Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 5, Mei 2024

 

DEMAGOG HOAKS KAPITALISME DIGITAL PERSPEKTIF THEODOR W. ADORNO DAN BUDAYA MASSA

 

Ressa Uli Patrissia1*, Mochamad Husni2

Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta, Indonesia1

Universitas Sahid, Jakarta, Indonesia2

Email: [email protected]1*, [email protected]2

 


Abstrak

Kekhawatiran tentang pengaruh kapitalisme terhadap masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment. Tujuannya untuk memahami bagaimana industri budaya dan digitalisasi memengaruhi budaya dan politik kontemporer. Metode penelitian melibatkan analisis literatur dan data dari berbagai sumber untuk menggambarkan dampak digitalisasi, khususnya dalam penyebaran berita palsu dan pembentukan opini publik. Hasil menunjukkan bahwa teknologi, seperti media sosial dan kecerdasan buatan, telah menjadi alat utama dalam memengaruhi persepsi dan perilaku politik masyarakat. Hal ini tercermin dalam penyebaran berita palsu yang semakin meluas dan penggunaan teknologi untuk memanipulasi opini publik. Kesimpulannya, perlu perhatian serius terhadap masalah ini, dengan memperkuat literasi digital dan kritis masyarakat serta menegakkan regulasi yang membatasi penyebaran berita palsu.

Kata kunci: Industri budaya, digitalisasi, berita palsu, politik, teknologi.

 

Abstract

Concerns about the influence of capitalism on society, as expressed by Adorno and Horkheimer in the Dialectic of Enlightenment. The aim is to understand how the culture industry and digitization affect contemporary culture and politics. The research method involves analyzing literature and data from various sources to illustrate the impact of digitization, particularly in the spread of fake news and the formation of public opinion. The results indicate that technology, such as social media and artificial intelligence, has become a primary tool in influencing the perceptions and political behavior of society. This is reflected in the increasingly widespread dissemination of fake news and the use of technology to manipulate public opinion. In conclusion, serious attention is needed to address this issue by strengthening digital literacy and critical thinking among the public and enforcing regulations to limit the spread of fake news.

Keywords: Culture industry, digitization, fake news, politics, technology.

 

Pendahuluan

Ketika Theodore W. Adorno dan Max Horkheimer, dua tokoh paling terkemuka dari Sekolah Frankfurt, menerbitkan karya mereka Dialectic of Enlightenment pada tahun 1947, Perang Dunia Kedua telah mengguncang dunia dan hampir membunuh semua harapan keselamatan umat manusia. Narasi besar seperti Marxisme yang sebelumnya mengumumkan akan datangnya revolusi yang adil bagi kaum tertindas, dan Humanisme yang menunjukkan jalan menuju keharmonisan hidup seluruh umat manusia, ditinggalkan karena peperangan yang terjadi telah menghancurkan harapan umat manusia untuk mencapai cita-cita tersebut pada masanya. Adorno dan Horkheimer takut akan bahaya yang ditimbulkan oleh masyarakat totaliter dan kapitalis terhadap warganya. Mereka menegaskan bahwa kapitalisme menciptakan ‘industri budaya’ yang digunakan untuk membodohi dan menundukkan masyarakat dengan mengubah mereka menjadi massa yang tidak kritis (Ozenc-Ira, 2023).

Mengingat sistem kapitalis yang muncul sebagai industri budaya, massa diberikan hiburan yang dapat dicapai dengan mudah dan mengalihkan perhatian mereka dari sifat sebenarnya dan kekejaman sistem penguasa. “Hiburan adalah perpanjangan kerja di bawah kapitalisme akhir. Hal ini dicari oleh mereka yang ingin melepaskan diri dari proses kerja mekanis sehingga mereka dapat menghadapinya kembali” (Horkheimer et al., 2002). Oleh karena itu, budaya massa atau budaya populer berubah menjadi ‘surga’ yang aman ketika seseorang menjalani tugas-tugas berat sehari-hari. Meskipun demikian, hal ini pada gilirannya membuka jalan bagi para pekerja untuk menjadi terjebak dengan produk-produknya. Mereka yang terjebak, gagal melakukan kontemplasi sendiri yang berujung pada kehilangan individualitasnya (Wiggershaus, 1994).

Produksi barang secara massal dan budaya hiburan yang meresap di Amerika Serikat pada masa migrasi terpaksa Adorno ke Amerika Serikat di tahun 1933, membawanya pada kesadaran bahwa pengendalian ‘Enlightment’ (Pencerahan) tidak hanya dilakukan dengan cara kekerasan tetapi juga diwujudkan dengan cara yang licik untuk mengikis budaya dan kehidupan kita sehari-hari, yang disebut industri budaya. Adorno berpendapat industri budaya pada dasarnya adalah Pencerahan sebagai penipuan massal, yaitu Pencerahan yang palsu; dimana individu dibimbing untuk membuat pilihan-pilihan yang tampaknya bebas yang pada hakikatnya dirancang (Horkheimer et al., 2002).

Meluasnya penggunaan teknologi seluler telah merambah kehidupan masyarakat di semua kelompok umur dengan penggunaan ponsel pintar dan tablet yang terkesan “alami”. Namun, proses digitalisasi dan dampaknya terhadap transformasi masyarakat menuju era digital lebih dari sekedar penggunaan teknologi digital. Digitalisasi kehidupan sehari-hari berarti bahwa komunikasi dan negosiasi makna sosial dan sosial dikonstruksi bersama oleh pengguna dan teknologi seluler sehingga mengaburkan batas antara online dan offline (Jordan, 2009). Tingginya tingkat digitalisasi di semua kelompok umur dan keterpaduan proses sosial melalui sistem digital merupakan argumen utama mengapa masyarakat saat ini dapat digambarkan sebagai masyarakat pasca-digital (Cramer, 2015). Pasca digital ini mengungkapkan naturalisasi sistem digital dan, pada saat yang sama, ketidakmungkinan menganggap ruang analog tidak bergantung pada ruang digital, yang menambah ekspektasi budaya baru terhadap aspek sosial, kebersamaan dan mutualitas (Neves et al., 2013).

Era pasca-digital ditandai dengan pengklasifikasian algoritma, yang disebut kecerdasan buatan (AI). Dari penelusuran online hingga navigasi atau menelusuri umpan berita milik sendiri, hasil yang ditampilkan di sana didasarkan pada klasifikasi pengguna sebelumnya. Klasifikasi ini, yang penting dalam penggunaan teknologi digital, dapat dilihat sebagai subjektifikasi tersembunyi, yang bertahan di dunia digital atau baru diciptakan. Apa pun yang terjadi, keduanya secara tegas membentuk ruang aksi analog dan digital. Oleh karena itu, telah muncul suara-suara kritis telah menyoroti kekhawatiran mengenai kontrol eksternal serta keamanan data dalam penggunaan teknologi seluler digital sehari-hari (Helbing et al., 2019). Secara umum, digitalisasi telah mengubah makna sesuatu benda teknologi misalnya smartphone baik dalam hubungan sosial maupun dalam mendapatkan akses terhadap hubungan. Kekhawatiran ini muncul karena adanya transformasi sosial, dengan gaya hidup dan nilai-nilai yang menjadi lebih pluralistik, tatanan sosial dan organisasi menjadi tidak penting, dan kohesi generasi menjadi lebih rapuh.

Dalam editorial bulan November 2015, The New York Times memperingatkan pembacanya tentang sinergi berbahaya yang berkembang antara Donald Trump dan media sosial, Facebook di kala itu (The New York Times Editorial Board, 2015). Jika ditilik ke belakang, The Times dapat dikritik karena implikasinya bahwa kebangkitan Trump bisa saja diganggu oleh para jurnalis yang melakukan tugas tradisionalnya yaitu ‘membuka kedok’ para demagog. Namun, mengkritik ‘pengungkapan liberal’ sebagai sesuatu yang bersifat sukarela berarti mengabaikan pentingnya pengakuan mereka terhadap demagog sebagai ancaman. Penghasut klasik (demagog), yang dianggap sebagai individu yang berupaya memperbesar dirinya sendiri dengan menggunakan retorika yang berbeda dan memecah belah untuk mengeksploitasi kelemahan rezim di mana rakyatlah yang berdaulat. Modernitas demagog dalam aspek kontra-liberalnya mempersenjatai kaum populis dengan senjata retorika baru. Hal ini mencakup konsep atau “ideologi” baru untuk manipulasi (das Volk, orang atau rakyat; elit; bangsa; ras; kelas) dan teknik retorika baru, seperti propaganda yang berasal dari teknologi modern dan media massa, yang mencapai konektivitas dan pengaruh mediasi signifikan dengan hadirnya Internet atau media sosial (Patapan, 2019).

Sejak annus horribilis tahun 2016, peristiwa besar global seputar hoaks seperti pemilihan Presiden AS pemenangan Trump-Pence dan Cambridge Analytica dan Referendum Brexit Inggris tahun 2016, merupakan contoh berita politik yang salah atau sangat menyesatkan. Kekhawatiran terhadap berita palsu meningkat dua kali lipat pada tahun 2020 seiring dengan meluasnya misinformasi dan disinformasi di media sosial mengenai pandemi COVID-19. Secara semantik makna hoaks dapat membingungkan (Tandoc Jr et al., 2018). Hoaks terutama digunakan untuk merujuk pada konten yang menampilkan gaya berita konvensional yang sengaja dimaksudkan untuk memberikan informasi yang salah. Versi “berita palsu” ini pada dasarnya mengacu pada informasi palsu yang dikemas meniru berita dan memanfaatkan kepercayaan masyarakat yang sudah ada (existing belief) untuk mempengaruhi perilaku (Waisbord, 2018). Dalam kajian komunikasi politik terdapat krisis yang cukup gamblang, bahkan eksistensial sebab telah menjadi asumsi inti dari kenormalan liberal dalam komunikasi politik.

Selanjutnya penelitian Kozyreva (2020) menyatakan media sebagai tempat komunikasi terjadi, mengharuskan kita untuk berpikir kritis dan kreatif tentang media yang kita konsumsi, bagaimana media tersebut memengaruhi kita sebagai individu, dan bagaimana media tersebut membentuk budaya dan masyarakat kita. Intervensi inokulasi proaktif misalnya melalui game/tutorial disebut menjadi salah satu cara yang efektif membentuk kecakapan berdigital individu, tepat dalam mengevaluasi sumber berita dan melakukan fact-checking (Kozyreva, 2020). Penelitian lainnya menyatakan bahwa solusi permanen menangkal hoaks adalah dengan memberdayakan masyarakat sehingga mereka sendiri dapat menilai kredibilitas informasi. Pendekatan pendidikan berdasarkan literasi media adalah hal yang penting (Loos & Ivan, 2022).

Dalam kajian komunikasi politik terdapat krisis yang cukup gamblang, bahkan eksistensial sebab telah menjadi asumsi inti dari kenormalan liberal dalam komunikasi politik. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian diatas yang telah disebutkan diatas, sehingga state-of-art atau kebaruan penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana sebaiknya, pengkonsumsi berita menyiasati hoaks/fake news ini tanpa harus terbawa dalam permainan kapitalisme pemegang kekuasaan dengan menggunakan perspektif Adorno yang membantu kita menyadari bagaimana kenormalan liberal dalam komunikasi politik pada ekosistem digital melalui sosial media sedang menuju ke arah yang lebih buruk serta bagaimana penelitian ini dapat merespon hal ini ketika kita bergantung padanya dengan cara yang bahkan tidak kita sadari.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan pendekatan analisis teks kritis terhadap karya-karya teoretis dari Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan para ahli teori kritis lainnya, seperti pembahasan dalam "The Culture Industry Reconsidered". Analisis ini dilakukan untuk memahami pandangan mereka tentang industri budaya, digitalisasi, dan fenomena hoaks dalam konteks budaya dan politik kontemporer. Selain itu, metode penelitian juga mencakup penggunaan pendekatan interpretatif untuk memahami implikasi teori Marxis aliran Frankfurt dalam konteks media baru di era algoritma sosial dan digitalisasi. Data dan bukti diperoleh melalui analisis teks-teks klasik dan literatur terkait, serta penelusuran terhadap fenomena media sosial dan politik aktual untuk mendukung pemahaman tentang dampak industri budaya dan digitalisasi terhadap masyarakat dan politik saat ini. Kesimpulan dari analisis ini diinterpretasikan dalam konteks teori kritis dan disajikan dalam tulisan ini untuk menyajikan pemahaman yang lebih dalam tentang peran industri budaya, digitalisasi, dan media sosial dalam membentuk persepsi dan perilaku politik.

 

Hasil dan Pembahasan

Dalam polemik Theodor Adorno bertajuk The Culture Industry Reconsidered, para ahli teori kritis mengonfrontasi kekuatan nyata komunikasi industrial dan dampaknya. Dengan menginterogasi proses produksi, manipulasi, dan komodifikasi yang ada dalam manifestasi era teknologi kita, terdapat pemetaan yang cermat atas sesuatu yang sama sekali tidak manusiawi yang melekat dalam kemampuan kapitalisme untuk berinteraksi dengan masyarakat massa. Produk-produk budaya, yang dibentuk dari unsur-unsur inovasi teknis kontemporer yang bekerja berdampingan dengan pusat-pusat kekuasaan ekonomi dan administratif yang terkonsentrasi, menciptakan perpaduan antara yang lama dan yang baru, yang tinggi dan yang rendah, namun semuanya tidak memiliki sisi kemanusiaan yang dihargai. Sebaliknya, suara sang pemimpin dalam masyarakat dimodulasi, disesuaikan, dan diubah menjadi semacam senjata, untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan yang tersedia bagi segala hal yang secara budaya bersifat emansipatoris. Dengan berjangkar pada digital kapitalisme Fuchs diatas, poin 8-11 permasalahan industry budaya menjadi relevan untuk ditelusuri lebih lanjut dalam menganalisis fenomena hoaks yang bahkan dapat menjadi kendaraan pemenangan pencalonan presiden Trump di tahun 2016.

Radikalisasi nilai-nilai kemanusiaan yang berpusat pada pencapaian tujuan keuntungan ini tidak dilakukan untuk menciptakan keharmonisan, untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, melainkan untuk membuat stratifikasi dan memformulasikan kembali bidang intelektual yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sipil dan politik. Rasionalisasi mendalam standarisasi praktik, dan teknik distribusi produk kapitalis dalam hal ini dengan medium sosial media yang dilakukan Trump dan para pendukungnya, dalam hal ini pesan-pesan bernada demagogis Komunikasi politik dalam media sosial selaras sehingga menciptakan paksaan yang mendominasi yang tidak berkonfrontasi secara fisik, namun melingkari pikiran subjeknya, yang subjektivitasnya sendiri tunduk pada kehendak mesin budaya industri.

Bagaimana hal ini sesuai dengan konteks media baru di era algoritma sosial, bot otomatis, dan intrusi digital yang meluas ke dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita merasakan kebebasan saat mengunggah detail personal kita ke cloud? Industri kebudayaan, sebagaimana istilah Adorno, telah mengambil jalan memutar yang jauh lebih jahat daripada yang mungkin ia bayangkan. Ruang produksi industri baru ini telah diprofesionalkan, direifikasi, terkomputerisasi, dan didukung dengan kekuatan rekayasa algoritmik. Industri budaya belum membuat kita menjadi lebih bebas, reflektif, atau bahkan mampu mengenali rantai manipulasi yang kini melanda nirkabel telekomunikasi. Komodifikasinya tidak berakhir pada cerita, film, atau pernak-pernik seni belaka; manusia itu sendiri telah menjadi komoditas, mulai dari kepribadian, penampilan, hingga transendensi spiritual. Masyarakat massa bukan lagi penontonnya, melainkan produknya sendiri. Kecerdasan buatan (AI) menjadi teknologi berikutnya yang mengubah ruang publik secara signifikan dan dalam berbagai cara (Schäfer, 2015). Sejauh ini, AI telah digunakan untuk menyediakan dan mengatur arena komunikasi publik, misalnya melalui pemfilteran algoritmik terhadap konten yang tampaknya bermasalah, melalui algoritma pemberi rekomendasi, atau melalui chatbot sederhana berbasis aturan (Jungherr & Schroeder, 2023; Neff, 2016).  

Lebih lanjut, teori Marxis aliran Frankfurt sebagai pondasi Adorno mengacu pada budaya untuk menjelaskan bagaimana ideologi membentuk pemikiran kita dan membatasi ruang lingkup politik kita. Bagi Adorno, media massa yang paling siap menerima kritik adalah film dan televisi. Saat ini kita dapat mengatakan bahwa tempat paling relevan untuk mencari ideologi dalam dunia budaya adalah online, di media sosial. Hal ini dilihat para demagog hoaks menjadi sebuah taman bermain baru yang didorong oleh kemajuan teknologi sehingga dapat lebih masif implikasinya.

Apa yang diidentifikasi Adorno sebagai penghapusan ‘batas antara budaya dan realitas empiris’ merupakan hal yang mewabah di media sosial. Contohnya kegagalan Facebook menghentikan penyebaran berita palsu selama musim kampanye seharusnya tidak mengejutkan; para ahli logika terlalu terfokus pada algoritma mereka—(dan pendapatan yang mereka hasilkan dari traffic hoaks tersebut)—untuk melakukan intervensi hasil kampanye.

Tapi siapa yang bisa memutuskan berita mana yang palsu? Adorno mungkin akan merasa ngeri dengan istilah “berita palsu”, yang menyiratkan bahwa sebagian besar media menyajikan berita yang, dalam arti tertentu dan bermakna, “nyata”. Faktanya, kesimpulan utama dari teori “industri budaya” Adorno yang terkenal adalah bahwa media massa tidak mengarah pada pemikiran kritis dan perlawanan – justru sebaliknya. Dalam setiap produk budaya, kerangka pemikiran kita yang membentuk interpretasi kita terhadap peristiwa dan membatasi kemampuan kita untuk berpikir melampaui apa yang kita yakini ada.

“Film, radio, dan majalah membentuk suatu sistem,” tulis Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialektika Pencerahan. “Setiap cabang kebudayaan sepakat dalam dirinya sendiri dan semuanya sepakat bersama-sama. Bahkan manifestasi estetis dari pertentangan politik hoaks ini menyatakan ritme yang sama dan tidak fleksibel.” Semua berita, bisa dibilang, adalah berita palsu – bukan karena sekelompok eksekutif hiburan berkonspirasi untuk mencuci otak kita, namun karena kita semua memahami dunia melalui cerita yang selalu parsial dan tidak pernah lengkap. Tidak peduli seberapa akurat perspektif kita, dalam menyusun pengalaman kita, ideologi pasti meninggalkan sesuatu.

Kekhawatiran utama Adorno adalah bahwa dalam industri budaya, yang terabaikan adalah pemahaman tidak hanya mengenai mekanisme nyata kekuasaan dalam masyarakat, namun juga kemungkinan bahwa mekanisme tersebut dapat diubah. Ketundukan dalam ranah budaya mempersiapkan kita sebagai prosumer untuk tunduk dalam ranah politik. Fungsi otoriter industri budaya telah meresap ke setiap tingkat keberadaannya, bahkan hingga bagaimana sebuah teks digital tertentu dikonstruksi.

Deformasi, distorsi, dan dekontekstualisasi kebenaran disebut dengan post-truth zaman. Di era ini, kebenaran menjadi tidak penting, dan kekuatan media sosial semakin besar dan cepatnya penyebaran kebohongan menjadi isu yang paling penting. Belakangan, banyak orang memposting ulang informasi di media sosial tanpa bertanya atau mengecek kebenaran, sehingga mengarah pada distorsi fakta (McIntyre, 2018). Contoh paling signifikan dari era post-truth dapat dilihat dalam dunia politik. Diketahui bahwa Donald Trump telah mengutarakan enam ribu tiga ratus tujuh puluh kebohongan selama masa kepresidenannya (McIntyre, 2018). Di luar fakta bahwa politisi mencoba untuk meyakinkan masyarakat melalui demagoginya tentang realitas alam semesta khayalan, perlu diperhatikan bahwa kebohongan menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran, dan dampaknya tidak dapat diprediksi (McIntyre, 2018).

Studi ini menunjukkan bahwa instrumentalisasi strategis dari ancaman disinformasi dapat merusak demokrasi deliberatif. Ketika sebagian besar masyarakat tidak mempercayai sumber informasi dan terjadi penolakan langsung dari politisi terhadap informasi faktual, maka terjadi pemahaman bersama tentang realitas yang menjadi dasar perdebatan demokratis (Egelhofer, et al, 2022). Kemungkinan pengentasan ujaran kebencian, keterasingan individu, dan penajaman ideologi dapat meningkatkan intensitas dan cakupan disinformasi. Penting untuk menemukan kesamaan dasar untuk menjamin perdamaian sosial. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, disinformasi dan fakta harus dikendalikan dan kebohongan harus dibedakan, dan kecepatan penyebaran fakta harus dibedakan dibalik agar berita tersebut menyebar lebih cepat dibandingkan berita palsu (Olaru, 2023).

Berbagai klasifikasi berita palsu yang muncul selama ini seringkali terkonsentrasi pada jenis pemalsuan yang digunakannya. Beberapa di antaranya merujuk pada cara manipulasi yang digunakan dalam berita palsu, sementara yang lain merujuk pada tempat publikasi atau tingkat kepalsuan berita tersebut, jika digabungkan, mereka membentuk bidang-bidang yang berpotensi menjadi perhatian penelitian ini. Melihat berita palsu sebagai alat disinformasi yang sengaja dibuat untuk menipu audiensnya, memungkinkan kita membedakan dua jenis klasifikasi: spektakuler dan dibuat-buat. Berita palsu diklasifikasikan sebagai berita spektakuler jika didasarkan pada keyakinan dan prasangka agama, sedangkan berita palsu yang dibuat-buat mengacu pada berita yang dibuat untuk keuntungan politik atau finansial, serta berita yang menimbulkan kerugian. Pembedaan ini sudah menghadirkan berita palsu yang berkaitan dengan bidang kehidupan manusia tertentu, baik politik, agama, atau ideologi (Rosinska, 2021).

Meskipun penelitian mengenai studi media mengungkapkan bahwa berita palsu adalah masalah yang memiliki banyak segi dan memiliki beberapa elemen, klasifikasi yang ada saat ini kurang memiliki pendekatan tematik yang koheren untuk memahaminya. Fenomena berita palsu sering kali menjadi subyek pengawasan kritis. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan komprehensif terhadap bidang-bidang tertentu yang terkena dampak penyebaran informasi palsu. Upaya ini akan memfasilitasi identifikasi topik-topik yang sangat rentan terhadap disinformasi melalui berita palsu, membantu dalam pembuatan dan penerapan strategi pencegahan di domain tertentu.

 

Kesimpulan

Era digital telah memperkuat pengalaman ketidaksesuaian melalui meningkatnya kompleksitas dan mengintensifkan kontradiksi, pada saat yang sama menidurkan pengguna media sosial ke dalam rasa keselarasan melalui pengakuan eksistensi dan penilaian yang dipersonalisasi dan langsung (real-time). Mengikuti gagasan Adorno yang tidak membentuk individu tetapi membentuk refleksi sadar terhadap mekanisme masyarakat, demagogi hoaks politik diteorikan sebagai ruang di mana ketidaksesuaian dapat direfleksikan, dinilai ulang, dan dibendung daripada dihindari dengan melebih-lebihkan gagasan dan peran yang diharapkan dari era pasca-digital. Pepatah menuju otonomi yang diusung Adorno berupaya untuk memahami struktur yang menindas dan mengubah hubungan kekuasaan yang mendasarinya dengan cara yang konstruktif dengan mengakui dan menolak fakta-fakta sulit tentang apa yang disebut Adorno modern dan penulis sebut sebagai kehidupan pasca-digital. Pengecekan fakta tradisional dan deteksi teknologi inovatif mungkin bisa membantu melawan berita palsu sampai batas tertentu, namun keduanya bukanlah solusi. Terlepas dari kelayakan teknisnya, berita palsu akan menjadi semakin canggih dan sulit (bahkan mustahil) untuk dideteksi.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Cramer, F. (2015). What is ‘Post-digital’? In Postdigital aesthetics: Art, computation and design (pp. 12–26). Springer.

Egelhofer, J. L., Boyer, M., Lecheler, S., & Aaldering, L. (2022). Populist attitudes and politicians’ disinformation accusations: effects on perceptions of media and politicians. Journal of Communication72(6), 619-632.

Helbing, D., Frey, B. S., Gigerenzer, G., Hafen, E., Hagner, M., Hofstetter, Y., Van Den Hoven, J., Zicari, R. V, & Zwitter, A. (2019). Will democracy survive big data and artificial intelligence? Towards Digital Enlightenment: Essays on the Dark and Light Sides of the Digital Revolution, 73–98.

Horkheimer, M., Adorno, T. W., & Noeri, G. (2002). Dialectic of enlightenment. Stanford University Press.

Jordan, B. (2009). Blurring boundaries: The" real" and the" virtual" in hybrid spaces. Human Organization, 68(2), 181–193.

Jungherr, A., & Schroeder, R. (2023). Artificial intelligence and the public arena. Communication Theory, 33(2–3), 164–173.

Kozyreva, A., Lewandowsky, S., & Hertwig, R. (2020). Citizens versus the internet: Confronting digital challenges with cognitive tools. Psychological Science in the Public Interest, 21(3), 103–156.

Loos, E., & Ivan, L. (2022). Fighting Fake News: A Generational Approach. MDPI-Multidisciplinary Digital Publishing Institute.

Neff, G. (2016). Talking to bots: Symbiotic agency and the case of Tay. International Journal of Communication.

Neves, B. B., Amaro, F., & Fonseca, J. R. S. (2013). Coming of (old) age in the digital age: ICT usage and non-usage among older adults. Sociological Research Online, 18(2), 22–35.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Olaru, G. O. (2023). The rapid diffusion of fake news: An analysis of content on migration, refugees, and conflict on international fact-checking platforms. Connectist: Istanbul University Journal of Communication Sciences, (65), 61-87.

Ozenc-Ira, G. (2023). Mapping research on musical creativity: A bibliometric review of the literature from 1990 to 2022. Thinking Skills and Creativity, 48, 101273.

Patapan, H. (2019). On populists and demagogues. Canadian Journal of Political Science/Revue Canadienne de Science Politique, 52(4), 743–759.

Rosińska, K. A. (2021). Disinformation in Poland: Thematic classification based on content analysis of fake news from 2019. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace15(4).

Schäfer, M. S. (2015). Digital public sphere. The International Encyclopedia of Political Communication, 15, 1–7.

Tandoc Jr, E. C., Lim, Z. W., & Ling, R. (2018). Defining “fake news” A typology of scholarly definitions. Digital Journalism, 6(2), 137–153.

The New York Times Editorial Board. (2015). Trump’s applause lies. The New York Times.

Waisbord, S. (2018). Truth is what happens to news: On journalism, fake news, and post-truth. Journalism Studies, 19(13), 1866–1878.

Wiggershaus, R. (1994). The Frankfurt School: Its history, theories, and political significance. mit Press.

 

 

Copyright holder:

Ressa Uli Patrissia, Mochamad Husni (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: