Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
3, Maret 2024
PATI RESISTEN DARI BERAS PATAH DENGAN METODE AUTOCLAVING-COOLING
DUA SIKLUS
Ulfah Mariatul Hasanah1,
Dede Zainal Arif 2, Yuyun Lusini3*, Mirwan
Abu Bakar Sidiq4, Yorike Bonita5
Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara, Depok, Jawa Barat, Indoenesia1, 3, 4, 5
Universitas Pasundan,
Bandung, Jawa Barat,
Indoenesia2
Email:
yuyunlusini68@gmail.com*
Abstrak
Pati resisten merupakan jenis pati yang memiliki resistensi terhadap enzim amilase dalam pencernaan
manusia. Pengolahan pati resisten dari
beras pecah dengan metode autoklaf-pendinginan
telah terbukti dapat mengurangi sisa produk sampingan,
namun proses retrogradasi selama pendinginan membutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun demikian, penggunaan beras pecah masih
terbatas karena kualitas patinya yang lebih rendah dibandingkan
dengan beras utuh. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh suhu dan waktu
retrogradasi terhadap produksi pati resisten
dari beras pecah, dengan fokus
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kandungan pati resisten. Retrogradasi dilakukan pada berbagai suhu (-20°C, -10°C, dan 4°C) dengan waktu retrogradasi 18 dan 24 jam. Penelitian ini menggunakan desain faktorial Randomized Block
Design (RBD) untuk mengolah
data. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suhu dan waktu retrogradasi
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kandungan pati resisten pada beras
pecah. Kandungan pati resisten tertinggi
ditemukan pada sampel yang mengalami retrogradasi pada suhu 4°C selama 18 jam, ditandai dengan sampel a1b2. Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa suhu dan waktu retrogradasi
memengaruhi produksi pati resisten dari
beras pecah. Retrogradasi pada suhu 4°C selama 18 jam menghasilkan kandungan pati resisten yang paling tinggi, menunjukkan potensi untuk meningkatkan
kualitas pati dari beras pecah.
Kata kunci: Beras Pecah, Pati
Resisten, Retrogradasi
Abstract
Resistant starch is a type
of starch that exhibits resistance to human digestive enzyme amylase.
Processing resistant starch from broken rice using the autoclave-cooling method
has been shown to reduce waste by-products, although the retrogradation process
during cooling requires a significant amount of time. However, the use of
broken rice is still limited due to its lower starch quality compared to whole
rice grains. This study aims to analyze the effects
of temperature and retrogradation time on the production of resistant starch
from broken rice, specifically focusing on their influence on resistant starch
content. Retrogradation was conducted at various temperatures (-20°C, -10°C,
and 4°C) for 18 and 24 hours. This research employed a factorial Randomized
Block Design (RBD) to process the data. The results indicate that temperature
and retrogradation time significantly affect the resistant starch content in
broken rice. The highest resistant starch content was found in the sample
subjected to retrogradation at 4°C for 18 hours, identified as sample a1b2. In
conclusion, temperature and retrogradation time influence the production of
resistant starch from broken rice. Retrogradation at 4°C for 18 hours resulted
in the highest resistant starch content, suggesting the potential to enhance
the quality of starch from broken rice.
Keywords: Broken Rice, Resistant Starch,
, Retrogradation
Pendahuluan
Pati resisten atau Resistant Starch (RS) adalah
pati yang terdiri dari molekul kecil dengan 20-25 monomer glukosa, polisakarida
linear yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen (Zhou dkk., 2014). Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat dicerna oleh
enzim-enzim pencernaan manusia sehingga mempunyai fungsi fisiologis seperti
serat pangan (Pangastuti & Permana, 2021). Pada usus besar pati resisten berperan sebagai prebiotik karena dapat
membantu proses fermentasi dengan menghasilkan metabolit penting seperti asam
lemak rantai pendek, ini terjadi dikarenakan pati resisten tidak dapat dipecah
oleh enzim amilase menjadi D-glukosa pada pencernaan bagian atas (Zhang dkk., 2015). Menurut Pangastuti dan Permana (2021) kadar Pati Resisten dalam sampel dapat mengurangi
daya cerna pati in vitro sehingga dapat membantu resiko diabetes, kolesterol,
obesitas, serta berbagai penyakit degeneratif lainnya. (Polesi dkk., 2017).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI, pada tahun 2018, pengendalian diabetes melitus
sebanyak 80,2% diupayakan melalui pengaturan makan, 48,1% melalui olahraga, dan
35,7% melalui alternatif herbal. Pengaturan pada makanan mempunyai tingkat
prioritas upaya pengendalian paling tinggi dan dapat menjadi fokus masyarakat.
Pada tahun 2018, sebanyak 21,8% penduduk dewasa (≥18 tahun) mengalami obesitas,
sedangkan untuk obesitas sentral pada usia ≥15 tahun terdapat sebanyak 31%, ini
menunjukan kenaikan masing-masing sebesar 7% dan 4,4% dibandingkan data pada
tahun 2013. Dengan kejadian epidemi global obesitas dan diabetes
tipe II, lebih banyak penelitian berfokus pada pati resisten dan diet pati
resisten tinggi (Kumar et al., 2018). Pati resisten
tampaknya dapat menjadi serat makanan yang menjanjikan untuk pencegahan atau
pengobatan obesitas (Zhang dkk., 2015).
Sebagai makanan pokok, nasi adalah makanan intervensi
diet yang ideal. Meningkatkan kandungan pati resisten dalam beras penting untuk
memenuhi intervensi (Yi dkk., 2021). Sebagai produk
samping dari produksi beras utuh, beras patah
umumnya diolah menjadi tepung beras, yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan
baku pada berbagai produk pangan. Untuk meningkatkan harga jual tepung beras
dipasaran, beras patah dapat dikembangkan menjadi pati resisten dengan kadar
tinggi (Rozali dkk. 2018).
Metode pengolahan pati resisten secara fisik lebih
banyak digunakan karena tidak mengasilkan residu produk samping. Salah satu
metode fisik yang banyak digunakan yaitu dengan teknik autoclaving-cooling,
proses ini akan menghasilkan rekristalisasi amilosa yang merupakan pati
resisten tipe 3 (Silitonga dkk., 2021). Pati resisten tipe
3 dibuat dengan cara pemanasan dan pendinginan ulang. Rekristalisasi amilosa dalam pembentukan pati resisten tipe 3 dapat
meningkatkan kadar pati resisten pada bahan mencapai 18,5‒18,7 % (Rozali dkk., 2018). Prinsip teknik autoclaving-cooling yaitu
berdasarkan proses pemanasan suspensi pati pada autoklaf akan meningkatkan
proses gelatinisasi pati dan terbentuk pati rantai pendek lebih banyak sehingga
pada proses retrogradasi selanjutnya akan menghasilkan pati resisten (Setiarto & Yunirma., 2015).
Pati
ketika dipanaskan atau saat proses gelatinisasi ke berbagai tingkat mengarah
pada pembentukan pati resisten (RS). Pati resisten dapat diperoleh dengan
mengkondisikan pati pada suhu 120°C selama 20 menit (gelatinisasi), diikuti
oleh pendinginan ke suhu kamar dapat memberikan hasil RS yang baik. Hasil yang
baik dari RS3 diperoleh dengan berbagai kombinasi waktu dan suhu perlakuan
terhadap berbagai sumber pati asli. Perlakuan suhu saat autoklaf pati pada
110°C, 121°C, 127°C, dan 134 °C, dapat meningkatkan kadar pati resisten (Ashwar
et al., 2016).
Hasil
rendemen maksimum pati yang mudah dicerna mencapai 39,3-56,7% setelah proses
dual retrogradasi (gelatinisasi-retrogradasi-gelatinisasi-retrogradasi) dalam
pati beras. Retrogradasi memainkan peran penting pada kualitas dan kecernaan
produk makanan. Pendinginan makanan bertepung setelah pemanasan dalam air
berlebih mengarah pada pembentukan kristal yang menghambat pencernaan pati
(Rosida dkk., 2016). Retrogradasi dengan pendinginan pada pati tergelatinisasi
mendorong pembentukan pati resisten (Interpares dkk., 2015).
Proses
autoklaf dan waktu penyimpanan saat proses retrogradasi pada suhu ruang yang
lama hingga 72 jam meningkatkan hasil pati resisten. Waktu penyimpanan hasil
autoklaf pada suhu ruang setelah autoklaf atau proses cooling dapat berpengaruh
terhadap kadar pati resisten (Dundar & Gocmen 2013). Karena molekul amilosa
memiliki struktur linier, mereka memiliki kecenderungan besar untuk membentuk
ganda heliks, terutama di dekat suhu pendinginan (4–5°C) dan dengan kadar air
yang cukup (Birt dkk. 2013). Penyimpanan gel pati dengan kadar air 45 hingga
50% pada suhu rendah hingga di atas –5°C selama 24 jam dan tidak lebih dapat
meningkatkan retrogradasi dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu kamar
(Oladele, 2013). maka dari itu variasi suhu pendinginan diturunkan sedangkan
waktu pendinginan dipercepat agar dapat mengetahui pengaruh kedua faktor
tersebut terhadap proses retrogradasi kadar pati resiten.
Teknik pemanasan dengan tekanan pada pengolahan pati dapat
mempengaruhi gelatinisasi sedangkan retrogradasi dapat mempengaruhi pembentukan
kristal pati resisten. Retrogradasi pati terutama disebabkan oleh interaksi
molekul amilosa, karena pembentukan ikatan hidrogen antar amilosa mudah
terbentuk (Rosida dkk., 2016). Hasil penelitian Anugrahati dkk (2015) menunjukan pemanasan 121˚C dan pendinginan ulang pada
4˚C selama 24 jam dua kali (autoclaving-cooling) memberikan kandungan
pati resisten yang lebih tinggi dari nasi. Proses retrogradasi ini membutuhkan
waktu yang cukup panjang hingga dua hari dalam pengadaannya, ini tidak sesuai
dengan efisiensi dan produktivitas perusahaan manufaktur (Pristianingrum, 2017), oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut pengaruh
suhu dan waktu proses retrogradasi terhadap kadar pati resisten.
Tujuan penelitian adalah untuk
mempelajari proses pembuatan pati resisten tipe 3,
memanfaatkan beras patah sebagai pati resisten,
mempelajari pengaruh suhu dan waktu pendinginan pada metode pembuatan pati resisten secara autoclaving-cooling
dua siklus terhadap kadar pati resisten.
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana suhu dan waktu
pendinginan (waktu retrogradasi)
pada metode pembuatan pati resisten secara autoclaving-cooling dua siklus
terhadap kadar pati resisten.
Metode
Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini akan dimulai dari bulan Agustus-November 2022, bertempat di Laboratorium
Penelitian Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara, Depok.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan untuk
pembuatan pati resisten adalah autoclave,
freezer, steamer, oven, grinder, botol
sampel DURAN 500 ml dan
1000 ml, box penyimpanan 250 ml, termometer
digital, timbangan digital, dan
baskom plastic. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah Spektrofotometer, Rapid
Visco Analyzer (RVA), oven listrik,
sentrifuge, penangas
air, timbangan analitik ”Mettler Toledo”, kertas whatman, pH meter, desikator, gelas beaker 250 ml, pipet volume 10ml, erlemeyer
250ml, pipet ukur 10 ml, tabung reaksi, bola hisap, corong, pipet tetes, dan
botol timbang.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras
patah yang didapatkan dari toko Mekar
Wangi Beras kota Bandung. Bahan kimia
yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah enzim α-amilase, enzim amiloglukosidase, Etanol 95%, KOH
2 M, buffer natrium asetat (pH 3,8), alikuot 1,2 M, reagen glukosa oksidase peroksidase (GOPOD), AMG 300U/ml, dan
Aquades.
Jenis Metode
Metode Penelitian yang dilakukan yaitu
pembuatan pati resisten dengan metode fisik secara autoclaving-cooling
dua siklus dengan variasi suhu pendinginan (4oC, 10oC, 18oC),
dan variasi waktu pendinginan (18 jam dan 24 jam). Uji kadar air, kadar pati,
kadar amilosa, dan kadar pati resisten pada beras awal dilakukan untuk
mengetahui kondisi awal dari pati yang ada didalam beras. Uji kadar pati
resisten, kadar air, dan sifat pasting dilakukan untuk mengetahui kualitas
sampel yang dihasilkan.
Rancangan Perlakuan
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah pola
faktorial 3x2 dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 kali ulangan,
sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Suhu pendinginan
pada proses autoclaving-cooling faktor A dan waktu pendinginan pada proses
autoclaving-cooling faktor B.
1.
Suhu pendinginan
(A)
a1 = 4oC
a2 = -10oC
a3 = -20oC
2.
Waktu pendinginan
(B)
b1 = 18 jam
b2 = 24 jam
Model percobaan pada penelitian adalah
sebagai berikut:
Yi j k
= μ + αi + βj + (αβ)ij + кk + εi
j k
Keterangan:
Yijk |
= |
Nilai pengamatan dari kelompok ke-k, yang memperoleh taraf ke-i dari
faktor A (suhu pendinginan) dan taraf ke-j dari faktor B (waktu pendinginan). |
µ |
= |
Rata-rata umum yang sebenarnya |
кk |
= |
Efek taraf kelompok ke-k |
αi |
= |
Pengaruh perlakuan dari taraf ke-i faktor A (suhu pendinginan) |
βj |
= |
Pengaruh perlakuan dari taraf ke-j faktor B (waktu pendinginan). |
(UT)ij |
= |
pengaruh
interaksi antara taraf ke-i
faktor A (suhu pendinginan) dan taraf ke-j faktor (waktu pendinginan). |
εijk |
= |
Pengaruh galat percobaan ke-k dari suhu pendinginan ke-i dan waktu
pendinginan ke-j. |
k |
= |
Banyaknya ulangan (4 kali) |
i |
= |
1, 2, 3 untuk suhu pendinginan |
j |
= |
1, 2 untuk waktu pendinginan |
Rancangan Analisis
Berdasarkan rancangan
percobaan, dapat dibuat Analysis of Variance (ANOVA) untuk mendapatkan
kesimpulan mengenai pengaruh perlakuan. Analisis variansi percobaan dengan
Rancangan Acak Faktorial (RAK) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Variansi (ANOVA)
Rancangan Acak Lengkap (RAL)
(Sumber : Gaspersz, 1995)
Kesimpulan:
1) H1 ditolak, apabila F hitung ≤ F tabel 5%, yang
berarti perbedaan suhu dan waktu pendinginan pada saat proses
autoclaving-cooling tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten pada
sampel.
2) H1 diterima, apabila F Hitung ≥ F Tabel 5 %, yang
berarti perbedaan suhu dan waktu pendinginan pada saat proses
autoclaving-cooling berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten pada sampel.
Prosedur
Penelitian
Penyiapan Sampel Percobaan
Beras sebanyak 50 g direndam dengan perbandingan 2:7
selama 30 menit, kemudian dikukus selama 30 menit dengan suhu 60-70oC.
Sampel selanjutnya disuspensikan kembali dengan air sebanyak 1:4. kemudian dilakukan autoclaving pada
suhu 121-130oC selama 30 menit. Setelah itu sampel dikeluarkan dari
autoclave dan didinginkan pada suhu ruang untuk selanjutnya disimpan pada suhu
dingin dengan variasi 4oC, -10oC, -20oC,
serta waktu pendinginan pada proses autoclaving-cooling yang digunakan yaitu 18
jam, 24 jam. Proses autoclaving-cooling diulangi untuk siklus kedua, dan
terakhir dikeringkan sampai kadar air mencapai maksimum 14%. Sampel dihaluskan
dan diayak dengan ukuran 100 mesh.
Penentuan Kadar Pati Resisten
a.
Hidrolisis dan Pelarutan Non-pati Resisten
Sampel 100 mg secara akurat ditimbang ke dalam
tiga tabung kultur corning tutup ulir. 4,0 ml larutan enzim yang mengandung
α-amilase pankreas dan amiloglukosidase ditambahkan ke setiap tabung. Tabung
ditutup rapat, dicampur pada mixer vortex dan dipasang secara horizontal dalam
penangas air yang bergetar, disejajarkan dengan arah gerakan. Tabung diinkubasi
pada 37˚C dengan pengocokan terus menerus (200 rpm/menit) selama tepat 16 jam.
Tabung dikeluarkan dari penangas air dan kelebihan air permukaan dihilangkan
dengan handuk kertas. Tutup tabung dilepas dan isinya diolah dengan 4,0 ml
etanol (95%). Tabung disentrifugasi
pada 3.000 rpm selama 10 menit.
Supernatan dituang
dengan hati-hati dan pelet
disuspensikan kembali dalam 2 ml etanol 50% dengan pengadukan kuat pada mixer
vortex dan 6 ml etanol 50% lebih lanjut ditambahkan, tabung dicampur dan
disentrifugasi lagi pada 3000rpm selama 10 menit. Supernatan dituang dan
langkah suspensi dan sentrifugasi ini diulangi sekali lagi. Supernatan dituang
dengan hati-hati dan tabung dibalik
di atas kertas penyerap untuk mengalirkan kelebihan cairan.
b.
Pengukuran pati resisten
Pada setiap tabung ditambahkan 2 ml kalium
hidroksida (KOH) 2 M dan sampel disuspensikan kembali (untuk melarutkan RS)
dengan diaduk selama kurang lebih 20 menit dalam penangas es/air di atas
pengaduk magnet. Sebuah alikuot 8 ml 1,2 M, buffer natrium asetat (pH 3,8)
ditambahkan ke setiap tabung dengan pengadukan pada pengaduk magnet dan 0,1 ml
amiloglukosidase segera ditambahkan; tabung dicampur dengan baik dan diinkubasi
dalam penangas air pada 50°C selama 30 menit dengan pencampuran intermiten pada
mixer vortex.
Setelah inkubasi, isi tabung dipindahkan
secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml (menggunakan botol pencuci air).
Volume disesuaikan menjadi 100 ml dengan air suling dan diaduk rata. Sebuah
alikuot dari larutan disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. 0,1 ml
alikuot (dalam rangkap tiga) supernatan dipindahkan ke tabung reaksi kaca, 3,0
ml reagen glukosa oksidase/peroksida (GOPOD) ditambahkan dan tabung diinkubasi
pada 40°C selama 20 menit sebelum mengukur konsentrasi glukosa pada 510 nm terhadap kosong reagen.
c.
Pengukuran Pati yang Tidak Tahan (Larut)
Solusi supernatan gabungan diperoleh pada
sentrifugasi langkah inkubasi awal dipindahkan ke 100 ml labu ukur dan
disesuaikan volume dengan 100 mM buffer natrium asetat (pH 4,5) dan dicampur
dengan baik. Sebuah alikuot 0,1 ml larutan ini (dalam rangkap tiga) diinkubasi
dengan 10 l larutan AMG encer (300 U/ml) dalam 100 mM buffer natrium maleat (pH
6,0) selama 20 menit pada 40oC. 3,0 ml reagen GOPOD ditambahkan dan
tabung diinkubasi selama 20 menit pada 40°C. Absorbansi diukur pada 510 nm
terhadap blanko reagen.
Prinsip metode ini yaitu glukosa oksidase/peroksidase
melibatkan oksidasi D-glukosa oleh glukosa oksidase untuk menghasilkan hidrogen
peroksida dan reaksi selanjutnya dari hidrogen peroksida dengan pewarna dengan
adanya enzim peroksidase untuk menghasilkan produk berwarna. Konsentrasi produk
akhir yang diukur pada 510 nm dengan spektrofotometer setara dengan konsentrasi
glukosa. Kandungan pati resisten dan pati non-resisten (larut) dihitung
menggunakan kurva standar glukosa. Kandungan pati total dihitung sebagai jumlah pati resisten
dan pati non resisten (Oladele, 2013).
Penentuan Kadar Air
Botol timbang dipanaskan
beserta tutupnya dengan suhu (130 ± 3)°C dalam oven selama kurang lebih satu
jam dan dinginkan dalam desikator selama 20 menit sampai dengan 30 menit,
kemudian timbang dengan neraca analitik (pinggan dan tutupnya) (W0), sampel
dimasukkan sebanyak 2 g ke dalam botol timbang, ditutup, dan ditimbang (W1),
botol timbang yang berisi contoh tersebut dipanaskan di dalam oven pada suhu
(130 ± 3)°C selama 1 (satu) jam, dalam keadaan terbuka dengan meletakkan tutup
botol timbang disamping botol timbang. Setelah suhu oven mencapai (130 ± 3)°C, botol timbang diangkat dan dipindahkan segera ke dalam
desikator dan dinginkan selama 20 menit sampai dengan 30 menit sehingga suhunya
sama dengan suhu ruang kemudian ditimbang (W2), pekerjaan dilakukan pekerjaan
duplo, dan dihitung kadar air dalam contoh.
Kadar air (%) =
Keterangan:
W0 = bobot pinggan kosong dan tutupnya,
dinyatakan dalam gram (g);
W1 = bobot pinggan, tutupnya dan
contoh sebelum dikeringkan, dinyatakan dalam gram (g); dan
W2 = bobot pinggan, tutupnya dan contoh
setelah dikeringkan, dinyatakan dalam gram (g). (SNI 3549:2009)
Penentuan Sifat Amilograf dengan Rapid Visco
Analyzer (RVA)
Sampel ditimbang sebanyak ±3 g kemudian dilarutkan
dalam ±25 g akuades (tergantung dari kadar air bahan). Selanjutnya dilakukan
siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel dipanaskan
hingga suhu 50oC dan dipertahankan selama 1 menit. Sampel dipanaskan
hingga suhu 50oC hingga 95oC, lalu suhu 95oC
dipertahankan selama 5 menit.
Sampel didinginkan hingga suhu 50oC dengan
kecepatan 6oC/menit, lalu suhu 50oC dipertahankan selama
3 menit. Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah suhu awal
gelatinisasi, viskositas maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95oC,
viskositas setelah 95oC dipertahankan, viskositas pada suhu 50oC,
dan viskositas setelah suhu 50oC dipertahankan.
Data yang diperoleh dari analisis ini adalah suhu
gelatinisasi, peak viscosity (PV) atau viskositas maksimum, breakdown viscosity
(BDV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV) atau
viskositas akhir (Agustifa & Adawiyah, 2013).
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Penyiapan Sampel
Beras patah yang digunakan pada penelitian memiliki kadar pati sebesar
62,3%, kadar pati pada beras patah lebih rendah dibandingkan dengan kandungan
pati pada beras utuh yang dilaporkan oleh Yuan, dkk. (2015) yaitu 78,8% dan
79,2%. Rendahnya kadar pati pada beras patah diduga karena beras patah yang
digunakan sebagian besar berasal dari potongan bagian atas atau bagian bawah
dari beras utuh seperti yang ditinjau pada SNI 6128:2015, pada bagian beras
tersebut lebih banyak terdapat lapisan subaleuron dibandingkan inti endosperma.
Presentase pati pada bagian subaleuron lebih kecil dibandingkan presentase
protein, lemak kasar, dan abu kasar, sedangkan pada bagian inti endosperma
presentase pati merupakan bagian terbesar dibandingkan presentase protein,
lemak kasar, dan abu kasar (Yulianto, 2021). Maka dari itu menurut Yuliwardi,
dkk. (2014) kandungan pati yang lebih rendah pada beras patah menunjukan bahwa
beras patah memiliki kualitas yang lebih rendah daripada beras utuh. Perbedaan
kualitas inilah yang dapat mempengaruhi kualitas pada sampel akhir.
Kadar air beras patah yang digunakan yaitu 11,67% lebih rendah
dibandingkan kadar air pada beras utuh yang dilaporkan oleh Arsyad dan Saud
(2020) yaitu 14,60%, 14,70%, dan 14,83%. Sedikitnya kadar air pada beras patah
diduga karena beras patah lebih banyak mengandung lapisan subaleuron yang
memiliki kadar protein tinggi (Yulianto, 2021). Sesuai dengan pernyataan
Effendy (2022) Kadar protein yang tinggi dapat menyebabkan daya ikat air lebih
rendah, karena ikatan hidrogen yang terjadi pada molekul protein merupakan
ikatan hidrogen intramolekul sehingga molekul air yang terikat lebih sedikit
sedangkan ikatan hidrogen pada pati termasuk ikatan hidrogen antarmolekul.
Perbedaan kadar air pada beras juga dapat disebabkan oleh proses penggilingan
pada beras, suhu, dan kadar air gabah. Semakin tinggi kadar air pada gabah akan
menghasilkan beras patah yang lebih banyak, artinya beras lebih rapuh ketika
kadar airnya tinggi sehingga kualitasnya rendah (Arsyad & Saud, 2017).
Kadar amilosa dan pati resisten pada beras patah masing-masing sebesar
20,38% dan 2,26%. Kadar amilosa yang didapatkan relatif sama dengan data yang
didapatkan oleh Ekafitri (2017) yaitu pati beras utuh memiliki kandungan
amilosa sebanyak 21,7%. Begitupun dari hasil uji kadar amilosa pada beberapa
varietas beras Indonesia yang dilakukan oleh Anugrahati, dkk. (2015) memiliki
range kadar amilosa sebesar 15,22% hingga 23,69%. Kadar pati resisten pada
beras patah menunjukan kesesuaian dengan data pada penelitian Srikaeo &
Martinez (2014) bahwa beras dengan kadar amilosa 30% memiliki kadar pati
resisten sebesar 2%. Namun kadar pati resisten pada beras patah berbeda dengan
kadar beras patah yang digunakan Yuliwardi, dkk. (2014) yaitu sebesar 8,24%
pada beras Ciherang, 5,31% pada beras Basmati, dan 6,19% pada beras IR-42.
Beras patah yang diolah menjadi tepung beras menghasilkan rendemen untuk
masing-masing variasi yaitu a1b1 64,85 %, a1b2 69,30 %, a2b1 68,75 %, a2b2
64,05 %, a3b1 72,05 %, dan a3b2 78,90 %. Rendemen tepung beras
patah yang didapatkan berkisar 64%-79% dari berat beras patah yang digunakan
yaitu sebanyak 50 gram. Rendemen tepung yang berbeda untuk setiap proses
disebabkan oleh proses pengolahan tepung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa
Ode, dkk. (2020) bahwa serangkaian pengolahan pangan dalam pembuatan tepung
akan menyebabkan rendemen yang berbeda, termasuk dengan proses pengayakan yang
menyebabkan berkurangnya presentase rendemen cukup tinggi.
Semakin rendah suhu
penyimpanan sampel, maka berat sampel yang dihasilkan lebih banyak. Menurut
Asiah, dkk. (2020) semakin rendah suhu pendinginan maka menyebabkan pembentukan
kristal es berlangsung lebih cepat dan menghasilkan kristal es yang berukuran
lebih kecil, sehingga daya ikat air pada bahan tidak banyak terganggu dan
kualitas bahan pangan lebih terjaga, karenanya pada saat bahan dikeringkan
kembali maka kadar air pada bahan pangan tidak banyak berkurang. Ini terbukti
pada suhu 4˚C berat sampel yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan penyimpanan
pada suhu -20˚C. maka dari itu ketika proses penghancuran sampel yang disimpan
pada suhu -20˚C akan lebih rapuh sehingga hasil pengayakan lebih banyak
dibandingkan dengan suhu 4˚C, karena semakin tinggi kadar air maka sampel akan
semakin rapuh (Arsyad & Saud, 2017).
Hasil Uji Kadar Pati Resisten
Hasil perhitungan analisis
variansi menunjukan interaksi suhu dan waktu retrogradasi dari setiap perlakuan
berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten. Untuk mengetahui lebih lanjut
kelompok mana yang lebih signifikan maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji
Duncan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil menunjukan perbedaan dari semua
perlakuan baik a1b1, a1b2, a2b1, a2b2, a3b1, dan a3b2, sehingga setiap faktor
berbeda nyata terhadap kadar pati resisten.
Tabel 2.
Pengaruh Suhu dan Waktu Retrogradasi terhadap Kadar Pati Resisten
Suhu (A) |
Waktu (B) |
|||
b1 (18 jam) |
b2 (24 jam) |
|||
a1 (4˚C) |
3,58 % |
A |
3,66 % |
A |
a |
|
b |
|
|
a2 (-10˚C) |
3,44 % |
B |
2,94 % |
B |
a |
|
b |
|
|
a3 (-20˚C) |
3,09 % |
C |
3,17 % |
C |
a |
|
b |
|
Keterangan:
Angka yang diikuti
huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
Duncan pada taraf nyata 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf kapital
dibaca vertikal.
Perlakuan pada suhu 4˚C,
-10˚C, dan -20˚C masing-masing menghasilkan peningkatan kadar pati resisten
pada sampel karena menurut BeMiller (2019) ikatan hidrogen pada molekul amilosa
dan amilopektin mudah terbentuk pada suhu sebagian lemari es, sehingga terjadi
proses kristalisasi setelah dilakukannya proses gelatinisasi saat autoclaving.
Struktur pati resisten yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 8. Selama
proses gelatinisasi, granula pati akan membengkak dan hancur secara bertahap,
perubahan granula pati terjadi secara ireversibel (Dundar & Gocmen, 2013).
Konformasi hexagonal terjadi saat molekul pati berinteraksi dengan air, gugus
hidroksil pada pati sangat berperan pada proses gelatinisasi (Tako, dkk.,
2014).
Kristalisasi gel terjadi secara cepat pada molekul
amilosa yang mengalami proses leaching pada saat gelatinisasi, dilanjutkan oleh
struktur amilopektin menyebabkan gel berkembang lebih lambat, untuk kemudian
terbentuk kembali ikatan hidrogen antar molekul pada pati resisten yang
terbentuk (Putri& Zubaidah, 2017). Molekul amilosa
linier pada rantai polimer bergabung kembali membentuk struktur heliks ganda
yang stabil karena ikatan hidrogen, sehingga lebih tahan terhadap enzim
hidrolisis pada usus halus manusia
Perlakuan autoclaving-cooling dua siklus yang dilakukan dapat
mempengaruhi kenaikan kadar pati resisten. Siklus autoclaving-cooling
berperan terhadap pembentukan pati resisten yang sangat stabil, peningkatan
jumlah siklus autoklaf-pendinginan meningkatkan hidrolisis amilosa dan
amilopektin dan pembentukan fraksi amilosa rantai pendek (Rosida, dkk., 2016).
Hasil pati resisten pada penelitian Rosida, dkk. (2016) menunjukan siklus kedua
autoclaving-cooling dapat menaikan kadar pati resisten hingga 60%,
peningkatan kadar pati resisten siklus kedua paling tinggi dibandingkan siklus
pertama dan ketiga.
Kadar pati resisten dengan perlakuan a1b1 yaitu 3,58%
meningkat sebesar 58% dan kadar pati resisten sampel a1b2 yaitu 3,66% meningkat
sebesar 62% dari kadar pati resisten beras patah. Perlakuan dengan suhu 4˚C
menunjukan peningkatan kadar pati resisten yang paling tinggi dibandingkan pada
suhu -10˚C dan -20˚C. Hasil sesuai dengan yang dilaporkan oleh Anugrahati, dkk.
(2015) bahwa 3,42% pati resisten didapatkan pada beras yang dimasak dan
didinginkan pada refrigerator pada suhu 4˚C selama 12 jam. Yuliwardi, dkk.
(2014) melaporkan kadar pati resisten pada tepung beras dapat meningkat 61%
dengan perlakuan autoclaving-cooling dua siklus. Alhambra, dkk. (2019)
melaporkan kadar pati resisten pada beras yang menggunakan suhu 4˚C selama 24
jam menghasilkan sampel dengan kadar pati resisten dengan range 1,32%-8,71%.
Pada penelitian Rosida, dkk. (2016) perlakuan autoclaving-cooling dengan
suhu 4˚C selama 24 jam dan 5˚C selama 12 jam menghasilkan pati resisten dengan
range 4,06%-5,22%.
Zhou (2014) melaporkan beras indica yang dipanaskan
dan didinginkan pada penyimpanan suhu 4˚C semalaman, menghasilkan tepung beras
dengan kadar pati resisten 35,2%. Kadar pati resisten pada penelitian Zhou
(2014) lebih besar karena adanya perbedaan perlakuan setelah proses autoclaving-cooling
serta bahan baku yang digunakan merupakan beras utuh. Kadar pati yang lebih
rendah pada beras patah dapat menjadi penyebab rendahnya kadar pati resisten
yang dihasilkan, karena pada penelitian Rosida, dkk. (2016) kadar pati resisten
pada ubi dengan kadar pati tinggi menghasilkan pati resisten yang lebih tinggi.
Penyimpanan pada suhu -10˚C menghasilkan pati resisten 3,44% dan 2,94%
dengan tingkat kenaikan sebesar 52% untuk perlakuan a2b1 dan 30% untuk a2b2.
Kadar pati resisten yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan
penyimpanan pada suhu 4˚C. Penyimpanan dengan suhu lebih rendah mengakibatkan
proses kristalisasi kembali molekul amilosa dan amilopektin terjadi lebih
cepat, oleh karenanya inti kristal pada struktur tidak terbentuk sempurna
karena derajat polimerisasi amilosa berkurang dan cabang-cabang pada
amilopektin terhambat pergerakannya (BeMiller, 2019). Pada suhu lemari es yang
lebih rendah, akan mempercepat pembentukan kristal es dari air yang terpisah
pada proses rekristalisasi, sehingga mobilitas antar molekul amilosa dan amilopektin
terhambat (Putri & Zubaidah, 2017).
Begitupun pada suhu -20˚C peningkatan kadar pati
resisten hanya terjadi sebesar 37% dan 40% pada sampel a3b1 dan a3b2. Suhu
-20˚C merupakan suhu pembekuan. Kristal es bahan pangan akan lebih cepat
membeku dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan (Asiah, dkk., 2020). Kristal
es yang terbentuk akan terpisah dari molekul pati dan terjadi sineresis pada
saat penyimpanan pada suhu 25˚C–30˚C. Semakin banyaknya molekul air yang
terpisah menunjukan bahwa pati tidak stabil ketika disimpan pada suhu beku
(Putri & Zubaidah, 2017). Kadar pati resisten yang semakin menurun dengan
semakin rendahnya suhu penyimpanan sesuai dengan pernyataan Putri &
Zubaidah (2017).
Kadar pati resisten dengan penyimpanan selama 24 jam
lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan selama 18 jam. Pada penyimpanan
suhu 4˚C dan -20˚C selama 24 jam kadar pati meningkat sebesar 4% dan 3% dari
penyimpanan selama 18 jam. Kadar pati resisten yang dihasilkan sesuai dengan
pernyataan BeMiller (2019) yaitu perbedaan waktu pada saat penyimpanan dingin
dapat meningkatkan kadar pati resisten karena proses
rekristalisasi terjadi tiga tahap yaitu nukleasi, propagasi, dan maturasi.
Terbentuknya struktur kristal yang sempurna ditentukan oleh tahap nukleasi
yaitu langkah pertama yang krusial karena inti kristal mulai terbentuk pada
tahap ini. Selanjutnya inti kristal akan terus tumbuh dan stabil pada saat
propagasi. Kedua tahapan tersebut mulai terjadi tepat pada suhu Transisi gelas
molekul pati. Dengan laju antara temperatur
nukleasi tertinggi dan temperatur laju propagasi tertinggi, laju retrogradasi
dapat sangat dipercepat (BeMiller, 2019).
Berbeda dengan suhu penyimpanan -10˚C, kadar pati
resisten yang disimpan selama 18 jam jauh lebih tinggi dibandingkan penyimpanan
selama 24 jam. Perbedaan tersebut mencapai 22%. Jika dibandingkan perbedaan
kadar pati resisten saat penyimpanan suhu 4˚C dan -20˚C yang tidak terlalu
tinggi. Artinya ada faktor lain yang menyebabkan perbedaan tersebut. Menurut
Asiah (2020) terjadinya kehilangan daya atau berkurangnya daya pada lemari es
ketika banyak sampel yang disimpan pada lemari es dapat menyebabkan sampel
tidak stabil.
Hasil Uji Kadar Air
Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi
menunjukan suhu retrogradasi berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel
sedangkan waktu retrogradasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel,
namun interaksi suhu dan waktu retrogradasi dari setiap perlakuan berpengaruh
nyata terhadap kadar air sampel. Untuk mengetahui lebih lanjut kelompok mana
yang lebih signifikan maka dilakukan uji lanjut Duncan. Suhu berpengaruh nyata
sedangkan waktu tidak berpengaruh nyata karena dalam sistem termodinamika nilai
kalor yang diserap atau kalor yang dilepaskan ditentukan oleh perbandingan
tekanan dan suhu yang diberikan pada sejumlah volume sampel (Hariyadi, P.,
2019).
Tabel 3. Pengaruh Perbedaan Suhu Pada Waktu 18 jam
Suhu (A) |
Kadar Air (%) |
a1 (4˚C) |
10,19 (a) |
a2 (-10˚C) |
10,63 (b) |
a3 (-20˚C) |
10,69 (b) |
Tabel 4. Pengaruh Perbedaan Suhu Pada Waktu 24 jam
Suhu (A) |
Kadar Air (%) |
a1 (4˚C) |
10,77 (a) |
a2 (-10˚C) |
10,56 (b) |
a3 (-20˚C) |
10,40 (c) |
Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 3 dan
Tabel 4. Data menunjukan perlakuan a1 berbeda nyata dengan perlakuan a2 dan a3,
sedangkan perlakuan a2 dan a3 tidak berbeda nyata satu sama lain dan berbeda
nyata dengan perlakuan a1 pada waktu retrogradasi 18 jam. Pada suhu 24 jam perlakuan
a1, a2, dan a3 setiap perlakuaanya saling berbeda nyata. Hasil ini sesuai
dengan persamaan termodinamika pada Haryadi, P. (2019) yaitu ketika suhu yang
diberikan pada volume sampel yang tetap, maka tekanan akan berkurang seiring
dengan penurunan suhu. Ikatan hidrogen antarmolekul pada molekul air akan lebih
cepat terbentuk pada suhu yang lebih rendah (Effendy, 2022). Sehingga rendahnya
suhu menyebabkan ikatan hidrogen antarmolekul pada amilosa dan ikatan hidrogen
intermolekul antara amilosa dan amilopektin pada pembentukan pati resisten
terhambat (Tako, dkk., 2014).
Kadar air tepung pati resisten beras patah yang
dihasilkan dapat memenuhi standar tepung beras pada SNI 3549:2009 dengan batas
maksimum kadar air sebesar 13 %. Rendahnya kadar
air dapat berfungsi untuk penggunaan tepung beras pada proses ekstruksi agar
menghasilkan produk yang lebih padat karena pembentukan gelembung saat
gelatinisasi terhambat (Hariyadi, dkk., 2013).
Hasil Uji Sifat Amilograf
Pada Tabel 5 menunjukan sifat pasting dari sampel a1b1, a1b2, a2b1,
a2b2, a3b1, dan a3b2 dengan kadar pati resisten tertinggi. Berdasarkan hasil
uji sifat amilograf dari sampel pati resisten, viskositas puncak tercapai pada
range suhu 51˚C - 60˚C dengan viskositas puncak sampel a1b1, a2b1, a3b2 lebih
tinggi dibandingkan viskositas beras sedangkan sampel a1b2, a2b2, a3b1 memiliki
viskositas puncak lebih rendah dari viskositas beras. Perbedaan kenaikan
viskositas puncak dan turunnya suhu gelatinisasi tersebut disebabkan oleh
adanya perlakuan hidrotermal yang berbeda pada proses autoclaving-cooling
sehingga terjadi interaksi tambahan antara molekul amilosa-amilosa dan
amilosa-amilopektin (Gunaratne, dkk. 2013). Menurut Putri & Zubaidah (2017)
peningkatan viskositas puncak juga menunjukan peningkatan kemampuan swelling
pada sampel, karena terbentuknya dobel heliks pada struktur pati resisten.
Menurunnya suhu pengentalan menunjukan karakteristik pati resisten pada sampel
tahan terhadap panas, sesuai dengan pernyataan Yuliwardi (2014) bahwa tepung
beras dengan perlakuan autoclaving-cooling lebih tahan terhadap suhu panas pada
mesin extruder.
Perbedaan viskositas puncak sampel dari bahan awal tersebut sesuai pada
penelitian Gunaratne, dkk. (2013), pada penelitiannya viskositas tepung beras
ketan dengan perlakuan pratanak berkurang 61,5% dari viskositas puncaknya. Suhu
pengentalan pada sampel pada Gunaratne, dkk. (2013) yaitu tercapai pada suhu
40˚C. Pada proses pratanak yang dilakukan oleh Gunaratne, dkk. (2013), tepung
beras telah mengalami gelatinisasi tanpa perlakuan retrogradasi, sehingga
ketika dilakukan pengujian dengan RVA tepung beras tersebut tidak mengalami
pembengkakan yang begitu tinggi dan menghasilkan puncak
viskositas yang rendah.
Tabel 5. Sifat Pasting Sampel
No |
Sampel |
Viskositas Puncak (cP) |
Viskositas Holding (cP) |
Penurunan Viskositas (cP) |
Viskositas Setback (cP) |
Viskositas Akhir (cP) |
Suhu Gelatinisasi (˚C) |
Waktu Puncak (menit) |
1 |
a1b1 |
2884 |
1468 |
1416 |
3708 |
2240 |
60 |
8,5 |
2 |
a1b2 |
2685 |
1336 |
1349 |
3215 |
1879 |
60 |
8,3 |
3 |
a2b1 |
3181 |
1579 |
1602 |
3926 |
2347 |
55 |
8,4 |
4 |
a2b2 |
2272 |
1348 |
924 |
3708 |
2360 |
59 |
9,0 |
5 |
a3b1 |
2303 |
1140 |
1163 |
2948 |
1808 |
51 |
7,9 |
6 |
a3b2 |
3012 |
1421 |
1591 |
3602 |
2181 |
58 |
8,3 |
7 |
beras patah |
2659 |
2358 |
301 |
2418 |
4776 |
86 |
9,2 |
Menurut Yulianto (2021), perbedaan grafik viskositas sampel
dengan bahan baku dapat disebabkan oleh perubahan bentuk granula pati. Hasil
penelitian Lian, dkk. (2014) menunjukan bentuk granula pati lebih kecil sebelum
proses retrogradasi dan granula lebih besar setelah proses retrogradasi.
Umumnya bentuk granula pati resisten tipe 3 menurut Yi, dkk., (2021) yaitu
berbentuk oval dan berukuran lebih besar dibandingkan granula pati awal.
Perbedaan disebabkan oleh rasio amilosa dan amilopektin, adanya proses autoclaving-cooling
menyebabkan struktur amilosa dan amilopektin berubah (BeMiller, 2019). Kemudian
kadar lemak pati juga dapat mempengaruhi grafik viskositas (BeMiller, 2019).
Proses retrogradasi dapat mengurangi lipid dalam amilopektin menjadi molekul
kecil (Lian, dkk., 2014).
Sampel memiliki nilai breakdown yang lebih tinggi
dibandingkan nilai breakdown beras patah. Nilai breakdown yang tinggi
menunjukan pati pada sampel tidak stabil, hal ini terjadi dikarenakan adanya
pengaruh suhu panas pada saat pembuatan sampel (Parwiyanti, dkk., 2016).
Pemanasan saat autoclaving menyebabkan peningkatan pemecahan granula pati (Wu,
dkk., 2015). Peningkatan kadar pati resisten juga menyebabkan peningkatan nilai
breakdown karena struktur pati resisten yang lebih mudah tergelatinisasi pada
saat pemanasan (Surawan, dkk., 2021).
Viskositas setback semua sampel lebih tinggi dibandingkan
beras patah sedangkan viskositas akhirnya lebih rendah dari beras patah.
Viskositas setback yang tinggi menunjukan bahwa sampel memiliki kemampuan
retrogradasi yang lebih tinggi dibandingkan beras patah. (Wu, dkk., 2015).
Sesuai dengan penelitian Parwiyanti dkk. (2016) perlakuan modifikasi panas pada
pati ganyong meningkatkan nilai setback sedangkan viskositas akhir menurun.
Viskositas akhir yang menurun disebabkan daerah kristalin pada pati
termodifikasi bersifat lebih kaku dibandingkan pati sebelum modifikasi
(Parwiyanti, dkk., 2016).
Berdasarkan hasil kurva sifat pasting sampel pada Tabel 5, sampel
diduga bersifat fungsional sesuai dengan pernyataan BeMiller (2019) bahwa pati
resisten tipe 3 dengan modifikasi autoclaving-cooling menghasilkan perbedaan
kurva sehingga memiliki daya cerna pati yang rendah dan dapat bersifat
fungsional. Sampel diduga dapat digunakan sebagai bahan enkapsulasi seperti
penelitian yang dilakukan oleh Khan, dkk. (2019). Dalam penelitian Yuliwardi,
dkk. (2014) pengolahan beras patah dengan autoclaving-cooling dapat
menghasilkan bihun dengan kadar pati resisten lebih tinggi. Pemanfaatan sampel
dapat disesuaikan dengan karakteristik yang diharapkan pada berbagai pangan
olahan tepung (Immaningsih, 2012).
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut; (1) suhu
dan waktu retrogradasi berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten pada
sampel, dengan kadar pati resisten sampel tertinggi yaitu pada perlakuan a1b2, (2) suhu retrogradasi berpengaruh nyata
terhadap kadar air sampel sedangkan waktu retrogradasi tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar air sampel, (3) sifat Amilograf
pada setiap sampel menunjukan peningkatan sifat pasting
beras patah, dan (4) rendemen sampel
yang diperoleh berada pada range 64 % - 79%.
BIBLIOGRAFI
Alhambra, C. M., de Guzman, M. K., Dhital, S., Bonto,
A. P., Dizon, E. I., Israel, K. A. C., Hurtada, W. A., Butardo, V. M., &
Sreenivasulu, N. (2019). Long glucan chains reduce in vitro starch
digestibility of freshly cooked and retrograded milled rice. Journal of
Cereal Science, 86, 108–116.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2019.02.001.
Anugrahati, N. A., Pranoto, Y., Marsono, Y., &
Marseno, D. W. (2015). In Vitro Digestibility of Indonesian Cooked Rice Treated
with Cooling-Reheating Process and Coconut Milk Addition. International
Research Journal of Biological Sciences, 4(12), 34–39. www.isca.me.
Arsyad, M., & Maryam, S. (2020). Evaluasi Tingkat
Kualitas dan Mutu Beras Hasil Penggilingan Padi di Kecamatan Duhiadaa Kabupaten
Pohuwato. Perbal: Jurnal Pertanian Berkelanjutan, 8(1), 8–18.
Ashwar, B. A., Gani, A., Shah, A., & Masoodi, F.
A. (2017). Physicochemical properties, in-vitro digestibility and structural
elucidation of RS4 from rice starch. International Journal of Biological
Macromolecules, 105, 471–477.
https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2017.07.057.
Ashwar, B. A., Gani, A., Shah, A., Wani, I. A., &
Masoodi, F. A. (2016). Preparation, health benefits and applications of
resistant starch - A review. Starch/Staerke, 68(3–4), 287–301.
https://doi.org/10.1002/star.201500064.
Attri, S., Singh, N., Nadda, A. K., & Goel, G.
(2021). Advances in Probiotics for Sustainable Food and Medicine (Vol.
21). http://link.springer.com/10.1007/978-981-15-6795-7_1.
Badan Standarisasi Nasional. (2015). SNI 6128:2015.
Syarat Mutu Beras. 2–4.
BeMiller. (2019) Carbohydrate Chemistry for Food
Scientists. United Kingdom: AAC International.
Birt, D. F., Boylston, T., Hendrich, S., Jane, J. L.,
Hollis, J., Li, L., McClelland, J., Moore, S., Phillips, G. J., Rowling, M.,
Schalinske, K., Paul Scott, M., & Whitley, E. M. (2013). Resistant starch:
Promise for improving human health. Advances in Nutrition, 4(6),
587–601. https://doi.org/10.3945/an.113.004325
Dundar, A. N., & Gocmen, D. (2013). Effects of
autoclaving temperature and storing time on resistant starch formation and its
functional and physicochemical properties. Carbohydrate Polymers, 97(2),
764–771. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.04.083.
Effendy. (2022). Teori VSEPR dan Gaya Antarmolekul.
Edisi ke-3. Malang: Bayumedia Publishing.
Gaspersz, Vincent. 1995. Teknik Analisis Dalam Percobaan. Tarsito. Bandung.
Gunaratne, A., Kao, W., Ratnayaka, J., Collado, L., & Corke, H.
(2013). Effect of parboiling on the formation of resistant starch,
digestibility and functional properties of rice flour from different varieties
grown in Sri Lanka. Journal of the Science of Food and Agriculture, 93(11),
2723–2729. https://doi.org/10.1002/jsfa.6091
Hariyadi, P. (2019). Landasan Teknik Pangan.
Bogor: IPB Press.
Interpares, P., Haryadi, & Cahyanto, M. N. (2015).
Pengaruh Retrogradasi pada Pembuatan Sohun Pati Jagung Terhadap Karakteristik
Fisikokimia Produk dan Aktivitas Prebiotiknya. Agritech, 35(2),
192–199.
Kemenkes RI. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun
2018. Kementrian Kesehatan RI, 53(9), 1689–1699.
Khan, A., Rahman, U. U., Siddiqui, S., Irfan, M.,
Shah, A. A., Badshah, M., Hasan, F., & Khan, S. (2019). Preparation and
characterization of resistant starch type III from enzymatically hydrolyzed
maize flour. Molecular Biology Reports, 46(4), 4565–4580.
https://doi.org/10.1007/s11033-019-04913-5.
Kumar, A., Sahoo, U., Baisakha, B., Okpani, O. A.,
Ngangkham, U., Parameswaran, C., Basak, N., Kumar, G., & Sharma, S. G.
(2018). Resistant starch could be decisive in determining the glycemic index of
rice cultivars. Journal of Cereal Science, 79, 348–353.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2017.11.013
Lian, dkk. (2014). The retrogradation properties of
glutinous rice and buckwheat starches as observed with FT-IR, 13C NMR and DSC.
International Journal of Biological Macromolecules. Journal homepage:
www.elsevier.com/locate/ijbiomac.
Oladele, E.-O. P. (2013). Resistant starch in plantain
( Musa AAB ) and Implications for the glycaemic index. University of Leeds,
5(12), 1–15.
Ordonio, R. L., & Matsuoka, M. (2016). Increasing
resistant starch content in rice for better consumer health. Proceedings of
the National Academy of Sciences of the United States of America, 113(45),
12616–12618. https://doi.org/10.1073/pnas.1616053113
Pangastuti, H. A., & Permana, L. (2021).
Pengukuran Pati Resisten Tipe 5 Secara in Vitro Pada Nasi Uduk. Jurnal
Pengolahan Pangan, 6(2), 42–48.
https://doi.org/10.31970/pangan.v6i2.56
Polesi, L. F., Junior, M. D. da M., Sarmento, S. B.
S., & Canniatti-Brazaca, S. G. (2017). Starch Digestibility and
Physicochemical and Cooking Properties of Irradiated Rice Grains. Rice
Science, 24(1), 48–55. https://doi.org/10.1016/j.rsci.2016.07.005
Pristianingrum, N. (2017). Peningkatan Efisiensi Dan
Produktivitas Perusahaan Manufaktur Dengan Sistem Just In Time. ASSETS -
Jurnal Ilmiah Ilmu Akuntansi Keuangan Dan Pajak, 1(1), 41–53.
Parwiyanti, Pratama, F., Wijaya, A., & Malahayati, N.
(2016). Profil Pasting Pati Ganyong Termodifikasi Dengan Heat Moisture
Treatment Dan Gum Xanthan Untuk Produk Roti. Jurnal Teknologi Dan Industri
Pangan, 27(2), 185–192. https://doi.org/10.6066/jtip.2016.27.2.185
Putri, Widya D. R. dan Zubaidah, E. (2017). Pati :
modifikasi & karakterisasinya. Malang: UB Press. ISBN:
978-602-432-111-6.
Rosida, Harijono, Estiasih, T., & Sriwahyuni, E.
(2016). Physicochemical properties and starch digestibility of
autoclaved-cooled water yam (Dioscorea Alata L.) flour. International
Journal of Food Properties, 19(8), 1659–1670.
https://doi.org/10.1080/10942912.2015.1105818.
Rozali, Z. F., Purwani, E. Y., Iskandriati, D., Sri,
N., Suhartono, (2018). Potensi Pati Resisten Beras sebagai Bahan Pangan
Fungsional The Potential of Rice Resistant Starch as Fungsional Food
Ingredient. Jurnal Pangan, 27(3), 215–224.
Setiarto B., R. H., Laksmi Jenie, B. S., Faridah, D.
N., & Saskiawan, I. (2015). Study of Development Resistant Starch Contained
in Food Ingredients as Prebiotic Source. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,
20(3), 191–200. https://doi.org/10.18343/jipi.20.3.191.
Silitonga, R. F., Faridah, D. N., Indrasti, D.,
Afandi, F. A., & Jayanegara, A. (2021). Kadar Pati Resisten Pangan Tinggi
Karbohidrat Hasil Autoclaving-Cooling 2 Siklus: Studi Meta-Analisis. Warta
Industri Hasil Pertanian, 38(1), 79.
https://doi.org/10.32765/wartaihp.v38i1.6987.
Srikaeo, K., & Arranz-Martínez, P. (2015). Formulating low glycaemic
index rice flour to be used as a functional ingredient. Journal of Cereal
Science, 61, 33–40. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2014.10.002.
Standar Nasional Indonesia. (2009). Persyaratan Mutu
Tepung Beras. SNI 3549-2009. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Standar Nasional Indonesia. (2015). Persyaratan Mutu
Beras. SNI 6128-2015. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Surawan, F. E. D., Harmayani, E., Nurliyani, N., & Marseno, D. W.
(2021). Pengaruh Metode Isolasi Terhadap Komposisi Proksimat, Sifat Pasting dan
Morfologi Pati Sekoi (Setaria italica (L)P. Bauv) Varietas Lokal Bengkulu. Agrosainstek:
Jurnal Ilmu Dan Teknologi Pertanian, 5(2), 114–123.
Tako, M., Tamaki, Y., Teruya, T., & Takeda, Y.
(2014). The Principles of Starch Gelatinization and Retrogradation. Food and
Nutrition Sciences, 05(03), 280–291.
https://doi.org/10.4236/fns.2014.53035.
Wa Ode, N., dkk., (2020). Komposisi Fisikokimia Tepung Ubi Kayu dan
Mocaf dari Tiga Genotipe Ubi Kayu Hasil Pemuliaan. Jurnal Keteknikan
Pertanian. Vol. 8 No. 3, Hal. 97-104.
Wu, Y., Xu, H., Lin, Q., Wu, W., & Liu, Y. (2015). Pasting, Thermal
and Rheological Properties of Rice Starch in Aqueous Solutions with Different
Catechins. Journal of Food Processing and Preservation, 39(6),
2074–2080. https://doi.org/10.1111/jfpp.12450
Yi, D., Maike, W., Yi, S., Xiaoli, S., Dianxing, W.,
& Wenjian, S. (2021). Physiochemical Properties of Resistant Starch and Its
Enhancement Approaches in Rice. Rice Science, 28(1), 31–42.
https://doi.org/10.1016/j.rsci.2020.11.005
Yulianto, W. A. (2021). Kimia Beras: Biosintesis
dan Sifat Fungsional Pati. Yogyakarta: Deepublish.
Yuliwardi, dkk., (2014). Pengaruh Dua Siklus
Autoclaving-Cooling Terhadap Kadar Pati Resisten Tepung Beras dan Bihun yang
Dihasilkannya. Jurnal Pangan, Vol. 23 No. 1 Halaman 43 - 52.
Yuriansyah. (2017). Evaluasi Kualitas Beras Giling
Beberapa Galur Harapan Padi Sawah ( Oryza Sativa L .) Milled Rice Quality
Evaluation Of Some Hope Strain Rice Field Rice ( Oryza sativa L .). Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan, 17(1), 68.
Zhang, L., Li, H. T., Shen, L., Fang, Q. C., Qian, L.
L., & Jia, W. P. (2015). Effect of dietary resistant starch on prevention
and treatment of obesity-related diseases and its possible mechanisms. Biomedical
and Environmental Sciences, 28(4), 291–297.
https://doi.org/10.3967/bes2015.040.
Zhou, Y., Meng, S., Chen, D., Zhu, X., & Yuan, H.
(2014). Structure characterization and hypoglycemic effects of dual modified
resistant starch from indica rice starch. Carbohydrate Polymers, 103(1),
81–86. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.12.020.
Copyright holder: |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |