Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 6, Juni 2024

 

FORMULASI KEBIJAKAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN NATUNA

 

Hadisun1, Maulana Mukhlis2, Joko Rizkie Widokarti3

Universitas Terbuka, Indonesia1,3

Universitas Lampung, Indonesia2

Email: [email protected]1, [email protected]2,

[email protected]3

 

Abstrak 

Tantangan terbesar dalam mengembangkan pariwisata di Kabupaten Natuna adalah bagaimana mempertahankan dan melestarikan kebudayaan lokal. Saat ini, penurunan kelestarian budaya masih terus berlangsung sebagai akibat dari kebijakan pembangunan daerah yang belum memprioritaskan pelestarian kebudayaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor penyebab menurunnya kelestarian kebudayaan dan memformulasikan kebijakan yang efektif dalam melestarikan kebudayaan di Kabupaten Natuna agar dapat di manfaatkan dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Natuna. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara mendalam, studi dokumentasi dan diskusi terpumpun (FGD) untuk mengumpulkan data dari berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah, komunitas dan  pelaku budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minimnya Sumber Daya Manusia dan sumberdaya finansial yang  tidak berimbang dengan luasnya urusan kebudayaan serta seringnya perpindahan urusan kebudayaan dari satu dinas ke dinas lainnya dengan struktur organisasi bidang kebudayaan yang sempit menjadi faktor utama penyebab menurunnya kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna Kajian ini menghasilkan rekomendasi kebijakan berupa peningkatan sumber daya manusia dan sumber daya finansial; penguatan kelembagaan kebudayaan; peningkatan edukasi budaya; dan pengembangan pariwisata budaya.

Kata kunci: Formulasi Kebijakan; Natuna; Pelestarian kebudayaan, Pengembangan Pariwisata

 

Abstract

The biggest challenge in developing tourism in Natuna Regency is how to maintain and preserve local culture. Currently, the decline in cultural preservation continues as a result of regional development policies that do not prioritize cultural preservation. This research aims to describe and analyze the factors causing the decline in cultural sustainability and formulate effective policies in preserving culture in Natuna Regency so that they can be utilized in tourism development in Natuna Regency. The research method used is a qualitative approach with in-depth interview techniques, documentation studies and focus group discussions (FGDs) to collect data from various stakeholders including local governments, communities and cultural actors. The results showed that the lack of human resources and financial resources that are not balanced with the breadth of cultural affairs and the frequent transfer of cultural affairs from one agency to another with a narrow organizational structure of the cultural sector are the main factors causing the decline in cultural preservation in Natuna Regency. This study produces policy recommendations in the form of increasing human resources and financial resources; strengthening cultural institutions; increasing cultural education; and developing cultural tourism.

Keywords: Policy Formulation; Natuna; Cultural Preservation, Tourism Development

Pendahuluan

Pariwisata dan kebudayaan adalah dua elemen yang terkait erat dan tidak dapat dipisahkan. Terbukti bahwa beberapa daerah unggulan pariwisata di Indonesia adalah wilayah-wilayah yang memelihara budaya yang kuat. Eksistensi kebudayaan dalam pengembangan sektor pariwisata di beberapa daerah tampak sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari industri pariwisata adalah untuk memajukan dan melestarikan warisan budaya, serta dijalankan dengan prinsip menghormati norma agama dan nilai budaya sebagai wujud dari konsep hidup dalam harmoni antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, antara manusia dengan sesamanya, serta antara manusia dengan lingkungannya. Potensi budaya dan kearifan lokal menjadi bagian dari hasil kreativitas manusia yang memiliki nilai ekonomi dalam pengembangan pariwisata (Sugiyarto & Amaruli, 2018).

Pengembangan daya tarik wisata, termasuk daya tarik wisata budaya, dilaksanakan dengan berlandaskan prinsip-prinsip penghormatan terhadap nilai agama dan budaya. Selain itu, ada penekanan pada keseimbangan antara upaya manajemen atraksi untuk menciptakan daya tarik wisata yang berkualitas dan bersaing, serta upaya konservasi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan budaya.

Kebudayaan yang terlindungi, terpelihara, dikembangkan dengan baik dapat dimanfaatkan untuk berbagai dimensi. Dalam dimensi politik luar negeri, kebudayaan menjadi salah satu penghubung antar negara, beberapa kasus klaim atas kepemilikan atas kesenian seperti tari pendet, lagu rasa sayange serta beberapa objek kebudayaan oleh negara tetangga Malaysia telah membuat ketegangan hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun yang lalu. Pada dimensi kebangsaan, kebudayaan menjadi inspirasi yang dapat menumbuhkan kecintaan warga kepada negara. Lemahnya aktualisasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah terhadap kebudayaan di suatu daerah akan memberi kontribusi terhadap kurangnya rasa cinta tanah air khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah-wilayah perbatasan. Dalam dimensi pariwisata, kebudayaan menjadi daya tarik yang akan membuat orang datang berulang kali untuk mendapatkan pengalaman unik dan dinamisnya budaya sebuah tempat. Bahkan pada dimensi yang lebih dalam, kebudayaan memberi harmoni dalam hubungan bermasyarakat, mewujudkan manusia yang memiliki budi pekerti, kuat dan kokoh kehidupannya serta kenal dan dekat pada penciptanya.

Berdasarkan peran ideal tersebut, sudah semestinya kebudayaan menduduki tempat yang penting dan menjadi perhatian stakeholders dan bagi para pemimpin sebagai pengambil kebijakan untuk dapat melihat dan menempatkan berbagai prioritas kebijakan dalam melestarikan dalam bentuk perlindungan, pembinaan, pengembangan dan melakukan pemanfaatan atas semua objek kebudayaan yang ada. 

Noventari (2019) mengemukakan bahwa “ketahanan budaya menjadi salah satu tujuan dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan melalui upaya strategi kebudayaan. Menurut Farid (2018), “Dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan ini, pemajuan kebudayaan dilakukan dengan beberapa upaya, yaitu perlindungan, pengembangan, pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia kebudayaan. Berdasarkan definisi dalam Undang-Undang ini, perlindungan diartikan sebagai upaya dan kerjasama antara berbagai pihak yang terlibat, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk melindungi objek pemajuan kebudayaan.

Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Vietnam, Kamboja, Singapura, dan Malaysia tidak hanya memiliki hasil bumi berupa minyak dan gas alam yang melimpah dan keindahan alamnya saja tetapi juga memiliki beragam kekayaan budaya baik berupa warisan budaya yang bersifat kebendaan maupun warisan budaya tak benda, beberapa atraksi kesenian cukup spesifik dan hanya ada di Natuna seperti Mendu Bunguran dan Permainan Alu Bunguran. Selain itu juga terdapat beragam objek budaya lainnya seperti permainan gasing beghembuong, kesenian hadrah, kesenian berdah, keunikan tradisi masyarakat, adat istiadat, sejarah serta keberadaan benda-benda cagar budaya yang ditemukan oleh masyarakat dalam jumlah ribuan buah yang saat ini tersimpan di museum swasta yang ada di Natuna. Keragaman warisan budaya benda dan takbenda yang ada di tengah masyarakat Natuna ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan seluas-luasnya bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Natuna.

Dukungan potensi kebudayaan yang ada di tengah masyarakat Natuna semestinya telah dilakukan upaya pelestarian yang baik yang didukung oleh berbagai kebijakan perlindungan, pembinaan serta pengembangan kebudayaan agar dapat dimanfaatkan untuk membangun dunia pariwisata Natuna yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Natuna. Namun demikian beberapa data yang dirilis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna Tahun 2021 menunjukkan bahwa kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna beberapa tahun ini dalam kondisi yang semakin menurun. Aktivitas sanggar-sanggar dan kelompok seni semakin berkurang, adat dan tradisi semakin terkikis tidak lagi diaktualisasikan  dengan baik di tengah masyarakat sehingga semakin sulit bagi bagi para wisatawan untuk menemukan atraksi-atraksi kebudayaan, baik berupa pementasan budaya maupun pengamalan nilai-nilai di tengah-tengah masyarakat Natuna. 

Menurunnya kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna dapat dilihat dari beberapa gejala antara lain perkembangan sanggar dan kelompok seni saat ini mengalami penurunan karena minimnya penyelenggaraan fasilitasi festival kesenian dan kebudayaan, fasilitasi pementasan dan festival budaya dalam beberapa tahun terakhir hanya melibatkan sanggar dan kelompok seni yang ada di wilayah pulau Bunguran Besar saja. Saat ini juga tidak ada lagi fasilitasi bantuan pembinaan sarana maupun biaya kepada sanggar dan kelompok seni.

Berikutnya adalah penerbitan dan pencetakan karya budaya yang masih terbilang minim sejak tahun 2005-2010 Pemerintah Daerah telah memfasilitasi penerbitan 5 judul buku dan 3 album lagu Daerah, namun pada tahun-tahun berikutnya kemudian fasilitasi tersebut semakin menurun.

Registrasi cagar budaya dan warisan budaya tak benda (WBTB) cukup memprihatinkan. Dari 347 objek WBtB dan 519 objek cagar budaya hanya 3 objek WBTB yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda. Hal ini dikarenakan kesulitan memenuhi persyaratan kajian akademis dan video dokumentasi. Begitu pula dengan cagar budaya, hingga saat ini belum satu pun situs dan benda-benda kuno temuan  masyarakat yang tergolong sebagai objek yang diduga cagar budaya (ODCB) ditetapkan sebagai Cagar Budaya, hal ini dikarenakan hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Natuna belum membentuk Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) karena belum adanya tenaga ahli yang memiliki kompetensi sebagai Ahli Cagar Budaya. Permasalahan pelestarian kebudayaan di atas masih ditambah dengan kurangnya dana yang disiapkan untuk kompensasi benda-benda yang tergolong cagar budaya temuan masyarakat.

Perhatian dan komitmen Pemerintah Daerah terhadap pelestarian kebudayaan masih sangat kurang, dilihat dari keorganisasian bidang kebudayaan. Organisasi bidang kebudayaan beberapa kali mengalami kebijakan perubahan, pemindahan, dan penggabungan dengan perangkat daerah bidang pendidikan dan pariwisata, sejak tahun 2012 hingga tahun 2022 perpindahan tersebut terjadi beberapa kali secara bolak balik.

Permasalahan di atas nyatanya bertolak belakang dengan tanggung jawab pemerintah terhadap kebudayaan. Pasal 12 Ayat (2) UU 32 Tahun 2014  tentang Pemerintahan daerah ditetapkan bahwa kebudayaan merupakan urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Tidak hanya itu, kondisi di atas juga bertolak belakang dengan pengembangan periwisata Natuna sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Natuna yang bertujuan untuk memunculkan identitas dan unsur-unsur budaya Natuna dengan Langkah memprioritaskan pengembangan produk wisata budaya.

Berbagai gejala dan permasalahan yang muncul dalam upaya pelestarian kebudayaan mulai dari menurunnya berbagai kegiatan dalam ruang lingkup kebudayaan hingga kebijakan perubahan dan pemindahan urusan kebudayaan yang telah terjadi berkali-kali tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang rendahnya perhatian dan komitmen pemerintah daerah dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah. Oleh karenanya penelitian ini penting dilakukan untuk meberikan jawaban terhadap faktor penyebab menurunnya kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna serta apa Formulasi dan Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan agar kebudayaan tetap lestari lestari dan dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata di Kabupaten Natuna.

Untuk menjawab permasalahan tentang faktor penyebab menurunnya kelestarian kebudayaan penulis menggunakan salah satu konsep dalam implementasi kebijakan publik, yang dikemukakan oleh George C. Edwards III, dikenal dengan istilah Direct and Indirect Impact on Implementation. Konsep ini dipresentasikan dalam bukunya yang berjudul Implementing Public Policy. Menurut Edwards III terdapat empat faktor kunci yang mempengaruhi berhasil atau gagalnya pelaksanaan kebijakan (Agustino, 2018). Faktor-faktor ini meliputi komunikasi, sumber daya, sikap atau disposisi, serta struktur birokrasi.

Untuk merumuskan kebijakan pelestarian kebudayaan penulis mengacu pada konsep tentang tahapan dalam perumusan atau formulasi kebijakan publik sebagai berikut : Tahap Pertama : Perumusan Masalah, Tahap Kedua : Agenda Kebijakan, Tahap Ketiga : Pemilihan Alternatif Kebijakan, Tahap Keempat : Penetapan Kebijakan (Winarno, 2012).

Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi pembanding bagi penulis dalam melakukan penelitian ini antara lain adalah:

1)    Formulasi Kebijakan Kebudayaan Provinsi Banten. Penelitian yang dilakukan oleh Irmansyah (2019) ini menggunakan pendekatan kualitatif, membahas pada 2 unsur pelestarian kebudayaan yakni upaya perlindungan dan pembinaan saja, sedangkan penelitian yang penulis lakukan membahas keempat unsur pelestarian kebudayaan yakni: perlindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan.

2)    Analisis Kebijakan Pengembangan Potensi Wisata Unggulan di Kabupaten Bulungan. Penelitian oleh Parlina (2016) ini dapat penulis manfaatkan sebagai referensi dalam menjalankan tahapan tahapan penelitian yang terkait dengan kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan pariwisata. Penelitian ini memiliki perbedaan dari sisi lokus serta berbeda dari objek dan cakupan penelitian.

3)    Kebijakan Pariwisata Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Semarang. Penelitian ini dilakukan oleh Setyorini (2004). Penelitian ini membantu penulis dalam membuat konsep perumusan kebijakan pengembangan kepariwisataan yang berkaitan erat dengan kelestarian budaya. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dari sisi pendekatan penelitian dan lokus penelitian.

4)    Assumptions of the conservation services system in Poland - Cultural Heritage Protection. Penelitian ini dilakukan oleh ​​ Bielinis-Kopeć (2016), meneliti tentang kebijakan pelestarian kebudayaan di Polandia yang membahas mengenai sistem perlindungan monumen di Polandia yang harus dimodifikasi.  Selain berbeda dari sisi fokus pembahasan penelitian ini juga memilik perbedaan dari sisi lokus.

5)    Heritage Preservation Policy of Civil Servants Joint Stock Fund for Historical Buildings in Athens: The Deligiorgi Residence Case. Penelitian ini dilakukan oleh Vyzantiadou dan Gkiokas (2019), membahas tentang kebijakan pelestarian warisan budaya dan program pelindungan, konservasi, restorasi, dan rehabilitasi yang ekstensif. Penelitian ini mememili perbedaan dengan penulis baik dari sisi lokus dan fokus penelitian.

Dengan perbandingan beberapa penelitian diatas serta hasil penelusuran penulis terhadap berbagai sumber terhadap penelitian sejenis, penulis belum menemukan penelitian dengan judul yang sama baik dari sisi lokus maupun dari sisi topik yang spesifik membahas kebijakan pelestarian kebudayaan daerah, oleh karenanya penulis meyakini bahwa penelitian ini memiliki nilai kebaruan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor penyebab menurunnya kelestarian kebudayaan dan memformulasikan kebijakan yang efektif dalam melestarikan kebudayaan di Kabupaten Natuna agar dapat di manfaatkan dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Natuna.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menggambarkan realitas sosial dan perspektifnya dalam dunia, yang mencakup aspek konsep, perilaku, persepsi, dan masalah yang berkaitan dengan subjek manusia yang sedang diteliti (Moleong, 2021). Dalam penelitian ini, peneliti mengadakan sendiri pengamatan dan wawancara untuk dapat memahami makna interaksi antar manusia secara mendalam dengan dibantu dengan pedoman wawancara, observasi dan diskusi terpusat (FGD).

Fokus penelitian ini adalah: 1). Variabel-variabel yang Mempengaruhi Kegagalan Implementasi Kebijakan pelestarian Kebudayaan di Kabupaten Natuna yakni: a. komunikasi, b. sumber daya, c. sikap atau disposisi, dan d. struktur birokrasi. 2). Tahap-tahap formulasi kebijakan untuk meberikan rekomendasi kebijakan pelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna yakni: a. Perumusan Masalah, b. Agenda Kebijakan, c. Pemilihan Alternatif Kebijakan, d. Penetapan Kebijakan

Sumber informasi dalam penelitian ini adalah : Kepala Daerah (Wakil Bupati Natuna), Anggota DPRD Kabupaten Natuna, Lembaga Adat Kabupaten Natuna, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Kepala Seksi Kesenian, Adat dan Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Kepala Seksi Sejarah dan Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Kepala Bidang Sosial Budaya BP3D Kabupaten Natuna, Pelaku dan Penggiat Budaya dan Pariwisata dan Media Massa.

Sutopo (2002) menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, sumber data dapat berupa manusia, peristiwa, perilaku, dokumen, arsip, dan benda lain. Selain informasi dari para informan sumber informasi dalam penelitian ini adalah dokumen dan arsip kedinasan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna serta buku-buku dan sumber informasi tertulis lain yang masih berkaitan dengan topik penelitian ini.

Dalam penelitian ini, peneliti yang  menjadi instrument utama dengan secara langsung untuk memperoleh data yang  diinginkan dibantu oleh pedoman observasi dan pedoman wawancara serta pedoman FGD. Prosedur Pengumpulan Data dalam penelitian ini adalah : Observasi, Wawancara, Studi Literatur, Studi Dokumentasi, Catatan Penelitian, FGD. Tahap pengumpulan data adalah langkah yang paling krusial dalam penelitian, karena esensi dari penelitian adalah memperoleh data. Tanpa pemahaman tentang teknik pengumpulan data, peneliti akan kesulitan untuk memperoleh data yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2019).

Secara utuh sebagai satu kesatuan, data yang telah dihimpun dari hasil wawancara dari tiap-tiap sampel dari Pemerintahan, Komunitas, Akademisi, dan sampel lainnya serta data yang diperoleh dari observasi, studi pustaka dan FGD selanjutnya akan disaring untuk memilah mana data yang akan ditindaklanjuti pada tahap analisis selanjutnya dan mana yang harus disihkan.

 

Hasil dan Pembahasan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegagalan Implementasi Kebijakan Pelestarian Kebudayaan di Kabupaten Natuna

Faktor komunikasi

Chester Irving Barnard dalam Andre Hardjana (2016) mengemukakan bahwa komunikasi menduduki tempat sentral, karena struktur, keluasaaan jangkauan, dan ruang lingkup organisasi hampir sepenuhnya ditentukan oleh teknik-teknik komunikasi.

Penting untuk menjelaskan tujuan dan sasaran kebijakan secara terbuka kepada kelompok sasaran. Komunikasi yang jelas dan efektif tentang tujuan, manfaat, dan langkah-langkah yang diharapkan akan membantu mengurangi resistensi dan meningkatkan partisipasi dalam implementasi kebijakan. Tujuan komunikasi kebijakan publik adalah untuk menciptakan kesadaran tentang isu-isu yang relevan dan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pelaksana kebijakan. Dengan penyampaian pesan yang efektif, kesadaran tentang kebijakan yang sedang diperdebatkan, masalah yang dihadapi, dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut dapat ditingkatkan.

Ketidakjelasan dalam komunikasi dapat menyebabkan kegagalan dalam implementasi kebijakan publik. Pesan yang tidak jelas dapat menghambat pemahaman yang tepat dan menyebabkan pemahaman yang salah di mata publik. Masyarakat mungkin tidak memahami tujuan, sasaran, atau langkah-langkah yang diharapkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman tentang apa yang sebenarnya diharapkan dari mereka dan bagaimana mereka harus berpartisipasi.

Kurangnya komunikasi dan penyampaian informasi tentang pentingnya upaya-upaya pelestarian kebudayaan dan menjadi salah satu penyebab awamnya masyarakat tentang upaya-upaya melestarikan kebudayaan. Destriyadi salah seorang penggiat budaya di Kabupaten Natuna memaparkan:

“Pada saat ini, masyarakat kita masih belum mengenal kebudayaannya sendiri secara menyeluruh yang menyebabkan kita belum mencintai kebudayaan kita sendiri, masyarakat kita masih memandang kebudayaan kita adalah kebudayaan yang rendah bila dibandingkan dengan kebudayaan yang ada di luar sana, makanya wajar saja kalau banyak kebudayaan luar yang masuk ke sini dengan mudahnya kebudayaan kita semakin hilang. Kita tidak mengimbangi kontaminasi kebudayaan luar itu dengan mengekalkan memberikan informasi yang cukup, memberikan edukasi tentang kebudayaan sendiri kedalam bagi mereka, mereka tidak tahu untuk mencari kemana sedangkan kebudayaan dari luar lebih mudah didapatkan, dan yang terjadi kemudian adalah masyarakat memang tidak tahu bagaimana cara untuk melestarikan kebudayaannya, memang mereka berada di kebudayaan itu tapi mereka tidak tahu bagaimana cara melestarikannya”.

Dari observasi yang telah dilakukan, penulis juga menemukan bahwa rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya melindungi keberadaan benda-benda yang diduga sebagai benda cagar budaya seperti keramik-keramik kuno yang ditemukan di berbagai wilayah Kabupaten Natuna, disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka terima tentang hal tersebut yang disebabkan oleh kurangnya upaya pemberian informasi dari aparatur pemerintah. Hal ini terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Natuna.

 

Faktor Sumber Daya

Sumber daya memainkan peran krusial dalam implementasi kebijakan yang baik. Meskipun isi kebijakan telah dijelaskan secara jelas dan konsisten, kurangnya sumber daya implementasi dapat menghambat efektivitas pelaksanaannya. Sumber daya, termasuk sumber daya manusia dan sumber daya finansial, merupakan faktor penting dalam menjalankan kebijakan secara efektif.

1)    Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia yang ada di Bidang Kebudayaan yang memiliki kompetensi pendidikan bidang kebudayaan masih sangat minim untuk dapat menyelenggarakan urusan kebudayaan yang sangat luas dan kompleks. Jika dihitung persentasenya hanya 18.2% pegawai yang memiliki kompetensi Pendidikan bidang kebudayaan.

Kebutuhan pegawai untuk penyelenggaraan kebudayaan dibagi dalam 3 kategori yakni: 1). Tenaga Teknis Pamong Budaya dengan kebutuhan pegawai sebanyak 18 Orang, 2). Tenaga Teknis Permuseuman dengan kebutuhan pegawai sebanyak 24 orang, 3). Tenaga Pelaksana dengan kebutuhan pegawai sebanyak 6 orang. Dari jumlah kebutuhan tersebut, jika dibandingkan dengan ketersediaan pegawai yang ada pada Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saat ini jumlah Pamong Budaya yang ada saat ini hanya 3 orang atau hanya 16,7% dari kebutuhan Pamong Budaya. Untuk pegawai dengan jabatan Pelaksana hanya 2 orang atau 33,3 % dari kebutuhan pegawai analis pada bidang kebudayaan. Sedangkan untuk tenaga teknis permuseuman baru tersedia 3 orang atau hanya 12,5% dari jumlah pegawai yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan Museum Natuna. Persentase ini tentu jauh dari kebutuhan di bidang Kebudayaan.

Edward III dalam Widodo (2009) menyatakan bahwa implementasi tidak dapat berjalan dengan efektif bila personal yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tidak memiliki kompetensi.

2)    Sumber Daya Finansial

Pelaksanaan kebijakan seringkali membutuhkan alokasi dana yang cukup untuk mendukung aktivitas-aktivitas yang diperlukan. Tanpa sumber daya finansial yang memadai, implementor tidak memiliki cukup biaya untuk melaksanakan kegiatan, mengembangkan infrastruktur, atau memberikan fasilitas dan layanan yang diperlukan.

Menurut Fathurrahman (2012) anggaran berperan penting dalam organisasi sektor publik sebagai pernyataan estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial untuk menunjang perekonomian nasional.

Data perkembangan anggaran kegiatan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna terlihat adanya kesenjangan dalam penganggaran yang mana anggaran untuk penyelenggaraan urusan kebudayaan lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran untuk pelaksanaan urusan pariwisata. Pada tahun 2017 urusan kebudayaan hanya mendapatkan porsi anggaran sebesar 19,4%, pada tahun 2018 sebesar 19,8%, tahun 2019 sebesar 25,3 % dan tahun 2020 hanya mendapatkan porsi anggaran 11,8% dari total anggaran pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Natuna, H. Hardinansyah, SE , M.Si mengemukakan :

menurut hemat saya penyebab minimnya anggaran untuk kebudayaan dapat dilihat dari aspek penganggaran dan aspek kebijakan. Pemerintah Daerah masih fokus dengan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, listrik kemudian pendidikan dasar sehingga pelestarian kebudayaan ini agak terabaikan sehingga pelestarian kebudayaan belum menjadi prioritas dalam pembangunan daerah, beda kondisinya dengan Bali, Yogyakarta”.

Terdapat beberapa persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan kebudayaan yang disebabkan oleh keterbatasan penganggaran, permasalah tersebut antara lain adalah:

a)     Minimnya upaya perlindungan terhadap Cagar Budaya. 

Kabupaten Natuna memiliki tinggalan Cagar Budaya yang melimpah, dari informasi yang diperoleh selama penelitian hampir di semua pulau di Kabupaten Natuna ditemukan tinggalan perdagangan masa lalu khususnya keramik-keramik yang sebagian besar berasal dari kekaisaran China sejak abad ke 9 Masehi.  Selain China, keramik-keramik antik yang tersebar di kepulauan Natuna juga berasal dari Negara Vietnam, Kamboja, Thailand, Arab dan Eropa.

Sebagian besar peninggalan sejarah seperti benda muatan kapal tenggelam dan benda-benda cagar budaya berupa keramik (Harkantiningsih & Wibisono, 2016), banyak yang telah hilang karena dijual kepada pembeli yang secara rutin terus datang ke Natuna untuk membeli benda-benda temuan masyarakat, baik dari laut maupun yang ditemukan di darat. Pemerintah Daerah melaui bidang kebudayaan tidak dapat melakukan pembebasan atau pemberian kompensiasi terhadap benda-benda yang sebagian besarnya berupa kerami yang ditemukan masyarakat hal ini dikarenakan anggaran yang disediakan untuk urusan pelestarian kebudayaan sangat kecil, sementara keberadaan benda-benda tersebut cukup penting untuk kebudayaan, ilmu pengetahuan dan kepariwisataan.

b)    Minimnya fasilitasi dan bantuan terhadap aktivitas budaya dan pelaku budaya.

Di beberapa tempat masih terlihat belum adanya dukungan dan fasilitasi yang cukup dari pemerintah kepada kelompok dan organisasi yang bergerak di bidang kebudayaan, pemberian batuan sarana dan prasana kebudayaan seperti peralatan musik tradisional untuk sanggar dan kelompok seni terakhir sekali diberikan pada tahun 2014. Fasilitasi bantuan dan pembinaan memiliki peran yang penting dalam menjaga keseimbangan dan kelangsungan hidup ekosistem kebudayaan, dukungan dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan individu yang peduli dengan kebudayaan dapat membantu memastikan bahwa keberagaman budaya yang ada tetap lestari dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Tidak jarang sanggar dan kelompok serta pelaku budaya harus mati suri tanpa aktivitas menjaga keberlangsungan pewarisan budaya, sementara itu dukungan pelestarian kebudayaan dari Dana Desa (DD) juga masih belum terlaksana dengan baik untuk dapat mendukung upaya pembinaan aktivitas sanggar dan kelompok budaya yang ada di desa-desa. Para pelaku dan penggiat budaya sebagian besar kehidupan ekonominya tergolong menengah ke bawah, tanpa dukungan fasilitasi dan bantuan dari Pemerintah cukup sulit bagi mereka untuk melakukan aktivitas kebudayaan secara rutin.

c)     Belum adanya bangunan Rumah Adat Melayu Natuna.

Rendahnya perhatian Pemerintah Kabupaten Natuna dalam upaya melestarikan kebudayaan juga dapat dilihat dengan kondisi pelestarian Adat Istiadat.  Selama 24 tahun Kabupaten Natuna hingga tahun 2023 Kabupaten Natuna masih belum memiliki rumah adat sebagai sarana pelindungan, pembinaan dan pengembangan adat istiadat Melayu Natuna. Dalam konteks kepariwisataan, pelestarian rumah adat juga dapat membantu masyarakat untuk memperoleh penghasilan tambahan melalui kegiatan wisata budaya. Dalam upaya pelestarian rumah adat, Pemerintah Kabupaten Natuna dapat membuat kebijakan memberikan dukungan anggaran dan teknis dalam pembangunan rumah adat Natuna, selain instansi pemerintah masyarakat atau lembaga adat dan pelaku pariwisata dapat berperan aktif dalam menjaga dan memelihara rumah adat Natuna sebagai bagian dari sejarah dan kekayaan budaya melayu Natuna.

d)    Minimnya pencetakan buku dan karya-karya budaya. 

Pelaksanaan program yang terkait dengan fasilitasi pencetakan karya-karya budaya Pemerintah Kabupaten Natuna telah lama tidak memberikan bantuan fasilitasi pencetakan karya-karya budaya. Penerbitan buku dan lagu-lagu daerah pernah dilakukan pada tahun 2005-2011. Setelah itu Pemerintah Kabupaten Natuna hampir tidak pernah lagi penerbitan atau pencetakan buku-buku karya tulis para penulis natuna baik sejarah, sastra maupun kebudayaan umumnya.  

e)     Minimnya pelindungan warisan budaya

Dalam dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Natuna yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tahun 2019 tercantum data Objek Pemajuan Kebudayaan yang dikategorikan sebagai Warisan Budaya Tak Benda berjumlah 468 objek. Dari jumlah tersebut yang telah diajukan untuk didaftarkan hanya 15,17%, yang tercatat hanya 1,07%, yang telah ditetapkan hanya 0,85%. Sedangkan HAKI Komunal yang ditetapkan hanya mencapai 3,85%. Capaian tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan jumlah objek Warisan Budaya Tak Benda yang terdata.

f)     Minimnya event pariwisata budaya

Rahmatin (2023) juga mengemukakan bahwa Potensi budaya sebagai atraksi wisata dianggap sebagai salah satu faktor terbesar dalam menarik wisatawan. Berdasarkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), wisata budaya adalah salah satu yang terbesar dan pasar pariwisata global yang tumbuh paling cepat dan industri budaya dan kreatif semakin meningkat digunakan untuk mempromosikan destinasi dan untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik.

Pariwisata dan kebudayaan adalah dua hal yang berbeda dan seakan saling berlawanan, pariwisata memberikan kontribusi terhadap penurunan aktualisasi nilai-nilai budaya daerah sedangkan pelestarian kebudayaan adalah upaya berkelanjutan untuk melindungi dan memelihara aktifitas dan nilai-nilai budaya masyarakat. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Siswanto (2007) bahwa Apabila dipandang bagian per bagian maka antara kebudayaan dan pariwisata saling bertentangan namun dalam tujuan secara menyeluruh keduanya merupakan pisau bermata dua yang bermanfaat bagi pembangunan.

Hasil penelitian menemukan jumlah penyelenggaraan atraksi pertunjukan maupun lomba-lomba bidang kebudayaan sejak tahun 2017 hingga 2019 masih cukup minim dengan jumlah rata-3 hingga 4 event dalam 1 tahun. Minimnya atraksi ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah terbatasnya anggaran yang tersedia. Sejak tahun 2020 hingga 2021 penyelenggaraan event ditiadakan.

Seperti banyak daerah lain di Indonesia, pandemi COVID-19 telah berdampak besar pada kegiatan budaya di Natuna, banyak acara dan pertunjukan yang telah diagendakan harus dibatalkan atau ditunda untuk menghindari kerumunan dan penyebaran virus serta dengan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang mengalami penurunan cukup signifikan sebagai dampak dari pandemic covid-19. Pada tahun 2022 Pemerintah Kabupaten Natuna baru memulai kembali aktivitas pertunjukan kebudayaan dengan pelaksanaan kegiatan festival lampu pelite dan kegiatan gelar budaya yang direncanakan dilaksanakan secara berkala setiap bulan, namun sayang atraksi gelar budaya hanya dapat dilaksanakan beberapa kali saja dikarenakan kondisi anggaran yang tidak stabil dan harus dilakukan refocusing terhadap APBD Kabupaten Natuna, sebagai dampaknya anggaran pelaksanaan kegiatan atraksi gelar budaya harus dipangkas untuk memenuhi belanja lain yang lebih mendesak dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Natuna.

 

Faktor Sikap atau Disposisi

Dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah Perda RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) adalah peraturan daerah yang menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 5 tahun. Dalam Perda RPJMD ditetapkan visi, misi, tujuan, dan sasaran pembangunan daerah yang akan diwujudkan melalui program dan kegiatan yang telah direncanakan.

Pernyataan visi dan misi pemerintahan Kabupaten Natuna dalam beberapa priode kepemimpinan di Kabupaten Natuna memberi gambaran jelas jelas bahwa pembangunan yang diinginkan oleh pemerintah daerah adalah pembangunan yang berlandaskan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya masyarakat. Pernyataan tersebut tentu harus dipahami dan disikapi dengan baik oleh pemangku dan pelaksana kebijakan. pemahaman dan pengambilan sikap yang tepat dari visi dan misi kepala daerah sangat penting untuk implementasi yang berhasil.

Dalam praktiknya, implementasi terhadap visi dan misi pembangunan yang berlandaskan nilai religius dan kultural sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah belum terwujud sebagaimana yang dicita-citakan.

Melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 16 April 2022 Wakil Bupati Natuna mengungkapkan bahwa:

“Visi misi daerah itu harus dibaca oleh setiap OPD, artinya OPD apapun bidangnya dia harus mengambil sikap dan langkah nyata, memasukkan nilai religius dan kultural di dalam setiap kegiatannya, sejak awal kami menyampaikan visi misi seluruh OPD sebenarnya sudah harus mengerti arahnya seperti apa tapi memang hari ini kita lihat seolah-olah kultural dan religius itu hanya menjadi urusan bidang kebudayaan ini yang belum dipahami dan disikapi dengan baik oleh semua OPD bahwa visi itu adalah satu tujuan bersama dan kami akan terus menyampaikan bahwa pembangunan apapun di bidang dinas apapun harus mengadopsi nilai budaya dan religius. Sejak awal kami menyampaikan visi misi seluruh OPD sebenarnya sudah harus mengerti arahnya seperti apa, tapi memang hari ini kita lihat seolah-olah kultural dan religius itu hanya menjadi urusan bidang kebudayaan ini yang belum dipahami dan disikapi dengan baik oleh semua OPD bahwa visi itu adalah satu tujuan bersama dan kami akan terus menyampaikan bahwa pembangunan apapun di bidang dinas apapun harus mengadopsi nilai budaya dan religius”

Sikap atau disposisi yang negatif atau tidak mendukung dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kegagalan dalam implementasi kebijakan pelestarian kebudayaan. Menurut Jones (2022) kebijakan budaya dapat mempengaruhi posisi pada peristiwa-peristiwa besar dan dampaknya dari waktu ke waktu. Sementara menurut Friese (2017) tujuan dari kebijakan menunjukkan mengapa dan bagaimana sebuah institusi terlibat dalam pelestarian dan untuk mendefinisikan manfaatnya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan sebuah lembaga merupakan bagian dari komunitas pelestarian.

Sikap kurang pedulinya masyarakat dan aparatur pemerintah di Kabupaten Natuna terlihat dari kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat maupun aparatur pemerintah dalam menjaga warisan budaya baik warisan budaya tak benda maupun warisan budaya yang bersifat kebendaan. Sikap masyarakat yang kurang peduli untuk melindungi warisan budayanya berdampak pada hilangnya jati diri dan identitas budayanya.  

 

Faktor Struktur Birokrasi

Pemerintah di Kabupaten Natuna masih belum menjadikan kebudayaan sebagai prioritas dalam pembangunan. Meskipun keinginan untuk melestarikan kebudayaan telah tertuang dalam visi dan misi Pemerintah Kabupaten Natuna setiap periode kepemimpinan, akan tetapi komitmen dan upaya pemerintah untuk merealisasi cita-cita pembangunan yang berlandaskan kebudayaan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah belum berjalan sebagaimana mestinya.

Jika dilihat struktur organisasi Bidang Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saat ini sangat tidak seimbang dengan luasnya cakupan tugas yang diemban oleh bidang kebudayaan dibawah 2 Undang Undang sebagai landasan pokok, dengan 5 program, dan 11 sub urusan yakni: Tradisi lisan, Manuskrip, Adat istiadat, Permainan rakyat, Olahraga tradisional, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa, Ritus dan Cagar Budaya.

Semenjak terbentuknya Kabupaten Natuna pada tahun 2001 hingga saat ini urusan kebudayaan telah mengalami beberapa kali perpindahan dan perubahan nama Organisasi Perangkat Dinas dilingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010 urusan kebudayaan digabungkan bersama urusan pariwisata dengan nama organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, tahun 2010 sampai tahun 2012 selain urusan pariwisata urusan kebudayaan juga digabungkan dengan urusan kepemudaan dan olahraga dengan nama OPD Dinas Pemuda, Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata. Tahun 2012 sampai dengan tahun 2017 Pemerintah Kabupaten Natuna mengambil kebijakan menggabungkan urusan kebudayaan bersama urusan pendidikan dengan nama OPD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2017 sampai dengan akhir tahun tahun 2021 urusan kebudayaan dipisahkan dari urusan pendidikan dan dikembalikan bersama urusan pariwisata dengan nama OPD Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan pada awal tahun 2022 Pemerintah Kabupaten Natuna kembali membuat kebijakan memisahkan urusan kebudayaan dari urusan pariwisata dan menggabungkan kembali kebudayaan bersama urusan pendidikan dengan nama OPD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Dari riwayat perpindahan dan perubahan Organisasi Perangkat Dinas yang membidangi kebudayaan, penyelenggaraan urusan kebudayaan tersebut terjadi hampir di setiap kali pergantian Kepala Daerah ataupun di setiap periode kepemimpinan. Pemindahan urusan dan organisasi perangkat daerah yang membidangi kebudayaan yang terjadi hampir di setiap periode kepemimpinan di Kabupaten Natuna ini telah memberikan dampak terhadap menurunnya kontinuitas program-program pelestarian kebudayaan yang telah dijalankan oleh organisasi perangkat daerah sebelumnya serta menurunkan kualitas program-program pelestarian kebudayaan karena kebijakan pemindahan organisasi perangkat daerah dapat memicu terjadinya perubahan dalam tim pelaksana dan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan.

Dari ke 4 faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna yakni Komunikasi, Sumber Daya, Sikap atau Disposisi dan Struktur Organisasi, berdasarkan fakta yang penulis temukan dilapangan menunjukkan bahwa persoalan struktur birokrasi serta  sumberdaya finansial merupakan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi menurunnya kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna pada saat ini.

Struktur organisasi yang mengelola pelestarian kebudayaan hanya pada tingkat bidang sangat kecil dan tidak berbanding lurus dengan luasnya urusan kebudayaan yang harus menyelenggarakan urusan kebudayaan yang sangat luas yang terbagi dalam 5 program. Organisasi yang kecil akan memperkecil peluang memperoleh kecukupan Sumber Daya Manusia dan kecukupan sumberdaya finansial.

Perpindahan bidang kebudayaan yang telah terjadi berkali-kali menunjukkan ketidakstabilan kebijakan dalam pelestarian kebudayaan. Setiap dinas baru yang menerima tanggung jawab bidang kebudayaan tersebut memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda, yang dapat mengakibatkan perubahan dalam arah dan fokus kebijakan secara terus-menerus. Setiap kali urusan dipindahkan, dinas yang semula bertanggung jawab terhadap kebudayaan tentu akan kehilangan keahlian dan pengalaman perencanaan dan program yang telah mereka kembangkan dalam melestarikan kebudayaan, sementara dinas baru yang menerima urusan kebudayaan tersebut akan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan memahami secara mendalam isu-isu yang berkaitan dengan pelestarian kebudayaan serta.

Dari sisi sumber daya finansial, minimnya sumber daya finansial dalam pelestarian kebudayaan memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna.

 

Formulasi Kebijakan Pelestarian Kebudayaan

Perumusan atau Identifikasi Masalah Isu Publik

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di Kabupaten Natuna saat ini telah terjadi penurunan kelestarian kebudayaan daerah, penurunan kelestarian kebudayaan tersebut dapat dilihat dari dari data-data riset yang telah dikemukakan pada bab bab sebelumnya. Berbagai isu yang menunjukkan terjadinya permasalahan penurunan kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, para stakeholder khususnya para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah belum memahami tentang pentingnya pencapaian visi dan misi daerah serta belum adanya sinkronisasi antar perangkat daerah terhadap visi dan misi daerah yang telah ditetapkan, sehingga tidak dapat dijabarkan menjadi program kegiatan pada Organisasi Perangkat Daerah yang akan mendukung pencapaian visi dan misi pembangunan Kabupaten Natuna yang Berlandaskan Nilai Religius dan Kultural.

Kedua, masih lemahnya organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan pelestarian kebudayaan. Sampai saat ini urusan pelestarian kebudayaan hanya dikelola oleh bidang kebudayaan dan telah mengalami pergantian dan perpindahan dari Disdikbud ke Disparbud secara terus menerus selama beberapa periode kepemimpinan pemerintahan di Kabupaten Natuna. Perpindahan yang terjadi berulang kali kali ini memberikan gambaran yang jelas bahwa urusan kebudayaan belum menjadi prioritas dalam pembangunan daerah, kondisi ini dapat memberi gambaran yang jelas bahwa cita-cita daerah yang tertuang dalam pernyataan visi dan misi daerah masih belum linier dengan kebijakan yang dilakukan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut.

Ketiga, Rendahnya kepedulian masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kebudayaannya, dan sebagian masyarakat tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga dan melestarikan warisan budayanya. Masyarakat sebagai pemilik dan pelaku budaya masih belum bergerak maju untuk melindungi warisan budaya yang ada pada mereka, sehingga dari waktu ke waktu warisan budaya ini akan semakin hilang dan pada akhirnya musnah. Kondisi yang terjadi ditengah masyarakat ini disertai dengan minimnya langkah dan upaya dari pemerintah daerah untuk memberikan sosialisasi, riset, bimbingan teknis, workshop dan pelatihan sebagai bentuk fasilitasi dan upaya perlindungan terhadap warisan budaya daerah.

Keempat, minimnya Sumber Daya. Pengelolaan dan pelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna hingga saat ini masih terhambat oleh minimnya Sumber Daya Manusia yang memiliki kompetensi di bidang kebudayaan, selain SDM persoalan utama adalah terbatasnya Sumber daya finansial dalam penyelenggaraan pelestarian kebudayaan daerah. Kebudayaan mencakup urusan yang sangat luas yang diatur oleh 2 Undang-undang yang meliputi warisan budaya kebendaan dan warisan budaya tak benda, akan tetapi tidak disertai dengan penganggaran yang cukup dan memadai sehingga tidak mampu membiayai penyelenggaraan program dan kegiatan pembangunan kebudayaan.

 

Agenda Setting

Masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan urusan kebudayaan di Kabupaten Natuna dianggap sebagai suatu masalah publik yang perlu disusun dalam suatu agenda pemerintah dalam merumuskan kebijakan sebagai upaya langkah solutif dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi seperti (1) Belum terbangunnya Rumah Besar sebagai rumah adat Natuna, serta minimnya pembangunan fasilitas umum untuk aktivitas kebudayaan,  (2) Minimnya perlindungan terhadap Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dan warisan budaya yang bersifat kebendaan (Cagar Budaya), (3) Minimnya Sumber Daya Manusia yang memiliki kompetensi di bidang kebudayaan, (4) Minimnya pembinaan komunitas budaya seperti bantuan peralatan dan perlengkapan, sarana dan prasarana kebudayaan, pelaksanaan workshop, kajian serta riset-riset kebudayaan, (5) Minimnya fasilitas pagelaran dan festival budaya. (6) Minimnya penerbitan dan pencetakan karya-karya budaya. 

Keenam poin tersebut menjadi acuan bahwa masalah tersebut harus segera mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah sebagai pengendali dan penyelenggara pemerintahan agar ditindaklanjuti dengan menyusun dan pengambilan kebijakan yang tepat. Permasalahan-permasalahan itu akan menjadi agenda pemerintah melalui langkah strategis yaitu menyusun dan mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pelestarian kebudayaan daerah.

 

Alternatif Kebijakan

Untuk menemukan alternatif kebijakan yang efektif, efisien, dan relevan untuk mengatasi permasalah yang dihadapi dalam pelestarian kebudayaan daerah di Kabupaten Natuna, dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD). FGD adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan pandangan, pendapat, dan pemahaman dari berbagai pemangku kepentingan terkait masalah dalam pelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna.

Untuk itu telah dilaksanakan FGD dengan Tema Pelestarian Kebudayaan di Kabupaten Natuna  pada tanggal 24 Mei Tahun 2022 di Ruang Rapat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Natuna yang dihadiri oleh Wakil Bupati Natuna, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, BP3D, Dinas Pariwisata, Badan Kepegawaian Pelatihan dan Sumber Daya Manusia, Dinas Komunikasi dan Informatika, Lembaga Adat Kabupaten Natuna, Sekolah Tinggi Agama Islam Natuna, Perwakilan Komunitas dan Organisasi Kebudayaan, Media massa dan beberapa stakeholder yang terkait.

Melalui FGD ini didiskusikan beberapa pokok permasalahan yang berkaitan dengan kondisi kebudayaan di Kabupaten Natuna saat ini untuk menghimpun beberapa alternatif kebijakan yang harus dilakukan untuk menyikapi permasalahan yang terjadi tersebut yakni: Penguatan kelembagaan, Peningkatan sumber daya, Peningkatan edukasi, Pengembangan pariwisata budaya.

 

Penetapan Kebijakan

Setelah alternatif kebijakan dipilih, tahap selanjutnya adalah penetapan kebijakan. Kebijakan yang dipilih dinyatakan dalam bentuk keputusan formal, seperti Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, atau instruksi tertulis lainnya. Penetapan kebijakan ini memberikan kekuatan hukum dan otoritas bagi pelaksana kebijakan tersebut.

Penetapan kebijakan yang dapat dilakukan dalam proses formulasi kebijakan pelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna dapat diuraikan sebagai berikut:

1)    Penguatan kelembagaan

Pertama adalah peningkatan status organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan kebudayaan dari bidang menjadi dinas yang berdiri sendiri. Kebijakan ini penting dilakukan agar luasnya urusan kebudayaan dapat diimbangi dengan kecukupan Sumber Daya Manusia serta penggaran yang memadai yang dikelola sendiri oleh dinas kebudayaan dan bidang kebudayaan tidak lagi berpindah-pindah dari satu dinas ke dinas lainnya.

Kedua adalah pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah dan penguatan kelembagaan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Natuna sebagai wadah untuk fasilitasi bagi masyarakat pelaku budaya dan pembinaan bagi kelompok dan komunitas budaya.

2)    Peningkatan sumber daya

Pertama adalah peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia penyelenggara urusan kebudayaan dan pelaku budaya. Kebijakan ini dapat berupa rekrutmen pegawai Pemerintah yang memiliki kompetensi di bidang kebudayaan.

Kedua Pemberian beasiswa ke Perguruan Tiggi dengan jurusan ilmu Kebudayaan seperti Arkeologi, Museologi, Sejarah, Kesenian, Sastra, Humaniora dan ilmu-ilmu kebudayaan lainnya. Pemberian beasiswa ini akan memiliki dampak positif, jurusan-jurusan ini seringkali kurang populer dibandingkan dengan bidang-bidang lain, dengan memberikan beasiswa dalam ilmu kebudayaan dapat mendukung pertumbuhan intelektual dan melestarikan warisan budaya Natuna.

Ketiga adalah peningkatan sumber daya finansial. Peningkatan sumber daya finansial adalah kebijakan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalah pelestarian kebudayaan dalam jangka pendek.

3)    Peningkatan Edukasi Budaya

Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah penyusunan dan penerapan kurikulum muatan lokal dan pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler untuk berbagai jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah.

Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler menjadi sarana penting untuk memperdalam pemahaman dan keterlibatan siswa dalam budaya. Kegiatan ekstrakurikuler ini mencakup berbagai aktivitas siswa dari tingkat SD, SLTP dan SLTA untuk ter dalam kelompok seni, tarian tradisional, latihan musik, dan lainnya, yang memberikan siswa kesempatan untuk mengeksplorasi minat budaya mereka di luar jam pelajaran reguler. Penetapan kebijakan penyusunan dan penerapan kurikulum muatan lokal serta pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah adalah langkah yang penting dalam memperkaya pendidikan budaya siswa, melestarikan warisan budaya.

4)    Pengembangan pariwisata budaya

Melalui kunjungan wisatawan, masyarakat pelaku budaya dapat memperoleh penghasilan tambahan dari jualan produk kerajinan tangan, kuliner, atau penyelenggaraan acara pementasan seni dan budaya. Pengembangan pariwisata budaya menjadi peluang bagi pemerintah Kabupaten Natuna untuk mempertahankan kebudayaan dan mendapat manfaat dari kebudayaan tersebut. Pengembangan pariwisata budaya dapat menjadi strategi yang sangat bermanfaat bagi pemerintah Kabupaten Natuna dengan dua alasan.

Pertama, pengembangan pariwisata budaya memungkinkan pemerintah Kabupaten Natuna untuk mempertahankan dan merawat kebudayaan daerah. Dengan meningkatnya minat dan apresiasi terhadap budaya daerah, masyarakat budaya akan lebih cenderung untuk melibatkan diri dalam pelestarian tradisi, seni, dan nilai-nilai budaya mereka. Ini adalah langkah penting untuk mencegah menurunnya kelestarian warisan budaya yang berharga.

Kedua, meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kabupaten Natuna membuka peluang ekonomi yang signifikan. Wisatawan yang datang untuk mengalami budaya lokal akan membelanjakan uang untuk akomodasi, makanan, barang-barang souvenir, dan berbagai layanan lainnya. Pendapatan dari sektor pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan bagi para pekerja dan penggiat budaya dengan mementaskan atraksi budaya untuk para wisatawan dan memperoleh imbalan jasa dari pementasan tersebut, serta akan meningkatkan pendapatan pajak untuk pemerintah daerah.

 

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan kelestarian kebudayaan di Kabupaten Natuna yang disebabkan oleh beberapa faktor yakni komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Merujuk pada keempat faktor tersebut terdapat 2 (dua) faktor yang paling dominan, yakni; (1) minimnya Sumber Daya Manusia pada perangkat daerah yang membidangi kebudayaan yang memiliki kompetensi di bidang kebudayaan serta minimnya sumber daya finansial untuk menyelenggarakan urusan kebudayaan yang menyebabkan beragam objek kebudayaan tidak terlindungi, tidak dikembangkan dan tidak dibina dengan baik untuk dimanfaatkan menjadi daya tarik yang akan mendorong peningkatan kunjungan pariwisata ke Kabupaten Natuna, dan (2) struktur birokrasi bidang kebudayaan yang sempit dan seringnya perpindahan urusan kebudayaan dari dinas Pendidikan ke Dinas Pariwisata secara bolak balik. Kondisi ini mempersempit peluang dan ruang gerak bidang kebudayaan untuk memperoleh peluang kecukupan sumber daya manusia dan kecukupan sumber daya finansial untuk melestarikan kebudayaan daerah di Kabupaten Natuna. Oleh karenanya dalam upaya melestarikan kebudayaan di Kabupaten Natuna, penting bagi semua pihak khususnya pemangku kebijakan, termasuk kepala daerah, jajaran pemerintahan, stakeholder, para pegawai serta masyarakat, untuk memiliki komitmen yang tinggi, rasa kepedulian, dan partisipasi aktif. Dengan demikian di masa depan berbagai khazanah warisan budaya daerah akan tetap lestari dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pengembangan pariwisata yang akan memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Natuna.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustino, L. (2018). Dasar-Dasar Kebijakan Publik (revisi). Bandung. Alfabeta.

Bielinis-Kopeć, B. (2016). Propozycje założeń do systemu służb konserwatorskich–stanowisko wojewódzkich konserwatorów zabytków. Protection of Cultural Heritage, 1, 7–13.

Farid, H. (2018). Perang MelawanTeroris. Http//Www. Elsam. or. Id/Txt/Asasi/2002, 910(05).

Fathurrahman, A. (2012). Kebijakan Fiskal Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Islam: Studi Kasus Dalam Mengentaskan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 13(1), 72–82.

Friese, M., Frankenbach, J., Job, V., & Loschelder, D. D. (2017). Does self-control training improve self-control? A meta-analysis. Perspectives on Psychological Science, 12(6), 1077–1099.

Hardjana, A. (2016). Komunikasi organisasi strategi dan kompetensi. PT. Kompas Media Nusantara.

Harkantiningsih, N., & Wibisono, S. C. (2016). Arkeologi Natuna Singkapan identitas budaya di gugus kepulauan terdepan Indonesia. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Irmansyah, H. (2019). Formulasi Kebijakan Kebudayaan Provinsi Banten. Universitas Padjadjaran.

Jones, Z. M., Di Vita, S., & Ponzini, D. (2022). Changing mega-events’ spatial strategies and cultural policy: scaling down, spacing out, and assembling organizations in the cases of London and Milan. City, Territory and Architecture, 9(1), 34.

Moleong, L. J. (2021). Metodologi penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.

Noventari, W., & Pratama, A. Y. (2019). Analisis Strategi Kebudayaan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan Dalam Rangka Memperkokoh Bingkai Integrasi Nasional. Jurnal Ilmiah Hukum, 13(1), 1–14.

Parlina, I. A. (2016). Analisis Kebijakan Pengembangan Potensi Wisata Unggulan di Kabupaten Bulungan. Universitas Terbuka.

Rahmatin, L. (2023). Analisis Potensi Budaya Lokal sebagai Atraksi Wisata Dusun Segunung. Jurnal Kajian Dan Terapan Pariwisata, 3(2), 30–40.

Setyorini, T. (2004). Kebijakan pariwisata dalam rangka meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat kabupaten Semarang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Siswanto, N. F. N. (2007). Pariwisata dan Pelestarian Warisan Budaya. Berkala Arkeologi, 27(1), 118–130.

Sugiyarto, S., & Amaruli, R. J. (2018). Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal. Jurnal Administrasi Bisnis, 7(1), 45–52.

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuatitatif Kualitatif dan R&D (Pertama). CV. Alfabeta.

Sutopo, H. B. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Surakarta: sebelas maret university press.

Vyzantiadou, M. M., & Gkiokas, P. S. (2019). Heritage Preservation Policy of Civil Servants Joint Stock Fund for Historical Buildings in Athens: The Deligiorgi Residence Case. Heritage, 2(1), 681–707.

Widodo, J. (2009). Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikas Analisis Proses Kebijakan Publik. Cetakan Ketiga. Bayumedia Publishing.

Winarno, B. (2012). Kebijakan publik: teori, proses, dan studi kasus: edisi dan revisi terbaru. Center For Academic Publishing Service.

           

Copyright holder:

Hadisun, Maulana Mukhlis, Joko Rizkie Widokarti (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: