Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 5, Mei 2024

 

UPAYA PENCEGAHAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI) NONPROSEDURAL SEBAGAI BAGIAN PERDAGANGAN ORANG MELALUI PENGAWASAN KEIMIGRASIAN

 

Yosia Martin1, Arthur Josias Simon Runturambi2

Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

           

Abstrak

Perdagangan orang adalah kejahatan serius yang sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Kasus perdagangan orang di Indonesia makin marak dan naik tiap tahunnya. Kemiskinan adalah faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan perdagangan orang. Modus perdagangan orang yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah melalui pengiriman pekerja migran Indonesia nonprosedural. Para korban diimingi-imingi akan bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar. Namun pada kenyataanya banyak dari korban mengalami eksploitasi baik jam kerja yang panjang, upah yang tidak sesuai bahkan kekerasan baik fisik bahkan seksual. Imigrasi sebagai penjaga pintu gerbang negara memiliki peran sangat vital dalam upaya pencegahan kejahatan perdagangan orang terutama dalam pengiriman pekerja migran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang melalui pengiriman tenaga kerja migran nonprocedural di Indonesia melalui pengawasan keimigrasian. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literature dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan melalui pengawasan keimigrasian kepada warga negara Indonesia yang akan bepergian ke luar negeri. Pengawasan Keimigrasian dilakukan kepada para WNI mulai saat melakukan permohonan Paspor hingga pemeriksaan Keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Dalam hal ditemukan indikasi terkait tindak pidana perdagangan orang melalui modus pengiriman pekerja migran nonprosedural, maka dapat dilakukan penundaan penerbitan Paspor dan penundaan keberangkatan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Upaya tersebut merupakan bentuk pencegahan terhadap perdagangan orang melalui pengiriman tenaga kerja migran Indonesia nonprosedural.

Kata kunci: perdagangan orang, Imigrasi, pengawasan keimigrasian, paspor. Tempat pemeriksaan imigrasi (TPI)

 

Abstract

Human trafficking is a serious crime that is in direct conflict with human rights. Cases of human trafficking in Indonesia are increasingly widespread and increase every year. Poverty is the main factor that causes human trafficking crimes. The most common mode of human trafficking is through the non-procedural sending of Indonesian migrant workers. The victims were lured into working abroad with large salaries. However, in reality, many victims experience exploitation, including long working hours, inappropriate wages and even physical and even sexual violence. Immigration as the gatekeeper to the country has a very vital role in efforts to prevent human trafficking crimes, especially in sending migrant workers. This research aims to find out how to prevent criminal acts of human trafficking through sending non-procedural migrant workers in Indonesia through immigration control. The research method used is a qualitative approach with data collection techniques in the form of literature studies and observations. The results of the research show that efforts to prevent criminal acts of human trafficking can be carried out through immigration control for Indonesian citizens who will travel abroad. Immigration control is carried out on Indonesian citizens from the time they apply for a passport to the immigration inspection at the Immigration Checkpoint. If indications are found related to criminal acts of human trafficking through non-procedural methods of sending migrant workers, then the issuance of passports and departure at the Immigration Checkpoint can be postponed. This effort is a form of preventing human trafficking through the non-procedural sending of Indonesian migrant workers.

Keywords: human trafficking, immigration, immigration control, immigration checkpoint

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negera kepulauan terbanyak dengan lebih dari 17. 000 pulau serta negera berpenduduk terbanyak keempat dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Indonesia adalah negera kepulauan yang berbatasan darat serta laut dengan beberapa negeri yang lain. Indonesia dengan Malaysia, Papua Nugini, serta Timor Leste berbatasan langsung di darat (Mariane, 2020). India, Singapore, Malaysia, Vietnam, Filipina, Thailand, Palau, Australia, Papua Nugini, serta Timor Leste seluruhnya berbagi perbatasan laut dengan Indonesia.

Jumlah penduduk dunia terus hadapi kenaikan tiap tahunnya serta didominasi oleh negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Indonesia adalah negera dengan jumlah penduduk yang besar serta menempati posisi keempat dengan jumlah penduduk terbanyak sehabis India, Cina, serta Amerika. Jumlah penduduk dari suatu Negara selalu berubah-ubah, dikarenakan beberapa faktor yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Negara dengan jumlah penduduk yang besar sebenarnya memiliki keunggulan yaitu banyak tersedia tenaga kerja usia produktif (Majid, 2021). Namun hal ini juga dapat berdampak buruk, apalagi jika kelebihan angkatan kerja pada usia produktif tidak dibarengi dengan peluang kerja yang luas, maka hal ini akan meningkatkan jumlah pengangguran.

Istilah "migrasi" mengacu pada perpindahan orang ke luar batas politik atau negara bagian atau batas administratif atau sebagian (Mawaddah et al., 2020). Yang dimaksud dengan “migrasi internal” adalah perpindahan penduduk dalam batas wilayah suatu negara, seperti antar wilayah atau provinsi. Di sisi lain, “migrasi internasional” mengacu pada migrasi yang terjadi di luar perbatasan negara. Beberapa studi migrasi menyimpulkan bahwa migrasi terjadi karena adanya alasan ekonomi. Alasan ekonomi adalah penyebab paling besar terjadinya migrasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Para migran mengevaluasi pasar tenaga kerja di daerah asal dan daerah tujuan mereka dan memilih pasar tenaga kerja yang memiliki antisipasi keuntungan tertinggi setelah melakukan hal tersebut.

Perkembangan globalisasi yang mendorong adanya arus besar migrasi tidak hanya memberikan manfaat positif, tapi juga memiliki dampak negatif baik dalam lingkup satu negara maupun lintas negara. Salah satu dampak negatif yang terjadi adalah terjadinya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional adalah bentuk kejahatan yang melibatkan dua negara atau lebih. Kejatanan transnasional merupakan bentuk kejahatan yang memiliki ancaman serius terhadap keamanan global. Beberapa bentuk kejahatan transnasional adalah perdagangan orang, pencucian uang, terorisme, perdagangan senjata, perdagangan, dan aktivitas kejahatan lainnya. Perdagangan orang adalah salah satu wujud dari kejahatan transnasional yang sangat menghantui banyak negara. Perdagangan manusia merupakan ancaman besar bagi setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Perdagangan orang merupakan kejahatan global dengan tingkat pertumbuhan tercepat. Saat ini perdagangan orang juga merupakan salah satu dari lima kejahatan terbesar di dunia yang harus ditangani karena tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, namun juga politik, sosial dan budaya (Novianti, 2014). Dari kasus-kasus yang terungkap, ada tiga hal yang dapat ditetapkan sebagai faktor utama penyebab meningkatnya perdagangan manusia: kemiskinan, jumlah penduduk yang besar, dan adanya budaya patriarki (Bagaskara, 2023). Meskipun demikian, kemiskinan merupakan sosok yang paling dominan dalam terjadinya kejahatan perdagangan orang. Perdagangan orang melalui modus pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar negeri adalah yang paling banyak terjadi. Korban kebanyakan diimingi akan mendapatkan pekerjaan dan gaji yang besar di luar negeri. Berdasarkan undang-undang, pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri tanpa memenuhi prosedur yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku baik di Indonesia maupun di negara tempat mereka bekerja didefinisikan sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural. Pekerja migran Indonesia nonprosedural sangat rentan menjadi korban perdagangan orang karena tidak memiliki ijin kerja yang sah, tanpa kontrak kerja yang jelas serta tidak adanya perlindungan dari negara. Pekerja migran Indonesia nonprosedural seringkali mengalami eksploitasi seperti jam kerja yang berlebihan, upah rendah, kondisi kerja yang tidak manusiawi bahkan kekerasan. Karena status yang tidak memiliki izin resmi, mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum di luar negeri.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO antara tahun 2020 hingga 2022. Laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika tentang perdagangan orang (human trafficking) menempatkan Indonesia pada level 2 dengan status buruk dalam menangani human trafficking (Heryadi et al., 2021). Indonesia adalah negara asal perdagangan orang dengan tujuan utamanya ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Hong Kong, dan Timur Tengah (Toule, 2020). Pada tahun 2015-2019, Bareskrim Polri menemukan adanya 10 (sepuluh) jalur perdagangan orang ke Timur Tengah dan melibatkan Malaysia dan Singapura sebagai negara transit.. Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kemenlu periode 2015-2019, terdapat kasus WNI korban TPPO di luar negeri yang ditangani sebesar 802 orang dari Asia, 858 orang dari Timur Tengah, 235 dari Afrika dan 33 orang dari Eropa.

Sebagai negara yang berlandaskan hukum, Indonesia memiliki intrumen administratif untuk mencegah dan menangani kejahatan perdagangan orang. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan pedoman hukum administratif yang sudah dimiliki Indonesia. Dalam upaya meningkatkan efektivitas setiap lembaga negara dalam pemberantasan perdagangan orang, Presiden juga telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Imigrasi memiliki peran sangat penting dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang. Imigrasi berperan layaknya sebagai penjaga pintu gerbang negara. Instrumen hukum Keimigrasian diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yaitu “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.” Direktorat Jenderal Imigrasi menyelenggarakan Fungsi Keimigrasian sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 (tiga) yang menyatakan bahwa “Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.”

Lalu lintas masuk dan keluar wilayah Indonesia menjadi titik rawan terjadinya kejahatan perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran Indonesia. Pengiriman pekerja migran tanpa dokumen resmi yang ditetapkan perundang-undangan berpotensi menjadi titik awal perdagangan orang (Siregar, 2021). Dalam upaya mencegah perdagangan orang melalui modus pengiriman tenaga migran Indonesia nonprosedural, Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai organ pemerintah yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan pengawasan Keimigrasian, terus melakukan pengawasan keimigrasian kepada WNI yang akan ke luar wilayah Indonesia. Pekerja migran nonprosedural tersebut biasanya akan menggunakan berbagai modus untuk mengelabui petugas Imigrasi seperti wisata, umroh, haji, kunjungan keluarga, dll. Hal ini mereka lakukan dikarenakan tidak memiliki izin secara resmi atau pun visa bekerja di luar negeri. Sebagai bentuk pencegahan, pengawasan keimigrasian dapat dilakukan mulai dari proses penerbitan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia (DPRI) atau Paspor di Kantor Imigrasi hingga pemeriksaan Keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Imigrasi dapat menunda penerbitan Paspor dan keberangkatan penumpang di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) sebagai bagian dari upaya untuk mencegah penduduk Indonesia menjadi korban perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran nonprosedural.  Penundaan penerbitan Paspor dan keberangkatan yang dilakukan tersebut bukan hanya untuk mencegah seseorang bepergian ke luar negeri, namun sebagai bentuk perlindungan negara kepada warga negaranya.  

Dilihat dari latar belakang di atas, permasalahan mendasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, apa saja unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang? Kedua, bagaimana upaya pencegahan perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran Indonesia nonprosedural dilakukan melalui pengawasan Keimigrasian?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang melalui pengiriman tenaga kerja migran nonprocedural di Indonesia melalui pengawasan keimigrasian.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah meode yang memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan secara deskriptif (Moleong, 2021). Data lapangan diperoleh dengan observasi, sedangkan data kepustakaan diperoleh melalui peraturan perundangan-perundangan, buku, jurnal dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan yang dibahas dalam tulisan ini. Kajian dalam permasalahan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang deskriptif, yaitu dengan membandingkan aturan hukum yang ada, dan pelaksanaan aturan tersebut di lapangan.

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, dilakukan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

a)   Penelitian Kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh teori, pendapat serta pokok pikiran. Studi kepustakaan diperoleh dari mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal ilmiah dan data media lainnya yang berhubungan dengan metode dalam penyusunan penelitian ini.

b)  Penelitian Lapangan (field research) adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu observasi. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang paling utama dalam penelitian kualitatif.

Data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dianalisis dengan analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah Analisa yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep.

 

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Dalam upaya pencegahan serta pemberantasan perdagangan orang atau trafficking, dikenal sebuah undang-undang internasional yang dikenal sebagai United Nations Trafficking Protocol atau Protokol Palermo. Protokol Palermo tahun 2020, perdagangan orang dapat diartikan sebagai:

The recruitment, transportation, transfer, harboring or receipt of persons, by means of the treath or use of force or other forms of coercion, of abduction, of deception, of the abuse of power or of apposition of vunerability of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or forms of sexual exslpotation, forced labor or sevices, slavery, servitude or the removeal of organs.

Yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia berarti “Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui perlakuan atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penetapan kerentanan pemberi atau penerima. pembayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.”

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 angka 1 menyebutkan: (2007)

“Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Dari pengertian perdagangan orang atau human trafficking di atas, ada tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian pedagangan orang di atas yaitu, pertama elemen perbuatan, yang meliputi merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima. Kedua, elemen sarana atau cara untuk mengendalikan korban, yang meliputi ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya, yang meliputi eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh (Santoso, 2012)

Seseorang yang merekrut, mengangkut, memperdagangkan, mengirim, menerima, atau menampung seseorang dari satu lokasi ke lokasi lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan disebut sebagai pelaku perdagangan manusia. Menurut definisi perdagangan orang, orang yang diperdagangkan (korban perdagangan orang) adalah seseorang yang diarahkan, diambil, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima, atau disembunyikan, sebagaimana disebutkan dalam definisi trafficking, terlepas dari apakah mereka menyetujuinya atau tidak.

Perdagangan orang tidak lantas terjadi begitu saja. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab dan mempengaruhi seseorang terlibat dalam perdagangan orang. Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang adalah faktor ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lingkungan (Zakiri & Mahfud, 2017).

a)    Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi adalah faktor yang paling dominan menjadi penyebab terjadinya perdagangan orang. Latar belakang kemiskinan dan susahnya lapangan kerja di daerah asal menjadi alasan beberapa orang memilih untuk mencari pekerjaan dengan iming-iming gaji dan kehidupan lebih layak. Dari sisi pelaku, motif mendapatkan banyak uang dengan cara mudah menjadi alasan para pelaku melakukan perdagangan orang

b)    Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan atau pengaruh dari orang lain dapat menjadi penyebab seseorang menjadi korban perdagangan orang lain. Faktor kedekatan korban dengan pelaku dapat membuat korban mudah percaya dengan bujuk rayu pelaku.

c)    Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan berhubungan erat dengan minimnya pengetahuan korban sehingga membuat ia mudah terjerumus dalam praktik perdagangan orang. Kebanyakan korban dari perdagangan orang adalah mereka yang berasal dari pedesaan dan minim pengetahuan dan tanpa skill khusu dalam dunia kerja.

d)    Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya seperti norma sosial, struktur budaya ataupun praktik tertentu dapat menjadi penyebab terjadinya perdagangan orang. Faktor diskriminasi gender dimana menempatkan perempuan lebih rendah dapat membuat perempuan rentan terhadap perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual.

Perdagangan orang dapat dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu berdasarkan tujuan pengiriman, berdasarkan korbannya dan berdasarkan bentuk eksploitasi (Syamsuddin, 2020).

1)    Berdasarkan tujuan pengiriman

Perdagangan orang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu perdagangan orang dalam negeri dan perdagangan orang antar negara atau lintas batas. Perdagangan orang dalam negeri biasanya terjadi dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar dalam satu negara, sedangkan perdagangan orang antar negara dilakukan dari satu negara ke negara lainnya. Model perdagangan orang antar negara atau lintas batas berhubungan dengan masalah migrasi. Problem yang dihadapi imigrasi dalam perdagangan orang antar negara adalah orang tidak semua menggunakan jalur resmi namun juga jalur tidak resmi pada saat masuk dan keluar dari satu negara ke negara lain.

2)    Berdasarkan korbannya

Korban perdagangan orang dapat dibedakan menjadi Wanita, anak-anak dan pria. Orang yang paling rentan menjadi korban perdagangan manusia adalah perempuan, terutama eksploitasi seksual, perbudakan domestik, dan perkawinan paksa (Kathryn, 2009). Pada awalnya, perempuan tersebut ditawarkan kesempatan untuk bekerja sebagai model, pekerja rumah tangga, pekerja restoran, dll. Banyak dari mereka terpikat oleh tawaran pekerjaan di luar negeri dengan gaji yang tinggi, menyebabkan mereka menjadi korban dari perdagangan orang. Trafficker merekrut korban dengan janji-janji palsu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang layak, tetapi kemudian mereka dipaksa masuk ke industri pelacuran atau kerja paksa (Abdullah, 2017).

Selain perempuan, anak juga adalah kelompok yang sangat rentan menjadi korban perdagangan orang. Adat istiadat yang berlaku di masyarakat di mana anak-anak diharuskan "berbakti" adalah salah satu alasan mengapa anak-anak dapat diperdagangkan. Untuk membantu perekonomian keluarga, tidak jarang anak-anak diperdagangkan sehingga menjadi korban perdagangan orang. Anak-anak banyak diperdagangkan dengan tujuan eksploitasi ekonomi maupun pornografi. Tidak hanya perempuan dan anak, laki-laki juga dapat menjadi korban dari perdagangan orang. Bentuk eksploitasinya biasanya masuk kedalam eksploitasi ekonomi dalam bentuk kerja paksa. Modus pengiriman pekerja migran adalah salah satu bentuk perdagangan orang yang paling banyak ditemukan. Mereka dipekerjakan sebagai buruh di berbagai sektor seperti pekerja konstruksi, perkebunan, restoran, pelaut, dan pekerjaan lain yang sangat memeras tenaga. Mereka seringkali dipaksa bekerja dalam kondisi yang eksploitatif, seperti bekerja dengan waktu yang panjang tanpa istirahat memadai, upah yang rendah atau bahkan tidak ada dan di bawah ancaman kekerasan.

3)    Berdasarkan bentuk eksploitasinya

Jika dilihat dari bentuk eksploitasinya, perdagangan orang dapat dibedakan menjadi eksploitasi seksual dan eksploitasi non-seksual. Eksploitasi seksual dibedakan atas pelacuran paksa, kawin paksa dan kawin lewat perantara. Sedangkan eksploitasi non-seksual dibedakan atas kerja paksa dan perdagangan organ tubuh (Syamsuddin, 2020). Banyak dari perempuan yang menjadi korban perdagangan orang dimaksudkan dengan tujuan pelacuran (sexual trafficking). Banyak dari mereka yang tertipu oleh bujuk rayu dari pelaku yang awalnya menjanjikan untuk bekerja di restoran, pembantu, penjaga toko, dan lainnya. Tidak hanya di dalam negeri, banyak dari korban juga dipekerjakan menjadi PSK di luar negeri. Metode perekrutan yang melibatkan membujuk remaja dengan uang dan kemewahan atau menawarkan pekerjaan di luar negeri dengan janji gaji yang besar.  Selain dieksploitasi menjadi PSK, beberapa perempuan juga menjadi korban dari kawin paksa (forced marriages). Dalam beberapa kasus, perempuan dipaksa untuk menikah untuk membayar hutang keluarganya. Hal ini seringkali dihadapkan pada anak perempuan yang masih sangat muda. Mereka tidak bisa menolak dikarenakan umurnya yang masih sangat muda dan tidak berdaya dalam melawan keputusan orang tuanya. Praktik kawin paksa seringkali memiliki efek negatif terhadap korban, termasuk masalah psikologis, kerusakan hubungan sosial, dan pelanggaran hak atas kebebasan dan keputusan pribadi.

Perdagangan orang biasanya melibatkan eksploitasi nonseksual selain eksploitasi seksual, yang mencakup berbagai jenis eksploitasi kerja paksa dan eksploitasi lainnya. Eksploitasi kerja paksa adalah salah satu jenis eksploitasi non seksual yang paling umum dalam perdagangan orang. Korban perdagangan sering terjebak dalam kontrak kerja yang tidak adil dan dipaksa bekerja di bidang seperti konstruksi, pertanian, pabrik, atau sektor servis. Mereka sering dipaksa bekerja dalam kondisi kerja yang tidak aman, tidak manusiawi, dan dengan upah yang sangat rendah atau bahkan sama sekali tanpa upah. Kerja paksa adalah jenis eksploitasi yang paling umum dialami oleh pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Eksploitasi nonseksual yang terjadi juga bisa berupa perdagangan organ tubuh manusia. Di mana organ tubuh manusia dibeli, dijual, atau diperdagangkan untuk keuntungan finansial dan komersial adalah tindakan yang melanggar hukum dan tidak etis. Praktik ini sering kali melibatkan korban yang hidup dalam kesulitan keuangan atau kemiskinan. Mereka mungkin dipaksa atau diberi imbalan yang menguntungkan untuk menjual organ tubuh mereka, seperti hati, ginjal, atau bahkan bagian lain dari tubuh mereka. Modus perdagangan organ tubuh yang lebih kejam adalah pembunuhan, di mana organ tubuh korban diambil terlebih dahulu untuk diperjual belikan sebelum mereka dibunuh (Syamsuddin, 2020).

 

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merupakan jenis kejahatan antar negara yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia serta bertentangan dengan harkat, dan martabat manusia. Perdagangan orang di Indonesia seringkali melibatkan praktik pengiriman pekerja migran secara ilegal atau non prosedural. Pekerja Migran Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, “pekerja migran Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk jangka waktu tertentu, baik secara individu maupun perantaraan, dengan tujuan mendapatkan penghasilan.” Setiap pekerja migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri harus dilengkapi dengan dokumen Paspor, Visa kerja, perjanjian kerja hingga kompetensi kerja.

Perdagangan orang seringkali melibatkan pengiriman pekerja migran nonprosedural. Selama periode 5 Juni-3 Juli 2023, Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berhasil menyelamatkan sebanyak 1.943 orang korban perdagangan orang. Mayoritas dari korban perdagangan orang tersebut adalah pekerja migran yaitu sebanyak 65,5%. Mereka seringkali diiming-imingi pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun tanpa skill dan pengalaman. Angka kasus perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Menurut catatan Kementerian Luar Negeri RI, hingga tahun 2022 tercatat 1.261 PMI Nonprosedural yang ditangani oleh Perwakilan RI di Asia Tenggara, peningkatan sebesar 700% dibandingkan tahun sebelumnya. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), selama periode 2020 hingga 2023 terdapat hingga 94 ribu warga negara Indonesia yang mengalami deportasi dari Timur Tengah dan Asia. Dari jumlah yang dideportai tersebut sebanyak 90% merupakan pekerja migran yang berangkat secara tidak resmi atau nonprosedural.

Selama ini, tren kasus TPPO sering dikaitkan dengan korban, yang sebagian besar perempuan, yang berasal dari desa dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan pekerja yang dipekerjakan secara tidak prosedural. Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah adalah negara-negara yang menjadi tujuan. Para pelaku TPPO kerap melakukan aksinya tersebut melalui banyak jalur-jalur tikus di perbatasan dengan Malaysia. Selain menggunakan jalur tikus, pelaku juga menggunakan jalur resmi, yaitu membeli tiket dan berangkat bersama korban ke Malaysia. Dalam banyak praktik, Batam dan sekitarnya menjadi pintu masuk utama pekerja migran Indonesia nonprosedural ke Malaysia. Korban menggunakan Paspor dengan berpura-pura wisata namun sebenarnya untuk bekerja secara ilegal.

Pada Juni 2023, penyelamatan ratusan calon pekerja migran calon korban perdagangan orang dengan tujuan ke Malaysia dilakukan oleh Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dari upaya penyelamatan ini terdapat 123 korban dimana 74 pria, 29 wanita dan sisanya 20 anak-anak berhasil diselamatkan. Sebagaimana amanat UU Perlindungan Migran Indonesia, menyatakan bahwa setiap orang yang akan bekerja di luar negeri harus memiliki dokumen bekerja. Namun, faktanya dilapangan ditemukan sebagian besar korban meskipun memiliki Paspor namun tidak disertai dokumen terkait pekerjaan. Korban ditipu dengan iming-iming pekerjaan dengan pendapatan yang besar. Sebaliknya, mereka dipekerjakan secara ilegal sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), pekerja seks, ABK, dan bahkan eksploitasi terhadap anak-anak. Selain ke Malaysia, modus pengiriman PMI Nonprosedural juga marak dengan tujuan Arab Saudi, Singapura, Hongkong, dll.

Pelaku perdagangan orang biasanya merekrut korban mereka melalui agen perekrutan yang tidak resmi atau ilegal. Mereka menjanjikan pekerjaan yang menguntungkan bagi calon korban di Timur Tengah, tetapi informasi yang diberikan seringkali salah. Pelaku perdagangan orang sering mengeksploitasi pekerja migran Indonesia secara ekonomi, fisik, dan psikologis. Mereka mungkin dipaksa untuk bekerja dalam jam kerja yang panjang, tanpa istirahat yang layak, dan dengan upah yang sangat rendah bahkan tidak dibayar. Orang yang menjadi korban perdagangan juga rentan terhadap kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dari pelaku perdagangan. Majikan atau pelaku perdagangan yang bertanggung jawab atas mereka mungkin melakukan penyiksaan, pemerkosaan, atau perlakuan kasar lainnya. Ketika mereka menjadi korban perdagangan orang, pekerja migran Indonesia seringkali dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak aman dan tidak sehat. Mereka mungkin tidak memiliki perlindungan yang cukup untuk keselamatan kerja dan perlindungan yang cukup. Akibat eksploitasi dan penyalahgunaan yang mereka alami, korban perdagangan orang sering mengalami kerusakan psikologis dan emosional yang signifikan. Karena pengalaman tersebut, mereka mungkin mengalami depresi, kecemasan, trauma, atau gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Modus perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran Indonesia keluar negeri terus berkembang dan korbanya makin beragam. Jika selama ini perdagangan orang melibatkan perempuan dengan latar belakang pendidikan yang minim, korban perdagangan orang saat ini adalah laki-laki, berpendidikan relatif tinggi, berusia muda, dan memahami teknologi informasi. Di awal 2021, terdapat tren perdagangan orang melalui praktik pengiriman pekerja migran untuk dipekerjakan sebagai penipu online. Modus perekrutan online scam ini dilakukan melalui media sosial dengan menawarkan gaji cukup besar dan tanpa kualifikasi khusus. Saat ini, Kamboja adalah negara dengan tingkat kasus penipuan online tertinggi. Ada banyak WNI yang menjadi korban perdagangan manusia di Kamboja. Mereka dikirim untuk dieksploitasi bekerja dengan iming-iming bekerja sebagai call center namun kenyataannya menjadi online scammers dengan target menipu orang Indonesia. Pada Oktober 2023, Kementerian Luar Negeri membantu pemulangan 28 WNI yang diduga menjadi korban TPPO dari Kamboja ke Indonesia. Mereka diduga dieksploitasi oleh perusahaan penipuan online di Poipet, Provinsi Banteay Meanchey, Kamboja. Para pelaku menawarkan pekerjaan sebagai admin judi dan lainnya di Facebook dan Instagram untuk mencari korban. Nanti para korban akan dikirim dari Jakarta ke Thailand atau Singapura dengan pesawat, kemudian menuju Myanmar atau Kamboja baik lewat jalur udara atau darat. Para korban kebanyakan diiming-imingi dengan gaji yang cukup tinggi, namun ternyata tidak sesuai kenyataan karena akan dipotong disana, disekap dan tak jarang disiksa.

 

Upaya pencegahan TPPO melalui pengawasan keimigrasian

Pencegahan secara umum dapat didefinisikan sebagai proses, cara, tindakan untuk menahan agar sesuatu tidak terjadi. Pencegahan dalam hal ini dapat diartikan sebagai sebuah tindakan, Pencegahan berasal dari kata cegah yang mempunyai arti mengusahakan agar tidak terjadi dan kata pencegahan merupakan kata benda dari kata cegah yang berarti tindakan penolakan. Pencegahan adalah upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan kerusakan bagi seseorang. Dalam pengertian lain, prevensi diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat (Notosoedirdjo, 2005). Berdasarkan definisi diatas dapat diartikan pencegahan sebagai upaya secara sengaja yang dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan atau kerugian bagi seseorang.

Pencegahan adalah sebuah upaya yang dilakukan sebelum sesuatu hal yang dapat merusak atau merugikan terjadi. Pencegahan adalah suatu proses, cara, tindakan mencegah atau menahan agar sesuatu hal tidak terjadi. Dalam hal pelanggaran, upaya yang dilakukan sebagai pencegahan kejahatan merupakan awal dalam penanggulangan kejahatan. Pada dasarnya terdapat dua bentuk penanggulangan kejahatan yaitu melalui tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif dimaknai sebagai tindakan yang diambil untuk mencegah sesuatu kejahatan agar tidak terjadi. Pencegahan merupakan komponen paling penting dari berbagai aspek kebijakan publik seperti pencegahan kejahatan, pencegahan penyalahgunaan anak, pencegahan penyakit, dll.

Imigrasi sebagai penjaga pintu gerbang negara memiliki tugas dan peranan sangat penting dalam upaya pencegahan praktik perdagangan orang. Imigrasi adalah institusi pertama dan terakhir yang berfungsi sebagai filter baik kedatangan maupun keberangkatan orang di wilayah Indonesia. Sebagaimana Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimingrasian, “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.” Dalam menjalankan fungsi ke

Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan definisi diatas, objek keimigrasian adalah lalu lintas orang dan pengawasan keimigrasian. Secara umum, setiap orang yang keluar atau masuk wilayah Indonesia, baik warga negara Indonesia maupun orang asing, harus memiliki dokumen perjalanan yang sah dan melalui pemeriksaan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) oleh petugas imigrasi. Pengawasan Keimigrasian berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Pengawasan Keimigrasian, adalah “serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan, mengolah, serta menyajikan data dan informasi keimigrasian warga negara Indonesia dan orang asing dalam rangka memastikan dipatuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Keimigrasian”.

Pengawasan Keimigrasian dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu pengawasan kepada WNA dan WNI (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, 2011). Pengawasan kepada WNI meliputi dari permohonan dokumen perjalanan, lalu lintasnya, hingga keberadaannya di luar Wilayah Indonesia. Dalam perkembangan saat ini pengawasan tersebut dilakukan terutama dalam pemalsuan dan penyalahgunaan Paspor. Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, “Pengawasan Keimigrasian terhadap warga negara Indonesia dilaksanakan pada saat permohonan Dokumen Perjalanan, keluar atau masuk, atau berada di luar Wilayah Indonesia dilakukan dengan:

a)    pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi;

b)    penyusunan daftar nama warga negara Indonesia yang dikenai Pencegahan keluar Wilayah Indonesia;

c)    pemantauan terhadap setiap warga negara Indonesia yang memohon Dokumen Perjalanan, keluar atau masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di luar Wilayah Indonesia; dan

d)    pengambilan foto dan sidik jari.”

Berdasarkan definisi diatas, pengawasan Keimigrasian kepada WNI dilakukan pada saat melakukan permohonan Paspor dan keluar masuk wilayah Indonesia. Pengawasan keimigrasian terhadap permohonan Paspor dilakukan saat WNI melakukan permohonan pembuatan Paspor di Kantor Imigrasi, sedangkan dalam hal masuk dan keluar wilayah Indonesia dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).

Sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, “Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk Wilayah Indonesia”. Dalam hal tersebut. Setiap warga negara yang akan melakukan perjalanan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Paspor. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 UU Nomor 6 Tahun 2011, “Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku”. Paspor adalah dokumen yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada penduduk untuk melakukan perjalanan antar negara yang bersifat penting dalam jangka waktu tertentu. Secara sederhana, setiap WNI yang akan bepergian ke luar negeri wajib memiliki Paspor yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Paspor adalah identitas diri saat berada di luar negeri, baik itu untuk urusan pekerjaan maupun wisata. Tujuan seseorang melakukan permohonan Paspor pada umunya adalah untuk tujuan perjalanan wisata, bekerja, studi, kunjungan bisnis, kunjungan keluarga, berobat, ibadah, dan kegiatan lainnya. Pengawasan terhadap penerbitan Paspor merupakan bentuk upaya pencegahan yang dilakukan Imigrasi terhadap kejahatan perdagangan orang melalui pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI). Hal tersebut merupakan bentuk pencegahan lebih awal dengan melakukan seleksi secara transparan terhadap para PMI Nonprosedural. Pengawasan Keimigrasian secara administratif dilakukan kepada WNI pada saat permohonan penerbitan Paspor dan bertujuan untuk menjamin bahwa Paspor tidak akan disalahgunakan oleh pemiliknya.

Penyalahgunaan Paspor seringkali menjadi pintu masuk terjadinya perdagangan orang. Pengiriman pekerja migran secara nonprosedural atau ilegal  merupakan bentuk perdagangan orang yang paling banyak terjadi di Indonesia. Pekerja migran tersebut diiming-imingi pekerjaan di luar negeri dengan gaji yang besar oleh para pelaku. Para korban nantinya akan dikirim ke luar negeri secara nonprosedural atau tanpa dokumen resmi. Berbeda dengan PMI Prosedural yang mengikuti prosedur dan memiliki izin resmi bekerja di luar negeri, PMI Nonprosedural tidak memiliki izin resmi untuk bekerja di luar negeri. Ada empat jenis pekerja asing yang dianggap melanggar hukum: (1) Mereka yang bekerja di luar masa resmi tinggal mereka, (2) Mereka yang bekerja di luar ruang lingkup aktivitas yang diizinkan oleh status mereka, (3) Mereka yang bekerja tanpa status kependudukan atau tanpa izin kerja, dan (4) Mereka yang memasuki negara itu secara tidak sah untuk terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pendapatan atau bisnis (Paskawati et al., 2018). Dikarenakan tidak memiliki dokumen dan izin resmi bekerja, para pekerja migran melakukan berbagai modus untuk dapat memiliki Paspor. Beberapa modus yang dilakukan adalah dengan berpura-pura akan wisata, umroh, magang, kunjungan keluarga, dll. Setelah mendapatkan Paspor, nantinya mereka akan menggunakan Paspor untuk bekerja secara nonprosedural ke luar negeri.

Dalam rangka mencegah terus meningkatnya kasus perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran ke luar negeri, Imigrasi terus memperketat proses penerbitan Paspor. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan dini kemungkinan penyalahgunaan Paspor oleh para calon pekerja migran nonprosedural. Direktorat Jenderal Imigrasi melalui 126 Kantor Imigrasi di seluruh Indonesia telah menunda pemberian Paspor kepada 2.846 pemohon sejak Januari hingga Agustus 2023. Penundaan ini dilakukan karena diduga kuat Paspor akan digunakan ke luar negeri untuk menjadi pekerja migran Indonesia nonprosedural. Penundaan pemberian Paspor dilakukan bukan untuk mempersulit pekerja migran untuk bekerja di luar negeri, namun untuk melindungi WNI agar tidak menjadi korban perdagangan orang. Silmy Karim, Direktur Jenderal Imigrasi, menghimbau calon pekerja migran untuk memproses dokumen sesuai prosedur agar tidak terjerumus dan menjadi korban perdagangan orang. Imigrasi tetap mendukung pekerja migran Indonesia untuk bekerja di luar negeri namun secara prosedural. Untuk mendukung para calon pekerja migran tersebut, Imigrasi bahkan mengeluarkan kebijakan tarif nol rupiah bagi para calon pekerja migran Indonesia (PMI). Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengenaan Tarif Nol Rupiah dan Nol Dolar Amerika pada Pelayanan Keimigrasian mengatur tentang pengenaan tarif nol Rupiah untuk pembuatan paspor. Bagi WNI yang baru pertama kali bekerja di luar negeri dan WNI yang tidak mampu serta tinggal di luar wilayah Indonesia, mendapat tarif nol rupiah. Untuk mendapatkan Paspor nol rupiah tersebut, para pekerja migran Indonesia harus melampirkan rekomendasi dari pimpinan instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang ketenagakerjaan di provinsi atau kabupaten/kota dan perjanjian kerja yang telah ditandatangani oleh calon TKI dan pemberi kerja yang disahkan oleh instansi berwenang. Kebijakan ini dilakukan sebagai dukungan Imigrasi kepada para calon pekerja migran Indonesia untuk bekerja di luar negeri secara prosedural. Kontribusi pekerja migran bagi devisa negara sangatlah besar. Berdasarkan Laporan Kinerja BP2MI tahun 2022, terdapat 386.605 pekerja migran Indonesia yang dikirim ke luar negeri pada tahun 2020 hingga 2022. Kepala BP2MI, Benny Rhamdani, bahkan mengatakan devisa yang dihasilkan oleh para pekerja migran Indonesia sebesar Rp. 159,6 triliun per tahun. Sumbangan devisa dari PMI merupakan sumbangan terbesar kedua setelah sektor migas. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan perlindungan sebelum, selama, dan setelah bekerja..

Kebijakan pencegahan dalam rangka perlindungan kepada warga negara Indonesia sudah sejak lama dilakukan oleh Imigrasi. Direktorat Jenderal Imigrasi telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor IMI-0277.GR.02.06 Tahun 2017 Tentang Pencegahan Tenaga Kerja Indonesia Nonprosedural. Seluruh Unit Pelaksana Teknis berupaya aktif mencegah pengiriman TKI nonprosedural dengan cara mengintensifkan pengawasan terhadap WNI yang meminta dokumen perjalanan dan keluar wilayah Indonesia. Dalam hal penerbitan paspor, pemeriksaan dilakukan secara cermat dan selektif terhadap syarat formil dan kebenaran materiil yang dilampirkan pemohon. Peningkatan kehati-hatian juga dilakukan bagi setiap WNI yang di duga akan bekerja di luar negeri dengan alasan haji, umrah, beasiswa, magang dan duta budaya. Surat Direktur Lalu Lintas Keimigrasian Nomor IMI.2-GR.01.01-0331 tanggal 24 Februari 2017, dalam hal proses penerbitan Paspor memerintahkan:”

1)    bagi pemohon yang akan melaksanakan perjalanan ke luar negeri dalam rangka menunaikan perjalanan ke luar negeri dalam rangka menunaikan ibadah haji khusus/umrah, meminta surat rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota dan surat keterangan dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji Khusus/Umrah (PPIH/PPIU);

2)    bagi pemohon yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka magang dan program bursa kerja khusus, meminta surat rekomendasi dari Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja;

3)    apabila ditemukan kecurigaan pemohon akan bekerja di luar negeri tidak sesuai ketentuan (TKI Nonprosedural) dengan alasan:

a)     kunjungan keluarga, meminta surat jaminan dan fotokopi paspor dari keluarga yang akan dikunjungi;

b)    wisata, melampirkan buku tabungan atas nama pemohon dengan nominal sekurang-kurangnya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah);

c)     selain persyaratan sebagaimana tersebut pada huruf a dan b, petugas dapat meminta dokumen pendukung lainnnya yang dapat meyakinkan kebenaran maksud dan tujuan ke luar negeri.

4)  melakukan penolakan jika yang bersangkutan tidak dapat melampirkan persyaratan sebagaimana tersebut pada angka 1 sampai dengan 3.”

Petugas Imigrasi pada Kantor Imigrasi yang membidangi pelayanan penerbitan paspor mempunyai tanggung jawab untuk memeriksa secara teliti keaslian dan kelengkapan dokumen yang diperlukan untuk permohonan paspor. Dalam hal permohonan pembuatan Paspor, pemohon Paspor diwajibkan membawa berkas asli persyaratan dan ditunjukkan kepada petugas. Sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 8 Tahun 2014 Tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, “Bagi warga negara Indonesia yang berdomisili atau berada di wilayah Indonesia, permohonan Paspor biasa diajukan kepada Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kantor imigrasi dengan mengisi aplikasi data dan melampirkan dokumen kelengkapan persyaratan yang terdiri atas:

a)    kartu tanda penduduk yang masih berlaku;

b)    kartu keluarga;

c)    akte kelahiran, akte perkawinan atau buku nikah, ijazah, atau surat baptis;

d)    surat pewarganegaraan Indonesia bagi Orang Asing yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan atau penyampaian pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e)    surat penetapan ganti nama dari pejabat yang berwenang bagi yang telah mengganti nama; dan

f)     Paspor biasa lama bagi yang telah memiliki Paspor biasa.”

 

Pengawasan penerbitan Paspor dilakukan melalui pemeriksaan keaslian dan kelengkapan dokumen. Pengawasan saat proses penerbitan Paspor dilakukan dengan meneliti mengenai kelengkapan, keaslian dan kebenaran dari dokumen yang dilampirkan pemohon Paspor. Pengamatan harus dilakukan dengan sangat teliti terhadap keaslian dokumen dan kesesuaiannya dengan profil pemohon Paspor. Dokumen asli harus dibawa untuk membantu verifikasi identitas, mengurangi resiko pemalsuan dokumen dan memastikan kewarganegaraan terkait penerbitan Paspor. Permohonan Paspor dapat ditolak jika ditemukan kejanggalan dalam proses pemeriksaan berkas permohonan. Pengamatan secara seksama terhadap berkas permohonan sangatlah penting mengingat pemalsuan dokumen seringkali dilakukan oleh calon pekerja migran untuk mendapat Paspor. Pemalsuan dokumen seringkali dilakukan dengan mengubah data identitas dari pemohon Paspor. Modus pemalsuan dokumen ini jamak terjadi pada WNI yang akan bekerja ke luar negeri dengan merubah data tahun lahir. Data calon pekerja migran dirubah menjadi lebih tua jika belum cukup umur dan sebaliknya. Memberikan identitas atau keterangan palsu untuk pembuatan Paspor dapat dijerat dengan Pasal 126 huruf c UU Keimigrasian yang menyatakan “setiap orang yang dengan sengaja memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk pembuatan paspor dipidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).” Permohonan Paspor dapat ditolak jika dalam penelitian dokumen ditemukan adanya indikasi pemohon memberikan data yang tidak sah atau palsu.

Setiap pemohon Paspor akan melewati tahap pengambilan foto dan sidik jari yang bertujuan mengetahui apakah seseorang sudah memiliki Paspor atau tidak. Hal ini dapat menghindari seseorang memiliki paspor ganda, karena akan terdeteksi pada sistem. Pengambilan biometrik (foto wajah dan sidik jari) wajib dilakukan, oleh karenanya dalam permohonan Paspor pemohon diwajibkan untuk datang secara langsung. Petugas dapat memastikan bahwa pemohon yang datang sesuai dengan identitas dan dokumen yang dilampirkan. Pada saat pengambilan foto dan sidik jari dapat ditemukan bahwa seseorang pernah memiliki Paspor sebelumnya. Jika pada sistem terbaca yang bersangkutan pernah memiliki Paspor dengan data berbeda dengan data yang dilampikan, maka dapat dilakukan penelitian lebih lanjut oleh petugas. Dalam beberapa kasus ditemukan pemohon sudah pernah memiliki Paspor namun berbeda dengan identitas yang diberikan pada saat permohonan Paspor baru. Dapat dilakukan pendalaman terkait perbedaan identitas yang diberikan oleh pemohon Paspor.

Wawancara memiliki peran yang sangat penting dalam proses meninjau kelayakan seseorang memperoleh Paspor. Wawancara dilakukan oleh pejabat Imigrasi kepada pemohon Paspor bertujuan sebagai validasi kebenaran dokumen yang dilampirkan dengan pernyataan pemohon. Sesi wawancara dilakukan untuk mendalami hal terkait tujuan penggunaan Paspor dan memastikan kesesuaian dengan keterangan yang diberikan. Pendalaman pada saat wawancara harus dilakukan dengan memperhatikan profiling, gesture, body language untuk memperoleh keyakinan terkait maksud dan tujuan penggunaan Paspor. Pada sesi wawancara, petugas wawancara akan menggali lebih dalam terkait kebenaran tujuan penggunaan Paspor. Biasanya para calon pekerja migran nonprosedural tersebut akan menggunakan modus wisata, umroh, haji, magang maupun kunjungan keluarga. Petugas dapat meminta dokumen tambahan sebagai bukti pendukung bergantung pada hasil wawancara serta tujuan penggunaan Paspor. Petugas wawancara dapat meminta data tambahan sebagai dokumen pendukung sesuai dengan tujuan penggunaan Paspor oleh pemohon, seperti:

a)    Bagi pemohon yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka ibadah umroh, yaitu surat keterangan atau rekomendasi dari penyelenggara perjalanan ibadah atau travel umroh. Jika akan melaksanakan ibadah haji, dapat dilengkapi dengan bukti Surat Pendaftaran Pergi Haji (SPPH)

b)    Bagi pemohon yang akan bekerja di luar negeri (CTKI) dapat melampirkan surat rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja di wilayah masing-masing.

c)    Bagi pemohon yang akan bekerja sebagai pelaut, dapat melampirkan dokumen pendukung lainnya seperti buku pelaut dan Basic Safety Training

d)    Bagi pemohon yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka magang, dapat melengkapi surat rekomendasi dari Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja

Tidak semua permohonan Paspor yang diajukan pemohon akan diterbitkan. Dalam beberapa hal, permohonan Paspor dapat ditolak seperti:

a)    Termasuk dalam daftar pencegahan dan penangkalan

b)    Terindikasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) Nonprosedural

c)    Memberikan data tidak sah dan/atau keterangan tidak benar

d)    Hal lain yang dianggap oleh petugas akan dipergunakan untuk tujuan melawan hukum.

Pengawasan keimigrasian kepada warga negara Indonesia juga dilakukan pada saat keluar atau masuk wilayah Indonesia. Pengawasan terhadap WNI yang akan keluar wilayah Indonesia dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) adalah tempat pemeriksaan di Pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah Indonesia. Setiap orang yang akan keluar atau masuk Wilayah Indonesia harus melalui pemeriksaan yang dilakukan di TPI. Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-04.GR.01.01 Tahun 2023 Tentang Tempat Pemeriksaan Imigrasi, terdapat 95 TPI Pelabuhan Laut, 37 TPI Bandar Udara, 15 TPI Pos Lintas Batas Internasional dan 42 TPI Pos Lintas Batas Tradisional. Sehingga saat ini terdapat 189 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) diseluruh Indonesia.

Prinsip dasar pemeriksaan keimigrasian adalah setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Pemeriksaan Keimigrasian dilakukan kepada setiap orang untuk memeriksa dan mendapatkan keterangan mengenai tujuan dan maksud melintas. Pemeriksaan di TPI meliputi pemeriksaan paspor, visa, keabsahan, mencocok data, wawancara terkait tujuan dan maksud, memindai dan memeriksa cekal dan akhirnya pemberian tanda masuk atau keluar. Setiap warga negara Indonesia yang keluar Wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan: Memiliki DPRI yang sah dan masih berlaku paling singkat 6 (enam) bulan, tidak termasuk dalam daftar Pencegahan dan tercantum dalam daftar awak alat angkut atau daftar penumpang, kecuali bagi kendaraan pribadi dan kendaraan muatan barang. Sebagaimana Pasal 45 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 9 Tahun 2024 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Keimigrasian Terhadap Orang Yang Masuk Atau Keluar Wilayah Indonesia, “pemeriksaan keimigrasian terdiri atas pemeriksaan:

a)    keabsahan dan masa berlaku DPRI;

b)    kesesuaian foto dan identitas yang tertera pada DPRI dengan pemegangnya;

c)    keterangan yang disampaikan pada saat wawancara singkat;

d)    pemindaian DPRI pada aplikasi perlintasan Keimigrasian;

e)    kesesuaian data hasil pemindaian DPRI dan Data Biometrik pada basis data Keimigrasian;

f)     kesesuaian data dalam daftar penumpang atau awak Alat Angkut kecuali bagi kendaraan pribadi atau kendaraan muatan barang pada pemeriksaan di Pos lintas batas; dan

g)    verifikasi data dalam daftar Pencegahan.”

Imigrasi sebagai penjaga pintu gerbang negara memainkan peran penting dalam mencegah terjadinya perdagangan orang. Pemeriksaan Keimigrasian di TPI memiliki peran sangat vital karena merupakan filter terakhir kepada para WNI yang akan keluar wilayah Indonesia. Pejabat Imigrasi dapat menolak keluar wilayah Indonesia jika didapati keraguan terhadap status kewarganegaraan; Paspor diduga palsu atau dipalsukan atau tidak sesuai dengan pemegangnya dan terindikasi akan menggunakan Paspor untuk perjalanan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bekerja di luar negeri tanpa mengikuti proses resmi dan izin bekerja resmi merupakan bentuk perjalanan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia. Modus yang dilakukan para pekerja migran nonprosedural untuk bekerja di luar negeri sangatlah beragam. Salah satu modus yang seringkali ditemukan adalah para pekerja migran nonprosedural akan berbohong kepada petugas mengenai tujuan atau maksud ke luar negeri. Beberapa alasan yang sering digunakan adalah bepergian dengan tujuan wisata, umroh, haji atau kunjungan keluarga. Modus yang paling banyak ditemui adalah pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) secara ilegal dengan modus perjalanan wisata. Modus yang lain adalah dengan berpura-pura akan melakukan kunjungan keluarga. Karena para pekerja migran tersebut berpakaian seperti penumpang pada umumnya, petugas imigrasi terkadang mengalami kesulitan mengidentifikasi. Untuk memastikan bahwa mereka tidak akan melakukan pekerjaan ilegal di negara yang mereka kunjungi, pemeriksaan keimigrasian terhadap calon pekerja migran yang menggunakan modus wisata biasanya berfokus pada upaya untuk memastikan bahwa mereka tidak akan melakukan pekerjaan ilegal. Beberapa aspek pemeriksaan biasanya akan dilakukan petugas imigrasi terhadap calon pekerja migran yang menggunakan modus wisata yang meliputi tujuan perjalanan, rencana perjalanan, sumber dana, serta pemeriksaan tambahan lainnya pada saat wawancara. Jika pada saat pemeriksaan didapat dugaan sebagai calon pekerja migran Indonesia nonprosedural, maka Imigrasi dapat melakukan penundaan keberangkatannya.

Sepanjang tahun 2023, Imigrasi telah menunda keberangkatan 10.138 warga negara Indonesia (WNI) yang diduga kuat akan bekerja di luar negeri secara nonprosedural. Penundaan tersebut dilakukan oleh seluruh TPI baik melalui TPI Pelabuhan, TPI bandara dan Pos Lintas Batas. Kantor Imigrasi Soekarno Hatta mencatat melakukan penundaan keberangkatan 6.342 orang yang diduga akan bekerja keluar negeri selama tahun 2023. Para calon pekerja migran tersebut mencoba melintas melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta. Tidak hanya melalui Bandar Udara, para calon pekerja migran juga mencoba untuk melintas melalui Pelabuhan laut. Antara Januari hingga Juli 2023, Kantor Imigrasi Kelas I TPI Batam menunda pemberangkatan 6.211 orang yang diduga calon pekerja migran. Penundaan pemberangkatan dilakukan kepada calon penumpang yang melewati Pelabuhan Internasional Batam Centre, Pelabuhan Citra Tritunas, Pelabuhan Sekupang dan Pelabuhan Nongsa Pura. Diperkirakan para calon penumpang akan bekerja di luar negeri namun tidak memiliki dokumen yang sah.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perdagangan orang adalah kejahatan serius yang masih terjadi di dunia termasuk Indonesia. Pengiriman pekerja migran Indonesia nonprosedural merupakan modus perdagangan orang yang paling banyak terjadi di Indonesia. Korban perdagangan orang adalah para pencari kerja yang dijanjikan akan bekerja di luar negeri dengan gaji yang tinggi. Pekeja migran Indonesia (PMI) nonprosedural tidak memiliki izin resmi dan visa bekerja oleh pemerintah negara tujuan mereka. Karena tidak memiliki izin resmi tersebut mereka masuk atau tinggal di negara tujuan secara ilegal atau tanpa izin kerja yang sah. Pekerja migran nonprosedural sangat rentan menjadi korban perdagangan orang dikarenakan tidak memiliki dokumen resmi serta izin untuk bekerja. Dikarenakan tidak memiliki dokumen tersebut mereka tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai dan sangat rentan terhadap berbagai eksploitasi. Banyak dari pekerja migran yang menjadi korban eksploitasi berupa jam kerja yang panjang, upah tidak sesuai yang dijanjikan, kondisi kerja yang tidak aman bahkan kekerasan fisik. Kekerasan fisik dan seksual juga dialami pekerja migran terutama perempuan.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdullah, D. (2017). Perlindungan hukum terhadap korban trafficking anak dan perempuan. Al-Adl: Jurnal Hukum, 9(2), 231–244.

Bagaskara, W. A. (2023). Politik Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Heryadi, R. D., Sari, D. S., Pratisti, S. A., & Rifawan, A. (2021). Mengikis Human Trafficking: Upaya Kerja Sama Indonesia ASEAN dalam Penanganan Human Trafficking. Niaga Muda.

Kathryn, C. D. (2009). Global issues: Human trafficking. In New York: Facts On File.

Majid, R. (2021). Dasar Kependudukan. Penerbit Nem.

Mariane, I. (2020). Illegal Fishing di Kawasan Perbatasan Laut Teritorial Indonesia. Supremasi Hukum, 16(01), 7–15.

Mawaddah, M., Sutrisno, I. H., & Hartutik, H. (2020). Identifikasi Penamaan Kampung-Kampung Etnis Jawa Di Kecamatan Langsa Lama Kota Langsa. Seuneubok Lada: Jurnal Ilmu-Ilmu Sejarah, Sosial, Budaya Dan Kependidikan, 7(2), 128–139.

Moleong, L. J. (2021). Metodologi penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.

Notosoedirdjo, M. (2005). Latipun Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan Edisi keempat, Malang: UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. UMM Press) Tahun.

Novianti, N. (2014). Tinjauan Yuridis Kejahatan Perdagangan Manusia (Human Traffikking) Sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 5(2), 43296.

Santoso, H. (2012). Penegakan Hukum & Pencegahan Trafficking di Indonesia. Media Perkasa, Yogyakarta.

Siregar, I. H. (2021). Analisis Hukum Pidana Atas Perbuatan Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Perseorangan (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 17/Pid. Sus/2019/Pt. Ptk). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum [JIMHUM], 1(3).

Syamsuddin, S. (2020). Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia dan Masalah Psikososial Korban. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 6(1).

Toule, E. R. M. (2020). Kebijakan Kriminal Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, 9(1), 7–19.

Zakiri, Z., & Mahfud, M. (2017). Tindak Pidana Perdagangan Orang (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jantho Aceh Besar). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana, 1(1), 190–198.

 

Copyright holder:

Yosia Martin, Arthur Josias Simon Runturambi (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: