Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 3, Maret 2024

 

PATI RESISTEN DARI BERAS PATAH DENGAN METODE AUTOCLAVING-COOLING DUA SIKLUS

 

Ulfah Mariatul Hasanah1, Dede Zainal Arif 2, Yuyun Lusini3*, Mirwan Abu Bakar Sidiq4, Yorike Bonita5

Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara, Depok, Jawa Barat, Indoenesia1, 3, 4, 5

Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, Indoenesia2

Email: yuyunlusini68@gmail.com*

 

Abstrak

Pati resisten merupakan jenis pati yang memiliki resistensi terhadap enzim amilase dalam pencernaan manusia. Pengolahan pati resisten dari beras pecah dengan metode autoklaf-pendinginan telah terbukti dapat mengurangi sisa produk sampingan, namun proses retrogradasi selama pendinginan membutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun demikian, penggunaan beras pecah masih terbatas karena kualitas patinya yang lebih rendah dibandingkan dengan beras utuh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh suhu dan waktu retrogradasi terhadap produksi pati resisten dari beras pecah, dengan fokus untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kandungan pati resisten. Retrogradasi dilakukan pada berbagai suhu (-20°C, -10°C, dan 4°C) dengan waktu retrogradasi 18 dan 24 jam. Penelitian ini menggunakan desain faktorial Randomized Block Design (RBD) untuk mengolah data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan waktu retrogradasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kandungan pati resisten pada beras pecah. Kandungan pati resisten tertinggi ditemukan pada sampel yang mengalami retrogradasi pada suhu 4°C selama 18 jam, ditandai dengan sampel a1b2. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suhu dan waktu retrogradasi memengaruhi produksi pati resisten dari beras pecah. Retrogradasi pada suhu 4°C selama 18 jam menghasilkan kandungan pati resisten yang paling tinggi, menunjukkan potensi untuk meningkatkan kualitas pati dari beras pecah.

Kata kunci: Beras Pecah, Pati Resisten, Retrogradasi

 

Abstract

Resistant starch is a type of starch that exhibits resistance to human digestive enzyme amylase. Processing resistant starch from broken rice using the autoclave-cooling method has been shown to reduce waste by-products, although the retrogradation process during cooling requires a significant amount of time. However, the use of broken rice is still limited due to its lower starch quality compared to whole rice grains. This study aims to analyze the effects of temperature and retrogradation time on the production of resistant starch from broken rice, specifically focusing on their influence on resistant starch content. Retrogradation was conducted at various temperatures (-20°C, -10°C, and 4°C) for 18 and 24 hours. This research employed a factorial Randomized Block Design (RBD) to process the data. The results indicate that temperature and retrogradation time significantly affect the resistant starch content in broken rice. The highest resistant starch content was found in the sample subjected to retrogradation at 4°C for 18 hours, identified as sample a1b2. In conclusion, temperature and retrogradation time influence the production of resistant starch from broken rice. Retrogradation at 4°C for 18 hours resulted in the highest resistant starch content, suggesting the potential to enhance the quality of starch from broken rice.

Keywords: Broken Rice, Resistant Starch, , Retrogradation

 

Pendahuluan


Pati resisten atau Resistant Starch (RS) adalah pati yang terdiri dari molekul kecil dengan 20-25 monomer glukosa, polisakarida linear yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen (Zhou dkk., 2014). Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia sehingga mempunyai fungsi fisiologis seperti serat pangan (Pangastuti & Permana, 2021). Pada usus besar pati resisten berperan sebagai prebiotik karena dapat membantu proses fermentasi dengan menghasilkan metabolit penting seperti asam lemak rantai pendek, ini terjadi dikarenakan pati resisten tidak dapat dipecah oleh enzim amilase menjadi D-glukosa pada pencernaan bagian atas (Zhang dkk., 2015). Menurut Pangastuti dan Permana (2021) kadar Pati Resisten dalam sampel dapat mengurangi daya cerna pati in vitro sehingga dapat membantu resiko diabetes, kolesterol, obesitas, serta berbagai penyakit degeneratif lainnya. (Polesi dkk., 2017).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI, pada tahun 2018, pengendalian diabetes melitus sebanyak 80,2% diupayakan melalui pengaturan makan, 48,1% melalui olahraga, dan 35,7% melalui alternatif herbal. Pengaturan pada makanan mempunyai tingkat prioritas upaya pengendalian paling tinggi dan dapat menjadi fokus masyarakat. Pada tahun 2018, sebanyak 21,8% penduduk dewasa (≥18 tahun) mengalami obesitas, sedangkan untuk obesitas sentral pada usia ≥15 tahun terdapat sebanyak 31%, ini menunjukan kenaikan masing-masing sebesar 7% dan 4,4% dibandingkan data pada tahun 2013. Dengan kejadian epidemi global obesitas dan diabetes tipe II, lebih banyak penelitian berfokus pada pati resisten dan diet pati resisten tinggi (Kumar et al., 2018). Pati resisten tampaknya dapat menjadi serat makanan yang menjanjikan untuk pencegahan atau pengobatan obesitas (Zhang dkk., 2015).

Sebagai makanan pokok, nasi adalah makanan intervensi diet yang ideal. Meningkatkan kandungan pati resisten dalam beras penting untuk memenuhi intervensi (Yi dkk., 2021). Sebagai produk samping dari produksi beras utuh, beras patah umumnya diolah menjadi tepung beras, yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan baku pada berbagai produk pangan. Untuk meningkatkan harga jual tepung beras dipasaran, beras patah dapat dikembangkan menjadi pati resisten dengan kadar tinggi (Rozali dkk. 2018).

Metode pengolahan pati resisten secara fisik lebih banyak digunakan karena tidak mengasilkan residu produk samping. Salah satu metode fisik yang banyak digunakan yaitu dengan teknik autoclaving-cooling, proses ini akan menghasilkan rekristalisasi amilosa yang merupakan pati resisten tipe 3 (Silitonga dkk., 2021). Pati resisten tipe 3 dibuat dengan cara pemanasan dan pendinginan ulang. Rekristalisasi amilosa dalam pembentukan pati resisten tipe 3 dapat meningkatkan kadar pati resisten pada bahan mencapai 18,5‒18,7 % (Rozali dkk., 2018). Prinsip teknik autoclaving-cooling yaitu berdasarkan proses pemanasan suspensi pati pada autoklaf akan meningkatkan proses gelatinisasi pati dan terbentuk pati rantai pendek lebih banyak sehingga pada proses retrogradasi selanjutnya akan menghasilkan pati resisten (Setiarto & Yunirma., 2015).

Pati ketika dipanaskan atau saat proses gelatinisasi ke berbagai tingkat mengarah pada pembentukan pati resisten (RS). Pati resisten dapat diperoleh dengan mengkondisikan pati pada suhu 120°C selama 20 menit (gelatinisasi), diikuti oleh pendinginan ke suhu kamar dapat memberikan hasil RS yang baik. Hasil yang baik dari RS3 diperoleh dengan berbagai kombinasi waktu dan suhu perlakuan terhadap berbagai sumber pati asli. Perlakuan suhu saat autoklaf pati pada 110°C, 121°C, 127°C, dan 134 °C, dapat meningkatkan kadar pati resisten (Ashwar et al., 2016).

Hasil rendemen maksimum pati yang mudah dicerna mencapai 39,3-56,7% setelah proses dual retrogradasi (gelatinisasi-retrogradasi-gelatinisasi-retrogradasi) dalam pati beras. Retrogradasi memainkan peran penting pada kualitas dan kecernaan produk makanan. Pendinginan makanan bertepung setelah pemanasan dalam air berlebih mengarah pada pembentukan kristal yang menghambat pencernaan pati (Rosida dkk., 2016). Retrogradasi dengan pendinginan pada pati tergelatinisasi mendorong pembentukan pati resisten (Interpares dkk., 2015).

Proses autoklaf dan waktu penyimpanan saat proses retrogradasi pada suhu ruang yang lama hingga 72 jam meningkatkan hasil pati resisten. Waktu penyimpanan hasil autoklaf pada suhu ruang setelah autoklaf atau proses cooling dapat berpengaruh terhadap kadar pati resisten (Dundar & Gocmen 2013). Karena molekul amilosa memiliki struktur linier, mereka memiliki kecenderungan besar untuk membentuk ganda heliks, terutama di dekat suhu pendinginan (4–5°C) dan dengan kadar air yang cukup (Birt dkk. 2013). Penyimpanan gel pati dengan kadar air 45 hingga 50% pada suhu rendah hingga di atas –5°C selama 24 jam dan tidak lebih dapat meningkatkan retrogradasi dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu kamar (Oladele, 2013). maka dari itu variasi suhu pendinginan diturunkan sedangkan waktu pendinginan dipercepat agar dapat mengetahui pengaruh kedua faktor tersebut terhadap proses retrogradasi kadar pati resiten.

Teknik pemanasan dengan tekanan pada pengolahan pati dapat mempengaruhi gelatinisasi sedangkan retrogradasi dapat mempengaruhi pembentukan kristal pati resisten. Retrogradasi pati terutama disebabkan oleh interaksi molekul amilosa, karena pembentukan ikatan hidrogen antar amilosa mudah terbentuk (Rosida dkk., 2016). Hasil penelitian Anugrahati dkk (2015) menunjukan pemanasan 121˚C dan pendinginan ulang pada 4˚C selama 24 jam dua kali (autoclaving-cooling) memberikan kandungan pati resisten yang lebih tinggi dari nasi. Proses retrogradasi ini membutuhkan waktu yang cukup panjang hingga dua hari dalam pengadaannya, ini tidak sesuai dengan efisiensi dan produktivitas perusahaan manufaktur (Pristianingrum, 2017), oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut pengaruh suhu dan waktu proses retrogradasi terhadap kadar pati resisten.

Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari proses pembuatan pati resisten tipe 3, memanfaatkan beras patah sebagai pati resisten, mempelajari pengaruh suhu dan waktu pendinginan pada metode pembuatan pati resisten secara autoclaving-cooling dua siklus terhadap kadar pati resisten.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana suhu dan waktu pendinginan (waktu retrogradasi) pada metode pembuatan pati resisten secara autoclaving-cooling dua siklus terhadap kadar pati resisten.

 

Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dimulai dari bulan Agustus-November 2022, bertempat di Laboratorium Penelitian Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara, Depok.

 

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan pati resisten adalah autoclave, freezer, steamer, oven, grinder, botol sampel DURAN 500 ml dan 1000 ml, box penyimpanan 250 ml, termometer digital, timbangan digital, dan baskom plastic. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah Spektrofotometer, Rapid Visco Analyzer (RVA), oven listrik, sentrifuge, penangas air, timbangan analitik ”Mettler Toledo”, kertas whatman, pH meter, desikator, gelas beaker 250 ml, pipet volume 10ml, erlemeyer 250ml, pipet ukur 10 ml, tabung reaksi, bola hisap, corong, pipet tetes, dan botol timbang.

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras patah yang didapatkan dari toko Mekar Wangi Beras kota Bandung. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah enzim α-amilase, enzim amiloglukosidase, Etanol 95%, KOH 2 M, buffer natrium asetat (pH 3,8), alikuot 1,2 M, reagen glukosa oksidase peroksidase (GOPOD), AMG 300U/ml, dan Aquades.

Jenis Metode

Metode Penelitian yang dilakukan yaitu pembuatan pati resisten dengan metode fisik secara autoclaving-cooling dua siklus dengan variasi suhu pendinginan (4oC, 10oC, 18oC), dan variasi waktu pendinginan (18 jam dan 24 jam). Uji kadar air, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar pati resisten pada beras awal dilakukan untuk mengetahui kondisi awal dari pati yang ada didalam beras. Uji kadar pati resisten, kadar air, dan sifat pasting dilakukan untuk mengetahui kualitas sampel yang dihasilkan.

Rancangan Perlakuan

Rancangan perlakuan pada penelitian ini yaitu ditentukan dari suhu pendinginan (A) dan waktu pendinginan (B). Sampel yang digunakan yaitu beras patah. Suhu pendinginan pada proses autoclaving-cooling yang digunakan yaitu 4oC, -10oC, -18oC, serta waktu pendinginan pada proses autoclaving-cooling yang digunakan yaitu 18 jam dan 24 jam.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah pola faktorial 3x2 dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 kali ulangan, sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Suhu pendinginan pada proses autoclaving-cooling faktor A dan waktu pendinginan pada proses autoclaving-cooling faktor B.

1.     Suhu pendinginan (A)

a1 = 4oC

a2 = -10oC

a3 = -20oC

2.     Waktu pendinginan (B)

b1 = 18 jam

b2 = 24 jam

 

Model percobaan pada penelitian adalah sebagai berikut:

Yi j k = μ + αi + βj + (αβ)ij + кk + εi j k

 

 

 


Keterangan:

Yijk

=

Nilai pengamatan dari kelompok ke-k, yang memperoleh taraf ke-i dari faktor A (suhu pendinginan) dan taraf ke-j dari faktor B (waktu pendinginan).

µ

=

Rata-rata umum yang sebenarnya

кk

=

Efek taraf kelompok ke-k

αi

=

Pengaruh perlakuan dari taraf ke-i faktor A (suhu pendinginan)

βj

=

Pengaruh perlakuan dari taraf ke-j faktor B (waktu pendinginan).

(UT)ij

=

pengaruh interaksi antara taraf

ke-i faktor A (suhu pendinginan) dan taraf ke-j faktor (waktu pendinginan).

εijk

=

Pengaruh galat percobaan ke-k dari suhu pendinginan ke-i dan waktu pendinginan ke-j.

k

=

Banyaknya ulangan (4 kali)

i

=

1, 2, 3 untuk suhu pendinginan

j

=

1, 2 untuk waktu pendinginan

 

Rancangan Analisis

Berdasarkan rancangan percobaan, dapat dibuat Analysis of Variance (ANOVA) untuk mendapatkan kesimpulan mengenai pengaruh perlakuan. Analisis variansi percobaan dengan Rancangan Acak Faktorial (RAK) dapat dilihat pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Analisis Variansi (ANOVA) Rancangan Acak Lengkap (RAL)

(Sumber : Gaspersz, 1995)

Kesimpulan:

1)  H1 ditolak, apabila F hitung ≤ F tabel 5%, yang berarti perbedaan suhu dan waktu pendinginan pada saat proses autoclaving-cooling tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten pada sampel.

2)  H1 diterima, apabila F Hitung ≥ F Tabel 5 %, yang berarti perbedaan suhu dan waktu pendinginan pada saat proses autoclaving-cooling berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten pada sampel.

 

Prosedur Penelitian

Penyiapan Sampel Percobaan

Beras sebanyak 50 g direndam dengan perbandingan 2:7 selama 30 menit, kemudian dikukus selama 30 menit dengan suhu 60-70oC. Sampel selanjutnya disuspensikan kembali dengan air sebanyak 1:4. kemudian dilakukan autoclaving pada suhu 121-130oC selama 30 menit. Setelah itu sampel dikeluarkan dari autoclave dan didinginkan pada suhu ruang untuk selanjutnya disimpan pada suhu dingin dengan variasi 4oC, -10oC, -20oC, serta waktu pendinginan pada proses autoclaving-cooling yang digunakan yaitu 18 jam, 24 jam. Proses autoclaving-cooling diulangi untuk siklus kedua, dan terakhir dikeringkan sampai kadar air mencapai maksimum 14%. Sampel dihaluskan dan diayak dengan ukuran 100 mesh.

Penentuan Kadar Pati Resisten

a.   Hidrolisis dan Pelarutan Non-pati Resisten

Sampel 100 mg secara akurat ditimbang ke dalam tiga tabung kultur corning tutup ulir. 4,0 ml larutan enzim yang mengandung α-amilase pankreas dan amiloglukosidase ditambahkan ke setiap tabung. Tabung ditutup rapat, dicampur pada mixer vortex dan dipasang secara horizontal dalam penangas air yang bergetar, disejajarkan dengan arah gerakan. Tabung diinkubasi pada 37˚C dengan pengocokan terus menerus (200 rpm/menit) selama tepat 16 jam. Tabung dikeluarkan dari penangas air dan kelebihan air permukaan dihilangkan dengan handuk kertas. Tutup tabung dilepas dan isinya diolah dengan 4,0 ml etanol (95%). Tabung disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 10 menit.

Supernatan dituang dengan hati-hati dan pelet disuspensikan kembali dalam 2 ml etanol 50% dengan pengadukan kuat pada mixer vortex dan 6 ml etanol 50% lebih lanjut ditambahkan, tabung dicampur dan disentrifugasi lagi pada 3000rpm selama 10 menit. Supernatan dituang dan langkah suspensi dan sentrifugasi ini diulangi sekali lagi. Supernatan dituang dengan hati-hati dan tabung dibalik di atas kertas penyerap untuk mengalirkan kelebihan cairan.

b.   Pengukuran pati resisten

Pada setiap tabung ditambahkan 2 ml kalium hidroksida (KOH) 2 M dan sampel disuspensikan kembali (untuk melarutkan RS) dengan diaduk selama kurang lebih 20 menit dalam penangas es/air di atas pengaduk magnet. Sebuah alikuot 8 ml 1,2 M, buffer natrium asetat (pH 3,8) ditambahkan ke setiap tabung dengan pengadukan pada pengaduk magnet dan 0,1 ml amiloglukosidase segera ditambahkan; tabung dicampur dengan baik dan diinkubasi dalam penangas air pada 50°C selama 30 menit dengan pencampuran intermiten pada mixer vortex.

Setelah inkubasi, isi tabung dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml (menggunakan botol pencuci air). Volume disesuaikan menjadi 100 ml dengan air suling dan diaduk rata. Sebuah alikuot dari larutan disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. 0,1 ml alikuot (dalam rangkap tiga) supernatan dipindahkan ke tabung reaksi kaca, 3,0 ml reagen glukosa oksidase/peroksida (GOPOD) ditambahkan dan tabung diinkubasi pada 40°C selama 20 menit sebelum mengukur konsentrasi glukosa pada 510 nm terhadap kosong reagen.

c.   Pengukuran Pati yang Tidak Tahan (Larut)

Solusi supernatan gabungan diperoleh pada sentrifugasi langkah inkubasi awal dipindahkan ke 100 ml labu ukur dan disesuaikan volume dengan 100 mM buffer natrium asetat (pH 4,5) dan dicampur dengan baik. Sebuah alikuot 0,1 ml larutan ini (dalam rangkap tiga) diinkubasi dengan 10 l larutan AMG encer (300 U/ml) dalam 100 mM buffer natrium maleat (pH 6,0) selama 20 menit pada 40oC. 3,0 ml reagen GOPOD ditambahkan dan tabung diinkubasi selama 20 menit pada 40°C. Absorbansi diukur pada 510 nm terhadap blanko reagen.

Prinsip metode ini yaitu glukosa oksidase/peroksidase melibatkan oksidasi D-glukosa oleh glukosa oksidase untuk menghasilkan hidrogen peroksida dan reaksi selanjutnya dari hidrogen peroksida dengan pewarna dengan adanya enzim peroksidase untuk menghasilkan produk berwarna. Konsentrasi produk akhir yang diukur pada 510 nm dengan spektrofotometer setara dengan konsentrasi glukosa. Kandungan pati resisten dan pati non-resisten (larut) dihitung menggunakan kurva standar glukosa. Kandungan pati total dihitung sebagai jumlah pati resisten dan pati non resisten (Oladele, 2013).

 

Penentuan Kadar Air

Botol timbang dipanaskan beserta tutupnya dengan suhu (130 ± 3)°C dalam oven selama kurang lebih satu jam dan dinginkan dalam desikator selama 20 menit sampai dengan 30 menit, kemudian timbang dengan neraca analitik (pinggan dan tutupnya) (W0), sampel dimasukkan sebanyak 2 g ke dalam botol timbang, ditutup, dan ditimbang (W1), botol timbang yang berisi contoh tersebut dipanaskan di dalam oven pada suhu (130 ± 3)°C selama 1 (satu) jam, dalam keadaan terbuka dengan meletakkan tutup botol timbang disamping botol timbang. Setelah suhu oven mencapai (130 ± 3)°C, botol timbang diangkat dan dipindahkan segera ke dalam desikator dan dinginkan selama 20 menit sampai dengan 30 menit sehingga suhunya sama dengan suhu ruang kemudian ditimbang (W2), pekerjaan dilakukan pekerjaan duplo, dan dihitung kadar air dalam contoh.

 

Kadar air (%) =  x 100%

Keterangan:

W0 = bobot pinggan kosong dan tutupnya,

dinyatakan dalam gram (g);

W1 = bobot pinggan, tutupnya dan contoh sebelum dikeringkan, dinyatakan dalam gram (g); dan

W2 = bobot pinggan, tutupnya dan contoh setelah dikeringkan, dinyatakan dalam gram (g). (SNI 3549:2009)

 

Penentuan Sifat Amilograf dengan Rapid Visco Analyzer (RVA)

Sampel ditimbang sebanyak ±3 g kemudian dilarutkan dalam ±25 g akuades (tergantung dari kadar air bahan). Selanjutnya dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel dipanaskan hingga suhu 50oC dan dipertahankan selama 1 menit. Sampel dipanaskan hingga suhu 50oC hingga 95oC, lalu suhu 95oC dipertahankan selama 5 menit.

Sampel didinginkan hingga suhu 50oC dengan kecepatan 6oC/menit, lalu suhu 50oC dipertahankan selama 3 menit. Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95oC, viskositas setelah 95oC dipertahankan, viskositas pada suhu 50oC, dan viskositas setelah suhu 50oC dipertahankan.

Data yang diperoleh dari analisis ini adalah suhu gelatinisasi, peak viscosity (PV) atau viskositas maksimum, breakdown viscosity (BDV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV) atau viskositas akhir (Agustifa & Adawiyah, 2013).

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penyiapan Sampel

Beras patah yang digunakan pada penelitian memiliki kadar pati sebesar 62,3%, kadar pati pada beras patah lebih rendah dibandingkan dengan kandungan pati pada beras utuh yang dilaporkan oleh Yuan, dkk. (2015) yaitu 78,8% dan 79,2%. Rendahnya kadar pati pada beras patah diduga karena beras patah yang digunakan sebagian besar berasal dari potongan bagian atas atau bagian bawah dari beras utuh seperti yang ditinjau pada SNI 6128:2015, pada bagian beras tersebut lebih banyak terdapat lapisan subaleuron dibandingkan inti endosperma. Presentase pati pada bagian subaleuron lebih kecil dibandingkan presentase protein, lemak kasar, dan abu kasar, sedangkan pada bagian inti endosperma presentase pati merupakan bagian terbesar dibandingkan presentase protein, lemak kasar, dan abu kasar (Yulianto, 2021). Maka dari itu menurut Yuliwardi, dkk. (2014) kandungan pati yang lebih rendah pada beras patah menunjukan bahwa beras patah memiliki kualitas yang lebih rendah daripada beras utuh. Perbedaan kualitas inilah yang dapat mempengaruhi kualitas pada sampel akhir.

Kadar air beras patah yang digunakan yaitu 11,67% lebih rendah dibandingkan kadar air pada beras utuh yang dilaporkan oleh Arsyad dan Saud (2020) yaitu 14,60%, 14,70%, dan 14,83%. Sedikitnya kadar air pada beras patah diduga karena beras patah lebih banyak mengandung lapisan subaleuron yang memiliki kadar protein tinggi (Yulianto, 2021). Sesuai dengan pernyataan Effendy (2022) Kadar protein yang tinggi dapat menyebabkan daya ikat air lebih rendah, karena ikatan hidrogen yang terjadi pada molekul protein merupakan ikatan hidrogen intramolekul sehingga molekul air yang terikat lebih sedikit sedangkan ikatan hidrogen pada pati termasuk ikatan hidrogen antarmolekul. Perbedaan kadar air pada beras juga dapat disebabkan oleh proses penggilingan pada beras, suhu, dan kadar air gabah. Semakin tinggi kadar air pada gabah akan menghasilkan beras patah yang lebih banyak, artinya beras lebih rapuh ketika kadar airnya tinggi sehingga kualitasnya rendah (Arsyad & Saud, 2017).

Kadar amilosa dan pati resisten pada beras patah masing-masing sebesar 20,38% dan 2,26%. Kadar amilosa yang didapatkan relatif sama dengan data yang didapatkan oleh Ekafitri (2017) yaitu pati beras utuh memiliki kandungan amilosa sebanyak 21,7%. Begitupun dari hasil uji kadar amilosa pada beberapa varietas beras Indonesia yang dilakukan oleh Anugrahati, dkk. (2015) memiliki range kadar amilosa sebesar 15,22% hingga 23,69%. Kadar pati resisten pada beras patah menunjukan kesesuaian dengan data pada penelitian Srikaeo & Martinez (2014) bahwa beras dengan kadar amilosa 30% memiliki kadar pati resisten sebesar 2%. Namun kadar pati resisten pada beras patah berbeda dengan kadar beras patah yang digunakan Yuliwardi, dkk. (2014) yaitu sebesar 8,24% pada beras Ciherang, 5,31% pada beras Basmati, dan 6,19% pada beras IR-42.

Beras patah yang diolah menjadi tepung beras menghasilkan rendemen untuk masing-masing variasi yaitu a1b1 64,85 %, a1b2 69,30 %, a2b1 68,75 %, a2b2 64,05 %, a3b1 72,05 %, dan a3b2 78,90 %. Rendemen tepung beras patah yang didapatkan berkisar 64%-79% dari berat beras patah yang digunakan yaitu sebanyak 50 gram. Rendemen tepung yang berbeda untuk setiap proses disebabkan oleh proses pengolahan tepung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa Ode, dkk. (2020) bahwa serangkaian pengolahan pangan dalam pembuatan tepung akan menyebabkan rendemen yang berbeda, termasuk dengan proses pengayakan yang menyebabkan berkurangnya presentase rendemen cukup tinggi.

Semakin rendah suhu penyimpanan sampel, maka berat sampel yang dihasilkan lebih banyak. Menurut Asiah, dkk. (2020) semakin rendah suhu pendinginan maka menyebabkan pembentukan kristal es berlangsung lebih cepat dan menghasilkan kristal es yang berukuran lebih kecil, sehingga daya ikat air pada bahan tidak banyak terganggu dan kualitas bahan pangan lebih terjaga, karenanya pada saat bahan dikeringkan kembali maka kadar air pada bahan pangan tidak banyak berkurang. Ini terbukti pada suhu 4˚C berat sampel yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan penyimpanan pada suhu -20˚C. maka dari itu ketika proses penghancuran sampel yang disimpan pada suhu -20˚C akan lebih rapuh sehingga hasil pengayakan lebih banyak dibandingkan dengan suhu 4˚C, karena semakin tinggi kadar air maka sampel akan semakin rapuh (Arsyad & Saud, 2017).

 

Hasil Uji Kadar Pati Resisten

Hasil perhitungan analisis variansi menunjukan interaksi suhu dan waktu retrogradasi dari setiap perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten. Untuk mengetahui lebih lanjut kelompok mana yang lebih signifikan maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil menunjukan perbedaan dari semua perlakuan baik a1b1, a1b2, a2b1, a2b2, a3b1, dan a3b2, sehingga setiap faktor berbeda nyata terhadap kadar pati resisten.

 

Tabel 2. Pengaruh Suhu dan Waktu Retrogradasi terhadap Kadar Pati Resisten

Suhu (A)

Waktu (B)

b1

(18 jam)

b2

(24 jam)

a1

(4˚C)

3,58 %

A

3,66 %

A

a

 

b

 

a2

(-10˚C)

3,44 %

B

2,94 %

B

a

 

b

 

a3

(-20˚C)

3,09 %

C

3,17 %

C

a

 

b

 

Keterangan:

Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf kapital dibaca vertikal.

 

Perlakuan pada suhu 4˚C, -10˚C, dan -20˚C masing-masing menghasilkan peningkatan kadar pati resisten pada sampel karena menurut BeMiller (2019) ikatan hidrogen pada molekul amilosa dan amilopektin mudah terbentuk pada suhu sebagian lemari es, sehingga terjadi proses kristalisasi setelah dilakukannya proses gelatinisasi saat autoclaving. Struktur pati resisten yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 8. Selama proses gelatinisasi, granula pati akan membengkak dan hancur secara bertahap, perubahan granula pati terjadi secara ireversibel (Dundar & Gocmen, 2013). Konformasi hexagonal terjadi saat molekul pati berinteraksi dengan air, gugus hidroksil pada pati sangat berperan pada proses gelatinisasi (Tako, dkk., 2014).

Kristalisasi gel terjadi secara cepat pada molekul amilosa yang mengalami proses leaching pada saat gelatinisasi, dilanjutkan oleh struktur amilopektin menyebabkan gel berkembang lebih lambat, untuk kemudian terbentuk kembali ikatan hidrogen antar molekul pada pati resisten yang terbentuk (Putri& Zubaidah, 2017). Molekul amilosa linier pada rantai polimer bergabung kembali membentuk struktur heliks ganda yang stabil karena ikatan hidrogen, sehingga lebih tahan terhadap enzim hidrolisis pada usus halus manusia (Li, 2018). Struktur pati resisten yang lebih kompak menyebabkan enzim emilase sulit untuk menghidrolisis senyawa tersebut (Yuan, dkk., 2016). Menurut Tako, dkk. (2014) struktur pati akan mulai mengalami retrogradasi membentuk gel dengan struktur yang lebih kompak pada suhu ruang (15˚C-20˚C).

Perlakuan autoclaving-cooling dua siklus yang dilakukan dapat mempengaruhi kenaikan kadar pati resisten. Siklus autoclaving-cooling berperan terhadap pembentukan pati resisten yang sangat stabil, peningkatan jumlah siklus autoklaf-pendinginan meningkatkan hidrolisis amilosa dan amilopektin dan pembentukan fraksi amilosa rantai pendek (Rosida, dkk., 2016). Hasil pati resisten pada penelitian Rosida, dkk. (2016) menunjukan siklus kedua autoclaving-cooling dapat menaikan kadar pati resisten hingga 60%, peningkatan kadar pati resisten siklus kedua paling tinggi dibandingkan siklus pertama dan ketiga.

Kadar pati resisten dengan perlakuan a1b1 yaitu 3,58% meningkat sebesar 58% dan kadar pati resisten sampel a1b2 yaitu 3,66% meningkat sebesar 62% dari kadar pati resisten beras patah. Perlakuan dengan suhu 4˚C menunjukan peningkatan kadar pati resisten yang paling tinggi dibandingkan pada suhu -10˚C dan -20˚C. Hasil sesuai dengan yang dilaporkan oleh Anugrahati, dkk. (2015) bahwa 3,42% pati resisten didapatkan pada beras yang dimasak dan didinginkan pada refrigerator pada suhu 4˚C selama 12 jam. Yuliwardi, dkk. (2014) melaporkan kadar pati resisten pada tepung beras dapat meningkat 61% dengan perlakuan autoclaving-cooling dua siklus. Alhambra, dkk. (2019) melaporkan kadar pati resisten pada beras yang menggunakan suhu 4˚C selama 24 jam menghasilkan sampel dengan kadar pati resisten dengan range 1,32%-8,71%. Pada penelitian Rosida, dkk. (2016) perlakuan autoclaving-cooling dengan suhu 4˚C selama 24 jam dan 5˚C selama 12 jam menghasilkan pati resisten dengan range 4,06%-5,22%.

Zhou (2014) melaporkan beras indica yang dipanaskan dan didinginkan pada penyimpanan suhu 4˚C semalaman, menghasilkan tepung beras dengan kadar pati resisten 35,2%. Kadar pati resisten pada penelitian Zhou (2014) lebih besar karena adanya perbedaan perlakuan setelah proses autoclaving-cooling serta bahan baku yang digunakan merupakan beras utuh. Kadar pati yang lebih rendah pada beras patah dapat menjadi penyebab rendahnya kadar pati resisten yang dihasilkan, karena pada penelitian Rosida, dkk. (2016) kadar pati resisten pada ubi dengan kadar pati tinggi menghasilkan pati resisten yang lebih tinggi.

 Penyimpanan pada suhu -10˚C menghasilkan pati resisten 3,44% dan 2,94% dengan tingkat kenaikan sebesar 52% untuk perlakuan a2b1 dan 30% untuk a2b2. Kadar pati resisten yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4˚C. Penyimpanan dengan suhu lebih rendah mengakibatkan proses kristalisasi kembali molekul amilosa dan amilopektin terjadi lebih cepat, oleh karenanya inti kristal pada struktur tidak terbentuk sempurna karena derajat polimerisasi amilosa berkurang dan cabang-cabang pada amilopektin terhambat pergerakannya (BeMiller, 2019). Pada suhu lemari es yang lebih rendah, akan mempercepat pembentukan kristal es dari air yang terpisah pada proses rekristalisasi, sehingga mobilitas antar molekul amilosa dan amilopektin terhambat (Putri & Zubaidah, 2017).

Begitupun pada suhu -20˚C peningkatan kadar pati resisten hanya terjadi sebesar 37% dan 40% pada sampel a3b1 dan a3b2. Suhu -20˚C merupakan suhu pembekuan. Kristal es bahan pangan akan lebih cepat membeku dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan (Asiah, dkk., 2020). Kristal es yang terbentuk akan terpisah dari molekul pati dan terjadi sineresis pada saat penyimpanan pada suhu 25˚C–30˚C. Semakin banyaknya molekul air yang terpisah menunjukan bahwa pati tidak stabil ketika disimpan pada suhu beku (Putri & Zubaidah, 2017). Kadar pati resisten yang semakin menurun dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan sesuai dengan pernyataan Putri & Zubaidah (2017).

Kadar pati resisten dengan penyimpanan selama 24 jam lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan selama 18 jam. Pada penyimpanan suhu 4˚C dan -20˚C selama 24 jam kadar pati meningkat sebesar 4% dan 3% dari penyimpanan selama 18 jam. Kadar pati resisten yang dihasilkan sesuai dengan pernyataan BeMiller (2019) yaitu perbedaan waktu pada saat penyimpanan dingin dapat meningkatkan kadar pati resisten karena proses rekristalisasi terjadi tiga tahap yaitu nukleasi, propagasi, dan maturasi. Terbentuknya struktur kristal yang sempurna ditentukan oleh tahap nukleasi yaitu langkah pertama yang krusial karena inti kristal mulai terbentuk pada tahap ini. Selanjutnya inti kristal akan terus tumbuh dan stabil pada saat propagasi. Kedua tahapan tersebut mulai terjadi tepat pada suhu Transisi gelas molekul pati. Dengan laju antara temperatur nukleasi tertinggi dan temperatur laju propagasi tertinggi, laju retrogradasi dapat sangat dipercepat (BeMiller, 2019).

Berbeda dengan suhu penyimpanan -10˚C, kadar pati resisten yang disimpan selama 18 jam jauh lebih tinggi dibandingkan penyimpanan selama 24 jam. Perbedaan tersebut mencapai 22%. Jika dibandingkan perbedaan kadar pati resisten saat penyimpanan suhu 4˚C dan -20˚C yang tidak terlalu tinggi. Artinya ada faktor lain yang menyebabkan perbedaan tersebut. Menurut Asiah (2020) terjadinya kehilangan daya atau berkurangnya daya pada lemari es ketika banyak sampel yang disimpan pada lemari es dapat menyebabkan sampel tidak stabil.

 

Hasil Uji Kadar Air

Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi menunjukan suhu retrogradasi berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel sedangkan waktu retrogradasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel, namun interaksi suhu dan waktu retrogradasi dari setiap perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel. Untuk mengetahui lebih lanjut kelompok mana yang lebih signifikan maka dilakukan uji lanjut Duncan. Suhu berpengaruh nyata sedangkan waktu tidak berpengaruh nyata karena dalam sistem termodinamika nilai kalor yang diserap atau kalor yang dilepaskan ditentukan oleh perbandingan tekanan dan suhu yang diberikan pada sejumlah volume sampel (Hariyadi, P., 2019).

 

Tabel 3. Pengaruh Perbedaan Suhu Pada Waktu 18 jam

Suhu (A)

Kadar Air (%)

a1 (4˚C)

10,19 (a)

a2 (-10˚C)

10,63 (b)

a3 (-20˚C)

10,69 (b)

 

Tabel 4. Pengaruh Perbedaan Suhu Pada Waktu 24 jam

Suhu (A)

Kadar Air (%)

a1 (4˚C)

10,77 (a)

a2 (-10˚C)

10,56 (b)

a3 (-20˚C)

10,40 (c)

 

Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Data menunjukan perlakuan a1 berbeda nyata dengan perlakuan a2 dan a3, sedangkan perlakuan a2 dan a3 tidak berbeda nyata satu sama lain dan berbeda nyata dengan perlakuan a1 pada waktu retrogradasi 18 jam. Pada suhu 24 jam perlakuan a1, a2, dan a3 setiap perlakuaanya saling berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan persamaan termodinamika pada Haryadi, P. (2019) yaitu ketika suhu yang diberikan pada volume sampel yang tetap, maka tekanan akan berkurang seiring dengan penurunan suhu. Ikatan hidrogen antarmolekul pada molekul air akan lebih cepat terbentuk pada suhu yang lebih rendah (Effendy, 2022). Sehingga rendahnya suhu menyebabkan ikatan hidrogen antarmolekul pada amilosa dan ikatan hidrogen intermolekul antara amilosa dan amilopektin pada pembentukan pati resisten terhambat (Tako, dkk., 2014).

Kadar air tepung pati resisten beras patah yang dihasilkan dapat memenuhi standar tepung beras pada SNI 3549:2009 dengan batas maksimum kadar air sebesar 13 %. Rendahnya kadar air dapat berfungsi untuk penggunaan tepung beras pada proses ekstruksi agar menghasilkan produk yang lebih padat karena pembentukan gelembung saat gelatinisasi terhambat (Hariyadi, dkk., 2013).

 

Hasil Uji Sifat Amilograf

Pada Tabel 5 menunjukan sifat pasting dari sampel a1b1, a1b2, a2b1, a2b2, a3b1, dan a3b2 dengan kadar pati resisten tertinggi. Berdasarkan hasil uji sifat amilograf dari sampel pati resisten, viskositas puncak tercapai pada range suhu 51˚C - 60˚C dengan viskositas puncak sampel a1b1, a2b1, a3b2 lebih tinggi dibandingkan viskositas beras sedangkan sampel a1b2, a2b2, a3b1 memiliki viskositas puncak lebih rendah dari viskositas beras. Perbedaan kenaikan viskositas puncak dan turunnya suhu gelatinisasi tersebut disebabkan oleh adanya perlakuan hidrotermal yang berbeda pada proses autoclaving-cooling sehingga terjadi interaksi tambahan antara molekul amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin (Gunaratne, dkk. 2013). Menurut Putri & Zubaidah (2017) peningkatan viskositas puncak juga menunjukan peningkatan kemampuan swelling pada sampel, karena terbentuknya dobel heliks pada struktur pati resisten. Menurunnya suhu pengentalan menunjukan karakteristik pati resisten pada sampel tahan terhadap panas, sesuai dengan pernyataan Yuliwardi (2014) bahwa tepung beras dengan perlakuan autoclaving-cooling lebih tahan terhadap suhu panas pada mesin extruder.

Perbedaan viskositas puncak sampel dari bahan awal tersebut sesuai pada penelitian Gunaratne, dkk. (2013), pada penelitiannya viskositas tepung beras ketan dengan perlakuan pratanak berkurang 61,5% dari viskositas puncaknya. Suhu pengentalan pada sampel pada Gunaratne, dkk. (2013) yaitu tercapai pada suhu 40˚C. Pada proses pratanak yang dilakukan oleh Gunaratne, dkk. (2013), tepung beras telah mengalami gelatinisasi tanpa perlakuan retrogradasi, sehingga ketika dilakukan pengujian dengan RVA tepung beras tersebut tidak mengalami pembengkakan yang begitu tinggi dan menghasilkan puncak viskositas yang rendah.


 

Tabel 5. Sifat Pasting Sampel

No

Sampel

Viskositas Puncak (cP)

Viskositas Holding (cP)

Penurunan Viskositas (cP)

Viskositas Setback

(cP)

Viskositas Akhir (cP)

Suhu Gelatinisasi (˚C)

Waktu Puncak

(menit)

1

a1b1

2884

1468

1416

3708

2240

60

8,5

2

a1b2

2685

1336

1349

3215

1879

60

8,3

3

a2b1

3181

1579

1602

3926

2347

55

8,4

4

a2b2

2272

1348

924

3708

2360

59

9,0

5

a3b1

2303

1140

1163

2948

1808

51

7,9

6

a3b2

3012

1421

1591

3602

2181

58

8,3

7

beras patah

2659

2358

301

2418

4776

86

9,2

 


Menurut Yulianto (2021), perbedaan grafik viskositas sampel dengan bahan baku dapat disebabkan oleh perubahan bentuk granula pati. Hasil penelitian Lian, dkk. (2014) menunjukan bentuk granula pati lebih kecil sebelum proses retrogradasi dan granula lebih besar setelah proses retrogradasi. Umumnya bentuk granula pati resisten tipe 3 menurut Yi, dkk., (2021) yaitu berbentuk oval dan berukuran lebih besar dibandingkan granula pati awal. Perbedaan disebabkan oleh rasio amilosa dan amilopektin, adanya proses autoclaving-cooling menyebabkan struktur amilosa dan amilopektin berubah (BeMiller, 2019). Kemudian kadar lemak pati juga dapat mempengaruhi grafik viskositas (BeMiller, 2019). Proses retrogradasi dapat mengurangi lipid dalam amilopektin menjadi molekul kecil (Lian, dkk., 2014).

Sampel memiliki nilai breakdown yang lebih tinggi dibandingkan nilai breakdown beras patah. Nilai breakdown yang tinggi menunjukan pati pada sampel tidak stabil, hal ini terjadi dikarenakan adanya pengaruh suhu panas pada saat pembuatan sampel (Parwiyanti, dkk., 2016). Pemanasan saat autoclaving menyebabkan peningkatan pemecahan granula pati (Wu, dkk., 2015). Peningkatan kadar pati resisten juga menyebabkan peningkatan nilai breakdown karena struktur pati resisten yang lebih mudah tergelatinisasi pada saat pemanasan (Surawan, dkk., 2021).

Viskositas setback semua sampel lebih tinggi dibandingkan beras patah sedangkan viskositas akhirnya lebih rendah dari beras patah. Viskositas setback yang tinggi menunjukan bahwa sampel memiliki kemampuan retrogradasi yang lebih tinggi dibandingkan beras patah. (Wu, dkk., 2015). Sesuai dengan penelitian Parwiyanti dkk. (2016) perlakuan modifikasi panas pada pati ganyong meningkatkan nilai setback sedangkan viskositas akhir menurun. Viskositas akhir yang menurun disebabkan daerah kristalin pada pati termodifikasi bersifat lebih kaku dibandingkan pati sebelum modifikasi (Parwiyanti, dkk., 2016).

Berdasarkan hasil kurva sifat pasting sampel pada Tabel 5, sampel diduga bersifat fungsional sesuai dengan pernyataan BeMiller (2019) bahwa pati resisten tipe 3 dengan modifikasi autoclaving-cooling menghasilkan perbedaan kurva sehingga memiliki daya cerna pati yang rendah dan dapat bersifat fungsional. Sampel diduga dapat digunakan sebagai bahan enkapsulasi seperti penelitian yang dilakukan oleh Khan, dkk. (2019). Dalam penelitian Yuliwardi, dkk. (2014) pengolahan beras patah dengan autoclaving-cooling dapat menghasilkan bihun dengan kadar pati resisten lebih tinggi. Pemanfaatan sampel dapat disesuaikan dengan karakteristik yang diharapkan pada berbagai pangan olahan tepung (Immaningsih, 2012).

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut; (1) suhu dan waktu retrogradasi berpengaruh nyata terhadap kadar pati resisten pada sampel, dengan kadar pati resisten sampel tertinggi yaitu pada perlakuan a1b2, (2) suhu retrogradasi berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel sedangkan waktu retrogradasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air sampel, (3) sifat Amilograf pada setiap sampel menunjukan peningkatan sifat pasting beras patah, dan (4) rendemen sampel yang diperoleh berada pada range 64 % - 79%.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alhambra, C. M., de Guzman, M. K., Dhital, S., Bonto, A. P., Dizon, E. I., Israel, K. A. C., Hurtada, W. A., Butardo, V. M., & Sreenivasulu, N. (2019). Long glucan chains reduce in vitro starch digestibility of freshly cooked and retrograded milled rice. Journal of Cereal Science, 86, 108–116. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2019.02.001.

Anugrahati, N. A., Pranoto, Y., Marsono, Y., & Marseno, D. W. (2015). In Vitro Digestibility of Indonesian Cooked Rice Treated with Cooling-Reheating Process and Coconut Milk Addition. International Research Journal of Biological Sciences, 4(12), 34–39. www.isca.me.

Arsyad, M., & Maryam, S. (2020). Evaluasi Tingkat Kualitas dan Mutu Beras Hasil Penggilingan Padi di Kecamatan Duhiadaa Kabupaten Pohuwato. Perbal: Jurnal Pertanian Berkelanjutan, 8(1), 8–18.

Ashwar, B. A., Gani, A., Shah, A., & Masoodi, F. A. (2017). Physicochemical properties, in-vitro digestibility and structural elucidation of RS4 from rice starch. International Journal of Biological Macromolecules, 105, 471–477. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2017.07.057.

Ashwar, B. A., Gani, A., Shah, A., Wani, I. A., & Masoodi, F. A. (2016). Preparation, health benefits and applications of resistant starch - A review. Starch/Staerke, 68(3–4), 287–301. https://doi.org/10.1002/star.201500064.

Attri, S., Singh, N., Nadda, A. K., & Goel, G. (2021). Advances in Probiotics for Sustainable Food and Medicine (Vol. 21). http://link.springer.com/10.1007/978-981-15-6795-7_1.

Badan Standarisasi Nasional. (2015). SNI 6128:2015. Syarat Mutu Beras. 2–4.

BeMiller. (2019) Carbohydrate Chemistry for Food Scientists. United Kingdom: AAC International.

Birt, D. F., Boylston, T., Hendrich, S., Jane, J. L., Hollis, J., Li, L., McClelland, J., Moore, S., Phillips, G. J., Rowling, M., Schalinske, K., Paul Scott, M., & Whitley, E. M. (2013). Resistant starch: Promise for improving human health. Advances in Nutrition, 4(6), 587–601. https://doi.org/10.3945/an.113.004325

Dundar, A. N., & Gocmen, D. (2013). Effects of autoclaving temperature and storing time on resistant starch formation and its functional and physicochemical properties. Carbohydrate Polymers, 97(2), 764–771. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.04.083.

Effendy. (2022). Teori VSEPR dan Gaya Antarmolekul. Edisi ke-3. Malang: Bayumedia Publishing.

Gaspersz, Vincent. 1995. Teknik Analisis Dalam Percobaan. Tarsito. Bandung.

Gunaratne, A., Kao, W., Ratnayaka, J., Collado, L., & Corke, H. (2013). Effect of parboiling on the formation of resistant starch, digestibility and functional properties of rice flour from different varieties grown in Sri Lanka. Journal of the Science of Food and Agriculture, 93(11), 2723–2729. https://doi.org/10.1002/jsfa.6091

Hariyadi, P. (2019). Landasan Teknik Pangan. Bogor: IPB Press.

Interpares, P., Haryadi, & Cahyanto, M. N. (2015). Pengaruh Retrogradasi pada Pembuatan Sohun Pati Jagung Terhadap Karakteristik Fisikokimia Produk dan Aktivitas Prebiotiknya. Agritech, 35(2), 192–199.

Kemenkes RI. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan RI, 53(9), 1689–1699.

Khan, A., Rahman, U. U., Siddiqui, S., Irfan, M., Shah, A. A., Badshah, M., Hasan, F., & Khan, S. (2019). Preparation and characterization of resistant starch type III from enzymatically hydrolyzed maize flour. Molecular Biology Reports, 46(4), 4565–4580. https://doi.org/10.1007/s11033-019-04913-5.

Kumar, A., Sahoo, U., Baisakha, B., Okpani, O. A., Ngangkham, U., Parameswaran, C., Basak, N., Kumar, G., & Sharma, S. G. (2018). Resistant starch could be decisive in determining the glycemic index of rice cultivars. Journal of Cereal Science, 79, 348–353. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2017.11.013

Lian, dkk. (2014). The retrogradation properties of glutinous rice and buckwheat starches as observed with FT-IR, 13C NMR and DSC. International Journal of Biological Macromolecules. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/ijbiomac.

Oladele, E.-O. P. (2013). Resistant starch in plantain ( Musa AAB ) and Implications for the glycaemic index. University of Leeds, 5(12), 1–15.

Ordonio, R. L., & Matsuoka, M. (2016). Increasing resistant starch content in rice for better consumer health. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 113(45), 12616–12618. https://doi.org/10.1073/pnas.1616053113

Pangastuti, H. A., & Permana, L. (2021). Pengukuran Pati Resisten Tipe 5 Secara in Vitro Pada Nasi Uduk. Jurnal Pengolahan Pangan, 6(2), 42–48. https://doi.org/10.31970/pangan.v6i2.56

Polesi, L. F., Junior, M. D. da M., Sarmento, S. B. S., & Canniatti-Brazaca, S. G. (2017). Starch Digestibility and Physicochemical and Cooking Properties of Irradiated Rice Grains. Rice Science, 24(1), 48–55. https://doi.org/10.1016/j.rsci.2016.07.005

Pristianingrum, N. (2017). Peningkatan Efisiensi Dan Produktivitas Perusahaan Manufaktur Dengan Sistem Just In Time. ASSETS - Jurnal Ilmiah Ilmu Akuntansi Keuangan Dan Pajak, 1(1), 41–53.

Parwiyanti, Pratama, F., Wijaya, A., & Malahayati, N. (2016). Profil Pasting Pati Ganyong Termodifikasi Dengan Heat Moisture Treatment Dan Gum Xanthan Untuk Produk Roti. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 27(2), 185–192. https://doi.org/10.6066/jtip.2016.27.2.185

Putri, Widya D. R. dan Zubaidah, E. (2017). Pati : modifikasi & karakterisasinya. Malang: UB Press. ISBN: 978-602-432-111-6.

Rosida, Harijono, Estiasih, T., & Sriwahyuni, E. (2016). Physicochemical properties and starch digestibility of autoclaved-cooled water yam (Dioscorea Alata L.) flour. International Journal of Food Properties, 19(8), 1659–1670. https://doi.org/10.1080/10942912.2015.1105818.

Rozali, Z. F., Purwani, E. Y., Iskandriati, D., Sri, N., Suhartono, (2018). Potensi Pati Resisten Beras sebagai Bahan Pangan Fungsional The Potential of Rice Resistant Starch as Fungsional Food Ingredient. Jurnal Pangan, 27(3), 215–224.

Setiarto B., R. H., Laksmi Jenie, B. S., Faridah, D. N., & Saskiawan, I. (2015). Study of Development Resistant Starch Contained in Food Ingredients as Prebiotic Source. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(3), 191–200. https://doi.org/10.18343/jipi.20.3.191.

Silitonga, R. F., Faridah, D. N., Indrasti, D., Afandi, F. A., & Jayanegara, A. (2021). Kadar Pati Resisten Pangan Tinggi Karbohidrat Hasil Autoclaving-Cooling 2 Siklus: Studi Meta-Analisis. Warta Industri Hasil Pertanian, 38(1), 79. https://doi.org/10.32765/wartaihp.v38i1.6987.

Srikaeo, K., & Arranz-Martínez, P. (2015). Formulating low glycaemic index rice flour to be used as a functional ingredient. Journal of Cereal Science, 61, 33–40. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2014.10.002.

Standar Nasional Indonesia. (2009). Persyaratan Mutu Tepung Beras. SNI 3549-2009. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.

Standar Nasional Indonesia. (2015). Persyaratan Mutu Beras. SNI 6128-2015. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.

Surawan, F. E. D., Harmayani, E., Nurliyani, N., & Marseno, D. W. (2021). Pengaruh Metode Isolasi Terhadap Komposisi Proksimat, Sifat Pasting dan Morfologi Pati Sekoi (Setaria italica (L)P. Bauv) Varietas Lokal Bengkulu. Agrosainstek: Jurnal Ilmu Dan Teknologi Pertanian, 5(2), 114–123.

Tako, M., Tamaki, Y., Teruya, T., & Takeda, Y. (2014). The Principles of Starch Gelatinization and Retrogradation. Food and Nutrition Sciences, 05(03), 280–291. https://doi.org/10.4236/fns.2014.53035.

Wa Ode, N., dkk., (2020). Komposisi Fisikokimia Tepung Ubi Kayu dan Mocaf dari Tiga Genotipe Ubi Kayu Hasil Pemuliaan. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 8 No. 3, Hal. 97-104.

Wu, Y., Xu, H., Lin, Q., Wu, W., & Liu, Y. (2015). Pasting, Thermal and Rheological Properties of Rice Starch in Aqueous Solutions with Different Catechins. Journal of Food Processing and Preservation, 39(6), 2074–2080. https://doi.org/10.1111/jfpp.12450

Yi, D., Maike, W., Yi, S., Xiaoli, S., Dianxing, W., & Wenjian, S. (2021). Physiochemical Properties of Resistant Starch and Its Enhancement Approaches in Rice. Rice Science, 28(1), 31–42. https://doi.org/10.1016/j.rsci.2020.11.005

Yulianto, W. A. (2021). Kimia Beras: Biosintesis dan Sifat Fungsional Pati. Yogyakarta: Deepublish.

Yuliwardi, dkk., (2014). Pengaruh Dua Siklus Autoclaving-Cooling Terhadap Kadar Pati Resisten Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkannya. Jurnal Pangan, Vol. 23 No. 1 Halaman 43 - 52.

Yuriansyah. (2017). Evaluasi Kualitas Beras Giling Beberapa Galur Harapan Padi Sawah ( Oryza Sativa L .) Milled Rice Quality Evaluation Of Some Hope Strain Rice Field Rice ( Oryza sativa L .). Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 17(1), 68.

Zhang, L., Li, H. T., Shen, L., Fang, Q. C., Qian, L. L., & Jia, W. P. (2015). Effect of dietary resistant starch on prevention and treatment of obesity-related diseases and its possible mechanisms. Biomedical and Environmental Sciences, 28(4), 291–297. https://doi.org/10.3967/bes2015.040.

Zhou, Y., Meng, S., Chen, D., Zhu, X., & Yuan, H. (2014). Structure characterization and hypoglycemic effects of dual modified resistant starch from indica rice starch. Carbohydrate Polymers, 103(1), 81–86. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.12.020.

 

 

Copyright holder:

Ulfah Mariatul Hasanah, Dede Zainal Arif, Yuyun Lusini, Mirwan Abu Bakar Sidiq, Yorike Bonita (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: