Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 6, Juni 2024
ANALISIS YURIDIS TENTANG TANGGUNG JAWAB PIDANA ATAS
KEMATIAN ATLET TINJU DALAM PERTANDINGAN
Wiraatmaja
Lookman
Universitas
Pelita Harapan, Jakarta, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah
kematian atlet tinju memiliki akibat hukum bagi atlet lawannya ditinjau dari
peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada dan siapa sajakah yang dapat
bertanggung jawab jika terjadi kematian atlet tinju di dalam pertandingan. Pada
tahun 1967, PERTINA resmi masuk sebagai anggota KONI sama halnya dengan induk
organisasi lain melalui pengukuhan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1967,
sehingga tinju sejak saat itu dianggap sebagai cabang olahraga dan pasal 182
sampai dengan pasal 186 KUHP tentang perkelahian tanding tidak dapat diterapkan
pada tinju, undang-undang yang berlaku bagi tinju adalah Undang-undang no. 11
tahun 2022 tentang keolahragaan (UU Keolahragaan). Pasal 103 UU Keolahragaan
tidak mengenal pidana terhadap atlet sehingga kematian atlet dalam pertandingan tidak memiliki akibat
hukum bagi lawannya, namun pasal 103 ayat 1 UU Keolahragaan mengancam pidana
bagi penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan pasal 52 UU Keolahragaan.
Dunia olahraga mengenal prinsip Lex sportiva yang dapat dijelaskan
sebagai hukum khusus yang mengatur tentang olahraga yang dibuat oleh institusi
olahraga itu sendiri yang berlaku serta ditegakkan oleh dan untuk lembaga
olahraga itu sendiri tanpa intervensi dari hukum positif suatu negara maupun
hukum internasional. Pasal 61 dan pasal 102 ayat 5 UU Keolahragaan mengakui
secara eksplisit prinsip ini dan konsekuensi dari pengakuan statuta cabang
olahraga di dalam UU Keolahragaan menjadikan statuta cabang olahraga
tinju (statuta IBA) menjadi lex spesialis
bagi UU Keolahragaan. Pelanggaran penyelenggara pada pasal 103 ayat 1 UU
Keolahragaan juga diatur dalam pasal 9 juncto pasal 26 juncto
pasal 32 kode etik IBA sehingga dalam hal ini pasal 103 ayat 1 juncto pasal 52
UU Keolahragaan tidak dapat diterapkan pada penyelenggara dalam hal terjadi
kematian atlet dalam pertandingan.
Kata Kunci: Keolahragaan, tinju, perkelahian tanding, lex sportiva, PERTINA,
KONI, IBA, BAORI
Abstract
This research aims to see
whether the death of a boxing athlete has legal consequences for the opposing
athlete in terms of existing laws and regulations and who can be responsible if
a boxing athlete dies in a match. In 1967, PERTINA officially entered as a
member of KONI along with other parent organizations through the inauguration
of Presidential Decree No. 57 of 1967, so that since then boxing has been
considered a sport and articles 182 to 186 of the Criminal Code concerning
sparring cannot be applied to boxing, the law that applies because boxing is
Law no. 11 of 2022 concerning sports (Sports Law). Article 103 of the Sports
Law does not recognize criminal penalties against athletes so that the death of
an athlete in a match has no legal consequences for their opponents, however
article 103 paragraph 1 of the Sports Law threatens criminal penalties for
organizers who do not comply with the provisions of article 52 of the Sports
Law. The world of sports knows the principle of Lex sportiva which can be
explained as a special law governing sports created by the sports institution
itself which applies and is enforced by and for the sports institution itself
without intervention from the positive law of a country or international law.
Article 61 and article 102 paragraph 5 of the Sports Law explicitly recognize
this principle and the consequence of recognizing sports statutes in the Sports
Law makes the boxing sports statutes (IBA statutes) become specialist lex for
the Sports Law. Violations by organizers in article 103 paragraph 1 of the
Sports Law are also regulated in article 9 in conjunction with article 26 in
conjunction with article 32 of the IBA code of ethics so that in this case
article 103 paragraph 1 in conjunction with article 52 of the Sports Law cannot
be applied to organizers in the event of the death of an athlete in a match.
Keywords:
Sports, boxing, sparring, lex sportiva, PERTINA, KONI, IBA, BAORI
Pendahuluan
Tinju sudah ada sejak 3000 tahun lalu sebelum masehi pada zaman Mesir kuno, namun baru populer pada tahun 1600 di Inggris, di mana tinju dengan tangan kosong ini menjadi pertandingan pertaruhan atau dikenal dengan nama prizefighting dan belum ada aturan baku yang mengatur tentangnya (Abdurrojak & Imanudin, 2016). James Broughton adalah orang pertama yang menyusun peraturan pertandingan tinju London prize ring code dan juga sebagai pencipta sarung tinju kulit yang pertama, yang resmi diperkenalkan pada tanggal 10 Agustus 1743 di Inggris dan Broughton dianggap sebagai bapak tinju. Pada tahun 1867, John Graham Chambers dari Inggris menyusun peraturan baru yang kemudian menjadi sumber bagi peraturan tinju modern dewasa ini, meskipun diciptakan oleh John Graham namun nama peraturan ini meminjam nama dari seorang bangsawan inggris bernama Marquis of Qweensberry, sehingga kemudian dikeluarkanlah peraturan tinju yang bernama Marquis of Qweensberry rules untuk menggantikan London prize ring code, peraturan ini mengharuskan penggunaan sarung tinju sebagai syarat pertandingan (Duval, 2020; Sitanggang, 1981).
Tinju merupakan salah satu cabang olahraga beladiri dengan tangan kosong di mana para atlet yang bertanding saling berusaha untuk mendaratkan pukulan ke daerah kepala atau badan (daerah di atas pinggang) lawannya untuk mendapatkan poin atau membuat lawannya sampai tidak dapat melanjutkan pertandingan. Hakim pertandingan akan memberikan poin kepada petinju berdasarkan dari kekuatan, ketepatan, dan juga keagresifan pukulan dari atlet tinju. Atlet tinju bertanding di dalam sebuah ring berbentuk kotak dengan ukuran panjang tiap sisinya antara 4,9 meter hingga 7,3 meter dan dipagari oleh tali di keempat sisinya dengan menggunakan panggung bermatras kanvas sebagai lantai pertandingan. Para atlet kemudian berhadapan dengan lawannya dalam beberapa ronde yang berlangsung selama 3 menit tiap rondenya. Pertandingan dipimpin oleh seorang wasit yang mengontrol jalannya pertandingan di mana ia dapat memutuskan atlet tidak dapat melanjutkan pertandingan dan juga memberhentikan sementara untuk melakukan perawatan pada atlet yang terluka. Pertandingan tinju amatir memiliki lama waktu pertandingan adalah 3 ronde x 3 menit, sedangkan pada tinju profesional lama waktu pertandingan adalah 12 ronde x 3 menit (Olympics, 2023).
Tinju pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda melalui Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau tentara kerajaan Belanda. Tinju merupakan olahraga wajib di kalangan KNIL sehingga di Jakarta, Surabaya, dan Bandung banyak ditemukan ring-ring tinju sebagai bukti dari kegiatan-kegiatan ini, dan pada tahun 1930 di Jakarta banyak diselenggarakan pertandingan tinju yang diselenggarakan oleh promotor asing, dan petinju yang berlaga berasal dari negara-negara lain seperti Filipina, Hongkong, dan Singapura. Pada tahun 1958 lahirlah Persatuan Tinju Nasional (PERTINA) pada tahun 1959 atas prakarsa dari Sudharto Sudiono yang merupakan realisasi usaha bertahun-tahun untuk meresmikan tinju di tanah air, karena sebelumnya sasaran tinju adalah uang dan mengalahkan lawan dan bukan olahraga resmi. Pada tahun 1967, PERTINA resmi masuk sebagai anggota KONI sama halnya dengan induk organisasi lain melalui pengukuhan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1967, sehingga tinju sejak saat itu dianggap sebagai cabang olahraga (Sitanggang, 1981).
Tinju adalah cabang olahraga amatir dan
profesional yang diatur dalam Undang-undang no.11 tahun 2022 tentang
Keolahragaan (UU Keolahragaan), Pasal 1 ayat 6 UU Keolahragaan menyebutkan
bahwa “olahragawan adalah peolahraga yang mengikuti pelatihan dan kejuaraan
olahraga secara teratur, sistematis, terpadu, berjenjang dan berkelanjutan
untuk mencapai prestasi.” Pasal 36 ayat 1 UU Keolahragaan menyebutkan “untuk
kepastian hukum perlindungan bagi olahragawan dan pelaku olahraga dalam peningkatan
prestasi, masyarakat membentuk 1 (satu) induk organisasi cabang olahraga.”
untuk cabang olahraga tinju adalah PERTINA, dijelaskan lebih lanjut pada
pasal 36 ayat 3 bahwa “induk organisasi cabang olahraga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri
dan dikelola secara profesional oleh pengurus yang memiliki kompetensi
keolahragaan.” Pasal 37 ayat 1 UU Keolahragaan juga menyebutkan “Induk
organisasi cabang olahraga sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 membentuk komite olahraga nasional.” (dalam hal ini tergabung dalam KONI). Pasal
50 UU Keolahragaan menyebutkan bahwa induk organisasi cabang olahraga
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat
internasional, nasional dan wilayah, di mana penyelenggaraan olahraga nasional
dilaporkan kepada komite olahraga nasional (dalam hal ini KONI) dan
penyelenggaraan olahraga internasional
dilaporkan kepada pemerintah pusat, komite olimpiade indonesia. Pasal 52 UU
Keolahragaan menyebutkan bahwa “penyelenggara kejuaraan olahraga wajib memenuhi
persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah
setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik.” Pasal 61 butir c UU Keolahragaan menyebutkan bahwa “setiap olahragawan berkewajiban menaati peraturan dan kode
etik yang berlaku dalam setiap cabang olahraga yang diikuti dan/atau yang
menjadi profesinya.” Pasal 62 ayat 1 UU Keolahragaan
menyebutkan bahwa “olahragawan amatir
memperoleh pembinaan dan pengembangan dari induk cabang olahraga amatir.” dan Pasal 62 ayat 2 UU Keolahragaan menjelaskan “olahragawan
profesional memperoleh pembinaan dari cabang olahraga profesional dan /atau
bergabung dalam cabang olahraga amatir.”
namun badan
pembina olahraga profesional yaitu Badan Olahraga
Profesional Indonesia (BOPI) dibubarkan oleh presiden Jokowi melalui Peraturan
presiden (Perpres) no. 112 tahun 2020 (Amrisyah
& Bakti, 2022).
Olahraga tinju sangat berbahaya terlebih pada tinju profesional dikarenakan banyak atlet yang meninggal, berdasarkan artikel berita oleh Ben Morse untuk Cable News Network Sport (CNN Sport) pada 17 Oktober 2019 disebutkan dalam judulnya “Tiap tahun, Rata-rata 13 Petinju Meninggal di Dalam Pertandingan”, lebih lanjut dijelaskan dari tahun 1890 sampai 2011 terdapat kurang lebih 1604 atlet yang meninggal akibat luka yang diperolehnya di dalam pertandingan (Morse, 2019). Kematian atlet merupakan hal yang tidak diinginkan oleh setiap orang namun merupakan hal yang tidak terelakkan dan hal ini terjadi pada acara olahraga tinju yang dipelopori oleh Holywings pada tanggal 27 Februari 2022 melalui acaranya Holywing Sport Show (HSS 2021) di mana salah satu petinju yang bertanding di acara tersebut yaitu Hero Tito meninggal tidak lama setelah kalah Technical Knockout (TKO) melawan James Mokoginta. Hero Tito dinyatakan koma selama beberapa hari di rumah sakit dan harus meregang nyawa pada 3 maret 2022, penyebab kematian Hero Tito diakibatkan oleh trauma diotak yang diduga diperolehnya dari pertandingan tersebut. Kematian Hero Tito membawa duka yang mendalam kepada pihak keluarga, ia meninggalkan istri dan kedua anak yang masih di bawah umur, menurut website berita Voice of Indonesia (VOI) pada 4 Maret 2022 berjudul “Hero Tito Petinju Indonesia ke 31 yang Tewas Usai bertanding: Jangan Ada Lagi yang Menyusul, Semoga Ini Terakhir”.
Dilihat dari kasus ini, bahwa apabila dalam
pertandingan tinju terdapat kematian seorang atlet bagaimana pertanggung
jawaban pihak lawan ataupun pihak-pihak lain yang terkait dalam hal ini
dipandang dari segi hukum di Indonesia?
Berdasarkan latar belakang tersebit, tujuan penelitian ini adalah; (1) untuk
melihat apakah kematian atlet tinju memiliki akibat hukum bagi atlet lawannya
ditinjau dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada, dan (2) untuk
melihat siapa sajakah yang dapat bertanggung jawab jika terjadi kematian atlet
tinju di dalam pertandingan.
Pendekatan Hukum dalam thesis ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual aApproach), dan pendekatan studi kasus (case approach) yang dapat dijabarkan sebagai berikut (Mahmud, 2017);
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan diimplementasikan terhadap permasalahan yang sedang diteliti.
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach), adalah pendekatan
yang dilakukan dengan berpedoman dari doktrin-doktrin dan pandangan para ahli-ahli hukum dan pakar-pakar hukum
sebagai landasan untuk diimplentasikan terhadap permasalahan yang sedang
diteliti.
3. Pendekatan kasus (case approach), adalah pendekatan yang
dilakukan dengan menelaah kasus yang beredar di masyarakat yang di mana telah
terjadi kematian atlet akibat pertandingan pada acara yang digelar oleh
Holywings pada tanggal 27 Februari 2022 melalui acaranya HSS 2021.
Sumber Penelitian Hukum
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) bahan hukum yaitu primer dan sekunder yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Bahan
hukum primer adalah bahan hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan
dalam thesis ini, yaitu:
o
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
o
UU no. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
o
UU no.11
Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
o
UU no. 30
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
o
PP no. 16
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan
o
PP no. 7
Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga
o
Keputusan
Presiden No. 57 tahun 1967 tentang Komite Olahraga Nasional Indonesia
o
Peraturan Presiden
no. 112 Tahun 2020 tentang Pembubaran Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan
Pangan, Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura, Badan Standardisasi dan
Akreditasi Nasional Keolahragaan, Komisi Pengawas Haji Indonesia, Komite
Ekonomi dan Industri Nasional, Badan Pertimbangan Telekomunikasi, Komisi
Nasional Lanjut Usia, Badan Olahraga Profesional Indonesia, dan Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia
o Anggaran Dasar KONI
2020
o Anggaran Rumah
Tangga KONI 2020
o Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PERTINA 2021
o IBA Technical and Competition Rules
o
IBA Disciplinary
and Ethics Code
o Piagam Olimpiade / Olympic Charter (International Olympic Committee, 2023)
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
digunakan untuk menunjang bahan hukum primer, bahan hukum ini berupa asas-asas,
doktrin-doktrin, literatur-literatur, jurnal-jurnal, dan yurisprudensi dari
para ahli-ahli hukum dan pakar-pakar hukum yang berkaitan dengan permasalahan
yang sedang diteliti.
o Lex sportiva
o Moeljatno. KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Bumi Aksara, Cetakan 34, Jakarta, 2021
o Sianturi S.R.. Tindak Pidana di KUHP,
Alumni AHM, Jakarta, 2016
o Soesilo R.. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentar lengkap
Pasal Demi Pasal, Politeia,
Bogor, 1995
Langkah Penelitian
1.
Pengumpulan bahan hukum
Pengumpulan bahan hukum pada thesis
ini dilakukan dengan melakukan inventarisasi bahan-bahan hukum secara studi
pustaka yang kemudian dikualifikasikan terhadap bahan-bahan hukum yang sesuai
untuk menganalisis rumusan masalah, dan untuk mempermudah pemahaman dilakukan
penyusunan bahan-bahan tersebut secara sistematis.
2. Analisis
bahan hukum
Penelitian dilakukan dengan sifat yuridis
normatif, sehingga metode yang digunakan adalah metode deduksi yaitu melalui proses
penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum (premis) untuk mencapai
suatu kesimpulan logis, sehingga dalam thesis ini data-data bersifat
umum akan digunakan untuk memberikan jawaban terhadap rumusan masalah untuk
menghasilkan jawaban yang bersifat khusus.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian dan Hakekat Perkelahian Tanding
Perkelahian Tanding Sebagai Bagian
Aktivitas Olahraga
Olahraga tinju menurut sejarah awalnya bukan diciptakan sebagai kegiatan olahraga murni namun sebagai aktivitas perkelahian tanding untuk kegiatan pertaruhan, hal ini dikuatkan dengan sejarah awal tinju pada tahun 1600 di Inggris yang dikenal dengan prizefighting dan awal sejarah tinju di Indonesia yang sejatinya memang ditujukan untuk mencari uang dari pertaruhan hal ini berdasarkan Nederlandse Boeksbond (NBB) yang menyatakan bahwa selama pendudukan Belanda di Indonesia, tinju profesional tidak pernah dilaksanakan di bumi Indonesia, yang diselenggarakan oleh para aktivitasnya adalah tinju bayaran, tinju pengalaman, dan tinju kawakan menurut terminologi mereka sendiri (Sitanggang, 1981).
Tinju pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda melalui Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau tentara kerajaan Belanda. Tinju merupakan olahraga wajib di kalangan KNIL sehingga di Jakarta, Surabaya, dan Bandung banyak ditemukan ring-ring tinju sebagai bukti dari kegiatan-kegiatan ini, dan pada tahun 1930 di Jakarta banyak diselenggarakan pertandingan tinju yang diselenggarakan oleh promotor asing, dan petinju yang berlaga berasal dari negara-negara lain seperti Filipina, Hongkong, dan Singapura. Tinju sempat terhenti pada masa penjajahan Jepang di mana olahraga tinju banyak digantikan oleh olahraga dari Jepang seperti sumo dan kendo (Sitanggang, 1981).
Pada zaman kemerdekaan Indonesia, tinju kembali muncul meskipun secara sporadis terutama di kota-kota besar di area yang dulu ditempati Belanda, dan pada tahun 1953 bertepatan dengan pasar malam pertama di Jakarta diadakan pertandingan tinju pertama di zaman Republik Indonesia yang digemborkan sebagai pertandingan tinju yang terbesar di zamannya yang dipelopori oleh promotor Oliveiro Jr. dan akhirnya pada tahun 1954 didirikanlah Persatuan Tinju dan Gulat (PERTIGU) dengan bantuan Kepolisian, sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang memberikan izin pelaksanaan pertandingan tinju di Jakarta (pertandingan tinju apabila diadakan tanpa ijin dari kepolisian merupakan hal yang ilegal dan dapat dikenakan dengan pasal perkelahian tanding). PERTIGU disahkan menjadi badan hukum dengan Ketetapan Menteri Kehakiman tanggal 26 April 1955 np. J.A. 3/48116, Berita Negara R.I. tanggal 3 Februari 1955 No. 10 (Sitanggang, 1981).
Pada tahun 1958, banyak desakan dari kalangan tinju untuk mendesak pemisahan organisasi karena dianggap landasan PERTIGU sudah tidak memadai, sehingga lahirlah Persatuan Tinju Nasional (PERTINA) pada tahun 1959 atas prakarsa dari Sudharto Sudiono yang merupakan realisasi usaha bertahun-tahun untuk meresmikan tinju di tanah air, karena sebelumnya sasaran tinju adalah uang dan mengalahkan lawan dan bukan olahraga resmi (Sitanggang, 1981).
Analisis Akibat Hukum Atas Kematian
Atlet Tinju
Tinju merupakan cabang olahraga yang telah diakui di Indonesia dengan masuknya PERTINA sebagai anggota KONI melalui Keputusan Presiden No. 57 tahun 1967. Pasal 1 ayat 2 UU Keolahragaan menjelaskan bahwa keolahragaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan olahraga yang memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan, pengembangan, peningkatan, pengawasan dan evaluasi, oleh karenanya dalam pasal 1 ayat 23 dan 24 UU Keolahragaan disebutkan perlunya dibentuk sebuah induk organisasi cabang olahraga nasional yang merupakan anggota federasi cabang olahraga internasional untuk menyelenggarakan olahraga di Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan (Heriadi, 2019; Nugroho & Effendi, 2019). Tinju memiliki PERTINA sebagai induk cabang olahraga nasional yang tergabung dengan IBA sebagai federasi internasional yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan olahraga di Indonesia. Dasar hukum atlet dan organisasi cabang tinju menurut UU Keolahragaan adalah sebagai berikut;
1. Atlet tinju merupakan olahragawan yang tunduk terhadap UU Keolahragaan yang di mana menjelaskan bahwa petinju profesional untuk dapat melaksanakan profesinya maka diperlukan beberapa syarat sesuai dengan yang diatur dalam pasal 59 UU Keolahragaan. Atlet tinju juga wajib menaati peraturan dan kode etika dalam setiap cabang olahraga yang diikuti atau menjadi profesinya sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Keolahragaan serta berhak memperoleh pembinaan dan pengembangan dari cabang olahraga yang diikutinya, untuk olahragawan amatir memperoleh pembinaan dari cabang olahraga amatir (dalam hal ini PERTINA) sedangkan untuk cabang olahraga profesional memperoleh pembinaan dari cabang olahraga profesional dan / atau amatir (dalam hal ini BOPI) sesuai amanat pasal 62 UU Keolahragaan, namun sejak BOPI dibubarkan oleh Presiden Jokowi melalui Perpres 112 tahun 2020 maka pembinaan tinju profesional kembali dilakukan oleh PERTINA sesuai dengan pasal 62 ayat 2 UU Keolahragaan.
2. PERTINA merupakan organisasi cabang olahraga tinju yang dibentuk sebagai wadah untuk membina dan mengembangkan olahraga prestasi dan profesional di Indonesia. Pasal 28 dan 30 UU Keolahragaan menyebutkan bahwa dalam tugasnya untuk membina olahragawan maka PERTINA wajib membentuk organisasi di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan profesional dan memiliki tenaga ahli yang memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetensi. PERTINA dalam pembinaannya memiliki tugas untuk menyelenggarakan kompetisi / pertandingan tinju secara berjenjang dan berkelanjutan sehingga didapatkan tujuan olahraga sesuai dengan pasal 30 ayat 1 yang dilakukan dengan pendekatan ekonomi / bisnis yang beretika. Pasal 50 UU Keolahragaan menyebutkan bahwa PERTINA bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat internasional, nasional dan wilayah, di mana penyelenggaraan olahraga nasional dilaporkan kepada KONI.
Kematian atlet tinju dalam pertandingan tidak dapat dikenakan dengan pasal 182 sampai dengan 186 KUHP dikarenakan pertandingan tinju merupakan kegiatan olahraga yang diatur dalam UU Keolahragaan, di mana atlet tinju dan organisasi cabang olahraga wajib untuk mengikuti dan melaksanakan pertandingan untuk mencapai tujuan olahraga. Pasal 103 UU Keolahragaan merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana yang akan mengancam pelaku olahraga dan organisasi cabang olahraga sehingga analisis kematian atlet tinju adalah sebagai berikut;
Pasal 103 UU Keolahragaan tidak mengenal adanya tindak pidana yang dilakukan oleh atlet dan disebutkan pada pasal 59 juncto pasal 61 juncto pasal 62 ayat 2 UU Keolahragaan bahwa tiap olahragawan wajib tergabung dan memperoleh pembinaan dari organisasi cabang olahraga yang diikuti sesuai keahliannya dan menaati peraturan dan kode etik cabang olahraga yang diikutinya dalam hal ini atlet tinju wajib tunduk dan terikat dengan statuta PERTINA / IBA yang merupakan turunan dari statuta federasi internasional. Pasal 18 statuta IBA tentang sistem penilaian IBA menjelaskan tentang tata cara memperoleh nilai dalam pertandingan untuk memperoleh kemenangan yaitu pada pasal 18.11 yaitu dengan cara;
a. Banyaknya pukulan telak yang didaratkan pada tubuh lawan
b. Dominasi atlet dalam pertandingan dari segi teknis dan taktis.
c. Kekompetitifan dari atlet.
Atlet tinju memperoleh nilai dengan semakin banyak memberikan pukulan yang telak ke tubuh lawan, di mana telak artinya adalah dengan keras dan mematikan, dominasi berarti atlet terus memberikan tekanan kepada lawan tanpa memberikan kesempatan untuk dapat melawan kembali, sedangkan kekompetitifan memiliki perbedaan yang sangat tipis dengan agresivitas, sehingga sistem perolehan nilai yang ditetapkan pada pertandingan tinju memiliki perbandingan terbalik dengan keselamatan atlet, sehingga semakin banyak nilai yang didapatkan oleh atlet untuk memenangkan pertandingan semakin berbahaya bagi segi kesehatan dan keselamatan lawannya. Pasal 45 statuta IBA mengatur tentang penggunaan pelindung kepala dalam pertandingan namun khusus pertandingan atlet pria profesional penggunaan pelindung kepala justru tidak diperbolehkan, di mana hal ini justru sangat berbahaya dan terbalik dikarenakan atlet tinju profesional memiliki teknik dan pukulan yang lebih mematikan dibandingkan dengan atlet amatir atau peolahraga. Atlet tinju profesional di dalam pertandingan dapat dikatakan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai atlet untuk memberikan pukulan yang mematikan ke pihak lawan dan juga menerima pukulan yang dapat merugikan dan mengancam kesehatan dan keselamatan jiwanya, sehingga alasan ini menjadi alasan pembenar sesuai dengan pasal 50 KUHP dan oleh karena hal tersebut pasal 182 sampai dengan pasal 186 KUHP tidak dapat diterapkan pada atlet tinju.
Atlet Tinju apabila di dalam pertandingan tidak mentaati peraturan dan kode etik yang telah digariskan dalam statuta IBA dan mengakibatkan pihak lawan meninggal atau mengalami cacat tidak dapat diancam dengan pasal 359 dan 360 KUHP, dikarenakan semua jenis pelanggaran atlet dalam pertandingan telah ditulis dengan sangat detail pada pasal 21 statuta IBA dan semua pelanggaran serius yang dapat mengakibatkan luka dan bertentangan dengan kode etik IBA tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat 8 statuta IBA para pihak yang bersengketa wajib membawa masalah tersebut ke badan integritas olahraga independen (BIIU) yang di mana sanksi bagi olahragawan yang melanggar terdapat pada pasal 9 kode etik IBA. Pasal 102 UU Keolahragaan juga menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa olahraga melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga (dalam hal ini PERTINA sebagai BIIU) dan apabila mufakat tidak dapat tercapai maka selanjutnya dilakukan penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase, hal ini juga didukung oleh pasal 103 UU Keolahragaan yang mengatur tentang ketentuan pidana, di dalamnya tidak ditemukan ancaman pidana terhadap olahragawan yang bertanding sehingga ada vacumn recht di dalam UU ini.
Pertandingan Tinju antara Mike Tyson dan Evander Hollyfield pada tanggal 28 Juni 1997 di Las Vegas merupakan contoh di mana negara tidak ikut campur dalam penegakan pelanggaran serius yang terjadi di pertandingan. Pertandingan yang sangat brutal ini mendapatkan julukan The Bite Fight, di mana Mike Tyson memutilasi kuping lawannya hingga putus. Mike Tyson melakukan perbuatan melawan hukum dan juga melanggar statuta yang ada pada cabang olahraga tinju, dalam buku autobiograhy di Sydney Daily Telegraph, Mike Tyson mengakui bahwa ia melakukannya atas kesadaran dan ia sangat ingin membunuh lawannya pada waktu itu (Lutz, 2013). Perbuatan Mike Tyson terhadap lawannya tidak membuatnya di penjara namun federasi tinju menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin tinju dan denda sebesar 3 juta dollar Amerika kepadanya. Otoritas Kepolisian Las Vegas juga menjelaskan atas fakta bahwa kejadian tersebut dilakukan di dalam ring tinju membuat Mike Tyson tidak di penjara atas perbuatannya memutilasi kuping lawannya (Chicago Tribune, 1997). Sistem peradilan hukum pidana Indonesia mengenal asas oportunitas di mana dijelaskan sebagai asas yang memberikan wewenang pada Jaksa Agung untuk tidak melakukan tuntutan demi kepentingan umum (Santosa et al., 2021), asas ini tertuang dalam pasal 35 butir c. UU no. 16 tahun 2004 sehingga apabila terjadi kematian atlet terhadap pihak lawannya meskipun ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap lawan namun pihak keluarga korban enggan menuntut karena diberikan uang ganti rugi (seperti yang umum terjadi pada kecelakaan lalu lintas) maka aparat penegak hukum akan enggan membawa pelaku ke pengadilan hukum pidana dikarenakan apabila hal itu dilakukan maka akan menimbulkan tidak digantinya keluarga korban dan kemarahan dari federasi cabang olahraga yang bersangkutan. Praktek seponering oleh penegak hukum dapat dimaklumi dan sangat mungkin terjadi dalam hal adanya kematian atlet lawan dalam pertandingan tinju.
Pasal 103 UU Keolahragaan meskipun tidak mengenal pidana terhadap atlet namun mengatur tentang ketentuan pidana yang dapat mengancam penyelenggara pertandingan apabila terjadi kematian atlet akibat pertandingan. Pasal 28 juncto pasal 30 juncto pasal 50 UU Keolahragaan menyebutkan bahwa PERTINA dalam tugasnya untuk membina olahragawan, bertanggungjawab dan wajib untuk menyelenggarakan kompetisi / pertandingan tinju secara berjenjang dan berkelanjutan sehingga didapatkan tujuan olahraga yang didukung dengan tenaga ahli yang memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetensi. PERTINA sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini bertindak sebagai penyelenggara dapat diancam dengan ketentuan pidana pasal 103 ayat 1 juncto pasal 52 yang menerangkan penyelenggara olahraga yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 52 dapat dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda, sehingga apabila terjadi kematian atlet dalam pertandingan maka;
1. Penyelenggara dapat diancam pidana apabila tidak memenuhi salah satu dari persyaratan yang telah diatur dalam pasal 52 UU Keolahragaan.
2. Penyelenggara tidak dapat diancam dengan pidana apabila telah memenuhi semua ketentuan yang diatur di dalam pasal 52 UU Keolahragaan.
Kematian atlet tinju di Pekan Olahraga Provinsi Jawa Timur (PORPROV JATIM) pada tanggal 11 September 2023 adalah contoh di mana kepolisian turun tangan dalam melakukan penyelidikan terhadap kematian atlet. Farhat Mika Rahel Riyanto adalah atlet tinju berumur 15 tahun yang ikut berlaga dalam PORPROV JATIM di mana di dalam pertandingan ia tiba-tiba pingsan dan meninggal tidak lama kemudian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang, penyelenggara kemudian memutuskan menghentikan kompetisi cabang olahraga tinju di ajang PORPROV JATIM dan tidak melanjutkannya lagi. “Sudah diputuskan dalam rapat bersama Gubernur, KONI, PERTINA, dan panitia besar bahwa pertandingan tidak akan dilanjutkan” kata Andi selaku ketua panitia besar PORPROV JATIM (Manumoyoso, 2023). Kepolisian Resor Jombang melakukan pemeriksaan terhadap KONI, PERTINA, dan pihak penyelenggara untuk melihat apakah ada pelanggaran di dalam pertandingan meskipun tidak ada laporan atas kematian atlet, tim penyidik kepolisian terbuka untuk melakukan penyelidikan apabila ada temuan kejanggalan baik yang dilaporkan maupun tidak. Bidang hukum KONI Jawa Timur mengatakan berdasarkan laporan tim delegasi bahwa “prosedur dan tahapan pertandingan sudah dilaksanakan dan tidak ditemukan pelanggaran oleh penyelenggara dan kontingen. Standar keamanan, kesehatan, dan prosedur pertandingan juga sudah dicek” (Manumoyoso, 2023). Kasus kematian atlet PORPROV JATIM selesai dan ditutup oleh kepolisian tanpa menetapkan tersangka pada pihak penyelenggara dikarenakan telah memenuhi semua ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 52 UU Keolahragaan.
Pertandingan PORPROV JATIM 2023 seandainya terbukti ditemukan pelanggaran oleh penyelenggara pada pelaksanaannya dan pihak korban tidak melakukan tuntutan apakah tetap akan berlanjut pada pidana? Menurut pasal 102 UU Keolahragaan diatur tentang penyelesaian sengketa wajib diselesaikan melalui badan arbitrase keolahragaan, di mana dalam hal ini akan dilakukan oleh BAORI. Penyelenggara yang dalam melaksanakan pertandingan tidak mematuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal 52 UU Keolahragaan juga diatur di dalam pasal 9 juncto pasal 26 juncto pasal 32 ayat 1 kode etik IBA yang merupakan lex spiasilis dari UU Keolahragaan sehingga penyelenggara sesuai peraturan yang tertulis dalam kode etik IBA akan mendapatkan hukuman dari federasi internasional yaitu IBA melalui badan integritas tinju (dalam hal ini BAORI) di mana hukuman yang dijatuhkan pada penyelenggara diatur dalam pasal 9 juncto pasal 26 juncto pasal 32 kode etik IBA yang pada intinya dihentikan sementara (maksimal 4 tahun) atau permanen semua kegiatannya pada cabang olahraga tinju, didenda uang pengganti sebesar maksimum CHF 50.000,- (Lima puluh ribu swiss franc) atau setara dengan Rp. 887.294.000,- (delapan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus sembilan puluh empat ribu rupiah). Asas ne bis in idem dalam pidana juga mengatur bahwa seseorang tidak dapat diadili untuk perkara yang sama kedua kalinya, sehingga apabila penyelenggara sudah diadili oleh badan arbitrase olahraga (BAORI) maka pasal 103 ayat 1 juncto pasal 52 UU Keolahragaan sukar diterapkan pada penyelenggara dalam hal terjadi kematian atlet dalam pertandingan. Pasal 102 UU Keolahragaan juga telah mengatur bahwa penyelesaian sengketa wajib dilaksanakan oleh badan arbitrase keolahragaan yang bersifat mandiri, final dan mengikat. Pasal 1 butir 2 juncto pasal 1 butir 3 juncto pasal 3 UU no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU APS) menyebutkan bahwa sengketa yang ditangani arbitrase adalah yang memiliki subjek hukum menurut hukum perdata maupun hukum publik (pidana) dan pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase, oleh karena atlet tinju dan penyelenggara tunduk dan terikat dalam statuta IBA maka para pihak harus menyelesaikannya melalui BAORI, lain halnya apabila pihak korban dalam pertandingan tidak terikat oleh statuta IBA (seperti penonton) maka pasal 103 ayat 1 UU Keolahragaan dapat diterapkan. Asas oportunitas juga dapat diterapkan kepada penyelenggara dalam hal ini sehingga aparat penegak hukum enggan membawa pelaku ke pengadilan hukum pidana dikarenakan akan menimbulkan tidak digantinya keluarga korban dan kemarahan dari federasi cabang olahraga .
Pertanggungjawaban
Pidana Atas Hilangnya Nyawa Seorang Atlet Tinju
HSS
2021 pada tanggal 27 Februari 2022 merupakan acara yang sangat dinantikan oleh
penonton di seluruh Indonesia dengan menampilkan petinju amatir selebgram Paris
Pernandes “salam dari Binjai” dengan petinju profesional Jackson Karmela
“Kkajhe” serta laga antara selebritis Vicky Prasetyo melawan Aldy Taher, namun
sayang acara ini berakhir dengan diwarnai kejadian berdarah di saat salah satu
petinju yang bertanding di acara tersebut yaitu Hero Tito meninggal tidak lama
setelah kalah TKO melawan James Mokoginta. Hero tito dinyatakan koma selama
beberapa hari di rumah sakit dan harus meregang nyawa pada 3 maret 2022. HSS
2021 merupakan acara perdana dari pihak penyelenggara yang tidak memiliki
pengalaman dalam menyelenggarakan pertandingan tinju sebelumnya. Hal ini
berdasarkan berita dari Liputan 6 pada 4 Maret 2022 melalui wawancara dengan Co-Founder
Holywings Ivan Tanjaya yang mengatakan “Ini adalah pertama kalinya Holywings
menyelenggarakan pertandingan tinju yang dipromotori oleh Armin Tan, jadi semua
urusan teknis tentang pertinjuan kami serahkan kepada badan tinju yang ditunjuk
promotor. Jadi kita hanya menyediakan tempat dan hadiah kepada petinju yang
bertanding di Holywings” (Thomas, 2022).
Pihak
penyelenggara telah menggandeng promotor Armin Tan dan wasit dari asosiasi
tinju Indonesia (IBA) untuk mengawasi jalannya pertandingan namun ternyata hal
ini tidak dapat mencegah terjadinya musibah berdarah tersebut. Rosa Kusuma,
seorang penata tanding tinju profesional mengatakan bahwa Hero Tito latihannya
tidak terkontrol karena tidak bernaung di bawah satu sasana dan dia lebih
banyak melatih member untuk tinju aerobik ketimbang berlatih khusus untuk
pertandingan” (Thomas, 2022). David Koswara, mantan juara kelas ringan dan welter
Pan Asian Boxing Association mengatakan kepada VOI pada tanggal 3 Maret
2022 bahwa “Pokok permasalahannya adalah soal pengawasan, ketika masih ada
BOPI, tinju pro kita masih berantakan. Apalagi sekarang setelah BOPI
dibubarkan, semakin berantakan tinju kita. Rambu-rambu yang ada selalu
dilanggar, misalnya soal kewajiban memeriksa buku hitam. Sekarang mana ada yang
peduli soal buku hitam, padahal itu SIM-nya petinju” (Winardi, 2022). Buku hitam merupakan catatan setiap pertandingan
petinju. Buku tersebut wajib disertakan ketika petinju menghadapi sebuah
pertandingan, seorang petinju mendapatkan izin naik ring atau tidak, salah
satunya berdasarkan catatan yang ada di dalam buku tersebut. Hero Tito adalah petinju dengan frekuensi bertanding sangat
banyak, bahkan berlebihan. Terhitung sejak November 2021, dia setiap bulan naik
ring. Armin Tan selaku promotor Hero Tito mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah
diingatkan untuk tidak bertanding pada 27 Februari 2022, karena sebulan
sebelumnya di Januari, Hero Tito telah bertanding di Malang dan rencana juga
akan bertanding lagi pada 12 Maret 2022 di Toowomba, Brisbane, Australia.
Peringatannya Armin tidak dihiraukan Hero dikarenakan ia sedang perlu biaya
untuk membangun rumahnya.
Catatan rekor pertandingan Hero Tito yang terdapat pada boxrec.com mengungkapkan fakta yang berbeda dari apa yang diberitakan di media massa, di mana di dalam catatan pertandingan Hero Tito sebelum bertanding dengan James Mokoginta adalah pada tanggal 5 Desember 2021 di Hyderabad, India, sehingga fakta bahwa Hero Tito setiap bulan naik ring adalah tidak benar (Tito, 2023).
Gambar
1. Catatan Pertandingan Hero Tito boxrec.com
Hero Tito memiliki catatan kekalahan KO sebanyak 6 kali, di mana kekalahan KO terakhir adalah 4 Mei 2019 di Altona North, Australia melawan petinju Qamil Balla, setelah kekalahan KO nya Hero Tito berhenti bertanding dan baru bertanding kembali pada 14 April 2021 di Jakarta melawan Hebi Marapu setelah hampir setahun lamanya, Hero Tito setelah kekalahan KO terakhirnya telah menjalani masa suspensi dan dalam keadaan yang sehat untuk bertanding, selain itu sebelum seorang petinju dapat bertanding ia harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pasal pasal 2 juncto 4 juncto 5 juncto 10 statuta IBA yang termasuk penyerahan buku hitam dan mendapat surat rekomendasi dokter sehingga Hero Tito dapat naik ring sudah memenuhi kelayakan untuk bertanding.
Kematian Hero Tito akibat dari pendarahan di otak yang diperolehnya dalam pertandingan dan bahwa lawannya selama pertandingan telah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam pasal 61 UU Keolahragaan juncto pasal 18 statuta IBA dan tidak melanggar pasal 21 juncto pasal 23 statuta IBA maka dalam hal ini tidak dapat dihukum.
Pihak penyelenggara (HSS dan PERTINA/ IBA) telah memenuhi persyaratan kelayakan yang diatur dalam pasal 52 UU Keolahragaan juncto pasal 2, 4, 5 dan 10 statuta IBA sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kematian Hero Tito yang merupakan konsekuensi dari pertandingan tinju yang penuh dengan kekerasan dan kalaupun di dalam pertandingan terdapat kelalaian penyelenggara sesuai pasal 103 ayat 1 juncto pasal 52 UU Keolahragaan, penerapannya akan mengalami kendala dikarenakan asas lex sportiva pada pasal 61 juncto pasal 102 UU Keolahragaan mengharuskan penyelesaian melalui badan integritas olahraga / arbitrase dan penyelenggara diancam dengan sanksi pasal 3 ayat 2 juncto pasal 3 ayat 4 juncto Pasal 26 kode etik IBA, sehingga sesuai asas ne bis in idem penyelenggara tidak dapat diadili lagi dengan pasal 103 ayat 1 juncto pasal 52 UU Keolahragaan. Penerapan asas oportunitas oleh penegak hukum juga sangat mungkin diterapkan dalam hal ini untuk menghindari konflik dengan federasi internasional.
berdasarkan
hasil penelitian, maka kesimpulannya adalah: (1) kematian atlet tinju dalam pertandingan akibat dari pukulan atlet lawannya baik apabila ditemukan pelanggaran maupun
tidak, alit lawan tidak dapat diancam dengan pidana sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, dan (2) pasal 103 UU Keolahragaan adalah
satu-satunya pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi cabang olahraga
tinju dan berdasarkan pada ketentuan pasal ini pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban atas kematian atlet di dalam pertandingan adalah
penyelenggara pertandingan, namun apabila ditemukan adanya pelanggaran
terhadap ketentuan pasal 103 juncto pasal 52 UU Keolahragaan penyelenggara juga
tidak dapat diancam dengan pidana sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia
dikarenakan asas lex sportiva pada pasal 61 juncto pasal 102 UU
Keolahragaan yang mengatur tentang badan integritas olahraga dan arbitrase yang akan
mengakibatkan ne bis in idem yang membuat kejaksaan menerapkan asas
oportunitas dan memberhentikan kasus ini.
BIBLIOGRAFI
Abdurrojak, H., & Imanudin, I. (2016). Hubungan antara reaction time
dan kekuatan maksimal otot lengan dengan kecepatan pukulan pada cabang olahraga
tinju. JTIKOR (Jurnal Terapan Ilmu Keolahragaan), 1(2), 53–58.
Amrisyah, A. F., &
Bakti, A. P. (2022). Tingkat Pemahaman Faktor dan Jenis Cedera Olahraga Atlet
Muaythai Pada Klub Knockout Surabaya. Jurnal Kesehatan Olahraga, 10(04),
85–92.
Chicago Tribune. (1997). Ring
Actually Saved Tyson From Charges. Chicagotribune.Com.
https://www.chicagotribune.com/news/ct-xpm-1997-07-02-9707020043-story.html
Duval, A. (2020).
Transnational sports law: The living lex sportiva. TMC Asser Institute for
International & European Law-Asser Research Paper, 6.
Heriadi, I. (2019). Pemidanaan
Pelaku Perkelahian Tanding Ditinjau Dari Pasal 184 Ayat (1) Dan (5) Kuhp.
Universitas 17 Agustus 1945.
International Olympic
Committee. (2023). Olympic Charter. Olympics.
https://stillmed.olympics.com/media/Document
Library/OlympicOrg/General/EN-Olympic-Charter.pdf
Lutz, T. (2013). Mike
Tyson ‘wanted to kill’ Evander Holyfield. Theguardian.Com.
https://www.theguardian.com/sport/2013/oct/23/mike-tyson-evander-holyfield-ear-bite
Mahmud, M. P. (2017).
Penelitian Hukum edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Manumoyoso, A. H. (2023). Pertandingan
Tinju Porprov Jatim Dihentikan, Petinju Tetap Mendapat Apresiasi.
Kompas.Id.
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/09/13/pertandingan-tinju-porprov-jatim-dihentikan-petinju-tetap-mendapat-apresiasi
Morse, B. (2019). Each
Year, 13 Boxers On Average Die in The Ring. CNN.
https://edition.cnn.com/2019/10/17/sport/boxing-deaths-patrick-day-spt-intl-trnd/index.html
Nugroho, E. C., &
Effendi, T. (2019). Korelasi Lex Sportiva Dengan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana Di Dalam Sepak Bola Indonesia. Simposium Hukum Indonesia, 1(1),
90–99.
Olympics. (2023). Boxing.
https://www.olympics.com/en/sports/boxing/
Santosa, I. K. D.,
Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2021). Pengaturan Asas
Oportunitas Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 9(1), 70–80.
Sitanggang, H. (1981). Sudharto
Sudiono: hasil karya dan pengabdiannya. Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional.
Thomas. (2022). Petinju
Hero Tito Meninggal Dunia, Begini Tanggapan Holywings. Liputan6.Com. https://www.liputan6.com/bola/read/4902550/petinju-hero-tito-meninggal-dunia-begini-tanggapan-holywings
Tito, H. (2023). Box Rec.
https://boxrec.com/en/proboxer/540673
Winardi, A. D. (2022). Petinju
Hero Tito Meninggal Usai Kalah KO: BOPI Dibubarkan Jokowi, Olahraga Profesional
Indonesia Berjalan Tanpa Kontrol. VOI.Id.
https://voi.id/bernas/141020/petinju-hero-tito-meninggal-usai-kalah-ko-bopi-dibubarkan-jokowi-olahraga-profesional-indonesia-berjalan-tanpa-kontrol
Copyright holder: Wiraatmaja Lookman (2024) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |