Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 6, Juni 2024
PENGARUH CONTINUOUS LEARNING TERHADAP EMPLOYEE’S
TASK & CONTEXTUAL PERFORMANCE PADA LONG LIST TALENT PT XYZ
Novianta
Kuswandi1*, Tulus Budi Sulistyo Radikun2
Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia1,2
Email: [email protected]*
Abstrak
Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut
perusahaan untuk terus berinovasi dan meningkatkan kinerjanya. Salah satu kunci
utama untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memiliki karyawan yang memiliki
kinerja tinggi. Kinerja karyawan dapat diukur dari dua aspek, yaitu task
performance dan contextual performance. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh continuous learning, dalam hal ini on the job
training, terhadap employee’s task dan contextual performance. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian
akan menganalisis data primer yang diperoleh dari hasil survei menggunakan
kuesioner kepada responden.
Data yang telah terkumpul akan dianalisis secara deskriptif melalui uji regresi
menggunakan bantuan program SPSS. Hasil penelitian menunjukan bahwa Terdapat hubungan antara Continuous
Learning Terhadap Task Performance dan Contextual Performance.
Continuous learning dapat meningkatkan employee’s task & contextual
performance pada long list talent PT XYZ. Oleh karena itu,
perusahaan perlu mendorong karyawannya untuk mengikuti continuous learning.
Kata kunci: Continuous
Learning, Employee’s Task, Contextual Performance, Long List Talent
Abstract
Increasingly
tight business competition requires companies to continue to innovate and
improve their performance. One of the main keys to achieving this is by having
employees who have high performance. Employee performance can be measured from
two aspects, namely task performance and contextual performance. This research
aims to find out how much influence continuous learning, in this case on the
job training, has on employees' tasks and contextual performance. This research
is quantitative research. The research will analyze primary data obtained from
survey results using questionnaires to respondents. The data that has been
collected will be analyzed descriptively through regression testing using the
SPSS program. The research results show that there is a relationship between
Continuous Learning and Task Performance and Contextual Performance. Continuous
learning can improve employee's task & contextual performance in PT XYZ's
long list of talents. Therefore, companies need to encourage their employees to
participate in continuous learning.
Keywords: Continuous Learning, Employee’s Task, Contextual Performance, Long List
Talent
Pendahuluan
Kekurangan successor di PT XYZ perlu mendapat perhatian segera agar keberlangsungan organisasi dapat terjaga. Kekurangan successor ini ditandai dengan kondisi man power PT XYZ dalam lima tahun ke depan. Berdasarkan data Man Power Planing PT XYZ tahun 2022-2026, terdapat 375 karyawan yang akan pensiun dalam lima tahun ke depan (2023 Business Plan, halaman 17). Gap terbesar pemenuhan manpower yang akan pensiun di PT XYZ berada pada level team leader sebesar 284 orang, disusul kemudian level managerial sebanyak 53 orang.
Melihat krisis man power di level managerial dan team leader yang akan terjadi, PT XYZ tidak berdiam diri. Melalui mekanisme talent review and succession planning (TRSP), PT XYZ mengidentifikasi karyawan yang memiliki potensi untuk menjadi suksesor di posisi team leader sampai dengan senior manager. Berdasarkan hasil TRSP tersebut, terdapat 13 orang level manager dan senior manager yang tidak memiliki suksesor yang siap dalam satu tahun, dan 32 posisi lain di level manager dan senior manager tidak memiliki suksesor yang siap menggantikan dalam tiga sampai lima tahun (2023 Business Plan, halaman 17).
Internal recruitment menjadi andalan PT XYZ untuk memenuhi
posisi yang kosong tersebut. Strategi ini karena padanan binis PT XYZ tidaklah banyak, maka PT XYZ
tidak memungkinkan mengandalkan pengganti karyawan dari luar perusahaan,
Sehingga, strategi suksesi di PT XYZ lebih difokuskan pada strategi internal recruitment atau talent development.
Potensi karyawan lebih diutamakan dalam rekruitmen
internal, karena potensi karyawan dapat memprediksi kinerjanya. Lebih jauh saat memetakan karyawan
melalui mekanisme TRSP, PT XYZ mengidentifikasi potensi karyawan dengan melihat
learning agility karyawan, sedangkan kinerja atau performance diidentifikasi
dengan contextual performance dan task performance. Learning agility dapat
didefinisikan sebagai keinginan dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman,
dan menerapkan pembelajaran tersebut untuk keberhasilan kinerja dibawah situasi
pertama kali atau baru (Lombardo & Eichinger, 2000). Borman dan Motowidlo (1997) menjelaskan task performance, sebagai kinerja berdasarkan tugas dan
tanggungjawab yang ditugaskan ke karyawan tesebut. Sedangkan contextual performance didefinisikan
sebagai kinerja sukarela, perilaku kerja yang positif yang melampaui tugas
utama dan secara keseluruhan berkontribusi terhadap fungsi organisasi (Borman &
Motowidlo 1997). Hubungan antara learning
agility dan performance ini telah
diteliti oleh peneliti pendahulu. Contohnya saja penelitian pada perawat yang menemukan korelasi langsung antara
penilaian learning agility dan evaluasi
potensi dan kinerja oleh direktur perawat yang memberikan bukti bahwa individu dengan learning
agility menjadi prediksi kinerja yang baik di masa depan (Glassman & Withall, 2018).
Kondisi task performance PT XYZ saat ini perlu
mendapat perhatian. Hal ini disebabkan hasil task performance dari 49 orang manager
hanya ada 3 orang yang mendapat nilai A, dan 25 orang mendapatkan nilai C.
Begitu juga untuk karyawan BOD-3 (First Managerial Level), dari 753 Karyawan,
475 nya mendapatkan nilai C. (2022 Key Performance
Indicator Result, halaman 4). Mengacu
pada cara PT XYZ
mengidentifikasi talent menggunakan nine box matrix yang melihat potensi
(learning agility) dan overall performance maka pencapaian kinerja karyawan
berdampak pada jumlah talent yang dimiliki perusahaan. Dengan hasil task
performance tersebut maka tidak heran jika jumlah talent di PT XYZ tidak
banyak. Efeknya jumlah suksesor yang dimiliki PT XYZ pun juga menjadi sedikit. Situasi
pandemi yang terjadi semenjak tahun 2020 memang berdampak cukup signifikan
terhadap performance karyawan. Semua karyawan perlu beradaptasi dengan situasi
dan cara kerja baru, dampaknya pencapaian task performance juga terganggu.
Selain task performance, kondisi contextual
performance PT XYZ saat ini juga perlu mendapat perhatian. Merespond kondisi
pandemi dan pasca pandemi, perusahaan mendorong karyawan untuk
mengimplementasikan health and safety dilingkungan kerjanya. Perusahaan
menamakan strategi implementasi ini sebagai Health Safety Improvement Program
(HSIP). Karena tidak menjadi main job karyawan sehari-hari maka pencapaian
inistiatif HSIP ini hanya mencapai 56% (KPI OHS Index SBI 2022). Dengan hasil
contextual performance tersebut maka tidak heran jika jumlah talent di PT XYZ
sedikit. Dampakya tentu saja pada jumlah suksesor yang dimiliki PT XYZ. Pencapaian
HSIP ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya berkaitan dengan
keahlian yang dimiliki karyawan dalam mengimplementasikan inisitif tersebut. HSIP
membutuhkan keahlian tertentu, namun karena inisiatif ini diluar dari main job
karyawan, maka karyawan perlu mempelajari keahlian baru.
Melihat pencapaian task performance dan contextual
performance tersebut, maka diperlukan program pengembangan bagi karyawan. Hal
ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Michel, et al. (2022) yang menemukan adanya skill gap yang
dibutuhkan antara sebelum Covid, selama dan setelah Covid. Peneliti mengusulkan penerapan continuous learning sebagai
intervensi dalam menjawab permasalahan tidak tercapainya task dan contextual
performance. Pertimbangan
lain peneliti menggunakan intervensi continuous learning dikarenakan masih
terbatasnya penelitian pendahuluan yang membahas tentang continuous learning
dan pengaruhnya terhadap task performance ataupun contextual performance. Beberapa penelitian
pendahuluan seperti yang dilakukan oleh Agarwal (2020), memang menunjukan bahwa 80,4%
responden setuju bahwa continuous
learning berdampak pada peningkatan performance, namun penelitian ini tidak
melihat secara khusus performance yang dimaksud apakah task performance ataupun
contextual performance. Dua penelitian yang meneliti tentang continuous
learning adalah penelitian yang dilakukan oleh Budhiraja (2021) yang menemukan
pengaruh positif continuous learning terhadap task performance maupun
contextual performance. Penelitian lain yang dilakukan oleh Budiraja (2021)
tentang hubungan antara continuous learning dan contextual performance pada
perusahaan yang mengalami merger, juga menemukan adanya pengaruh positif
continuous learning terhadap efektifitas change management, dimana change
management secara signifikan memediasi hubungan antara continuous learning dan
contextual performance pada karyawan di perusahaan yang mengalami post merger.
Continuous learning sendiri
didefinisikan sebagai upaya organisasi dalam menciptakan kesempatan belajar
untuk semua karyawan (Marsick & Watkins 2005). Menggunakan istilah yang
berbeda, Dunn (2005) mendefinisikan continuous
learning sebagai pembelajaran yang meng-cover
semua range dari pembelajaran, termasuk formal,
informal dan non-formal learning, dan juga melingkupi keahlian, pengetahuan,
sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam aktifitas sehari-hari. Bentuk
dari continuous learning ini menurut
Agarwal (2020) dapat dibagi ke dalam dua metode, yaitu on the job training atau metode learning
yang diadopsi dan dilakukan di lingkungan tempat kerja, meliputi coaching, job rotation, job assignment,
project assignment, dan metode kedua berupa off the job training yaitu metode learning yang dilakukan di luar lingkungan kerja, meliputi lecturing, case study, role playing, formal
training ataupun conferences. Penelitian
ini berfokus pada metode on the job
training sebagai sarana bagi karyawan untuk melakukan continuous learning,
karena telah terbukti memiliki dampak positif terhadap task performance dan contextual
performance.
Pemilihan intervensi continuous
learning sendiri didasari dari program talent development yang
dilakukan oleh PT XYZ yang sebelumnya hanya terfokus pada metode off the job
training berupa lecturing saja. Padahal, Menurut Pramono dan Prahiawan (2022) dalam penelitihannya
menemukan bahwa pelatihan (off the job training) tidak memiliki dampak
posisif pada kinerja karyawan. Hasil penelitian tersebut juga
dikuatkan oleh Mulyapradana, et al. (2020) tidak ada hubungan antara training
dengan performance karyawan. Penelitian terdahulu, Miller (2016) dari
hasil penelitiannya menunjukan bahwa education (off the job training)
tidak berdampak secara signifikan terhadap task performance, sedangkan experience
(on the job training) berdampak secara signifikan terhadap task
performance. Di satu sisi Miller (2016) juga menemukan bahwa experience
(on the job training) memberikan dampak signifikan terhadap contextual
performance. Dengan demikian, pada penelitian ini
fokus pada metode on the job training sebagai sarana karyawan melakukan
continuous learning karena punya dampak positif pada task performance maupun
contextual performance. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh continuous learning, dalam hal ini on the job training, terhadap
employee’s task dan contextual performance.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif. Penelitian
akan menganalisis data primer yang diperoleh dari hasil survei menggunakan kuesioner kepada responden.
Partisipan Penelitian
Populasi yang disasar penelitian ini
adalah talent di perusahaan XYZ yang berjumlah 232 orang. Teknik pengambilan sampelnya
adalah purposive sampling, yaitu memilih responden yang tergolong short list
talent dan long list talent berjumlah 94 orang.
Metode Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan penyebaran kuesioner
menggunakan bantuan Google Form yang diukur dengan skala likert kepada
partisipan penelitian.
Analisis Data
Penelitian akan menganalisis data
primer yang diperoleh dari hasil survei menggunakan kuesioner kepada responden.
Penelitian ini menggunakan 3 variabel, yaitu:
1) Variabel predictornya adalah continuous
learning sedangkan variabel outcomenya adalah task performance dan contextual
performance.
2) Definisi continuous learning yang akan
digunakan pada penelitian ini mengacu pada definisi yang diberikan oleh Watkins dan Marsick (2013) yang
mendefinisikan continuous learning sebagai upaya organisasi dalam
menciptakan kesempatan belajar untuk semua karyawan
3) Sedangkan definisi task
performance dan contextual performance dalam penelitian ini akan
mengacu pada definisi yang diberikan oleh Koopmans, et al. (2011)
4) Contextual performance sendiri didefinisikan sebagai
perilaku yang mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis dimana
inti teknis harus berfungsi
5) Sedangkan task performance
didefinisikan sebagai kemahiran
yang dengannya individu melakukan tugas utama mereka
Data yang telah terkumpul akan
dianalisis secara deskriptif melalui uji regresi menggunakan bantuan program
SPSS.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan
rumusan permasalahan dalam penelitian yang dikemukakan tersebut, maka dapat
ditentukan dua hipotesis penelitian, yaitu:
Hipotesis 1. Terdapat
hubungan antara Continuous Learning Terhadap Task Performance
Hipotesis 2. Terdapat hubungan antara Continuous Learning
Terhadap Contextual Performance
Hasil
dan Pembahasan
Uji Validitas
Uji Validitas adalah proses untuk mengukur
sejauh mana suatu instrumen atau alat pengukuran dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur.
Tabel 1. Uji Validitas
Correlations |
|||||
|
CL |
ET |
CP |
TOTAL |
|
CL |
Pearson Correlation |
1 |
.575** |
.496** |
.786** |
Sig. (2-tailed) |
|
<.001 |
<.001 |
<.001 |
|
N |
94 |
94 |
94 |
94 |
|
ET |
Pearson Correlation |
.575** |
1 |
.663** |
.909** |
Sig. (2-tailed) |
<.001 |
|
<.001 |
<.001 |
|
N |
94 |
94 |
94 |
94 |
|
CP |
Pearson Correlation |
.496** |
.663** |
1 |
.842** |
Sig. (2-tailed) |
<.001 |
<.001 |
|
<.001 |
|
N |
94 |
94 |
94 |
94 |
|
TOTAL |
Pearson Correlation |
.786** |
.909** |
.842** |
1 |
Sig. (2-tailed) |
<.001 |
<.001 |
<.001 |
|
|
N |
94 |
94 |
94 |
94 |
Berdasarkan hasil pada tabel 1,
terlihat bahwa setiap alat pengukuran menunjukkan nilai korelasi Pearson yang
lebih tinggi daripada nilai korelasi tabel (r Tabel = 0.168) dengan jumlah
sampel (N=94), dan semua nilai signifikansi (2-tailed) korelasi untuk setiap
item adalah .000, yang lebih kecil dari nilai batas signifikansi 0.05. Temuan
ini menunjukkan bahwa semua pernyataan yang terkandung dalam item-item
pertanyaan memiliki validitas yang kuat. Oleh karena itu, keseluruhan kuesioner
dianggap valid untuk digunakan dalam penelitian ini.
Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas adalah proses
untuk mengevaluasi sejauh mana suatu instrumen pengukuran dapat menghasilkan
hasil yang konsisten atau dapat diandalkan.
Tabel 2. Uji Reliabilitas
Reliability Statistics |
|
Cronbach's Alpha |
N of Items |
.795 |
3 |
Hasil uji reliabilitas yang
tercantum dalam tabel 2 menunjukkan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,795,
melebihi ambang batas minimum 0,600. Hal ini menunjukkan bahwa kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat konsistensi yang baik.
Uji Regresi
Uji Regresi adalah teknik statistik
yang digunakan untuk mengukur hubungan antara satu atau lebih variabel
independen dengan variabel dependen.
Tabel 3. Uji Regresi H1
Coefficientsa |
||||||
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. |
||
B |
Std. Error |
Beta |
||||
1 |
(Constant) |
2.421 |
3.445 |
|
.703 |
.484 |
CL |
.834 |
.124 |
.575 |
6.736 |
.000 |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari nilai ambang batas 0,05. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara continuous learning dan tugas karyawan pada daftar panjang bakat di PT XYZ.
Tabel 4. Uji Regresi H2
Coefficientsa |
||||||
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. |
||
B |
Std. Error |
Beta |
||||
1 |
(Constant) |
2.252 |
2.717 |
|
.829 |
.409 |
CL |
.536 |
.098 |
.496 |
5.486 |
.000 |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai signifikansi 0,000 lebih kecil daripada nilai ambang batas 0,05. Hal ini
mengindikasikan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara continuous learning
terhadap kinerja kontekstual pada daftar panjang bakat di PT XYZ.
Pembahasan
Talent Management PT XYZ
Pengelolaan talent di
organisasi menjadi sesuatu yang penting karena adanya hubungan yang signifikan
antara talent management dan organizational performance (Ahmad, et al, 2020)
Istilah "talent
management",
"talent strategy” ataupun “succession planning” dan “human resource planning” adalah istilah
yang sering digunakan secara bergantian untuk menggambarkan mengelola karyawan dalam organisasi. Jackson dan Schuler
(1990) mendefinisikan talent management sebagai proses untuk memilih orang di
posisi yang tepat dan waktu yang tepat. Järvi
dan Khoreva (2019) memberikan definisi talent
management sebagai aktivitas
dan proses yang melibatkan identifikasi sistematis dari posisi kunci yang
secara berbeda berkontribusi pada keunggulan kompetitif berkelanjutan organisasi,
pengembangan kumpulan bakat dari pemegang jabatan berpotensi tinggi dan
berkinerja tinggi untuk mengisi peran ini, dan pengembangan arsitektur sumber
daya manusia yang berbeda untuk memfasilitasi mengisi posisi ini dengan
petahana yang kompeten dan untuk memastikan komitmen berkelanjutan mereka
terhadap organisasi.
Secara literatur belum
ada batasan konseptual yang
spesifik dan jelas dari talent dan talent management (Collings dan Mellahi, 2009). Di PT XYZ sendiri, talent management didefinisikan sebagai
serangkaian proses manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang terintegrasi dalam
mengidentifikasi, memetakan, mengklasifikasi, mereview, membuat perencanaan
suksesi dan tindak lanjut (action plan)
bagi karyawan yang memiliki kinerja dan potensi optimal (Kebijakan Talent
Management no CPL 1144). Lebih lanjut, talent sendiri juga didefiniskan secara berbeda-beda di berbagai
macam organisasi (Tansley, 2011). Di PT XYZ, talent didefinisikan sebagai Karyawan yang memegang posisi kunci (key position), dengan hasil kinerja yang
memenuhi atau melampaui target individu, dan memiliki potensi untuk terus
berkembang menjadi lebih baik dalam menjalankan tanggung jawabnya di
Perusahaan, baik saat ini maupun di masa mendatang sesuai kebutuhan bisnis (Kebijakan Talent Management no CPL 1144).
Pengelolaan talent management di PT XZY,
diatur melalui Kebijakan Talent Management no CPL 1144
Secara umum proses pengelolaan talent di PT XZY dimulai dengan
mengidentifikasi posisi kunci yang terdiri dari posisi kunci spesifik (specific key roles) dan posisi kunci
standar (standards key roles). Proses
ini bertujuan untuk mengidentifikasi posisi-posisi kunci yang apabila kosong
akan berdampak signifikan pada operasi bisnis dan kinerja perusahaan. Dalam
penentuan posisi-posisi kunci, perusahaan menggunakan dua ukuran utama, yaitu
dampak terhadap bisnis (impact to
business operations) dimana posisi
tersebut secara signifikan menentukan pendapatan, pangsa pasar, ataupun operasi
bisnis perusahaan dan keahlian atau pengetahuan unik (unique skill set or knowledge based) dimana untuk menduduki posisi
tersebut memerlukan kompetensi dan/atau pengalaman spesifik yang tidak mudah
diperoleh.
Tahapan kedua adalah pemetaan dan
klasifikasi talent (talent mapping and classification)
Bertujuan untuk memetakan dan
mengklasifikasikan talent berdasarkan
kriteria tertentu, yang digunakan dalam menentukan rencana pengembangan talent (talent development) dan rencana
suksesi (succession plan) sesuai
kebutuhan Perusahaan Pemetaan talent
dilakukan berdasarkan dua kriteria. Kinerja (performance) merupakan kriteria pertama, yaitu capaian kinerja yang
dilihat dari riwayat capaian kinerja selama periode tertentu. Adapun performance yang diukur PT XZY ada dua,
yaitu task performance dan contextual performance. Kriteria kedua
adalah potensi (potential) yang
merupakan potensi karyawan yang menjadi personality
traits termasuk learning agility
dan kompetensi, maupun indikator lainnya sesuai dengan ketentuan perusahaan.
Pada tahapan ini, karyawan akan dipetakan kedalam sembilan kotak (nine box matrix) yang merupakan hasil
kali dari kinerja dan potensi, melalui mekanisme review talent dan rencana suksesi (Talent
Review and Succession Planning) yang dilakukan tiap satu tahun sekali.
Tahapan berikutnya adalah melakukan
rencana suksesi (succession plan)
Bertujuan untuk menominasikan talent ke dalam rencana suksesi untuk
memastikan suksesi yang solid di
posisi kunci perusahaan. Output dari proses ini adalah peta talent dalam tiga kategori, yaitu short list talent (talent yang berada di kotak 6,8 dan 9 dan
siap sebagai suksesor dalam waktu 1 tahun)), long list talent (talent yang berada di kotak 5 dan 7 dan
siap sebagai suksesor dalam 3-5 tahun kedepan) serta out
of talent yang berada di kotak (1, 2, 3, dan 4 dan siap sebagai suksesor dalam
> 5 tahun). Selain memetakan talent, proses ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi kebutuhan development
para talent
Bagi PT XYZ, pengelolaan talent di tahun
2023 menjadi lebih signifikan, karena kondisi manpower dan suksesi di PT XYZ
Terdapat 375 karyawan yang akan pensiun dalam lima tahun ke
depan, dan dibutuhkan 101 suksesor untuk menduduki posisi kunci spesifik dan
posisi kunci standar. Gap terbesar pemenuhan talent di PT XYZ berada pada level middle management sebesar 284 orang. Permasalahan pertama dari
kebutuhan talent di PT XYZ adalah
mengenai ketersediaan talent. Dari
101 posisi yang membutuhkan suksesor dalam lima tahun ke depan, hanya terdapat
94 karyawan yang menjadi talent dan dipetakan dalam nine box matrix. Permasalahan kedua
berasal komposisi jumlah suksesor per posisi kunci, dari 128 posisi kunci hanya
39 posisi kunci saja yang memiliki satu suksesor short list, 42 posisi dengan satu suksesor long list dan 47 posisi dengan satu suksesor out of list.
Jika kita bandingkan dengan
data kebutuhan talent, dimana
dibutuhkan 101 suksesor dalam lima tahun ke depan dan talent yang siap menjadi suksesor dalam satu sampai tiga tahun
kedepan berjumlah 94 orang (jumlah short
list dan long list talent), maka
kondisi ini menempatkan PT XYZ dalam kondisi aging organization
Task Performance
Dimensi Task Performance
Dimensi dari task performance kemudian dikembangkan
oleh beberapa peneliti, salah satunya adalah Johson (2003) yang membagi dimensi
task performance menjadi enam
1) Keenam task performance tadi adalah job-specific task proficiency,
non-job-specific task proficiency, written a Johson, J.W nd oral communication proficiency,
management and administration, supervision dan conscientious initiative
2)
Job-specific task proficiency
mengacu pada kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang secara
spesifik terkait dengan pekerjaan tertentu. Contohnya, seorang ahli teknik yang
memiliki keahlian dalam merancang dan mengoperasikan peralatan khusus yang
diperlukan dalam pekerjaannya.
3)
Non-job-specific task proficiency
mencakup kemampuan yang relevan dengan pekerjaan secara umum, namun tidak terbatas
pada tugas-tugas yang spesifik. Contohnya, kemampuan menggunakan perangkat
lunak komputer, keterampilan presentasi, atau keterampilan analisis data yang
diperlukan di berbagai bidang pekerjaan.
4)
Written and oral communication proficiency
mengacu pada kemampuan seseorang dalam berkomunikasi secara efektif baik secara
tertulis maupun lisan. Contohnya, kemampuan menyusun laporan yang jelas dan
terstruktur, atau kemampuan menyampaikan presentasi dengan jelas dan
meyakinkan.
5)
Management and administration
mencakup kemampuan dalam mengelola dan mengadministrasi sumber daya, proses,
atau tim dalam konteks pekerjaan. Contohnya, kemampuan merencanakan dan
mengorganisasi proyek, kemampuan mengelola anggaran, atau kemampuan memimpin
tim dengan efektif.
6)
Supervision merujuk
pada kemampuan seseorang dalam mengawasi dan membimbing karyawan atau tim dalam
melaksanakan tugas-tugas mereka. Contohnya, kemampuan memberikan arahan yang
jelas, memberikan umpan balik yang konstruktif, atau kemampuan memotivasi
anggota tim untuk mencapai tujuan bersama.
7) dan conscientious
initiative mengacu pada kemampuan seseorang
untuk mengambil inisiatif, bekerja secara mandiri, dan bertanggung jawab
terhadap tugas-tugas yang melebihi harapan atau persyaratan pekerjaan.
Contohnya, kemampuan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah tanpa
pengawasan, atau kemampuan mengusulkan perbaikan atau inovasi dalam proses
kerja
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Task Performance
Task
performance dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memainkan
peran penting dalam menentukan sejauh mana seseorang, dalam hal ini adalah
karyawan dapat berhasil melaksanakan tugas-tugas pekerjaan (Landers, Bauer & Callan, 2017).
Kompetensi dan keterampilan:
Tingkat kompetensi dan keterampilan seseorang dalam menjalankan tugas-tugas
pekerjaan akan secara langsung memengaruhi tingkat kualitas dan efisiensi dalam
melaksanakan tugas. Semakin tinggi kompetensi dan keterampilan seseorang dalam
bidang yang relevan, semakin baik pula task
performance yang dapat dicapainya. Motivasi: Tingkat motivasi individu
dalam mencapai tujuan pekerjaan dapat mempengaruhi sejauh mana mereka bersedia
dan mampu berusaha secara maksimal. Motivasi yang tinggi dapat mendorong
seseorang untuk melaksanakan tugas dengan semangat, tekun, dan komitmen yang
tinggi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan task performance. Lingkungan kerja: Lingkungan kerja yang
mendukung, termasuk dukungan dari atasan dan rekan kerja, budaya kerja yang
positif, dan sumber daya yang memadai, dapat memberikan pengaruh signifikan
terhadap task performance.
Lingkungan kerja yang
memungkinkan kolaborasi, komunikasi yang efektif, serta memberikan kesempatan
untuk pengembangan dan pertumbuhan dapat meningkatkan performa individu dalam
menjalankan tugas-tugas pekerjaan. Faktor situasional: Beberapa faktor
situasional seperti tekanan waktu, sumber daya yang terbatas, kompleksitas
tugas, dan tantangan yang dihadapi dapat mempengaruhi task performance..
Kondisi yang menghambat, seperti deadline yang ketat atau beban kerja yang
berlebihan, dapat menghambat kemampuan seseorang dalam mencapai task performance yang optimal.
Dukungan organisasi: Dukungan yang diberikan oleh organisasi, seperti
program pengembangan karyawan, pelatihan, sistem penghargaan, dan kebijakan
yang mendukung keseimbangan kerja-hidup, juga dapat mempengaruhi task
performance. Dukungan organisasi yang baik dapat meningkatkan motivasi,
meningkatkan keterampilan, dan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi
peningkatan task performance.
Alat Ukur Task
Performance
Salah
satu skala task performance yang cukup popular, dikembangkan oleh
Koopmans, et al. (2014). Skala ini
dikenal sebagai individual work
performance questionnaire (IWPQ) dengan menggunakan skala linkert lima
point. Item sampel yang digunakan untuk
skala meliputi “Saya berhasil merencanakan pekerjaan saya sehingga selesai
tepat waktu” dan “Saya dapat memisahkan masalah utama dari masalah sampingan di
tempat kerja.” Nilai alpha cronbach untuk skala ini adalah 0,84, kemudian
menjadi 0.65 pada IWPQ versi 2, dan 0,38 pada IWPQ versi 3. Dengan melihat hasil uji alpha Cronbach
tersebut maka peneliti akan menggunakan skala IWPQ versi 3 yang dikembangkan
oleh Kopmanset
Contextual Performance
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Contextual performance
Beberapa peneltian menunjukan
faktor-faktor yang mempengaruhi contextual
performance diantaranya berasal dari continuous
learning r=0,23 (Budhiraja,
2021). Dipenelitian lain, Budhiraja (2021) juga menemukan korelasi antara continuous learning dengan contextual performance sebesar r=0,26. Hassan,
Asad dan Hoshino (2015) menemukan durasi
training, dan On-the-job training
berdampak pada contextual performance. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kalia
dan Bhardwaj (2019) menunjukan bahwa contextual
performance dipengaruhi oleh usia karyawan (F = 15.078), perbedaan level pendidikan contextual performance (F = 4.712),
status pernikahan (F = 19.234), status pendapanan (F = 6.518), perbedaan
pendapatan (F = 72.932), masa jabatan kerja (F = 8.272), serta tipe organisasi (F = 8.000).
Alat Ukur Contextual Performance
Skala contextual
performance yang akan digunakan peneliti merupakan adaptasi alat ukur yang
dikembangkan oleh Koopmanset al (2014 halaman 132) versi 3. Skala ini dikenal sebagai individual
work performance questionnaire (IWPQ) dengan menggunakan skala linkert lima
point. IWPQ terdiri dari tiga dimesi yaitu task performance, contextual performance dan contraproductive behaviour. Nilai alpha cronbach untuk skala ini adalah 0,84, dengan p sebesar 0.65
pada IWPQ versi 2, dan p 0,38 pada IWPQ versi 3
Continuous Learning
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Continuous Learning
Continuous
learning ini
dipengaruhi oleh banyak factor. Berdasarkan penelitian
pendahuluan, seperti yang dilakukan oleh Maurer (2001), karyawan yang lebih tua
kurang berorientasi pada pembelajaran dan pengembangan, demikian pula
pengalaman juga dapat menghambat pembelajaran berkelanjutan. Namun, Maurer dan
Weiss (2010) berpendapat bahwa orang yang berpengalaman mengetahui pekerjaan
secara lebih rinci dan karena itu menyadari perlunya continuous learning untuk
menjadi pemain yang efektif. Rowold dan Schilling (2006) juga menunjukan bahwa
variabel penting yang dapat berpengaruh pada continuous learning adalah usia, posisi, pengalaman kerja,
pekerjaan, wawasan karir, harga diri, minat karir dan lainnya. Maurer, Weiss
dan Barbeite (2003) menemukan dalam penelitian mereka bahwa prediktor utama
dari partisipasi dalam kegiatan belajar adalah manfaat intrinsik yang dirasakan
(seperti perencanaan/ eksplorasi karir) atau hasil yang lebih dari harapan
bahwa partisipasi akan menghasilkan imbalan ekonomi atau ekstrinsik nyata
lainnya
Alat Ukur Continous
Learning
The Dimensions of a
Learning Organization Questionnaire (DLOQ) yang dikembangkan oleh Marsick
dan Watkins (2013) akan digunakan peneliti sebagai alat ukur untuk melihat
pengaruh continuous learning terhadap
task dan contextual performance.
Moilanen (2005) mengidentifikasi
dan membandingkan beberapa instrumen yang tersedia dalam hal ruang lingkup,
kedalaman, dan reliabilitas. Mereka
menyimpulkan bahwa Dimensi Kuesioner Organisasi Pembelajaran (DLOQ), yang
dikembangkan oleh Marsick dan Watkins, memenuhi tiga kriteria kelengkapan,
kedalaman, dan validitas, dan juga mengintegrasikan atribut penting dari
organisasi pembelajaran. DLOQ
terdiri dari tujuh dimensi yaitu continuous
learning, inquiry
and dialogue, Encourage
collaboration and team learning, systems to capture and share learning, empower people toward a collective vision, connect the organization to its environment, provide strategic leadership for learning. Saat ini ada dua versi DLOQ, satu versi lengkap dengan 43
item pengukuran, yang telah terbukti berguna sebagai alat diagnostik bagi para
praktisi yang menginginkan penilaian dan informasi budaya pembelajaran yang
komprehensif untuk membuat keputusan di mana harus mengintervensi. Versi kedua adalah bentuk singkat yang
berisi 21 dari 43 item asli tetapi masih memiliki validitas dan reliabilitas
konstruk. Untuk
kepentingan penelitian, peneliti hanya akan menggunakan dimensi continuous learning dari DLOQ versi
kedua.
Peran Continuous
Learning Terhadap Task Performance
Proses continuous
learning dapat meningkatkan task performance melalui beberapa
mekanisme yang terjadi dalam organisasi (Shin, Lee, Kim & Kim, 2017). Pertama, dengan terus menerus belajar dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang relevan, karyawan
dapat meningkatkan keahlian mereka dalam menjalankan tugas-tugas yang spesifik.
Dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik, karyawan dapat
menjadi lebih efisien dan efektif dalam melaksanakan tugas-tugas mereka,
menghasilkan hasil yang lebih baik dalam hal kualitas, produktivitas, dan
akurasi. Lebih lanjut, melalui proses continuous
learning, karyawan dapat memperoleh wawasan baru, pemahaman yang lebih
mendalam dan perspektif yang lebih luas terkait dengan tugas-tugas karyawan.
Hal ini dapat membantu karyawan mengembangkan kemampuan analitis dan pemecahan
masalah yang lebih baik, sehingga
mampu mengatasi tantangan yang kompleks dan menemukan solusi yang inovatif.
Dengan memiliki kemampuan ini, karyawan dapat menghadapi tugas-tugas yang lebih
menantang dengan lebih percaya diri dan mampu menghasilkan kinerja yang lebih
baik (Anam Amin & Lodhi, 2013). Selain itu, proses
continuous learning juga memungkinkan
karyawan untuk mengikuti perkembangan terbaru dalam bidang mereka dan
mengadopsi praktik terbaik yang telah terbukti berhasil. Dengan terus mengikuti
tren dan perkembangan, karyawan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan baru ke dalam tugas-tugas mereka, meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja karyawan (Sonnentag & Frese, 2002). Dengan demikian, melalui proses continuous learning, karyawan dapat
terus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan,
mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam, dan mengadopsi praktik terbaik.
Hal ini dapat meningkatkan task
performance karyawan, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada
pencapaian tujuan organisasi dan keberhasilan secara keseluruhan.
Budhiraja (2023) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara continuous learning
dan task performance, dengan koefisien korelasi sebesar 0,32. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat continuous
learning yang dilakukan oleh karyawan, semakin baik pula kinerja mereka
dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Hassan et al. (2016) juga mengungkapkan bahwa on the job training memiliki dampak yang
lebih baik pada task performance dibandingkan dengan off the job training. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran
yang terjadi secara langsung di lingkungan kerja, melalui pelatihan yang
disesuaikan dengan tugas-tugas yang harus dilakukan, memiliki efek yang lebih
positif terhadap peningkatan kinerja dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.
Semakin aktif karyawan dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan
kompetensi yang relevan dengan tugas-tugas yang diemban, semakin baik pula
kinerja mereka dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Penting bagi organisasi
untuk mendorong dan menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk terus belajar
dan mengembangkan diri guna meningkatkan task
performance secara keseluruhan. Dari literatur tersebut, maka hipotesis
pertama dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Hipotesis 1. Terdapat hubungan
antara Continuous Learning Terhadap Task Performance
Proses continuous learning
memiliki peran penting dalam meningkatkan contextual
performance, yaitu perilaku karyawan di luar tugas utama yang berkontribusi
pada efektivitas organisasi secara keseluruhan (Sonnentag &
Frese, 2002). Continuous learning memberikan
kesempatan kepada karyawan untuk terus mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan kompetensi yang relevan dengan lingkungan kerja mereka. Dalam konteks ini,
formal training di luar lingkungan kerja dan informal learning yang terjadi di
dalam pekerjaan sehari-hari menjadi elemen kunci. Melalui formal training,
karyawan dapat mengikuti program pelatihan yang dirancang khusus untuk
meningkatkan pemahaman mereka tentang aturan, prosedur, dan tuntutan pekerjaan.
Karyawan juga dapat mengembangkan keterampilan baru yang mendukung kerja tim,
komunikasi efektif, dan kepemimpinan yang baik (Johnson, 2001). Selain itu, informal learning yang
terjadi di tempat kerja melalui pengalaman langsung, kolaborasi dengan rekan
kerja, dan tanggung jawab tambahan juga memainkan peran penting dalam
meningkatkan contextual performance.
Karyawan yang terlibat dalam continuous
learning cenderung memiliki sikap proaktif dan berinisiatif dalam membantu
dan bekerjasama dengan orang lain, mendukung tujuan organisasi, dan mengikuti
aturan serta prosedur yang ditetapkan. Dengan adanya proses continuous learning, karyawan memiliki
kesempatan untuk terus mengasah keterampilan interpersonal, mengembangkan
kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan organisasi, dan memperluas
pemahaman karyawan tentang lingkungan kerja. Hal ini berdampak positif pada
lingkungan kerja yang kooperatif, penuh dengan kepercayaan, dan mendukung
perkembangan individu dan tim secara keseluruhan (Kahya, 2007). Dengan demikian, proses continuous learning memainkan peran yang
penting dalam meningkatkan contextual
performance karyawan. Organisasi yang mendorong dan memfasilitasi
kesempatan belajar yang berkelanjutan akan menciptakan lingkungan kerja yang memberdayakan
karyawan untuk berkontribusi secara lebih luas dalam mencapai tujuan
organisasi, membangun hubungan interpersonal yang kuat, dan meningkatkan
kepuasan serta retensi tenaga kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Bakker, Demerouti & ten Brummelhuis (2012) dan Budhiraja (2021) menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara continuous
learning dan contextual performance.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat continuous learning yang dimiliki oleh
karyawan, semakin tinggi pula tingkat contextual
performance yang mereka tunjukkan. Namun, penelitian tersebut juga
menemukan bahwa adanya faktor change
efficacy dapat mempengaruhi hubungan tersebut, di mana hubungan antara continuous learning dan contextual performance menjadi berkurang
menjadi tidak signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Judge,
LePine & Rich (2006) dan Hassan et al.
(2016) juga menemukan bahwa on the job
training memiliki dampak yang lebih baik pada contextual performance dibandingkan dengan off the job training. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang
terjadi di lingkungan kerja secara langsung dapat memberikan kontribusi yang
lebih besar dalam meningkatkan kemampuan karyawan dalam melaksanakan
tugas-tugas yang terkait dengan konteks organisasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Nawarathna, Abeykoon dan Harshani (2021) dan Anggara, Febriansyah,
Darmawan dan Cintyawati (2019) juga menunjukkan hubungan yang kuat dan
signifikan antara on the job training,
organisasi pembelajar, dan pengembangan karyawan dengan kinerja karyawan secara
keseluruhan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan
continuous learning melalui pelatihan di tempat kerja dan menciptakan budaya
pembelajaran yang kuat dalam organisasi dapat berdampak positif pada contextual performance karyawan.
Terdapat bukti yang konsisten dari berbagai penelitian yang menunjukkan
pengaruh positif continuous learning
terhadap contextual performance. Continuous learning membuka peluang bagi
karyawan untuk terus mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi
yang relevan dengan konteks kerja mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk
beradaptasi, bekerja sama dengan orang lain, dan mencapai tujuan organisasi
secara lebih efektif. Maka dari itu, kesimpulan hipotesis kedua dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Hipotesis 2. Terdapat hubungan
antara Continuous Learning Terhadap Contextual Performance
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara proses pembelajaran berkelanjutan (continuous learning) dengan kinerja dalam tugas-tugas spesifik dan kinerja kontekstual karyawan. Ditemukan bahwa pelaksanaan continuous learning dapat secara signifikan meningkatkan kinerja karyawan dalam tugas-tugas yang ditugaskan dan kinerja mereka dalam konteks pekerjaan di PT XYZ. Temuan ini menegaskan pentingnya mendorong karyawan untuk terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka melalui program-program pembelajaran yang berkelanjutan, sehingga memungkinkan mereka untuk memberikan kontribusi yang lebih baik dalam menjalankan tugas-tugas mereka serta dalam konteks pekerjaan secara keseluruhan di perusahaan tersebut.
BIBLILOGRAFI
Agarwal, R. (2020). Continuous Education, Training and
Development. International, 107–127.
Ahmad, M., Muazzam, A.,
Anjum, A., Visvizi, A., & Nawaz, R. (2020). Linking work-family conflict
(WFC) and talent management: Insights from a developing country. Sustainability, 12(7),
2861.
Anam Amin, R. S., &
Lodhi, M. R. N. (2013). The impact of employees training on the job performance
in education sector of Pakistan. Middle-East Journal of
scientific research, 17(9),
1273-1278.
Anggara, W. G., Febriansyah,
H., Darmawan, R., & Cintyawati, C. (2019). Learning organization and work
performance in Bandung city government in Indonesia: a path modeling
statistical approach. Development and
Learning in Organizations: An International Journal, 33(5), 12-15.
Bakker, A. B., Demerouti, E.,
& ten Brummelhuis, L. L. (2012). Work engagement, performance, and active
learning: The role of conscientiousness. Journal
of vocational behavior, 80(2),
555-564.
Borman, W. C. & Motowidlo, S. J. (1993) Expanding the Criterion Domain to Include
Elements of Contextual Performance. Personnel Selection in Organizations
San Francisco: Jossey-Bass, 71-98
Budhiraja, S. (2021). Can
continuous learning amplify employees' change-efficacy and contextual
performance? Evidence from post-merger Indian organization. International Journal of Manpower, 42(6), 1144-1158.
Collings, D. G., &
Mellahi, K. (2009). Strategic talent management: A review and research
agenda. Human resource
management review, 19(4),
304-313.
Dunn, S. C., Jasinski, D.,
& O'Connor, M. (2005). A process model for educonsulting. On the Horizon, 13(3),
148-160.
Glassman, K., & Withall, J. (2018). Nurse
Manager Learning Agility and Observed Leadership Ability: A Case Study
[Article]. Nursing Economics, 36(2), 74-82
Hassan, H., Asad, S., &
Hoshino, Y. (2016). Connecting the post-training task and contextual
performance with the essentials of training program and characteristics of
trainees. International Journal
of Business and Management, 11(4),
48.
Jackson,
S. E., & Schuler, R. S. (1990). Human resource planning: Challenges for
industrial or organizational psychologists. American
Psychologist, 45(2), 223−239
Järvi, K., & Khoreva, V. (2020). The role
of talent management in strategic renewal. Employee Relations: The
International Journal, 42(1), 75-89.
Johnson, J. W. (2001). The
relative importance of task and contextual performance dimensions to supervisor
judgments of overall performance. Journal of applied
psychology, 86(5),
984.
Johnson, J. W. (2003). Toward a better
understanding of the relationship between personality and individual job
performance. Personality and work: Reconsidering the role of personality in
organizations, 83, 120.
Judge, T. A., LePine, J. A.,
& Rich, B. L. (2006). Loving yourself abundantly: relationship of the
narcissistic personality to self-and other perceptions of workplace deviance,
leadership, and task and contextual performance. Journal of applied psychology, 91(4), 762.
Kahya, E. (2007). The effects
of job characteristics and working conditions on job performance. International journal of industrial ergonomics, 37(6), 515-523.
Kalia, N., & Bhardwaj, B.
(2019). Contextual and task performance: do demographic and organizational
variables matter?. Rajagiri Management
Journal, 13(2),
30-42.
Koopmans, L., Bernaards, C.
M., Hildebrandt, V. H., Schaufeli, W. B., de Vet Henrica, C. W., & Van Der Beek,
A. J. (2011). Conceptual frameworks of individual work performance: A
systematic review. Journal of
occupational and environmental medicine, 53(8), 856-866.
Koopmans, L., Bernaards, C.
M., Hildebrandt, V. H., Schaufeli, W. B., de Vet Henrica, C. W., & Van Der
Beek, A. J. (2011). Conceptual frameworks of individual work performance: A
systematic review. Journal of
occupational and environmental medicine, 53(8), 856-866.
Landers, R. N., Bauer, K. N.,
& Callan, R. C. (2017). Gamification of task performance with leaderboards:
A goal setting experiment. Computers in Human
Behavior, 71,
508-515.
Lombardo, M. M., & Eichinger, R. W.
(2000). High potentials as high learners. Human Resource Management, 39,
321-330.
Marsick,
V. N., & Watkins, K. E. (2013). Displaying The Cultural Values of Learning
Organization: Dimension of the Learning Organization Questionnaire. Adv Dev
Human Resources: 132-51
Maurer, T. J. (2001).
Career-relevant learning and development, worker age, and beliefs about
self-efficacy for development. Journal of management, 27(2), 123-140.
Maurer, T. J., & Weiss,
E. M. (2010). Continuous learning skill demands: Associations with managerial
job content, age, and experience. Journal of Business
and Psychology, 25,
1-13.
Maurer, T. J., Weiss, E. M.,
& Barbeite, F. G. (2003). A model of involvement in work-related learning
and development activity: The effects of individual, situational, motivational,
and age variables. Journal of applied
psychology, 88(4),
707.
Michel, B. R., Lokre, P.,
Subramanian, A. R., Kannan, M., & Alvarado, G. M. (2022). A study on skills
gap beyond COVID. Journal of Innovation
in Polytechnic Education, 4(1),
57-61.
Miller, A. R. (2016). The
Influence of Education and Experience upon Contextual and Task Performance in
Warehouse Operations.
Moilanen, R. (2005).
Diagnosing and measuring learning organizations. The Learning Organization, 12(1), 71-89.
Mulyapradana, A., Fitria, J.,
Hakim, M., & Huda, S. T. (2020). The Impression of Job Training and Work
Motivation Effect at PT. Aksata Satya Pratama Jakarta. International Journal of Science, Technology & Management, 1(4), 442-447.
Nawarathna, N., Abeykoon, M. W. M., & Harshani, M. D.
R. (2021). The Impact of ‘on the Job Training’on Employee Performance: A Study
of Production Assistants in Noritake Lanka (Pvt) Limited, Mathale, Sri Lanka.
Pramono, A. C., &
Prahiawan, W. (2022). Effect of training on employee performance with
competence and commitment as intervening. Aptisi Transactions on Management, 6(2), 142-150.
Rowold, J. &
Schilling, J. (2006). Effects
of career-related continuous learning on competencies. Career
Development International, 11(6),
489-503
Shin, H., Lee, J. K., Kim, J., & Kim, J.
(2017). Continual learning with deep generative replay. Advances in
neural information processing systems, 30.
Sonnentag, S., & Frese,
M. (2002). Performance concepts and performance theory. Psychological management of individual performance, 23(1), 3-25.
Tansley, C. (2011). What do
we mean by the term “talent” in talent management?. Industrial and commercial training, 43(5), 266-274.
Copyright
holder: Novianta Kuswandi, Tulus Budi
Sulistyo Radikun (2024) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |