Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

ANALISA DPSIR PEMBANGUNAN TOL SEMARANG – DEMAK DAN KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR SEMARANG – DEMAK

 

Desty Stephany Solahudin1, Bagiar Adla Satria2, Nabila Tsarwatul Jannah3, Ilhamsyah4

Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia1,2,3,4

Email: [email protected]1, [email protected]2,

          [email protected]3, [email protected]4

 

Abstrak

Proyek Jalan Tol Semarang – Demak merupakan merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berada di Provinsi Jawa Tengah yang diharapkah dapat mendukung peningkatan konektivitas antar wilayah. Pembangunan yang direncanakan berada pada kawasan ekosistem mangrove yang dimungkinkan dapat menimbulkan dampak lingkungan. Dengan menggunakan pendekatan metode analisis kerangka DPSIR (Driving Forces-Pressures-State-Impacts-Responses), penelitian ini mengidentifikasi fenomena permasalahan yang terjadi akibat pembangunan tol melalui sudut pandang dinamika tata kelola lingkungan yang terjadi. Selain itu, penelitian ini menyoroti upaya rehabilitasi kawasan pesisir yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk melindungi lingkungan, namun terancam oleh proyek pembangunan tol. Perubahan kesadaran terhadap pentingnya ekosistem mangrove juga dibahas, dengan penekanan pada nilai ekologis, sosial, dan ekonomi yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Di samping itu, terdapat adaptasi fisiologis dan morfologi tanaman mangrove serta peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengelola ekosistem mangrove dengan nilai penting ekologi, sosial, dan ekonomi.                                                                                   

Kata Kunci: DPSIR, Kawasan Ekosistem Mangrove, Jalan Tol Semarang-Demak

 

Abstract

The Semarang – Demak Toll Road Project is one of the National Strategic Projects (PSN) located in Central Java Province, expected to support the enhancement of inter-regional connectivity. The planned construction is situated in a mangrove ecosystem area, which may potentially cause environmental impacts. Using the DPSIR (Driving Forces-Pressures-State-Impacts-Responses) framework analysis method, this study identifies the problematic phenomena arising from the toll road construction from the perspective of environmental governance dynamics. Additionally, this research highlights the coastal area rehabilitation efforts undertaken by various community elements to protect the environment, which are threatened by the toll road project. Changes in awareness regarding the importance of mangrove ecosystems are also discussed, emphasizing the ecological, social, and economic values that must be considered in mangrove ecosystem management. Moreover, the study examines the physiological and morphological adaptations of mangrove plants and the regulations issued by the government to manage the mangrove ecosystem, considering its significant ecological, social, and economic value.

Keywords: DPSIR, Mangrove Ecosystem Area, Semarang-Demak Toll Road

 

 

 

Pendahuluan

Mangrove atau bakau (Rhizopora) merupakan tanaman yang banyak ditemukan pada pesisir pantai (Imran & Efendi, 2016). Tanaman ini dikenal karena keunikan bentuk akarnya yang dikenal dengan akar udara. Berdasarkan kajian Food and Agricultural Organization (2023) terhadap Mangrove, mangrove didefinisikan sebagai kawasan hutan hijau yang toleran garam dan ditemukan pada daerah pasang di pertemuan darat dengan laut. Tanaman ini tumbuh di garis lintang tropis dan subtropic di daerah sepanjang garis pantai yang terlindung, laguna perairan dangkal, muara, sungai, dan delta. Pada daerah tersebut, mangrove akan lebih mudah ditemui pada substrat lunak. Ekosistem mangrove mewakili pertemuan antara komunitas darat dengan laut dimana setiap hati menerima arus masuk air laut setiap hari dan seringkali arus air tawar, sedimen, nutrisi dan endapan lumpur dari sungai di dataran tinggi (Chandrayanti, 2024; Sambu et al., 2018). Istilah Mangrove sebenarnya menggambarkan tipe ekosistem dan kelompok tanaman berkayu dengan adaptasi fisiologis dan morfologi yang beradaptasi untuk dapat hidup di lingkungan pasang surut. Adaptasi ini mencakup akar udara untuk respirasi/pernafasan dan berlabuh di substrat berlumpur yang tergenang air, kemudian kemampuan untuk mengatasi salinitas dari air laut (dilakukan dengan mengeluarkan garam pada akar dan pembuangan kelebihan garam melalui ekskresi), kemampuan propagul yang disesuaikan dengan penyebaran pasang surut (yaitu benih vivipar); dan mekanisme retensi nutrisi yang sangat efisien. Bentuk dan komposisi mangrove bervariasi menurut iklim, salinitas, topografi dan ciri-ciri edafis kawasan dimana mangrove berada. Hutan bakau dapat terbentuk sebagai petak-petak pohon kerdil yang terisolasi dan dalam kondisi salinitas sangat tinggi atau kondisi terganggu. Dapat juga pada lokasi yang lebih menguntungkan sebagai hutan subur dengan kanopi setinggi hingga 40m.

Sementara itu, Agensi Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (United States Enviromental Protection Agency) mendefinisikan rawa bakau sebagai lahan basah pesisir yang terdapat di daerah tropis dan subtropic. Ciri tanaman ini adalah pepohonan halofitik (pecinta garam), semak dan tanaman lain yang tumbuh di perairan pasang surut yang payau hingga asin dan terkenal karena struktur vegetasi berkayu seperti labirin yang sulit ditembus.

 

A diagram of a mangrove forest

Description automatically generated

Gambar 1. Ilustrasi Ekosistem Hutan Bakau

(Sumber 1: national-oceanographic.com; 2 : National Geopgraphic)

 

Fungsi ekosistem mangrove didefinisikan oleh Britanica sebagai ekosistem yang sangat penting bagi ekosistem pesisir (Masjhoer, 2019). Secara fisik, eksosistem berfungsi sebagai penyangga antara ekosistem laut dan darat. Selain itu, kawasan ini dapat melindungi garis pantai dari angin, gelombang, dan banjir yang merusak. Akar belukar yang dimiliki tanaman bakau dapat meningkatkan kualitas air dengan menyaring polutan dan memerangkap sedimen yang terbawa arus dari daratan serta mengurangi erosi pantai. Secara ekologis, hutan bakau menyediakan habitat bagi beragam organisme darat. Selain itu, banyak spesies ikan dan kerang di pesisir dan lepas pantai yang menjadikan hutan bakau sebagai tempat berkembang biak, bertelur, dan menetas. Toleransi mangrove yang tinggi terhadap garam membuat mangrove seringkali menjadi spesies pertama yang menghuni lumpur dan gumuk pasir yang tergenang air laut, namun peningkatan pembangunan di pesisir dan alih fungsi lahan menyebabkan penurunan populasi mangrove secara global. Beberapa spesies mangrove masuk kedalam daftar spesies yang rentan atau terancam punah dalam daftar merah spesies terancam punah dari persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Indonesia memiliki luas hutan bakau terbesar di dunia, menyumbang 21 persen dari total luas hutan bakau global (Food and Agricultural Organization, 2023). Informasi yang kuat mengenai sumber daya ini sangat penting mengingat pentingnya sumber daya ini secara ekonomi, sosial dan lingkungan serta tingginya keanekaragaman hayati. Namun menurut Wahyuni et al. (2014), deforestasi dan degradasi hutan mangrove di Indonesia berada pada tingkat yang mengkhawatirkan dan meningkat setiap tahunnya. Konsekuensinya adalah terus terjadi penurunan fungsi hutan mangrove yang berdampak pada emisi karbon, hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya risiko abrasi dan penurunan permukaan tanah, serta berkurangnya penghidupan masyarakat. Alasan dillakukannya deforestasi dan degradasi hutan mangrove di Indonesia menurut Cahyaningsih et al. (2022), berbagai aktivitas antropogenik menjadi pendorong deforestasi dan degradasi mangrove di Indonesia seperti aktivitas domestik, konversi lahan, pertambangan, dan aktivitas penebangan kayu. Aktivitas antropogenik dapat menurunkan luas dan fungsi ekosistem mangrove. Dampak yang timbul akibat aktivitas antropogenik terhadap hutan mangrove adalah berkurangnya hutan mangrove, perubahan komposisi mangrove, kelimpahan spesies yang tidak merata, kematian mangrove secara massal, pencemaran kawasan mangrove, naiknya permukaan air laut, perubahan iklim global, dan erosi atau abrasi pantai.

 

A large map of the united states

Description automatically generated

Gambar 2. Peta Wilayah Kota Semarang

(Sumber : Bappeda Kota Semarang)

 

Kota Semarang merupakan ibu Kota Provinsi Jawa Tengah yang telah berdiri sejak tanggal 2 Mei 1547. Kota Semarang sebagai Kota Pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah atau 37.366.836 Ha terdiri dari 16 kecamatan dan 117 kelurahan. Kota ini merupakan kota pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Deskripsi Geografis Kota Semarang tersaji dalam tabel berikut:

 

Tabel 1. Deskripsi Geografis Kota Semarang

Uraian (Description)

Batas Wilayah (Borderline)

 

 

Letak Lintang (Latitude)

Keterangan (Explanation)

1. Sebelah Utara (North)

6 0 50 ' LS

Laut Jawa

2. Sebelah Selatan (South)

7 0 10 ' LS

Kab. Semarang

3. Sebelah Barat (West)

109 0 50 ' BT

Kab. Kendal

4. Sebelah Timur (East)

110 0 35 ' BT

Kab. Demak

 (Sumber : BPS Kota Semarang)

 

Penduduk Kota Semarang sangat heterogen terdiri dari campuran beberapa etnis yakni Jawa, Cina, Arab dan Keturunan. Juga etnis lain dari beberapa daerah di Indonesia yang datang ke Kota Semarang untuk berusaha, menuntut ilmu maupun menetap selamanya di Semarang. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam, kemudian berikutnya adalah Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Mata pencaharian penduduk beraneka ragam, terdiri dari pedagang, pegawai pemerintah, pekerja pabrik dan petani. Kendati latar belakang masyarakatnya sangat heterogen, namun kehidupan sosial masyarakat Kota Semarang sangat damai. Toleransi kehidupan umat beragama sangat dijunjung tinggi. Inilah faktor yang sangat mendukung kondisi keamanan sehingga Kota Semarang menjadi kota Indonesia yang sangat baik untuk pengembangan investasi dan bisnis.

Kota Semarang akan terus berkembang, selain sebagai kota perdagangan juga menjadi kota jasa pariwisata. Oleh karena itu, pembangunan hotel-hotel dari kelas, melati hingga bintang di Semarang terus tumbuh. Perkembangan menjadi kota jasa ditunjang dengan sarana transportasi udara dengan Bandara Ahmad Yani yang ditingkatkan statusnya menjadi Bandara Internasional, maupun transportasi darat berupa Kereta Api (KA) dan bus dengan berbagai jurusan (Sumber : Profil Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang).

Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 88/03/3374.Th.IV, 2 Maret 2023 Badan Pusat Statistik Kota Semarang, Perekonomian Kota Semarang Tahun 2022 tercatat mengalami pertumbuhan positif, yaitu sebesar 5,73 persen dibandingkan pencapaian pada tahun 2021 sebesar 5,16 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan yaitu sebesar 79,01%. Sedangkan dari sisi pengeluaran, kenaikan tertinggi dicatat oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yaitu sebesar 5,00%. Kontributor utama PDRB Kota Semarang Tahun 2022 adalah sektor Industri Pengolahan, Konstruksi, dan Perdagangan.

Proyek Jalan Tol Semarang – Demak merupakan merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berada di Provinsi Jawa Tengah dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Badan Pengatur Jalan Tol sebagai PJPK (Reza, 2022). Rencana pembangunan Jalan Tol Semarang – Demak memiliki panjang trase sebesar 27 KM. Kehadiran Jalan Tol Semarang Demak diharapkan dapat mendukung peningkatan konektivitas di wilayah Jawa Tengah serta untuk menghubungkan kawasan industri dan pelabuhan di wilayah Kabupaten Demak. Selain itu, Jalan Tol Semarang - Demak ini nantinya akan berfungsi membendung banjir rob sebagai sistem polder yaitu metode pengendalian banjir rob dengan pembangunan tanggul laut yang dilengkapi dengan kolam retensi, pompa, pintu air dan sistem drainase regional yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pengelolaan air. Sistem polder ini akan terintegrasi dengan tanggul-tanggul yang telah dibangun BBWS Pemali-Juana dan menjadi satu kesatuan sistem yang berfungsi mengatur kondisi banjir dan rob.

 

A map of a city

Description automatically generated

Gambar 3. Peta Rencana Pembangunan Proyek Tanggul Laut & Tol Semarang - Demak

(Sumber : Majalah Teknik Konstruksi, Edisi Juni 2021)

 

Jalan tol sepanjang 16-kilometer ini keberadaannya sangat strategis. Selain mempersingkat perjalanan juga berfungsi mengatasi kemacetan. Selama libur natal dan tahun baru, ribuan kendaraan melalui jalan tol tersebut. Jalan tol ini dibangun sejak akhir 2019. Yang kemudian dioperasikan secara fungsional untuk membantu mengurai macet Pantura saat pembangunan jembatan Wonokerto. Sempat ditutup sebentar untuk perbaikan atau finishing sebagai hasil evaluasi uji layak fungsi (ULF) pada 15 Desember 2022. Setelah itu, dibuka kembali dari tanggal 22 Desember 2022 selama Natal dan Tahun Baru hingga 2 Januari 2022.

Rencana pembangunan tol ini akan membelah lahan mangrove sebesar 46 Hektar sehingga akan semakin mengurangi luas kawasan mangrove yang ada di kawasan Jawa Tengah, khususnya Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Belum banyak kajian yang membahas dampak dari rencana pembangunan tol ini terhadap ekosistem mangrove membuat kasus ini menjadi menarik. penelitian ini mengidentifikasi fenomena permasalahan yang terjadi akibat pembangunan tol melalui sudut pandang dinamika tata kelola lingkungan yang terjadi. Selain itu, penelitian ini menyoroti upaya rehabilitasi kawasan pesisir yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk melindungi lingkungan, namun terancam oleh proyek pembangunan tol.

 

Metode Penelitian

Lokasi dan ruang lingkup penelitian dibatasi pada kawasan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Semarang – Demak, Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder berupa data dan informasi dokumen yang berkaitan dengan lokasi penelitian yang diperoleh melalui studi pustaka. Adapun digunakan pendekatan metode analisis kerangka DPSIR (Driving Forces-Pressures-State-Impacts-Responses) dalam mengidentifikasi fenomena permasalah yang terjadi.

Kerangka DPSIR (Driving Forces-Pressures-State-Impacts-Responses) merupakan alat yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan dan menganalisis hubungan yang kompleks antara aktivitas manusia dan lingkungan. Dalam konteks pengembangan infrastruktur di kawasan alam yang dilindungi, kerangka DPSIR dapat digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan pendorong di balik pembangunan infrastruktur. Ini termasuk tekanan yang ditimbulkannya terhadap ekosistem yang rapuh, perubahan yang terjadi pada kondisi ekosistem mangrove, dan dampak sosial, ekonomi, atau lingkungan yang ditimbulkannya. Selain itu, untuk mendukung ketahanan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, kerangka kerja ini mengusulkan solusi pemecahan masalah. Secara keseluruhan, kerangka kerja DPSIR menawarkan pendekatan holistik untuk memahami tantangan pembangunan di kawasan alam yang dilindungi.

Pada penelitian ini, kerangka DPSIR digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara faktor-faktor pendorong (Driving Forces) yang memengaruhi kawasan alam yang dilindungi, tekanan-tekanan (Pressures) yang dihasilkan oleh aktivitas pembangunan, kondisi (State) dari sumber daya alam dan lingkungan, dampak (Impacts) dari aktivitas pembangunan, serta respons (Responses) yang telah dilakukan untuk meningkatkan keberlanjutan kawasan ekosistem mangrove.

 

A diagram of a vehicle

Description automatically generated

Gambar 4. DPSIR framework

Sumber: Adapted from Kristensen (2004), "The DPSIR Framework", National Environmental Research Institute, Denmark

 

Pada Gambar 4. menjelaskan alur dari kerangka DPSIR yang saling berkaitan pada suatu proses pembagunan, khusunya pada aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, kerangka DPSIR digunakan sebagai metode analisis yang menyeluruh untuk memahami hubungan yang kompleks antara pembangunan pariwisata, pengembangan lingkungan, dan pengembangan kawasan alam yang dilindungi. Metode ini juga memberikan pedoman untuk langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan keberlanjutan kawasan ekosistem mangrove.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Driving Force and Pressure

1)  Driving Force

Berdasarkan kajian yang dilakukan FAO terhadap mangrove pada Tahun 2023, alasan kenapa ekosistem mangrove terancam meskipun memiliki banyak manfaat dan memberikan daya dukung lingkungan yang tinggi adalah karena cara memandang mangrove yang meremehkan mangrove dan terkadang dipandang sebagai lahan terlantar dan lingkungan yang tidak sehat. Di beberapa tempat, tekanan populasi yang tinggi telah menyebabkan konversi hutan bakau untuk pembangunan perkotaan. Selain itu, beberapa pemerintah di masa lalu memprioritaskan konversi hutan bakau untuk pertanian dan produksi garam sebagai cara untuk meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan perekonomian nasional, dan meningkatkan standar hidup. Mangrove juga telah terfragmentasi dan terdegradasi akibat pemanenan yang tidak berkelanjutan dan polusi.

Cara pandang ini merupakan cara pandang yang mengakibatkan tersingkirnya lingkungan dalam perencanaan pembangunan dan hanya menjadi objek dalam pembangunan sesuai dengan kebutuhan manusia. Apa yang manusia butuhkan maka akan dieksplorasi alam tersebut sesuai dengan kebutuhan manusia. Manusia membutuhkan lahan baru untuk ekonomi maka akan dilakukan pembukaan lahan untuk mendukung aktivitas ekonomi manusia. Manusia tidak memperhatikan daya dukung yang diberikan oleh ekosistem tersebut. Dalam konsep etika lingkungan dikenal istilah antroposentrisme. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Kepentingan manusia meurapakan yang utama sehingga segala sesuatu di alam semesta ini ada untuk mendukung manusia.  Sehingga, alam hanya akan mempunyai nilai ketika membantu kepentingan manusia. Alam menjadi alat dan sarana untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia dan tidak memiliki nilai.

Kemudian, mulai muncul perubahan kesadaran terhadap lingkungan terutama mangrove. Menurut Kajian FAO terhadap mangrove Tahun 2023, Kesadaran akan pentingnya dan nilai ekosistem mangrove telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang mengarah pada persiapan dan penerapan undang-undang dan peraturan untuk melindungi dan mengelolanya dengan lebih baik. Beberapa negara telah memulai program untuk membangun kembali hutan bakau melalui regenerasi alami atau penanaman aktif. Terjadi pergeseran nilai dalam melihat alam dari antroposentrisme menjadi biosentrisme dimana teori yang dipopulerkan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor melawan pandangan antroposentrisme. Biosentrisme memandang alam sebagai entitas yang memiliki nilai yang terlepas dari kepentingan manusia. Teori ini berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk hidup yang memiliki kehidupan. Terdapat nilai kesetaraan dalam teori biosentrisme dimana setiap kehidupan di muka bumi ini harus dilindungi dan diselamatkan. Sehingga, setiap keputusan yang diambil harus memperhitungkan secara serius makhluk hidup yang terdampak.

Hal ini tercermin dalam komitmen pemerintah Indonesia khususnya pemerintah Jawa Tengah yang mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah. Peraturan Gubernur ini merupakan turunan kebijakan terhadap Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Nilai yang ingin diperjuangkan untuk mengelola ekosistem mangrove tersebut adalah Nilai Penting Ekologi sebagai Penyimpan karbon dan Pencegahan dampak kerusakan lingkungan dan mitigasi risiko bencana. Kedua, Nilai Penting Sosial melalui pemberdayaan masyarakat dan nilai Ekonomi melalui wisata dan budidaya perikanan. Ketiga, Nilai Penting Kelembagaan dimana strategi ini harus melalui sinergisasi kebijakan antar sektor pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan/atau Kota, serta Kelembagaan Non Pemerintah dalam mengelola ekosistem mangrove. Terakhir, Nilai penting perundang-undangan.

Peraturan ini mengisyaratkan keterlibatan instansi pemerintah yang menangani baik pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan) maupun daerah (Dinas LHK Prov, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov), dunia usaha (BUMN, BUMD, Ojarum Bakti Lingkungan, Pembangkit Listrik di Pesisir), Akademisi, Praktisi, Komunitas Pecinta Lingkungan, Lembaga Swadaya Masyarakat dll, serta upaya menjaga dan memperlakukan ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Tengah dengan target rehabilitasi adalah seluas 750 Ha yang tersebar di beberapa provinsi. Peraturan ini tentunya memberikanangin segar’ bagi pejuang konservasi mangrove. Hal ini terlihat dari banyaknya aktivitas pelestarian mangrove yang dilakukan dan dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat untuk memastikan efek keberlanjutan usaha pelestarian yang dilakukan. Sehingga, semakin banyaknya dilakukan usaha restorasi terhadap area mangrove di provinsi Jawa Tengah.

Usaha pelestarian ini namun akhirnya bertemu kendala, seiring dengan berkembangnya aktivitas ekonomi di Pulau Jawa, Kota Semarang merupakan salah satu ‘hub’ yang menghubungkan lintas Pulau Jawa. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kota Semarang dicapai oleh lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan yaitu sebesar 79,01%. Sedangkan dari sisi pengeluaran, kenaikan tertinggi dicatat oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yaitu sebesar 5,00%. Kontributor utama PDRB Kota Semarang Tahun 2022 adalah sektor Industri Pengolahan, Konstruksi, dan Perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa ada pertumbuhan signifikan dalam sektor industri dan perdagangan di Kota Semarang sehingga dibutuhkan pembangunan yang dapat mendukung kegiatan ekonomi tersebut.

Saat ini, Kota Semarang memiliki sebuah bandara Internasional serta sebuah Pelabuhan besar yang mendukung aktivitas perekonomian. Namun, selain akses transportasi udara dan laut, tentunya dibutuhkan akses transportasi darat yang mendukung perjalanan barang dagangan dari dan keluar Kota Semarang. Akses transportasi darat yang dimiliki oleh Kota Semarang adalah Jalur Pantura yang menghubungkan Kota Semarang dengan Kota-Kota lainnya di Pantai Utara Pulau Jawa. Kendala yang dihadapi oleh jalur pantura adalah selain berfungsi sebagai penghubung angkutan ekonomi juga digunakan oleh masyarakat untuk bepergian sehingga jumlah kendaraan tersebut membuat masalah kemacetan di jalur pantura terutama pada hari libur. Sehingga, menyebabkan kerugian ekonomi akibatnya lamanya waktu tempuh yang dibutuhkan. Karena adanya masalah ini, muncul sebuah gagasan untuk membuat jalur baru sebagai jalur alternatif untuk memecah kemacetan yang terjadi di jalur pantura.

2)  Pressure

Gagasan ini tentunya tidak hanya sekedar untuk mendukung konektivitas perkonomian wilayah Jawa Tengah. Disebutkan bahwa selain konektivitas, jalur ini akan berfungsi membendung banjir rob sebagai sistem polder yaitu metode pengendalian banjir rob dengan pembangunan tanggul laut yang dilengkapi dengan kolam retensi, pompa, pintu air dan sistem drainase regional yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pengelolaan air. Proyek ini didukung langsung oleh Presiden Joko Widodo serta Kementerian Keuangan dengan penanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Badan Pengatur Jalan Tol sebagai PJPK. Proyek pemerintah pusat ini tentunya juga mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah yakni pemerintah provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang dan Kota Demak (Sofyan et al., 2024).

Salah satu artikel yang mengkaji pembangunan tol ini Hidayat dan Rasidi (2022) mengatakan tujuan dari proyek ini adalah untuk mengurai kemacetan yang sering terjadi di daerah jalan penghubung antara Kota Semarang dengan Kabupaten Demak yang merupakan salah satu jalan vital untuk jalur ekonomi antara wilayah Jawa bagian barat dan Jawa bagian timur. Selain itu juga untuk menanggulangi banjir rob yang menjadi permasalahan serius didaerah pesisir sepanjang jalan tol seperti Kaligawe dan Sayung.

Secara sekilas proyek ini terlihat merupakan proyek yang dirumuskan secara matang dengan memberikan efek lingkungan yang luar biasa, yakni sekaligus sebagai pengendalian rob dengan melakukan pembangunan tanggul laut. Namun, ada yang dikorbankan dalam proyek pembangunan ini yaitu lahan mangrove yang berada di sekitar pembangunan Seksi 1 Tol Semarang - Demak ruas Semarang - Sayung. Terdapat 3 lokasi kawasan mangrove yang akan direlokasi dengan total luas kurang lebih 46 hektar. Berdasarkan publikasi-publikasi yang dilakukan pemerintah terhadap proyek ini, poin-poin yang disampaikan adalah mengenai kebermanfaatan proyek yang dilakukan namun tidak bagaimana pembangunan yang dilakukan akan memberikan efek apa terhadap sekitarnya.

 

A map of a city

Description automatically generated

Gambar 5. Daerah Pesisir yang Terkena Dampak Proyek Tanggul Laut dan Tol Semarang- Demak

(Sumber: Kompas, 2021)

 

Gambar diatas menggambarkan daerah yang akan menjadi lokasi pembangunan kawasan tol Semarang – Demak. Terlihat jelas bahwa tol ini akan memberikan efek yang sungguh besar pada kawasan pesisir terutama kawasan mangrove. Padahal pada Peraturan Gubernur Nomor Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan kawasan Kota Semarang dan Kabupaten Demak sebagai wilayah dengan Kondisi mangrove rusak bersama dengan Kabupaten Rembang, Pati, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Purworejo, Pekalongan, dan Tegal. Kerusakan kawasan mangrove ini diperkuat dengan kajian Ermiliansa et al. (2013), kondisi hutan mangrove di Kota Semarang sejak lama mengalami degradasi secara luas, akibat abrasi dan perubahan lahan. Meskipun banyak upaya telah dilakukan masih banyak terjadi kerusakan sehingga konservasi mangrove harus dilestarikan.

Hal ini memperlihatkan adanya konflik nilai pada pembangunan kawasan mangrove di Jawa Tengah khususnya Kota Semarang. Satu sisi dikatakan sebagai kawasan mangrove yang rusak namun di satu sisi akan dilakukan pembangunan jalur tol dengan mengorbankan 46 Hektar kawasan mangrove. Apalagi pembangunan ini akan dilakukan di Kecamatan Genuk. Berdasarkan wilayah administrasi luas vegetasi mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (2015) adalah sebesar 94,39 ha. Kecamatan dengan vegetasi mangrove terluas terdapat di Kecamatan Tugu 46,19 ha (48,93%); terluas kedua adalah Kecamatan Genuk sebesar 22,72 ha (24,47 %), ketiga Kecamatan Semarang Barat seluas 13,40 ha (14,20%) dan paling sedikit terdapat di Kecamatan Utara seluas 12,07 ha (12,79%). Artinya, akan menurunkan luas lahan kawasan mangrove di Kecamatan Genuk sebagai wilayah dengan luas lahan kedua terbesar di Kota Semarang.

 

A map of the coast of the island

Description automatically generated

Gambar 6. Sebaran Kawasan Mangrove di Wilayah Pesisir Kota Semarang Tahun 2018, Vegetasi Mangrove Ditandai dengan Warna Hijau

Sumber: Martuti et al. (2018)

 

Pembangunan Ruas Tol Semarang – Demak ini bahkan diperkuat dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 355/KPTS/M/2017 maka pemerintah Jawa Tengah, Kota Semarang dan Kabupate Demak bersama DPRD Provinsi Jawa Tengah memberikan tekanan untuk mempercepat penyelesaian revisi rencana tata ruang wilayahnya dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau pulau kecil di Jawa Tengah, serta Mengakomodir rencana Integrasi Pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dan Jalan Tol Semarang – Demak. Hal ini terlihat usaha untuk memfasilitasi pembangunan tersebut karena dalam Perda Nomor 6/2010 tentang RTRW provinsi tidak menyebutkan tanggul dan tol laut. Begitupun dalam RTRW nasional berdasar PP Nomor 26/2008. Pembahasan tanggul laut hanya termuat di RTRW Kota Semarang berdasarkan Perda Nomor 14/2011.

3)  State and Impact

a.   State

Hasil Kajian Irsadi et al. (2019) menunjukkan bahwa berdasarkan analisa dan perhitungan citra satelit quickbird, garis pantai sepanjang perbatasan Semarang-Demak mengalami penurunan sebesar 0,49 km pada tahun 2005-2010 dan mengalami penurunan sebesar 3,30 km pada tahun 2010-2017. Program pencegahan abrasi telah dilakukan melalui pembangunan pemecah gelombang dan restorasi mangrove dengan penanaman kembali. Selama tahun 2005-2017, terjadi peningkatan luas kawasan mangrove sebagai bukti keberhasilan program restorasi yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dan pusat, serta lembaga pemerintah dan swasta. Program pengelolaan selanjutnya harus terkait dengan keberlanjutan program, perlindungan, perawatan, dan pengembangan mangrove untuk meminimalkan abrasi. Kajian tersebut menujukkan bahwa tanpa adanya pembangunan tol tersebut telah terjadi penurunan garis pantai pada kawasan Semarang – Demak yang kemudian dilakukan usaha pencegahan salah satunya adalah dengan restorasi kawasan mangrove. Namun, hal tersebut seperti dipatahkan oleh rencana pembangunan tol Semarang – Demak ini.

 

A bridge over water with trees and a river

Description automatically generated with medium confidenceA bridge under construction in a flooded area

Description automatically generated

Gambar 7. Foto Pembelahan Kawasan Mangrove karena Pembangunan Tol dan Tanggul Laut di Kawasan Kota Semarang

(Sumber : Google)

 

Selain itu, WALHI Jawa Tengah memprediksi jika tanggul laut ini bisa mengatasi banjir rob di salah satu desa maka desa lainnya kemungkinan akan terkena banjir rob yang lebih tinggi karena aliran ombak atau aliran arus laut yang tergeser dari desa sebelah nya, hal ini seperti terjadi pada daerah tambak lorok. Ketika ada proyek di tambak lorok maka tambak rejo yang terkena imbasnya. Pemerintah menyatakan bahwa pembangunan jalan tol tersebut dapat menjadi penghalang bagi banjir rob pula layaknya hutan mangrove, mungkin benar adanya hal ini dapat membantu di awal-awal bangunan tersebut dibangun, namun lama kelamaan bangunan tersebut akan terkikis oleh air dan menipis sehingga tidak dapat menahan banjir rob kembali. Pernyataan ini diperkuat dengan temuan Henny Warsilah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengatakan dalam penelitian pada 2018-2019 pembangunan pelabuhan peti kemas di Kemijen dan Tambak Lorok menyebabkan rob makin parah. Menurut Henny, Air seharusnya mengalir ke berbagai arah namun terhenti karena tertutup pembangunan. Air akhirnya melipahi perumahan penduduk.

Beberapa sumber berita juga melaporkan kejadian banjir akibat pembangunan tol Semarang–Demak. Media seperti republika, tempo, sloops dan lainnya memberitakan kejadian banjir akibat pembangunan tol Semarang – Demak. Hal ini juga dilaporkan oleh website resmi pemerintah jawa tengah yakni jatengprov.go.id yang memberitakan kunjungan gubernur jawa tengah untuk menangani keluhan banji tersebut pada tanggal 17 Mei 2023.

Proyek ini akan memberikan efek ketidakadilan ekologis menurut pendapat Hotmauli Sidabalok, pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang dalam artikel yang dirilis Mongabay.co.id. Hal ini karena proyek akan menyebabkan sejumlah kerusakan lingkungan harus terjadi. Proyek diprediksi memberikan potensi kerusakan di pantai Semarang dan Demak dengan 13,2 KM panjang pantai Kota Semarang dan Kabupaten Demak sepanjang 34,1 KM. Alih fungsi lahan akan menyebabkan keragaman biota laut yang terdampak karena kondisi pembangunan ini. Selain biota yang hidup pada ekosistem mangrove berdasarkan penelitian, terdata bahwa banyak burung yang bersifat migran singgah di Sayung.

Dampak lingkungan lain akibat pembangunan jalan tol tanggul laut Semarang-Demak ini selain mengakibatkan matinya jutaan hektar mangrove yang dicabut untuk jalan tol tersebut, ribuan ekosistem air laut yang berada di sekitar mangrove tersebut juga akan ikut mengalami musibah kematian yang sangat parah, selain itu hal ini juga dapat berdampak kepada tanah lumpur dan juga udara sekitar yang sudah tidak mendapat asupan karbon udara dari hutan mangrove yang telah dicabut tersebut, padahal keberadaan hutan mangrove dapat menyerap karbon yang ada lebih efektif sampai 20 kali lipat daripada hutan pada umumnya, dan seiring berjalannya waktu keberadaan tol tersebut akan menimbulkan polusi yang berkepanjangan diakibatkan oleh lalu lalangnya kendaraan di jalan tol tersebut yang akan berakibat kepada buruknya kualitas udara, dan bahkan berdampak kepada aspek-aspek lainnya.

Putri et al. (2023) menyebutkan pembangunan jalan tol tanggul laut Semarang-Demak ini akan menghasilkan bangunan tembok yang sangat tinggi, besar, dan rapat, sehingga akibatnya tidak akan ada air yang dapat mengalir lancar untuk mengairi mangrove itu sendiri, dan alhasil mangrove tersebut akan mati. Sehingga bukan tidak mungkin bahwa angka 46 Hektar tersebut belum memperhitungkan kawasan mangrove lain yang tidak terkena dampak langsung pembangunan tol Semarang – Demak. Ada jumlah yang lebih besar dari 46 Hektar apabila kita memperhatikan faktor tersebut.

b.  Impact

Selain efek lingkungan yang menjadi kekhawatiran utama dalam analisis ini dan sudah disinggung pada bagian sebelumnya, terdapat berbagai dampak lain yang belum tersoroti akibat dilakukannya kebijakan ini terhadap masyarakat yang terdampak pembangunan Tol Semarang – Demak. Selain dampak lingkungan, Kajian oleh Khasanah et al. (2023) menunjukkan bahwa berbagai upaya rehabilitasi kawasan pesisir telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, baik dari kelompok peduli lingkungan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Swasta, dan instansi pemerintah yang ada di Kota Semarang. Kajian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki wawasan keberlanjutan lingkungan berkat usaha yang dilakukan lintas sektor selama bertahun-tahun. Namun, proyek ini seperti meruntuhkan usaha tersebut dalam sekejap dan memaksa masyarakat yang berusaha mempertahankan lingkungan mereka tempat mereka tinggal dan mencari nafkah karena proyek ini.

Mila Karmilah, pengajar planologi Unissula dalam kutipan artikel Mongabay.co.id memberikan pandangan kalau semua kerentanan digabungkan maka pesisir jadi lokasi yang mengalami masalah terparah karena kondisi alam buruk dan pembangunan tak ramah. Mila mengingatkan, pembangunan tidak hanya terkait kesamaan perlakuan juga keadilan. Jadi, katanya, mereka dalam kelompok rentan seharusnya bisa mendapatkan keperluan mereka untuk memperbaiki kualitas hidup. Selain itu, Hotmauli Sidabalok, pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang juga melalui artikel Mongabay.co.id juga menggaris bawahi problem keadilan lingkungan dalam proyek ini.

Siapa menerima keuntungan, siapa menerima risiko dalam proyek ini? Nelayan tidak menggunakan jalan tol. Mereka memilih laut karena pendapatan mereka dari laut.”

Pernyataan tersebut bertujuan menyoroti keadilan lingkungan dalam pembangunan ini. Hal ini melihat distribusi keuntungan dan resiko yang adil antara pihak yang terdampak lingkungan dengan pihak yang melakukan pembangunan. Pembangunan proyek memerlukan tanah warga sekitar sekitar 539,7 hektar ini berpotensi menghilangkan mata pencaharian kelompok nelayan, petambak, rumah usaha olahan laut, sampai penjual hasil laut. Akses ke pantai pun, katanya, akan terbatas dengan ada tol tanggul laut. Masyarakat harus pindah dari lokasi lama dan mencari mata pencaharian baru. Meskipun ada kompensasi tentunya hal ini tidak sebanding dengan dampak yang diberikan. Daerah tempat proyek ini dilaksanakan melewati daerah tempat tinggal kelompok nelayan yang bergantung dari hasil melaut. Selain nelayan, lokasi mata pencaharian petambak seperti bandeng dan udang akan tenggelam karena proyek.

 

4)  Response

Pemerintah yang menerima penolakan pembangunan tol laut tersebut tentunya memberikan jawaban terhadap penolakan tersebut. Hal ini tercermin dalam pernyataan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang menyatakan bahwa pembangunan tersebut dicanangkan berbasis lingkungan

Prinsip-prinsip pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan menjadi komitmen Kementerian PUPR mulai dari tahap survei, investigasi, desain, pembebasan tanah (land acquisition), konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan

Pernyataan tersebut juga terlontar dari Pelaksana tugas (Plt) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jateng Widi Hartanto yang dihubungi Mongabay Indonesia mengatakan bahwa upaya relokasi mangrove tersebut merupakan bagian dari kewajiban pelaku pembangunan untuk meminimalkan dalam lingkungan. Sehingga, dalam usaha untuk merespon tuduhan perusakan kawasan mangrove tersebut, pemerintah memberikan solusi relokasi kawasan mangrove seluas 46 Hektar yang terdampak akibat pembangunan ini. Namun, hingga saat ini belum terlihat rencana relokasi tersebut baik seperti ke daerah mana maupun detail relokasi tersebut. Hal ini dapat ditelusuri dalam laman-laman resmi pemerintah yang hanya memberitakan percepatan pembangunan tol hingga kerampungan pembangunan tol namun tidak tersebut rencana relokasi kawasan mangrove.

Tuntutan terhadap rencana relokasi yang matang tentunya memiliki dasar. Kajian yang dilakukan Putri et al. (2023) menunjukkan bahwa dalam hal penentuan lokasi untuk penanaman mangrove pun sangat selektif dan khusus, karena mangrove membutuhkan beberapa kriteria untuk dapat tumbuh dan berkembang, yakni seperti tanah yang berlumpur, di daerah yang mengalami pasang surut, dan selalu ada air yang cukup untuk berada di sekitar mangrove tersebut, kemudian pertumbuhannya biasanya penuh dengan dominasi pohon dan semak.

Pandangan Peneliti dari Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Semarang Rudhi Pribadi saat dihubungi Mongabay Indonesia mengatakan ada dua sudut pandangan berbeda dalam melihat rencana tersebut,

Pertama adalah memang benar-benar ada sense itu karena ekosistem mangrove akan terdampak pembangunan, sehingga perlu direlokasi. Namun, kedua, jangan-jangan hanya menyenangkan saja. Namun, jika memang memikirkan bahwa mangrove harus tetap lestari, maka harus didasari dengan kajian yang mendalam

Relokasi yang dibicarakan pemerintah sebagai solusi tidak sebatas memindahkan begitu saja kawasan mangrove satu ke tempat lain. Hal ini disebabkan karena ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem darat yang dapat dipindahkan ke lokasi lain. Tanaman mangrove membutuhkan ekosistem yang khusus yakni intertidal dengan persyaratan yang harus dipenuhi seperti kondisi perairan dengan salinitas tinggi. Selain itu, dibutuhkan substrat tertentu dan awal pertumbuhan harus dilakukan pada lokasi yang terlindungi.

Semarang bagian barat mangrovenya rusak karena pembangunan pelabuhan PT KLI Kendal. Sementara mangrove di bagian barat yaitu Demak rusak karena pembangunan Pekabuhan Tanjung Mas, Kota Semarang. Kalau melakukan perubahan lingkungan, pasti bakal ada dampaknya,”

Relokasi yang selama ini dilakukan tidak merupakan problem based, sehingga rehabilitasinya mengalami kendala. Ketika langsung dilakukan penanaman kembali tanpa ada kajian mendalam, maka yang terjadi akan sia-sia saja. sebab upaya rehabilitasinya tidak mengacu pada masalah yang ada, mencari sebab masalahnya dan mencoba bagaimana  mengatasi atau mengurangi dampak dari masalah tersebut.

 

Kesimpulan

Berdasarkan analisis DPSIR yang dilakukan terhadap poryek pembangunan Tol Semarang – Demak dan Tanggul Laut maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut, (1) Pembangunan yang dilakukan seperti mencederai usaha konservasi lingkungan yang dilakukan. Nilai pembangunan pada kawasan ekosistem mangrove tadinya dilihat secara antroposentri yakni mendukung kepentingan manusia namun mengalami perubahan ke arah biosentris dengan lahirnya peraturan-peraturan yang mendukung kegiatan konservasi khsusunya pada daerah studi. (2) Pembangunan yang dilakukan tidak berdasarkan keadilan lingkungan. Keadilan yang dimaksud adalah distribusi keuntungan dan resiko yang adil antara pihak yang terdampak lingkungan dengan pihak yang melakukan pembangunan. Impact yang terjadi akibat pembangunan tol dirasakan secara tidak merata. (3) Terdapat ketimpangan pada aktivitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Dimana terjadi masalah pemanfaatan sumber daya kawasan hutan mangrove untuk dialihkan fungsi lahannya. Sehingga, akan memicu efek masalah lingkungan yang menginginkan perlindungan dan pelestarian fungsi. (4) Response yang diberikan pemerintah terhadap pembangunan tidak ditemukan. Perencanaan yang mendetail bahkan sekedar lokasi tempat rencana relokasi kawasan mangrove.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Cahyaningsih, A. P., Deanova, A. K., Pristiawati, C. M., Ulumuddin, Y. I., Kusumaningrum, L. I. A., & Setyawan, A. D. W. I. (2022). Causes and impacts of anthropogenic activities on mangrove deforestation and degradation in Indonesia. International Journal of Bonorowo Wetlands, 12(1).

Chandrayanti, R. (2024). Pengaruh Aktivitas Pembangunan Tol Tanggul Laut Terhadap Ekosistem Mangrove Di Kecamatan Genuk. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Dinas Kelautan dan Perikanan. (2015). Penyusunan Updating Data Potensi dan Kerusakan Pesisir Kota Semarang.

Ermiliansa, D., Samekto, A., & Purnaweni, H. (2013). Pengembangan kawasan konservasi dengan konsep eco edu wisata mangrove di dusun tapak kelurahan tugurejo kota semarang. Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning, 10(1).

Food and Agricultural Organization. (2023). The world’s mangroves 2000–2020. Rome. https://doi.org/10.4060/cc7044en

Hidayat, M. A., & Rasidi, N. (2022). Project Planning Pembangunan Jalan Tol Dan Tanggul Laut Semarang–Demak STA 0+ 000–8+ 550. Jurnal Online Skripsi Manajemen Rekayasa Konstruksi (JOS-MRK), 3(2), 177–183.

Imran, A., & Efendi, I. (2016). Inventarisasi mangrove di pesisir pantai cemara Lombok Barat. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 1(1), 105–112.

Irsadi, A., Anggoro, S., Soeprobowati, T. R., Helmi, M., & Khair, A. S. E. (2019). Shoreline and mangrove analysis along Semarang-Demak, Indonesia for sustainable environmental management. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 8(1), 1–11.

Khasanah, Sari, S. N., & Tugino. (2023). Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Mangrove di Wilayah Pesisir Semarang Utara. Universitas IVET, 53 – 62.

Martuti, N. K. T., Setyowati, D. L., Nugraha, S. ., & Sidiq, W. A. B. N. (2018). Model Estimasi Stok Karbon Ideal Mangrove Untuk Antisipasi Perubahan Iklim di Pesisir Kota Semarang. Laporan Akhir Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi.

Masjhoer, J. M. (2019). Pengantar wisata bahari. Jussac M Masjhoer.

Putri, T. Y., & Dewi, F. L. (2023). Peninjauan Kembali Terkait Efektifitas Relokasi Mangrove Dalam Rangka Pembangunan Jalan Tol Demak-Semarang. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 5(1), 4231–4240.

Reza, A. D. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah Akibat Abrasi Yang Dilalui Jalan Tol Semarang-Demak Di Kecamatan Sayung.

Sambu, A. H., Sribianti, I., & Chadijah, A. (2018). Model pengelolaan mangrove berbasis ekologi dan ekonomi. Penerbit Inti Mediatama.

Sofyan, H. A., Rahman, A. Z., & Hanani, R. (2024). Analisis Peran Stakeholders Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Tapak Di Kelurahan Tugurejo, Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management Review, 13(2), 1–15.

Wahyuni, Y., Putri, E. I. K., & Simanjuntak, S. M. H. (2014). Valuasi total ekonomi hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 3(1), 1–12.

 

 

Copyright holder:

Desty Stephany Solahudin, Bagiar Adla Satria,

Nabila Tsarwatul Jannah, Ilhamsyah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: