Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 6, Juni 2024

 

PERAN PEMUKA AGAMA DALAM MEMBANGUN MODERASI DAN MENCEGAH POTENSI KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA DI KAMPUNG SAWAH BEKASI

 

Indah Novitasari1*, Frans Hamonangan Nadeak2, Novriandi Putra Telambauna3, Rivaldi Marilatua4, Franklin Paskah Hutagaol5

Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Indonesia1,2,3,4,5

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Penelitian ini mengkaji peran pemuka agama di Kampung Sawah dalam mempertahankan keberagaman melalui moderasi beragama, sekaligus mencegah terjadinya konflik antar umat beragama. Keberadaan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk merupakan sebuah realitas yang tudak dapat dielakkan. Kondisi ini tentunya menjadi sebuah kelebihan, sekalligus tantangan khususnya kondisi masayarakat yang rentan terhadap hadirnya konflik bernuansa agama. Kecenderungan terjadinya konflik semakin meningkat ketika terjadi konstetasi politik yang akan selalu terkait dengan perjuangan identitas salah satunya atribut agama. Untuk itu diperlukan peran dari aktor informal yan bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk menjaga noderasi sekaligus deteksi dini sebagai pencegahan konflik. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan secara primer dan sekunder, dimana data primer dikumpulkan dengan metode wawancara indepth interview. Hasil temuan lapangan melihat bahwa pemuka agama telah melaksanakan perannya dalam menjaga moderasi antar umat beragama, sekaligus mampu mempertahankan kohesivitas masyarakat yang tangguh menghadap ancaman konflik. Peranan tersebut diwujudkan melalui pemenuhan indikator terhadap moderasi umat beragama meliputi perwujudan komitmen kebangsaan, terjaganya toleransi dan masyarakat yang anti kekerasan, serta terjaganya nilai budaya lokal bersama dengan nilai agama. Moderasi antar umat beragama semakin terwujud dengan optimalisasi peran pemuka agama dalam mencegah konflik melalui pemeliharaan kondisi damai, mempersiapkan deteksi dini serta mengupayakan terwujudnya sistem penyelesaian konflik melalui lembaga maupun kolaborasi dengan masyarakat.

Kata Kunci: Peran Tokoh Agama, Moderasi, Pencegahan Konflik

 

Abstract

This research examine the role of religious leaders in Kampung Sawah in maintaining diversity through religious moderation, while preventing conflict between religious communities. The existence of Indonesia as a pluralistic nation is a reality that cannot be avoided. This condition is certainly an advantage, as well as a challenge, especially for the condition of society which is vulnerable to the presence of conflict with religious nuances. The tendency for conflict to occur increases when political contestations occur which will always be related to identity struggles, one of which is religious attributes. For this reason, the role of informal actors who are in direct contact with the community is needed to maintain moderation as well as early detection to prevent conflict. The research method used is a qualitative approach. In this research, data collection was carried out primary and secondary, where primary data was collected using the in-depth interview method. The results of the field findings show that religious leaders have carried out their role in maintaining moderation between religious communities, while at the same time being able to maintain community cohesiveness that is resilient in the face of the threat of conflict. This role is realized through fulfilling indicators for religious moderation including the realization of national commitment, maintaining tolerance and a non-violent society, as well as maintaining local cultural values ​​along with religious values. Moderation between religious communities is increasingly being realized by optimizing the role of religious leaders in preventing conflict through maintaining peaceful conditions, preparing for early detection and working towards the realization of a conflict resolution system through institutions and collaboration with the community.

Keywords: Role Of Religious Leader, Moderation, Conflict Prevention

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan komposisi masyarakat yang sangat majemuk atau plural. Pluralitas di Indonesia dapat dilihat dari komposisi suku, ras, bahasa, agama, kelompok kepentingan, daerah maupun organisasi kemasyarakatan dengan berbagai macam tujuan dan latar sosial. Dari total 275,77 juta penduduk Indonesia (Kementerian Dalam Negeri, 2023), tersebar di 38 Provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa. Bangsa Indonesia terbagi dalam 1340 suku bangsa, atau 300 etnis (Indonesia.go.id, Suku Bangsa, 2023`), menggunakan 718 Bahasa daerah (Indonesia.go.id, Pola Bahasa daerah di Indonesia Provinsi Paling Banyak, 2023), serta tergabung dalam 512.997 organisasi kemasyarakatan dengan berbagai tujuan dan latar sosial (Tambun, 2023)\, sementara yang terdaftar pada kemendagri secara resmi hingga Desember 2022 sebanyak 2243 Organisasi.

Dalam hal keberagaman latar belakang agama, saat ini di Indonesia diakuia danya 6 agama dengan komposisi 238,09 juta jiwa (86,93%) beragama Islam, 20,45 juta jiwa (7,47%) beragama Kristen, 8,43 juta jiwa (3,08%) beragama Katolik, 4,67 juta jiwa  (1,71%) beragama Hindu, 2,03 juta jiwa (0,74%) beragama Buddha, dan 73,63 ribu jiwa (0,03%) beragama Konghucu. Sementara itu terdapat 126,51 ribu jiwa  (0,05%) yang menganut 187 aliran kepercayaan lokal (Dukcapil Kemendagri, 2023).

Kondisi yang beragam ini tentu saja tidak sesederhana itu jika mendefinisikan keberagaman sebuah negara. Cliford Geertz bahkan menambahkan keberagaman Indonesia secara multimental dan ideologis seperti China, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, komunisme, liberalisme, konservatisme, nasionalis, dan seterusnya. Geertz juga melukiskan Indonesia sebagai sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama (Hardiman, 2002). Keberagaman di Indonesia ini bisa kita lihat dari perspektif geografis, etnografis, sosial, sejarah, politik, ekonomi, maupun secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, keberagaman bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Sedangkan secara horizontal, dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Keberagaman ini menjadi satu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan alat-alat pemersatunya diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Ideologi Pancasila, Bendera Merah Putih, Lambang Garuda dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan Lagu Indonesia Raya. Sehingga cara pandang yang dibangun terhadap berbagai kondisi keberagaman tersebut adalah keberagaman menjadi pemersatu, keberagaman merupakan sebuah given dari Sang Pencipta bagi bangsa Indonesia. Bahkan Soekarno secara tegas mengatakan bahwa rakyat Indonesia harus mempunyai keinginan untuk hidup bersatu. Karena suatu persatuan tidak dinilai dari jenis (ras), bahasa, agama, persamaan tubuh, bukan pula batas-batas negeri yang menjadi bangsa itu, tetapi karena keinginannya untuk hidup bermasyarakat secara damai, rukun dan demi kebaikan bersama

Meskipun begitu upaya mewujudkan persatuan dalam kerangka NKRI bukanlah hal yang mudah. Kondisi keberagaman seringkali muncul menjadi tantangan dalam mewujudkan NKRI yang kuat, salah satunya adalah keberagaman Agama. Di Indonesia sendiri konflik berdasarkan agama telah terjadi sepanjang negara ini berdiri, mulai dari konflik Poso, Konflik Sampang, Konflik Tanjung Balai, Konflik Ambon, Konflik di Lampung Selatan, dan berbagai pelanggaran kebebasan beragama lainnya yang terjadi secara terus menerus setiap tahunnya. Berbagai konflik ini didorong oleh kepentingan agama, perbedaan ajaran atau nilai, fanatisme, dinamika politik maupun sumber konflik lainnya yang kebetulan para pelakunya memiliki perbedaan agama.

Agama merupakan elemen fundamental dalam  kehidupan  manusia,  oleh  karena  itu kebebasan  umat  beragama  harus  dihargai  dan dijamin.  Dalam hal ini, negara memberikan kebebasan kepada setiap warga negara menganut agama sesuai  pilihannya  masing-masing  dan menjalankan ibadat sesuai kepercayaannya. Hal ini secara jelas  dan  tegas  dicantumkan  dalam UUD  1945  pasal  29  ayat  (2)  yang  berbunyi: “Negara  menjamin  kemerdekaan  tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masingdan  untuk  beribadat  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu”. Pengakuan ini tentunya selaras dengan nilai yang termaktub dalam ideologi Pancasila yang tentunya mengutamakan penghargaan atas Ketuhaanan dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia sejak awal. Pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan umat beragama juga merupakan aktualiasi dari nilai demokrasi yang mengutamakan pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia.

Konflik bernuansa agama kerapkali mewarnai hubungan antar umat pemeluk agama yang berbeda sering kali menimbulkan konflik beragama di masyarakat.  Terjadinya intoleransi antara identitas ras, suku dan agama maupun perubahan social adalah sebagai sesuatu yang bertentangan, baik yang secara tersembunyi atau terang-terangan diantara warga. Penerapan pengaktualisasian identitas pada seseorang dapat mencerminkan ataupun mewakili dirinya sendiri maupun dalam etnisitas dan agama yang dapat terbentuk dalam kalangan masyarakat. Secara dominan diwarnai dengan realitas kehidupan sehari-hari.Proses demokrasi di Indonesia merupakan proses demokrasi yang tidak terlepas dari orientasi identitas agama dan etnis. Hal dapat kita lihat keikutsertaan partai-partai politik yang mengikuti pemilu atau pilkada sebelumnya. Proses demokrasi khususnya dalam Pilkada tidak terlepas peran serta beragam partai yang ikut dengan berbagai ideologi dan berbagai ragam identitas agama dan etnis yang seringkali dijadikan sebagai alat dalam berpolitik. Penguatan politik identitas secara otomatis muncul sebagai dampak terbukanya kran partisipasi politik yang dimulai sejak era reformasi hingga sekarang (Ana Sabhana 2016: 21). Contoh riil terkait hal ini terjadi pada Pilkada DKI pada tahun 2017 dimana kelompok masyarakat terpolarisasi menjadi kelompok

Di Kota Bekasi khususnya di Kampung Sawah memiliki  intensitas dinamika  kehidupan  umat  beragama  yang kompleks.  Hampir  wilayah tersebut,  memiliki  tempat  ibadah  serta penganut  agama  yang  berbeda. Timbulnya  keberagaman (diversity)  atau  multikultural  seperti  kelas sosial (strata), kesukuan, keagamaan, kultur, adat  istiadat,  bahasa,  gender,  etnik  dan lainnya, menjadi ciri khas  wilayah ini. Hal ini memperkuat  pernyataan  Nasikun, yang menjelaskan bahwa “masyarakat majemuk, didalamnya  akan  terkandung  berbagai kelompok  masyarakat  yang  memiliki  latar belakang  adat  istiadat,  budaya,  agama  dan kepentingan;  atau  suatu  masyarakat  yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri  tanpa  ada  pembauran  satu sama lainnya”. (Nasikun,  1986, hlm 31).

Fenomena yang menarik di Kampung Sawah adalah salah satu kampung Betawi dimana warganya beraneka kepercayaan dan agama. Kerukunan tersebut sudah ada di Kampung Sawah telah terjalin sejak dahulu, ditandai dengan adanya rumah ibadah yang berdiri berdampingan seperti Menariknya bangunan rumah  ibadah  tersebut  saling  berdekatan. Tiga  rumah  ibadah  saling  berdampingan yang  masing-masing  berjarak  kurang  lebih 300  meter, Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah dengan Masjid Besar Al-Jauhar Yasfi (Yayasan dan Pondok Pesantren Fisabilillah) Ketiga rumah ibadah tersebut menjadi salah contoh dalam keberagaman di Kampung Sawah, Kota Bekasi dimana toleransi keberagamannya yang sangat tinggi. Kampung Sawah saat ini menjadi salah satu contoh dalam kerukunan umat beragaman khususnya di Jawa Barat, dimana masyarakat berbeda keyakinan atau kepercayaan, tetapi tidak menjadi penghambat untuk bagi masyarakat yang berada di Kampung Sawah dalam melakukan suatu kegiatan keagamaan.

Kerukunan antar umat beragama merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Masyarakat di Kampung Sawah sangat menjunjung toleransi antar umat baragama dan nilai-nilai luhur budaya yang telah berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling menghargai atau menghormati, kebebasan menjalankan praktik ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, kerjasama intern dalam umat beragama. Namun demikian, dengan adanya kontestasi politik yang menjadikan agama sebagai komoditas, tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga toleransi serta kerukuanan umat beragama.

Penelitian ini secara khusus akan mengkaji potret keberagaman di Kampung Sawah, tantangan terhadap keberagaman saat ini, dan peran pemuka agama sebagai aktor informal dalam demokrasi dalam mempertahankan moderasi sekaligus mencegah lahirnya konflik

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif digunakan untuk memahami bagaimana individu mempersepsikan lingkungan mereka. Meskipun terdapat berbagai pendekatan dalam penelitian kualitatif, semuanya cenderung bersifat fleksibel dan berfokus pada mempertahankan makna yang kaya saat menginterpretasi data. Studi ini bersifat deskriptif kualitatif dengan penelitian pada latar belakang alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity) guna memahami fenomena atau kenyataan secara menyeluruh. Dengan metode ini diharapkan akan tergambar secara sistematis bagaimana peran dari para pemuka agama sebagai aktor demokrasi informal dalam mewujudkan moderasi beragama dan mencegah konflik di Kampung Sawah Bekasi.

Adapun analisis penelitian dilakukan dengan mengacu pada konsep dan teori sebagaimana dijelaskan diatas, dimana dalam proses analisis gejala yang muncul merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan satu dengan lainnya. Untuk kepentingan studi ini, maka data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan sistem pertanyaan terbuka, akan juga dipenuhi dengan studi pustaka atau studi literature guna menjawab masalah serta tujuan penelitian.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan Wawancara semi terstruktur dan studi literature. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan antara 2 orang atau lebih, dengan mekanisme komunikasi berupa tanya jawab. Peneliti akan menjadi penanya, sementara narasumber yang akan menjawab. Metode wawancara dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur yang berpedoman pada konsep dan teori yang digunakan. Oleh karena itu penentuan narasumber dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, yang didasarkan pada penguasaan keahlian yang dimiliki oleh narasumber. Studi Kepustakaan: Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data dari sumber referensi buku, media massa, maupun surat. Dalam penelitian ini sumber kepustakaan menjadi sumber data sekunder yang akan dianalisis sebagai data utama dalam teori maupun hasil pemilu, maupun data pendukung atas data primer yang dihasilkan dari proses wawancara.

Beberapa informan dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa kategori dibawah ini:

a.     Informan Kunci (Key Informants): Individu yang memiliki pengetahuan mendalam atau pengalaman signifikan terkait dengan topik penelitian. Mereka sering kali dipilih karena memiliki wawasan yang kaya atau unik. Informan kunci dalam penelitian ini adalah terbagi menjadi dua kategori yaitu tokoh formal dalam hal ini merupakan pemerintah setempat, serta tokoh informal yang merupakan pemuka masyarakat seperti ulama, pendeta, para tokoh perwakilan FKUB/MUB serta tokoh masyarakat lainnya yang terkait langsung dengan moderasi antar umat beragama sekaligus berperan penting dalam mewujudkan pencegahan konflik

b.     Informan tambahan yang diambil berdasarkan rekomendasi informan kunci untuk memperdalam temuan.

 

Tabel 1. Pedoman Wawancara

Teori

Item Pertanyaan

Narasumber

Konflik

a.    Bagaimana sejarah masyarakat Kampung Sawah?

b.    Bagaimana Potret Keberagaman Kampung Sawah?

c.    Apa yang menjadi tantangan keberagaman dan moderasi antar umat beragama di Kampung Sawah saat ini?

d.    Apakah pernah terjadi benturan antar kelompok agama? Atau sentimen yang terjadi karena pengaruh isu eksternal, seperti pemilihan umum/pemilihan kepala daerah berkaca pada pilkada DKI 2017 yang sarat politik identitas?

1.     Joko Suntoro, S.Sos., M.Si ( Lurah Jati Melati)

2.     Ust. Drs. H. Asmat HR, M.Pd (Ketua FKUB)

3.     Pdt. R. Jacob Napiun (Tokoh Agama Kristen)

4.     I Nyoman Jendrika (tokoh Agama Hindu)

5.     Matheus Nangin (Dewan Paroki St. Servatius/Tokoh Masyarakat)

6.     Perwakilan Kelompok Pemuda dari berbagai golongan

7.     Kyai Muqorrobin, S.Pd.I (Pimpinan Ponpes Al_Aziz)

Moderasi Umat Beragama Dalam Negara Demokrasi

a.      Bagaimana sudut pandang masyarakat berkaca dari ajaran agamanya masing-masing dalam melihatnya perannya sebagai warga negara? – kaitkan dengan isu aktual saat ini

b.     Bagaimana aktualisasi sikap toleransi yang ada di Kampung Sawah kaitkan dengan contoh kasus yang riil

c.      Apakah nilai budaya lokal sangat berpengaruh pada perkembangan keberagaman di Kampung Sawah? Jelaskan

d.     Menyikapi sejumlah tantangan dan perkembangan jaman bagaimana menjaga moderasi antar umat beragama di kampung sawah?

1.    Joko Suntoro, S.Sos., M.Si ( Lurah Jati Melati)

2.    Ust. Drs. H. Asmat HR, M.Pd (Ketua FKUB)

3.    Pdt. R. Jacob Napiun (Tokoh Agama Kristen)

4.    I Nyoman Jendrika (tokoh Agama Hindu)

5.    Matheus Nangin (Dewan Paroki St. Servatius/Tokoh Masyarakat)

6.    Perwakilan Kelompok Pemuda dari berbagai golongan

7.    Kyai Muqorrobin, S.Pd.I (Pimpinan Ponpes Al_Aziz)

Peran Pemuka Agama dalam Pencegahan Konflik

a.    Apakah ada indikasi potensi konflik antar umat beragama di Kampung Sawah?

b.    Mengingat kentalnya politik identitas dan penggunaan atribut keaagamaan dalam politik praktis,apakah hal tersebut akan menjadi tantangan dalam perwujudan moderasi beragama di kampung sawah?

c.    Bagaimana peran pemuka agama dan tokoh terkait dalam Memelihara Kondisi damai, Merencanakan sistem penyelesaian yang damai, meredam Potensi Konflik dan membuat sistem deteksi dini sebagai langkah pencegahan konflik?

1.    Joko Suntoro, S.Sos., M.Si ( Lurah Jati Melati)

2.    Ust. Drs. H. Asmat HR, M.Pd (Ketua FKUB)

3.    Pdt. R. Jacob Napiun (Tokoh Agama Kristen)

4.    I Nyoman Jendrika (tokoh Agama Hindu)

5.    Matheus Nangin (Dewan Paroki St. Servatius/Tokoh Masyarakat)

6.    Perwakilan Kelompok Pemuda dari berbagai golongan

7.    Kyai Muqorrobin, S.Pd.I (Pimpinan Ponpes Al_Aziz)

 

Analisis dan penafsiran data dilakukan dengan Sociometric Method guna mengukur peran serta kepemimpinan pemuka agama. Adapun indikator pengukuran ditekankan kepada pemenuhan upaya pencegahan konflik berupa 4 (empat) langkah implementasi, serta indikator perilaku moderasi beragama. Data penelitian lapangan (data primer) maupun melaluui studi kepustakaan/literature akan disusun dan dibandingkan dengan konsep/teori/indikator yang digunakan.

 

Hasil dan Pembahasan

Potret Keberagamaan di Kampung Sawah

Kampung sawah merupakan wilayah yang termasuk ke dalam Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Wilayah ini mencakup tiga kelurahan antara lain Kelurahan jati Murni, Kelurahan Jati Melati dan Kelurahan Jati Warna, dengan luas sekitar 8 km2. Dalam sejarahnya, wilayah ini dikenal dengan sebutan kampung sawah karena pada awal terbentuknya merupakan blok perkampungan yang dikelilingi dengan persawahan. Kampung Sawah merupakan areal hutan yang awalnya dibuka untuk markas para prajurit kesultanan Mataram yang hendak menyerang batavia. Dalam perkembangannya meski secara geografis Kampung Sawah mencakup tiga kelurahan, seperti tersebut di atas, namun secara identitas wilayah ini kini kian menyempit sebagai akibat dari perkembangan jumlah penduduk dan hunian. Banyak warga, terutama para pendatang baru yang tinggal setelah tahun 2000 dan, yang bermukim dalam radius lebih dari 3 km dari titik pusat Kampung Sawah tidak lagi bermukim di wilayah tersebut (Napiun, 2023).

Secara geografis sebagaimana disebutkan diatas Kampung Sawah terletak di Kecamatan Pondok Melati yang berdiri pada tahun 2005 berdasarkan Perda Kota Bekasi Nomor 04 Tahun 2004. Kecamatan Pondok Melati berada pada posisi 106,5825 bujur timur dan 6,161 lintang selatan, dengan ketinggian 33 m diatas permukaan laut (dilihat dari stasiun Kota Bekasi). Letak Kecamatan Bekasi Selatan yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kecamatan Bekasi Selatan terutama dari segi komunikasi dan perhubungan (BPS Kota Bekasi, 2022).  Adapun wilayah ini berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede (dibagian utara), Kecamatan Jati Sampurna (di wilayah Selatan), Provinsi DKI Jakarta (di sebelah Barat) dan Kecamatan Jati Asih (di sebelah Timur). Pada tahun 2020 total penduduk di wilayah kecamatan ini mencakup 127.202 jiwa dengan proporsi penduduk berdasarkan latar belakang agama adalah sejumlah Penduduk yang beragama Islam 130,672 jiwa, Kristen 12,387 jiwa, Katolik 6,904 jiwa, Hindu 1,460 jiwa, Budha 701 jiwa, Konghucu 19 jiwa, Aliran Kepercayaan 49 jiwa. (Pemerintah Kecamatan Pondok Melati, 2020)

Hingga saat ini fasilitas sarana keagamaan di Kecamatan Pondok Melati meliputi beberapa ba beberapa bangunan rumah ibadah yang saling berdampingan mulai dari berdirinya masjid, gereja, pura, wihara, langgar, dan lintang. Uniknya sarana peribadatan ini letaknya banyak yang berdekatan, sehingga dalam pelaksanaan hari besar, tidak jarang  masyarakat yang memeluk agama berbeda akan saling berjumpa. Rumah ibadah yang terdapat di Kampung Sawah terdiri dari 33 masjid, 1 gereja Katholik, dan 16 gereja Kristen. Bagi umat Hindu, meski tidak terdapat pura di Kampung Sawah, namun terdapat Balai Banjar Hitakarma di Kelurahan Jati Melati. Balai banjar ini adalah semacam lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi para pelajar di Kampung Sawah dan sekitarnya untuk memperdalam ilmu Agama Hindu yang dilakukan setiap hari Minggu.

Perubahan komposisi penduduk di Kampung Sawah disinyalir mulai terjadi pada tahun 1970 setalh pembangunan Markas Besar (Mabes) Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Cilangkap. Dengan adanya pembangunan ini, warga kampung sawah sebagian besar menjual aset berupa tanag dan sawah kepada warga luar kampung sawah. Perubahan kepemilikan inilah yang menyebabkan masuknya para pendatang. Arus perubahan penduduk semakin tinggi setelah terbukanya akses jalan, khususnya jalan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) E1 Seksi 3 yang terentang dari Hankam hingga Jatiasih. Kemudahan akses yang ditawarkan, serta wilayah yang cenderung aman dan nyaman membuat wilayah kampung sawah semakin menarik warga pendatang.

Di Kampung Sawah hidup berdampingan penduduk dari suku Betawi, Jawa, Flores, Ambon, Batak, Nias, dan lainnya. Mereka memeluk agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Jumlah penduduk Kampung Sawah yang berada di dua kelurahan utama, seperti terlihat pada Tabel 1, berjumlah 39.620 jiwa yang terdiri dari 20.100 orang laki-laki dan 19.520 orang perempuan. Jumlah kepala keluarga (KK) yang menetap di Kampung Sawah tercatat sebanyak 10.751 KK. Meski penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Jati Murni dibandingkan dengan penduduk yang bertempat tinggal di Kelurahan Jati Melati, namun jumlah Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) terbanyak terdapat di Kelurahan Jati Melati. Di Kelurahan Jati Melati terdapat 91 RT dan 15 RW, sementara di Kelurahan Jati Murni terdapat 59 RT dan 8 RW. Penduduk Kampung Sawah mayoritas memeluk agama Islam, dengan jumlah pemeluk sebanyak 25.963 jiwa.

Pemeluk agama Katholik yang tinggal di Kampung Sawah sebanyak 8.828 jiwa, atau terbanyak kedua, diikuti oleh agama Kristen yang dipeluk oleh 3.952 jiwa. Penduduk yang memeluk agama Hindu dan Budha, masing-masing, sebanyak 319 jiwa dan 558 jiwa. Jenis pekerjaan yang dijalani penduduk Kampung Sawah sangat beragam. Sebagian besar bekerja di sektor formal sebagai pegawai, baik di instansi swasta maupun milik pemerintah. Namun, tidak sedikit juga yang bekerja sebagai pedagang. Dengan menyusutnya lahan kosong yang dipergunakan sebagai lahan pertanian ataupun peternakan, maka semakin berkurang mereka yang bekerja dalam bidang pertanian maupun peternakan. Hingga tahun 1980an komposisinya adalah sebaliknya, banyak warga Kampung Sawah yang bekerja pada sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan. Penduduknya banyak menjual hasil tani dan ladang mereka, seperti beras, sayur-mayur, dan bebuahan di berbagai pasar di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Pusat, hingga Jakarta Selatan. Hanya sedikit yang bekerja pada sektor formal sebagai pegawai. Meski demikian, sejak jaman kolonial, penduduk Kampung Sawah terkenal sudah memiliki pekerjaan lebih baik daripada penduduk lain di Kota Bekasi. Tidak sedikit dari penduduk Kampung Sawah yang bekerja sebagai tenaga pendidik, tenaga kesehatan, dan administratur pada pemerintahan kolonial. Hal tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan yang mampu ditempuh oleh penduduk Kampung Sawah.

 

Tantangan dan potensi konflik di Kampung Sawah

Kerukunan antara umat beragama di Pondok Melati, khususnya pondok melati sudah terjadi sejak lama.  Menurut sejarahnya pada awalnya yang bermukim adalah umat Islam dan Nasrani (Kristen), namun lebih dahulu pemeluk agama Islam, agama Kristen atau yang lainya sekitar abad 19. Bukti nyatanya terwujudnya kerukunan antarumat beragama yaitu terlihat dari posisi tempat peribadatan berupa Gereja, Masjid, dan Pesantren yang berdekatan jaraknya di Kampung Sawah Kelurahan Jatimurni. Kondisi Kerukunan ini tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun komposisi masyarakat telah berganti dan berbaur dengan warga luar.

Kampung sawah sering dikatakan sebagai segitiga mas, artinya emas itu indah dan disukai banyak orang sebab itu banyak pihak yang memberi sebutan segitiga mas. Segitiga mas berada di titik pusat kampung sawah ada 3 rumah ibadah besar itu adalah Gereja Kristen Pasundan tahun berdiri 1874, Gereja St. Servatius tahun berdiri 1875, dan Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi berdiri tahun 1965. Bangunan ini berjarak sekitar 50-90 meter antara bangunan satu dengan lainya, saling berdekatan letaknya seakan berbentuk segitiga dari ketiga rumah ibadah ini. Masing-masing mengajarkan kepada jemaatnya agar menjaga atau memelihara toleransi dalam kemajemukan yang sudah hidup lama bahkan sudah menjadi budaya bagi masyarakat kampung sawah. Segitiga mas menjadi bukti bahwa umat beragama bisa hidup rukun berdekatan dengan segala perbedaan yang ada. (Napiun, 2023).

Dengan lokasi yang saling berdekatan, maka interaksi diantara kelompok masyarakat dengan latar belakang yang berbeda cenderung tinggi. Dalam beberapa kunjungan yang dilakukan tim saat pengumpulan, tim mendapati keterlibatan warga sekitar dalam menjaga lahan parkir tempat peribadatan agama lain. Bahkan di beberapa hari besar, seperti Idul Fitri, Natal dan Paskah kelompok muda akan bergantian menjaga tempat peribadatan kelompok agama lainnya. Dalam praktek peribadatan, suara pengeras masjid Agung Al Jaufhar Yasfhi saat shalawat dilantunkan disetel untuk hanya dapat didengar oleh jamaah di dalam masjid dan terdengar keluar tidak lebih dari jarak radius 10 meter. Pengeras suara akan terdengar oleh jamaah di luar masjid hanya pada saat azan dikumandangkan. Saat khotib menyampaikan khutbahnya, pengeras suara akan kembali hanya terdengar oleh jemaah di dalam masjid. Masjid Al-Jauhar yang berada di dalam kompleks Pesantren Yasfi seolah menjadi mercusuar toleransi kehidupan beragama bagi kelompok masyarakat muslim di Kampung Sawah. Di masjid inilah Kiai Rahmadin menjadi salah satu tokoh agama dan masyarakat yang menjadi panutan, tidak saja bagi kaum muslim, namun juga umat agama lain yang tinggal di Kampung Sawah. Dalam suatu pengajian di Masjid Al-Jauhar pernah terjadi salah satu penceramah menyinggung hubungan antara agama dalam ceramahnya. Isi ceramahnya dirasa tidak sesuai dengan situasi Kampung Sawah. Menyikapi hal ini maka pimpinan masjid kemudian memerintahkan santrinya untuk mematikan pengeras suara yang mengarah keluar masjid, sehingga isi ceramah hanya dapat didengar oleh jamaah di dalam masjid. Dalam beberapa kesempatan lain, jika mendapati penceramah dengan materi ceramah yang menyinggung kehidupan umat beragama di Kampung Sawah, maka imam masjid akan memberikan ceramah yang isinya menjelaskan kondisi Kampung Sawah, sehingga tidak menyinggung perasaan si penceramah dan dapat menenangkan jamaah.

Interaksi antar warga juga terjadi dalam keseharian di berbagai ruang publik. Sebagai contoh, Gereja St Srvatius memiliki klinik pengobatan di bagian belakang. Pengunjung klinik ini tidak saja jemaat gereja melainkan juga penduduk sekitar gereja, apa pun agamanya. Ibu Murni, pengelola klinik, mengatakan bahwa klinik ini terbuka untuk umum sebagai bentuk pelayanan gereja untuk warga sekitar. Setiap pengunjung dikenai tarif yang sama, tidak melihat apakah ia jemaat gereja atau bukan

Salah satu contoh tradisi yang sudah ada sejak dulu dengan saling menghormati antarumat beragama dan masyarakat bergotong royong dalam menjalin kebersamaan itu bisa dilihat melalui komunitas di Kampung Sawah dikenal suatu tradisi yang disebut “ngeriung bareng”, baik dalam komunitas Islam, Kristen maupun Katolik. Dalam hal ini Majelis Umat Beragama (MUB) berperan dalam pelestarian nilai-nilai budaya lokal terkait budaya, sosial, dan keagamaan. Seperti ngeriung bareng Tradisi ini biasanya diselaraskan dengan peringatan-peringatan tertentu, misalnya: Hari Raya Idul Fitri, Idul Qurban, peringatan hari peresmian gereja lain-lain.

Ngeriung bareng artinya berkumpul Bersama-sama biasanya tidak dibatasi agama, gender, status sosial maupun pendidikan. Ngeriung bareng itu bukan organisasi, tetapi merupakan gerakan Bersama untuk saling berdialog tentang isu-isu yang sedang popular ataupun memprihatinkan saat itu terkait dengan kehidupan masyarakat. Ngeriung bareng biasanya di gelar di sebuah “paseban”. Paseban itu sebuah bangunan yang lumayan luas tanpa dinding, hanya atap dan tiang-tiang kokoh saja dalam bahasa jawa disebut pendopo. Biasanya juga dilengkapi bale bambu Panjang dan meja Panjang supaya banyak orang bisa duduk saling beradepan. Yang punya peseban besar biasanya orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, seperti pemangku adat atau pesohor-pesohor kampung. Di peseban inilah dibahas dan dimusyawarahkan tentang berbagai hal yang ada hubunganya dengan kehidupan masyarakat. (Napiun, 2023)

Kerukunan yang terwujud di Kampung Sawah tidak terlepas dari berbagai ujian yang terus muncul hingga hari ini. Ujian ini yang membuat Kampung Sawah terus belajar memperkuat kerukunan untuk menjaga kedamaian yang selama ini telah tercipta. Pendirian Gereja Stanislaus Koska dan Balai Banjar Hitakarma adalah beberapa di antaranya. Meski Gereja Stanislaus Koska dibangun di luar wilaya Kampung Sawah, yaitu di Kranggan, namun konflik yang muncul atas pendirian gereja ini juga sedikit berimbas kepada Kampung Sawah. Sebab, Gereja Stanislaus Koska ini dibangun akibat Gereja St. Servatius sudah tidak mampu menampung jemaat yang jumlahnya sudah mencapai belasan ribu. Tidak sedikit penduduk Kampung Sawah yang ikut berdemonstrasi menentang pendirian gereja yang diklaim oleh para pedemo sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Karena hubungan kekerabatan dengan penduduk Kranggan, bakal bangunan Gereja Stanislaus Koska dijaga oleh sebagian warga Kampung Sawah, terutama mereka yang beragama Katholik.

Dalam kontestasi politik khususnya pemilihan umum ataupun kepala daerah, atribut agama sangat sering digunakan untuk meraih simpati kelompok tertentu. Politik identitas menjadi bagian dalam kegiatan politik untuk kemenangan. Relasi antar umat beragama seringkali diperhadapkan dengan pemberitaan atau isu yang mengarah pada dukungan terhadap paslon yang disamakan dengan tugas keagamaan (nilai kebenaran dalam keagamaan

 

Peran Pemuka Agama dalam menciptakan moderasi diantara umat beragama dan meminimalisir potensi konflik diantara umat

Para tokoh agama juga diwajibkan untuk sselalu menyerukan ajakan toleransi dengan begitu masyarakat kampung sawah terjaga kerukunannya. ditengah kondisi politik yang disertai dengan isu agama, para pemuka agama selalu menyerukan kata-kata untuk menjaga persatuan, jangan sampai beda pilihan politik menjadikan warga kampung sawah tidak bersatu. Diharapkan para tokoh agama dapat menerapkan kerukunan dan toleransi dimanapun, kapanpun dan saat apapun, supaya dikampung sawah ini tetap terjaga toleransinya. di islam itu, dalam acara pengajian Majelis Taklim selalu disampaikan,

boleh beda pilihan tetapi harus saling menghormati jangan ada gesekan, utamakan kesatuan, sehingga Kampung Sawah tidak terjadi konflik politik identitas agama. Memang isu mengenai politik identitas agama tersebut, baik sebelum maupun sesudah Pemilu, cukup ramai dibicarakan di media sosial yaitu di WhatsApp-WhatsApp Grup, tetapi pembicaraan tentang hal itu tidak terjadi secara langsung ketika masyarakat bertemu satu dengan yang lainnya. menurut saya, konflik dimedia sosial itu bukanlah konflik, tetapi hanya dinamika politik saja. (Malik, 2022)

Pemerintah bahkan sudah sampai tingkat Nasional, Departemen agama mencanangkan Kampung Sawah sebagai daerah kerukunan percontohan tingkat nasional pada tahun 2011/2012, dan kemudian melakukan banyak usaha disitu ada dialog dan keprihatinan terhadap lingkungan-lingkungan yang sama untuk membuat kegiatan-kegiatan. Pemerintah Kota juga pasti punya kepentingan, karena pemerintah kota, kemarin juara 6 Torelansis se-Indonesia yang dinobatkan oleh sebuah LSM juara 6 se-Kabupaten Bekasi, kampung sawah itu ambil bagian andil dalam kehidupan warganya. bantuan-bantuan diberikan dari kota ke kampung sawah. Dengan adanya koran dan radio dikampung sawah merupakan salah satu kegiatan untuk mempertemukan anak muda. Jadi di dalam Islam itu diantara perbedaan yang ada, misalnya dibidang tauhid ashidah, maka harus ada titik temu atau perjumpaan dalam bidang kemasyarakatan, nasionalisme, keprihatinan terhadap masalah yang sama, seperti korupsi itu merupakan salah satu hal yang menakutkan. Di kampung sawah anak-anak muda membuat radio dan Koran jurnalisme damai kegiatan itu bertujuan untuk menyatukan supaya akrab dan dengan begitu kerukunan tetap terjaga. elain itu penyelenggaraan kegiatan nasional, mmisalnya perayaan hari kemerdekaan 17 agustus, bersih-bersih lingkungan jadi kegiatan itu adalah titik temu perjumpaan diluar perbedaan seluruh warga kampung sawah yang kemudian dapat menyatukan antar umat beragama maupun antar suku yang berbeda. Pemerintah mendukung itu, memberikan bantuan fasilitas-fasilitas yang kita butuhkan dalam pengelolaan Koran dan radio tersebut karena pemerintah juga pasti punya kepentingan supaya kedamaian, ketenteraman masyarakat terjaga apalagi didaerah-daerah yang pluralisme seperti dikampung sawah ini.

 

Tabel 2. Struktur Organisasi MUB

No

Nama

Jabatan

Agama

1

Dra. Ika Indah Yarti M.Si

Camat Pondok Melati

Islam

2

Ust. Drs. H. Asmat HR, M.Pd

Ketua

Islam

3

Ust. H. Abdul Malik, S.Ag

Wakil Ketua

Islam

4

Ust. Boharudin

Sekretaris

Islam

5

R. Jacob Napiun

Anggota

Katolik

6

Pdt. Adrian Saroinsong, S.Th

Anggota

Kristen

7

I Nyoman Jendrika

Anggota

Hindu

8

Drs. Upalla Nanda S, M.Pd

Anggota

Budha

 

Sebagai perpanjangan tangan pemerintah sekaligus meningkatkan peran masayrakat madani, Majelis Umat Beragama memiliki struktur kepengurusan dari para tokoh agama masing-masing agama, yang berjumlah 7 orang yang bergabung dalam wadah yaitu Majelis Umat Beragama Tingkat Kecamatan. wadah seperti ini adalah satu-satunya yang ada di Kota Bekasi dan ini menandakan bahwa Majelis Umat Beragama sangat penting dalam menjaga dan memelihara pluralisme serta toleransi di Kota Bekasi.

Wadah ini ada di tingkat Kecamatan dan Kelurahan, masyarakat dan juga walikota sampai dengan lurah sangat aktif melakukan gerakan-gerakan Bersama dalam upaya memelihara pluralisme, toleransi dan persaudaraan. Karena Bekasi merupakan Kota yang penduduk atau masyarakatnya sangat heterogen. Maka benar adanya kalau Kota Bekasi menjadi terpilih sebagai kota Intoleran, karena mengelola wilayah yang masyarakatnya heterogeny pasti punya tingkat kesulitan tersendiri dalam hal kerukunan umat beragama.

kegiatan MUB periode 2018-2021 ini melibatkan masyarakat, MUB sering melakukan kegiatan, memberikan pengarahan atau sosialisasi tentang toleransi dalam umat beragama:

Kegiatan MUB yang sering dilakukan tiap bulannya yaitu ikut menghadiri dalam hari-hari besar seperti acara tahun baru Islam, Hari raya natal, peringatan hari peresmian gereja dan lain-lain. MUB dalam pertemuan itu selalu menyuarakan dan memberikan pemahaman tentang toleransi dan persaudaraan sesama umat beragama. (H.R, 2023)

Pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan oleh FKUB ini dapat bermanfat bagi masyarakat untuk Bersama-sama mencari jalan agar ketegangan di masyarakat bisa diatasi sejak dini, pemahaman yang diberikan tentang saling menghargai, menghormati, dan saling membantu sesama umat beragama yang terus di dengar oleh masyarakat di Kecamatan Pondok Melati:

Manfaat yang didapat oleh masyarakat dalam mengikuti kegiatan MUB yaitu: 1 masyarakat akan mengerti tentang nilai toleransi dalam umat beragama, maksudnya kehidupan masyarakat akan menciptakan keharmonisan dalam hal umat beragama dan hidup dalam kerukunan dalam bermasyarakat juga dapat membuat lingkungan sekitar menjadi aman dan damai. 2 kehidupan umat beragama lebih mudah bila toleransi masyarakat tercipta denga saling membantu antar masyarakat. Dalam era serba digital ini kepekaan antar manusia semakin berkurang, karena telah terdegradasi oleh kemajuan digital sehinga rasa peka untuk saling berkunjung telah diganti oleh teknologi lainya meskipun demikian, manusia tetap harus saling membantu satu sama lain. 3 membangun rasa persaudaraan yang tinggi antar umat beragama. Dengan terjalinya kerukunan, maka akan timbul rasa saling memiliki dan rasa persaudaraan yang tinggi antar umat beragama. Seperti diketahui bahwa masyarakat di Kecamatan Pondok Melati terdiri atas beragama ras suku dan agama. akan tetapi persatuan serta semangat persaudaraan tidak boleh memudar. 4 menimbulkan ketenangan/kedamaian/ketentraman dala ibadah karena ada komunikasi yang diwadahi secara langsung oleh MUB. Kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat juga dapat membuat kehidupan menjadi lebih tentram. Semakin besar kerukunan umat beragama dan kedamaian dibangun, maka semakin besar pula kesejahteraan hidup antar umat beragama ikut terangkat. (Napiun, 2023)

Dalam melaksanakan program MUB ini masing-masing mewakili setiap kelurahan yang ada  di Kecamatan Pondok Melati. Seperti Ketua MUB H.Asmat dari kelurahan Jatiwarna dan pengurus seperti H.Abdul Malik, Ust. Boharudin, R.Jacob Napiun(Katolik), Pdt. Adrian Saroinsong( Kristen), I Nyoman Jendrika(Hindu), Drs. Upalla Nanda(Budha) dari masing-masing kelurahan di Kecamatan Pondok Melati. Dalam hal ini peran Majelis Umat Beragama merupakan kunci utama dalam upaya memelihara pluralisme, harmonisasi dan kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Pondok Melati. Uniknya di Kelurahan Jatimurni (Kampung Sawah), dan Kelurahan Jatiwarna yang sangat heterogeny dan pluralis. Tokoh-tokoh agama, Pastor, Pendeta, Lurah, dan yang lainya, setiap ada kesempatan yang baik, tak henti-henti menyuarakan dan menyerukan toleransi dan persaudaraan. Saling menghargai, saling menghormati dan saling membantu antar umat beragama. Tidak hanya sebatas seruan saja yang disampaikan, akan tetapi para tokoh agama mengambil peran langsung secara nyata dengan saling silatuhrahmi dengan yang lain dalam berbagai kesempatan.

MUB di Pondok Melati selain menjalankan program kegiatannya, juga berperan dalam pelestarian nilai-nilai budaya lokal. Seperti : “ budaya sedekah bumi dan budaya ngariung bareng”. Pada intinya sedekah bumi itu berarti “bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan” atas segala macam berkat (barokah) yang telah diperoleh sepanjang tahun lalu, maka pesan utamanya adalah “syukur kepada Tuhan”. Salah satu contoh komunitas di kampung Sawah kelurahan Jatimurni dikenal suatu tradisi yang disebut “sedakah bumi”, baik dalam komunitas Islam, Kristen maupun Katolik. Masing-masing kelompok bisa menggelar kegiatan itu menurut kreasi masing-masing pula. Biasanya diselaraskan dengan peringatan-peringatan tertentu, misalnya : Hari Raya Idul Fitri, Idul Qurban, Ulang Tahun Gereja, atau peringatan hari peresmian gereja, dan lain-lain. (Napiun, 2023)

MUB selain membantu Camat dalam hal kerukunan antar umat beragama, juga berperan dalam pemberdayaan budaya-budaya yang ada di kampung Sawah. Menurut Afan Gaffar, LSM mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society. Muhammad AS Hikam memandang bahwa LSM dapat memainkan peranya yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melallui peranya dalam pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan, dan penyadaran. Berbicara mengenai LSM sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari civil society, karena LSM merupakan tulang punggung dari civil society yang kuat dan mandiri. Sedangkan pemberdayaan civil society merupakan sine qua non bagi proses demokratitisasi di Indonesia. Pak Asmat menambahkan sejauh ini program yang dirancang oleh MUB berhasil dalam membina kerukunan umat beragama:

selama MUB berdiri belum ada sama sekali gesekan sesama umat beragama. Adanya MUB ini kerukunan umat beragama menjadi lebih kuat dan ada yang mengawasi dalam hal perwakilan pengurusan masing-masing agama. MUB menyatakan yang berbahaya bukan dari dalam melainkan adalah dari luar daerah yang bisa membawa ideologi yang berbeda yang mengakibatkan kerukunan umat beragama tergoncang karena ideologi tersebut.

Metode yang dipakai dalam mewujudkan kerukunan umat beragama adalah pembinaan yang dilakukan melalui ritual dan seremonial keagamaan, dan melalui hari besar keagamaan pada saat momen tertentu. Contohnya yaitu agama Islam : hari raya idul fitri, idul adha, peringatan isro mi’raj, maulid nabi dan tahun baru Islam. Sedangkan agama Katolik dan Kristen memperingati wafatnya Isa Al-Masih, hari paskah, pesta nama, kelahiran yesus. Kemudian agama Hindu merayakan hari waisak, hari raya nyepi. Agama Budha sama dengan agama KongHuchu merayakan imlek, cap gomeh, tridarma, dan khatina. Setiap perayaan hari besar keagamaan, dalam hal ini ada nuansa kerukunnya, dan mencerminkan sikap toleransi antarumat beragama. Kerukunan yang tercemin dalam sikap toleransi didukung pula adanya kearifan lokal yang sudah melekat dengan warganya, yaitu lebaran Betawi, sedakah bumi dan ngariung bareng.

Edukasi yang diberikan oleh MUB dalam mewujudkan kerukunan umat beragama yaitu memberikan pengarahan atau sosialisasi tentang toleransi dalam umat beragama, dan menguatkan persatuan dan solidaritas antar umat beragama untuk menciptakan masyarakat yang harmonis. Kerukunan antarumat beragama harus dibangun berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati antarumat beragama. Adanya kerukunan dapat mencegah terjadinya konflik yang berkontribusi pada rapuhnya hubungan antar umat beragama dan ketidakstabilan politik. Pak Jacob menambahkan bahwa respon masyarakat terhadap kegiatan yang ditawarkan oleh MUB:

Respon masyarakat merasakan itu hal baik yang bisa banyak memberikan manfaat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Mendorong umat beragama dalam hal saling menghormati dalam perayaan hari-hari besar keagamaan dan menongkatkan silatuhrahmi. Saling bekerjasama, saling mendorong dan bersinergi dalam mewujudkan kerukunan umat beragama di Kecamatan Pondok Melati.

Setiap agama mengajarkan kebaikan, kedamaian serta keselarasan hidup terhadap para pemeluknya, baik antar sesama manusia, maupun terhadap makhluk ciptaan Tuhan yang lain. hidup rukun dan berdampingan Bersama-sama pemeluk agama lain, saling menghargai, serta menghormati antar pemeluk agama merupakan tujuan dan keinginan setiap agama dan manusia itu sendiri. Dalam hal ini MUB harus terus memperhatikan, karena agama memainkan peranan yang penting dalam segala aspek kehidupan ini, realitas kehidupan ini sangat beragam dan jika tidak bijaksana, maka konflik sering tidak dapat dihindari sebagai akibat perbedaan yang ada.

Sejauh ini kasus dalam kerukunan antar umat beragama di Kecamatan Pondok Melati belum ada, dikarenakan keterlibatan masyarakat yang aktif dalam mewujudkan kerukunan umat beragama melalui MUB. Keterlibatan masyarakat yang aktif ini membangun kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Pondok Melati mengalami peningkatan signifikan di setiap tahunnya. Sejauh ini tingkat ketentraman dan kondusif makin tahun makin tinggi dan masyarakat sudah selektif.

Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya kegiatan dialog lintas agama yang menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan di kampung sawah. Fenomena ini membuktikan bahwa respon terhadap hal yang berkaitan dengan umat beragama menjadi lebih baik bagi kelangsungan hidup masyarakat terutama di kampung sawah yang berada di Kelurahan Jatimurni. Langkah strategis untuk masa depan adalah membangun rasa saling memahami, kerjasama, dan berapresiasi dalam umat beragama. Untuk membangun toleransi beragama di Kecamatan Pondok Melati ini diperlukan peran masyarakat yang aktif dalam wadah yang memungkinkan untuk berpartisipasi seperti dengan berperan aktif melalui MUB.

Gambar 1. Sosialisasi MUB Tingkat Kecamatan Pondok Melati (Sumber : Website Kecamatan Pondok Melati)

 

Gambar 2. Pemuda Kristiani Menjadi Penjaga Umat Muslim Yang Salat Ied Di Kampung Sawah(Sumber : Tribunnews.com)

 

 

Tabel 3. Aktualisasi Peran Pemuka Agama dalam mewujudkan Moderasi antar Umat Beragama dan Pencegahan Konflik di Kampung Sawah

No.

Peran/Program Pemuka Agama

Moderasi Umat Beragama

Pencegahan Konflik

1.      

a.   Membangun dialog diantara pemuka agamas secara rutin melalui temu FUB

b.   Melakukan sosialisasi kegiatan yang terkait dengan moderasi antar umat beragama.

c.   Membangun nilai toleransi antar umat dengan hadir dalam kegatan keagamaan yang lain.

1)    Komitmen Kebangsaan

2)    Toleransi

3)    Anti kekerasan

4)    Akomodatif terhadap budaya lokal.

Memelihara Kondisi damai; Merencanakan sistem penyelesaian yang damai, meredam Potensi Konflik membuat sistem deteksi dini

 

Kesimpulan

Sebagaimana temuan dan hasil analisis dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa potensi konflik senantiasa hadir di tengah masayarakat, mengingat konflik merupakan interaksi yang tidak bisa diabaikan. Terlebih dengan potensi keberagaman di Indonesia, maka perbedaan yang ada dapat menjadi sumber konflik. Namun demikian, energi konflik dapat diarahkan menjadi lebih positif dengan prasyarat bahwa adanya sistem deteksi dini guna mencegah konflik, mampu menyediakan katub keselamatan agar luapan kekerasan dari konflik tidak merugikan masyarakat. Di Kampung sawah, moderasi antar umat beragama secara aktualisasi terlihat dalam sejumlah kegiatan dan budaya masayrakat yang mencerminkan komitmen kebangsaan melalui dialog antar umat beragama, menjunjung tinggi nilai toleransi sekaligus mewujudkan perilaku anti kekerasan, hingga mempertahankan nilai/ budaya lokal sebagai sebuah aset kesatuan diantara masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang keagamaan, dalam hal ini budaya betawi menjadi nilai budaya lokal utama yang mendorong moderasi serta mencegah konflik. Secara riil, para pemuka agama di kampung sawah telah terlibat dalam pemeliharaan kondisi damai, meredam potensi konflik dengan membangun dialog dan komunikasi, mengoptimalkan sistem deteksi dini dengan secara rutin mengadakan kegiatan temu masyarakat, atau sosialisasi guna mendekatkan jarak dengan masyarakat, sekaligus meredam benih-benih konflik dalam masyarakat 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

BPS Kota Bekasi. (2022). Kota Bekasi Dalam Angka. Kota Bekasi: Badan Pusat Statistik.

Denzin, N. K. (2009). Handbook of qualitative research. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Dukcapil Kemendagri. (2023, januari 13). www.dukcapil.kemendagri.go.ig. Retrieved from Dukcapil Kemendagri: https://dukcapil.kemendagri.go.id/beritatag/agama,

H.R, H. A. (2023, Maret 03). Wawancar dengan ketua Majelis Umat Beragama Kampung Sawah. (I. Novitasari, Interviewer)

Hardiman, F. B. (2002). Pengantar Kewargaan Multikultur : Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas. Jakarta: LP3ES.

Indonesia.go.id. (2023, Oktober 14). Pola Bahasa daerah di Indonesia Provinsi Paling Banyak. Retrieved from Indonesia.go.id: https://dataindonesia.id/ragam/detail/peta-bahasa-daerah-di-indonesia-provinsi-mana-paling-banya

Indonesia.go.id. (2023`, 0ktober 14). Suku Bangsa. Retrieved from www.indonesia.go.id: di https://indonesia.go.id//profil/suku-bangsa/kebudayaan/suku-bangsa?lang=1

Kementerian Dalam Negeri. (2023, Januari 14). ,Jumlah Penduduk Indonesia Semester I tahun 2022, diakses di , pada tanggal 14 Januari 2023. . Retrieved from www.dukcapil.kemendagri.go.id: https://dukcapil.kemendagri.go.id/page/read/7/data-kependudukan

Malik, S. (2022, Oktober 10). Wawancara dengan Pemuka Agama Islam (Ustad Solahudin Malik). (I. Novitasari, Interviewer)

Napiun, P. J. (2023, June 3). Wawancara dengan Pendeta Jacob Napiun anggota MUB. (F. H. Nadeak, & I. Novitasari, Interviewers)

Pemerintah Kecamatan Pondok Melati. (2020). Laporan Tahunan Kecamatan Pondok Melati. Kota Bekasi: Pemerintah Kecamatan Pondok Melati.

Starman, A. B. (2013). The Case Study as a Type of Qualitative Research. Journal of Contemporary Educational Studies, 1(1), 28-43.

Sturman, J. A. (1997). Case study methods. In J. P. Keeves, Educational Research, Methodology and Measurement: an International Handbook (2nd ed.) (pp. 61-66). Oxford: Pergamon.

Tambun, L. T. (2023, Januari 14). Kemendagri Sebut Indonesia miliki 512.997 Ormas. Retrieved from beritasatu.com: di https://www.beritasatu.com/news/936043/kemendagri-sebut-indonesia-miliki-512997-

Yin, R. K. (2014). Case Study Research Design and Methods (5th ed.). California: Thousand Oaks.

 

Copyright holder:

Indah Novitasari, Frans Hamonangan Nadek, Rivaldi Marilatua, Novriandi Telambauna, Franklin Paskah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: