Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 6, Juni 2024
MODEL QUADRUPLE HELIX DALAM PENGEMBANGAN DESA
WISATA EDUKASI OMAH JAMU YOGYAKARTA
Afifah
Misbar1*, Dewi Novianti2
Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Indonesia1,2
Email: [email protected]*
Abstrak
Desa Merdikorejo Yogyakarta merupakan
salah satu sentra jamu yang ada di Yogyakarta. Didukung dengan letak yang
strategis, lingkungan pedesaan yang asri dan sumber daya manusia menjadikan
desa ini sangat potensial dikembangkan menjadi desa wisata. hal ini sejalan
dengan RPJM-Kal Merdikorejo yang ingin menjadikan desa ini menjadi desa wisata.
Namun, belum adanya inisiatif dan
kerjasama yang optimal dari berbagai pihak untuk menggerakkan potensi tersebut.
Sehingga, Model Quadruple Helix dianggap tepat untuk memaksimalkan
potensi ini karena melibatkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk
pemerintah, masyarakat, akademisi, dan industri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui implementasi model Quadruple Helix dalam pengembangan Desa
Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode kualitatif. Wawancara
mendalam dilakukan terhadap perwakilan dari empat aktor Quadruple Helix
guna mengidentifikasi peran mereka dalam pengembangan desa wisata. Data primer
diperoleh dari wawancara, observasi lapangan, dan dokumentasi, sementara data
sekunder berupa buku, internet, dan jurnal. Temuan
penelitian menunjukkan bahwa implementasi model Quadruple Helix dan
kolaborasinya belum sempurna dan memerlukan evaluasi berkala untuk memastikan
tujuan bersama tetap tercapai. Masih ditemukan kurangnya keterlibatan aktif
dari aktor helix dalam proses pengembangan wisata. Kolaborasi yang telah
dilakukan menghasilkan beberapa inovasi baru. Kedepannya interaksi antara
aktor-aktor helix mendorong lahirnya inovasi dan kreativitas baru, yang
kemudian dapat diaplikasikan dalam kebijakan dan program pembangunan wilayah
serta semakin memperkuat peran penting model Quadruple Helix dalam
pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu Yogyakarta.
Kata
Kunci: Model
Quadruple Helix, kolaborasi, pengembangan desa wisata
Abstract
Merdikorejo Village Yogyakarta is one of
the herbal medicine centers in Yogyakarta. Supported by its strategic location,
beautiful rural environment, and human resources, this village has the
potential to be developed into a tourist village. This is in line with the
RPJM-Kal Merdikorejo which wants to make this village a tourist village.
However, various parties have no optimal initiative and cooperation to mobilize
this potential. So, Mode lQuadruple Helix It is considered appropriate to
maximize this potential because it involves cooperation from various parties,
including government, society, academia, and industry. This research aims to
determine the implementation of the model Quadruple Helix in developing the
Omah Jamu Educational Tourism Village in Yogyakarta. This research was
conducted using qualitative methods. In-depth interviews were conducted with
representatives of the four actors Quadruple Helix to identify their role in
developing tourist villages. Primary data was obtained from interviews, field
observations, and documentation, while secondary data consisted of books, the
internet, and related documents. Research findings show that implementing the
Quadruple Helix model and collaboration is not perfect and requires regular
evaluation to ensure joint goals are still achieved. There still needs to be
more active involvement from helix actors in the tourism development process.
The collaboration that has been carried out has resulted in several
innovations. In the future, interactions between actors Helix encourage the
birth of innovation and creativity, which can then be applied in regional
development policies and programs and further strengthen the important role of
models Quadruple Helix in developing the Omah Jamu Yogyakarta Educational Tourism
Village.
Keywords: Model Quadruple
Helix, collaboration, development of tourist villages
Pendahuluan
Pemerintah
Republik Indonesia mendorong sektor pariwisata sebagai salah satu sumber devisa
negara yang signifikan dan memiliki dampak positif dalam pembangunan negara.
Kunjungan wisatawan asing ke Indonesia telah memberikan kontribusi besar
terhadap devisa negara melalui industri pariwisata, memperkuat pertumbuhan
ekonomi melalui arus valuta asing yang masuk. Rencana Induk Pembangunan
Pariwisata Nasional 2010-2025, diatur dalam PP No 50 tahun 2011, menekankan
pengembangan destinasi prioritas untuk meningkatkan kualitas dan jumlah destinasi
pariwisata serta menghasilkan dampak positif bagi perekonomian nasional
Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang
memiliki potensi wisata yang sangat besar. Selain terkenal dengan keindahan
alamnya, Yogyakarta juga memiliki kekayaan budaya yang sangat kental. Menurut
data dari Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta tentang perkembangan
pariwisata Yogyakarta pada Juni 2023
Pembangunan dan
pengembangan pariwisata memerlukan kontribusi yang aktif dari berbagai pihak,
termasuk pemangku kepentingan seperti pemerintah, masyarakat, akademisi, dan
industri
Dewasa ini, ada
banyak sekali masyarakat yang menggemari wisata berbasis desa wisata yang bukan
hanya menonjolkan keindahan alam, tapi juga daya tarik untuk berinteraksi
langsung dengan warka lokal. Saat ini telah banyak berkembang jenis wisata yang
ada di Yogyakarta seperti wisata religi, wisata edukasi, wisata kuliner, dan
wisata budaya. Sebagai mana yang kita ketahui bahwa pariwisata dapat membantu
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Desa wisata tidak hanya memberikan
kontribusi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, tetapi
juga melibatkan mereka secara aktif dalam pengembangan. Untuk diakui sebagai
desa wisata, suatu lokasi harus memenuhi beberapa kriteria, termasuk memiliki
potensi keunikan alam pedesaan dan kehidupan sosial budaya masyarakat yang
dapat dilestarikan. Pengembangan desa wisata dan keterlibatan masyarakat di
dalamnya sebagai objek daya tarik wisata pedesaan dapat ditingkatkan melalui
kegiatan pendampingan, penyuluhan, dan pembinaan yang dilakukan oleh dinas
pariwisata. Dalam proses pengembangan tersebut, berbagai pemangku kepentingan
(stakeholder) terlibat, mulai dari manajemen tempat wisata hingga masyarakat
yang mandiri dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh desa wisata.
Salah satu desa wisata
yang terdapat di Yogyakarta adalah Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Desa Merdikorejo, khususnya
Dusun Gesikan merupakan salah satu sentra jamu yang ada di Yogyakarta. Produsen
jamu yang ada di desa ini sekitar 30 orang yang tergabung dalam komunitas jamu
Bima Sejahtera, namun pengelolaan yang belum baik oleh pengurus menyebabkan
kurangnya koordinasi dalam mengelola
komunitas jamu tersebut. Akibatnya para produsen jamu lebih memilih berjualan
masing-masing dan dengan produksi masing-masing.
Selain sebagai salah satu sentra
jamu di Yogyakarta, Desa Merdikorejo dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kalurahan (RPJM-Kal) Merdikorejo Bab IV Tentang Kerangka Pemikiran
Strategis RPJM-Kalurahan pada bagian misi poin ke 9 yaitu “Mengembangkan atau
memanfaatkan potensi wisata yang ada di Kalurahan Merdikorejo melalui program
desa wisata”
Adanya usaha pelestarian jamu memang sudah turun
temurun dilakukan di Desa Merdikorejo, tetapi hal ini hanya dilakukan oleh
segelintir orang saja. Dikarenakan jamu yang identik dengan hal kuno dan
tradisional menyebabkan pemuda kurang tertarik untuk ikut melestarikan jamu
sebagai warisan nenek moyang. Adanya budaya jamu di desa ini tentu menjadi
keunikan tersendiri bagi desa ditambah dengan lingkungan pedesaan yang masih
asri dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Potensi ini disadari oleh pemerintah
kelurahan dan warga desa, namun belum ada inisiasi dan kolaborasi yang muncul
untuk memaksimalkan potensi ini.
Desa Merdikorejo mempunyai potensi yang unggul di
bidang ekonomi dengan adanya olahan herbal berupa minuman jamu yang sudah
mempunyai konsumen di berbagai daerah sekitar Yogyakarta, kemudian didukung
dengan sumber daya alam berupa tanah yang kaya unsur hara, dan sumber daya
manusia dengan banyaknya para remaja serta masyarakat yang mahir di bidangnya.
Selain itu, Desa Merdikorejo ditinjau dari letak geografisnya yang sangat
mendukung karena berada di daerah Wisata Grojogan Watu Purbo. Adanya hal ini
tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi Desa Merdikorejo. Namun, potensi ini
belum begitu dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menjalin kerjasama antara
pariwisata dan industri jamu sehingga tercipta sistem yang optimal dalam
pengembangan berbagai aspek keunggulan yang ada untuk menjadi desa wisata.
Dapat kita lihat bahwa begitu banyak potensi yang
dimiliki Desa Merdikorejo dan harapan mereka terhadap desa tersebut yang mereka
tuangkan dalam RPJM-Kal namun hanya berhenti disana tanpa ada upaya
pengembangan lebih lanjut. Hal ini salah satunya disebabkan karena kurangnya
inisiasi dari banyak pihak dan kolaborasi. Dusun Gesikan sangat berpotensi
untuk dijadikan desa wisata mandiri yang mampu melestarikan budaya jamu
sekaligus meningkatkan pendapatan warga setempat.
Hadirnya kegiatan pengabdian masyarakat yang
dilakukan oleh Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta di Dusun
Gesikan menjadi inisiator terbentuknya Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Desa
Merdikorejo. Dengan mengajak seluruh elemen untuk turut berpartisiapsi dalam
upaya mengoptimalkan potensi yang ada agar terbentuknya Desa Wisata Edukasi
Omah Jamu. Langkah awal yang diambil adalah memberikan pelatihan kepada
berbagai pihak, termasuk karang taruna, produsen jamu, dan calon pengurus desa
wisata. Pelatihan ini mencakup materi tentang branding, inovasi produk,
kepariwisataan, dan pemanfaatan limbah jamu. Tujuannya adalah untuk memberikan
pemahaman kepada para peserta yang akan terlibat dalam proses pembuatan dan
pengelolaan desa wisata di masa mendatang.
Namun, perlu disadari bahwa kegiatan pengabdian ini
tidak berlangsung selamanya. Pihak UPNVY hanya sebagai fasilitator untuk
menginisiasi terwujudnya Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Sehingga tantangan
selanjutnya adalah bagaimana agar elemen yang ada di desa mempertahankan,
mengembangkan, dan menjaga agar desa wisata edukasi omah jamu dapat beroperasi
dengan baik, terus dikembangkan, dan bisa menjadi desa wisata yang mandiri. Tantangannya
adalah apakah masyarakat desa, industri, pemerintah setempat, dan akademisi
dapat terus berkolaborasi dan melanjutkan desa wisata yang telah dirintis ini
setelah program pengabdian masyarakat selesai.
Dalam pengembangan
pariwisata, kolaborasi dari banyak sektor memiliki peran kunci dalam merumuskan
kebijakan serta rencana pengembangan yang terstruktur. Kolaborasi dari
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, memiliki peran krusial dalam
pengembangan pariwisata
Model Quadruple
Helix menggabungkan kekuatan otoritas publik, industri, sistem
pendidikan/universitas, dan komunitas pengguna dalam sebuah kerjasama yang
dinamis
Dalam model Quadruple
Helix, kolaborasi di antara keempat elemen ini bukan sekadar kerjasama
biasa. Ini lebih merupakan integrasi yang kuat, di mana pengembangan
kewirausahaan dan inovasi tidak hanya didorong oleh kebutuhan industri atau
pasar, tetapi juga oleh nilai-nilai, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat yang
lebih luas. Dalam hal ini, pendidikan tidak lagi hanya berfokus pada pemindahan
pengetahuan, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berpikir kritis,
kreativitas, dan kemampuan beradaptasi, yang semuanya merupakan kunci untuk
menjawab tantangan masa depan.
Kolaborasi lintas
sektor dalam model Quadruple Helix membuka jalan bagi penciptaan solusi
yang holistik dan berkelanjutan untuk masalah kompleks yang dihadapi oleh masyarakat.
Dengan demikian, model ini tidak hanya mengoptimalkan potensi dari segi ekonomi
atau teknologi, tetapi juga secara langsung berkontribusi pada perkembangan
sosial, pengentasan ketimpangan, dan peningkatan kualitas hidup secara
keseluruhan.
Sejarah model
inovasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi mencerminkan aspirasi manusia untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Seiring berjalannya waktu, model-model
inovasi mengalami perkembangan. Jika dibandingkan dengan Model Triple Helix,
Model Quadruple Helix dianggap lebih superior karena menyoroti pentingnya
kolaborasi sosial yang berbasis pada aktivitas ekonomi yang konvensional. Fokus
utama Model Quadruple Helix adalah pada proses inovasi yang bersifat
non-linier dan melibatkan interaksi antara berbagai pihak dalam jaringan
inovasi multi-aktor
Kehadiran model Quadruple
Helix dalam memperkuat ekonomi lokal memfasilitasi terciptanya hubungan
yang saling melengkapi antara akademisi, pemerintah, industri, dan masyarakat.
Dapat kita lihat dalam tiga aspek penting. Pertama, model ini mendukung
kerjasama antara universitas/akademisi dan bisnis untuk memenuhi kebutuhan
bersama dan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penguatan ekonomi
nasional. Kedua, Model Quadruple Helix menciptakan lingkungan yang
mendukung pengembangan kewirausahaan akademik, penggunaan pengetahuan, inovasi,
dan pencapaian di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan penelitian. Ketiga,
model ini mendorong penerapan praktik terbaik melalui kerjasama yang harmonis
antara lembaga pengetahuan, struktur ekonomi, lembaga negara, dan Masyarakat
Dalam sektor
pariwisata, pengembangan model Quadruple Helix menjadi penting karena
menekankan dinamika dalam proses inovasi. Model ini memungkinkan partisipasi
akademisi dalam mendukung kinerja pemerintah. Meskipun setiap stakeholder
memiliki tujuan yang berbeda, namun mereka memiliki kesamaan dalam aktivitas
ekonomi yang berkontribusi pada pengembangan pariwisata lokal. Aktivitas ekonomi
yang terus berkembang sebagai hasil dari sistem inovasi yang efektif, sehingga
penting bagi para stakeholder untuk merencanakan dan menerapkan Model Quadruple
Helix di semua tingkatan industri pariwisata, termasuk skala kecil,
menengah, dan besar
Sebagai pihak yang
memegang peran utama dalam mendorong lahirnya inovasi, kreativitas, gagasan,
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi pijakan
fundamental bagi pertumbuhan sektor industri kreatif, sistem Quadruple Helix
berperan sebagai fondasi yang menghubungkan Academician (A), Businessman
(B), Civil Society (C), dan Government (G). Keterkaitan yang
saling menguntungkan antara keempat aktor tersebut akan menjadi faktor penentu
dalam merancang strategi pembangunan ekonomi kreatif yang tangguh dan
berkelanjutan
Dalam studi
inovasi, pola kerjasama Triple Helix yang melibatkan universitas,
industri, dan pemerintah telah menjadi metode standar dalam menganalisis
kolaborasi di berbagai sektor dengan tujuan mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Meskipun demikian, pandangan ini mendapat penolakan dari
Gambar 1.
Model Quadruple Helix
Sumber: Van
Wart et al., 2016
Oleh karena itu,
mereka mengusulkan model Quadruple Helix yang melibatkan empat pihak
utama: negara/pemerintah, industri/bisnis, akademisi/universitas, dan
masyarakat umum/sipil yang berfokus pada media dan budaya. Keempat entitas ini
dianggap memiliki peran krusial dalam upaya pemberdayaan ekonomi Masyarakat
Model Quadruple
Helix melibatkan pemerintah, pengusaha, akademisi, dan masyarakat dalam
kegiatan yang bersifat kreatif dan intelektual. Penelitian yang dilakukan oleh
Sopacua & Primandaru
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Subjek
penelitian adalah aktor helix yang terlibat dalam pengembangan Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta, mencakup pemerintah setempat (Pemerintah Kalurahan
Merdikorejo dan tingkat dusun), akademisi (dosen dan mahasiswa yang pernah
terlibat dalam memberikan pelatihan di Desa Merdikorejo), masyarakat, karang
taruna setempat, dan industri kreatif (Usaha Jamu Bima Sejahtera). Objek
penelitian adalah pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta,
dengan fokus pada implementasi dan dampak dari model Quadruple Helix dalam
pengembangan destinasi wisata tersebut.
Data diperoleh
melalui wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan Desa
Wisata Edukasi Omah Jamu, seperti pemerintah setempat, akademisi, masyarakat
lokal, dan industri/pengusaha. Selain itu, data juga dikumpulkan melalui
observasi lapangan, catatan lapangan, serta informasi terkait dari jurnal,
buku, dan internet yang telah terkumpul. Jenis data yang dikumpulkan adalah
data deskriptif, berupa narasi tertulis dan transkripsi wawancara lisan.
Proses analisis
data dilakukan secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis model
interaktif. Tahapan analisis dimulai dari pengumpulan data, diikuti dengan
pengkondensasian data untuk mengidentifikasi pola atau tema, penyajian data
dalam bentuk yang mudah dipahami, dan akhirnya pembuatan kesimpulan yang
didasarkan pada analisis yang telah dilakukan. Proses analisis data merupakan
tahapan penting dalam penelitian yang dilakukan secara sistematis untuk
mengelola dan menafsirkan informasi yang terkumpul dari sumber seperti
wawancara, catatan lapangan, dan materi yang telah terkumpul. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan pemahaman terhadap seluruh data yang dikumpulkan serta
memungkinkan penyajian temuan yang ditemukan menjadi lebih jelas dan
komprehensif (Ibrahim, 2015). Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian
kualitatif, peneliti menggunakan triangulasi data. Triangulasi melibatkan
pengumpulan data dari berbagai sumber atau metode untuk memvalidasi temuan.
Hasil dan Pembahasan
Potensi dan Peluang
yang Dimiliki Desa
Desa menjadi salah
satu komponen krusial dalam pengembangan masyarakat di dalamnya. Berbagai
potensi dapat dilihat dan dikelola sebagai identitas dari suatu desa. Salah
satu daerah dengan kapasitas yang unggul di Indonesia adalah Desa Merdikorejo.
Desa Merdikorejo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tempel,
Sleman, D.I.Yogyakarta. Berdasarkan letak geografisnya, Desa Merdikorejo
terletak di kaki Gunung Merapi dengan ketinggian rata-rata 328 mdpl yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Sementara secara astronomis,
Desa Merdikorejo terletak pada koordinat 7°38’6506” LS dan 110°20’44792” BT.
Desa Merdikorejo
yang terletak di Tempel, Sleman, Yogyakarta memiliki potensi dalam budidaya dan
pengolahan tanaman herbal. Warga Merdikorejo memanfaatkan tanaman herbal
sebagai bahan baku pembuatan jamu. Terhitung sampai saat ini, Desa Merdikorejo
memiliki lebih kurang 30 penjual jamu tradisional. Banyaknya penjual jamu
menunjukkan adanya potensi untuk dilakukan pengembangan pada Desa Merdikorejo.
Di sisi lain, potensi tersebut tidak diiringi dengan pembekalan dan
pendampingan yang mampu membantu perkembangan usaha tersebut. Hal ini terlihat
dari varian jamu yang masih berupa jamu serbuk, penjual yang belum memiliki
perizinan, dan pengemasan yang masih sangat tradisional. Sejalan dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kalurahan (RPJM-kal) Merdikorejo Bab IV tentang
kerangka pemikiran strategis RPJM-Kalurahan pada bagian misi poin ke 9
bersamaan dengan potensi yang dimilki dan keinginan masyarakat setempat untuk
melestarikan jamu serta diharapkan juga menjadi penghasilan tambahan untuk
kesejahteraan warga Dusun Gesikan melalui desa wisata.
Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu tidak hanya menawarkan atraksi wisata berupa pengalaman
wisatawan terlibat langsung dalam proses pembuatan jamu tradisional maupun
modern, namun juga terdapat aspek atraksi wisata berupa edukasi taman toga dan
galeri jamu yang belum pernah ada sebelumnya khususnya di Yogyakarta. Suguhan
atarasi wisata di Desa Wisata Edukasi Omah Jamu juga didukung oleh lingkungan
alam yang masih asri, penduduk lokal yang ramah, akses yang sangat dekat dengan
jalan raya, serta dekat dengan salah satu objek wisata yaitu watu purbo yang
terletak berbeda dusun dengan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Dengan demikian,
Desa Wisata Edukasi Omah Jamu memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
Tabel. 1
Produk Wisata yang Ditawarkan
No |
Produk Wisata |
1 |
Praktik
pembuatan jamu tradisional |
2 |
Praktik
pembuatan jamu modern |
3 |
Taman
Toga |
4 |
Galeri
Jamu |
Sumber: Peneliti
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti di lapangan melalui wawancara dan
observasi langsung kepada masyarakat dan pengelola wisata di Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu dapat dikatan sudah siap untuk beroperasi. Hal ini dapat
dilihat pada unsur atraksi seperti pembuatan jamu secara langsung baik
tradisional maupun modern, taman toga, dan galeri jamu. Sudah terdapat pilihan
paket wisata dan denah tempat wisata. Juga didukung dengan akses yang mudah di
jangkau dari jalan raya. Konsep wisatanyapun emnarik karena langsung di damping
oleh pemuda karang taruna dan produsen jamu. Selain itu juga terdapat welcome
drink dan souvenir bagi pilihan paket tertentu.
Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu memiliki produk wisata yang unik sebagai nilai jual desa
wisata ini. Posisinya yang masih rintisan menjadi rentan apalabila tidak
dikelola dan dikembangkan dengan baik. Pengembangan destinasi pariwisata
memerlukan kolaborasi yang terkoordinasi dan berkelanjutan antara para pelaku
kepentingan dalam sektor pariwisata. Sebagai desa wisata yang baru saja
berdiri, peran dan pemetaan stakeholder tentu menjadi hal yang krusial
untuk diketahui dan di petakan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun
2011 yang membahas rencana pembangunan induk kepariwisataan nasional tahun
2010-2025, aspek kelembagaan pariwisata menekankan pentingnya kerjasama antara
berbagai entitas seperti pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta,
akademisi dan masyarakat.
Implementasi Model
Quandruple Helix
Saat ini,
perkembangan pariwisata di Indonesia mengalami peningkatan yang substansial.
Perkembangan ini dalam industri pariwisata telah menjadikan sektor ini sebagai
kontributor utama pendapatan dari ekspor, penciptaan lapangan kerja, serta
perkembangan usaha dan infrastruktur. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata
menjadi salah satu program unggulan yang diprioritaskan oleh pemerintah.
Dalam pengembangan
Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta, pola dan model kolaborasi Quadruple
Helix menjadi lebih relevan dibandingkan dengan konsep Triple Helix.
Hal ini disebabkan karena adanya lebih dari tiga stakeholder yang berperan
dalam pengembangan desa wisata ini. Keempat aktor yang terlibat dalam pola
kolaborasi ini meliputi pemerintah, industri, intelektual akademis, dan
organisasi non-profit atau lembaga swadaya masyarakat. Model Quadruple Helix
ini juga menekankan pentingnya budaya dan media, serta partisipasi masyarakat
lokal dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi. Partisipasi
yang lebih inklusif dari masyarakat lokal dianggap penting karena mereka
menjadi sumber inovasi dan kreativitas. Quadruple Helix merupakan
pengembangan dari konsep Triple Helix yang telah mengintegrasikan peran civil
society dan terintegrasi dengan ilmu pengetahuan dan inovasi.
Dalam kerangka Quadruple
Helix, semua stakeholder yang terlibat, termasuk pemerintah, swasta,
intelektual akademis, dan masyarakat lokal, berinteraksi dan bertukar pikiran
melalui forum diskusi kecil. Masing-masing stakeholder berperan sesuai dengan
kapabilitas dan kompetensinya. Pemerintah bertugas merumuskan kebijakan dan
regulasi, sementara swasta dan intelektual akademis berperan sebagai penyedia
dan mendorong inovasi. Masyarakat lokal tidak hanya sebagai pengguna tetapi
juga berperan dalam menghasilkan gagasan konkrit berdasarkan pemahaman mereka
tentang kondisi lokal.
Dalam koordinasi
berbasis Quadruple Helix, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci.
Sinergi di antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat lokal memungkinkan
pengembangan desa wisata edukasi omah jamu yang tidak hanya ekonomis, tetapi
juga berkelanjutan secara lingkungan dan memperhatikan kebutuhan serta aspirasi
lokal. Oleh karena itu, analisis stakeholder dalam kerangka Quadruple
Helix menjadi landasan untuk langkah-langkah konkret dalam mendukung
pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu yang berkelanjutan.
1.
Peran
Pemerintah
Dalam prosesnya, pemerintah kelurahan dan
tingkat RT turut serta dalam diskusi dan musyawarah, serta menyediakan
fasilitas dan bantuan dalam pembelian tanah untuk taman toga. Meskipun peran
utama pemerintah adalah membuat kebijakan, pemerintah setempat berencana untuk
mengeluarkan kebijakan khusus untuk pengurus Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di
masa depan. Pemerintah juga aktif dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata dan memastikan ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan.
Namun, terdapat beberapa kesempatan di mana perwakilan pemerintah, baik dari
kelurahan maupun tingkat RT, absen dalam diskusi penting. Peneliti menilai
bahwa pemerintah belum menunjukkan inisiatif yang cukup tinggi untuk hadir
secara langsung dalam semua kegiatan. Meskipun demikian, pemerintah desa tetap
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap proses yang berlangsung.
2.
Peran
Masyarakat
Dalam proses pengembangan, masyarakat
terlibat secara aktif dalam diskusi dan pelaksanaan di lapangan hal ini
menunjukkan tingginya antusiasme mereka terhadap desa ini. Mereka berharap
bahwa keberadaan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu akan membuka peluang pekerjaan
bagi warga setempat. Partisipasi masyarakat tercermin dalam berbagai kegiatan
gotong royong, pembangunan taman toga, pelatihan, pendampingan, dan pembuatan
gapura. Masyarakat tidak hanya memberikan dukungan fisik, tetapi juga
memberikan saran dan masukan untuk pengembangan desa di masa depan. Beberapa
warga bahkan terlibat langsung menjadi pengurus Desa Wisata Edukasi Omah Jamu
hal ini menunjukkan rasa memiliki terhadap desa tersebut. Meskipun tidak semua
warga berpartisipasi aktif dan masih ada yang kurang berminat, namun mayoritas,
sekitar 80%, telah turut serta dan berperan dalam proses pengembangan.
3.
Peran
Akademisi
Dalam proses pengembangan Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu, akademisi dari UPN Veteran Yogyakarta, terdiri dari dosen
dan mahasiswa, telah memberikan kontribusi yang signifikan. Mereka telah
menyelenggarakan berbagai pelatihan dan program pendampingan kepada berbagai
pihak, termasuk produsen jamu, pengurus desa, dan karang taruna. Pelatihan yang
telah dilakukan mencakup berbagai aspek, seperti branding, konsep wisata,
kepariwisataan, dan pembuatan jamu tradisional serta taman toga. Di lapangan,
akademisi juga telah memberikan masukan yang berharga terkait konsep wisata dan
pembuatan taman toga, mengingat pentingnya kesesuaian tanah dengan jenis
tanaman yang ditanam. Secara keseluruhan, peran akademisi telah sangat positif,
namun diharapkan bahwa mereka akan terus memberikan pelatihan secara berkala
kepada berbagai pihak terkait, seperti pemerintah desa, Pokdarwis, pengurus
Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, produsen jamu, dan masyarakat setempat.
4.
Peran
Pelaku Usaha
Dalam upaya pengembangan Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu, sektor industri atau UMKM setempat, seperti Usaha Jamu Bima
Sejahtera, ikut memainkan peran dalam mendukung promosi dan pemasaran. Mereka
tidak hanya membantu dalam mempromosikan destinasi tersebut dengan membuka kios
kecil dan menyediakan souvenir jamu, tetapi juga aktif terlibat dalam proses
pembuatan taman toga serta menyediakan gerobak untuk menjual jamu siap minum
dan produk-produk jamu lainnya. Meskipun demikian, peran sektor industri dalam
pengembangan desa wisata masih belum maksimal karena keterlibatan baru terlihat
dari satu sektor saja. Untuk itu, diharapkan adanya kolaborasi lebih lanjut
antara sektor industri dengan sektor lainnya, seperti transportasi, akomodasi,
dan kuliner, guna mendukung pengembangan desa wisata secara menyeluruh dan
berkelanjutan.
Setiap pemangku kepentingan yang
terlibat dalam kolaborasi Quadruple Helix memiliki tanggung jawab dan
peran yang unik, sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya masing-masing.
Namun, sebagai bagian dari sebuah sistem atau pola yang kompleks, setiap aktor
dalam helix harus bekerja sama dan berkolaborasi secara menyeluruh untuk
menciptakan kesatuan yang kokoh dan solid. Aktor-aktor yang berperan dengan
optimal dapat menjalankan fungsi mereka dengan baik tanpa terlalu tergantung
pada aktor lainnya. Ilustrasi di bawah ini akan menggambarkan bagaimana pola
interaksi yang terbentuk antara aktor-aktor dalam konsep Quadruple Helix
dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta.
Gambar
2. Model Quadruple Helix Pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu
Sumber:
Peneliti
Gambar 2 diatas
merupakan hasil analisis peran dan kolaborasi yang dilakukan oleh masing-masing
aktor helix. Dalam analisis yang digambarkan pada Diagram 2 ini,
terlihat bahwa interaksi antara keempat helix menjadi kunci dalam usaha
meningkatkan ekonomi lokal. Meskipun stakeholder yang terlibat saling
berinteraksi, namun belum terlihat adanya kesepahaman yang jelas mengenai visi
dan misi yang ingin dicapai. Setiap pihak berperan sesuai dengan fungsinya
masing-masing, namun belum ada arah yang sama yang dikejar secara bersama-sama.
Oleh karena itu, dengan diterapkannya metode Quadruple Helix yang lebih
maksimal kedepannya dalam pengembangan bisnis, diharapkan bahwa setiap
stakeholder dapat bekerja secara lebih terkoordinasi dan bergerak menuju
pencapaian tujuan bersama, yakni pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Namun
tidak dapat dihindari, masing-masing aktor helix memiliki kepentingannya
sendiri. Perbedaan kepentingan inilah yang menjadi tantangan dalam kolaborasi.
Kerjasama
Kolaboratif Quadruple Helix
Dalam kerjasama kolaboratif,
terjadi harmonisasi antara visi, tujuan, strategi, dan aktivitas antara semua
pihak yang terlibat, meskipun setiap entitas memiliki otoritas independen dalam
mengambil keputusan dan mengelola organisasinya sendiri. Namun, mereka tetap
terikat pada kesepakatan bersama (Dwiyanto, 2011). Intinya, setiap pihak dalam
kolaborasi memiliki kepentingan yang unik dan menyumbangkan solusi alternatif
untuk menangani masalah, namun tetap mematuhi prinsip kesepakatan bersama.
Kolaborasi antara empat aktor di Desa Merdikorejo dalam pengembangan Desa
Wisata Edukasi Omah Jamu diinisiasi karena adanya keterbatasan kapasitas,
sumber daya, dan jaringan yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder
(Subarsono, 2016). Meskipun demikian, kerjasama ini memungkinkan penyatuan
komponen yang mendukung pencapaian target dan tujuan bersama.
Ada lima
karakteristik yang terus ditekankan oleh setiap aktor helix di Desa Merdikorejo
untuk memelihara kerjasama kolaboratif:
Berdasarkan kelima
karakteristik yang telah diuraikan, terbuka peluang untuk mengeksplorasi
gagasan inovatif yang tak terbatas dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah
Jamu di Yogyakarta. Inovasi tersebut muncul sebagai respons terhadap tantangan
ekonomi yang dihadapi serta memanfaatkan peluang yang ada. Dengan kehadiran
Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, diharapkan masyarakat akan lebih memperhatikan
dan merawat tradisi jamu, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada
pembangunan desa mereka sendiri. Selain itu, kehadiran desa wisata ini
diharapkan juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi kesejahteraan
warga Dusun Gesikan melalui kegiatan wisata edukasi yang dilakukan di desa
tersebut.
Tabel 2.
Penciptaan Inovasi Baru Hasil dari Kolaborasi Quadruple Helix
Bentuk Inovasi |
Bentuk kegiatan |
Sasaran |
Inovasi
mille crepes jamu |
Memberikan
pelatihan cara membuat mille crepes rasa jamu |
Bima
Sejahtera dan pengurus desa wisata |
Pembuatan
galeri Jamu |
· Pengadaan
tempat · Mencari
bahan artikel, dokumentasi, dan alat · Penataan
galeri |
Pemerintah
desa, karang taruna, mahasiswa dan pengurus desa wisata |
Pembuatan
POC |
·
Mengumpulkan limbah jamu ·
Praktik pembuatan pupuk organic cair
sederhana |
Bima
Sejahtera dan mahasiswa Teknik kimia |
Kerjasama |
·
Menjalin relasi dengan pihak luar (NGO,
sekolah-sekolah, pemerintah) |
Pengurus
desa wisata, pemerintah setempat, mahasiswa humas. |
Sumber:
Peneliti
Inovasi yang
terbentuk melalui kolaborasi Quadruple Helix, yang melibatkan
pemerintah, akademisi, bisnis, dan masyarakat, menawarkan potensi besar bagi
semua pihak yang terlibat. Meskipun penerapannya memerlukan evaluasi yang
berkala, lima karakteristik yang muncul dari kolaborasi ini menghasilkan konsep
inovatif yang menjanjikan. Komitmen dan konsistensi dari setiap pemangku
kepentingan menjadi kunci utama dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Upaya
untuk mendorong kreativitas dan inovasi dapat berasal dari berbagai pihak,
sehingga keunggulan pariwisata lokal dapat dipertahankan meskipun munculnya
destinasi baru yang beragam. Karena inovasi dan kreativitas yang dihasilkan
sulit ditiru oleh pesaing, penting untuk mengembangkan dan menerapkan kondisi
pasar, memahami kebutuhan konsumen, dan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi
secara menyeluruh.
Mendorong
kreativitas untuk menciptakan inovasi baru harus terus dilakukan agar tetap
kompetitif di tengah persaingan yang semakin ketat di industri pariwisata.
Kreativitas perlu didorong untuk menghasilkan ide-ide baru yang menghasilkan
produk dan layanan yang dapat bersaing dengan standar kualitas tinggi dan tetap
memenuhi kebutuhan pelanggan. Kolaborasi Quadruple Helix menjadi krusial
untuk mencapai hasil optimal dari kreativitas dan inovasi, sehingga usaha untuk
terus meningkatkan perbaikan dapat terus dilakukan.
Implementasi model
Quadruple Helix dan kolaborasinya tentu belum sempurna. Sehingga
diperlukan evaluasi berkala agar tujuan, visi, dan misi bersama tetap terus
diingat dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Masih ditemukan pada kenyataan
di lapangan, pemerintah bisa dibilang belum terlalu aktif baik dalam proses
maupun upaya memaksimalkan potensi yang dimiliki. Pada beberapa kesempatan
pejabat pemerintah tidak ikut dalam proses pembuatan konsep wisata. Padahal peran
pemerintah desa sangat dibutuhkan dalam hal ini. kemudian, kenyataan di
lapangan menunjukan bahwa masih masyarakat sangat berperan aktif pada setiap
kegiatan. Baik itu kegiatan gotong royong, pembuatan taman toga, dan pendirian
gapura meskipun tidak semua masyarakat ikut terlibat. Dalam pelaksanaanya peran
akademisi telah melakukan kolaborasi seperti turut memberikan pelatihan seperti
branding dan konsep wisata kepada produsen jamu, masyarakat, dan pemuda karang
taruna. Namun, pelatihan ini belum terjadwal dengan baik. Serta, kenyataan di
lapangan menunjukan bahwa industri swasta masih minim kontribusi dalam tahap
pembentukan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Pihak pengusaha seolah-olah hanya
ingin terlibat saat desa wisata sudah terbentuk dan siap beroperasi. Meski
demikian, beberapa upaya yang telah dilakukan masing-masing aktor juga tidak
dapat remehkan. Mereka telah memberikan upaya terbaik versi mereka meskipun
belum maksimal dan sempurna. Oleh karenya, komunikasi dan kolaborasi menjadi
kunci agar kedepannya dapat meminimalisir konflik perbedaan kepentingan dan
ketidakikutsertaan.
Kesimpulan
Desa Wisata Edukasi Omah Jamu
seyogyanya dapat dengan baik menerapkan model Quadruple Helix yang dapat
menciptakan kolaborasi dan inovasi baru yang didukung oleh semua aktor helix.
Nyatanya, adanya kolaborasi ini dapat menciptakan inovasi baru untuk Desa Wisata
Edukasi Omah Jamu. Kolaborasi dan dukungan antar helix dapat
mengembangkan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu dan meningkatkan pendapatan warga.
Namun, potensi konflik akibat adanya perbedaan kepentingan masing-masing aktor
menjadi tantangan tersendiri. Masing-masing aktor harus memiliki tujuan yang
sama dan dilaksanakana berdasarkan kemampuan serta kapasitas masing-masing.
Masyarakat tidak hanya diharapkan sebagai penerima ide dan kreativitas dari
elemen Quadruple Helix lainnya, melainkan juga dapat menjadi sumber
kreativitas dan inovasi itu sendiri. Ketika kreativitas dan inovasi berasal
dari masyarakat, produk-produk tersebut akan memiliki keunggulan dan daya saing
yang lebih baik. Karenanya, kerjasama yang efektif antara semua elemen Quadruple
Helix menjadi krusial untuk menjamin keberadaan kreativitas dan inovasi.
BIBLIOGRAFI
BPS DIY. (2023, Juni). Retrieved from Perkembangan Pariwisata
D.I. Yogyakarta, Juni 2023:
https://yogyakarta.bps.go.id/pressrelease/2023/08/01/1293/perkembangan-pariwisata-d-i--yogyakarta--juni-2023.html
Björk, P. (2014). The DNA of
Tourism Service Innovation: A Quadruple Helix Approach. Journal of
the Knowledge Economy, 5(1), 181–202.
https://doi.org/10.1007/s13132-014-0183-x
Campbell, D. F. J., Carayannis, E.
G., & Rehman, S. S. (2015). Quadruple Helix Structures of Quality
of Democracy in Innovation Systems: the USA, OECD Countries, and EU Member
Countries in Global Comparison. Journal of the Knowledge Economy, 6(3),
467–493. https://doi.org/10.1007/s13132-015-0246-7
Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2010). Triple
Helix, Quadruple Helix and Quintuple Helix and How Do Knowledge,
Innovation and the Environment Relate To Each Other? International Journal
of Social Ecology and Sustainable Development, 1(1), 41–69.
https://doi.org/10.4018/jsesd.2010010105
Damanik, A. B. (2006). Perencanaan Ekowisata.
Deby Lia Isnawati, S. (2021). Minuman Jamu Tradisional
Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Di. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah.
11(2).
Elista, A. K. (2020). Peran Stakeholder dalam Program
Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga di KotaSemarang. Journal of Public
Policy and Management Review,, 10(3), 363–277.
Etzkowitz, H. &. (2010). Triple Helix System for
Knowledge-Based Regional Development : From “Spheres” to “Spaces”. Routledge.
Handayani, F. &. (2017). Analisis Peran
Stakeholders Dalam. Journal of Public Policy and, 6(1), 1–13.
Herdiana, D. (2019). Peran Masyarakat Dalam
Pengembangan. JUMPA/ 6(1).
Ješić, J., & Pejanović, ; Radovan. (n.d.). Autonomous
Province of Vojvodina, Republic of Serbia. Tourism In Function Of Development
Of The Republic Of Serbia Tourism as a Generator of Employment. In Trg
Dositeja Obradovića. 8.
Kemenparekraf.go.id. (2020). Retrieved from DSP: https://info5dsp.kemenparekraf.go.id/
Leydesdorff, L. (2012). The Triple Helix, Quadruple
Helix, …, and an N-Tuple of Helices: Explanatory Models for Analyzing the
Knowledge-Based Economy? Journal of the Knowledge Economy, 3(1),
25–35. https://doi.org/10.1007/s13132-011-0049-4
Merdikorejo. (2021). merdikorejosid.slemankab.go.id.
Retrieved from RPJMKal Merdikorejo Tahun 2021 - 2026:
https://merdikorejosid.slemankab.go.id/first/artikel/93-RPJMKal-Merdikorejo-Tahun-2021---2026
Muzaqi, A. H., & Hanum, F. (2020). Model Quadruple
Helix dalam Pemberdayaan Perekonomian Lokal Berbasis Desa Wisata di Desa
Duren Sari Kabupaten Trenggalek. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(2),
673–691. https://doi.org/10.22437/jssh.v4i2.11529
Ni’mah A.Hidayah, S. S. (2019). Analisis Peran
Stakeholder Dalam Pengembangan Wisata Talang Air. Jurnal Administrasi
Publik, 55-71.
Nurul Rahmawati, Y. A. (2020). Peran Dinas Pariwisata
dalam Pengelolaan Wisata Minat Khusus di Kabupaten Ponorogo. Jurnal Ilmiah
Pariwisata. 25(1).
Putra, A. M. (2006). Konsep Desa Wisata. Jurnal
Manajemen Universitas Udayana. 5(1)
Rebernik, M. (2009). Quadruple Helix of
Entrepreneurship and Management Education. University of Maribor, Slovenia.
Eview of International Comparative Management.,, 10(5), 1–12.
Russell, M. G., & Smorodinskaya, N. V. (2018).
Leveraging complexity for ecosystemic innovation. Technological Forecasting
and Social Change, 136, 114–131.
https://doi.org/10.1016/j.techfore.
Sopacua, I. O., & Primandaru, N. (2020). Implementasi Quadruple
Helix Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Kreatif. Wahana: Jurnal
Ekonomi, Manajemen Dan Akuntansi, 23(2), 224–238.
https://doi.org/10.35591/wahana.v23i2.238
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif,. Bandung: alfabeta.
Van Waart, P., Mulder, I., & de Bont, C. (2016). A
Participatory Approach for Envisioning a Smart City. Social Science
Computer Review, 34(6), 708–723.
https://doi.org/10.1177/0894439315611099
Widjajani, F. A. (2016). Model Quadruple Helix
Sebagai Model Inovasi Daerah (Kajian Literatur). Sosiohumanitas Journal.
Jurnal-Jurnal Humaniora. 18(1).å
Copyright
holder: Afifah Misbar,
Dewi Novianti (2024) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |