Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 4, April 2024

 

PEMIKIRAN TOKOH ISLAM TENTANG PENDIRIAN NEGARA BANGSA

 

Abdul Aziz Faradhi

Universitas Islam Negeri Mataram, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pandangan beragam ulama Islam tentang pendirian negara bangsa serta konsep yang mereka tawarkan, dengan fokus pada faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan pendapat di antara mereka, seperti hubungan antara Islam dan politik, pengaruh pemikiran Barat, dan faktor internal ulama. Pendekatan deskriptif dengan analisis kualitatif digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber literatur politik dan konsep negara, yang kemudian dianalisis dengan pendekatan analitis, konseptual, dan historis untuk memahami keragaman pandangan ulama Islam tentang topik ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulama Islam memiliki pandangan yang beragam tentang pendirian negara bangsa, tercermin dalam konsep-konsep yang mereka tawarkan seperti khilafah, sekularisme, dan pemikiran tradisionalis. Perbedaan pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap hubungan antara Islam dan politik, serta pengaruh pemikiran Barat. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa agama Islam mendorong terbentuknya suatu lembaga pemerintahan atau negara yang memperhatikan kepentingan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Kata kunci: ulama Islam, pendirian negara bangsa, konsep negara, perbedaan pendapat, hubungan Islam dan politik

 

Abstract

This study aims to investigate the diverse views of Islamic scholars on the establishment of nation-states and the concepts they offer, focusing on factors influencing differences among them, such as the relationship between Islam and politics, the influence of Western thought, and internal factors among scholars. A descriptive approach with qualitative analysis is used to gather and analyze data from various sources of political literature and state concepts, which are then analyzed using analytical, conceptual, and historical approaches to understand the diversity of Islamic scholars' perspectives on this topic. The research findings indicate that Islamic scholars have diverse views on the establishment of nation-states, reflected in the concepts they offer such as caliphate, secularism, and traditionalist thought. These differences are influenced by their views on the relationship between Islam and politics, as well as the influence of Western thought. However, they agree that Islam encourages the formation of a governing institution or state that considers the interests, welfare, and justice for the entire society.

Keywords: Islamic scholars, establishment of nation-states, state concepts, differences of opinion, relationship between Islam and politics

 

 

Pendahuluan

Perbedaan pemikiran ulama Islam dalam banyak hal adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. Keragaman pemikiran dalam Islam adalah fitrah alamiah yang justru merupakan aset penting dalam kerangka diskusi dan refleksi yang mendalam tentang agama Islam itu sendiri. Perbedaan pemikiran ini dapat disebabkan banyak faktor seperti : faktor keragaman teks, faktor hermeneutika / penafsiran, faktor internal ulama, bahkan faktor eksternal yang mengelilingi ulama tersebut. Perbedaan pendapat ulama yang bersifat dinamis dan variatif seiring berjalannya konteks sosial, budaya, bahkan politik ini dapat memberikan wawasan yang berharga dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang Islam (Lubis, 2021).

Salah satu kajian yang menarik adalah perbedaan pemikiran ulama Islam tentang pendirian negara bangsa (Nation State), tentang bagaimana konsep negara, bahkan tentang keterkaitan antara agama dan politik kenegaaan itu sendiri. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa keterkaitan Islam dan politik kenegaraan tidak dapat dinafikan. Menafikannya sama saja dengan mengingkari fakta sejarah yang ada. Faktanya, salah satu persoalan besar yang muncul pasca wafatnya Rasulullah SAW. adalah persoalan politik kenegaraan. Ranah seperti inilah yang menjadikan kajian tentang agama Islam berbeda dari agama lainnya (Firdaus, 2018).

Konsep-konsep tentang pendirian negara bangsa (Nation State) sistem politik dan pemerintahan juga muncul dari ulama Muslim. Sebagian ulama Muslim ada yang bersikap apriori terhadap pemikiran Barat; ada juga yang menerima konsep pemikir Barat. Dan ada yang berusaha mempelajari konsep pemikir Barat yang kemudian mengambil nilai positif dan menfilter konsep yang bertentangan dengan syariat Islam. Mereka yang bersikap apriori dan anti pemikiran Barat biasanya mengajukan konsep Khilafa sebagai cikal bakal pemerintahan suatu Negara khususnya negara Islam. Sementara kelompok kedua yang berseberangan dengan kelompok pertama beranggapan bahwa pemikiran Barat dalam masalah ini patut untuk dijadikan rujukan, sebab mereka merupakan representasi negara maju. Adapun kelompok ketiga, adalah mereka yang menilai bahwa konsep negara merupakan masalah ijtihad yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan masyarakat. Sehingga, perlu mempertimbangkan penyesuaian kondisi, perkembangan pemikiran, dan kemaslahatan dalam konsep negara bangsa (Iqbal & Nasution, 2010).

Dari pemaparan yang penulis sampaikan di atas, menggambarkan bahwa pemikiran ulama Islam juga tidak luput dari persoalan politik yang menyelimuti Islam. Dan salah satu wacana utamanya adalah mengenai pendirian Negara Bangsa (Nation State) dengan segala perbedaan konsep yang ditawarkan. Dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan pandangan tentang pendirian negara dan konsep yang ditawarkan oleh beberapa tokoh Islam yang pakar dalam bidang politik yang mewakili tiga konsep pemikiran ulama Islam Kontemporer di atas. seperti Muhammad Husayn Haikal, Fazlur Rahman, Taha Husain, Ali Abdurraziq, M. Rasyid Ridho, Syekh Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb. Sekaligus mencoba menganalisa penyebab perbedaan pendapat mereka. Adapun penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini penulis mencoba menggambarkan dan mengungkapkan tentang pandangan ulama Islam tentang pendirian negara bangsa beserta konsep mereka, dan penyebab perbedaan pendapat. Berdasarkan rumusan  masalah, maka dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan adalah secara analitis (analytical approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk menggambarkan dan menganalisis pandangan ulama Islam tentang pendirian negara bangsa serta konsep yang ditawarkan oleh beberapa tokoh Islam kontemporer. Pendekatan analitis, konseptual, dan historis digunakan untuk memahami perbedaan pendapat yang ada. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber politik dan konsep negara, termasuk literatur-literatur, dokumen-dokumen, dan tulisan-tulisan ulama Islam yang relevan dengan objek penelitian.

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah dengan melakukan studi kepustakaan,   yaitu pengumpulan data dari berbagai bahan politik dan konsep Negara dengan cara mempelajari litratur-literatur, dan dokumen-dokumen yang mendukung objek penelitian. Bahan yang  diperoleh  dianalisis  secara  kualitatif.  Analisis  kualitatif  digunakan untuk menganalisis makna dari data yang tampak dipermukaan, artinya analisis kualitatif digunakan tidak digunakan untuk menjelaskan sebuah fakta tetapi hanya untuk memahami fakta tersebut (Zainal, 2004).

 

Hasil dan Pembahasan

Konsep Negara Bangsa

Ada banyak pengertian dari negara yang dikemukakan para ahli. Dari segi terminologi istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing yaitu, state (Inggris), staat  (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Secara etimologi negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai yang konstitutif yang pada lazimnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat. Lebih lanjut dari pengertian ini, negara identik dengan kedaulatan, tujuan bersama, hak dan kewajiban (Ubaidillah, 2016).

Terbentuknya sebuah negara tidak luput dari beberapa unsur penting di dalamnya, seperti adanya rakyat atau masyarakat, wilayah, pemerintah, dan pengakuan negara lain. Terbentuknya negara juga tak lepas dari fungsi dan tujuan. Fungsi negara secara umum ada 4, yakni untuk   melaksanakan ketertiban dan keamanan, meraih kemakmuran dan kesejahteraan, fungsi pertahanan serta menegakkan keadilan. Sedangkan tujuan negara secara umum dapat dilihat pada perwujudan beberapa unsur, seperti keadilan, kemakmuran, keamanan dan kesejahteraan rakyat (Mahfud, 1999).

Adapun konsep dan bentuk negara bangsa mulai terlihat dan dikenal pada masa Yunani kuno. Pada waktu itu pengertian dari negara, pemerintahan dan masyarakat masih belum  dibedakan, hal ini disebabkan karena susunan negara masih sangat sederhana sekali, bila dibandingkan dengan luas daerah negara dan jumlah penduduknya belum sebesar masa sekarang ini. Negara hanya seluas kota saja oleh karena itu pada hakikatnya hanya merupakan negara-kota saja. Negara-kota ini ada istilahnya yaitu “polis”. Selai itu sifat dari urusan negara masih sangat sederhana sekali. Dalam pandangan masyarakat dan para ahli negara, belum ada perbedaan  antara  pengertian  negara,  pengertian  masyarakat  dan  pengertian pemerintahan. Saat itu ada 3 bentuk dan konsep negara yaitu : Monarchi, Oligarchi, dan Demokrasi. Dipergunakan sebagai ukuran untuk membedakan bentuk-bentuk tersebut diatas yaitu: jumlah dari pemegang kekuasaan.  Jika  yang memegang kekuasaan  itu  satu  oarang  aka bentuk negaranya Monarchi (bahasa Yunani “monos” berarti “satu” sedangkan “archien” berarti  “memerintah”). Jika memegang pemeritahan  itu  beberapa orang maka bentuk negaranya disebut Oligarchi dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan yang dikuasi beberapa orang. Jika yang memegang pemerintahan rakyat maka bentuk negara nya disebut Demokrasi (bahasa Yunani “Demos” bararti “rakyat”). Ketiga bentuk ini juga menjadi pembagian bentuk negara berdasarkan pelaksanaan dan mekanisme pemilihannya (Ubaidillah, 2016).

Sedangkan dalam konsep teori modern, negara terbagi menjadi dua bentuk yaitu negara kesatuan (unitarianisme) dan negara serikat (federasi) (Prasetyo & Bernard, 2005). Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Dalam pelaksanaannya terbagi menjadi sistem pemerintahan sentral yang sistem pemerintahannya dipimpin oleh pemerintah pusat. Seperti model pemerintahan Orde Baru di Indonesia dan sistem otonomi atau desentralisasi, di mana kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di  wilayahnya sendiri seperti Indonesia pada masa sekarang.

Negara Serikat

Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari  beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat. Penyerahan kekuasaan dari negara-negara bagian kepada nagara serikat tersebut dikenal dengan istilah limitatif (satu demi satu) dimana hanya kekuasaan  yang  diberikan  oleh  negara-negara  bagian  saja  (delagated powers) yang menjadi kekuasaan Negara Serikat. Namun pada perkembangan selanjutnya, negara serikat mengatur hal yang bersifat strategis seperti kebijakan politik luar negeri, keamanan dan  pertahanan negara. Adakalanya dalam pembagian kekuasaan antara pemerintahan federasi dan pemerintahan negara-negara bagian yang disebut adalah urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah negara-negara bagian, yang berarti  bahwa  bidang  kegiatan  federal  adalah  urusan-urusan  kenegaraan selebihnya (reseduary powers).

Adapun konsep negara bangsa (nation-state) muncul dikarenakan beberapa latar belakang, di antaranya; pertama, tuntutan dan semangat kemerdekaan. Kedua, adanya kolonial bangsa Barat. Ketiga, penyebaran pemikiran, dan keempat adanya kepentingan, fungsi dan tujuan dalam membentuk suatu pemerintahan. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa istilah Nation-State sendiri baru lahir pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Pada saat itu, kebanyakan negara-negara yang lahir karena adanya semangat nasionalisme untuk mendapatkan kemerdekaan. Semangat nasionalisme yang pertama muncul di Eropa adalah nasionalisme  romantis (romantic nationalism) demi kehidupan tani yang murni, sederhana dan tidak korup yang kemudian dipercepat oleh munculnya Revolusi Perancis dan penaklukan daerah-daerah selama era Napoleon Bonaparte. Yang dengan pesat pemikiran ini tersebar di penjuru dunia. Begitu pula revolusi Yunani tahun 1821-1829 dimana Yunani ingin melepaskan diri dari dibelenggu kekuasaan Kekaisaran Ottoman dari Turki. Sementara di belahan Erop lain,  nasionalisme muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan wilayah atau daerah yang terpecah-belah. Misalnya, Italia di bawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour, dan Giusepe Garibaldi, yang mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah negara-kebangsaan tahun 1848 (Dault, 2005).

 

Pandangan dan Konsep Tokoh Islam Tentang Pendirian Negara

Dalam konteks pemikiran politik Islam kontemporer, respon umat Islam dalam menghadapi hal yang baru, yang disebabkan kemajuan barat di satu sisi dan kemunduran umat Islam di sisi yang lain, memunculkan tipologi ideologi politik Islam kontemporer, yaitu ideologi mutualis (menerima sistem barat dengan kritis dan mencari titik temunya dengan ajaran Islam), ideologi sekularis (menerima sistem barat sepenuhnya), dan ideologi integralis (menolak sistem barat sepenuhnya) (Syah, 2017).

Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan pandangan beberapa tokoh Islam kaitannya dengan pendirian dan konsep negara bangsa berdasarkan tipologi ideologi politik Islam di atas antara lain : Pendukung ideologi reformis, yaitu Muhammad Husayn Haikal dan Fazlur Rahman. Pendukung ideologi sekularis yaitu, Taha Husain dan Ali Abdurraziq. Dan pendukung ideoligi tradisionalis yaitu, M. Rasyid Ridho, Syekh Hasan Al Banna, Sayyid Quthb.

 

Tokoh Ideologi Mutualis

Para pendukung  dari ideologi mutualis antara  lain adalah Muhammad Husayn Haikal (1888-1956 M) dan Fazlur Rahman (1919-1988 M). Dalam pemikiran politik Haikal, di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan langsung dan rinci mengenai persoalan kenegaraan, Qur’an dan Sunnah hanya memberikan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai pijakan dasar bagi pengaturan kehidupan  bersama, termasuk  dapat  juga dijadikan landasan  dasar bagi pengelolaan negara.

Menurut Haikal prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-Qur’an dan Sunah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ke-khalifahan. Kehidupan bernegara  bagi umat Islam itu baru mulai pada waktu Nabi berhijrah dan menetap di Madinah. Nabi mulai meletakkan ketentuan-ketentuan dasar bagi kehidupan keluarga, pembagian waris, usaha dan jual beli. Ayat-ayat yang diwahyukan dalam periode Makkah terbatas  pada ajakan untuk menegaskan Tuhan dan keimanan, serta nilai-nilai kemanusiaan  yang tinggi. Bahkan ketentuan-ketentuan dasar tentang  kehidupan  bermasyarakat,  kehidupan  ekonomi dan budi pekerti  tersebut  belum menyentuh  secara rinci dasar-dasar  bagi kehidupan  bernegara, apalagi langsung menyinggung sistem pemerintahan (Syah, 2017).

Dalam konsepsi Fazlur Rahman masyarakat  Islam adalah masyarakat  yang moderat  dan para penguasanya  (ulil al-amri) adalah elitnya. Masyarakat Islam juga adalah masyarakat  yang egaliter, terbuka   (inklusif),  saling  berbuat   baik  dan  bekerjasama,  dan  tidak  melakukan   diskriminasi berdasarkan  gender atau kulit. Dalam konsepsi Rahman, Shura (musyawarah) yang menjadi dasar dari demokrasi adalah proses timbal balik melalui diskusi. Rahman menerima  konsep demokrasi, namun demokrasi yang dia maksud adalah demokrasi yang berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, bukan  demokrasi  yang bersifat  material  seperti  di Barat (M. Mulia, 2019).

 

Tokoh Ideologi Sekularis

  Para pendukung  dari ideologi sekularis antara lain adalah : Taha Husain (1889-1973  M) an ‘Ali ‘Abd Al-Raziq (1888-1966 M). Dalam pemikiran Taha Husain bahwa cara untuk memajukan Islam adalah dengan perubahan-perubahan total dengan semangat liberalisme dan sekularisme dengan meniru Barat, Husain juga berpendapat  bahwa dalam sejarahnya Islam dan negara selalu terpisah, sedangkan pengaturan konstitusi negara didasarkan pada landasan-landasan praktis (Nurdin, 2019).

Sedangkan Raziq berpendapat bahwa mendirikan khilafah bukanlah merupakan  kewajiban umat  Islam, pemerintahan tidak harus berbentuk khilafah, dan Nabi Muhammad SAW adalah semata-mata adalah utusan Allah SWT yang bertugas mendakwahkan agama murni tanpa maksud mendirikan negara/kerajaan (S. M. Mulia, 2014). Kalaupun Nabi SAW memiliki kekuasaan, kekuasaanya bersifat umum mencakup persoalan dunia dan akhirat. Kekuasaan ini diperlukan  sebagai sarana mendukung tugas beliau. Gagasan Raziq ini tertuang  dalam karyanya al-Islam wa al-usul al-hukm (M. Mulia, 2019).

Selanjutnya Raziq berpendapat bahwa dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa yang mengatur dan melindungi kehidupan mereka, lepas dari agama dan keyakinan mereka, apakah Islam, Nasrani, Yahudi atau  mereka yang tidak beragama  sekalipun. Penguasa itulah pemerintah. Namun pemerintah itu tidak harus berbentuk khalifah, melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya, apakah konstitusional atau kekuasaan mutlak, apakah republik atau diktator dan sebagainya. Tegasnya, tiap bangsa harus mempunyai pemerintahan, tetapi baik bentuk  maupun sifatnya tidak harus satu dan boleh beragam (Syah, 2017).

 

Tokoh Ideologi Integralis

Pada posisi yang berseberangan dengan ideologi sekuler tersebut di atas ditempati oleh ideologi integralis. Para pendukung ideologi ini antara lain adalah: Muhammad Rashid Rida (1865-1935 M), Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para tokohnya; Hasan Al-Banna (1906-1949 M) dan Sayyid Qutb (1906-1966 M) (Sjadzali, 2022).

Dalam pemikiran kelompok ini tuntutan untuk penerapan syariah adalah penerapan  hukum (fikih) yang telah diformulasikan (dibentuk) oleh para ahli fikih pada masa awal (Salaf al-Salih). Dalam pandangan Rasyid Rida (1865-1935 M), kekhilafahan Turki Usmani harus terus dipertahankan. Kekhalifahan Turki ini perlu terus didukung dan diperkuat wibawa serta  kemampuanya  dalam menghadapi kekuatan asing. Sebagai reaksi atas tindakan Mustafa Kamal At-Taturk yang membekukan kekuasaan Sultan pada 1922 M, Rasyid Rida mengeluarkan  gagasan untuk menghidupkan kekhalifahan baru. Gagasan Rasyid Rida tentang kekhilafahan tertuang dalam karyanya Al-Khilafah yang ditulis antara tahun 1922-1923 M (Black, 2006).

Untuk merealisasikan gagasanya menghidupkan kekhalifahan, Rida membuat program- program  yaitu: Pertama,  menentukan tempat kedudukan khalifah baru. Dia mengusulkan agar tempatnya secara geografis terletak di tengah-tengah dunia  Islam, misalnya di kota Masul, Irak. Kedua,cara mempersiapkan khalifah. Seorang khalifah harus memiliki keilmuan yang mendalam dan wawasan yang luas, oleh sebab itu perlu diselenggarakan lembaga pendidikan calon-calon khalifah. Calon khalifah dipilih dari dan oleh para lulusan pendidikan tersebut, setelah terpilih  khalifah dikukuhkan oleh Ahlu al-halli wa al-‘aqdi. Ketiga, Muktamar akbar. Untuk membentuk  kekhalifahan baru dia mengusulkan diselenggarakan muktamar akbar. Muktamar ini diselenggarakan  pada tahun 1926 di Mesir, namun muktamar ini tidak menghasilkan keputusan apapun (Sjadzali, 2022).

Sedangkan dalam pemikiran Hasan Al-Banna, Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan segala sistem yang dibutuhkan oleh kehidupan umat Islam baik sistem politik, ekonomi, dan sosial. Umat Islam tidak perlu meniru barat untuk menggapai kemajuan Islam kembali. Sebagaimana gurunya (Rasyid Rida), Al-Banna menekankan perlunya didirikan pemerintahan (negara) Islam dan diberlakukannya hukum Islam. Pemikiran Al-Banna inilah yang kemudian menjadi landasan ideologis bagi organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang didirikannya pada 1928 M (Sjadzali, 2022).

Dalam ideologi Al-Ikhwan Al-Muslimun, pemerintahan (negara) bukanlah sesuatu yang terpisah dari agama, sebaliknya pemerintahan (negara) adalah salah satu pilar dari agama. Islam adalah hukum sekaligus penerapannya. Oleh karena itu diamnya para pembaharu  Islam terhadap  pemberlakuan hukum Islam adalah dosa besar yang tidak terampuni, kecuali dengan mengambil alih pemerintahan dari tangan orang yang tidak mau menegakkanya. Islam tidak diturunkan dalam keadaan tanpa undang-undang, sebaliknya secara lengkap Islam telah menjelaskan asas-asas perundang-undangan dan perincian hukum baik perdata, pidana, hukum perdagangan, maupun hukum kenegaraan (Al-Banna, 2006).

Al-Ikhwan al-Muslimun secara lebih khusus mendefinisikan ideologinya dalam tiga hal sebagai berikut : Pertama, Islam adalah agama yang menyeluruh dan lengkap dengan sendirinya (mutakamil bi zatihi), Islam adalah muara dari seluruh ruang lingkup kehidupan. Kedua, Islam terpancarkan dan didasarkan pada dua sumber utama; Qur’an dan Hadis. Qur’an dan Hadis ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia termasuk persoalan politik. Ketiga, Islam adalah agama yang dapat diterapkan pada setiap zaman dan tempat. Dalam pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimun negara Islam yang diidealkan adalah negara yang didasarkan pada tiga keyakinan tersebut. Umat Islam berkewajiban berjuang untuk mendirikan  negara Islam, sehingga jika tidak maka seluruh  umat Islam berdosa dihadapan Allah (Al-Banna, 2006).

Dalam pemikiran Sayyid Qutb (1906-1966 M) Qur’an sesungguhnya telah memuat segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Dia menolak pandangan bahwa Islam harus belajar dari barat tentang bagaimana membangun masyarakat dan politik, dia juga menolak pandangan tentang  persamaan antara nilai-nilai Islam dan Barat. Dalam konteks ini pemikiran Qutb sama dengan pandangan para pemikir tradisionalis lainya. Dalam konsep Al-hakimiyyah-nya, Qutb menyatakan bahwa ketauhidan berarti adalah revolusi melawan segala bentuk  pemerintahan manusia beserta segala pengaturannya, hal ini bertujuan dalam rangka menegakkan kekuasaan Tuhan di bumi (Black, 2006). Dengan kata lain, manusia harus mampu membebaskan ketertundukanya kepada sesama manusia dan hanya tunduk pada pemerintahan Tuhan.

Ada tiga hal pokok yang menjadi dasar pemikiran politik Qutb, yaitu : Pertama, negara atau pemerintahan Islam berbentuk supra nasional yang meliputi seluruh wilayah Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintahan pusat yang dikelola atas prinsip pemerataan dan persamaan penuh antara semua umat tanpa membedakan suku, ras, bahkan agama. Kedua, persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama. Negara Islam menjamin sepenuhnya hak-hak orang-orang zimmi dan kaum musyrik yang terikat dalam perjanjian damai dengan ummat Muslim. Ketiga, politik pemerintahan Islam didasarkan  pada tiga asas yaitu: keadilan penguasa, ketaatan  rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat (Sjadzali, 2022).

Dalam pemikiran Qutb pemerintahan Islam tidak harus menganut sistem tertentu, pemerintahan Islam bisa menganut sistem apapun karena yang terpenting adalah melaksanakan syariat Islam. Jika pemerintahan yang berlabel Islam namun tidak melaksanakan syariat Islam, maka pemerintahan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam.

Munculnya pemikiran politik Islam kontemporer, banyak dilatarbelakangi oleh tiga faktor. Pertama, faktor kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam. Kedua, karena hegemoni Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berujung dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, hingga runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani. Ketiga, karena keunggulan  Barat dalam bidang ilmu, teknologi, organisasi dan politik. Tiga hal di atas sangat mewarnai orientasi para pemikir politik Islam kontemporer. Umumnya yang orientasi pemikirannya pada  wilayah pembaharuan dan pemurnian Islam dengan berbagai nuansanya. Namun demikian  dalam gagasan pemerintahan terdapat visi yang beragam (Syah, 2017).

 

Tabel 1. Ringkasan Pemikiran Tokoh Islam Tentang Negara

No.

Nama

Ideologi

Bentuk Negara

Konsep Negara

1

M. Husayn Haikal

Mutualis

Pemerintahan (bervariatif)

Elaborasi konsep Islam dan barat, atas asas keadilan, ketaatan dan shura.

2

Fazlur Rahman

Mutualis

Pemerintahan (bentuk bervariatif)

Elaborasi konsep Islam dan barat, atas asas keadilan, ketaatan dan shura.

3

Taha Husain

Sekularis

Negara Liberal

Pemisahan agama dengan kebijakan negara.

4

Ali Abdurraziq

Sekularis

Pemerintahan (bervariatif)

Pemisahan agama dengan kebijakan negara.

5

M. Rasyid Ridho

Integralis

Khilafah

Strategis, khalifah yang berkompeten diangkat lewat lembaga khusus, menjunjung tinggi nilai dan ajaran Islam.

6

Hasan Al Banna

Integralis

Negara Islam

Berlandaskan  dan memberlakukan hukum Islam secara kaffah.

7

Sayyid Quthb

Integralis

Negara Islam

Berlandaskan  dan memberlakukan hukum Islam secara kaffah.Berlandaskan asas keadilan, ketaatan dan permusyawaratan.

 

 

 

Penyebab Perbedaan Pendapat Para Tokoh

Dalam Al-Qur’an, tidak ditemukan ayat yang menetapkan tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta bagaimana mewujudkannya secara eksplisit. Nabi SAW dalam haditsnya juga tidak memfatwakan sistem dan bentuk pemerintahan yang baku bagi umat (Pulungan, 2016). Kendati demikian, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang secara implisit dapat dipahami telah menuangkan konsep pemerintahan dan negara. Seperti konsep kedaulatan pada surah Yusuf ayat 40, konsep keadilan  pada surah An Nisa ayat 58 dan 135, konsep musyawarah pada surah Ali Imran ayat 159 dan surah As-Syura ayat 38, konsep persamaan/egaliter pada surah Al Hujurat ayat 10 dan 13, konsep hak dan kewajiban pada surah An Nisa 59, dan konsep amar ma’ruf nahi mungkar pada surah Ali Imran ayat 104. Sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Salim ‘Awwa dalam bukunya (Fahmi, 2017).

Konsepsi pemerintahan dalam suatu negara harus dibangun berdasarkan asas-asas normatif dan mengacu kepada prinsip-prinsip yang dituangkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Penerapan asas-asas itu secara konsisten diharapkan dapat menjamin dan mewujudkan kehidupan sosial politik pemerintahan suatu negara yang dinamis, stabil dan harmonis yang berwawasan kemaslahatan umat. Seseorang yang dipilih oleh rakyat menjadi penguasa, menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati atau apapun istilahnya, untuk memimpin suatu wilayah tertentu, harus meyakini bahwa pada dasarnya kedudukan tersebut adalah anugerah Allah Swt yang berfungsi sebagai amanah. Ia berkewajiban tidak saja mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan makmur secara material, tetapi juga membangun suatu masyarakat yang memiliki hubungan spiritual dengan Tuhan-Nya secara vertikal (habl min Allah) maupun hubungan sosial yang harmonis dengan sesama umat manusia secara horizontal (habl min al-nas) yang berkeadilan dan demokratis (Pulungan, 1996).

Selain itu, dalam beberapa hadits juga dikemukakan konsep pemerintahan seperti dalam Al-Qur’an, contohnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah yang menegaskan tentang keharusan untuk mengangkat seorang pemimpin meskipun itu dalam suatu kelompok kecil. Hadis ini seperti yang dipaparkan oleh Ibrahim Hosen, melalui dalalat al al nash (fahwal khitob, qiyas awlawi) juga memerintahkan pengangkatan seorang pemimpin dalam suatu komunitas (masyarakat) besar, dengan argumentasi ini, maka mendirikan negara dianggap sebagai salah satu yang prinsip dalam Islam (Hosen, 2002).

Tidak adanya konsep pemerintahan negara yang dikemukakan secara eksplisit oleh dua sumber utama agama Islam ini menjadi isyarat bahwa sistem dan bentuk suatu pemerintahan atau negara tidak begitu penting, yang terpenting adalah selama asas-asas, prinsip, dan norma agama senantiasa dijadikan pondasi, tumbuh, dan ditegakkan dalam suatu pemerintahan. Sebab sistem dan institusi lebih bersifat temporer dan bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan tuntutan kebutuhan manusia yang cenderung kompleks. Dan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah petunjuk etik, bukan kitab politik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh A. Syafii Ma’arif (Ma’arif & Wahid, 2009).

Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa potensi perbedaan pemikiran tokoh Islam dalam masalah ini sangat terbuka. Di antaranya disebabkan karena tidak adanya nash Al-Qur’an maupun hadits yang secara eksplisit menjelaskan bentuk dan hukum pendirian suatu negara. Dan juga perbedaan pandangan mereka dalam melihat hubungan Islam dengan politik kenegaraan.

Di kalangan para tokoh politik Islam, tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban untuk mendirikan negara. Hanya saja, letak perselisihannya adalah pada derajat kewajiban tersebut, yakni apakah itu berada dalam kategori wajib syar’i, wajib ‘aqli atau keduanya (Nurhayati & Oktavia, 2022). Yang menganggapnya sebagai wajib syar’i menyatakan bahwa kewajiban itu berdasarkan dalil syar’i, misalnya perintah untuk menegakkan norma agama dalam pemerintahan sebagaimana konsep kedaulatan pada surah Yusuf ayat 40, konsep keadilan  pada surah An Nisa ayat 58 dan 135, konsep musyawarah pada surah Ali Imran ayat 159 dan surah As-Syura ayat 38, konsep persamaan/egaliter pada surah Al Hujurat ayat 10 dan 13, konsep hak dan kewajiban pada surah An Nisa 59, dan konsep amar ma’ruf nahi mungkar pada surah Ali Imran ayat 104.

Sementara yang melihat hal itu wajib ‘aqli melihat bahwa keharusan itu tidak dapat diderivasi dari nash-nash yang ada, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, tetapi kewajiban itu lebih merupakan suatu imperatif logis, yakni demi terwujudnya kemaslahatan umum diperlukan institusi politik agar al amr bil ma’ruf wa an nahy ‘ani al munkar (perintah untuk berbuat kebaikan dan menjauhi dari segala larangan) dapat ditegakkan. Dengan kata lain, bahwa penciptaan negara dalam bangunan Islam merupakan suatu keharusan logis sejauh itu dimaksudkan sebagai sarana untuk tegaknya prinsip-prinsip sosio-politik dalam masyarakat politik Islam. Tentang bagaimana konsep negara itu sendiri tidak dijelaskan secara terperinci di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

 

Kesimpulan

Realitas tentang hubungan Islam dan politik tidak dapat dinafikan. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu faktor utama perbedaan pemikiran tokoh Islam tentang konsep dan pendirian negara bangsa. Selain juga dipengaruhi faktor lain seperti faktor keragaman teks, faktor hermeneutika/penafsiran, faktor internal ulama, dan faktor eksternal seperti konteks sosial, budaya, dan politik. Beberapa tokoh Islam yang pakar dalam bidang politik seperti Muhammad Husayn Haikal, Fazlur Rahman, Taha Husain, Ali Abdurraziq, M. Rasyid Ridho, Syekh Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb memiliki pandangan berbeda satu sama lain mengenai konsep negara bangsa. Hal tersebut disebabkan oleh pandangan dan posisi mereka melihat hubungan Islam dengan politik dan pengaruh barat. Terlebih lagi karena ketiadaan nash Al-Qur’an dan Hadits yang secara eksplisit dan lugas memerintahkan pendirian negar bangsa atau pemerintahan dengan sistem dan corak tertentu. Melainkan hanya memberikan asas, norma, dan prinsip dasar dalam membangun suatu pemerintahan. Sehingga muncullah tipologi pemikiran tokoh di atas berkenaan hal tersebut. Yaitu ideologi reformis, sekularis dan tradisionalis. Namun, di tengah perbedaan tersebut, mereka sepakat bahwa agama Islam menghendaki terbentuknya suatu lembaga pemerintahan atau negara. Sebab ajaran Islam memerintahkan untuk memperhatikan kepentingan golongan minoritas, mengakui hak-hak mereka, terutama semua hak yang termasuk dalam lingkaran hak asasi manusia, tegaknya keadilan, kemaslahatan, kesejahteraan dan kesetaraan dalam kehidupan. Dan itu dapat direalisasikan dengan pendirian negara bangsa. Yang pada akhirnya, perdebatan panjang mengenai Negara dalam Islam telah memberikan aura untuk mempersatukan umat dalam satu wadah yang dinamakan “negara”. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para pemimpin setelahnya.

 

BIBLIOGRAFI

 

Al-Banna, H. (2006). Risalah Pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun jilid 2. Solo: Era Intermedia.

Black, A. (2006). Pemikiran politik Islam: dari masa Nabi hingga masa kini. Penerbit Serambi.

Dault, A. (2005). Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Pustaka al-Kautsar.

Fahmi, M. (2017). Prinsip Dasar Hukum Politik Islamdalam Perspektif Al-Quran. Petita, 2, 33.

Firdaus, R. (2018). Nasionalisme ‘jalan tengah’: Mengurai potensi benturan ideologi nasionalisme dan sentimen ummah di era nation state. Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 23(2), 313–338.

Hosen, I. (2002). Fiqh Siyasah Dalam Pemikiran Islam Klasik. Ulumul Al-Qur’an, 2.

Iqbal, M., & Nasution, H. (2010). Pemikiran politik Islam: dari masa klasik hingga Indonesia kontemporer. (No Title).

Lubis, H. M. R. (2021). Merawat Kerukunan: Pengalaman di Indonesia. Elex Media Komputindo.

Ma’arif, A. S., & Wahid, A. (2009). Ilusi Negara Islam. Ekspansi Gerakan Transnasional Di Indonesia, Ahmad Saifuddin.

Mahfud, M. D. (1999). Hukum dan pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 5.

Mulia, M. (2019). Perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia. Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender Dan Agama, 12(1), 80–95.

Mulia, S. M. (2014). Kemuliaan perempuan dalam Islam. Elex Media Komputindo.

Nurdin, M. (2019). Legalitas Lembaga Adat Dalam Sistem Hukum Nasional di Aceh. Politica: Jurnal Hukum Tata Negara Dan Politik Islam, 6(1), 90–111.

Nurhayati, D. A. W., & Oktavia, N. T. (2022). Relevance of Al Mawardi’s Reflection In The Development of Islamic Economic Activities. Journal of Nusantara Economy, 1(1), 48–58.

Prasetyo, D. I., & Bernard, L. (2005). Ilmu Negara. Surabaya: Srikandi.

Pulungan, J. S. (1996). Prinsip-prinsip pemerintahan dalam Piagam Madinah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Pulungan, J. S. (2016). Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.

Sjadzali, M. (2022). Islam dan tata Negara.

Syah, I. A. (2017). Pergeseran Dari Sistem Khilafah Ke Nation State Dunia Islam. UIR Law Review, 1(2), 201–212.

Ubaidillah, A. (2016). Demokrasi, Pancasila, dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Zainal, A. (2004). Amiruddin. Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Abdul Aziz Faradhi (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: