Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
8, Agustus 2024
ANALISA DPSIR
PEMBANGUNAN TOL SEMARANG – DEMAK DAN KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH
PESISIR SEMARANG – DEMAK
Desty Stephany Solahudin1, Bagiar
Adla Satria2, Nabila Tsarwatul
Jannah3, Ilhamsyah4
Institut Teknologi Bandung, Bandung,
Indonesia1,2,3,4
Email:
[email protected]1, [email protected]2,
[email protected]3,
[email protected]4
Proyek Jalan Tol Semarang – Demak merupakan
merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN)
yang berada di Provinsi Jawa Tengah yang diharapkah dapat mendukung peningkatan konektivitas antar wilayah. Pembangunan yang direncanakan
berada pada kawasan ekosistem mangrove yang dimungkinkan
dapat menimbulkan dampak lingkungan. Dengan menggunakan pendekatan metode analisis kerangka DPSIR (Driving
Forces-Pressures-State-Impacts-Responses), penelitian
ini mengidentifikasi fenomena permasalahan yang terjadi akibat pembangunan tol melalui sudut pandang
dinamika tata kelola lingkungan yang terjadi. Selain itu, penelitian
ini menyoroti upaya rehabilitasi kawasan pesisir yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk melindungi lingkungan, namun terancam oleh proyek pembangunan tol. Perubahan kesadaran terhadap pentingnya ekosistem mangrove juga dibahas, dengan penekanan pada nilai ekologis, sosial, dan ekonomi yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Di samping itu, terdapat adaptasi
fisiologis dan morfologi tanaman mangrove serta peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengelola ekosistem mangrove dengan nilai penting
ekologi, sosial, dan ekonomi.
Kata Kunci: DPSIR, Kawasan Ekosistem
Mangrove, Jalan Tol Semarang-Demak
Abstract
The Semarang – Demak Toll Road Project is one of the
National Strategic Projects (PSN) located in Central Java Province, expected to
support the enhancement of inter-regional connectivity. The planned
construction is situated in a mangrove ecosystem area, which may potentially
cause environmental impacts. Using the DPSIR (Driving
Forces-Pressures-State-Impacts-Responses) framework analysis method, this study
identifies the problematic phenomena arising from the toll road construction
from the perspective of environmental governance dynamics. Additionally, this
research highlights the coastal area rehabilitation efforts undertaken by
various community elements to protect the environment, which are threatened by
the toll road project. Changes in awareness regarding the importance of
mangrove ecosystems are also discussed, emphasizing the ecological, social, and
economic values that must be considered in mangrove ecosystem management.
Moreover, the study examines the physiological and morphological adaptations of
mangrove plants and the regulations issued by the government to manage the
mangrove ecosystem, considering its significant ecological, social, and
economic value.
Keywords: DPSIR, Mangrove Ecosystem Area, Semarang-Demak Toll
Road
Mangrove atau bakau (Rhizopora)
merupakan tanaman yang banyak ditemukan pada pesisir pantai (Imran
& Efendi, 2016). Tanaman
ini dikenal karena keunikan bentuk akarnya yang dikenal dengan akar udara. Berdasarkan
kajian Food and Agricultural Organization (2023) terhadap
Mangrove, mangrove didefinisikan sebagai
kawasan hutan hijau yang toleran garam dan ditemukan pada daerah pasang di pertemuan darat dengan laut. Tanaman
ini tumbuh di garis lintang tropis dan subtropic di daerah sepanjang garis pantai yang terlindung, laguna perairan dangkal, muara, sungai, dan delta. Pada daerah tersebut, mangrove akan lebih mudah
ditemui pada substrat lunak. Ekosistem mangrove mewakili pertemuan antara komunitas darat dengan laut
dimana setiap hati menerima arus
masuk air laut setiap hari dan seringkali arus air tawar, sedimen, nutrisi dan endapan lumpur dari sungai
di dataran tinggi (Chandrayanti,
2024; Sambu et al., 2018). Istilah
Mangrove sebenarnya menggambarkan
tipe ekosistem dan kelompok tanaman berkayu dengan adaptasi fisiologis dan morfologi yang beradaptasi untuk dapat hidup
di lingkungan pasang surut.
Adaptasi ini mencakup akar udara
untuk respirasi/pernafasan dan berlabuh di substrat berlumpur yang tergenang air, kemudian kemampuan untuk mengatasi salinitas dari air laut (dilakukan dengan mengeluarkan garam pada akar dan pembuangan kelebihan garam melalui ekskresi), kemampuan propagul yang disesuaikan dengan penyebaran pasang surut (yaitu benih vivipar);
dan mekanisme retensi nutrisi yang sangat efisien. Bentuk dan komposisi mangrove bervariasi menurut iklim, salinitas, topografi dan ciri-ciri edafis kawasan dimana mangrove berada. Hutan bakau dapat terbentuk
sebagai petak-petak pohon kerdil yang terisolasi dan dalam kondisi salinitas sangat tinggi atau kondisi
terganggu. Dapat juga pada lokasi yang lebih menguntungkan sebagai hutan subur dengan
kanopi setinggi hingga 40m.
Sementara itu, Agensi
Perlindungan Lingkungan
Amerika Serikat (United States Enviromental
Protection Agency) mendefinisikan rawa bakau sebagai
lahan basah pesisir yang terdapat di daerah tropis dan subtropic. Ciri
tanaman ini adalah pepohonan halofitik (pecinta garam), semak dan tanaman lain yang tumbuh di perairan pasang surut yang payau hingga asin dan terkenal karena struktur vegetasi berkayu seperti labirin yang sulit ditembus.
Gambar 1. Ilustrasi Ekosistem Hutan Bakau
(Sumber
1: national-oceanographic.com; 2 : National Geopgraphic)
Fungsi ekosistem mangrove didefinisikan
oleh Britanica sebagai ekosistem yang sangat penting bagi ekosistem pesisir (Masjhoer,
2019). Secara
fisik, eksosistem berfungsi sebagai penyangga antara ekosistem laut dan darat. Selain itu,
kawasan ini dapat melindungi garis pantai dari angin,
gelombang, dan banjir yang merusak. Akar belukar yang dimiliki tanaman bakau dapat meningkatkan
kualitas air dengan menyaring polutan dan memerangkap sedimen yang terbawa arus dari
daratan serta mengurangi erosi pantai. Secara ekologis, hutan bakau menyediakan habitat bagi beragam organisme
darat. Selain itu, banyak spesies
ikan dan kerang di pesisir
dan lepas pantai yang menjadikan hutan bakau sebagai tempat
berkembang biak, bertelur, dan menetas. Toleransi mangrove yang tinggi terhadap garam membuat mangrove seringkali menjadi spesies pertama yang menghuni lumpur dan gumuk pasir yang tergenang air laut, namun peningkatan pembangunan di pesisir dan alih fungsi lahan
menyebabkan penurunan populasi mangrove secara global. Beberapa spesies mangrove masuk kedalam daftar spesies yang rentan atau terancam punah
dalam daftar merah spesies terancam punah dari persatuan
Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Indonesia memiliki luas hutan
bakau terbesar di dunia, menyumbang 21 persen dari total luas hutan bakau global (Food
and Agricultural Organization, 2023). Informasi
yang kuat mengenai sumber daya ini
sangat penting mengingat pentingnya sumber daya ini secara
ekonomi, sosial dan lingkungan serta tingginya keanekaragaman hayati. Namun menurut
Wahyuni et al. (2014), deforestasi
dan degradasi hutan
mangrove di Indonesia berada pada tingkat
yang mengkhawatirkan dan meningkat
setiap tahunnya. Konsekuensinya adalah terus terjadi penurunan
fungsi hutan mangrove yang berdampak pada emisi karbon, hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya risiko abrasi dan penurunan permukaan tanah, serta berkurangnya penghidupan masyarakat. Alasan dillakukannya deforestasi dan degradasi hutan mangrove di Indonesia menurut
Cahyaningsih et al. (2022), berbagai
aktivitas antropogenik menjadi pendorong deforestasi dan degradasi
mangrove di Indonesia seperti aktivitas
domestik, konversi lahan, pertambangan, dan aktivitas penebangan kayu. Aktivitas antropogenik dapat menurunkan luas dan fungsi ekosistem mangrove. Dampak yang timbul akibat aktivitas antropogenik terhadap hutan mangrove adalah berkurangnya hutan mangrove, perubahan komposisi mangrove, kelimpahan spesies yang tidak merata, kematian
mangrove secara massal, pencemaran kawasan mangrove, naiknya permukaan air laut, perubahan iklim global, dan erosi atau abrasi pantai.
Gambar 2. Peta Wilayah
Kota Semarang
(Sumber : Bappeda Kota Semarang)
Kota Semarang merupakan ibu Kota Provinsi Jawa Tengah yang telah berdiri sejak
tanggal 2 Mei 1547. Kota Semarang sebagai
Kota Pusat Pemerintahan Provinsi
Jawa Tengah, memiliki luas wilayah atau 37.366.836 Ha terdiri dari 16 kecamatan dan 117 kelurahan. Kota
ini merupakan kota pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Deskripsi Geografis Kota
Semarang tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 1. Deskripsi Geografis Kota Semarang
Uraian (Description) |
Batas Wilayah (Borderline) |
|
|
Letak Lintang (Latitude) |
Keterangan (Explanation) |
1. Sebelah Utara (North) |
6 0 50 ' LS |
Laut Jawa |
2. Sebelah Selatan
(South) |
7 0 10 ' LS |
Kab. Semarang |
3. Sebelah Barat (West) |
109 0 50 ' BT |
Kab. Kendal |
4. Sebelah Timur (East) |
110 0 35 ' BT |
Kab. Demak |
(Sumber : BPS Kota Semarang)
Penduduk Kota Semarang sangat heterogen
terdiri dari campuran beberapa etnis yakni Jawa,
Cina, Arab dan Keturunan.
Juga etnis lain dari beberapa daerah di Indonesia yang
datang ke Kota Semarang untuk berusaha, menuntut ilmu maupun
menetap selamanya di
Semarang. Mayoritas penduduk
memeluk agama Islam, kemudian
berikutnya adalah Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Mata pencaharian
penduduk beraneka ragam, terdiri dari pedagang, pegawai pemerintah, pekerja pabrik dan petani. Kendati latar belakang masyarakatnya sangat heterogen, namun kehidupan sosial masyarakat Kota Semarang
sangat damai. Toleransi kehidupan umat beragama sangat dijunjung tinggi. Inilah faktor yang sangat mendukung kondisi keamanan sehingga Kota Semarang menjadi kota Indonesia yang sangat baik untuk pengembangan investasi dan bisnis.
Kota Semarang akan terus berkembang,
selain sebagai kota perdagangan juga menjadi kota jasa
pariwisata. Oleh karena itu, pembangunan hotel-hotel dari kelas, melati
hingga bintang di Semarang terus tumbuh. Perkembangan
menjadi kota jasa ditunjang dengan sarana transportasi
udara dengan Bandara Ahmad Yani yang ditingkatkan statusnya menjadi Bandara Internasional, maupun transportasi darat berupa Kereta Api (KA) dan bus dengan berbagai jurusan (Sumber : Profil Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang).
Berdasarkan Berita Resmi
Statistik No. 88/03/3374.Th.IV,
2 Maret 2023 Badan Pusat Statistik
Kota Semarang, Perekonomian Kota Semarang Tahun 2022 tercatat mengalami pertumbuhan positif, yaitu sebesar 5,73 persen dibandingkan pencapaian pada tahun 2021 sebesar 5,16 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan yaitu sebesar 79,01%. Sedangkan dari sisi pengeluaran, kenaikan tertinggi dicatat oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yaitu sebesar 5,00%. Kontributor utama PDRB Kota
Semarang Tahun 2022 adalah sektor Industri Pengolahan, Konstruksi, dan Perdagangan.
Proyek Jalan Tol Semarang – Demak merupakan merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN)
yang berada di Provinsi Jawa Tengah dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Badan Pengatur Jalan Tol sebagai PJPK (Reza,
2022). Rencana
pembangunan Jalan Tol Semarang – Demak memiliki panjang trase sebesar 27 KM. Kehadiran Jalan Tol Semarang Demak diharapkan
dapat mendukung peningkatan konektivitas di
wilayah Jawa Tengah serta untuk menghubungkan kawasan industri dan pelabuhan di wilayah Kabupaten
Demak. Selain itu, Jalan
Tol Semarang - Demak ini nantinya
akan berfungsi membendung banjir rob sebagai sistem polder yaitu metode pengendalian
banjir rob dengan pembangunan tanggul laut yang dilengkapi dengan kolam retensi,
pompa, pintu air dan sistem drainase regional yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pengelolaan air. Sistem polder ini akan terintegrasi
dengan tanggul-tanggul yang
telah dibangun BBWS Pemali-Juana dan menjadi satu kesatuan sistem
yang berfungsi mengatur kondisi banjir dan rob.
Gambar 3. Peta Rencana Pembangunan Proyek Tanggul Laut & Tol Semarang -
Demak
(Sumber : Majalah
Teknik Konstruksi, Edisi Juni 2021)
Jalan tol sepanjang 16-kilometer ini keberadaannya sangat strategis. Selain mempersingkat perjalanan juga berfungsi mengatasi kemacetan. Selama libur natal dan tahun baru, ribuan kendaraan
melalui jalan tol tersebut. Jalan tol ini dibangun
sejak akhir 2019. Yang kemudian dioperasikan secara fungsional untuk membantu mengurai macet Pantura saat pembangunan
jembatan Wonokerto. Sempat ditutup sebentar untuk perbaikan atau finishing sebagai hasil evaluasi
uji layak fungsi (ULF) pada
15 Desember 2022. Setelah itu, dibuka kembali
dari tanggal 22 Desember 2022 selama Natal dan Tahun Baru hingga 2 Januari 2022.
Rencana pembangunan tol ini akan
membelah lahan mangrove sebesar 46 Hektar sehingga akan semakin
mengurangi luas kawasan mangrove yang ada di kawasan Jawa Tengah, khususnya Kota Semarang dan Kabupaten
Demak. Belum banyak kajian
yang membahas dampak dari rencana pembangunan
tol ini terhadap
ekosistem mangrove membuat kasus ini menjadi
menarik. penelitian ini mengidentifikasi fenomena permasalahan yang terjadi akibat pembangunan tol melalui sudut pandang
dinamika tata kelola lingkungan yang terjadi. Selain itu, penelitian
ini menyoroti upaya rehabilitasi kawasan pesisir yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk melindungi lingkungan, namun terancam oleh proyek pembangunan tol.
Lokasi
dan ruang lingkup penelitian dibatasi pada kawasan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Semarang – Demak, Jawa Tengah.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan data
sekunder berupa data dan informasi dokumen yang berkaitan dengan lokasi
penelitian yang diperoleh melalui studi pustaka. Adapun digunakan pendekatan
metode analisis kerangka DPSIR (Driving Forces-Pressures-State-Impacts-Responses) dalam
mengidentifikasi fenomena permasalah yang terjadi.
Kerangka DPSIR
(Driving Forces-Pressures-State-Impacts-Responses) merupakan alat yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan dan menganalisis hubungan yang
kompleks antara aktivitas manusia dan lingkungan. Dalam konteks pengembangan
infrastruktur di kawasan alam yang dilindungi, kerangka DPSIR dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kekuatan pendorong di balik pembangunan infrastruktur.
Ini termasuk tekanan yang ditimbulkannya terhadap ekosistem yang rapuh,
perubahan yang terjadi pada kondisi ekosistem mangrove,
dan dampak sosial, ekonomi, atau lingkungan yang ditimbulkannya. Selain itu,
untuk mendukung ketahanan ekosistem mangrove yang
berkelanjutan, kerangka kerja ini mengusulkan solusi pemecahan masalah. Secara
keseluruhan, kerangka kerja DPSIR menawarkan pendekatan holistik untuk memahami
tantangan pembangunan di kawasan alam yang dilindungi.
Pada
penelitian ini, kerangka DPSIR digunakan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis hubungan antara faktor-faktor pendorong (Driving
Forces) yang memengaruhi kawasan alam yang
dilindungi, tekanan-tekanan (Pressures) yang
dihasilkan oleh aktivitas pembangunan, kondisi (State) dari sumber daya
alam dan lingkungan, dampak (Impacts) dari
aktivitas pembangunan, serta respons (Responses)
yang telah dilakukan untuk meningkatkan keberlanjutan kawasan ekosistem mangrove.
Gambar 4. DPSIR
framework
Sumber: Adapted from Kristensen (2004),
"The DPSIR Framework", National Environmental Research Institute,
Denmark
Pada Gambar 4.
menjelaskan alur dari kerangka DPSIR yang saling berkaitan pada suatu proses pembagunan, khusunya pada aspek
lingkungan, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, kerangka DPSIR digunakan
sebagai metode analisis yang menyeluruh untuk memahami hubungan yang kompleks
antara pembangunan pariwisata, pengembangan lingkungan, dan pengembangan
kawasan alam yang dilindungi. Metode ini juga memberikan pedoman untuk
langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan keberlanjutan kawasan
ekosistem mangrove.
Berdasarkan kajian
yang dilakukan FAO terhadap
mangrove pada Tahun 2023, alasan
kenapa ekosistem mangrove terancam meskipun memiliki banyak manfaat dan memberikan daya dukung lingkungan
yang tinggi adalah karena cara memandang
mangrove yang meremehkan mangrove dan terkadang dipandang sebagai lahan terlantar
dan lingkungan yang tidak sehat. Di beberapa tempat, tekanan populasi yang tinggi telah menyebabkan konversi hutan bakau untuk pembangunan
perkotaan. Selain itu, beberapa pemerintah
di masa lalu memprioritaskan
konversi hutan bakau untuk pertanian
dan produksi garam sebagai cara untuk meningkatkan
ketahanan pangan, meningkatkan perekonomian nasional, dan meningkatkan standar hidup. Mangrove juga telah terfragmentasi dan terdegradasi akibat pemanenan yang tidak berkelanjutan dan polusi.
Cara pandang ini merupakan
cara pandang yang mengakibatkan tersingkirnya lingkungan dalam perencanaan pembangunan dan hanya menjadi objek
dalam pembangunan sesuai dengan kebutuhan
manusia. Apa yang manusia butuhkan maka akan dieksplorasi
alam tersebut sesuai dengan kebutuhan
manusia. Manusia membutuhkan lahan baru untuk ekonomi
maka akan dilakukan pembukaan lahan untuk mendukung
aktivitas ekonomi manusia. Manusia tidak memperhatikan daya dukung yang diberikan oleh ekosistem tersebut. Dalam konsep etika lingkungan
dikenal istilah antroposentrisme. Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta. Kepentingan manusia meurapakan yang utama sehingga segala sesuatu di alam semesta ini
ada untuk mendukung manusia. Sehingga, alam hanya akan
mempunyai nilai ketika membantu kepentingan manusia. Alam menjadi alat dan sarana untuk pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia dan tidak memiliki nilai.
Kemudian, mulai
muncul perubahan kesadaran terhadap lingkungan terutama mangrove. Menurut Kajian FAO terhadap
mangrove Tahun 2023, Kesadaran
akan pentingnya dan nilai ekosistem mangrove telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang mengarah pada persiapan dan penerapan undang-undang dan peraturan untuk melindungi dan mengelolanya dengan lebih baik.
Beberapa negara telah memulai program untuk membangun kembali hutan bakau melalui
regenerasi alami atau penanaman aktif. Terjadi pergeseran nilai dalam melihat alam
dari antroposentrisme menjadi biosentrisme dimana teori yang dipopulerkan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor melawan pandangan antroposentrisme. Biosentrisme memandang alam sebagai entitas yang memiliki nilai yang terlepas dari kepentingan
manusia. Teori ini berpandangan bahwa makhluk hidup
bukan hanya manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk
hidup yang memiliki kehidupan. Terdapat nilai kesetaraan dalam teori biosentrisme
dimana setiap kehidupan di muka bumi ini harus
dilindungi dan diselamatkan.
Sehingga, setiap keputusan yang diambil harus memperhitungkan secara serius makhluk
hidup yang terdampak.
Hal ini tercermin dalam
komitmen pemerintah
Indonesia khususnya pemerintah
Jawa Tengah yang mengeluarkan
Peraturan Gubernur Nomor Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Provinsi
Jawa Tengah. Peraturan Gubernur ini merupakan
turunan kebijakan terhadap Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Nilai yang ingin diperjuangkan
untuk mengelola ekosistem mangrove tersebut adalah Nilai Penting Ekologi sebagai Penyimpan karbon dan Pencegahan dampak kerusakan lingkungan dan mitigasi risiko bencana. Kedua, Nilai Penting Sosial melalui pemberdayaan masyarakat dan nilai Ekonomi melalui wisata dan budidaya perikanan. Ketiga, Nilai Penting Kelembagaan dimana strategi ini harus melalui
sinergisasi kebijakan antar sektor pemerintah
Pusat, Provinsi, Kabupaten,
dan/atau Kota, serta Kelembagaan Non Pemerintah dalam mengelola ekosistem mangrove. Terakhir,
Nilai penting perundang-undangan.
Peraturan ini
mengisyaratkan keterlibatan
instansi pemerintah yang menangani baik pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan)
maupun daerah (Dinas LHK
Prov, Dinas Kelautan dan Perikanan
Prov), dunia usaha (BUMN, BUMD, Ojarum
Bakti Lingkungan, Pembangkit Listrik di Pesisir), Akademisi, Praktisi, Komunitas Pecinta Lingkungan, Lembaga Swadaya
Masyarakat dll, serta upaya menjaga dan memperlakukan ekosistem mangrove
di Provinsi Jawa Tengah dengan target rehabilitasi adalah seluas 750 Ha yang tersebar di beberapa provinsi. Peraturan ini tentunya memberikan
‘angin segar’ bagi pejuang konservasi mangrove. Hal ini terlihat dari
banyaknya aktivitas pelestarian mangrove yang dilakukan
dan dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat untuk memastikan efek keberlanjutan usaha pelestarian yang dilakukan. Sehingga, semakin banyaknya dilakukan usaha restorasi terhadap area mangrove
di provinsi Jawa Tengah.
Usaha pelestarian ini namun akhirnya bertemu kendala, seiring dengan berkembangnya aktivitas ekonomi di Pulau Jawa, Kota
Semarang merupakan salah satu
‘hub’ yang menghubungkan lintas
Pulau Jawa. Data menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kota
Semarang dicapai oleh lapangan
usaha Transportasi dan Pergudangan yaitu sebesar 79,01%. Sedangkan dari sisi pengeluaran,
kenaikan tertinggi dicatat oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yaitu sebesar 5,00%. Kontributor utama PDRB Kota Semarang
Tahun 2022 adalah sektor Industri Pengolahan, Konstruksi, dan Perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa ada pertumbuhan signifikan dalam sektor industri dan perdagangan di Kota Semarang sehingga
dibutuhkan pembangunan yang
dapat mendukung kegiatan ekonomi tersebut.
Saat ini, Kota Semarang memiliki
sebuah bandara Internasional serta sebuah Pelabuhan besar yang mendukung aktivitas perekonomian. Namun, selain akses transportasi
udara dan laut, tentunya dibutuhkan akses transportasi darat yang mendukung perjalanan barang dagangan dari dan keluar Kota Semarang. Akses transportasi darat yang dimiliki oleh Kota Semarang adalah
Jalur Pantura yang menghubungkan
Kota Semarang dengan Kota-Kota lainnya
di Pantai Utara Pulau Jawa. Kendala
yang dihadapi oleh jalur pantura adalah selain berfungsi sebagai penghubung angkutan ekonomi juga digunakan oleh masyarakat untuk bepergian sehingga jumlah kendaraan tersebut membuat masalah kemacetan di jalur pantura terutama pada hari libur. Sehingga,
menyebabkan kerugian ekonomi akibatnya lamanya waktu tempuh
yang dibutuhkan. Karena adanya
masalah ini, muncul sebuah gagasan
untuk membuat jalur baru sebagai
jalur alternatif untuk memecah kemacetan
yang terjadi di jalur pantura.
Gagasan ini
tentunya tidak hanya sekedar untuk
mendukung konektivitas perkonomian wilayah Jawa Tengah. Disebutkan bahwa selain konektivitas, jalur ini akan
berfungsi membendung banjir rob sebagai sistem polder yaitu metode pengendalian banjir rob dengan pembangunan tanggul laut yang dilengkapi dengan kolam retensi,
pompa, pintu air dan sistem drainase regional yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pengelolaan air. Proyek ini didukung langsung
oleh Presiden Joko Widodo serta
Kementerian Keuangan dengan
penanggung jawab
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat melalui
Badan Pengatur Jalan Tol sebagai
PJPK. Proyek pemerintah pusat ini tentunya
juga mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah yakni pemerintah
provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang dan Kota Demak (Sofyan
et al., 2024).
Salah satu artikel yang mengkaji pembangunan tol ini Hidayat
dan Rasidi (2022) mengatakan
tujuan dari proyek ini adalah
untuk mengurai kemacetan yang sering terjadi di daerah jalan penghubung antara Kota Semarang dengan Kabupaten Demak yang merupakan
salah satu jalan vital untuk jalur ekonomi
antara wilayah Jawa bagian barat dan Jawa bagian timur. Selain
itu juga untuk menanggulangi banjir rob yang menjadi permasalahan serius didaerah pesisir sepanjang jalan tol seperti
Kaligawe dan Sayung.
Secara sekilas
proyek ini terlihat merupakan proyek yang dirumuskan secara matang dengan
memberikan efek lingkungan yang luar biasa, yakni sekaligus
sebagai pengendalian rob dengan melakukan pembangunan tanggul laut. Namun, ada
yang dikorbankan dalam proyek pembangunan ini yaitu lahan
mangrove yang berada di sekitar
pembangunan Seksi 1 Tol
Semarang - Demak ruas Semarang - Sayung.
Terdapat 3 lokasi kawasan mangrove yang akan direlokasi dengan total luas kurang lebih
46 hektar. Berdasarkan publikasi-publikasi yang dilakukan
pemerintah terhadap proyek ini, poin-poin
yang disampaikan adalah mengenai kebermanfaatan proyek yang dilakukan namun tidak bagaimana
pembangunan yang dilakukan akan memberikan efek apa terhadap
sekitarnya.
Gambar 5. Daerah Pesisir yang Terkena Dampak Proyek Tanggul
Laut dan Tol Semarang- Demak
(Sumber: Kompas, 2021)
Gambar diatas menggambarkan daerah yang akan menjadi lokasi
pembangunan kawasan tol Semarang – Demak. Terlihat jelas bahwa tol
ini akan memberikan efek yang sungguh besar pada kawasan pesisir terutama kawasan mangrove. Padahal pada Peraturan Gubernur Nomor Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan kawasan Kota Semarang dan Kabupaten
Demak sebagai wilayah dengan
Kondisi mangrove rusak bersama dengan Kabupaten Rembang, Pati, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Purworejo, Pekalongan, dan Tegal. Kerusakan kawasan mangrove ini diperkuat dengan kajian Ermiliansa et al. (2013), kondisi
hutan mangrove di Kota Semarang sejak lama mengalami
degradasi secara luas, akibat abrasi dan perubahan lahan. Meskipun banyak upaya telah dilakukan
masih banyak terjadi kerusakan sehingga konservasi mangrove
harus dilestarikan.
Hal ini memperlihatkan
adanya konflik nilai pada pembangunan kawasan mangrove di Jawa Tengah khususnya Kota Semarang. Satu sisi
dikatakan sebagai kawasan mangrove yang rusak namun di satu sisi
akan dilakukan pembangunan jalur tol dengan mengorbankan
46 Hektar kawasan mangrove.
Apalagi pembangunan ini akan dilakukan
di Kecamatan Genuk. Berdasarkan
wilayah administrasi luas vegetasi mangrove di
wilayah pesisir Kota Semarang berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (2015) adalah sebesar
94,39 ha. Kecamatan dengan vegetasi mangrove terluas
terdapat di Kecamatan Tugu 46,19 ha (48,93%); terluas kedua adalah Kecamatan
Genuk sebesar 22,72 ha (24,47 %), ketiga Kecamatan Semarang Barat seluas 13,40
ha (14,20%) dan paling sedikit terdapat di Kecamatan Utara seluas 12,07 ha
(12,79%). Artinya, akan menurunkan
luas lahan kawasan mangrove di Kecamatan Genuk sebagai wilayah dengan luas lahan
kedua terbesar di Kota
Semarang.
Gambar 6. Sebaran Kawasan Mangrove di Wilayah Pesisir
Kota Semarang Tahun 2018, Vegetasi
Mangrove Ditandai dengan Warna Hijau
Sumber: Martuti et al. (2018)
Pembangunan Ruas Tol Semarang – Demak ini bahkan diperkuat dengan Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 355/KPTS/M/2017 maka pemerintah Jawa Tengah, Kota
Semarang dan Kabupate Demak bersama
DPRD Provinsi Jawa Tengah memberikan tekanan untuk mempercepat penyelesaian revisi rencana tata ruang wilayahnya dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau pulau kecil
di Jawa Tengah, serta Mengakomodir rencana Integrasi
Pembangunan Tanggul Laut
Kota Semarang dan Jalan Tol Semarang – Demak. Hal ini
terlihat usaha untuk memfasilitasi pembangunan tersebut karena dalam Perda
Nomor 6/2010 tentang RTRW provinsi tidak menyebutkan tanggul dan tol laut. Begitupun
dalam RTRW nasional berdasar PP Nomor 26/2008. Pembahasan tanggul laut hanya termuat
di RTRW Kota Semarang berdasarkan Perda
Nomor 14/2011.
Hasil Kajian Irsadi et al. (2019) menunjukkan
bahwa berdasarkan analisa dan perhitungan citra satelit quickbird,
garis pantai sepanjang perbatasan Semarang-Demak mengalami
penurunan sebesar 0,49 km
pada tahun 2005-2010 dan mengalami
penurunan sebesar 3,30 km
pada tahun 2010-2017. Program pencegahan
abrasi telah dilakukan melalui pembangunan pemecah gelombang dan restorasi mangrove dengan penanaman kembali. Selama tahun 2005-2017, terjadi peningkatan luas kawasan mangrove sebagai bukti keberhasilan program restorasi yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dan pusat, serta lembaga pemerintah
dan swasta. Program pengelolaan
selanjutnya harus terkait dengan keberlanjutan program, perlindungan,
perawatan, dan pengembangan
mangrove untuk meminimalkan
abrasi. Kajian tersebut menujukkan bahwa tanpa adanya pembangunan
tol tersebut telah terjadi penurunan
garis pantai pada kawasan
Semarang – Demak yang kemudian dilakukan
usaha pencegahan salah satunya adalah dengan restorasi kawasan mangrove. Namun, hal tersebut seperti
dipatahkan oleh rencana pembangunan tol Semarang – Demak ini.
Gambar 7. Foto Pembelahan Kawasan Mangrove karena
Pembangunan Tol dan Tanggul Laut
di Kawasan Kota Semarang
(Sumber : Google)
Selain itu,
WALHI Jawa Tengah memprediksi
jika tanggul laut ini bisa
mengatasi banjir rob di
salah satu desa maka desa lainnya
kemungkinan akan terkena banjir rob yang lebih tinggi karena
aliran ombak atau aliran arus
laut yang tergeser dari desa sebelah
nya, hal ini seperti terjadi
pada daerah tambak lorok. Ketika ada proyek di tambak lorok maka tambak
rejo yang terkena imbasnya. Pemerintah menyatakan bahwa pembangunan jalan tol tersebut dapat
menjadi penghalang bagi banjir rob pula layaknya hutan mangrove, mungkin benar adanya
hal ini dapat
membantu di awal-awal bangunan tersebut dibangun, namun lama kelamaan bangunan tersebut akan terkikis
oleh air dan menipis sehingga
tidak dapat menahan banjir rob kembali. Pernyataan ini diperkuat dengan
temuan Henny Warsilah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengatakan
dalam penelitian pada
2018-2019 pembangunan pelabuhan
peti kemas di Kemijen dan Tambak Lorok menyebabkan rob makin parah. Menurut
Henny, Air seharusnya mengalir
ke berbagai arah namun terhenti
karena tertutup pembangunan. Air akhirnya melipahi perumahan penduduk.
Beberapa sumber
berita juga melaporkan kejadian banjir akibat pembangunan tol Semarang–Demak. Media seperti
republika, tempo, sloops dan lainnya
memberitakan kejadian banjir akibat pembangunan
tol Semarang – Demak. Hal ini
juga dilaporkan oleh website resmi
pemerintah jawa tengah yakni jatengprov.go.id
yang memberitakan kunjungan
gubernur jawa tengah untuk menangani
keluhan banji tersebut pada tanggal 17 Mei
2023.
Proyek ini
akan memberikan efek ketidakadilan ekologis menurut pendapat Hotmauli Sidabalok, pengajar Program
Magister Lingkungan dan Perkotaan
Unika Soegijapranata Semarang dalam
artikel yang dirilis
Mongabay.co.id. Hal ini karena
proyek akan menyebabkan sejumlah kerusakan lingkungan harus terjadi. Proyek diprediksi memberikan potensi kerusakan di pantai Semarang dan
Demak dengan 13,2 KM panjang
pantai Kota Semarang dan Kabupaten
Demak sepanjang 34,1 KM. Alih
fungsi lahan akan menyebabkan keragaman biota laut yang terdampak karena kondisi pembangunan ini. Selain biota yang hidup pada ekosistem mangrove berdasarkan penelitian, terdata bahwa banyak
burung yang bersifat migran singgah di Sayung.
Dampak lingkungan
lain akibat pembangunan jalan tol tanggul
laut Semarang-Demak ini selain mengakibatkan matinya jutaan hektar mangrove yang dicabut untuk jalan tol
tersebut, ribuan ekosistem air laut yang berada di sekitar mangrove tersebut juga akan ikut mengalami musibah kematian yang sangat parah, selain itu
hal ini juga dapat berdampak kepada tanah lumpur
dan juga udara sekitar yang
sudah tidak mendapat asupan karbon udara dari
hutan mangrove yang telah dicabut tersebut, padahal keberadaan hutan mangrove dapat menyerap karbon yang ada lebih efektif
sampai 20 kali lipat daripada hutan pada umumnya, dan seiring berjalannya waktu keberadaan tol tersebut akan menimbulkan
polusi yang berkepanjangan diakibatkan oleh lalu lalangnya kendaraan di jalan tol tersebut
yang akan berakibat kepada buruknya kualitas udara, dan bahkan berdampak kepada aspek-aspek lainnya.
Putri et al. (2023) menyebutkan
pembangunan jalan tol tanggul laut
Semarang-Demak ini akan menghasilkan bangunan tembok yang sangat tinggi, besar, dan rapat, sehingga akibatnya tidak akan ada
air yang dapat mengalir lancar untuk mengairi
mangrove itu sendiri, dan alhasil mangrove tersebut akan mati. Sehingga
bukan tidak mungkin bahwa angka
46 Hektar tersebut belum memperhitungkan kawasan mangrove lain yang tidak terkena dampak langsung pembangunan tol Semarang – Demak. Ada jumlah
yang lebih besar dari 46 Hektar apabila kita memperhatikan
faktor tersebut.
Selain efek lingkungan
yang menjadi kekhawatiran utama dalam analisis
ini dan sudah disinggung pada bagian sebelumnya, terdapat berbagai dampak lain yang belum tersoroti akibat dilakukannya kebijakan ini terhadap
masyarakat yang terdampak pembangunan Tol Semarang – Demak. Selain
dampak lingkungan, Kajian
oleh Khasanah et al. (2023) menunjukkan
bahwa berbagai upaya
rehabilitasi kawasan pesisir telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat,
baik dari kelompok peduli lingkungan, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), Swasta, dan instansi pemerintah yang ada di Kota Semarang. Kajian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki wawasan keberlanjutan lingkungan berkat usaha yang dilakukan lintas sektor selama bertahun-tahun.
Namun, proyek ini seperti meruntuhkan
usaha tersebut dalam sekejap dan memaksa masyarakat yang berusaha mempertahankan lingkungan mereka tempat mereka tinggal
dan mencari nafkah karena proyek ini.
Mila Karmilah, pengajar planologi Unissula dalam kutipan artikel Mongabay.co.id memberikan pandangan kalau semua kerentanan
digabungkan maka pesisir jadi lokasi
yang mengalami masalah terparah karena kondisi alam buruk
dan pembangunan tak ramah. Mila mengingatkan, pembangunan tidak hanya terkait kesamaan
perlakuan juga keadilan.
Jadi, katanya, mereka dalam kelompok rentan seharusnya bisa mendapatkan keperluan mereka untuk memperbaiki kualitas hidup. Selain itu, Hotmauli
Sidabalok, pengajar Program
Magister Lingkungan dan Perkotaan
Unika Soegijapranata Semarang juga melalui artikel Mongabay.co.id
juga menggaris bawahi
problem keadilan lingkungan
dalam proyek ini.
“Siapa menerima keuntungan, siapa menerima risiko dalam proyek
ini? Nelayan tidak menggunakan jalan tol. Mereka
memilih laut karena pendapatan mereka dari laut.”
Pernyataan tersebut bertujuan menyoroti keadilan lingkungan dalam pembangunan ini. Hal ini melihat distribusi
keuntungan dan resiko yang adil antara pihak
yang terdampak lingkungan dengan pihak yang melakukan pembangunan.
Pembangunan proyek memerlukan
tanah warga sekitar sekitar 539,7 hektar ini berpotensi
menghilangkan mata pencaharian kelompok nelayan, petambak, rumah usaha olahan
laut, sampai penjual hasil laut.
Akses ke pantai pun, katanya, akan terbatas dengan
ada tol tanggul
laut. Masyarakat harus pindah dari lokasi
lama dan mencari mata pencaharian baru. Meskipun ada kompensasi
tentunya hal ini tidak sebanding
dengan dampak yang diberikan. Daerah tempat proyek ini dilaksanakan
melewati daerah tempat tinggal kelompok nelayan yang bergantung dari hasil melaut. Selain
nelayan, lokasi mata pencaharian petambak seperti bandeng dan udang akan tenggelam
karena proyek.
Pemerintah yang menerima penolakan pembangunan tol laut tersebut tentunya
memberikan jawaban terhadap penolakan tersebut. Hal ini tercermin dalam pernyataan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono
yang menyatakan bahwa pembangunan tersebut dicanangkan berbasis lingkungan
“Prinsip-prinsip
pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan menjadi komitmen Kementerian PUPR mulai dari tahap survei,
investigasi, desain, pembebasan tanah (land
acquisition), konstruksi, hingga
operasi dan pemeliharaan”
Pernyataan tersebut
juga terlontar dari Pelaksana tugas (Plt) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jateng Widi Hartanto yang dihubungi Mongabay Indonesia mengatakan
bahwa upaya relokasi mangrove tersebut merupakan bagian dari kewajiban pelaku pembangunan untuk meminimalkan dalam lingkungan. Sehingga, dalam usaha untuk merespon
tuduhan perusakan kawasan mangrove tersebut, pemerintah memberikan solusi relokasi kawasan mangrove seluas 46 Hektar yang terdampak akibat pembangunan ini. Namun, hingga
saat ini belum terlihat rencana relokasi tersebut baik seperti
ke daerah mana maupun detail relokasi tersebut. Hal ini dapat ditelusuri dalam laman-laman resmi pemerintah yang hanya memberitakan percepatan pembangunan tol hingga kerampungan
pembangunan tol namun tidak tersebut
rencana relokasi kawasan mangrove.
Tuntutan terhadap
rencana relokasi yang matang tentunya memiliki dasar. Kajian yang dilakukan Putri et al. (2023) menunjukkan
bahwa dalam hal penentuan lokasi
untuk penanaman mangrove
pun sangat selektif dan khusus,
karena mangrove membutuhkan
beberapa kriteria untuk dapat tumbuh
dan berkembang, yakni seperti tanah yang berlumpur, di daerah yang mengalami pasang surut, dan selalu ada air yang cukup untuk berada
di sekitar mangrove tersebut,
kemudian pertumbuhannya biasanya penuh dengan dominasi pohon dan semak.
Pandangan Peneliti
dari Departemen Ilmu Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Semarang Rudhi Pribadi saat
dihubungi Mongabay Indonesia mengatakan
ada dua sudut pandangan berbeda dalam melihat rencana
tersebut,
“Pertama
adalah memang benar-benar ada sense itu karena ekosistem
mangrove akan terdampak pembangunan, sehingga perlu direlokasi. Namun, kedua, jangan-jangan
hanya menyenangkan saja. Namun, jika
memang memikirkan bahwa mangrove harus tetap lestari, maka harus didasari
dengan kajian yang mendalam”
Relokasi yang dibicarakan
pemerintah sebagai solusi tidak sebatas
memindahkan begitu saja kawasan mangrove satu ke tempat
lain. Hal ini disebabkan karena ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem darat yang dapat dipindahkan ke lokasi lain. Tanaman mangrove membutuhkan ekosistem yang khusus yakni intertidal dengan persyaratan yang harus dipenuhi seperti kondisi perairan dengan salinitas tinggi. Selain itu, dibutuhkan
substrat tertentu dan awal pertumbuhan harus dilakukan pada lokasi yang terlindungi.
“Semarang bagian barat mangrovenya rusak karena pembangunan
pelabuhan PT KLI Kendal. Sementara
mangrove di bagian barat yaitu
Demak rusak karena pembangunan Pekabuhan Tanjung
Mas, Kota Semarang. Kalau melakukan
perubahan lingkungan, pasti bakal ada
dampaknya,”
Relokasi yang selama ini dilakukan tidak
merupakan problem based, sehingga
rehabilitasinya mengalami kendala. Ketika langsung dilakukan penanaman kembali tanpa ada
kajian mendalam, maka yang terjadi akan sia-sia saja.
sebab upaya rehabilitasinya tidak mengacu pada masalah yang ada, mencari sebab
masalahnya dan mencoba bagaimana mengatasi atau mengurangi dampak dari masalah
tersebut.
Berdasarkan analisis DPSIR yang dilakukan terhadap poryek pembangunan Tol Semarang –
Demak dan Tanggul Laut maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut, (1) Pembangunan
yang dilakukan seperti mencederai usaha konservasi lingkungan yang dilakukan. Nilai pembangunan
pada kawasan ekosistem
mangrove tadinya dilihat secara antroposentri yakni mendukung kepentingan manusia namun mengalami perubahan ke arah
biosentris dengan lahirnya peraturan-peraturan yang
mendukung kegiatan konservasi khsusunya pada daerah studi. (2) Pembangunan yang dilakukan
tidak berdasarkan keadilan lingkungan. Keadilan yang dimaksud adalah distribusi keuntungan dan resiko yang adil antara pihak
yang terdampak lingkungan dengan pihak yang melakukan pembangunan. Impact yang
terjadi akibat pembangunan tol dirasakan secara tidak merata. (3) Terdapat ketimpangan pada aktivitas pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan. Dimana terjadi
masalah pemanfaatan sumber daya kawasan
hutan mangrove untuk dialihkan fungsi lahannya. Sehingga, akan memicu efek
masalah lingkungan yang menginginkan perlindungan dan pelestarian fungsi. (4) Response yang diberikan pemerintah
terhadap pembangunan tidak ditemukan. Perencanaan yang mendetail bahkan sekedar lokasi tempat rencana
relokasi kawasan mangrove.
Cahyaningsih, A. P., Deanova, A. K.,
Pristiawati, C. M., Ulumuddin, Y. I., Kusumaningrum, L. I. A., & Setyawan,
A. D. W. I. (2022). Causes and impacts of anthropogenic activities on mangrove
deforestation and degradation in Indonesia. International Journal of
Bonorowo Wetlands, 12(1).
Chandrayanti, R. (2024). Pengaruh
Aktivitas Pembangunan Tol Tanggul Laut Terhadap Ekosistem Mangrove Di Kecamatan
Genuk. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Dinas Kelautan dan Perikanan. (2015).
Penyusunan Updating Data Potensi dan Kerusakan Pesisir Kota Semarang.
Ermiliansa, D., Samekto, A., &
Purnaweni, H. (2013). Pengembangan kawasan konservasi dengan konsep eco edu
wisata mangrove di dusun tapak kelurahan tugurejo kota semarang. Proceeding
Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning,
10(1).
Food and Agricultural Organization.
(2023). The world’s mangroves 2000–2020. Rome.
https://doi.org/10.4060/cc7044en
Hidayat, M. A., & Rasidi, N.
(2022). Project Planning Pembangunan Jalan Tol Dan Tanggul Laut Semarang–Demak
STA 0+ 000–8+ 550. Jurnal Online Skripsi Manajemen Rekayasa Konstruksi
(JOS-MRK), 3(2), 177–183.
Imran, A., & Efendi, I. (2016).
Inventarisasi mangrove di pesisir pantai cemara Lombok Barat. JUPE: Jurnal
Pendidikan Mandala, 1(1), 105–112.
Irsadi, A., Anggoro, S.,
Soeprobowati, T. R., Helmi, M., & Khair, A. S. E. (2019). Shoreline and
mangrove analysis along Semarang-Demak, Indonesia for sustainable environmental
management. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 8(1), 1–11.
Khasanah, Sari, S. N., & Tugino.
(2023). Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Mangrove di Wilayah Pesisir
Semarang Utara. Universitas IVET, 53 – 62.
Martuti, N. K. T., Setyowati, D. L.,
Nugraha, S. ., & Sidiq, W. A. B. N. (2018). Model Estimasi Stok Karbon
Ideal Mangrove Untuk Antisipasi Perubahan Iklim di Pesisir Kota Semarang.
Laporan Akhir Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi.
Masjhoer, J. M. (2019). Pengantar
wisata bahari. Jussac M Masjhoer.
Putri, T. Y., & Dewi, F. L.
(2023). Peninjauan Kembali Terkait Efektifitas Relokasi Mangrove Dalam Rangka
Pembangunan Jalan Tol Demak-Semarang. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK),
5(1), 4231–4240.
Reza, A. D. (2022). Perlindungan
Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah Akibat Abrasi Yang Dilalui Jalan Tol
Semarang-Demak Di Kecamatan Sayung.
Sambu, A. H., Sribianti, I., &
Chadijah, A. (2018). Model pengelolaan mangrove berbasis ekologi dan ekonomi.
Penerbit Inti Mediatama.
Sofyan, H. A., Rahman, A. Z., &
Hanani, R. (2024). Analisis Peran Stakeholders Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove
Tapak Di Kelurahan Tugurejo, Kota Semarang. Journal of Public Policy and
Management Review, 13(2), 1–15.
Wahyuni, Y., Putri, E. I. K., &
Simanjuntak, S. M. H. (2014). Valuasi total ekonomi hutan mangrove di Kawasan
Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Jurnal
Penelitian Kehutanan Wallacea, 3(1), 1–12.
Copyright holder: Desty Stephany Solahudin, Bagiar Adla Satria, Nabila Tsarwatul
Jannah, Ilhamsyah (2024) |
First publication
right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |