Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 3, Maret 2024

 

PENGUATAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM JASA KESEHATAN: PERBANDINGAN HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

 

Yuyut Prayuti1, Arman Lany2, Novia Eka Sari3, I Kadek Eka Sujana4, ⁠Widya5

Universitas Islam Nusantara, Bandung, Jawa Barat, Indonesia1,2,3,4,5

Email: [email protected]1, ⁠[email protected]2, ⁠[email protected]3, [email protected]4, ⁠[email protected]5

 

Abstrak

Jasa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang esensial. Di era globalisasi ini, banyak masyarakat yang mencari layanan kesehatan di luar negeri karena berbagai alasan. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan sistem perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di tingkat nasional dan internasional serta merumuskan rekomendasi untuk memperkuat perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Teknik pengumpulan data pada peneltian ini yakni dengan studi literatur. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deduktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah secara resmi menetapkan hak dan tanggung jawab serta konsekuensi hukum yang harus dipatuhi oleh penyedia layanan kesehatan dan penerima layanan tersebut. Sedangkan dalam tingkat internasional yang dalam hal ini adalah Singapura, perlindungan konsumen diatur oleh Consumer Protection (Fair Trading) Act 2003 (CPFTA). Undang-undang ini telah mengalami sejumlah revisi, yang paling baru terjadi pada tahun 2020. Terdapat  beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di Indonesia antara lain meningkatkan edukasi dan informasi kepada konsumen tentang hak-hak mereka, memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap penyedia layanan kesehatan, meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang perlindungan konsumen dalam jasa kesehatan.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Konsumen, Jasa Kesehatan, Hukum Nasional, Hukum International

 

Abstract

Health services are one of the essential basic human needs. In this era of globalization, many people seek health services abroad for various reasons. The aim of this research is to compare consumer legal protection systems in health services at national and international levels and formulate recommendations to strengthen consumer legal protection in health services in Indonesia. This research uses normative juridical research methods with a legal comparative approach. The data collection technique in this research is literature study. The data analysis technique used in this research is qualitative analysis using deductive methods. The research results show that consumer legal protection in health services in Indonesia is regulated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law Number 22 of 2009 concerning Hospitals, and Law Number 36 of 2009 concerning Health which have officially stipulated rights and responsibilities as well as legal consequences that must be complied with by health service providers and recipients of these services. Meanwhile, at the international level, in this case Singapore, consumer protection is regulated by the Consumer Protection (Fair Trading) Act 2003 (CPFTA). This law has undergone a number of revisions, the most recent of which occurred in 2020. There are several steps that can be taken to strengthen consumer legal protection in health services in Indonesia, including increasing education and information for consumers about their rights, strengthening regulations and supervision of health service providers, increasing international cooperation in the field of consumer protection in health services.

Keywords: Legal Protection, Consumers, Health Services, National Law, International Law

 

Pendahuluan

Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu. Kesehatan tidak hanya menjadi modal penting bagi individu, tetapi juga bagi kemajuan dan kemakmuran suatu negara. Kesehatan yang baik merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Seorang individu tidak dapat memenuhi potensi atau kebutuhan hidupnya secara optimal jika kondisi kesehatannya terganggu. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kesehatan harus bergerak dengan cepat dan efektif untuk menangani masalah kesehatan yang muncul di tengah masyarakat, sehingga setiap individu dapat menjalani hidup secara layak dan produktif (Ipa et al., 2020).

Meski jasa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang esensial, menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat, diperkirakan terdapat sekitar 210 kasus dugaan malpraktik kedokteran di Indonesia setiap tahunnya (Daeng et al., 2023). Kasus malpraktik ini menjadi salah satu alasan pencarian layanan kesehatan di luar negeri semakin menjadi tren di kalangan masyarakat. Dr. Effiana menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan yang mendasari tren ini. Secara umum, masyarakat merasa tidak puas dengan layanan kesehatan yang tersedia di Indonesia. Selain itu, layanan yang lebih komprehensif di negara tujuan juga menjadi faktor yang signifikan dalam memengaruhi keputusan mereka. Dr. Effiana juga menjelaskan adanya logika kebutuhan di balik perilaku ini, dimana individu merasa khawatir terhadap risiko pengobatan di Indonesia, sehingga mereka menganggap pergi ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan medis sebagai langkah yang masuk akal (UGM, 2023).

Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sekitar satu juta warga Indonesia menjalani perawatan medis di luar negeri setiap tahunnya, terutama di tiga negara tujuan utama seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kehadiran mereka dalam jumlah besar dalam perawatan medis di luar negeri menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$11,5 miliar per tahun, karena jumlah ini mencakup sekitar 600 ribu hingga 1 juta orang dari Indonesia yang mencari perawatan medis di negara lain (Newswire, 2022). Dampak dari situasi tersebut menunjukkan urgensi untuk mengupayakan penguatan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen pelayanan medis. Kurangnya kesadaran akan hak-hak pasien mengakibatkan posisi mereka menjadi rentan dan lemah sebagai konsumen dalam pelayanan publik.

Penelitian terdahulu oleh Wahyudin dan Nufus (2022) meneliti Kebijakan hukum pelayanan kefarmasian di Indonesia suatu tinjauan penguatan dan perlindungan hukum apoteker dan pasien pada layanan kefarmasian, hasil menunjukan bahwa Keberadaan UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan telah meneguhkan keberadaan Apoteker sebagai tenaga kesehatan di Indonesia yang dilengkapi dengan hak-hak yang melekat padanya. Selain itu keberadaan UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan semakin mengukuhkan penguatan Apoteker dalam layanan kefarmasian yakni dengan diberikannya kewenangan yang cukup luas. Akan tetapi agar tidak terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang, Apoteker diberikan batasan (kewajiban) sebagaimana yang termaktub dalam kode etik Apoteker Indonesia yang mencakup kewajiban umum, kewajiban apoteker kepada pasien, kewajiban apoteker kepada teman sejawat dan kewajiban apoteker kepada tenaga kesehatan lainnya.

Penelitian lain oleh Lestari (2023) meneliti rekonstruksi regulasi perlindungan hukum bagi dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan melalui telemedicine berbasis nilai keadilan, hasil penelitian menunjukan bahwa (1) regulasi perlindungan hukum bagi dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan melalui telemedicine belum berbasis nilai keadilan, karena belum ada payung hukum yang mengatur mengingat pelayanan kesehatan melalui telemedicine mempunyai risiko tinggi; (2) rekonstruksi regulasi perlindungan hukum bagi dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan melalui telemedicine berbasis nilai keadilan Pancasila, dari segi: (a) substansi hukum: (i) penguatan instrumen hukum dan (ii) pem- bentukan undang-undang tentang telemedicine; (b) struktur hukum: (i) perbaikan infrastruktur komunikasi, (ii) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, serta (iii) sinergitas dan kesepahaman organisasi kesehatan dan pihak terkait; serta (c) budaya hukum: (i) peningkatan kesadaran hukum tenaga kesehatan dan masyarakat, dan (ii) penyuluhan dan pembinaan bagi masyarakat tentang penting- nya telemedicine.

Kebaharuan penelitian ini adalah dari obyek penelitiannya yakni belum adanya penelitian yang membandingkan sistem perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di tingkat nasional dan internasional. Hasil penelitian ini dapat memberikan dasar untuk pengembangan kebijakan yang lebih efektif dalam perlindungan konsumen dalam layanan kesehatan di tingkat Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan sistem perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di tingkat nasional dan internasional serta merumuskan rekomendasi untuk memperkuat perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan mengkaji hukum sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang (Harman et al., 2020). Teknik pengumpulan data pada peneltian ini yakni dengan studi literatur. Teknik pengumpulan studi literatur merupakan suatu proses sistematis untuk mengumpulkan, mengevaluasi, dan menyintesis informasi dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan topik (Teguh et al., 2023). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.

 

Hasil dan Pembahasan

Kesehatan adalah kebutuhan setiap manusia yang harus dipenuhi. Sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia (Heriani & Munajah, 2019). Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan memberikan definisi tentang upaya kesehatan pada Pasal 1 angka 11 yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan deraiat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Listianingrum et al., 2019).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit didefinisikan sebagai fasilitas medis yang menawarkan layanan kesehatan perorangan dengan sepenuhnya, termasuk rawat inap, rawat jalan, serta gawat darurat (Sitorus et al., 2021). Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan non medis, bertanggungjawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki tanggungjawab terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan wewenang seorang dokter. Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya (Mende et al., 2019).

Hukum positif Indonesia pelayanan kesehatan ditentukan dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang diatur dalam Pasal 1. Ketentuan pelayanan kesehatan dalam perspektif UU Kesehatan terdiri dari pelayanan kesehatan promotif, Pelayanan kesehatan preventif, Pelayanan kesehatan kuratif, Pelayanan kesehatan rehabilitatif, dan Pelayanan kesehatan tradisional. Merujuk dalam Pasal 1 angka 12 ditentukan pengertian dari pelayanan kesehatan promotif yakni “ suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.” Lebih lanjut pelayanan kesehatan preventif sesuai Pasal 1 angka 13 ialah “suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.” Pelayanan kesehatan kuratif dalam Pasal 1 angka 14 yakni “suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.”Selanjutnya yang dimaksud pelayanan kesehatan rehabilitative pada Pasal 1 angka 15 adalah “kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.” (Yuliana & Bagiastra, 2021).

Rumah Sakit yang merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat disediakan untuk kepentingan masyarakat dalam hal peningkatan kualitas hidup. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula (Indarta, 2019).

Dalam pelaksanaan tindakan pelayanan kesehatan, tenaga medis, yaitu dokter maupun perawat tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan dokter dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya (dalam istilah medis/hukum kejadian ini disebut malpraktik) dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien sebagai korban malpraktik. Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat memintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/ kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian (Jadda, 2017).

Berlakunya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan peraturan lainnya yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan pemeliharaan kesehatan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya dapat melindungi korban malpraktik berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban, sehingga apa yang menjadi tujuan dari hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan benar-benar dapat dilaksanakan sepenuhnya (Sibarani, 2017).

Perlindungan didefinisikan sebagai tempat berlindung, hal atau perbuatan, memperlindungi. Perlindungan kemudian dapat diartikan sebagai perbuatan memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan keda- maian dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau risiko yang mengancamnya (Utami & Alawiya, 2018). Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara, dan dilain sisi bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat sebagai manusia. Sehingga pengakuan dan perlindungan terhadap hak tersangka sebagai bagian dari hak asasi manusia tanpa membeda- bedakan (Putra et al., 2023).

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal ini serupa dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM yang juga menyebutkan bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum (Trihandini, 2020).

Perlindungan konsumen di Indonesia didasari dari adanya asas hukum utama yang dianut di Indonesia yaitu Pancasila. Sila Kelima Pancasila mengatakan bahwa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlindungan Konsumen di Indonesia diatur dalam UUPK. Pasal 1 angka 1 UUPK dengan jelas mengatakan bahwa tujuan utama dari pembentukan UUPK yaitu untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Pasal 1 poin 2 UUPK menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Doly, 2012).

Pasien di Indonesia mendapat perlindungan hukum sebagai konsumen pelayanan kesehatan Rumah Sakit melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Undang-undang ini menetapkan hak-hak konsumen, termasuk hak untuk memperoleh informasi yang akurat dan lengkap tentang produk dan layanan yang mereka beli, hak untuk memilih produk dan layanan, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan wajar. Dalam konteks pelayanan kesehatan Rumah Sakit, hal ini berarti bahwa pasien memiliki hak untuk diberitahu tentang pelayanan yang akan mereka terima, biaya yang terkait dengan pelayanan tersebut, dan segala potensi risiko atau efek samping (Puswitasari, 2022).

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi (Pramono & Kusumaningrum, 2022).

Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Selain diaturnya mengenai pedoman Teknis Pelayanan Rumah Sakit guna memberikan perlindungan bagi konsumen pada saat menggunakan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Beberapa dasar hukum yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan jaminan perlindungan bagi para pasien di rumah sakit yang dalam hal ini yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Selanjutnya dalam Undang-Undang kesehatan menegaskan pula mengenai perlindungan pasien apabila dirugikan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan yang termaktub pada ketentuan Pasal 58 UU Kesehatan yang menegaskan bahwa pasien memiliki hak menuntut ganti kerugian terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya (Santoso, 2022).

Pada Sari (2018) perlindungan konsumen di Indonesia memiliki beberapa tujuan yang termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya yaitu:

a.     Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri.

b.     Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c.     Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d.     Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e.     Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.

f.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Adapun undang-undang perlindungan konsumen di negara Singapura ditetapkan dalam The Consumer Protection (Fair Trading) Act (CPFIA) tahun 1975, yang kemudian diamendemen pada tahun 2009, amandemen terbaru dilakukan pada tahun 2020. CPFTA berlaku untuk sebagaian besar transaksi konsumen, tetapi tidak berlaku untuk penjualan tanah dan rumah, kontrak kerja dan pegadaian. Peran penting CPFTA yaitu untuk melindungi konsumen Singapura dari praktik-praktik tidak adil dan memberikan hak tambahan sehubungan dengan barang-barang yang tidak sesuai dengan kontrak dan untuk hal-hal yang relevan. Selain it bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri (Masrukhin, 2023). Peraturan yang mulai efektif diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2004 ini, menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan praktik yang tidak adil, yaitu:

Article 4

a)  to do or say anything, or omit to do or say anything, if as a result a consumer might reasonably be deceived or misled;

b)  to make a false claim;

c)   to take advantage of a consumer if the supplier knows or ought reasonably to know that the consumer

(i)     is not in a position to protect his own interests; or

(ii)   is not reasonably able to understand the character, nature, language or effect of the transaction or any matter related to the transaction; or

d)  without limiting the generality of paragraphs (a), (b) and (c), to do anything specified in the Second Schedule.

Atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti:

Pasal 4

a)   melakukan atau mengatakan sesuatu, atau tidak melakukan atau mengatakan apa pun, jika akibatnya konsumen mungkin tertipu atau disesatkan;

b)  membuat tuntutan palsu;

c)   mengambil keuntungan dari konsumen jika pemasok mengetahui atau seharusnya mengetahui konsumen tersebut

(a)  tidak mampu melindungi kepentingannya sendiri; atau

(b)  tidak dapat memahami secara wajar karakter, sifat, bahasa atau akibat dari transaksi atau hal apa pun yang terkait dengan transaksi tersebut; atau

d)  tanpa membatasi keumuman ayat (a), (b) dan (c), untuk melakukan apapun yang ditentukan dalam Jadwal Kedua.

Sama halnya dengan Indonesia, di Singapura terdapat organisasi yang khusus menampung permasalahan terkait perlindungan konsumen yang sifatnya mandiri (non- pemerintah) dan non-profit, bernama Consumer Association of Singapore (CASE). Melalui organisasi ini, para konsumen yang merasa haknya terlanggar dapat mengajukan aduan untuk akhirnya dapat dibantu proses penyelesaiannya sesuai dengan apa yang diatur dalam CPFTA (Rasyid & Apriani, 2017).

Penguatan perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan, baik di Indonesia maupun Singapura, menjadi penting dalam menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Melalui undang-undang dan regulasi yang mengatur hak-hak konsumen serta mekanisme penyelesaian sengketa, pasien sebagai konsumen jasa kesehatan dilindungi dari praktik-praktik tidak adil dan kesalahan dalam pelayanan medis. Organisasi independen seperti Consumer Association of Singapore (CASE) juga memiliki peran yang signifikan dalam memfasilitasi penyelesaian aduan dan memberikan bantuan kepada konsumen yang merasa haknya terlanggar, memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan diperjuangkan.

 

Kesimpulan

Di Indonesia perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan diatur oleh beberapa undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketiga undang-undang tersebut secara resmi menetapkan hak, tanggung jawab, dan konsekuensi hukum yang harus dipatuhi oleh penyedia layanan kesehatan dan penerima layanan tersebut di Indonesia. Di sisi lain seperti di Singapura, perlindungan konsumen di sektor jasa kesehatan diatur oleh Consumer Protection (Fair Trading) Act 2003 (CPFTA). Undang-undang tersebut telah mengalami revisi beberapa kali, dengan yang terbaru terjadi pada tahun 2020. Upaya untuk memperkuat perlindungan hukum konsumen dalam jasa kesehatan di Indonesia, beberapa langkah dapat diambil, seperti meningkatkan edukasi dan informasi kepada konsumen tentang hak-hak mereka, memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap penyedia layanan kesehatan, serta meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang perlindungan konsumen dalam jasa kesehatan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan konsumen dan kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Daeng, Y., Ningsih, N., Khairul, F., Winarsih, S., & Zulaida, Z. (2023). Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit dan Tenaga Medis Di Atas Tindakan Malpraktik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Innovative: Journal Of Social Science Research, 3(6), 3453-3461.

Doly, D. (2012). Upaya Penguatan Perlindungan Konsumen Di Indonesia Terkait Dengan Klausula Baku. Negara Hukum. 3(1), 41-58.

Harman, R., & Afridawati, A. (2020). Perbandingan Yuridis Empiris Dan Yuridis Normatif. Istishab: Journal of Islamic Law, 1(02), 90-97.

Heriani, I., & Munajah. (2019). Aspek Legalitas Terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional Di Indonesia. Al’Adl. 11(2), 197-206.

Indarta, D. (2019). Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan (Studi Di Rumah Sakit Ibnu Sina Bojonegoro). Justitiable. 1(2), 85-112.

Ipa, A., Pratama, R., Hasan, Z. A., & Husniyah, H. (2020). Penguatan Kemitraan Dengan Kader Kesehatan Dalam Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Program Kesehatan Untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Dan Anak Di Wilayah Desa Binaan. Media Implementasi Riset Kesehatan, 1(1).

Jadda, A. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan. Madani Legal Review. 1(1), 1-28.

Lestari, R. D. (2023). Rekonstruksi Regulasi Perlindungan Hukum Bagi Dokter Dan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Berbasis Nilai Keadilan (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

Listianingrum, D. M., Budiharto., &Mahmudah, S. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Kesehatan Berbasis Aplikasi Online. Diponegoro Law Journal. 8(3), 1889-1904.

Masrukhin, M. (2023). Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Rangka Mewujudakan Perlindungan Konsumen Yang Berbasis Nilai Keadilan (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

Mende, J., Maramis, R., & Tampanguma, M. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Rawat Inap Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan. Lex Administratum. 12(5).

Newswire. (2022). Sejuta Orang Indonesia Berobat ke Luar Negeri Setahun, US$11,5 Miliar Melayang. https://kabar24.bisnis.com/read/20220325/15/1514898/sejuta-orang-indonesia-berobat-ke-luar-negeri-setahun-us115-miliar-melayang. Diakses pada 1 Maret 2024.

Pramono, A., & Kusumaningrum, A. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Transaksi Terapeutik. Jurnal Jispendiora. 1(1), 109-122.

Puswitasari, A. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan (JKN) Rumah Sakit. Jurnal Hukum, Politik Dan Ilmu Sosial (JHPIS). 1(2), 227-235.

Putra, C., Budhiartha, I., & Ujianti, N. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Persfektif Kesadaran Hukum Masyarakat. Jurnal Analogi Hukum. 5(1). 86–92.

Rasyid, N. F. C., & Apriani, R. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari Para Pelaku Usaha Yang Melakukan Overprice. Res Judicata6(1), 51-59.

Santoso, E. (2022). Bentuk Perlindungan Hukum Hak Konsumen Dalam Menggunakan Jasa Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kertha Semaya. 10(3), 603-615.

Sari, S. D. (2018). Perlindungan Hukum Konsumen Jasa Medis Atas Penelantaran Pelayanan Oleh Rumah Sakit. Journal Diversi. 4(1), 52-79.

Sibarani, S. (2017). Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktik Dilihat Dari Sudut Pandang Hukum Di Indonesia. Justitia Et Pax. 33(1), 1-22.

Sitorus, C. D., Manfarisyah., & Abidin, Z. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Tentang Pelayanan Kesehatan Pasien Umum Dengan Pasien Pengguna Bpjs Kesehatan (Studi Di Rsud H Abdul Manan Simatupang Kisaran). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH). 4(3), 382-392.

Teguh, M. T. S., Wulan, T. N., & Juansah, D. E. (2023). Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif dan Kualitatif pada Metode Penelitian. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 8(3), 5962-5974.

Trihandini, D. (2020). Konsep Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Medis Dalam Penanganan Covid-19. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi. 8(2), 52-64.

UGM. (2023). Fenomena Berobat ke Luar Negeri Masyarakat Indonesia. https://fkkmk.ugm.ac.id/fenomena-berobat-ke-luar-negeri-masyarakat-indonesia/. Diakses pada 1 Maret 2024.

Utami, N., & Alawiya, N. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional Di Indonesia. Volksgeist. 1(1), 11-20.

Wahyudin, W., & Nufus, L. S. (2022). Kebijakan Hukum Pelayanan Kefarmasian Di Indonesia (Suatu Tinjauan Penguatan Dan Perlindungan Hukum Apoteker Dan Pasien Pada Layanan Kefarmasian). Jurnal Risalah Kenotariatan, 3(1).

Yuliana, N., & Bagiastra, I. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Yang Menderita Kerugian Akibat Salah Diagnosis Dalam Platform Layanan Kesehatan Online. Jurnal Kertha Wicara. 10(8), 645-653.

 

Copyright holder:

Yuyut Prayuti, Arman Lany, Novia Eka Sari, I Kadek Eka Sujana, ⁠Widya (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: