Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 6, Juni 2024

 

MODEL QUADRUPLE HELIX DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA EDUKASI OMAH JAMU YOGYAKARTA

 

Afifah Misbar1*, Dewi Novianti2

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Desa Merdikorejo Yogyakarta merupakan salah satu sentra jamu yang ada di Yogyakarta. Didukung dengan letak yang strategis, lingkungan pedesaan yang asri dan sumber daya manusia menjadikan desa ini sangat potensial dikembangkan menjadi desa wisata. hal ini sejalan dengan RPJM-Kal Merdikorejo yang ingin menjadikan desa ini menjadi desa wisata. Namun, belum  adanya inisiatif dan kerjasama yang optimal dari berbagai pihak untuk menggerakkan potensi tersebut. Sehingga, Model Quadruple Helix dianggap tepat untuk memaksimalkan potensi ini karena melibatkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, akademisi, dan industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi model Quadruple Helix dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan terhadap perwakilan dari empat aktor Quadruple Helix guna mengidentifikasi peran mereka dalam pengembangan desa wisata. Data primer diperoleh dari wawancara, observasi lapangan, dan dokumentasi, sementara data sekunder berupa buku, internet, dan jurnal. Temuan penelitian menunjukkan bahwa implementasi model Quadruple Helix dan kolaborasinya belum sempurna dan memerlukan evaluasi berkala untuk memastikan tujuan bersama tetap tercapai. Masih ditemukan kurangnya keterlibatan aktif dari aktor helix dalam proses pengembangan wisata. Kolaborasi yang telah dilakukan menghasilkan beberapa inovasi baru. Kedepannya interaksi antara aktor-aktor helix mendorong lahirnya inovasi dan kreativitas baru, yang kemudian dapat diaplikasikan dalam kebijakan dan program pembangunan wilayah serta semakin memperkuat peran penting model Quadruple Helix dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu Yogyakarta.

Kata Kunci: Model Quadruple Helix, kolaborasi, pengembangan desa wisata

 

Abstract

Merdikorejo Village Yogyakarta is one of the herbal medicine centers in Yogyakarta. Supported by its strategic location, beautiful rural environment, and human resources, this village has the potential to be developed into a tourist village. This is in line with the RPJM-Kal Merdikorejo which wants to make this village a tourist village. However, various parties have no optimal initiative and cooperation to mobilize this potential. So, Mode lQuadruple Helix It is considered appropriate to maximize this potential because it involves cooperation from various parties, including government, society, academia, and industry. This research aims to determine the implementation of the model Quadruple Helix in developing the Omah Jamu Educational Tourism Village in Yogyakarta. This research was conducted using qualitative methods. In-depth interviews were conducted with representatives of the four actors Quadruple Helix to identify their role in developing tourist villages. Primary data was obtained from interviews, field observations, and documentation, while secondary data consisted of books, the internet, and related documents. Research findings show that implementing the Quadruple Helix model and collaboration is not perfect and requires regular evaluation to ensure joint goals are still achieved. There still needs to be more active involvement from helix actors in the tourism development process. The collaboration that has been carried out has resulted in several innovations. In the future, interactions between actors Helix encourage the birth of innovation and creativity, which can then be applied in regional development policies and programs and further strengthen the important role of models Quadruple Helix in developing the Omah Jamu Yogyakarta Educational Tourism Village.

Keywords: Model Quadruple Helix, collaboration, development of tourist villages

 

Pendahuluan

Pemerintah Republik Indonesia mendorong sektor pariwisata sebagai salah satu sumber devisa negara yang signifikan dan memiliki dampak positif dalam pembangunan negara. Kunjungan wisatawan asing ke Indonesia telah memberikan kontribusi besar terhadap devisa negara melalui industri pariwisata, memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui arus valuta asing yang masuk. Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional 2010-2025, diatur dalam PP No 50 tahun 2011, menekankan pengembangan destinasi prioritas untuk meningkatkan kualitas dan jumlah destinasi pariwisata serta menghasilkan dampak positif bagi perekonomian nasional (Kemenparekraf.go.id, 2020), salah satu bentuk rencana induk pembangunan pariwisata nasional tahun 2010-2025 adalah pengembangan destinasi prioritas yang diatur dalam PP No 50 tahun 2011. PP ini menjadi landasan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi pariwisata dan menciptakan industri pariwisata yang berdampak positif pada perekonomian nasional. Pada tahun 2015, pemerintah menetapkan 10 destinasi wisata prioritas di luar Bali, yaitu Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo Tengger Semeru, Kepulauan Seribu, Danau Toba, Wakatobi, Tanjung Lesung, Morotai, dan Tanjung Kelayang. Dari 10 destinasi tersebut, pemerintah kemudian memilih 5 destinasi yang dikenal dengan 5 DSP yang salah satunya yaitu wisata Borobudur yang terletak di Jawa Tengah dan bersebelahan langsung dengan Yogyakarta dimana tentu hal ini menjadi salah satu keuntungan bagi pariwisata Yogyakarta.

Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki potensi wisata yang sangat besar. Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Yogyakarta juga memiliki kekayaan budaya yang sangat kental. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta tentang perkembangan pariwisata Yogyakarta pada Juni 2023 (BPS DIY, 2023), terdapat 11.188 kunjungan wisatawan mancanegara ke D.I Yogyakarta dimana naik 37,11 persen dibandingkan bulan Mei 2023, yaitu dari 8.160 kunjungan menjadi 11.188 kunjungan. Kenaikan jumlah pengunjung ini menjadi bukti yang jelas bahwa Yogyakarta menjadi destinasi yang diminati oleh baik wisatawan asing maupun domestik. Daya tarik wisata di Yogyakarta yang menekankan budaya, keindahan alam, dan keunikan menjadi fokus perhatian wisatawan yang ingin mengunjungi desa-desa wisata. Desa-desa wisata menjadi destinasi menarik bagi wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Salah satu kekayaan budaya yang sangat dihargai di Yogyakarta adalah jamu, minuman tradisional yang terbuat dari bahan-bahan alami dan memiliki manfaat kesehatan yang banyak. Jamu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Yogyakarta selama berabad-abad dan tetap dijaga keberadaannya hingga saat ini (Deby Lia Isnawati, 2021). Menurut informasi yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Yogyakarta, sekitar 80% dari wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tertarik karena kekayaan budaya dan seni tradisional. Namun, hanya segelintir dari mereka yang memiliki pemahaman mendalam tentang jamu dan nilai-nilai budaya yang tersemat di dalamnya.

Pembangunan dan pengembangan pariwisata memerlukan kontribusi yang aktif dari berbagai pihak, termasuk pemangku kepentingan seperti pemerintah, masyarakat, akademisi, dan industri (Herdiana, 2019). Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 tahun 2011 yang mengatur rencana induk pembangunan pariwisata nasional juga menegaskan urgensi peran masyarakat dalam pengembangan pariwisata melalui peningkatan kapasitas masyarakat serta kesadaran akan peran yang dimainkan oleh mereka. Kolaborasi antara pemerintah, dunia akademis, industri, dan masyarakat dianggap sebagai faktor kunci dalam mempercepat pertumbuhan pariwisata.

Dewasa ini, ada banyak sekali masyarakat yang menggemari wisata berbasis desa wisata yang bukan hanya menonjolkan keindahan alam, tapi juga daya tarik untuk berinteraksi langsung dengan warka lokal. Saat ini telah banyak berkembang jenis wisata yang ada di Yogyakarta seperti wisata religi, wisata edukasi, wisata kuliner, dan wisata budaya. Sebagai mana yang kita ketahui bahwa pariwisata dapat membantu kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Desa wisata tidak hanya memberikan kontribusi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, tetapi juga melibatkan mereka secara aktif dalam pengembangan. Untuk diakui sebagai desa wisata, suatu lokasi harus memenuhi beberapa kriteria, termasuk memiliki potensi keunikan alam pedesaan dan kehidupan sosial budaya masyarakat yang dapat dilestarikan. Pengembangan desa wisata dan keterlibatan masyarakat di dalamnya sebagai objek daya tarik wisata pedesaan dapat ditingkatkan melalui kegiatan pendampingan, penyuluhan, dan pembinaan yang dilakukan oleh dinas pariwisata. Dalam proses pengembangan tersebut, berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) terlibat, mulai dari manajemen tempat wisata hingga masyarakat yang mandiri dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh desa wisata.

Salah satu desa wisata yang terdapat di Yogyakarta adalah Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Desa Merdikorejo, khususnya Dusun Gesikan merupakan salah satu sentra jamu yang ada di Yogyakarta. Produsen jamu yang ada di desa ini sekitar 30 orang yang tergabung dalam komunitas jamu Bima Sejahtera, namun pengelolaan yang belum baik oleh pengurus menyebabkan kurangnya koordinasi dalam mengelola komunitas jamu tersebut. Akibatnya para produsen jamu lebih memilih berjualan masing-masing dan dengan produksi masing-masing.

Selain sebagai salah satu sentra jamu di Yogyakarta, Desa Merdikorejo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kalurahan (RPJM-Kal) Merdikorejo Bab IV Tentang Kerangka Pemikiran Strategis RPJM-Kalurahan pada bagian misi poin ke 9 yaitu “Mengembangkan atau memanfaatkan potensi wisata yang ada di Kalurahan Merdikorejo melalui program desa wisata” (Merdikorejo, 2021) merupakan wujud harapan masyarakat dan pemerintah setempat untuk memaksimalkan potensi yang ada serta dapat meningkatkan penghasilan tambahan warga setempat. Akan tetapi, pada pelaksanaanya kurangnya inisiatif baik dari pihak pemerintah, produsen jamu, dan masyarakat dusun gesikan untuk merealisasikan harapan tersebut membuat point ke-9 pada RPJM-Kal tidak berjalan.

Adanya usaha pelestarian jamu memang sudah turun temurun dilakukan di Desa Merdikorejo, tetapi hal ini hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Dikarenakan jamu yang identik dengan hal kuno dan tradisional menyebabkan pemuda kurang tertarik untuk ikut melestarikan jamu sebagai warisan nenek moyang. Adanya budaya jamu di desa ini tentu menjadi keunikan tersendiri bagi desa ditambah dengan lingkungan pedesaan yang masih asri dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Potensi ini disadari oleh pemerintah kelurahan dan warga desa, namun belum ada inisiasi dan kolaborasi yang muncul untuk memaksimalkan potensi ini.

Desa Merdikorejo mempunyai potensi yang unggul di bidang ekonomi dengan adanya olahan herbal berupa minuman jamu yang sudah mempunyai konsumen di berbagai daerah sekitar Yogyakarta, kemudian didukung dengan sumber daya alam berupa tanah yang kaya unsur hara, dan sumber daya manusia dengan banyaknya para remaja serta masyarakat yang mahir di bidangnya. Selain itu, Desa Merdikorejo ditinjau dari letak geografisnya yang sangat mendukung karena berada di daerah Wisata Grojogan Watu Purbo. Adanya hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi Desa Merdikorejo. Namun, potensi ini belum begitu dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menjalin kerjasama antara pariwisata dan industri jamu sehingga tercipta sistem yang optimal dalam pengembangan berbagai aspek keunggulan yang ada untuk menjadi desa wisata.

Dapat kita lihat bahwa begitu banyak potensi yang dimiliki Desa Merdikorejo dan harapan mereka terhadap desa tersebut yang mereka tuangkan dalam RPJM-Kal namun hanya berhenti disana tanpa ada upaya pengembangan lebih lanjut. Hal ini salah satunya disebabkan karena kurangnya inisiasi dari banyak pihak dan kolaborasi. Dusun Gesikan sangat berpotensi untuk dijadikan desa wisata mandiri yang mampu melestarikan budaya jamu sekaligus meningkatkan pendapatan warga setempat.

Hadirnya kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta di Dusun Gesikan menjadi inisiator terbentuknya Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Desa Merdikorejo. Dengan mengajak seluruh elemen untuk turut berpartisiapsi dalam upaya mengoptimalkan potensi yang ada agar terbentuknya Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Langkah awal yang diambil adalah memberikan pelatihan kepada berbagai pihak, termasuk karang taruna, produsen jamu, dan calon pengurus desa wisata. Pelatihan ini mencakup materi tentang branding, inovasi produk, kepariwisataan, dan pemanfaatan limbah jamu. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada para peserta yang akan terlibat dalam proses pembuatan dan pengelolaan desa wisata di masa mendatang.

Namun, perlu disadari bahwa kegiatan pengabdian ini tidak berlangsung selamanya. Pihak UPNVY hanya sebagai fasilitator untuk menginisiasi terwujudnya Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Sehingga tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar elemen yang ada di desa mempertahankan, mengembangkan, dan menjaga agar desa wisata edukasi omah jamu dapat beroperasi dengan baik, terus dikembangkan, dan bisa menjadi desa wisata yang mandiri. Tantangannya adalah apakah masyarakat desa, industri, pemerintah setempat, dan akademisi dapat terus berkolaborasi dan melanjutkan desa wisata yang telah dirintis ini setelah program pengabdian masyarakat selesai.

Dalam pengembangan pariwisata, kolaborasi dari banyak sektor memiliki peran kunci dalam merumuskan kebijakan serta rencana pengembangan yang terstruktur. Kolaborasi dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, memiliki peran krusial dalam pengembangan pariwisata (Handayani, 2017). Oleh karena itu, peran mereka dalam pengembangan rintisan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta sangat penting, baik dalam aspek pembuatan kebijakan, pendidikan, pemasaran, maupun implementasi di lapangan. Pengembangan desa wisata pasti melibatkan banyak pihak terkait, mulai dari manajemen dan tenaga kerja di tempat wisata hingga kemandirian masyarakat dalam memanfaatkan peluang yang timbul dari keberadaan desa wisata. Dalam hal ini, Model Quadruple Helix dianggap tepat untuk memajukan sektor pariwisata karena melibatkan kerjasama dari berbagai pihak yaitu actor helix seperti pemerintah, masyarakat, akademisi, dan industri.

Model Quadruple Helix menggabungkan kekuatan otoritas publik, industri, sistem pendidikan/universitas, dan komunitas pengguna dalam sebuah kerjasama yang dinamis (Widjajani, 2016). Sebagai evolusi dari Model Triple Helix, yang menitikberatkan pada kerjasama antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah untuk mengoptimalkan potensi mereka (Etzkowitz, 2010), Quadruple Helix melibatkan elemen keempat seperti pengelola pendidikan dan pengembangan kewirausahaan  (Rebernik, 2009). Dengan konsep ini, kolaborasi lintas sektor menciptakan lingkungan di mana semua pihak terlibat secara aktif dalam mendorong inovasi dan pembangunan.

Dalam model Quadruple Helix, kolaborasi di antara keempat elemen ini bukan sekadar kerjasama biasa. Ini lebih merupakan integrasi yang kuat, di mana pengembangan kewirausahaan dan inovasi tidak hanya didorong oleh kebutuhan industri atau pasar, tetapi juga oleh nilai-nilai, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, pendidikan tidak lagi hanya berfokus pada pemindahan pengetahuan, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi, yang semuanya merupakan kunci untuk menjawab tantangan masa depan.

Kolaborasi lintas sektor dalam model Quadruple Helix membuka jalan bagi penciptaan solusi yang holistik dan berkelanjutan untuk masalah kompleks yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, model ini tidak hanya mengoptimalkan potensi dari segi ekonomi atau teknologi, tetapi juga secara langsung berkontribusi pada perkembangan sosial, pengentasan ketimpangan, dan peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan.

Sejarah model inovasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi mencerminkan aspirasi manusia untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Seiring berjalannya waktu, model-model inovasi mengalami perkembangan. Jika dibandingkan dengan Model Triple Helix, Model Quadruple Helix dianggap lebih superior karena menyoroti pentingnya kolaborasi sosial yang berbasis pada aktivitas ekonomi yang konvensional. Fokus utama Model Quadruple Helix adalah pada proses inovasi yang bersifat non-linier dan melibatkan interaksi antara berbagai pihak dalam jaringan inovasi multi-aktor (Leydesdorff, 2012).

Kehadiran model Quadruple Helix dalam memperkuat ekonomi lokal memfasilitasi terciptanya hubungan yang saling melengkapi antara akademisi, pemerintah, industri, dan masyarakat. Dapat kita lihat dalam tiga aspek penting. Pertama, model ini mendukung kerjasama antara universitas/akademisi dan bisnis untuk memenuhi kebutuhan bersama dan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penguatan ekonomi nasional. Kedua, Model Quadruple Helix menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan kewirausahaan akademik, penggunaan pengetahuan, inovasi, dan pencapaian di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan penelitian. Ketiga, model ini mendorong penerapan praktik terbaik melalui kerjasama yang harmonis antara lembaga pengetahuan, struktur ekonomi, lembaga negara, dan Masyarakat (Ješić & Pejanović, n.d.).

Dalam sektor pariwisata, pengembangan model Quadruple Helix menjadi penting karena menekankan dinamika dalam proses inovasi. Model ini memungkinkan partisipasi akademisi dalam mendukung kinerja pemerintah. Meskipun setiap stakeholder memiliki tujuan yang berbeda, namun mereka memiliki kesamaan dalam aktivitas ekonomi yang berkontribusi pada pengembangan pariwisata lokal. Aktivitas ekonomi yang terus berkembang sebagai hasil dari sistem inovasi yang efektif, sehingga penting bagi para stakeholder untuk merencanakan dan menerapkan Model Quadruple Helix di semua tingkatan industri pariwisata, termasuk skala kecil, menengah, dan besar (Björk, 2014).

Sebagai pihak yang memegang peran utama dalam mendorong lahirnya inovasi, kreativitas, gagasan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi pijakan fundamental bagi pertumbuhan sektor industri kreatif, sistem Quadruple Helix berperan sebagai fondasi yang menghubungkan Academician (A), Businessman (B), Civil Society (C), dan Government (G). Keterkaitan yang saling menguntungkan antara keempat aktor tersebut akan menjadi faktor penentu dalam merancang strategi pembangunan ekonomi kreatif yang tangguh dan berkelanjutan (Campbell et al., 2015). Pendekatan Quadruple Helix merupakan perkembangan dari konsep Triple Helix yang pertama kali diperkenalkan oleh Etzkowitz, yang melibatkan Academician (A), Businessman (B), dan Government (G). Etzkowitz (2017) menyatakan bahwa model Triple Helix (TH) telah terbukti efektif dalam memicu inovasi. Namun, dalam model Quadruple Helix, Civil Society ditambahkan sebagai elemen tambahan yang memegang peran penting dalam mengintegrasikan aspek media, budaya, dan konsumen (Muzaqi & Hanum, 2020).

Dalam studi inovasi, pola kerjasama Triple Helix yang melibatkan universitas, industri, dan pemerintah telah menjadi metode standar dalam menganalisis kolaborasi di berbagai sektor dengan tujuan mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, pandangan ini mendapat penolakan dari Carayannis & Campbell (2010) yang mengungkapkan bahwa dalam konteks ekonomi yang didasarkan pada pengetahuan, proses inovasi perlu mempertimbangkan elemen-elemen budaya dan nilai-nilai publik.

Gambar 1. Model Quadruple Helix

Sumber: Van Wart et al., 2016

 

Oleh karena itu, mereka mengusulkan model Quadruple Helix yang melibatkan empat pihak utama: negara/pemerintah, industri/bisnis, akademisi/universitas, dan masyarakat umum/sipil yang berfokus pada media dan budaya. Keempat entitas ini dianggap memiliki peran krusial dalam upaya pemberdayaan ekonomi Masyarakat (van Waart et al., 2016). Meskipun begitu, kolaborasi ini dihadapkan pada sejumlah tantangan karena setiap pihak memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga berpotensi menimbulkan konflik antara satu sama lain.

Model Quadruple Helix melibatkan pemerintah, pengusaha, akademisi, dan masyarakat dalam kegiatan yang bersifat kreatif dan intelektual. Penelitian yang dilakukan oleh Sopacua & Primandaru (Sopacua & Primandaru, 2020), menunjukkan pentingnya sinergi di antara semua pihak yang terlibat dalam memperoleh hasil inovatif dari penerapan konsep Quadruple Helix ini. Kolaborasi ditegaskan sebagai faktor kunci sebagai upaya pengembangan. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis akan melakukan penelitian tentang “Model Quadruple Helix Dalam Pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu Yogyakarta” Tujuannya adalah untuk mengetahui implementasi Quadruple Helix dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu Yogyakarta.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Subjek penelitian adalah aktor helix yang terlibat dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta, mencakup pemerintah setempat (Pemerintah Kalurahan Merdikorejo dan tingkat dusun), akademisi (dosen dan mahasiswa yang pernah terlibat dalam memberikan pelatihan di Desa Merdikorejo), masyarakat, karang taruna setempat, dan industri kreatif (Usaha Jamu Bima Sejahtera). Objek penelitian adalah pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta, dengan fokus pada implementasi dan dampak dari model Quadruple Helix dalam pengembangan destinasi wisata tersebut.

Data diperoleh melalui wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, seperti pemerintah setempat, akademisi, masyarakat lokal, dan industri/pengusaha. Selain itu, data juga dikumpulkan melalui observasi lapangan, catatan lapangan, serta informasi terkait dari jurnal, buku, dan internet yang telah terkumpul. Jenis data yang dikumpulkan adalah data deskriptif, berupa narasi tertulis dan transkripsi wawancara lisan.

Proses analisis data dilakukan secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis model interaktif. Tahapan analisis dimulai dari pengumpulan data, diikuti dengan pengkondensasian data untuk mengidentifikasi pola atau tema, penyajian data dalam bentuk yang mudah dipahami, dan akhirnya pembuatan kesimpulan yang didasarkan pada analisis yang telah dilakukan. Proses analisis data merupakan tahapan penting dalam penelitian yang dilakukan secara sistematis untuk mengelola dan menafsirkan informasi yang terkumpul dari sumber seperti wawancara, catatan lapangan, dan materi yang telah terkumpul. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap seluruh data yang dikumpulkan serta memungkinkan penyajian temuan yang ditemukan menjadi lebih jelas dan komprehensif (Ibrahim, 2015). Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian kualitatif, peneliti menggunakan triangulasi data. Triangulasi melibatkan pengumpulan data dari berbagai sumber atau metode untuk memvalidasi temuan.

 

Hasil dan Pembahasan

Potensi dan Peluang yang Dimiliki Desa

Desa menjadi salah satu komponen krusial dalam pengembangan masyarakat di dalamnya. Berbagai potensi dapat dilihat dan dikelola sebagai identitas dari suatu desa. Salah satu daerah dengan kapasitas yang unggul di Indonesia adalah Desa Merdikorejo. Desa Merdikorejo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tempel, Sleman, D.I.Yogyakarta. Berdasarkan letak geografisnya, Desa Merdikorejo terletak di kaki Gunung Merapi dengan ketinggian rata-rata 328 mdpl yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Sementara secara astronomis, Desa Merdikorejo terletak pada koordinat 7°38’6506” LS dan 110°20’44792” BT.

Desa Merdikorejo yang terletak di Tempel, Sleman, Yogyakarta memiliki potensi dalam budidaya dan pengolahan tanaman herbal. Warga Merdikorejo memanfaatkan tanaman herbal sebagai bahan baku pembuatan jamu. Terhitung sampai saat ini, Desa Merdikorejo memiliki lebih kurang 30 penjual jamu tradisional. Banyaknya penjual jamu menunjukkan adanya potensi untuk dilakukan pengembangan pada Desa Merdikorejo. Di sisi lain, potensi tersebut tidak diiringi dengan pembekalan dan pendampingan yang mampu membantu perkembangan usaha tersebut. Hal ini terlihat dari varian jamu yang masih berupa jamu serbuk, penjual yang belum memiliki perizinan, dan pengemasan yang masih sangat tradisional. Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kalurahan (RPJM-kal) Merdikorejo Bab IV tentang kerangka pemikiran strategis RPJM-Kalurahan pada bagian misi poin ke 9 bersamaan dengan potensi yang dimilki dan keinginan masyarakat setempat untuk melestarikan jamu serta diharapkan juga menjadi penghasilan tambahan untuk kesejahteraan warga Dusun Gesikan melalui desa wisata.

Desa Wisata Edukasi Omah Jamu tidak hanya menawarkan atraksi wisata berupa pengalaman wisatawan terlibat langsung dalam proses pembuatan jamu tradisional maupun modern, namun juga terdapat aspek atraksi wisata berupa edukasi taman toga dan galeri jamu yang belum pernah ada sebelumnya khususnya di Yogyakarta. Suguhan atarasi wisata di Desa Wisata Edukasi Omah Jamu juga didukung oleh lingkungan alam yang masih asri, penduduk lokal yang ramah, akses yang sangat dekat dengan jalan raya, serta dekat dengan salah satu objek wisata yaitu watu purbo yang terletak berbeda dusun dengan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Dengan demikian, Desa Wisata Edukasi Omah Jamu memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.

 

Tabel. 1 Produk Wisata yang Ditawarkan

  No

Produk Wisata

1

Praktik pembuatan jamu tradisional

2

Praktik pembuatan jamu modern

3

Taman Toga

4

Galeri Jamu

Sumber: Peneliti

 

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di lapangan melalui wawancara dan observasi langsung kepada masyarakat dan pengelola wisata di Desa Wisata Edukasi Omah Jamu dapat dikatan sudah siap untuk beroperasi. Hal ini dapat dilihat pada unsur atraksi seperti pembuatan jamu secara langsung baik tradisional maupun modern, taman toga, dan galeri jamu. Sudah terdapat pilihan paket wisata dan denah tempat wisata. Juga didukung dengan akses yang mudah di jangkau dari jalan raya. Konsep wisatanyapun emnarik karena langsung di damping oleh pemuda karang taruna dan produsen jamu. Selain itu juga terdapat welcome drink dan souvenir bagi pilihan paket tertentu.

Desa Wisata Edukasi Omah Jamu memiliki produk wisata yang unik sebagai nilai jual desa wisata ini. Posisinya yang masih rintisan menjadi rentan apalabila tidak dikelola dan dikembangkan dengan baik. Pengembangan destinasi pariwisata memerlukan kolaborasi yang terkoordinasi dan berkelanjutan antara para pelaku kepentingan dalam sektor pariwisata. Sebagai desa wisata yang baru saja berdiri, peran dan pemetaan stakeholder tentu menjadi hal yang krusial untuk diketahui dan di petakan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 yang membahas rencana pembangunan induk kepariwisataan nasional tahun 2010-2025, aspek kelembagaan pariwisata menekankan pentingnya kerjasama antara berbagai entitas seperti pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat.

 

Implementasi Model Quandruple Helix

Saat ini, perkembangan pariwisata di Indonesia mengalami peningkatan yang substansial. Perkembangan ini dalam industri pariwisata telah menjadikan sektor ini sebagai kontributor utama pendapatan dari ekspor, penciptaan lapangan kerja, serta perkembangan usaha dan infrastruktur. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata menjadi salah satu program unggulan yang diprioritaskan oleh pemerintah.

Dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta, pola dan model kolaborasi Quadruple Helix menjadi lebih relevan dibandingkan dengan konsep Triple Helix. Hal ini disebabkan karena adanya lebih dari tiga stakeholder yang berperan dalam pengembangan desa wisata ini. Keempat aktor yang terlibat dalam pola kolaborasi ini meliputi pemerintah, industri, intelektual akademis, dan organisasi non-profit atau lembaga swadaya masyarakat. Model Quadruple Helix ini juga menekankan pentingnya budaya dan media, serta partisipasi masyarakat lokal dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi. Partisipasi yang lebih inklusif dari masyarakat lokal dianggap penting karena mereka menjadi sumber inovasi dan kreativitas. Quadruple Helix merupakan pengembangan dari konsep Triple Helix yang telah mengintegrasikan peran civil society dan terintegrasi dengan ilmu pengetahuan dan inovasi.

Dalam kerangka Quadruple Helix, semua stakeholder yang terlibat, termasuk pemerintah, swasta, intelektual akademis, dan masyarakat lokal, berinteraksi dan bertukar pikiran melalui forum diskusi kecil. Masing-masing stakeholder berperan sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya. Pemerintah bertugas merumuskan kebijakan dan regulasi, sementara swasta dan intelektual akademis berperan sebagai penyedia dan mendorong inovasi. Masyarakat lokal tidak hanya sebagai pengguna tetapi juga berperan dalam menghasilkan gagasan konkrit berdasarkan pemahaman mereka tentang kondisi lokal.

Dalam koordinasi berbasis Quadruple Helix, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Sinergi di antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat lokal memungkinkan pengembangan desa wisata edukasi omah jamu yang tidak hanya ekonomis, tetapi juga berkelanjutan secara lingkungan dan memperhatikan kebutuhan serta aspirasi lokal. Oleh karena itu, analisis stakeholder dalam kerangka Quadruple Helix menjadi landasan untuk langkah-langkah konkret dalam mendukung pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu yang berkelanjutan.

1.   Peran Pemerintah

Dalam prosesnya, pemerintah kelurahan dan tingkat RT turut serta dalam diskusi dan musyawarah, serta menyediakan fasilitas dan bantuan dalam pembelian tanah untuk taman toga. Meskipun peran utama pemerintah adalah membuat kebijakan, pemerintah setempat berencana untuk mengeluarkan kebijakan khusus untuk pengurus Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di masa depan. Pemerintah juga aktif dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata dan memastikan ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan. Namun, terdapat beberapa kesempatan di mana perwakilan pemerintah, baik dari kelurahan maupun tingkat RT, absen dalam diskusi penting. Peneliti menilai bahwa pemerintah belum menunjukkan inisiatif yang cukup tinggi untuk hadir secara langsung dalam semua kegiatan. Meskipun demikian, pemerintah desa tetap melaksanakan fungsi pengawasan terhadap proses yang berlangsung.

2.   Peran Masyarakat

Dalam proses pengembangan, masyarakat terlibat secara aktif dalam diskusi dan pelaksanaan di lapangan hal ini menunjukkan tingginya antusiasme mereka terhadap desa ini. Mereka berharap bahwa keberadaan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu akan membuka peluang pekerjaan bagi warga setempat. Partisipasi masyarakat tercermin dalam berbagai kegiatan gotong royong, pembangunan taman toga, pelatihan, pendampingan, dan pembuatan gapura. Masyarakat tidak hanya memberikan dukungan fisik, tetapi juga memberikan saran dan masukan untuk pengembangan desa di masa depan. Beberapa warga bahkan terlibat langsung menjadi pengurus Desa Wisata Edukasi Omah Jamu hal ini menunjukkan rasa memiliki terhadap desa tersebut. Meskipun tidak semua warga berpartisipasi aktif dan masih ada yang kurang berminat, namun mayoritas, sekitar 80%, telah turut serta dan berperan dalam proses pengembangan.

3.   Peran Akademisi

Dalam proses pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, akademisi dari UPN Veteran Yogyakarta, terdiri dari dosen dan mahasiswa, telah memberikan kontribusi yang signifikan. Mereka telah menyelenggarakan berbagai pelatihan dan program pendampingan kepada berbagai pihak, termasuk produsen jamu, pengurus desa, dan karang taruna. Pelatihan yang telah dilakukan mencakup berbagai aspek, seperti branding, konsep wisata, kepariwisataan, dan pembuatan jamu tradisional serta taman toga. Di lapangan, akademisi juga telah memberikan masukan yang berharga terkait konsep wisata dan pembuatan taman toga, mengingat pentingnya kesesuaian tanah dengan jenis tanaman yang ditanam. Secara keseluruhan, peran akademisi telah sangat positif, namun diharapkan bahwa mereka akan terus memberikan pelatihan secara berkala kepada berbagai pihak terkait, seperti pemerintah desa, Pokdarwis, pengurus Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, produsen jamu, dan masyarakat setempat.

4.   Peran Pelaku Usaha

Dalam upaya pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, sektor industri atau UMKM setempat, seperti Usaha Jamu Bima Sejahtera, ikut memainkan peran dalam mendukung promosi dan pemasaran. Mereka tidak hanya membantu dalam mempromosikan destinasi tersebut dengan membuka kios kecil dan menyediakan souvenir jamu, tetapi juga aktif terlibat dalam proses pembuatan taman toga serta menyediakan gerobak untuk menjual jamu siap minum dan produk-produk jamu lainnya. Meskipun demikian, peran sektor industri dalam pengembangan desa wisata masih belum maksimal karena keterlibatan baru terlihat dari satu sektor saja. Untuk itu, diharapkan adanya kolaborasi lebih lanjut antara sektor industri dengan sektor lainnya, seperti transportasi, akomodasi, dan kuliner, guna mendukung pengembangan desa wisata secara menyeluruh dan berkelanjutan.

            Setiap pemangku kepentingan yang terlibat dalam kolaborasi Quadruple Helix memiliki tanggung jawab dan peran yang unik, sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya masing-masing. Namun, sebagai bagian dari sebuah sistem atau pola yang kompleks, setiap aktor dalam helix harus bekerja sama dan berkolaborasi secara menyeluruh untuk menciptakan kesatuan yang kokoh dan solid. Aktor-aktor yang berperan dengan optimal dapat menjalankan fungsi mereka dengan baik tanpa terlalu tergantung pada aktor lainnya. Ilustrasi di bawah ini akan menggambarkan bagaimana pola interaksi yang terbentuk antara aktor-aktor dalam konsep Quadruple Helix dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta.

 

Gambar 2. Model Quadruple Helix Pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu

Sumber: Peneliti

 

Gambar 2 diatas merupakan hasil analisis peran dan kolaborasi yang dilakukan oleh masing-masing aktor helix. Dalam analisis yang digambarkan pada Diagram 2 ini, terlihat bahwa interaksi antara keempat helix menjadi kunci dalam usaha meningkatkan ekonomi lokal. Meskipun stakeholder yang terlibat saling berinteraksi, namun belum terlihat adanya kesepahaman yang jelas mengenai visi dan misi yang ingin dicapai. Setiap pihak berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing, namun belum ada arah yang sama yang dikejar secara bersama-sama. Oleh karena itu, dengan diterapkannya metode Quadruple Helix yang lebih maksimal kedepannya dalam pengembangan bisnis, diharapkan bahwa setiap stakeholder dapat bekerja secara lebih terkoordinasi dan bergerak menuju pencapaian tujuan bersama, yakni pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Namun tidak dapat dihindari, masing-masing aktor helix memiliki kepentingannya sendiri. Perbedaan kepentingan inilah yang menjadi tantangan dalam kolaborasi.

 

Kerjasama Kolaboratif Quadruple Helix

            Dalam kerjasama kolaboratif, terjadi harmonisasi antara visi, tujuan, strategi, dan aktivitas antara semua pihak yang terlibat, meskipun setiap entitas memiliki otoritas independen dalam mengambil keputusan dan mengelola organisasinya sendiri. Namun, mereka tetap terikat pada kesepakatan bersama (Dwiyanto, 2011). Intinya, setiap pihak dalam kolaborasi memiliki kepentingan yang unik dan menyumbangkan solusi alternatif untuk menangani masalah, namun tetap mematuhi prinsip kesepakatan bersama. Kolaborasi antara empat aktor di Desa Merdikorejo dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu diinisiasi karena adanya keterbatasan kapasitas, sumber daya, dan jaringan yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder (Subarsono, 2016). Meskipun demikian, kerjasama ini memungkinkan penyatuan komponen yang mendukung pencapaian target dan tujuan bersama.

Ada lima karakteristik yang terus ditekankan oleh setiap aktor helix di Desa Merdikorejo untuk memelihara kerjasama kolaboratif:

  1. Inisiasi forum diskusi dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak hanya oleh pemerintah atau akademisi.
  2. Peserta memiliki keterlibatan langsung dalam pembuatan keputusan, tanpa terikat pada aktor publik.
  3. Forum melibatkan aktor non-publik, menunjukkan bahwa setiap aktor memiliki peran yang setara, dan ide dapat berasal dari siapa pun.
  4. Forum diselenggarakan secara bersama-sama dan mencapai konsensus dalam pembuatan keputusan.
  5. Kolaborasi antar stakeholder difokuskan pada pengambilan keputusan yang optimal untuk mencapai kesuksesan program secara bersama-sama.

 

Berdasarkan kelima karakteristik yang telah diuraikan, terbuka peluang untuk mengeksplorasi gagasan inovatif yang tak terbatas dalam pengembangan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu di Yogyakarta. Inovasi tersebut muncul sebagai respons terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi serta memanfaatkan peluang yang ada. Dengan kehadiran Desa Wisata Edukasi Omah Jamu, diharapkan masyarakat akan lebih memperhatikan dan merawat tradisi jamu, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada pembangunan desa mereka sendiri. Selain itu, kehadiran desa wisata ini diharapkan juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi kesejahteraan warga Dusun Gesikan melalui kegiatan wisata edukasi yang dilakukan di desa tersebut.

 

Tabel 2. Penciptaan Inovasi Baru Hasil dari Kolaborasi Quadruple Helix

Bentuk Inovasi

Bentuk kegiatan

Sasaran

Inovasi mille crepes jamu

Memberikan pelatihan cara membuat mille crepes rasa jamu

Bima Sejahtera dan pengurus desa wisata

Pembuatan galeri Jamu

·       Pengadaan tempat

·       Mencari bahan artikel, dokumentasi, dan alat

·       Penataan galeri

Pemerintah desa, karang taruna, mahasiswa dan pengurus desa wisata

Pembuatan POC

·       Mengumpulkan limbah jamu

·       Praktik pembuatan pupuk organic cair sederhana

Bima Sejahtera dan mahasiswa Teknik kimia

Kerjasama

·       Menjalin relasi dengan pihak luar (NGO, sekolah-sekolah, pemerintah)

Pengurus desa wisata, pemerintah setempat, mahasiswa humas.

Sumber: Peneliti

 

Inovasi yang terbentuk melalui kolaborasi Quadruple Helix, yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, dan masyarakat, menawarkan potensi besar bagi semua pihak yang terlibat. Meskipun penerapannya memerlukan evaluasi yang berkala, lima karakteristik yang muncul dari kolaborasi ini menghasilkan konsep inovatif yang menjanjikan. Komitmen dan konsistensi dari setiap pemangku kepentingan menjadi kunci utama dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk mendorong kreativitas dan inovasi dapat berasal dari berbagai pihak, sehingga keunggulan pariwisata lokal dapat dipertahankan meskipun munculnya destinasi baru yang beragam. Karena inovasi dan kreativitas yang dihasilkan sulit ditiru oleh pesaing, penting untuk mengembangkan dan menerapkan kondisi pasar, memahami kebutuhan konsumen, dan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh.

Mendorong kreativitas untuk menciptakan inovasi baru harus terus dilakukan agar tetap kompetitif di tengah persaingan yang semakin ketat di industri pariwisata. Kreativitas perlu didorong untuk menghasilkan ide-ide baru yang menghasilkan produk dan layanan yang dapat bersaing dengan standar kualitas tinggi dan tetap memenuhi kebutuhan pelanggan. Kolaborasi Quadruple Helix menjadi krusial untuk mencapai hasil optimal dari kreativitas dan inovasi, sehingga usaha untuk terus meningkatkan perbaikan dapat terus dilakukan.

Implementasi model Quadruple Helix dan kolaborasinya tentu belum sempurna. Sehingga diperlukan evaluasi berkala agar tujuan, visi, dan misi bersama tetap terus diingat dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Masih ditemukan pada kenyataan di lapangan, pemerintah bisa dibilang belum terlalu aktif baik dalam proses maupun upaya memaksimalkan potensi yang dimiliki. Pada beberapa kesempatan pejabat pemerintah tidak ikut dalam proses pembuatan konsep wisata. Padahal peran pemerintah desa sangat dibutuhkan dalam hal ini. kemudian, kenyataan di lapangan menunjukan bahwa masih masyarakat sangat berperan aktif pada setiap kegiatan. Baik itu kegiatan gotong royong, pembuatan taman toga, dan pendirian gapura meskipun tidak semua masyarakat ikut terlibat. Dalam pelaksanaanya peran akademisi telah melakukan kolaborasi seperti turut memberikan pelatihan seperti branding dan konsep wisata kepada produsen jamu, masyarakat, dan pemuda karang taruna. Namun, pelatihan ini belum terjadwal dengan baik. Serta, kenyataan di lapangan menunjukan bahwa industri swasta masih minim kontribusi dalam tahap pembentukan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Pihak pengusaha seolah-olah hanya ingin terlibat saat desa wisata sudah terbentuk dan siap beroperasi. Meski demikian, beberapa upaya yang telah dilakukan masing-masing aktor juga tidak dapat remehkan. Mereka telah memberikan upaya terbaik versi mereka meskipun belum maksimal dan sempurna. Oleh karenya, komunikasi dan kolaborasi menjadi kunci agar kedepannya dapat meminimalisir konflik perbedaan kepentingan dan ketidakikutsertaan.

 

Kesimpulan

            Desa Wisata Edukasi Omah Jamu seyogyanya dapat dengan baik menerapkan model Quadruple Helix yang dapat menciptakan kolaborasi dan inovasi baru yang didukung oleh semua aktor helix. Nyatanya, adanya kolaborasi ini dapat menciptakan inovasi baru untuk Desa Wisata Edukasi Omah Jamu. Kolaborasi dan dukungan antar helix dapat mengembangkan Desa Wisata Edukasi Omah Jamu dan meningkatkan pendapatan warga. Namun, potensi konflik akibat adanya perbedaan kepentingan masing-masing aktor menjadi tantangan tersendiri. Masing-masing aktor harus memiliki tujuan yang sama dan dilaksanakana berdasarkan kemampuan serta kapasitas masing-masing. Masyarakat tidak hanya diharapkan sebagai penerima ide dan kreativitas dari elemen Quadruple Helix lainnya, melainkan juga dapat menjadi sumber kreativitas dan inovasi itu sendiri. Ketika kreativitas dan inovasi berasal dari masyarakat, produk-produk tersebut akan memiliki keunggulan dan daya saing yang lebih baik. Karenanya, kerjasama yang efektif antara semua elemen Quadruple Helix menjadi krusial untuk menjamin keberadaan kreativitas dan inovasi.

 

BIBLIOGRAFI

 

BPS DIY. (2023, Juni). Retrieved from Perkembangan Pariwisata D.I. Yogyakarta, Juni 2023: https://yogyakarta.bps.go.id/pressrelease/2023/08/01/1293/perkembangan-pariwisata-d-i--yogyakarta--juni-2023.html

Björk, P. (2014). The DNA of Tourism Service Innovation: A Quadruple Helix Approach. Journal of the Knowledge Economy, 5(1), 181–202. https://doi.org/10.1007/s13132-014-0183-x

Campbell, D. F. J., Carayannis, E. G., & Rehman, S. S. (2015). Quadruple Helix Structures of Quality of Democracy in Innovation Systems: the USA, OECD Countries, and EU Member Countries in Global Comparison. Journal of the Knowledge Economy, 6(3), 467–493. https://doi.org/10.1007/s13132-015-0246-7

Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2010). Triple Helix, Quadruple Helix and Quintuple Helix and How Do Knowledge, Innovation and the Environment Relate To Each Other? International Journal of Social Ecology and Sustainable Development, 1(1), 41–69. https://doi.org/10.4018/jsesd.2010010105

Damanik, A. B. (2006). Perencanaan Ekowisata.

Deby Lia Isnawati, S. (2021). Minuman Jamu Tradisional Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Di. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. 11(2).

Elista, A. K. (2020). Peran Stakeholder dalam Program Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga di KotaSemarang. Journal of Public Policy and Management Review,, 10(3), 363–277.

Etzkowitz, H. &. (2010). Triple Helix System for Knowledge-Based Regional Development : From “Spheres” to “Spaces”. Routledge.

Handayani, F. &. (2017). Analisis Peran Stakeholders Dalam. Journal of Public Policy and, 6(1), 1–13.

Herdiana, D. (2019). Peran Masyarakat Dalam Pengembangan. JUMPA/ 6(1).

Ješić, J., & Pejanović, ; Radovan. (n.d.). Autonomous Province of Vojvodina, Republic of Serbia. Tourism In Function Of Development Of The Republic Of Serbia Tourism as a Generator of Employment. In Trg Dositeja Obradovića. 8.

Kemenparekraf.go.id. (2020). Retrieved from DSP: https://info5dsp.kemenparekraf.go.id/

Leydesdorff, L. (2012). The Triple Helix, Quadruple Helix, …, and an N-Tuple of Helices: Explanatory Models for Analyzing the Knowledge-Based Economy? Journal of the Knowledge Economy, 3(1), 25–35. https://doi.org/10.1007/s13132-011-0049-4

Merdikorejo. (2021). merdikorejosid.slemankab.go.id. Retrieved from RPJMKal Merdikorejo Tahun 2021 - 2026: https://merdikorejosid.slemankab.go.id/first/artikel/93-RPJMKal-Merdikorejo-Tahun-2021---2026

Muzaqi, A. H., & Hanum, F. (2020). Model Quadruple Helix dalam Pemberdayaan Perekonomian Lokal Berbasis Desa Wisata di Desa Duren Sari Kabupaten Trenggalek. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(2), 673–691. https://doi.org/10.22437/jssh.v4i2.11529

Ni’mah A.Hidayah, S. S. (2019). Analisis Peran Stakeholder Dalam Pengembangan Wisata Talang Air. Jurnal Administrasi Publik, 55-71.

Nurul Rahmawati, Y. A. (2020). Peran Dinas Pariwisata dalam Pengelolaan Wisata Minat Khusus di Kabupaten Ponorogo. Jurnal Ilmiah Pariwisata. 25(1).

Putra, A. M. (2006). Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Universitas Udayana. 5(1)

Rebernik, M. (2009). Quadruple Helix of Entrepreneurship and Management Education. University of Maribor, Slovenia. Eview of International Comparative Management.,, 10(5), 1–12.

Russell, M. G., & Smorodinskaya, N. V. (2018). Leveraging complexity for ecosystemic innovation. Technological Forecasting and Social Change, 136, 114–131. https://doi.org/10.1016/j.techfore.

Sopacua, I. O., & Primandaru, N. (2020). Implementasi Quadruple Helix Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Kreatif. Wahana: Jurnal Ekonomi, Manajemen Dan Akuntansi, 23(2), 224–238. https://doi.org/10.35591/wahana.v23i2.238

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,. Bandung: alfabeta.

Van Waart, P., Mulder, I., & de Bont, C. (2016). A Participatory Approach for Envisioning a Smart City. Social Science Computer Review, 34(6), 708–723. https://doi.org/10.1177/0894439315611099

Widjajani, F. A. (2016). Model Quadruple Helix Sebagai Model Inovasi Daerah (Kajian Literatur). Sosiohumanitas Journal. Jurnal-Jurnal Humaniora. 18(1).å

 

 

Copyright holder:

Afifah Misbar, Dewi Novianti (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: