Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

APAKAH KEBENARAN SELALU BENAR? MEMAHAMI FILOSOFI KEBENARAN DALAM AJARAN PLATO DAN MICHEL FOUCAULT

 

Mellysa Tanoyo

Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Karya-karya Plato, filsuf Yunani kuno, yang telah hidup ribuan tahun yang lalu masih sangat relevan jika dikaji lebih mendalam dan dengan perspektif-perspektif segar dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat di masa kini. Penelitian ini mengeksplorasi konsep kebenaran menurut Plato melalui studi literatur terhadap karya-karyanya, antara lain The Republic dan Cratylus. Plato menyatakan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang mutlak dan transenden, berbeda dengan persepsi manusia yang sering kali bersifat relatif dan dipengaruhi oleh konteks sosial. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan apakah kebenaran selalu benar? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan pendekatan analisis tekstual terhadap karya-karya Plato, serta studi literatur terkait teori-teori komunikasi termasuk paham yang dikembangkan Michel Foucault mengenai konsep diskursus. Melalui analisis ini, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana konsep kebenaran dapat dipahami dalam situasi di mana pandangan minoritas berlawanan dengan pandangan mayoritas. Suatu keadaan di mana seseorang memegang kebenaran, namun berada di dalam kelompok yang menentang pandangan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami implikasi dari pandangan Plato tentang kebenaran dalam konteks komunikasi sosial, serta untuk menelusuri bagaimana dinamika sosial dan kekuasaan mempengaruhi persepsi dan penerimaan kebenaran. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebenaran melampaui persepsi indrawi dan konstruksi linguistik. Kebenaran memerlukan upaya intelektual dan filosofis yang mendalam, dan meskipun secara ideal bersifat universal, penerimaannya dalam praktik sosial sangat bergantung pada dinamika kekuasaan dan konsensus kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran dapat mengalami distorsi dalam konteks sosial yang beragam. Penelitian ini menawarkan wawasan penting dalam memahami hubungan antara kebenaran filosofis dan penerimaannya dalam komunikasi sosial.

Kata Kunci: Kebenaran, Minoritas, Mayoritas, Relativisme Sosial, Dinamika Kekuasaan

 

Abstract

The works of Plato, an ancient Greek philosopher, who lived thousands of years ago are still very relevant if studied more deeply and with fresh perspectives in relation to social life today. This research explores Plato’s concept of truth through a literature study of his works, including The Republic and Cratylus. Plato states that truth is something absolute and transcendent, in contrast to human perception which is often relative and influenced by social context. This research seeks to answer the question, is truth always true? The research method used in this study is qualitative, with a textual analysis approach to Plato’s works, as well as literature studies related to communication theories including the understanding developed by Michel Foucault regarding the concept of discourse. Through this analysis, this research explores how the concept of truth can be understood in situations where the minority view is opposite to the majority view. A situation where a person holds the truth but is in a group that opposes that view. The aim of this research is to understand the implications of Plato’s view of truth in the context of social communication, as well as to explore how social and power dynamics affect the perception and acceptance of truth. The conclusion of this study shows that truth transcends sensory perception and linguistic construction. Truth requires deep intellectual and philosophical endeavor, and while it is ideally universal, its acceptance in social practice is highly dependent on power dynamics and group consensus. This suggests that truth is subject to distortion in diverse social contexts. This research offers important insights in understanding the relationship between philosophical truth and its reception in social communication.

Keywords: Truth, Minority, Majority, Social Relativism, Power Dynamics

 

Pendahuluan

Karya-karya Plato selalu dikaitkan erat dengan definisi kebenaran. Secara etimologi, kata kebenaran dapat dimaknai sebagai suatu kata sifat, yang mengandung kata “benar”. Namun, apakah kebenaran selalu benar? Pertanyaan ini muncul lantaran dalam kehidupan sosial, persoalan benar maupun salah (tidak benar) sering kali dikonstruksikan dengan pemaknaan suatu tindakan yang dikorelasikan dengan pandangan kelompok sosial atau kelompok masyarakat tertentu (Idris & Ramly, 2016; Situmorang, 2023; Zamroni, 2022).

Di dalam dua karya Plato, The Republic dan Cratylus, Plato memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep kebenaran. Dalam The Republic, Plato menggambarkan bagaimana ia memandangan suatu negara adalah ideal ketika dipimpin oleh seorang filsuf-raja. Namun, di balik gambaran ini, Plato juga mengembangkan pandangannya tentang kebenaran sebagai sebuah konsep yang fundamental bagi kehidupan baik individu maupun masyarakat (Haskins, 2016). Ia berpendapat bahwa kebenaran tidak hanya bersifat relatif atau berdasarkan pandangan subjektif, tetapi memiliki sifat yang tetap dan objektif. Plato memperkenalkan konsepbentuk” (forms), yang merupakan realitas yang abadi dan tidak berubah di balik dunia fisik yang berubah-ubah (Haskins, 2016). Menurut Plato, pengetahuan sejati adalah pemahaman tentangbentuktersebut, dan kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui proses filosofis yang mendalam (Basuki et al., 2023).

Di sisi lain, Cratylus menggali hubungan antara bahasa dan kebenaran. Dalam karya Plato ini, Plato menyajikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana kita memahami kebenaran melalui penggunaan bahasa. Melalui karakter-karakter seperti Hermogenes dan Cratylus, Plato mempertanyakan apakah nama-nama atau kata-kata memiliki hubungan intrinsik dengan objek yang mereka wakili, atau apakah mereka hanya hasil dari konvensi sosial belaka (Plato & Fowler, 1970). Dalam hal ini, Plato menyajikan pertentangan antara pandangan konvensionalisme dan naturalisme tentang bahasa dan kebenaran.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman atas kebenaran, selalu diperlukan dalam kehidupan sosial manusia. Hal ini diperlukan agar manusia dapat memaknai suatu peristiwa, yang diuraikan dalam bahasa maupun ditampilkan (dialog) dalam bermasyarakat. Dengan memahami pandangan Plato tentang kebenaran dalam kedua karyanya tersebut, manusia dapat menggali lebih dalam tentang kontribusi filosofisnya terhadap pemikiran tentang realitas, pengetahuan, dan moralitas (Prasetya & Setiawan, 2023; Pratiwi et al., 2024).

Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana konsep kebenaran dapat dipahami dalam situasi di mana pandangan minoritas berlawanan dengan pandangan mayoritas. Suatu keadaan di mana seseorang memegang dan memaknai kebenaran, namun berada di dalam kelompok yang menentang pandangan tersebut. Sebagai contoh, kondisi di mana sekelompok anak sekolah yang memutuskan untuk membolos, namun salah satu dari mereka menolak membolos. Dalam situasi tersebut, satu anak yang menolak dapat dipandang sebagai orang yang jahat (tidak benar) karena berbeda dari teman-temannya dan memiliki potensi melaporkan hal tersebut kepada pihak sekolah. Padahal, bolos mengandung makna negatif (atau dalam konteks analogi ini adalah perbuatan tidak benar).

Ilustrasi tersebut mendorong pentingnya dilakukan penelitian ini, di mana kebenaran melampaui persepsi indrawi dan konstruksi linguistik. Kebenaran memerlukan upaya intelektual dan filosofis yang mendalam (Sedley, 2006). Penerimaannya dalam praktik sosial sangat bergantung pada dinamika kekuasaan dan konsensus kelompok. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan atau memberikan perspektif baru bagaimana memahami kebenaran dalam konteks hubungan sosial.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan analisis tekstual terhadap karya-karya Plato, serta studi literatur terkait teori-teori komunikasi (Sugiyono, 2016). Pemahaman atas definisikebenarandilakukan melalui studi literatur dan menekankan konsep pemahaman bahasa yang merupakan dasar pemikiran di dalam karya-karya Plato tersebut.

Untuk mendapatkan pemahaman dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masa kini, metode analisis perspektif juga dilakukan. Setelah itu, kesimpulan dibuat dengan analisis komparatif dan pengaplikasian dengan kasus-kasus nyata yang terjadi saat ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Kebenaran dan Pandangan Sosial berdasarkan Pemahaman Allegory of the Cave dalam The Republic

Dalam karyanya yang berjudul The Republic, Plato memberikan gambaran atau pemahaman mengenaikebenaranmelalui perumpamaan gua (allegory of the cave). Perumpamaan atau alegori ini menggambarkan sekelompok tahanan yang terperangkap di dalam gua sepanjang hidupnya, di mana mereka hanya melihat bayangan-bayangan dari objek-objek di luar gua yang diproyeksikan oleh api di belakang mereka.

Dalam alegori gua, bahasa berfungsi sebagai media komunikasi antara para tahanan (Maksum, 2023). Mereka menggunakan bahasa untuk berinteraksi satu sama lain dan untuk mencoba memahami apa yang mereka lihat. Namun, bahasa mereka hanya menggambarkan bayangan-bayangan yang terlihat di dinding gua, bukan realitas yang sejati, yang sesungguhnya berada di luar gua. Alegori ini mengilustrasikan bahwa bahasa, meskipun penting sebagai alat komunikasi, juga dapat menjadi sumber distorsi dan pemahaman yang terbatas tentang realitas.

Dalam konteks alegori gua, kebenaran digambarkan dengan dunia luar yang sebenarnya. Para tahanan di dalam gua mengira bahwa bayangan-bayangan yang mereka lihat adalah realitas sejati, tetapi ketika salah satu dari mereka ditarik ke luar gua dan terkena cahaya matahari, dia menyadari bahwa bayangan-bayangan itu hanyalah ilusi. Kebenaran sejati terletak di luar gua. Alegori gua memberikan pemahaman bahwa kebenaran sejati hanya dapat ditemukan melalui pengalaman langsung, yang secara nyata dialami, dan dioleh dengan pemahaman filosofis yang mendalam, bukan melalui persepsi indrawi semata (Adian & Lubis, 2011).

Pandangan sosial yang tercermin dalam interaksi antara para tahanan dan bagaimana mereka saling memengaruhi. Para tahanan hidup dalam komunitas yang terbatas di dalam gua dan membagi pengalaman dan pemahaman bersama tentang apa yang mereka lihat. Ketika salah satu dari mereka mencoba memperkenalkan pemahaman baru tentang realitas yang sebenarnya ada di luar gua, dia dianggapgila” oleh tahanan lainnya dan ditolak. Hal ini mencerminkan bagaimana pandangan sosial dapat mempengaruhi persepsi individu dan menentukan apa yang dianggap sebagai kebenaran dalam masyarakat.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia membentuk kelompok- kelompok masyarakat tertentu, yang diibaratkan sebagai tahanan-tahanan tersebut. Kepercayaan dan apa yang dianggapbenaratau dikonstruksikan sebagai suatukebenaranakan sangat bergantung dengan apa yang diyakini dalam kelompok tersebut. Ketika salah satu anggota kelompok (minoritas) memiliki pandangan ataskebenaran” yang berbeda dari lainnya (mayoritas), maka cenderung apa yang dianggap si minoritas adalahbenarmenjadi sesuatu yang “tidak benar”.

Ketika si minoritas memiliki pandangan atas kebenaran menurut perseptifnya sendiri, si minoritas bisa saja telah melakukan suatu pemahaman filosofis yang mendalam atas suatu realitas, melebihi persepsi indrawi semata. Namun, hal tersebut di dalam suatu keadaan tertentu, dalam hal ini dalam kelompok masyarakat tertentu, dapat dianggap sebagai suatu ancaman atau secara sederhana menjadi suatu yang “tidak benar”, sehingga suatu kebenaran tidak selalu dianggap paling benar.

Salah satu teori komunikasi yang diperkenalkan oleh Irving Janis yaitu Group Think menggambarkan bahwa suatu keadaan yang memaksa seseorang untuk berpikir dan meyakini suatu hal sesuai dengan pandangan kelompoknya, dapat mengakibatkan berkurangnya pola pikir kritis. Janis mengatakanhigh levels of cohesiveness among group members, under certain conditions, can lead to lower critical thinking and poor decision making(Littlejohn et al., 2011).

Dalam konteks sosial, alegori gua mengajarkan bahwa kebanyakan manusia hidup dalam kebodohan atau ilusi, hanya memahami bayangan dari realitas sejati. Terkadang apa yang diyakini sebagai suatukebenaranbukanlah kebenaran yang sejati, atau di dalam suatu kebenaran masih banyak kebenaran lain yang perlu direnungkan dan digali melebihi persepsi indrawi.

Kebenaran yang berlaku di dalam suatu kelompok masyarakat jangan lah menjadi penghalang manusia untuk melatih pola pikir yang kritis, mendalam, dan filosofis atas fenomena maupun kenyataan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Kebenaran dan Pandangan Sosial berdasarkan Cratylus

Cratylus adalah salah satu karya Plato yang meneliti hubungan antara bahasa dan realitas, serta bagaimana kata-kata memperoleh maknanya. Cratylus disusun sebagai suatu dialog yang melibatkan tiga karakter utama yaitu Socrates, Cratylus, dan Hermogenes (Partee, 1972).

Hermogenes berargumen bahwa nama-nama dan kata-kata adalah hasil dari kesepakatan sosial atau konvensi. Menurutnya, tidak ada hubungan alami antara kata dan objek yang mereka wakili sehingga kata-kata bisa berarti apa saja selama ada kesepakatan di antara pengguna bahasa. Pandangan ini menekankan bahwa makna bahasa adalah bergantung pada penggunaan oleh masyarakat (Partee, 1972). Sedangkan, Cratylus berpendapat bahwa ada hubungan alami antara kata dan objek yang mereka wakili. Ia percaya bahwa nama-nama yang benar secara intrinsik cocok dengan benda-benda yang mereka wakili, dan bahwa setiap kata memiliki makna yang inheren dan tetap (Partee, 1972). Pandangan ini mencerminkan keyakinan bahwa bahasa mencerminkan sifat sejati dari realitas. Atas kedua pandangan tersebut, Socrates berperan sebagai mediator dan kritikus di mana ia menunjukkan kelemahan masing-masing pandangan tersebut Socrates mengakui bahwa mungkin ada beberapa elemen alami dalam bahasa, tetapi juga menekankan bahwa penggunaan dan konvensi sosial memainkan peran penting dalam pembentukan makna (Partee, 1972).

Representasi dan realitas di dalam Cratylus mengeksplorasi bagaimana bahasa dapat merepresentasikan kebenaran. Pengetahuan sejati tidak bergantung sepenuhnya pada kata-kata, tetapi pada pemahaman yang lebih dalam tentang realitas itu sendiri. Karya Plato ini menunjukan bahwa adanya keterbatasan bahasa untuk menangkap esensi sejati dari realitas. Sehingga, bahasa bisa menyesatkan jika kita terlalu bergantung padanya untuk mengetahui kebenaran. Kebenaran sejati, menurut Plato, hanya bisa dicapai melalui pemikiran filosofis yang mendalam, bukan hanya melalui permainan kata-kata (Sedley, 2006).

Jika kembali pada dialog Hermogenes, ia mewakili pandangan bahwa makna kata-kata didasarkan pada kesepakatan sosial. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat dan konteks sosial memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana bahasa digunakan dan dipahami. Dalam karya Plato ini, dapat dipahami bahwa adanya dinamika kekuasaan dalam bahasa, bagaimana kekuasaan dan otoritas dapat mempengaruhi bahasa (Sedley, 2006). Mereka yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat sering kali memiliki kemampuan untuk menetapkan makna kata-kata dan mengarahkan bagaimana bahasa digunakan. Ini mencerminkan pandangan Plato tentang bagaimana kebenaran dan makna bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik.

   Di dalam kehidupan bermasyarakat masa kini, kerap kali suatu kebenaran dikonstruksikan atas pemikiran pihak yang memiliki kekuasaan, sehingga terkadang tidak menyingkap kebenaran yang sesungguhnya. Sehinggakebenarantidak lah selalu benar karena sangat dapat dipengaruhi dengan faktor-faktor lain di luar linguistik.

 

Pandangan atau Kritik atas Kebenaran oleh Paham Michel Foucault

Michel Foucault yang merupakan seorang filsuf Prancis, memperkenalkan konsep “discursive formation” dalam karyanya untuk menganalisis bagaimana pengetahuan dan kebenaran dibentuk melalui praktik diskursif dalam masyarakat. Menurut Foucault, setiap diskursus memiliki aturan-aturan yang menentukan apa yang bisa dikatakan dan bagaimana sesuatu bisa dikatakan (Foucault, 1980).

Diskursus tidak pernah netral dan selalu erat kaitannya dengan kekuasaan. Kebenaran yang dihasilkan melalui diskursus tertentu sering kali mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada (Foucault, 1980). Selain itu, diskursus dibentuk oleh berbagai institusi sosial, seperti lembaga pendidikan, Lembaga medis, lembaga hukum, dan media (Foucault, 1980). Praktik-praktik sosial tersebut menentukan bagaimana pengetahuan dihasilkan dan dimaknai dalam kehidupan bermasyarakat.

Foucault berpendapat bahwa diskursus selalu berubah seiring berjalannya waktu. Apa yang dianggap benar dalam satu periode sejarah dapat berubah di periode lain, bergantung pada perubahan dalam praktik diskursif dan hubungan kekuasaan (Foucault, 1980).

Melalui pandangan Foucault, dalam rangka memahami suatukebenaran”, manusia perlu terus menerus melakukan pemikiran mendalam dan mencari makna filosofis atas suatu keadaan. Hal ini karena hal tersebut selalu dapat berkembang, berubah, namun dipengaruhi dengan kekuasaan.

Dalam contoh kasus yang diuraikan pada bagian awal penelitian ini, kita mendapati bahwa apa yang dianggap benar atau suatukebenaran” yang dianggap oleh suatu kelompokminoritassering kali dianggaptidak benar”. Namun, dalam konteks demikian, jikaminoritasmerupakan orang yang dapat mengontrol atau memiliki daya tawar dalam kekuasaan, maka suatu yang awalnya dianggaptidak benardapat pula dikatakanbenar”. Sehingga, lagi-lagi suatu kebenaran tidak selamanya benar.

 

Kebenaran dan Kekuasaan

Plato menyadari bahwa pandangan mayoritas dapat mempengaruhi penerimaan kebenaran dalam konteks sosial, tetapi ia tetap menekankan pentingnya mencapai kebenaran sejati melalui rasionalitas filosofis. Dalam Cratylus, misalnya, diskusi tentang bahasa menunjukkan bahwa meskipun kata-kata bisa ditentukan oleh konvensi sosial, ada harapan untuk mencapai kebenaran melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas.

Foucault, di sisi lain dalam karyanya, menekankan bahwa pengetahuan dan kebenaran selalu terkait dengan kekuasaan. Diskursus yang dominan menentukan apa yang dianggap sebagai kebenaran, dan ini selalu berfungsi untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, kebenaran tidak dapat dipisahkan dari praktik sosial dan politik yang mengendalikannya.

Plato mengeksplorasi hubungan antara kata dan objek, menunjukkan bahwa meskipun bahasa bisa dipengaruhi oleh konvensi sosial, ada upaya untuk mencapai korespondensi yang benar antara kata dan realitas. Socrates menunjukkan bahwa meskipun bahasa bisa menyesatkan, tujuan akhirnya adalah untuk mencapai pemahaman yang benar tentang dunia. Namun demikian, melalui pemahama Foucault dalam konsep discursive formation, bahasa dan diskursus tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga membentuk dan mengkonstruksinya. Diskursus menciptakan kategori-kategori dan cara-cara pemahaman yang kemudian dianggap sebagai kebenaran dalam masyarakat.

Dalam konteks ilmu komunikasi, kebenaran sering kali dipahami melalui beberapa pendekatan teoritis antara lain (Lynch et al., 2021):

1.     Teori Korespondensi

Teori ini berpendapat bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan atau representasi dengan realitas.

2.     Teori Kohesi

Menurut teori ini, kebenaran adalah konsistensi internal di dalam sistem pernyataan atau keyakinan.

  1. Teori Pragmatik

Teori ini menilai kebenaran berdasarkan kegunaan praktis dari pernyataan atau informasi.

  1. Teori Konsensus

Kebenaran menurut teori ini adalah apa yang disepakati oleh kelompok atau komunitas.

Dalam praktik komunikasi sosial, kebenaran dan kekuasaan saling berinteraksi dalam berbagai cara misalnya, di dalam media massa, sering kali menjadi arena di mana kekuasaan dijalankan untuk membentuk persepsi publik tentang kebenaran (Foucault, 1980). Kontrol atas media memungkinkan kelompok-kelompok dominan untuk mempengaruhi opini publik dan menetapkan agenda sosial (Foucault, 1980). Narasi yang disediakan di publik sering kali dinegosiasikan dan dimanipulasi untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini mengakibatkan pandangan minoritas tentang kebenaran sering kali ditentang oleh pandangan mayoritas yang dominan. Dalam konteks ini, kekuasaan menentukan kebenaran mana yang diterima secara luas, sementara kebenaran minoritas mungkin diabaikan atau ditekan (Foucault, 1980).

Berdasarkan uraian di atas, dengan berangkat dari pemahaman atau konsep kebenaran oleh Plato hingga perkembangan discursive formation oleh Michel Foucault, sebagai manusia, kita perlu merenungkan secara mendalam atas pemahaman suatu realitas atau suatu kebenaran. Teori-teori yang berkembang di masyarakat perlu dimaknai sebagai suatu landasan atau pola berpikir. Berangkat dari teori-teori dan pemahaman tersebut, sebagai manusia kita perlu melakukan analisis mendalam dan filosofis atas suatu kebenaran. Menjadi berbeda dari suatu pemahaman kebenaran tidak lah sesuatu hal yang tidak benar, dan menjadi sama dengan suatu kelompok masyarakat dan memiliki pemahaman yang sama, tidak lah juga selalu benar. Oleh karena itu, kebenaran tidak selalu benar.

 

Kesimpulan

Plato mengilustrasikan bahwa kebenaran sering kali tersembunyi di balik ilusi yang diciptakan oleh persepsi manusia. Dalam konteks ini, bahasa berperan sebagai alat komunikasi, tetapi juga dapat menjadi sumber distorsi dalam memahami realitas. Kebenaran sejati menurut Plato, terletak di luar persepsi indrawi dan hanya dapat dicapai melalui pemahaman filosofis yang mendalam. Namun, dalam realitas sosial, individu dengan pandangan minoritas sering kali dianggap tidak valid oleh mayoritas yang masih terperangkap dalam ilusi. Selain itu, hubungan antara bahasa dan realitas, menunjukkan bahwa bahasa memiliki keterbatasan dalam menangkap esensi sejati dari realitas. Meskipun bahasa dipengaruhi oleh konvensi sosial, ada juga elemen alami dalam bahasa yang mencerminkan realitas sejati.

Pemahaman tentang bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam masyarakat menyoroti peran kekuasaan dalam menentukan makna kata-kata. Para pemegang kekuasaan sering kali dapat mengarahkan penggunaan bahasa dan menetapkan apa yang dianggap sebagai kebenaran. Sehingga, Foucault menekankan bahwa kebenaran dan pengetahuan selalu terkait erat dengan kekuasaan. Diskursus membentuk struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan kebenaran yang dihasilkan sering kali mencerminkan kepentingan para pemegang kekuasaan. Konsep kebenaran dan pandangan sosial tidaklah statis, melainkan terus berubah, dinamis dan dipengaruhi oleh dinamika yang tumbuh dan berkembang di dalam Masyarakat, sehingga suatukebenarantidak lah selalu benar.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adian, D. G., & Lubis, A. Y. (2011). Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Penerbit Koekoesan.

Basuki, B., Rahman, A., Juansah, D. E., & Nulhakim, L. (2023). Perjalanan menuju pemahaman yang mendalam mengenai ilmu pengetahuan: studi filsafat tentang sifat realitas. Jurnal Ilmiah Global Education, 4(2), 722–734.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972-1977. Vintage.

Haskins, E. V. (2016). Plato. The International Encyclopedia of Communication Theory and Philosophy, 1–4.

Idris, S., & Ramly, F. (2016). Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu. Darussalam Publishing.

Littlejohn, S. W., Foss, K. A., & Oetzel, J. G. (2011). Theories of human communication. Waveland Press, Inc, 30, 32.

Lynch, M. P., Wyatt, J., Kim, J., & Kellen, N. (2021). The nature of truth: classic and contemporary perspectives. MIT Press.

Maksum, A. (2023). Filsafat Ilmu Sosial. Universitas Brawijaya Press.

Partee, M. H. (1972). Plato’s theory of language. Foundations of Language, 113–132.

Plato, B. C., & Fowler, H. N. (1970). Cratylus; Parmenides; Greater Hippias; Lesser Hippias. Harvard University Press.

Prasetya, A. R., & Setiawan, M. (2023). Kebenaran Sofis dan Plato Relevansinya di era post-Truth. UIN Surakarta.

Pratiwi, A. R., Safitri, B. D., Azizzah, N. M., & Pratama, M. A. (2024). Kritik Plato Terhadap Pemikiran Sofis. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan, 1(02).

Sedley, D. (2006). Plato on language. A Companion to Plato, 214–227.

Situmorang, J. (2023). Logika: Berpikir Ktritis Menuju Kebenaran. Penerbit Andi.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Alfabeta, CV.

Zamroni, M. (2022). Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. IRCiSoD.

 

 

Copyright holder:

Mellysa Tanoyo (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: