Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 6, Juni 2024

 

KETAHANAN DEMOKRASI INDONESIA: STUDI KASUS KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPRD PROVINSI DKI JAKARTA

 

I Gede Ngurah Eka Dharmayudha

Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Keterwakilan Perempuan dalam pemerintahan dinilai mampu mencerminkan ketahanan Demokrasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketahanan demokrasi di DKI Jakarta dengan melihat keterwakilan perempuan dalam jajaran legislatif DPRD Provinsi DKI Jakarta. Metode dalam penelitian pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur dan studi kasus pada keterwakilan perempuan dalam jajaran legislatif DPRD DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik di DPRD DKI Jakarta pada tahun 2009, 2014, dan 2019 masih belum sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu di mana dinyatakan bahwa peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Pada tahun 2009, dari total 94 kursi, hanya 22 kursi (23,40%) yang ditempati oleh perempuan, sedangkan sisanya oleh laki-laki. Kemudian, pada tahun 2014, jumlah kursi perempuan sedikit berkurang menjadi 19 kursi (17,92%), sementara pada tahun 2019, terjadi peningkatan menjadi 23 kursi (21,70%). Ketidaksesuaian keterwakilan perempuan dalam kursi politik dapat menyebabkan kekhawatiran terhadap ketahanan demokrasi yang dimiliki Indonesia. Ketika keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik terlalu rendah, maka akan muncul indikasi ketidakseimbangan dalam representasi politik dan mengurangi pluralitas suara dalam proses pembuatan kebijakan. Ketidaksetaraan tersebut berpotensi mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi yang telah ditanamkan di Indonesia. Salah satu prinsip utama dalam demokrasi adalah representasi yang inklusif dan partisipatif, di mana semua warga negara memiliki kesempatan yang setara untuk ikut serta dalam proses politik dan pembuatan keputusan.

Kata kunci: Ketahanan Demokrasi, Keterwakilan Perempuan, Kesetaraan Gender

 

Abstract

The role of women in governance is evaluated as a means of strengthening democratic resilience in Indonesia. This study aims to analyze the democratic resilience in DKI Jakarta by examining the representation of women in the legislative body of the DPRD Provincial DKI Jakarta. The research employs a qualitative approach with a literature review and case studies of women representatives in the DPRD DKI Jakarta. The findings indicate that the involvement of women in politics in DPRD DKI Jakarta in 2009, 2014, and 2019 was still not in line with Article 65 paragraph 1 of Law No. 12 of 2003 on Elections, which stipulates that election candidates for the DPR, DPRD Provincial, and DPRD District/City Councils must ensure that at least 30% of candidates are women. In 2009, out of 94 seats, only 22 seats (23.40%) were filled by women, while the rest were filled by men. In 2014, the number of women's seats slightly decreased to 19 seats (17.92%), and in 2019, there was an increase to 23 seats (21.70%). The lack of representation of women in political seats can cause concerns about the democratic resilience that Indonesia possesses. When women's involvement in the political decision-making process is low, it indicates an imbalance in political representation and reduces the plurality of voices in the process of policy making. This imbalance has the potential to threaten the fundamental principles of democracy that have been established in Indonesia. One of the primary principles of democracy is inclusive and participatory representation, where all citizens have equal opportunities to participate in political processes and decision-making.

Keywords: Democratic Resilience, Women's Representation, Gender Equality

 

Pendahuluan

Demokrasi merupakan sebuah sistem politik dengan pemerintahan yang berasaskan pada kedaulatan rakyat. Di Eropa, konsep demokrasi berkembang pasca revolusi Perancis bergulir dengan tumbangnya monarki dan bangkitnya semangat untuk menciptakan sebuah pemerintahan dan struktur sosial yang berkeadilan dengan mengusung slogan Egalite, Fraternite, Liberte. Demokrasi kemudian mengalami banyak perubahan dengan beradaptasi terhadap perkembangan sosial yang terjadi di dunia. Secara garis besar, demokrasi yang ada di dunia saat ini berprinsip pada konsep demokrasi yang dicetuskan oleh Montesqiue yaitu sebuah sistem politik dengan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Meski dianggap sebagai salah satu sistem yang terbaik saat ini, demokrasi tak terlepas dari berbagai guncangan dan tantangan dalam pelaksanaan. Untuk itu, untuk membentuk dan menjalanankan politik dalam rangka menciptakan kesejahteraan, ketahanan demokrasi menjadi sebuah unsur penting dalam menganalisis dinamika dan praktik demokrasi yang dijalankan oleh suatu negara.

Indonesia pasca reformasi 1998 mulai mencoba memperbaiki kehidupan demokrasinya. Hak politik dibuka selebar-lebarnya, partai politik bebas berdiri, dan peran pers menjadi lebih bebas dan independen. Namun seiring berjalannya waktu, tantangan-tantangan mulai mengancam ketahanan demokrasi. Salah satunya ialah pada indikator budaya politik. Budaya politik yang tumbuh di masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya lepas dan beradaptasi dengan demokrasi modern. Salah satu unsur penilaiannya ialah pada tingkat keterwakilan perempuan di setiap pemilu digelar sejak era reformasi. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan mengeluarkan peraturan untuk mendorong tingkat keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen. Meski begitu, partai politik masih sulit untuk memenangkan kader-kader perempuannya baik di nasional maupun di daerah.

DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan barometer politik nasional sudah menunjukkan angka yang baik pada tingkat partisipasi politik perempuan dan juga indeks ketimpangan gender. Namun, angka tersebut tidak berbanding lurus dengan tercapainya minimal 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Dalam pemilu 2014 dan 2019 sudah terjadi peningkatan pada keterpilihan caleg perempuan di DPRD DKI Jakarta menjadi 21,7% di 2019 dari 19,8% di tahun 2014. Keberadaan perempuan dalam partai politik dan juga parlemen tentu akan memberikan warna politik tersendiri, namun hambatan besar menghalangi kesempatan kader-kader perempuan dalam setiap perhelatan pemilu digelar. Secara umum, hambatan yang dihadapi perempuan di politik berkaitan erat dengan konstruksi sosial dari masyarakat Indonesia itu sendiri yang kemudian diikuti dengan hambatan secara psikologis maupun secara ekonomi. Keadaan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak buruk bagi politik perempuan. Dari perspektif ketahanan demokrasi, rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen akan berdampak pada pertimbangan yang minim terhadap kepentingan perempuan saat sebuah kebijakan akan dibuat atau diputuskan, terlebih secara demografi jumlah populasi perempuan mencapai setengah dari total populasi yang ada di Indonesia.

Masih sulitnya pemilu menghasilkan 30% keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan perempuan secara politik mendapatkan banyak hambatan dalam upayanya meraih kursi di parlemen. Hambatan paling sering dijumpai ialah hambatan kultural. Perempuan selama ini diidentikan sebagai subjek yang emosional, tidak mampu mengontrol perasaan, tidak percaya diri, dan tidak lebih baik dibandingkan laki-laki dalam tampil sebagai seorang pemimpin. Perempuan juga diidentikan dengan peran domestik rumah tangga sehingga tidak memiliki kecakapan sosial untuk tampil di ruang-ruang publik. Hambatan secara kultural ini kemudian berimplikasi pada pengetahuan dan juga kesempatan yang bisa didapatkan perempuan dalam politik. Akibat tertutupnya akses politik perempuan, perempuan tidak mampu mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk bisa tampil di ruang publik. Akibatnya ialah perempuan cenderung menutup diri dan tidak percaya diri untuk mau tampil di ruang-ruang publik. Keadaan lainnya yang menghambat keterwakilan perempuan di parlemen ialah modal sosial dan modal ekonomi. Kedua modal ini merupakan modal yang sangat penting dalam meraih kursi di pemilu. Secara modal sosial, perempuan sudah diindentikan secara kultural sebagai pelengkap di partai politik. Walaupun mampu mendapatkan tiket untuk berkontestasi di pemilu, kendala berikutnya ialah pada modal ekonomi. Biaya politik yang begitu tinggi di Indonesia menyebabkan perempuan sulit untuk membangun jaringan politik, membiayai kampanye dan pemenangannya saat pemilu. Sehingga, tak jarang ditemui meskipun ada representasi perempuan di parlemen, mereka datang dari kalangan elit politik sehingga kepentingannya tersandera oleh kepentingan partai dan kelompok tertentu saja, bukan kepentingan untuk membentuk struktur sosial masyarakat yang lebih inklusif dan setara. Pada akhirnya politik menjadi sangat maskulin dan perempuan kesulitan untuk terlibat secara bebas.

Ketahanan demokrasi merupakan sebuah kemampuan sistem demokrasi termasuk lembaga-lembaganya, aktor-aktor politiknya, dan warga negaranya, untuk mencegah atau bereaksi terhadap tantangan dan tekanan, dan serangan baik secara internal maupun eksternal melalui satu atau lebih reaksi potensial; bertahan tanpa perubahan, beradaptasi melalui perubahan internal, dan untuk pulih tanpa kehilangan karakter demokratis rezim dan institusi inti, organisasi, dan proses konstitutifnya. Salah satu indikator untuk melihat ketahanan demokrasi suatu wilayah adalah melalui angka partisipasi politik. Secara terminologi, partisipasi politik merupakan kegiatan politik yang dilakukan warga negara dalam rangka mempengaruhi keputusan kebijakan politik (Huntington, 1950). Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara spontan, berkesinambung ataupun sporadis, secara damai maupun kekerasan, ilegal ataupun legal. Di negara-negara dengan demokrasi yang baik, partisipasi berakar dari konsep kedaulatan rakyat yang memiliki arti bahwa penyelenggaraan negara ditujukan untuk kepentingan mulia bersama dan dilakukan dengan memberikan kekuasaan kepada orang yang dianggap layak untuk mewujudkan kepentingan bersama tersebut.

Tanpa partisipasi, maka demokrasi akan sulit berjalan dengan baik (Imawan, 2003). Seluruh produk kebijakan publik harus lahir melalui proses partisipasi warga negara sehingga aspek keadilan mampu dipenuhi oleh penyelenggara negara. Terdapat tiga macam aspek dalam partisipasi; pertama yaitu adanya kesempatan yang sama bagi warga negara untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangannya dalam seluruh proses perumusan kebijakan; kedua yaitu adanya kesempatan memperjuangan pandangannya baik secara individu maupun berkelompok; ketiga yaitu adanya perlakuan yang sama terutama dari penguasa pada kepentingan dan pandangan yang diperjuangkan oleh warga negara. Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan upaya untuk memperjuangkan kebijakan publik yang inklusif dan tidak bias gender. Dalam partisipasi politiknya, perempuan perlu untuk langsung berada dalam sebuah sistem yang bisa memastikan suara dan kepentingannya terakomodir. Pengikutsertaan perempuan dalam politik serta affirmative action dalam kuota 30% perempuan yang ada dalam aturan nasional bertujuan agar partisipasi politik perempuan bisa meningkat disetiap momen demokrasi negara. Namun keraguan masih menghambat peran perempuan di politik. Banyak budaya dan masyarakat yang menganggap kelompok tidak berdaya (spesifik mengarah pada kelompok perempuan) masih dianggap sebagai “yang lain” yang tidak sama yang tidak sama sekali memiliki korelasi esensial dengan kelompok dominan dalam hal ini adalah kelompok laki-laki (Young, 2005). Ciri dan karakter seperti lemah, tidak berdaya, lembut halus, diasosiasikan pada kelompok-kelompok rentan melekat sebagai sebuah identitas politik dan diwariskan secara struktural oleh kelompok dominan dalam kebudayaan yang patriaki.

Di era modern ini, peran perempuan dalam politik menunjukkan peningkatan signifikan. Perempuan mulai menunjukkan kekuatannya sebagai aktor politik yang kredibel dalam membawa isu-isu berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender. Isu pangan, keluarga, energi, hingga perlindungan dari kekerasan seksual, menjadi isu prioritas yang dibawa perempuan ke dalam politik. Di DKI Jakarta sendiri, representasi politik perempuan terus mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu. Ini menunjukkan perempuan mulai menemukan warna politik yang bisa mengantarkan mereka menuju kekuasaan agar bisa terlibat dalam perumusan kebijakan. Namun perbedaan gender melahirkan ketidaksetaraan gender dalam politik. Dampak-dampak yang ditimbulkan termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi atau pemiskinan secara struktural terhadap perempuan, subordinasi dalam keputusan politik, pembentukan stereotype, kekerasan fisik maupun non fisik, dan beban kerja yang lebih banyak dan panjang (Tanaya, 2011).

Pada saat peran perempuan dalam partisipasi dan keterwakilan di parlemen rendah, terjadi peluruhan demokrasi. Dalam peluruhan demokrasi, terhadap faktor mekanisme partisipasi politik secara formal yang melibatkan partai politik dan pemilu. Partai politik memegan tugas sentral membentuk dan melahirkan politisi perempuan yang mampu menjawab tantangan demokrasi serta menyusun kebijakan untuk menciptakan pemilu yang berkeadilan. Meski partai politik mampu melahirkan kader-kader perempuan yang unggul, pemilu tetap menjadi medan perang sesungguhnya. Faktor ekonomi, sosial, dan politik menjadi krusial bagi kader perempuan untuk bisa bertarung secara maksimal agar mampu mengalahkan status quo. Peluruhan demokrasi terjadi ketika dua institusi tersebut gagal menjalankan perannya dalam menciptakan ketahanan demokrasi yang berlandaskan pada kesetaraan sehingga pemilu diibaratkan menjadi tempat “pembantaian” bagi politisi perempuan.

Berdasarkan keadaan dan dinamika, serta asumsi-asumsi yang ada terhadap partisipasi politik perempuan di DKI Jakarta, maka penelitian ini ditujukan untuk menganalisis ketahanan demokrasi di DKI Jakarta. Peran perempuan di politik terkhusus keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sangat krusial dalam rangka keterlibatan perempuan dalam membuat sebuah kebijakan di parlemen yang mampu dinikmati oleh sebuah kalangan tak terkecuali perempuan itu sendiri sehingga demokrasi mampu menjadi sebuah sistem politik yang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur dan studi kasus yang memungkinkan peneliti melakukan penelitian yang mendalam terhadap sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia dalam rangka menciptakan demokrasi yang ideal dalam sudut pandang yang holistik. Dalam konteks ini, teori mengenai ketahanan demokasi, budaya politik, gender, dan partai politik, akan menjadi teori yang relevan dalam kerangka teoritis penelitian ini.

Selain itu, data sekunder berupa berita politik serta pendapat para ahli akan digunakan. Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif menggunakan teknik analisis grounded theory. Analisis ini akan mengidentifikasi ketahanan demokrasi di DKI Jakarta. Dalam proses analisis, akan dilakukan studi perbandingan dengan negara-negara demokrasi maupun negara yang memiliki kondisi sosial politik yang serupa agar mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif. Penelitian ini akan mengajukan kesimpulan berdasarkan hasil analisis data dan mengajukan konsep tersebut kepada stakeholder agar mampu dimanfaatkan dalam upaya menciptakan demokrasi yang ideal.

 

Hasil dan Pembahasan

Keterwakilan perempuan dalam politik adalah isu yang cukup kompleks dan krusial dalam analisis gender. Di banyak negara, perempuan masih menghadapi hambatan dalam mencapai posisi politik yang signifikan. Keterwakilan perempuan yang rendah tidak hanya menjadi cerminan bahwa adanya ketidakadilan sosial, tetapi juga dapat memberikan dampak besar terhadap pembangunan kebijakan yang inklusif dan responsif gender. Partisipasi aktif perempuan dalam pembentukan kebijakan publik yang tidak bias gender akan memberikan dampak positif yang signifikan dalam membangun demokrasi yang baik. Dengan memastikan representasi yang seimbang dalam struktur kekuasaan politik, perempuan dapat membawa perspektif lain dan dapat menjadi pengendali dalam meja keputusan.

Dalam tulisannya, Adeni dan Harahap (2018) menyatakan bahwa Indonesia masih kuat dalam sistem patriarkal sehingga hal tersebut yang menjadi sebab adanya keterbatasan keterlibatan perempuan dalam partisipasi politik. Sistem patriarkal yang merajalela cenderung memberikan preferensi dan memperkuat dominasi laki-laki dalam ranah politik. Akibatnya, perempuan sering kali menghadapi hambatan struktural dan budaya dalam mencapai posisi politik yang signifikan. Permasalahan gender sebenarnya telah berlangsung sejak enam ribu tahun silam (Nurcahyo, 2016). Pertentangan atas kesetaraan gender semakin menguat ketika munculnya ketimpangan dan terdapat hubungan subordinasi. Permasalahan gender semakin parah di saat sistem partriaki dianggap wajar sebab pembenarannya disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks atau jenis kelamin dan bukan didasarkan pada gender (Nurcahyo, 2016).

Padahal perlu dimengerti bahwa kehadiran perempuan dalam sebuah sistem politik dapat membangun demokrasi dalam membentuk kebijakan publik yang tidak bias gender di DKI Jakarta. Keterlibatan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan membawa perspektif yang beragam dan pengalaman langsung tentang tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam masyarakat. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu gender dan lebih mampu menciptakan solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi ketidaksetaraan (Hevriansyah, 2021). Selain itu, partisipasi perempuan dalam politik juga membantu menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif dan representatif yang mencerminkan keragaman masyarakat DKI Jakarta secara lebih akurat. Banyak yang telah mengotak-ngotakkan bahwa kekuasaan dalam sistem politik harus dipegang oleh laki-laki. Dalam tulisannya, Hardjaloka (2012) menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya netral, di mana hanya tergantung pada kepatuhan, perubahan, dan pembaharuan.

DKI Jakarta menjadi salah satu pusat sistem pemerintahan sehingga memiliki peran penting dalam menentukan arah pembangunan nasional serta menangai berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Dalam konteks ini, kehadiran perempuan dalam sistem pemerintahan DKI Jakarta menjadi semakin krusial. Partisipasi aktif perempuan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan tidak hanya mencerminkan inklusivitas dalam representasi politik, tetapi juga memperkaya pandangan kebijakan dengan perspektif gender yang mendalam. Melalui pengintegrasian analisis gender dalam setiap aspek pembuatan kebijakan, DKI Jakarta dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih sensitif terhadap kebutuhan dan aspirasi perempuan serta masyarakat secara keseluruhan. Keberadaan perempuan dalam pusat pemerintahan seperti DKI Jakarta menjadi kunci untuk memastikan bahwa proses pembangunan dan pengambilan keputusan yang dilakukan mencerminkan keadilan gender serta memberikan manfaat yang merata bagi seluruh warga Jakarta.

Realita menunjukkan  bahwa keterlibatan perempuan dalam politik di DPRD DKI Jakarta pada tahun 2009, 2014, dan 2019 masih belum sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu di mana dinyatakan bahwa peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

 

Tabel 1. Perolehan Kursi Perempuan DPRD Provinsi DKI Jakarta

Tahun

Jumlah Kursi

Persentase Kursi

Total

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

2009

94

22

72

23,40%

76,60%

2014

106

19

87

17,92%

82,08%

2019

106

23

83

21,70%

78,30%

Sumber: KPU Provinsi DKI Jakarta (Mariyah, 2021)

 

Tabel 1. Tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan masih berada di bawah 30% dalam DPRD Provinsi DKI Jakarta. Meskipun ada peningkatan yang signifikan pada tahun 2019, di mana persentase kursi perempuan mencapai 21,70%, angka tersebut masih jauh dari mencapai kesetaraan gender yang diharapkan dalam representasi politik. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan yang signifikan dalam meningkatkan keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik di DKI Jakarta.

Anggota perempuan DPRD DKI Jakarta dapat berasal dari berbagai latar belakang yang beragam, termasuk dari kelas menengah, kelas pekerja, dan kelas elite. Namun, terdapat kecenderungan bahwa dominasi kelas elite lebih unggul di antara anggota DPRD, terutama di level Provinsi DKI Jakarta. Seperti yang dituliskan oleh Mawardi (2019) bahwa kedudukan kelas elite dalam politik menjadi hal yang lumrah dikarenakan adanya dukungan sumber daya serta akses untuk terlibat dan masuk dalam dunia politik. Meskipun demikian, terdapat juga perwakilan dari kelas menengah dan kelas pekerja di dalam DPRD, terutama sebagai hasil dari partisipasi politik yang semakin meningkat dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, proporsi mereka mungkin lebih kecil dibandingkan dengan anggota yang berasal dari kelas elite.

Terdapat sebuah teori yang menjadi penunjang dalam pembahasan elite politik yaitu Elite Theory. Dalam Elite Theory yang dikembangkan oleh Vilfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1911), dijelaskan bahwa elite muncul karena adanya kecakapan dan kecerdasan pribadi yang dimiliki oleh seseorang dibandingkan dengan orang lain. Mosca lebih memiliki kecenderungan melihat elite adalah seseorang yang memiliki manajemen organisasi yang lebih baik. Namun, dalam perkembangannya, C. Wright Mills menyatakan bahwa kekuasaan elite muncul karena adanya dominasi massa oleh elite. Mills berpandangan bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah eksploitasi massa oleh elite. Terdapat perbedaan pengartian definisi antara dominasi dengan eksploitasi di mana penguasaan elite atas masyarakat bawah tidak bisa disebut dengan dominasi, melainkan eksploitasi. Penjelasan tersebut yang menjadikan munculnya teori power elite. Tidak dapat dipungkiri bahwa teori power elite memang dijalankan di kehidupan saat ini. Dalam tulisannya Mawardi (2019) menyatakan bahwa power elite tidak hanya memegang kekuasaan formal semata, seperti dalam pemerintahan, namun juga sekelompok kecil orang yang berpengaruh besar untuk turut serta mengarahkan jalannya roda pemerintahan. Dalam konteks zaman saat ini, konsep kaum elite masih relevan dan dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam ranah politik, ekonomi, dan sosial. Kaum elite adalah kelompok kecil individu yang memiliki kontrol atau pengaruh yang signifikan terhadap keputusan-keputusan penting yang memengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Mereka sering kali memiliki akses yang luas terhadap sumber daya dan kekuatan, baik itu dalam bentuk kekayaan materi, koneksi politik, atau pengaruh sosial.

Kaum elite yang menduduki kursi legislatif DPRD DKI Jakarta di tahun-tahun sekarang adalah mereka yang berkedudukan sebagai seorang artis. Para artis yang terpilih menjadi anggota DPRD DKI Jakarta sering kali memanfaatkan kepopuleran mereka dalam industri hiburan untuk memperoleh dukungan massa. Meskipun demikian, keberadaan mereka dalam lembaga legislatif juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan mereka dalam merumuskan kebijakan publik dan mewakili kepentingan masyarakat dengan baik. Tahun 2019, beberapa public figure atau artis turut serta dalam jajaran kursi legislatif seperti Tina Toon dari PDIP dan Zita Anjani dari PAN. Dalam tulisannya, Lubis (2015) menyatakan bahwa melibatkan public figure atau artis menjadi salah satu hal yang dinilai efektif dalam mensosialisasi partai politik sehingga eksistensi partai akan turut terangkat. Hal ini menjadikan kaum elite yang berkalangan dari artis lebih mendominasi dibandingkan dengan kelas menengah atau kelas pekerja. Menurut Lubis (2015) fenomena public figure yang masuk dalam ranah politik dapat menjadi celebrity endorsement demi keuntungan kampanye partai. Dengan kata lain, modal popularitas yang dimiliki para artis akan lebih mudah dalam mendapatkan elektabilitas, dikarenakan kemajuan telah menjadi modal awal dibandingkan kandidat lainnya.

Maliki (2018) memberikan pendapat bahwa kaum elite masih menjadi pemegang dominasi dalam politik di negara ini. Maliki menegaskan bahwa kaum elite, termasuk para artis, tetap menjadi pemegang dominasi dalam politik. Ini mengindikasikan bahwa struktur kekuasaan dalam politik cenderung tetap terkonsentrasi di tangan kelompok yang memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuatan politik. Atas hal tersebut, muncul sebuah kekhawatiran di mana dapat terjadi kerentanan dalam kualitas institusi politik dan budaya politik di Indonesia. Kehadiran mereka menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan institusi politik, khususnya dalam DPRD DKI Jakarta dalam melakukan seleksi dan evaluasi terhadap calon legislatif berdasarkan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai. Hal ini menyoroti potensi kelemahan dalam proses rekruitmen dan penilaian kandidat, di mana popularitas atau ketenaran seringkali menjadi faktor penentu yang dominan daripada kualitas kepemimpinan dan pemahaman akan isu-isu publik. Fenomena ini juga menyoroti kondisi budaya politik yang rentan terhadap pengaruh celebrity endorsement dan pragmatisme politik. Budaya politik yang terlalu terfokus pada citra dan popularitas individu dapat mengaburkan substansi dari peran legislatif itu sendiri, yaitu merumuskan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan publik dan mewakili aspirasi masyarakat. Ketika publik lebih tertarik pada citra dan popularitas seseorang daripada rekam jejak dan komitmen politiknya, hal ini dapat mengurangi akuntabilitas dan kualitas representasi politik yang seharusnya dijunjung tinggi. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Putri, et al (2018) dalam tulisannya yang juga menyebutkan bahwa ketika pemilih lebih cenderung memilih berdasarkan ketenaran dan pesona seseorang daripada mempertimbangkan rekam jejak dan komitmen politiknya, maka proses demokrasi dapat terkikis. Hal ini dapat mengarah pada terpilihnya pemimpin yang kurang kompeten atau tidak memenuhi harapan publik, karena prioritas dalam pemilihan berubah dari kualitas kepemimpinan dan agenda politik yang jelas menjadi sekadar popularitas semata.

Rendahnya keterlibatan perempuan juga dapat menghasilkan kebijakan yang kurang representatif terhadap kesetaraan gender. Tanpa representasi yang cukup dari perempuan dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan, suara dan kebutuhan mereka cenderung tidak terwakili secara memadai. Hal ini dapat mengarah pada kebijakan publik yang tidak sensitif terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan, seperti kesenjangan upah, akses terhadap pendidikan dan kesehatan reproduksi, serta kekerasan gender. Dengan demikian, rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik tidak hanya merugikan perempuan secara langsung, tetapi juga menciptakan kesenjangan dalam representasi dan pembangunan kebijakan yang adil dan inklusif bagi seluruh masyarakat.

Permasalahan yang banyak dikaitkan dengan isu kesetaraan gender adalah kekerasan. Kekerasan gender dapat berupa kekerasan terhadap perempuan, termasuk pada pelecehan seksual, pemerkosaan, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2024, tercatat bahwa pelaku kekerasan menunjukkan laki-laki memeroleh nilai 3.030 dan perempuan memeroleh nilai 406. Angka tersebut merepresentasikan ketidakproporsionalan yang mencolok antara jumlah pelaku kekerasan laki-laki dan perempuan. Dengan nilai yang jauh lebih tinggi untuk laki-laki, hal ini mengindikasikan bahwa kekerasan gender masih terutama dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Fenomena ini mencerminkan ketidaksetaraan kekuatan dan kontrol dalam hubungan gender, di mana perempuan sering kali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh pasangan atau individu laki-laki. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk mencatat di sepanjang tahun 2023 telah masuk sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (Kompas, 2024). Di tahun 2022, tercatat sebanyak 1.455 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan kecenderungan bertambah di setiap tahunnya.

Meningkatnya kasus kekerasan setiap tahunnya mencerminkan proses pengupayaan kebijakan atas gender masih kurang maksimal. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam DPRD DKI Jakarta dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pengupayaan terhadap perempuan masih kurang optimal. Keterwakilan perempuan yang rendah dalam lembaga legislatif dapat mengakibatkan kurangnya pemahaman akan isu-isu yang dihadapi oleh perempuan secara langsung, termasuk isu kekerasan gender. Dalam konteks ini, keberadaan perempuan dalam DPRD dapat menjadi suara yang penting dalam memperjuangkan kebijakan dan program yang memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan penanggulangan kekerasan gender. Jika keterwakilan perempuan dalam DPRD rendah, maka isu-isu yang berkaitan dengan perempuan cenderung tidak mendapatkan prioritas yang memadai dalam agenda legislatif. Kurangnya perspektif perempuan dalam pembuatan kebijakan juga dapat menghambat upaya-upaya untuk meningkatkan akses terhadap layanan perlindungan dan kesehatan bagi korban kekerasan, serta untuk memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Kurangnya suara perempuan dalam proses pembuatan kebijakan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam perhatian terhadap isu-isu gender dan kebijakan yang tidak memadai dalam mendukung kesetaraan gender.

Analisis terhadap kondisi sosial budaya politik masyarakat Indonesia mengindikasikan bahwa meskipun terdapat partisipasi politik yang tinggi dari perempuan dalam pemilu, namun hal tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah anggota dewan perempuan yang terpilih di DPRD DKI Jakarta. Hal ini mencerminkan adanya hambatan-hambatan struktural dan prosedural dalam praktik demokrasi yang mengakibatkan kelompok-kelompok sosial rentan, termasuk perempuan, sering kali tersisihkan atau terisolasi dari proses pengambilan keputusan politik (Laku, 2021). Hambatan struktural seperti stereotip gender, ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi, serta kekurangan dukungan dari partai politik dapat menjadi faktor utama yang menghalangi keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif seperti DPRD DKI Jakarta. Selain itu, budaya politik yang masih didominasi oleh norma-norma patriarki dan pandangan tradisional tentang peran gender juga dapat menjadi penghambat bagi partisipasi politik perempuan yang lebih aktif dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik.

Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia juga turut memberikan dampak signifikan terhadap ketahanan demokrasi di Indonesia. Ketika keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik terlalu rendah, maka akan muncul indikasi ketidakseimbangan dalam representasi politik dan mengurangi pluralitas suara dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan demikian, rendahnya keterlibatan perempuan dalam DPRD DKI Jakarta, yang merupakan salah satu pusat pemerintahan penting di Indonesia, dapat mereduksi pluralitas pandangan dan pengalaman dalam perwakilan politik.

Dalam konteks ini, ketidaksetaraan dalam gender yang ada dalam jajaran legislatif akan memunculkan permasalahan baru yang mana menyangkut pada ketahanan demokrasi di Indonesia.  Ketidaksetaraan tersebut akan berpotensi mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi yang telah dibangun Indonesia. Salah satu prinsip fundamental dalam demokrasi adalah representasi yang inklusif dan partisipatif, di mana semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik dan pembuatan keputusan (Sulastri et al., 2020). Namun, ketika terdapat ketidaksetaraan gender yang signifikan di dalam lembaga-lembaga politik, hal ini mengakibatkan ketimpangan dalam representasi dan partisipasi politik antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender di jajaran legislatif menciptakan ketidakseimbangan dalam representasi suara dan perspektif dalam pembentukan kebijakan. Perempuan sering kali memiliki pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dalam masyarakat, dan ketika mereka tidak cukup diwakili dalam lembaga-lembaga politik, isu-isu yang spesifik bagi mereka sering kali diabaikan atau tidak diperhatikan secara serius dalam pembentukan kebijakan (Fatmariza, 2003). Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak sensitif terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan, seperti kekerasan gender, kesenjangan ekonomi, dan akses terhadap layanan kesehatan.

Selain itu, ketidaksetaraan gender juga menciptakan ketidakseimbangan dalam agenda politik secara keseluruhan. Isu-isu yang berkaitan dengan gender sering kali tidak mendapatkan prioritas yang memadai, sehingga mengurangi keberagaman dan pluralitas dalam perwakilan politik. Dalam sebuah demokrasi yang sehat, semua warga negara harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan representasi politik yang memadai, tanpa memandang jenis kelamin mereka. Penjelasan tersebut menjadi bukti bahwa ketidaksetaraan gender dalam jajaran legislatif tidak hanya melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar, tetapi juga mengancam kualitas dan legitimasi dari sistem politik secara keseluruhan.

 

Kesimpulan

Keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya di DPRD DKI Jakarta, menunjukkan bahwa masih ada tantangan besar dalam mencapai keterlibatan perempuan yang seimbang dan representatif. Hal ini tidak hanya mencerminkan adanya ketidakadilan sosial yang masih mewarnai struktur politik yang kuat dalam sistem patriarkal, tetapi juga berpotensi mengakibatkan ketimpangan dalam representasi suara dan perspektif yang penting dalam pembentukan kebijakan publik yang inklusif dan responsif gender. Rendahnya keterwakilan perempuan dalam DPRD DKI Jakarta juga dapat menghambat upaya-upaya untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan penanggulangan kekerasan gender, serta dapat mengurangi pluralitas suara dalam proses pembuatan kebijakan yang seharusnya mencerminkan kebutuhan dan aspirasi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis perlu diambil untuk memastikan keterlibatan perempuan yang lebih aktif dan efektif dalam proses politik, termasuk peran lembaga-lembaga negara dan partai politik dalam memberikan dukungan yang memadai, pemberian ruang dan kesempatan yang adil, serta pemahaman yang mendalam akan pentingnya perspektif gender dalam pembentukan kebijakan publik yang berkualitas dan berpihak pada keadilan sosial.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adeni, S., & Harahap, M. A. (2018). Komunikasi politik dan keterwakilan perempuan dalam arena politik. Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik Dan Komunikasi Bisnis, 1(2).

Fatmariza, F. (2003). Kesetaraan Gender: Langkah Menuju Demokratisasi Nagari. Jurnal Demokrasi, 2(1).

Hardjaloka, L. (2012). Potret keterwakilan perempuan dalam wajah politik Indonesia perspektif regulasi dan implementasi. Jurnal Konstitusi, 9(2), 403–430.

Hevriansyah, A. (2021). Hak Politik Keterwakilan Perempuan dalam Sistem Proporsional Representatif pada Pemilu Legislatif. Awasia: Jurnal Pemilu Dan Demokrasi, 1(1), 67–85.

Huntington, S. P. (1950). A revised theory of American party politics. American Political Science Review, 44(3), 669–677.

Imawan, H. (2003). Penerapan activity based information system (ABIS) pada product costing untuk membantu manajemen dalam mendapatkan informasi yang jelas, akurat dan cepat CV. X di Surabaya.

Kompas. (2024). Ada 1.682 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Jakarta Selama 2023. https://megapolitan.kompas.com/read/2024/01/08/12594331/ada-1682-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-di-jakarta-selama

Laku, S. K. (2021). Ketika Demokrasi Membutuhkan Inklusi. Dekonstruksi, 4(01), 156–184.

Lubis, S. (2015). Artis Dan Kegiatan Politik: Studi Keterlibatan Artis Pada Pemilu Legislatif 2014. Ilmu Dan Budaya, 39(44), 5209–5226.

Maliki, Z. (2018). Sosiologi politik: makna kekuasaan dan transformasi politik. Ugm Press.

Mariyah, C. (2021). Analisis Modal Politik, Sosial, dan Ekonomi Terhadap Keterpilihan Caleg Perempuan Pemula Pada Pileg DPRD DKI Jakarta 2019. TheJournalish: Social and Government, 2(2), 56–63.

Mawardi, A. I. (2019). Charles Wright mills dan teori power elite: Membaca Konteks dan pemetaan teori sosiologi politik tentang kelas elite kekuasaan. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis, 4(2).

Nurcahyo, A. (2016). Relevansi budaya patriarki dengan partisipasi politik dan keterwakilan perempuan di parlemen. Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya, 6(01), 25–34.

Putri, P. S., Hasrullah, H., & Nadjib, M. (2018). Artis Dan Pilkada (Politic Marketing Pemenangan Hidayat–Sigit Pada Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Kota Palu). KAREBA: Jurnal Ilmu Komunikasi, 23–29.

Sulastri, E., Purnomo, E. P., Setiawan, A., Fathani, A. T., & Oktiawan, C. (2020). Pertarungan Perempuan Dalam Demokrasi Dunia Politik Untuk Mendukung Ketahanan Sosial Politik Di DKI Jakarta. Jurnal Ketahanan Nasional, 26(3), 308–332.

Tanaya, V. (2011). Optik gender dalam Putusan Perkara kekerasan Fisik dalam Rumah tangga. Jurnal Yudisial, 4(1), 89–112.

Young, I. M. (2005). On female body experience:" Throwing like a girl" and other essays. Oxford University Press.

 

Copyright holder:

I Gede Ngurah Eka Dharmayudha (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: