Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT DI DESA TANGGUL TLARE KECAMATAN KEDUNG KABUPATEN JEPARA

 

Bekti Utomo1, Raymundus Putra Situmorang2, Ellyta Anggraini3

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia1

Universitas Pertahanan RI, Atambua, Indonesia2

Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman, Ponorogo, Indonesia3

Email: [email protected]1, [email protected]2

   [email protected]3

 

Abstrak

Pengelolaan hutan mangrove merupakan hal yang penting dalam mengupayakan pelestarian lingkungan di kawasan pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kondisi hutan mangrove pasca rehabilitasi, 2) mengetahui dampak kegiatan rehabilitasi hutan mangrove terhadap masyarakat, 3) mengetahui bentuk partisipasi masyarakat terhjadap hutan mangrove, 4) mengetahui alternative strategi pengelolaan hutan mangrove secara ideal. Penelitian ini menggunakan pendekatan survei dengan wawancara dan pengamatan lapangan. Populasi adalah seluruh penduduk pesisir di daerah penelitian, teknik sampling menggunakancluster random sampling”. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi lapangan sedangkan analisi data strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dilakukan dengan pendekatan Analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) vegetasi mangrove yang ditemukan meliputi 4spesies dari 3 famili, yaitu family Avicenniaceae (Avicennia marina), family Euphorbiaceae (Excoecariaagallocha), dan family Rhizophoraceae (Rhizophoramucronata, Rhizophoraapiculata,, dan Bruguieragymnorizum) 2) Dampak  rehabilitasi hutan mangrove di daerah penelitian adalah  meningkatnya hasil tangkapan ikan, mengurangi abrasi pantai, menahan tiupan angin laut,  tangkapan biota meningkat (udang, kepiting, kerang) di pesisir, danmenjadikan kawasan tersebut menjadi daerah objek wisata.  3) bentuk partisipasi berupa pikiran sebesar (39.45%), tenaga (52.94%), keahlian (65.91%), dan barang/uang (50.88%), 4) strategi Pengelolaan mangrove di Desa Tanggul Tlare, Kabupaten Jepara terdiri dari 4 Prioritas utama yaitu pengembangan masyarakat dalam melakukan penanaman  berdasarkan potensi yang ada, peningkatan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya penebangan mangrove secara sembarangan, memberikan penyuluhan dan sosialisasi tentang lingkugan dan ekosistem mangrove, memberikan sosialisasi tentang penerapan peraturan pemerintah tentang lingkungan.

Kata kunci: dampak, hutan mangrove, masyarakat, pengelolaan

 

Abstract

Mangrove forest management is important in striving for environmental conservation in coastal areas. This study aims to 1) know the condition of mangrove forests after rehabilitation, 2) know the impact of mangrove forest rehabilitation activities on the community, 3) know the form of community participation in mangrove forests, 4) know alternative mangrove forest management strategies ideally. This study used a survey approach with interviews and field observations. The population is the entire coastal population in the study area, a sampling technique using "cluster random sampling".  The data collection method uses interviews and field observations while data analysis of coastal resource management strategies is carried out with a SWOT Analysis approach. The results showed that 1) mangrove vegetation found included 4species from 3 families, namely the family Avicenniaceae (Avicennia marina), family Euphorbiaceae (Excoecariaagallocha), and family Rhizophoraceae (Rhizophoramucronata, Rhizophoraapiculata, and Bruguieragymnorizum) 2) The impact of mangrove forest rehabilitation in the study area is increasing fish catches, reducing coastal abrasion, resisting sea breezes, increasing biota catches (shrimp, crabs, shellfish) in coastal, and make the area a tourist attraction.  3) the form of participation in the form of thoughts (39.45%), energy (52.94%), expertise (65.91%), and goods/money (50.88%), 4) mangrove management strategies in Tanggul Tlare Village, Jepara Regency consist of 4 main priorities, namely community development in planting based on existing potential, increasing socialization to the community about the dangers of indiscriminate mangrove logging, providing counseling and socialization about the environment and mangrove ecosystem,  Provide socialization about the application of government regulations on the environment.

Keywords: impact, mangrove forest, community, management

 

Pendahuluan

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting dan unik yang tumbuh di wilayah pesisir di sepanjang kawasan tropis dan subtropics (Jati & Pribadi, 2017). Ekosistem ini terdiri dari beragam spesies tumbuhan yang dapat hidup di daerah air payau, di antara daratan dan laut. Mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan pesisir dengan menyediakan habitat bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan, melindungi pantai dari abrasi dan badai, serta menyediakan sumber daya bagi masyarakat setempat (Al Idrus et al., 2018; Eddy et al., 2017). Namun, hutan mangrove semakin terancam akibat dari aktivitas manusia seperti penebangan untuk pembangunan pantai, pertambakan, dan industri. Oleh karena itu, perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove menjadi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan ekosistem ini dan manfaatnya bagi manusia dan lingkungan (Sirait & Silaban, 2021; Vatria, 2013).

Kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk tekanan dan pertumbuhan populasi yang cepat, terutama di daerah pesisir (Koda, 2021; Wardhani, 2011). Hal ini menyebabkan perubahan dalam penggunaan lahan dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam yang mengakibatkan penipisan dan kerusakan hutan mangrove dengan cepat. Selain itu, permintaan yang meningkat untuk produksi kayu juga menyebabkan eksploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove (Mangunjaya, 2006). Salah satu kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan adalah pembukaan tambak untuk budidaya perikanan yang secara signifikan menyebabkan hilangnya habitat dasar dan fungsi mangrove. Kerusakan kawasan hutan mangrove di Pantai Utara Provinsi Jawa Tengah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan, dengan 96,5% area mengalami kerusakan (62,5% berat dan 32,0% ringan), sementara hanya 3,5% yang masih utuh (Fadhilah & Susilowati, 2015).

Pengrusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pulau Jawa semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang lebih fokus pada wilayah pantai (Harefa et al., 2020; Haryanto, 2008). Transformasi yang terjadi di daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar hutan mangrove menyebabkan banyak area mangrove kehilangan fungsi alaminya. Kerusakan ini utamanya disebabkan oleh aktivitas manusia yang menggunakan dan menebang mangrove untuk kegiatan pertambakan, industri, pertanian, pemukiman, dan wisata dengan hanya sedikit bagian yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai tsunami, serta serangan hama dan penyakit (Purnobasuki, 2005).

Desa Tanggul Tlare, sebuah pemukiman pesisir di Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, memiliki ekosistem mangrove seluas 0,81 hektar terletak pada koordinat 110º 38’ 47” Bujur Timur dan 6º 38’ 57” Lintang Selatan. Salah satu masalah lingkungan yang membutuhkan perhatian serius di desa ini adalah abrasi yang terus menerus memanjangkan garis pantai sepanjang tahun menyebabkan luas daratan desa tersebut menyusut. Awalnya, Desa Tanggul dan Desa Tlare adalah dua desa terpisah yang berhadapan langsung dengan laut, tetapi karena abrasi yang parah, kedua desa tersebut digabung karena daratan mereka yang tergerus oleh abrasi. Aktivitas seperti pengambilan batu karang, penebangan mangrove untuk kayu bakar, dan penggunaan jaring cantrang oleh nelayan menjadi penyebab utama abrasi. Kondisi ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi penduduk Desa Tanggul Tlare yang mengalami peningkatan masalah setiap tahunnya akibat abrasi, bahkan sampai pada tingkat mengancam akses jalan utama masyarakat. Abrasi sebelumnya tidak terlalu parah karena adanya Pulau Karang Bokor di tengah laut Pantai Kedung, tetapi karena pulau tersebut sudah hilang, gelombang tidak terhalangi lagi menyebabkan abrasi semakin parah.

Di Desa Tanggul Tlare, masalah abrasi pantai yang berkelanjutan sepanjang tahun menyebabkan pengurangan luas daratan. Seperti yang dikenal, hutan mangrove memiliki peran fisik penting, termasuk mengurangi abrasi pantai, melindungi dari angin kencang dan gelombang laut, meningkatkan sedimentasi untuk pembentukan tanah timbul, dan mengontrol intrusi air laut. Melihat kerusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan, penting untuk mengelola hutan mangrove secara berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam, dengan memperhatikan nilai strategis hutan mangrove bagi masyarakat setempat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove di Desa TanggulTlare. Tujuan pendukungnya mencakup:

1)   Menilai kondisi hutan mangrove yang telah direhabilitasi di Desa Tanggul Tlare.

2)   Menilai dampak kegiatan rehabilitasi hutan mangrove terhadap masyarakat di Desa Tanggul Tlare.

3)   Menganalisis berbagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare.

4)   Mengidentifikasi model pengelolaan hutan mangrove yang optimal untuk diterapkan di Desa Tanggul Tlare.   

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini merupakan kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif, yang dikenal sebagai penelitian gabungan (mixed methods) (Sugiyono, 2017). Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2016 hingga Februari 2017 di Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. Populasi penelitian mencakup seluruh hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare serta masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove tersebut. Sampel untuk struktur vegetasi hutan mangrove diambil dari 3 lokasi yang mewakili berbagai kondisi, sedangkan sampel masyarakat dipilih menggunakan teknik sampel bertujuan atau purposive sampling, termasuk pemangku kepentingan seperti kelompok tani, kelompok karang taruna, LSM, aparat pemerintahan, dan masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung, wawancara, dan penyebaran kuesioner. Data kemudian dianalisis menggunakan metode statistik dan teknik kuantitatif yang relevan, seperti analisis SWOT untuk mengevaluasi pengelolaan hutan mangrove.

Studi ini bertujuan untuk memahami sejauh mana keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove serta dampaknya terhadap masyarakat di Desa Tanggul Tlare. Data biotik dan sosial dikumpulkan baik secara primer maupun sekunder, melalui observasi langsung, wawancara, dan penyebaran kuesioner. Analisis data biotik mencakup parameter seperti kerapatan, frekuensi, dan penutupan spesies mangrove, sementara analisis data sosial mencakup skoring dampak rehabilitasi hutan mangrove pada masyarakat serta bentuk partisipasi mereka dalam kegiatan rehabilitasi. Penggunaan teknik statistik sederhana dan analisis kualitatif akan membantu dalam memahami pola-pola yang muncul dari data yang terkumpul. Selain itu, analisis SWOT akan digunakan untuk mengevaluasi berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan hutan mangrove, dengan tujuan mengidentifikasi strategi yang tepat untuk optimalisasi pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare.

 

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi

Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Mangrove

1)   Stasiun 1 (Sekitar Sungai Pantai Cemara)

a)   Tingkatan Semai

Pada saat penelitian tingkatan semai pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang pohon kurang dari 5 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi pada stasiun 1 nilai kerapatan relatif (35.8) dan nilai frekuensi relatif (35), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada stasiun 1, spesies Rhizophora mucronata (70.8). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan pengukuran pada sampel berukuran 2x2m didapat spesien Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.

 b). Tingkatan Pancang

Pada saat penelitian tingkatan pancang pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang pohon kurang dari 10 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (56.8) dan nilai frekuensi relative (33), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada stasiun 1, spesies Rhizophora mucronata (89.8). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 5x5m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.

c). Tingkatan Tiang

Pada saat penelitian tingkatan tiang pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang 10 cm-<20 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (36.3), dominansi relative (0.04), dan frekuensi relative (23), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada stasiun 1, spesies Rhizophora mucronata (59.3). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 10x10m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.

d). Tingkatan pohon

Pada saat penelitian tingkatan pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang 20 cm atau lebih. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relative (44), dominansi relatif (0.33), dan frekuensi relative (20), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada stasiun 1, spesies Rhizophora mucronata (64.3). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 20x20 m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.

 

Gambar 1. Diagram perbandingan Indeks Nilai Penting pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada stasiun 1

2)   Stasiun 2 (Tambak)

a)   Tingkatan Semai

Pada saat penelitian tingkatan semai pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang pohon kurang dari 5 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (41.79) dan frekuensi relative (30.07), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada stasiun 2, spesies Rhizophora Apiculata (71.86). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 2x2 m didapat spesies Rhizophora Apiculata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.

b). Tingkatan Pancang

Pada saat penelitian tingkatan pancang pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang pohon kurang dari 10 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (51.06) dan frekuensi relatif (41.05), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada stasiun 2, spesies Rhizophora mucronata (92.1). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 5x5 m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. 

c). Tingkatan Tiang

Pada saat penelitian tingkatan tiang pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang 10 cm-<20 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (65.21), dominansi relatif (0.05), dan frekuensi relatif (18.10), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada stasiun 2, spesies Brugueira Gymorizum (83.3) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 10x10 m didapat spesies Brugueira Gymnorizum yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. 

d). Tingkatan pohon

Pada saat penelitian tingkatan pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang 20 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (77.77), dominansi relatif (0.14) dan frekuensi relatif (29.75), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada stasiun 2, spesies Rhizophora Apiculata (107.6). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 20x20 m didapat spesies Rhizophora Apiculata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. 

 

Gambar 2. Diagram perbandingan Indeks Nilai Penting pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada stasiun 2

 

3)   Stasiun 3 (Sepanjang Pantai)

      a) Tingkatan Semai

Pada saat penelitian tingkatan semai pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang kurang dari 5 cm.  Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (38.35) dan frekuensi relatif (29.12), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada stasiun 3, spesies Rhizophora mucronata (67.4). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 2x2 m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.

     b). Tingkatan Pancang

Pada saat penelitian tingkatan pancang pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang kurang dari 10 cm.  Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (46.07) dan frekuensi relatif (34.52), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada stasiun 3, spesies Rhizophora mucronata (80.5). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 5x5 m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. 

     c). Tingkatan Tiang

Pada saat penelitian tingkatan tiang pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang 10 cm-<20 cm.  Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (38.54), dominansi relatif (0.52) dan frekuensi relatif (44.82), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada stasiun 3, spesies Rhizopora mucronata (83.7). Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 10x10 m didapat spesies Rhizophora mucronata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.   

    d). Tingkatan pohon

Pada saat penelitian tingkatan pohon mangrove yang diukur yaitu diameter batang 20 cm. Berdasarkan hasil analisis data parameter vegetasi maka penjumlahan nilai kerapatan relatif (32.81), dominansi relatif (0.10), dan frekuensi relatif (34.07), maka Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada stasiun 3, spesies Rhizopora Apiculata (66.9) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Hal ini menunjukan bahwa pada saat dilakukan penelitian pada sampel berukuran 20x20 m didapat spesies Rhizophora Apiculata yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.   

 

Gambar 3. Diagram perbandingan Indeks Nilai Penting pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada stasiun 3

 

Keanekaragaman/Kelimpahan Jenis (Heterogenity) Vegetasi Hutan Mangrove

Ragam jenis dalam suatu komunitas dipengaruhi oleh kerapatan populasi, jumlah jenis yang ada, dan seberapa luas penyebaran masing-masing jenis tersebut. Untuk mengevaluasi stabilitas ragam jenis, kita menggunakan nilai indeks keanekaragaman jenis (H’). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener paling tinggi terjadi di petak pada stasiun 3 dengan nilai 1,53, sedangkan yang terendah terjadi di stasiun 2 dengan nilai 1,28. Magurran (2013) menjelaskan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H') ini mencerminkan jumlah dan distribusi spesies dalam suatu lokasi, yang juga dipengaruhi oleh sebaran relatif populasi spesies. Masson (1981), jika nilai H' ≤ 1, keanekaragaman rendah, dan jika 1 ≤ H' ≤ 3, keanekaragaman sedang dengan tingkat stabilitas komunitas yang moderat.

Indeks Simpson digunakan untuk menunjukkan proporsi individu di dalam spesies (Magurran, 2013). Indeks ini untuk mengetahui kelimpahan spesies dimana dominansi 0.01-0.30 (rendah), 0.31-0.60 (sedang), 0.61-1.0 (tinggi). Berdasarkan hasil perhitungan bahwa stasiun 1 pada tingkatan pancang pada petak 5x5m memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 0.0771, pada stasiun 2 tingkatan semai pada petak 2x2m memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 0.7691, dan pada stasiun 3 tingkatan tiang pada petak 10x10 memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 0.7974. Maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan diversitas paling tinggi berada pada stasiun 3 yaitu tingkatan tiang pada petak 10x10 m sebesar 0.7974 sehingga kenaikan diversitas masuk pada kategori tinggi.

 

Kekayaan Jenis (Species Richness) Vegetasi Hutan Mangrove

Berdasarkan analisis yang dilakukan, terdapat dua tren yang muncul terkait dengan pertambahan jumlah individu (N) dan jumlah jenis (S) dalam penggunaan Indeks Margalef, yaitu sebagai berikut:

a)   Nilai indeks keanekaragaman Margalef akan meningkat ketika jumlah total individu yang diamati (N) meningkat, bersamaan dengan peningkatan jumlah jenis yang diamati (S).

b)   Nilai indeks keanekaragaman Margalef akan berfluktuasi jika hanya salah satu dari dua faktor, baik S atau N, mengalami peningkatan

Indeks Kekayaan Margalef menetapkan kategori kekayaan jenis sebagai berikut:

1) Jika Dmg < 3,5, maka kekayaan jenis dianggap rendah.

2) Jika 3,5 < Dmg < 5, maka kekayaan jenis dianggap sedang.

3) Jika Dmg > 5, maka kekayaan jenis dianggap tinggi.

Hasil penghitungan menujukkan bahwa di lokasi penelitian mempunyai Dmg 3,26. Berdasarkan penghitungan maka dapat disimpulkan bahwa Indeks Kekayaan Margalef yang memiliki nilai 3,5<Dmg<5 masuk pada kategori sedang. Jadi pada daerah lokasi penelitian tersebut kekayaan jenis hutan mangrove tergolong sedang karena mangrove tersebut bersifat homogen.

 

Kemerataan Jenis (Species Eveness) Vegetasi Hutan Mangrove

Kestabilan suatu spesies juga ditentukan oleh tingkat kemerataannya; semakin tinggi nilai H', semakin stabil keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut. Sebaliknya, semakin rendah nilai H', semakin rendah tingkat stabilitas keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut (Odum, 1996). 

Spesies yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi cenderung memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bertahan dalam jangka panjang. Untuk mengevaluasi kestabilan spesies dalam suatu komunitas, nilai indeks kemerataan jenis (e’) dapat digunakan. Semakin tinggi nilai e', semakin stabil keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut, sedangkan semakin rendah nilai e', semakin rendah pula tingkat kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut (Odum, 1996).

Untuk mengevaluasi struktur komunitas pohon di dalam plot penelitian, nilai indeks kemerataan antara jenis atau indeks Evenness (e) (Odum, 1996) dihitung sebagai berikut:

 Indeks Kemerataan Jenis

picture5

Dimana:

E = Indeks kemerataan jenis

H’ = Indeks keanekaragaman jenis shannon

S = Jumlah jenis yang ditemukan

 

Nilai E’ < 0,3 menunjukkan tingkat kemerataan jenis yang rendah, E’ = 0,3-0,6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis yang sedang, dan E’ > 0,6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis yang tinggi. Semakin tinggi nilai e’, semakin merata penyebaran jenis-jenis dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai Indeks Kemerataan Jenis pada stasiun 1 adalah 0,33, sedangkan pada stasiun 2 adalah 0,29, dan pada stasiun 3 adalah 0,34. Menurut konsep kemerataan, jika nilai indeks mendekati 1, hal ini menandakan penyebaran yang merata. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penyebaran spesies di setiap stasiun cenderung memiliki tingkat kemerataan jenis yang rendah.

 

Dampak Kegiatan Rehabilitasi Hutan MangroveTerhadap Masyarakat

Luas hutan mangrove di Kabupaten Jepara mencapai 7 hektar dan secara umum dalam kondisi baik. Kondisi ekosistem mangrove terluas berada di Kecamatan Kedung (32.92 ha).Luas hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare (4 ha).Kondisi yang masih baik dapat dijumpai di sepanjang pantai Kecamatan Kedung mulai dari Desa Kedungmalang sampai Desa Tanggultlare dan pada Daerah Ujung Piring Kecamatan Mlonggo. Jenis yang ditemukan antara lainRhizopora mucronata, Rhizophora Apiculata, Avicennia marina, Bruguiera Gymnorizum. Kedua lokasi ini merupakan representasi hutan mangrove di Kabupaten Jepara yang cukup lengkap dengan kondisi yang baik.Usaha untuk melestarikan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare sudah berjalan sejak tahun 2009.Pada awalnya kegiatan rehabilitasi ini dilakukan oleh masyarakat secara mandiri, tetapi seiring kondisi semakin rusak akibat abrasi maka sejak itulah ada tindak lanjut dan partisipasi dari LSM/Organisasi bahkan dari pemerintah untuk memberikan dukungan dalam proses rehabilitasi hutan mangrove.Rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah/LSM/Organisasi daerah yang dilakukan penanaman mangrove meliputi muara sungai, sepanjang pantai, dan tambak.Kondisi mangrove hasil rehabilitasi dalam kondisi baik.Lokasi pembibitan dan penanaman mangrove terutama di Kecamatan Kedung ada yang dilakukan swadaya oleh masyarakat di rumahnya dan ada yang dilakukan oleh UNDIP yaitu tepatnya di belakang kampus Kelautan UNDIP terdapat Arboretum (tempat persemaian) mangrove, yang berfungsi menyediakan bibit mangrove untuk kegiatan penanaman bakau (mangrove replant) dalam rangka memperbaiki ekosistem mangrove di daerah Teluk Awur dan Desa Tanggul Tlare. Kegiatan pembibitan dan penanaman ini sudah menjadi kegiatan tahunan, dan sudah dapat terlihat hasilnya.

Hasil penelitian di Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara yang melibatkan peninjauan dan wawancara dengan responden dari masyarakat dan pemerintah menunjukkan bahwa program rehabilitasi dan pengelolaan hutan mangrove dianggap akan memberikan dampak positif langsung pada kehidupan masyarakat. Responden menyatakan bahwa upaya rehabilitasi mangrove dapat berhasil jika mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang memandang penanaman mangrove sebagai sumber ekonomi yang berkelanjutan, bukan hanya untuk keuntungan ekonomi sesaat. Upaya rehabilitasi hutan mangrove dianggap penting sebagai langkah untuk mengurangi dampak bencana alam langsung yang terjadi di sekitar ekosistem pantai. Kegiatan rehabilitasi ini bertujuan untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang rusak di Desa Tanggul Tlare agar dapat kembali menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam pelaksanaan upaya rehabilitasi ini, partisipasi seluruh lapisan masyarakat yang terkait dengan kawasan mangrove dianggap sangat penting.

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner kepada masyarakat bahwa dampak yang ditimbulkan dengan adanya rehabilitasi hutan mangrove sangat banyak. Salah satunya yaitu mengurangi abrasi pantai, menahan tiupan angina besar yang berasal dari laut, semakin banyaknya tangkapan biota seperti udang, kepiting dan kerang (Munaji, 2022). Selain itu dengan adanya rehabilitasi hutan mangrove bisa menjadikan kawasan tersebut banyak ditumbuhi tanaman mangrove sehingga penghijauan akan sangat mudah didapat sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar untuk melakukan jalan-jalan ataupun berwisata di Desa Tanggul Tlare. Setelah dilakukannya rehabilitasi maka di lokasi tersebut akan memberikan manfaat untuk warga sekitar yang bermatapencaharian sebagai petani tambak/garam, hal ini dikarenakan dengan penanaman bibit-bibit mangrove yang masih kecil berupa semai ataupun pancang apabila dirawat dengan baik maka tanaman mangrove akan bisa tumbuh besar sehingga dapat memberikan manfaat terutama produksi garam ataupun ikan akan meningkat.

Tabel 1. Dampak Rehabilitasi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat

Skor

Kategori

Jumlah Responden

Persentase (%)

5-10

Rendah

7

13 %

11-15

Sedang

20

37 %

16-20

Tinggi

27

50 %

Total skor

 

54

100 %

Sumber: Analisis Data Primer 2017

 

Berdasarkan pada tabel 1 menyatakan bahwa dampak rehabilitasi terhadap masyarakat pada kategori rendah mempunyai nilai 13 %, kategori sedang 37 %, dan untuk kategori tinggi 50 %.  Pada kategori tinggi merupakan dampak rehabiilitasi yang mempunyai nilai tertinggi daripada lainnya, hal ini disebabkan karena masyarakat sudah sadar akan manfaat apabila daerah tersebut akan dilakukan rehabilitasi. Sehingga dengan adanya rehabilitasi maka kesejahteraan ekonomi masyarakat akan semakin meningkat. Rehabilitasi hutan mangrove tidak lepas dari peran masyarakat sekitar untuk mengelola. Masyarakat berperan serta dalam rehabilitasi hutan mangrove dikarenakan masyarakat merupakan orang yang setiap harinya berada di lokasi tersebut sehingga mengetahui benar kondisi hutan mangrove di sekitar.Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar11

Gambar 4. Diagram Dampak Rehabilitasi Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat

 

Gambar tersebut menunjukkan bahwa tanggapan responden masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, menunjukkan dampak yang positif dan masuk dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran yang tinggi di kalangan masyarakat Desa Tanggul Tlare. Masyarakat telah menyadari dan memahami bahwa melalui rehabilitasi hutan mangrove dapat memberikan manfaat secara fisik, kimia, biologis, dan ekonomi, serta dapat berfungsi sebagai area wisata, tempat penelitian, pendidikan, dan konservasi. Selain itu, keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove juga akan berdampak positif dalam hal ekonomi, karena kayu mangrove dapat digunakan sebagai bahan bangunan, bahan bakar, untuk peningkatan hasil tangkapan ikan dan udang, sedangkan kulit mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyamak, obat-obatan, dan bahan makanan (Siburian & Haba, 2016). Oleh karena itu, rehabilitasi mangrove diharapkan dapat memberikan dampak positif yang bermanfaat bagi masyarakat di Desa Tanggul Tlare.

 

Bentuk Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove memainkan peran kunci dalam menjaga keberlanjutan dan keberhasilan upaya konservasi (Siahaya et al., 2016). Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk, termasuk penyuluhan, penanaman mangrove, pemeliharaan, pengawasan, serta menyumbangkan keahlian, tenaga, atau sumber daya finansial. Dengan berpartisipasi aktif, masyarakat merasa memiliki tanggung jawab langsung terhadap lingkungan mereka dan merasa terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi ekosistem mangrove di sekitar mereka. Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan masyarakat lokal, upaya pengelolaan hutan mangrove dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan, dengan memperhatikan kebutuhan ekologis, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Menurut hasil penelitian, partisipasi masyarakat di Desa Tanggul Tlare meliputi kontribusi berupa ide, tenaga, keterampilan, serta sumbangan materi atau finansial.

a)   Pikiran

Partisipasi pikiran adalah bentuk keterlibatan aktif di mana individu menyumbangkan ide, gagasan, dan pandangan mereka untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan suatu program atau kegiatan. Melalui partisipasi ini, individu dapat berkontribusi dalam merancang solusi, merumuskan strategi, dan mengevaluasi progres suatu inisiatif. Dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka, partisipasi pikiran membantu memperkaya perspektif serta memajukan kemajuan dan efektivitas suatu kegiatan.

Partisipasi ini melibatkan memberikan masukan atau ide, memberikan saran, dan berkontribusi dalam menyusun rencana untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.  Masyarakat di Desa Tanggul Tlare sebagian besar memberikan kontribusi berupa memberikan saran kepada pemerintah mengenai penyebab abrasi di lokasi dan solusi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. Bentuk parisipasi ini sudah sering diberikan dari masyarakat lewat perundingan desa dan setelah dimusyawarahkan maka dari pihak desa memberikan saran kepada pemerintah/LSM/Organisasi yang langsung terlibat dalam pengelolaan mangrove.

 

Tabel 2. Kategori Partisipasi Masyarakat Berupa Pikiran

Kategori

Skor

Jumlah

Rendah

2-4

0

Sedang

5-7

28

Tinggi

8-9

26

Sumber: Hasil analisis data primer, 2017

Berdasarkan pada tabel 2 maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi masyarakat berupa pikiran yang mempunyai kategori tinggi berjumlah 26 dan skor nilai paling tinggi yaitu pada kategori sedang. Hal ini menyatakan bahwa masyarakat Desa Tanggul Tlare dalam berpatisipasi terhadap hutan mangrove masuk pada kategori sedang.

b)   Tenaga

Partisipasi melalui pemberian tenaga untuk mendukung usaha-usaha yang mendukung keberhasilan program merupakan sumbangan aktif dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk perbaikan atau pembangunan, serta memberikan pertolongan kepada orang lain secara sukarela. Posisi masyarakat sangat penting dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, karena tujuan pembangunan adalah mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh sejauh mana pembangunan itu membawa perubahan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam menentukan keberhasilan proses pembangunan, karena pembangunan yang sukses adalah hasil dari negosiasi antara kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah.

Bentuk partisipasi tenaga meliputi kegiatan seperti menanam mangrove, merawatnya, dan menjaga keamanan dalam proses rehabilitasi hutan mangrove. Partisipasi ini dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola hutan mangrove agar hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam bentuk partisipasi ini merupakan swadaya yang dilakukan atas kesadaran dari masyarakat akan pentingnya memelihara dan menjaga kelestarian hutan mangrove.

 

Tabel 3. Kategori Partisipasi Masyarakat Berupa Tenaga

Kategori

Skor

Jumlah

Rendah

2-4

0

Sedang

5-7

18

Tinggi

8-9

36

Sumber: Hasil analisis data primer, 2017

Berdasarkan pada tabel 3 maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi masyarakat berupa tenaga yang mempunyai kategori sedang berjumlah 18 dan skor nilai paling tinggi yaitu pada kategori tinggi. Hal ini menyatakan bahwa masyarakat Desa Tanggul Tlare dalam berpatisipasi terhadap hutan mangrove masuk pada kategori tinggi.

c)   Keahlian

Partisipasi keahlian terjadi ketika seseorang di masyarakat yang memiliki keterampilan khusus dalam pengelolaan hutan mangrove turut serta dalam proses tersebut. Peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove menjadi sangat vital karena mereka memiliki hubungan langsung dengan kawasan tersebut, seperti dalam kegiatan penanaman, pembibitan, pengamanan, dan pemeliharaan. Kontribusi keahlian tersebut bisa berupa pemberian bantuan dalam bidang keterampilan yang dimiliki untuk mendukung perkembangan program rehabilitasi hutan mangrove.

Bentuk artisipasi keahlian mencakup kontribusi masyarakat yang memiliki keahlian khusus dalam pengelolaan hutan mangrove. Dimana masyarakat menyumbangkan keahlian yang dimiliki untuk rehabilitasi mangrove berupa keahlian dalam pemeliharaan, keahlian dalam penanaman, dan keahlian dalam pengamanan hutan mangrove.  Partisipasi ini dilakukan oleh warga masyarakat karena di Desa Tanggul Tlare hanya ada beberapa orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengelola hutan mangrove agar hutan mangrove.

 

Tabel 4. Kategori Partisipasi Masyarakat Berupa Keahlian

Kategori

Skor

Jumlah

Rendah

2-4

0

Sedang

5-7

13

Tinggi

8-9

41

Sumber: Hasil analisis data primer, 2017

Berdasarkan pada tabel 4 maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi masyarakat berupa keahlian yang mempunyai kategori sedang berjumlah 13 dan skor nilai paling tinggi yaitu pada kategori tinggi. Hal ini menyatakan bahwa masyarakat Desa Tanggul Tlare dalam berpatisipasi terhadap hutan mangrove masuk pada kategori tinggi.

d)   Barang/Uang

Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi, seperti uang, barang, dan penyediaan fasilitas, merupakan kontribusi yang diberikan untuk mendukung program. Ini mencakup sumbangan dalam bentuk uang atau barang, baik barang jadi maupun bahan mentah, untuk membangun atau memperbaiki fasilitas bersama.

Salah satu contoh partisipasi dalam bentuk sumbangan uang atau barang adalah memberikan bibit mangrove kepada LSM atau pemerintah untuk ditanam di lokasi yang sering mengalami abrasi. Selain itu bentuk partisipasi yang disumbangkan berupa lahan tambak yang terkadang diberikan kepada masyarakat untuk dipergunakan untuk menanam bibit mangrove. Di Desa Tanggul Tlare sebagian besar masyarakat jarang menyumbang berupa uang, karena sebagian besar uang diberikan dari pemerintah kepada masyarakat untuk menanam bibit mangrove di lokasi yang sering terjadi abrasi dan masyarakat akan diberikan uang lelah Rp 25.000/hari dan insentif bonus setiap penanaman 10.000 bibit mangrove dan ini dilakukan pemerintah setiap tahunnya. 

 

Tabel 5. Katergori Partisipasi Masyarakat Berupa Barang/Uang

Kategori

Skor

Jumlah

Rendah

2-4

0

Sedang

5-7

49

Tinggi

8-9

5

Sumber: Hasil analisis data primer, 2017

Berdasarkan pada tabel 5 maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi masyarakat berupa barang/uang yang mempunyai kategori tinggi berjumlah 5 dan skor nilai paling tinggi yaitu pada kategori sedang. Hal ini menyatakan bahwa masyarakat Desa Tanggul Tlare dalam berpatisipasi terhadap hutan mangrove masuk pada kategori sedang.

 

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove

Manajemen ekosistem mangrove berfokus pada tiga tahapan, yakni evaluasi kondisi hutan mangrove, dampak dari upaya rehabilitasi, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya (Amir et al., 2021). Pentingnya pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove menekankan perlunya upaya konservasi yang berkelanjutan. Upaya perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove dianggap penting untuk memastikan kelangsungan ekosistem tersebut. Salah satu strategi untuk melindungi hutan mangrove adalah dengan mengalokasikan beberapa area sebagai kawasan wisata. Sementara itu, rehabilitasi hutan mangrove dilakukan bersama oleh masyarakat dan pemerintah untuk memulihkan ekosistem yang telah rusak memungkinkan fungsi ekosistem mangrove dapat kembali pulih. Dengan demikian, pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dan ideal dapat diwujudkan.

Setelah dilakukan perhitungan analisa SWOT, maka didapatkan hasil yaitu posisi model pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat masuk dalam kuadran I (Positif, positif).  Posisi ini menunjukkan lokasi penelitian yang kuat dan memiliki potensi, menandakan bahwa kondisi penelitian tersebut sangat baik dan stabil memungkinkan untuk terus berkembang dan mencapai kemajuan optimal dalam pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat. Selain melakukan upaya rehabilitasi, masyarakat Desa Tanggul Tlare di Kecamatan Kedung juga terlibat dalam kegiatan pemeliharaan dan pengawasan. Kegiatan tersebut meliputi observasi terhadap kondisi tanaman mangrove di lahan hutan mangrove dengan tujuan untuk memastikan apakah tanaman mangrove masih dalam kondisi yang baik atau tidak, terutama tanaman baru hasil rehabilitasi yang rentan terhadap serangan hama. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa banyak kawasan rehabilitasi mangrove yang mengalami kerusakan pada bibit mangrove akibat abrasi.

Tabel 6. Matrik SWOT

I F A S









E F A S

Strengs (S):

1.Masyarakat berpatisipasi dalam melakukan penanaman bibit mangrove

2.Pemerintah memberikan bibit mangrove secara berkala kepada masyarakat dalam pengelolaan mangrove

3.Terdapat organisasi/LSM kemasyarakatan yang aktif dalam mengelola hutan mangrove

Weaknesses (W):

1.Masyarakat melakukan penebangan mangrove

2.Mangrove digunakan untuk kayu bakar

3.Belum tersentuh teknologi

Oportunities (O):

1.Potensi pengembangan/penghijauan mangrove yang besar

2.Penanaman mangrove tidak melanggar kebiasaan dan adat istiadat daerah

3.Peran lembaga masyarakat/LSM yang ingin bekerjasama menanam bibit mangrove

Stretegi SO:

1. Penanaman dilakukan oleh masyarakat berdasarkan potensi yang tersedia.

2. Pentingnya pembentukan kawasan hutan lindung konservasi mangrove yang tidak boleh diusik.

3. Perlu untuk memperkuat peran organisasi masyarakat.

Stretegi WO:

1.Sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya penebangan mangrove secara sembarangan

2.Perlu adanya sentuhan teknologi dan informasi dalam pengembangan hutan mangrove

3.Peningkatan peran pemerintah

Threats (T):

1.Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan masih kurang

2.Adanya ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah tentang pelarangan penebangan hutan mangrove

3.Tingkat pendidikan ilmu pengetahuan masyarakat yang masih rendah

Strategi ST:

1.Penyuluhan dan sosialisasi tentang lingkugan dan ekosistem mangrove

2.Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pemanfaatan mangrove yang lestari

3.Melakukan musyawarah antara masyarakat dan pemerintah tentang pemanfaatan dan pengelolaan mangove

Strategi WT:

1.Sosialisasi penerapan peraturan pemerintah tentang lingkungan

2.Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mendukung pengelolaan mangrove secara ideal

3.Peningkatan penanaman mangrove di sekitar pesisir pantai, sungai dan tambak

 

Berdasarkan pada tabel 6 maka didapat strategi-strategi dalam pengelolaan hutan mangrove secara ideal sebagai berikut:

 

a) Strategi SO (Stength-Oportunity)

Desa Tanggul Tlare di Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara memiliki potensi pengembangan mangrove yang sangat besar. Dengan pengelolaan yang efektif, hutan mangrove tersebut dapat memberikan manfaat signifikan bagi lingkungan sekitar sebagai habitat untuk berbagai jenis flora dan fauna serta dapat melindungi masyarakat dari abrasi pantai. Salah satu langkah untuk mengurangi penebangan hutan mangrove adalah dengan membentuk kawasan hutan lindung konservasi, di mana hutan mangrove diberikan perlindungan dan tidak boleh ditebang mengingat penebangan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan kualitas dan jumlah hutan mangrove. Penanaman mangrove di Desa Tanggul Tlare telah dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah setempat. Namun, salah satu kendala saat ini adalah kurang optimalnya pemeliharaan hutan mangrove yang sudah ditanam tersebut. Jika dikelola dengan baik, hutan mangrove tersebut dapat menjadi ekosistem yang memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat di sekitarnya.

 b)  Strategi ST (Strength-Threat)

Penyuluhan mengenai lingkungan dan ekosistem mangrove merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengedukasi masyarakat tentang pengelolaan hutan mangrove. Namun, seringkali terjadi kendala karena kurangnya akses informasi hasil penelitian atau pengalaman lapangan yang dapat mendukung keberhasilan penyuluhan. Pengelolaan mangrove harus dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti ekologi, sosial ekonomi, budaya, serta regulasi dan lembaga terkait. Ada beberapa potensi pemanfaatan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare, termasuk sebagai destinasi wisata ekowisata, sumber benih untuk berbagai jenis komoditas, tempat pendidikan, pemanfaatan kayu yang terbatas, dan berbagai kegunaan lainnya. Penting juga untuk melakukan musyawarah antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove guna mengembangkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bersama.

 c)  Strategi WO (Weakness-Oportunity)

Diperlukan upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai risiko yang ditimbulkan oleh penebangan hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare dapat disebabkan oleh keinginan untuk memperluas lahan, kurangnya pemahaman mengenai manfaat ekosistem mangrove, keinginan untuk meningkatkan luas tambak, penggunaan kayu mangrove untuk keperluan bakar yang tidak terkontrol, serta penangkapan fauna yang memiliki nilai jual di pasar tertentu. Dalam pengelolaan hutan mangrove, dibutuhkan teknologi dan informasi yang sesuai, seperti cara memperoleh bibit mangrove yang berkualitas dan metode pemeliharaan berdasarkan penelitian ilmiah. Keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare sangat penting, mengingat sebagian besar hutan mangrove di sana hasil dari inisiatif masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat, warga akan merasa memiliki tanggung jawab terhadap keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove. Meskipun telah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau LSM, masih perlu dilanjutkan dan ditingkatkan agar pencapaian saat ini dapat dipertahankan dalam jangka panjang.

d)  Strategi WT (Weakness-Threat)

Pemerintah Kabupaten Jepara saat ini tengah berusaha untuk mengenalkan peraturan terkait pengelolaan lingkungan dan melarang penebangan hutan mangrove. Namun, pelaksanaan ini menemui tantangan karena bertabrakan dengan kepentingan masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan mangrove yang telah mereka tanam. Sosialisasi dilakukan melalui berbagai cara, termasuk penyuluhan dan pertemuan dengan warga sekitar hutan mangrove. Pendekatan terbaik dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare adalah jika pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam pengelolaan dan pembangunan hutan mangrove. Mengingat penurunan kualitas dan jumlah tanaman mangrove di sepanjang pantai, penanaman mangrove secara berkelanjutan oleh masyarakat bekerja sama dengan pemerintah atau LSM menjadi penting untuk menjaga ekosistem mangrove tetap lestari. Selain itu, perawatan dan pelestarian hutan mangrove juga perlu dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan ekosistem tersebut.

 

Tabel 7. Hasil pengolahan matriks IFE

Faktor-faktor strategi internal

Bobot (%)

Rating

Skor

 

Kekuatan

 

 

 

1.Instansi pemerintah dalam pengelolaan mangrove

0.22 (22%)

   4

0.88

2.Organisasi kemasyarakatan dalam pengelolaan mangrove

0.12 (12%)

   3

0.36

3.Pengaruh keberadaan mangrove terhadap perekonomian

 

0.22 (22%)

   4

0.88

Kelemahan

 

 

 

      1.Masyarakat melakukan penebangan mangrove

0.12 (12%)

   1

0.12

      2.Pendidikan yang masih rendah          

0.22 (22%)

   2

0.44

      3.Belum tersentuh teknologi

 

0.10 (10%)

   2

0.20

Total                                                                                  1.00 (100%)       -              2.88

Nilai rating 1= kelemahan mayor, 2: kelemahan minor, 3: kekuatan minor, 4: kekuatan mayor.

 

Tabel 8. Hasil pengolahan matriks EFE

Faktor-faktor strategi eksternal

Bobot (%)

Rating

      Skor

 

Peluang

   1. Potensi pengembangan hutan mangrove                                      

   2. Penanaman mangrove tidak melanggar adat istiadat        

   3. Peran lembaga masyarakat                                                     

Ancaman

   1. Kerusakan sumberdaya

   2.Tumpang tindih kewenangan

   3.Pencemaran lingkungan

 


Total                                                    

 

 

 0.12 (12%)

 0.22 (22%)

 0.10 (10%)

 

 

0.22 (22%)

0.22 (22%)

0.12 (12%)

 

1.00 (100%)                            

 

 

   4

   3

   4

 

 

   2

   1

   2

 

   -

 

 

        0.48

        0.66

        0.40

 

 

        0.44

        0.22

        0.24

 

        2.44

Nilai rating: 1= respon masyarakat kurang, 2= respon rata-rata, 3= respon bagus, 4= respon masyarakat sangat bagus

 

Berdasarkan pada tabel 7 menunjukan bahwa kondisi internal kekuatan>kelemahan. Sedangkan pada kondisi eksternal peluang>ancaman. Hal tersebut menunjukan bahwa pada lokasi tersebut mempunyai kekuatan dan peluang dimana kedua faktor tersebut mendukung dalam rehabilitasi hutan mangrove karena adanya faktor pendukung untuk terus maju dan berkembang. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci dalam menjaga pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan karena setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya tersebut. Tanpa melibatkan semua pihak yang terkait, pengelolaan sumberdaya tidak akan berhasil. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove bertujuan untuk mengajak mereka secara aktif terlibat dan menyadari pentingnya peran masyarakat dalam menjaga mangrove. Keterlibatan ini akan terjadi jika masyarakat melihat bahwa partisipasinya dapat memberikan manfaat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, selain hanya menjaga fungsi mangrove secara langsung.

Strategi pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara mencakup beberapa langkah. Pertama, masyarakat melakukan penanaman sesuai dengan potensi yang tersedia. Kedua, membentuk kawasan hutan lindung konservasi mangrove yang tidak boleh diganggu. Ketiga, meningkatkan peran organisasi masyarakat dan memberdayakan mereka lebih lanjut. Keempat, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya penebangan mangrove. Kelima, mengintegrasikan teknologi dan informasi dalam pengelolaan hutan mangrove. Keenam, menyelenggarakan penyuluhan tentang lingkungan dan ekosistem mangrove untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Ketujuh, meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat. Delapan, mengadakan musyawarah antara masyarakat dan pemerintah tentang pemanfaatan dan pengelolaan mangrove. Kesembilan, melibatkan masyarakat dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan mangrove. Kesepuluh, pemerintah dan masyarakat saling mendukung dalam pengelolaan mangrove. Dan terakhir, meningkatkan penanaman mangrove di sepanjang pesisir pantai.

                                   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5. Matriks Kuadran SWOT

 

Maka stretegi alternatif pengelolaan yang sebaiknya dilakukan adalah:

1)      Memobilisasi sumber daya lokal melalui program penanaman mangrove yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan pemerintah untuk memanfaatkan potensi lingkungan yang ada.

2)      Membentuk kawasan lindung konservasi mangrove guna menjaga kelestarian hutan mangrove dan mencegah gangguan dari pihak eksternal yang dapat mengganggu ekosistem tersebut.

3)      Melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan mangrove serta manfaat yang diperoleh bagi kesejahteraan mereka.

4)      Mengadaptasi teknologi dan informasi terbaru dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove guna memperbaiki kualitas dan kuantitas bibit mangrove demi pengelolaan yang berkelanjutan.

5)      Memberikan beasiswa kepada individu yang dianggap berpotensi dan aktif dalam program rehabilitasi mangrove untuk melanjutkan pendidikan tinggi, sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat diaplikasikan dalam upaya pengelolaan hutan mangrove yang optimal.

 

Kesimpulan

Kondisi hutan mangrove hasil rehabilitasi di Desa Tanggul Tlare belum optimal namun pengelolaan hutan mangrove berbasis masayarakat sudah berjalanm dengan baik. Berdasarkan hasil analisa data maka hal faktual yang mendukung kesimpulan tersebut yaitu: (1) Kondisi hutan mangrove hasil rehabilitasi di beberapa lokasi yang diamati, meliputi sekitar sungai (stasiun 1), tambak (stasiun 2), dan sepanjang pantai (stasiun3) di Desa Tanggul Tlare. Di lokasi penelitian, tercatat bahwa nilai tertinggi dari Indeks Nilai Penting terlihat di pematang tambak (stasiun 2), khususnya dengan Rhizophora Apiculata yang mencapai 107 pada kategori tingkat pohon. Sementara itu, nilai tertinggi dari Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove terjadi di hamparan pantai (stasiun 3) dengan nilai keanekaragaman mencapai 1.53. Menurut pengukuran Shannon-Wiener, keanekaragaman vegetasi mangrove di Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, dapat diklasifikasikan sebagai sedang, berada dalam rentang nilai H' antara 1 hingga 3. (2) Dampak kegiatan rehabilitasi terhadap pengelolaan hutan mangrove di Desa Tanggul Tlare berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan wawancara terhadap masyarakat makadampak kegiatan rehabilitasi memberikan manfaat yang  positif diantaranya yaitu dapat mengurangi abrasi pantai, menahan tiupan angin, menambah tangkapan biota (udang, kepiting, kerang), menambah penghijauan sehingga dapat dijadikan objek wisata, dan dapat menambah produksi garam/ikan sehinggadampak rehabilitasi hutan mangrove terhadap masyarakatmasuk pada kategori tinggi. (3) Masyarakat Desa Tanggul Tlare telah aktif berpartisipasi dalam berbagai bentuk, termasuk memberikan kontribusi berupa ide, tenaga, keahlian, serta sumbangan materi atau dana. (4) Berdasarkan srategi analisa SWOT maka didapatkan hasil yaitu posisi model pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat masuk dalam kuadran I (Positif, positif). (5) Lokasi penelitian menunjukkan potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Oleh karena itu, strategi yang direkomendasikan adalah progresif, yang berarti lokasi penelitian dapat terus berkembang dan mencapai kemajuan optimal dalam pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada.

 

BIBLIOGRAFI

 

Al Idrus, A., Ilhamdi, M. L., Hadiprayitno, G., & Mertha, G. (2018). Sosialisasi peran dan fungsi mangrove pada masyarakat di kawasan Gili Sulat Lombok Timur. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 1(1), 52–59.

Amir, A., Maturbongs, M. R., & Samusamu, A. S. (2021). Eksistensi Perempuan Pesisir Marind Imbuti pada Rehabilitasi Hutan Mangrove di Pantai Payum Kabupaten Merauke. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 13(2), 103–110.

Eddy, S., Iskandar, I., Ridho, M. R., & Mulyana, A. (2017). Dampak aktivitas antropogenik terhadap degradasi hutan mangrove di Indonesia.

Fadhilah, S. M., & Susilowati, I. (2015). Restorasi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Kendal. Fakultas Ekonomika dan Bisnis.

Harefa, M. S., Pangaribuan, B. J. T., Amri, S., & Andre, K. (2020). Analisis konservasi ekosistem hutan mangrove daerah pesisir Kampung Nipah Kecamatan Perbaungan. Jurnal Georafflesia: Artikel Ilmiah Pendidikan Geografi, 5(2), 112–123.

Haryanto, R. (2008). Rehabilitasi Hutan Mangrove: Pelestarian Ekosistem Pesisir Pantai dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. KARSA Journal of Social and Islamic Culture, 148–160.

Jati, I. W., & Pribadi, R. (2017). Penanaman mangrove tersistem sebagai solusi penambahan luas tutupan lahan hutan mangrove Baros di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul. Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning, 14(1), 148–153.

Koda, S. H. A. (2021). Analisis ekologis mangrove dan dampak perilaku masyarakat terhadap ekosistem mangrove di pesisir Pantai Kokar, Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Sains, 23(1), 1–7.

Magurran, A. E. (2013). Ecological diversity and its measurement. Springer Science & Business Media.

Mangunjaya, F. M. (2006). Hidup harmonis dengan alam: esai-esai pembangunan lingkungan, konservasi, dan keanekaragaman hayati Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Munaji, A. T. (2022). Kesesuaian Kawasan Hutan Mangrove Tangkolak Sebagai Kawasan Ekowisata Di Desa Sukakerta Kecamatan Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang. Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Odum, H. T. (1996). Scales of ecological engineering. In Ecological Engineering (Vol. 6, Issues 1–3, pp. 7–19). Citeseer.

Purnobasuki, H. (2005). Tinjauan perspektif hutan mangrove. Airlangga University Press.

Siahaya, M. E., Salampessy, M. L., Febryano, I. G., Rositah, E., Silamon, R. F., & Ichsan, A. C. (2016). Partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi hutan mangrove di wilayah Tarakan, Kalimantan Utara. Jurnal Nusa Sylva, 16(1), 12–17.

Siburian, R., & Haba, J. (2016). Konservasi mangrove dan kesejahteraan masyarakat. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sirait, G., & Silaban, I. J. A. (2021). Pengelolaan Konservasi Hutan Mangrove Dalam Menjaga Kelangsungan Hidup Ekosistem Hutan Mangrove Di Indonesia.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta, CV.

Vatria, B. (2013). Berbagai kegiatan manusia yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem pantai serta dampak yang ditimbulkannya.

Wardhani, M. K. (2011). Kawasan konservasi mangrove: suatu potensi ekowisata. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 4(1), 60–76.

 

Copyright holder:

Bekti Utomo, Raymundus Putra Situmorang, Ellyta Anggraini (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: