring
yang tidak adekuat. Dari data yang didapatkan dalam studi kasus, maka masalah
keperawatan yang akan diangkat dan dibahas adalah gangguan menelan. Berdasarkan
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), gangguan menelan didefinisikan
sebagai fungsi menelan abnormal akibat defisit struktur atau fungsi oral,
faring atau esofagus (Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2017).
Pada pasien stroke
dengan gangguan menelan terjadi gangguan aliran bolus memasuki fase oral ke
faring atau dapat juga disebut sebagai disfagia orofaring. Pada pasien stroke,
gangguan menelan terjadi pada hari-hari pertama fase akut stroke, yang dapat
meningkatkan angka kejadian aspirasi dan peningkatan risiko pneumonia aspirasi
sebanyak enam kali hingga tujuh kali lipat. Pada gangguan menelan, terjadi
koordinasi antara mekanisme neuromuskular yang melibatkan lebih dari tiga puluh
otot-otot menelan dengan koordinasi terhadap lima saraf kranial yang memodulasi
proses menelan yang terdiri dari saraf kranial V, VII, IX, X dan XII yang
terdapat pada hemisfer tertentu pada otak (Wilmskoetter et al., 2019). Post-stroke Dysphagia atau
gangguan menelan yang terjadi pasca serangan stroke terjadi sebagai efek dari
kerusakan struktur kortikal dan subkortikal, yang pada umumnya dapat membaik
jika aktivitas proses perbaikan saraf pada bagian kortikal mengalami
peningkatan (Attrill et al., 2018).
Perubahan fungsi
kemampuan menelan dapat mengantarkan pasien pada manifestasi masalah kesehatan
yang dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan. Hal tersebut dipicu
oleh efek yang akan timbul berupa aspirasi yang terjadi dalam tiga tahap yaitu
aspirasi predeglutitive yang terjadi pada fase oral menelan yang tidak adekuat
sehingga menyebabkan makan keluar dari mulut, selanjutnya aspirasi inter
deglutitive saat fase faringeal menelan tidak adekuat saat bolus melewati
faring dan yang terakhir adalah aspirasi post deglutitive yang menjadi inti
penyebab terjadinya pneumonia yang berulang akibat aspirasi, sebab pada
aspirasi ini, sejumlah makanan tertinggal di dalam faring, sehingga pada saat
pasien bernapas makan yang tertinggal pada faring akan masuk pada saluran jalan
napas (Shaker & Geenen, 2011). Dengan masalah gangguan menelan
yang terjadi akibat deficit pada kemampuan menelan pada pasien post stroke akan
menimbulkan manifestasi klinis yang mengarah pada perubahan pemenuhan nutrisi
dan ketidakseimbangan elektrolit oleh tubuh tidak adekuat (Fang et al., 2022).
Berdasarkan
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi yang dapat
dilakukan pada masalah gangguan menelan adalah pencegahan aspirasi (I.01018),
dan Dukungan perawatan diri makan/minum (I.11351). Dalam Karya ilmiah ini juga
dilakukan penerapan implementasi teknik kompensatori postural chin-tuck untuk
mendukung intervensi yang dilakukan yaitu pencegahan aspirasi dan dukungan
perawatan diri makan minum yang berefek pada kemampuan menelan. Dalam mengukur
kemampuan menelan, penulis menggunakan instrument Parramata Hospital Dysphagia
Assasement” modifikasi dari “The Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic
Stroke. Dalam menerapkan intervensi keperawatan, penulis menetapkan luaran hasil
yang menjadi tujuan dari tindakan keperawatan berdasarkan kriteria Standar
Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI).
Hasil dan
Pembahasan
Berdasarkan hasil
studi kasus yang telah dilakukan terlihat pada hasil penilaian kemampuan ketiga
klien mengalami peningkatan. Klien pertama menunjukkan hasil peningkatan
kemampuan menelan yang skor awalnya 59 menjadi 83, dengan komponen yang
mengalami peningkatan skor diantaranya komprehensif, yaitu pasien telah
menunjukkan kemajuan yang awalnya mengikuti perintah dengan skor 2 menjadi
dapat mengerti secara utuh pembicaraan dan perintah dengan skor 5. Selanjutnya
komponen refleks gag yang awalnya memiliki skor 3 yaitu menunjukkan adanya
penurunan refleks gag menjadi skor 4 yaitu refleks gag ada namun tidak
simetris. Fonasi atau suara yang keluar merupakan salah satu komponen yang
mengalami kenaikan dengan skor awal 2 namun meningkat menjadi 5 yaitu normal.
Refleks batuk yang awalnya sangat lemah dengan skor 4 menjadi 6 dengan refleks
batuk agak lemah, mengunyah yang mendapatkan skor awal 3 yaitu kurang mampu
dalam membentuk bolus akhirnya mengalami peningkatan skor menjadi 4 ada sisa
makanan dimulut saat setelah mengunyah, komponen selanjutnya yaitu oral yang
awalnya mendapatkan skor 6 yaitu memindahkan makanan dengan sangat lambat >5
detik meningkat menjadi 8 dengan durasi memindahkan makanan <5 detik.
Komponen selanjutnya faring dengan awal skor 6 yang berarti pergerakan faring
dalam menelan lambat dengan durasi 3-5 detik meningkat menjadi 10 dengan
interpretasi normal. Komponen yang terakhir yaitu toleransi menelan, di awal
klien satu mendapatkan skor 3 dengan toleransi konsistensi makanan saat menelan
adalah makan kental dan cair meningkat menjadi toleransi terhadap konsistensi
makanan lunak dan cair dengan skor 4.
Klien kedua menunjukkan
hasil peningkatan kemampuan menelan yang skor awalnya 60 menjadi 86, dengan
komponen yang mengalami peningkatan skor diantaranya komprehensif, yaitu pasien
telah menunjukkan kemajuan yang awalnya mengikuti satu perintah dengan skor 3
menjadi dapat mengerti secara utuh pembicaraan dan perintah dengan skor 5.
Komponen bicara yang awalnya memiliki skor 1 karena pasien hanya mengeluarkan
suara minimal meningkat menjadi dapat mengeluarkan beberapa kata dengan skor 2.
Fonasi atau suara yang keluar merupakan salah satu komponen yang mengalami
kenaikan dengan skor awal 1 namun meningkat menjadi 4 yaitu serak ringan.
Refleks batuk yang awalnya tidak ada
dengan skor 1 menjadi 10 dengan refleks batuk normal, mengunyah yang
mendapatkan skor awal 1 yaitu tidak mampu mengunyah akhirnya mengalami
peningkatan skor menjadi 5 yaitu kemampuan mengunyah mulut normal, komponen
selanjutnya yaitu oral yang awalnya mendapatkan skor 2 yaitu tidak ada gerakan
meningkat menjadi 8 dengan durasi memindahkan makanan <5 detik. Komponen
selanjutnya faring dengan awal skor 8 yang berarti pergerakan faring dalam
menelan lambat dengan durasi 1-2 detik meningkat menjadi 10 dengan interpretasi
normal. Komponen yang terakhir yaitu toleransi menelan, di awal klien satu
mendapatkan skor 3 dengan toleransi konsistensi makanan saat menelan adalah
makan kental dan cair meningkat menjadi toleransi terhadap konsistensi makanan
lunak dan cair dengan skor 4.
Klien ketiga
menunjukkan hasil peningkatan kemampuan menelan yang skor awalnya 56 menjadi
76, dengan komponen yang mengalami peningkatan skor diantaranya komprehensif,
yaitu pasien telah menunjukkan kemajuan yang awalnya mengikuti satu perintah
dengan skor 3 menjadi skor 4 dengan interpretasi kadang-kadang dapat memahami
pembicaraan secara utuh. Fonasi atau suara yang keluar merupakan salah satu
komponen yang mengalami kenaikan dengan skor awal 1 namun meningkat menjadi 2
yaitu suara seperti berkumur. Refleks batuk yang awalnya sangat lemah dengan skor 4 menjadi 6 dengan refleks batuk
agak lemah, mengunyah yang mendapatkan skor awal 1 yaitu tidak mampu mengunyah
akhirnya mengalami peningkatan skor menjadi 2 yaitu kemampuan mengunyah mulut
minimal, komponen selanjutnya yaitu oral yang awalnya mendapatkan skor 2 yaitu
tidak ada gerakan meningkat menjadi 6 dengan durasi memindahkan makanan > 5
detik. Komponen selanjutnya faring dengan awal skor 6 yang berarti pergerakan
faring dalam menelan lambat dengan durasi 3-5 detik meningkat menjadi 8 dengan
berarti pergerakan faring dalam menalan lambat dengan durasi 1-2 detik.
Komponen yang terakhir yaitu toleransi menelan, diawal klien satu mendapatkan
skor 2 dengan toleransi konsistensi makanan saat menelan adalah makan kental d
meningkat menjadi toleransi konsistensi makanan saat menelan adalah makan kental
dan cair dengan skor 3.
Berdasarkan SLKI
setelah dilakukan implementasi selama lima hari, pasien mampu menunjukan luaran
sesuai dengan kriteria hasil yang sesuai.
Pada klien pertama mempertahankan makanan di mulut meningkat dengan
kriteria hasil 5 (normal), reflek
menelan meningkat dengan kriteria hasil 4 (cukup meningkat), kemampuan
mengosongkan mulut meningkat dengan kriteria hasil 4 ( cukup meningkat) kemampuan mengunyah meningkat dengan kriteria
hasil 4 ( cukup meningkat), usaha menelan meningkat dengan kriteria hasil 5
(meningkat), pembentukan bolus meningkat
dengan kriteria hasil 4 (cukup meningkat), frekuensi tersedak menurun dengan
kriteria hasil 5 (menurun), batuk menurun dengan kriteria hasil 4 (cukup
menurun), produksi saliva membaik dengan kriteria hasil 5 (membaik), penerimaan
makanan membaik dengan kriteria hasil 5
(membaik), kualitas suara membaik dengan kriteria hasil 5 (membaik).
Pada klien
kedua mempertahankan makanan di mulut
meningkat dengan kriteria hasil 5 (normal), reflek menelan meningkat dengan kriteria hasil 3
(sedang), kemampuan mengosongkan mulut meningkat dengan kriteria hasil 5
(meningkat), kemampuan mengunyah
meningkat dengan kriteria hasil 5 (meningkat), usaha menelan meningkat dengan
kriteria hasil 5 (meningkat), pembentukan
bolus meningkat dengan kriteria hasil 5 (meningkat), frekuensi tersedak
menurun dengan kriteria hasil 5 (menurun) , batuk menurun dengan kriteria hasil
5 (menurun), produksi saliva membaik dengan kriteria hasil 5 (membaik) ,
penerimaan makanan membaik dengan
kriteria hasil 5 (membaik), kualitas suara membaik dengan kriteria hasil 3
(sedang).
Pada klien
ketiga mempertahankan makanan di mulut
meningkat dengan kriteria hasil 3 (sedang), reflek menelan dengan kriteria hasil 2 (cukup cukup
menurun), kemampuan mengosongkan mulut dengan kriteria hasil 2 (cukup cukup
menurun), kemampuan mengunyah dengan kriteria hasil 2 (cukup cukup menurun),
usaha menelan meningkat dengan kriteria hasil 4 (cukup meningkat), pembentukan bolus meningkat dengan kriteria hasil 2
(cukup cukup menurun), frekuensi tersedak menurun dengan kriteria hasil 4 (cukup
menurun) , batuk menurun dengan kriteria hasil 3 (sedang), produksi saliva
membaik dengan kriteria hasil 5 (membaik), penerimaan makanan membaik dengan kriteria hasil 3 (sedang),
kualitas suara membaik dengan kriteria hasil 3 (sedang).
Pembahasan
Dari data
pengkajian ketiga klien, dua diantaranya memiliki peningkatan terhadap tekanan
intrakranial dan satu tidak tampak adanya peningkatan intrakranial dengan letak
infark yang berbeda pada setiap masing-masing klien, namun ketiganya memiliki
derajat disfagia atau gangguan menelan yang sama yaitu pada derajat II yaitu
disfagia faringeal. Berdasarkan Wilmskoetter et al. (Wilmskoetter et al., 2019), dalam penelitiannya “mapping
acute lesion location to physiological swallow impairments after stroke”
mengemukakan bahwa perbedaan aspek fisiologi menelan post stroke berkaitan
dengan letak dari lesi terutama pada
hemisfer kanan dan integrasi antara sensorimotor, hasil penelitian juga
mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara lokasi lesi supratentorial dan
komponen dalam menelan fase faringeal. Lesi pada hemisfer kiri mengakibatkan
gangguan pada menelan fase faringeal dengan komponen yang mengalami disfungsi
adalah pergerakan hyoid anterior, penutupan pada laryngeal vestibular,
sedangkan lesi pada hemisfer kanan mengakibatkan gangguan integrasi pada
sensorimotor pada fase menelan, integrasi terhadap dua hemisfer ini menjadi
proses yang krusial dalam fisiologi menelan (Wilmskoetter et al., 2019). Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wilmskoetter et al. (2018) berjudul “Difference in swallow
physiology in patient with left and right hemispheric stroke”, menyatakan bahwa
terdapat perbedaan fisiologi menelan antara pasien stroke dengan hemisfer kanan
menunjukkan disfungsi atau gangguan
menelan faringeal yang buruk. Gangguan pada elevasi laring dan penutupan pada
laryngeal vestibule berhubungan dengan adanya lesi pada bagian insula otak.
Pada fase menelan, bagian insula berperan penting dalam fisiologi menelan dalam
mengkoordinasikan sinkronisasi aktivitas motorik pada menelan dengan
mengintegrasikan informasi sensori-motor yang merupakan menelan pada fase
faringeal. Gangguan pada elevasi laring dan penutupan pada laryngeal vestibule
dapat beresiko terhadap terjadinya aspirasi (Wilmskoetter et al., 2019).
Defisit pada
menelan fase oral atau orofaringeal sehingga menyebabkan residu pada faring dan
disfungsi integrasi sensori motor saat menelan yang mengganggu kontrol motorik
dan proses spasial pada gerakan yang terintegrasi terhadap pembentukan bolus
oleh otot otot menelan dan terdorong ke orofaringeal untuk fase tahap process model
of feeding di stage II transport berhubungan dengan lesi yang terdapat pada
supramarginal gyrus. Elevasi laring dan penutupan pada laryngeal vestibule dan
residu pada faring merupakan komponen dalam menelan di fase faringeal yang
mengalami disfungsi jika terjadi lesi pada corona radiata, dan akan
mempengaruhi intake oral pada pasien stroke. Hal tersebut sejalan dengan data
yang ditemukan pada klien satu yang mengalami lesi hipodens pada corona radiata
kanan dan ditemukan gangguan fungsi pada elevasi laring dan gangguan menelan
fase faringeal. Sinkronisasi antara elevasi laring, dan penutupan pada
laryngeal vestibule mengalami gangguan juga dapat diindikasikan oleh adanya
lesi pada capsula externa yang memiliki hubungan yang krusial antara area
motorik kortikal dan ganglia basal yang berkontribusi pada fungsi ganglia
basalis dalam kontrol motorik (Wilmskoetter et al., 2019). Sejalan dengan data yang
ditemukan pada studi kasus pada klien tiga yang mengalami lesi pada capsula
interna dextra sinistra dan lesi hipodens pada ganglia basalis mengalami
gangguan pada elevasi laring dan penutupan pada laryngeal vestibule sehingga mengalami
aspirasi saat menelan air sebanyak satu sendok teh pada saat skrining gangguan
menelan. Hal serupa ditemukan pada data pengkajian klien satu dan klien dua,
dari hasil CT scan menunjukkan adanya lesi pada capsula externa dextra pada
klien dua dan capsula externa dextra sinistra pada klien satu.
Ketiga klien
merupakan pasien yang mengalami serangan stroke pertama dengan tidak memiliki
riwayat serangan stroke sebelumnya, dan dalam fase awal serangan stroke ketiga
klien mengalami paralisis minor pada wajah diikuti dengan disartria berat dan
dua diantaranya mengalami afasia ringan dan satu dari tiga klien dalam studi
kasus ini tidak mengalami afasia. Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
berjudul “Dysphagia and associated factors among patients with acute ischemic
stroke in Vietnam” menyatakan bahwa kejadian disfagia atau gangguan menelan
pada pasien stroke tidak berhubungan dengan kejadian serangan stroke sebelumnya
atau riwayat stroke sebelumnya, dikemukakan juga bahwa stroke menjadi faktor
resiko yang tinggi terhadap peningkatan efek negative pada proses menelan atau
berkontribusi pada kejadian gangguan menelan, dan juga pada penelitian tersebut
mengemukakan lokasi lesi pada stroke berhubungan dengan prediksi terjadinya
disfagia atau gangguan menelan dan lama waktu terjadinya gangguan menelan pada
stroke (Hien et al., 2022). Kejadian terjadinya stroke juga
menimbulkan manifestasi klinis berupa gangguan pada komunikasi, dan paralisis
pada wajah. Dalam penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa terdapat hubungan
antara kejadian gangguan menelan dan gangguan komunikasi serta paralisis wajah
pada stroke hemoragik, dibuktikan dengan hasil uji statistik yang menunjukkan
hubungan yang signifikan, p < 0,001 (Hien et al., 2022).
Hasil studi kasus
ini menunjukkan adanya peningkatan terhadap kemampuan menelan sejalan dengan penelitian oleh Saconato et
al. (2016) yang mengemukakan bahwa posisi
postural chin-tuck efektif diterapkan pada disfagia dengan derajat ringan
hingga sedang untuk memaksimalkan fisiologi menelan pada pasien disfagia dengan perlambatan menelan pada fase
faringeal, penurunan kemampuan elevasi laring dan kesulitan dalam menelan
dengan konsistensi cair.Pada penelitian tersebut memaparkan bahwa efektivitas
pada posisi chin-tuck mencapai 74 %
dalam proses menelan pada pasien dengan disfungsi elevasi laring dan perubahan
fungsi pada fase orofaringeal. Sedangkan
pada aspirasi akibat penetrasi laring pada makanan dengan konsistensi cair
efektif dicegah dengan posisi chin-tuck dengan presentase 76% dan menunjukkan
efektivitas sebesar 40 % pada pasien dengan aspirasi trakea. Dapat disimpulkan
efektifitas posisi chin-tuck pada proses menelan dan aspirasi mencapai 100%
pada disfagia derajat ringan dan 40 % pada derajat sedang (Saconato et al., 2014).
Posisi kepala pada
posisi postural chin-tuck mendekatkan jarak antara laring dan lidah yang
menginisiasi perlindungan saluran napas (Saconato & Rodrigues, 2014), sejalan dengan penelitian Ko et al.
(2021) yang mengemukakan bahwa efektivitas
posisi chin-tuck lebih akurat dalam pencegahan pencegahan aspirasi atau
penetrasi pada laring. Chin-tuck secara signifikan menunjukan penurun kejadian
akumulasi residu pada vallecula dan pyriform sinuses (Ko et al., 2021). Tidak sekedar mendukung terhadap
berkurangnya atau tidak terjadinya aspirasi, posisi chin-tuck juga menginisiasi
perbaikan dalam proses menelan, dibuktikan pada penelitian Saconato et al. (Saconato et al., 2014), bahwa pasien dengan stimulus
menelan terhambat insufisiensi dalam pergerakan lidah dalam fase
menelan,dianjurkan untuk melakukan posisi chin-tuck saat menelan karena dengan
posisi ini makanan akan terkumpul pada vallecula lebih lama sehingga
mengantisipasi jatuh ke faring terlalu dini, hal ini sangat berperan penting
saat proses menelan pada makanan atau minuman dengan konsentrasi cair karena
jarak antara arytenoid cartilages ke
epiglottis memendek dan sangat membantu
saat proses menelan. Chin-tuck dapat menjadi intervensi rehabilitasi pada
pasien disfagia atau gangguan menelan untuk mengurangi keterlambatan fase menelan
faringeal dengan mengontrol aliran bolus dan memfasilitasi latihan menelan yang
dapat dicapai dengan sudut optimal 17,5 derajat yang terbentuk dari sudut
antara mandibula dan servikal C2 dan garis yang menghubungkan servikal C2 dan
C6 pada posisi chin-tuck (Oh et al., 2022).
Tabel 1. Respon klien selama penerapan teknik
kompensatori postural chin-tuck
Keluhan |
Klien 1 |
Klien 2 |
Klien 3 |
Hari 1 |
1. Klien
tersedak saat dilakukan skrining menelan air sebanyak 25 ml 2. Kooperatif dalam menelan dilakukan dengan menggunakan sendok teh dalam posisi chin-tuck
3. Dapat
mengunyah makanan dengan posisi chin-tuck dengan konsistensi bubur kental 4. Pergerakan
oral lambat sehingga waktu mengunyah lama 5. Elevasi
laring lemah |
1. Klien
tersedak saat minum 25 ml air melalui sendok teh 2. Kooperatif dalam menelan jika dilakukan menggunakan sendok teh dalam posisi chin-tuck 3. Gerakan
oral tidak dapat dikaji 4. Belum
bisa menelan makanan namun masih mampu menelan
cairan dalam jumlah sedikit dalam posisi chin-tuck
5. Klien
mampu menelan air namun upaya yang dilakukan dalam menelan air berulang ulang 6. Refleks
batuk tidak ada |
1. Klien
tidak dapat menelan air lebih dari tiga sendok teh saat skrining 2. ROM
lidah terbatas 3. Refleks
gag tidak dapat diuji 4. Gerakan
oral tidak dapat dikaji karena klien belum dapat makan 5. Elevasi
laring lemah 6. Refleks
batuk tidak ada |
Hari 2 |
1. Elevasi
laring mengalami sedikit peningkatan 2. Menelan
air dengan sendok tanpa kendala dengan posisi chin-tuck 3. Toleransi
menelan terhadap makan kental 4. Elevasi
laring lemah 5. Lambat
dalam membentuk bolus |
1. Mampu
menelan air dalam jumlah
yang lebih banyak dari sebelumnya dengan
menggunakan sendok teh pada posisi chin-tuck 2. Gerakan
lidah pada gerakan oral mengalami sedikit gangguan ringan 3. Refleks
gag yang menurun 4. Refleks
batuk sangat lemah 5. Elevasi
laring lemah 6. Elevasi
laring tidak adekuat |
1. Refleks
gag tidak dapat dikaji 2. Gerakan oral tidak dapat dikaji lebih lanjut karena pasien belum diinstruksikan dapat makan 3. Elevasi
laring masih lemah 4. Refleks
batuk belum ada 5. Klien
mampu menelan lebih dari tiga sendok teh air jika
menelan dengan metode chin-tuck |
Hari 3 |
1. Kemampuan
pergerakan lidah dalam membentuk bolus lebih cepat 2. Elevasi
laring sedikit tidak lemah 3. Pergerakan
oral lambat naum memperlihatkan kemajuan 4. Pembentukan
bolus lebih cepat dari hari sebelumnya 5. Toleransi terhadap konsistensi makan meningkat ke konsistensi kental namun dengan jumlah
yang sedikit |
1. Refleks
batuk mengalami peningkatan namun masih lemah 2. Refleks
gag masih lemah 3. Elevasi
laring meningkat dari hari sebelumnya 4. Kemampuan
mengunyah masih lemah dan lambat dalam pembentukan
bolus 5. Gerakan
oral masih lambat dalam memindahkan makanan |
1. Refleks
gag tidak dapat dikaji 2. Refleks
batuk tidak ada 3. Elevasi
laring lemah dan lambat 4. Pergerakan
oral belum dapat dikaji 5. Toleransi
dalam menelan air lebih baik dari sebelumnya, klien dapat
menelan air >25 ml dengan posisi chin-tuck
tanpa adanya tersedak |
Hari 4 |
1. Toleransi
makanan dengan konsistensi kental
meningkat dari hari sebelumnya 2. Toleransi
terhadap menelan air meningkat 3. Klien
dapat menelan air dalam jumlah 100 ml tanpa kendala namun tidak dapat lebih karena
klien merasa masih terkendala dalam menelan sejumlah air sekaligus 4. Elevasi
laring meningkat tanpa ada perlambatan 5. Pembentukan
bolus lebih cepat namun masih ada 6. Refleks
batuk meningkat |
1. Refleks
batuk masih lemah 2. Refleks
gag masih lemah 3. Toleransi
makanan meningkat lunak dan cair 4. Kemampuan
mengunyah dalam pembentukan bolus masih lambat dan menyisakan makan saat
menelan di
rongga mulut 5. Elevasi
laring mengalami peningkatan namun masih lemah 6. Toleransi
dalam kemampuan menelan cairan dalam posisi chi-tuck dapat dilakukan
dengan air 100
ml tanpa ada tersedak dan kendala |
1. Refleks
gag tidak bisa dikaji 2. Refleks
batuk muncul namun masih sangat lemah 3. Elevasi
laring meningkat dari hari sebelumnya 4. Pergerakan
oral dalam membentuk bolus
minimal dan sangat lambat 5. Gerakan
oral lambat saat memindahkan makanan 6. Toleransi
makan meningkat namun dalam jumlah yang sedikit 7. Toleransi
menelan air meningkat pada klien menjadi 50 ml pada posisi chin-tuck tanpa adanya tersedak |
Hari 5 |
1. Toleransi
terhadap konsistensi makanan meningkat menjadi lunak dan cair 2. Elevasi
laring telah normal tanpa ada perlambatan 3. Pembentukan
bolus lebih baik namun masih ada sisa pada mulut atau faring 4. Refleks
batuk agak lemah |
1. Refleks
batuk mengalami peningkatan 2. Refleks
gag masih lemah 3. Toleransi
dalam menelan air lebih dari 100 ml 4. Toleransi
menelan meningkat dengan konsistensi
lunak dan cair 5. ROM
lidah yang terbatas namun mengalami peningkatan dari sebelumnya 6. Kemampuan
mengunyah dalam pembentukan bolus masih lambat 7. Gerakan
oral dalam memindahkan makanan masih lambat namun sudah tidak ada sisa makan
saat telah selesai menelan 8. Elevasi
laring yang masih lemah |
1. Refleks
gag tidak dapat dikaji 2. Refleks
batuk lemah namun meningkat dari sebelumnya 3. Elevasi
laring saat menelan agak lambat 4. Kemampuan
mengunyah dalam membentuk bolus minimal 5. Gerakan
oral dalam memindahkan makanan lambat 6. Toleransi menelan air klien
mengalami peningkatan, klien dapat menelan air dengan posisi chin-tuck,. 50 ml tanpa tersedak namun pasien
mengeluh lelah saat harus menelan
lebih banyak air lagi. |
Table 2. Hasil Penerapan Teknik
Kompensatori Postural Chin-Tuck Pada
Nilai Kemampuan Fungsi Menelan Berdasarkan Hasil Nilai Skor Instrument Parramata Hospital Dysphagia Assessment (Modifikasi
Dari the Royal Adelaide Prognostic Index
for Dysphagic Stroke/ RAPIDS)
|
Sebelum
implementasi |
Hari
kelima setelah implementasi |
Klien 1 |
59 |
83 |
Klien 2 |
60 |
86 |
Klien 3 |
56 |
76 |
Kesimpulan
Intervensi teknik
kompensatori postural chin-tuck dapat diterapkan sebagai terapi komplementer
untuk meningkatkan kemampuan menelan pada pasien dengan gangguan menelan dan
didapatkan hasil peningkatan skor kemampuan menelan tersebut membuktikan bahwa
teknik kompensatori postural chin-tuck dapat dijadikan sebagai tahap
rehabilitas terhadap pasien dengan gangguan menelan dengan tujuan meningkatkan
kemampuan menelan. Sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi seperti,
dehidrasi, malnutrisi, demam, aspirasi pneumonia, infeksi paru, bahkan
kematian. Pada akhirnya bila kemampuan menelan meningkat dapat mencegah lama
rehabilitasi di rumah sakit sehingga menurunkan juga biaya perawatan di rumah
sakit. Memperhatikan besarnya manfaat yang diperoleh bila pasien dilakukan
teknik Chin Tuck secara benar, seluruh pasien stroke dengan disfagia harus
dikelola secara tepat sejak awal masuk rumah sakit. Pelaksanaan latihan teknik
Chin Tuck dapat dilakukan oleh tim kesehatan secara terpadu oleh perawat,
terapi wicara, fisioterapi, okupasi terapi dan ahli gizi.
BIBLIOGARFI
Attrill, S., White, S., Murray, J.,
Hammond, S., & Doeltgen, S. (2018). Impact of oropharyngeal dysphagia on
healthcare cost and length of stay in hospital: a systematic review. BMC
Health Services Research, 18(1), 1–18.
Fang,
W., Zheng, F., Zhang, L., Wang, W., Yu, C., Shao, J., & Wu, Y. (2022).
Research progress of clinical intervention and nursing for patients with
post-stroke dysphagia. Neurological Sciences, 43(10), 5875–5884.
Hien,
N. T. T., Thong, T. H., Khoi, V. H., Hoai, D. T. T., Tinh, T. T., Van Huy, N.,
& Kien, V. D. (2022). Dysphagia and associated factors among patients with
acute ischemic stroke in Vietnam. Annals of Medicine and Surgery, 84,
104887.
Ko,
J. Y., Shin, D. Y., Kim, T. U., Kim, S. Y., Hyun, J. K., & Lee, S. J.
(2021). Effectiveness of chin tuck on laryngeal penetration: quantitative
assessment. Dysphagia, 1–9.
Martino,
R., Martin, R. E., & Black, S. (2012). Dysphagia after stroke and its
management. Cmaj, 184(10), 1127–1128.
Oh,
D.-H., Park, H.-S., & Kim, G.-E. (2022). Effects of the chin-tuck maneuver
on anatomical changes and angles during swallowing: a systematic review. Journal
of the Korean Dysphagia Society, 12(1), 1–13.
Pipit
Feriani, W. (2019). Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Stroke
Haemoragik Terpasang Ventilator Mekanik dengan Intervensi Inovasi Humidifikasi
dan Manajemen Cuff terhadap Perubahan Status Hemodinamik di Ruang ICU RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
PPNI,
T. P. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia. Jakarta Selatan:
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Saconato,
M., Chiari, B. M., Lederman, H. M., & Gonçalves, M. I. R. (2016).
Effectiveness of chin-tuck maneuver to facilitate swallowing in neurologic
dysphagia. International Archives of Otorhinolaryngology, 20, 13–17.
Saconato,
M., Miolla, C. E., Galli, D. M., Rodrigues, K. A., & Batista, L. N. (2014).
Swallowing Rehabilitation of Children with Neurocrytococcosis—Case Report. International
Archives of Otorhinolaryngology, 18(S 01), a2487.
Saconato,
M., & Rodrigues, K. A. (2014). Introduction of Oral Diet on Stevens-Johnson
Syndrome—Case Report. International Archives of Otorhinolaryngology, 18(S
01), a2491.
Savcı,
C., & Acaroğlu, R. (2021). Effects of swallowing training and follow-up on
the problems associated with dysphagia in patients with stroke. Florence
Nightingale Journal of Nursing, 29(2), 137.
Shaker,
R., & Geenen, J. E. (2011). Management of dysphagia in stroke patients. Gastroenterology
& Hepatology, 7(5), 308.
Wilmskoetter,
J., Bonilha, L., Martin-Harris, B., Elm, J. J., Horn, J., & Bonilha, H. S.
(2019). Mapping acute lesion locations to physiological swallow impairments
after stroke. NeuroImage: Clinical, 22, 101685.
Wilmskoetter,
J., Martin-Harris, B., Pearson Jr, W. G., Bonilha, L., Elm, J. J., Horn, J.,
& Bonilha, H. S. (2018). Differences in swallow physiology in patients with
left and right hemispheric strokes. Physiology & Behavior, 194,
144–152.
Copyright holder: Ridzka Ayyanun Zabitha (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |