Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
8, Agustus 2024
PENGARUH
BAHASA DALAM PROSES PENGUNGKAPAN HAKIKAT YANG TERSEMBUNYI PADA INTERPRETASI
HEIDEGGER TERHADAP KONSEP KEBENARAN PLATO
Nindyo Andayaning Pandusaputri
Universitas Pelita Harapan, Tangerang,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Interpretasi
Heidegger atas filsafat
Plato, yang menekankan pada eksistensi
dan fenomena yang nyata, mendistorsi konsep kebenaran Plato yang abadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara realitas yang nyata dan gagasan yang abadi, serta bagaimana konsep ini memengaruhi
bahasa dan intelek manusia untuk memahami
dunia di sekitar mereka.
Heidegger melihat bahasa sebagai alat bagi
manusia untuk memahami alam semesta,
tetapi juga merupakan sumber kesalahan dalam pengetahuan manusia tentang realitas. Hal ini memunculkan tantangan etis tentang bagaimana
manusia bertanggung jawab untuk menggunakan
bahasa secara efektif untuk memahami
realitas yang mereka hadapi. Lebih jauh
lagi, gagasan Heidegger tentang penyingkapan alam membantu pemahaman
yang lebih baik tentang fitur-fitur ontologis bahasa, yang memposisikan bahasa sebagai alat bagi
manusia untuk memahami eksistensi dalam konteks yang lebih besar. Dengan
demikian, interpretasi
Heidegger atas gagasan
Plato tentang kebenaran memiliki pengaruh pada pemahaman kita tentang hubungan antara bahasa dan kehidupan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami interpretasi Heidegger atas filsafat Plato, dengan fokus pada eksistensi dan fenomena yang nyata. Metode penelitian
melibatkan analisis teks-teks karya Heidegger dan
Plato, serta evaluasi konsep kebenaran abadi dalam konteks
bahasa dan intelek manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interpretasi Heidegger atas gagasan Plato tentang kebenaran telah mendistorsi konsep kebenaran abadi, menghasilkan pertanyaan tentang hubungan antara realitas yang nyata dan gagasan yang abadi. Bahasa merupakan alat bagi manusia
untuk memahami alam semesta, tetapi
juga merupakan sumber kesalahan dalam pengetahuan manusia tentang realitas.
Kata Kunci:
Bahasa, Heidegger, Plato
Abstract
Heidegger's interpretation of Plato's philosophy,
which emphasizes real existence and phenomena, distorts Plato's concept of
eternal truth. This raises questions about the relationship between tangible
reality and the idea of the eternal, and how this concept affects human
language and intellect to understand the world around them. Heidegger sees
language as a tool for humans to understand the universe, but also a source of
error in human knowledge of reality. This raises the ethical challenge of how
humans are responsible for using language effectively to understand the reality
they face. Furthermore, Heidegger's notion of the revelation of nature helps a
better understanding of the ontological features of language, which positions
language as a tool for humans to understand existence in a larger context.
Thus, Heidegger's interpretation of Plato's notion of truth has an influence on
our understanding of the relationship between language and human life. This
research aims to understand Heidegger's interpretation of Plato's philosophy,
with a focus on real existence and phenomena. The research method involves
analyzing texts by Heidegger and Plato, as well as evaluating the concept of
eternal truth in the context of language and the human intellect. The results
show that Heidegger's interpretation of Plato's idea of truth has distorted the
concept of eternal truth, resulting in questions about the relationship between
tangible reality and eternal ideas. Language is a tool for humans to understand
the universe, but it is also a source of error in human knowledge of reality.
Keywords:
Language, Heidegger, Plato
Pendahuluan
Proses
menemukan esensi yang mendasari adalah konsep kunci dalam
filsafat. Martin Heidegger, seorang
filsuf Jerman terkemuka yang memiliki pengaruh besar pada abad ke-20, mengemukakan gagasan tersebut. Heidegger menyatakan bahwa bahasa dapat digunakan
untuk mengungkapkan esensi yang tersembunyi, menurut Heidegger, bahasa bukan hanya metode
komunikasi, tetapi juga alat untuk memahami
esensi yang tersembunyi (Owens, 1987). Plato, seorang filsuf Yunani kuno yang terkenal dengan pengaruhnya yang sangat besar, memiliki konsep kebenaran yang berbeda dengan Heidegger. Plato berpikir bahwa kebenaran adalah gagasan absolut yang dapat dicapai dengan pengetahuan yang terbuka (Duranti, 2023). Heidegger berpendapat bahwa realitas yang diperoleh melalui pengetahuan pasti bersifat subjektif karena dibentuk oleh bahasa yang digunakan (Owens, 1987).
Penelitian ini bermaksud untuk
mengkaji pengaruh bahasa terhadap penemuan esensi yang tersembunyi dalam interpretasi Heidegger atas konsep kebenaran Plato (Permono, 2021). Pengaruh bahasa terhadap tindakan menemukan esensi tersembunyi diyakini dapat mengarah pada pengetahuan yang lebih mendalam tentang gagasan Plato tentang kebenaran, yang dibentuk oleh bahasa. studi akademis sering berfokus pada persepsi manusia tentang kebenaran dan realitas (Zamroni, 2022). Namun, dalam hal mengenali
substansi kebenaran yang tersembunyi, bahasa juga sama pentingnya. Ini adalah konsep
yang dikemukakan oleh Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman yang menyatakan bahwa bahasa adalah
sarana untuk menemukan esensi yang tersembunyi (Duranti, 2023). Namun, bagaimana bahasa mempengaruhi persepsi kita tentang kebenaran,
dan bagaimana hal ini mengubah gagasan
tentang kebenaran seperti yang dikembangkan oleh
para filsuf klasik seperti Plato? Dalam pembahasan ini, kita akan melihat
perbedaan antara pendekatan Heidegger dan Plato tentang
kebenaran, serta bagaimana bahasa memainkan peran penting dalam mengungkapkan
esensi yang mendasari kedua perspektif ini. Dengan pengetahuan
yang lebih baik tentang peran bahasa
dalam proses pengungkapan esensi, kita bisa
mendapatkan pemahaman yang lebih bernuansa tentang gagasan kebenaran, yang telah diperdebatkan selama berabad-abad. Penelitian ini bertujuan untuk
memahami interpretasi
Heidegger atas filsafat
Plato, dengan fokus pada eksistensi dan fenomena yang nyata.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode filosofis dan analisis tekstual untuk mengeksplorasi sudut pandang kedua
filsuf tersebut. Data yang digunakan terdiri dari literatur filosofis yang dihasilkan oleh
Heidegger dan Plato (Wahid, 2021). Data yang diperlukan akan dianalisis secara menyeluruh, diikuti dengan perbandingan untuk menilai pengaruh bahasa pada penyelidikan Plato tentang gagasan kebenaran (Bakker & Zubair, 2007). Selanjutnya,
temuan-temuan dari penelitian ini akan disajikan dalam sebuah narasi
yang dapat dimengerti dan logis. Teknik filosofis yang digunakan akan memungkinkan peneliti untuk secara kritis
dan sepenuhnya mengeksplorasi
ide-ide kedua filsuf, sementara analisis tekstual akan membantu
memahami dan menafsirkan teks-teks yang rumit dan
multi-tafsir (Parmitasari et al., 2020). Penelitian
ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru tentang konsep kebenaran Plato, serta kontribusi Heidegger untuk memperluas dan meningkatkan pemahaman kita tentang filsafat, data untuk penelitian ini juga diperoleh melalui tinjauan literatur dan analisis teks yang menyeluruh, yang memungkinkan peneliti untuk menemukan bukti-bukti yang kuat dan relevan untuk mendukung
poin-poin yang diungkapkan.
dengan menggunakan strategi
ini, peneliti ingin menguji dan memperkuat argumen yang dibuat oleh kedua filsuf, serta mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang konsep
kebenaran dari sudut pandang lain (Bakker & Zubair, 2007). Sebagai
hasilnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memberikan wawasan yang berguna dan terperinci tentang kedua aliran
pemikiran, serta untuk berkontribusi pada pertumbuhan teori dan penelitian filosofis secara umum.
Hasil dan Pemabahasan
Heidegger
memulai perjalanan filosofisnya dengan meneliti metafisika klasik. Heidegger berpendapat bahwa para filsuf mulai dari Plato hingga Nietzsche semuanya percaya bahwa subjek
memiliki kendali atau pengaruh atas
gagasan "ada", tetapi dengan interpretasi
yang berbeda. Subjek dianggap terpisah dari objek. Mereka
gagal untuk mengenali perbedaan dasar antara sifat
eksistensi dan entitas spesifik yang ada. Sebagai contoh, gagasan tentang Wujud dapat ditelusuri
kembali ke pikiran, Tuhan, materi, roh, kehendak,
dan konsep-konsep terkait lainnya. Heidegger mengatakan bahwa gagasan tentang
"kelupaan akan keberadaan" merupakan inti dari tradisi filsafat
Barat kuno. Mereka telah mengabaikan kenyataan bahwa keberadaan tidak identik dengan keberadaan yang sebenarnya. Mereka gagal memahami
bahwa eksistensi mencakup semua aspek keberadaan dalam sebuah sistem
yang saling terkait.
Heidegger, yang dipengaruhi oleh Plato, percaya bahwa untuk
mengajukan sebuah pertanyaan, si penanya harus memiliki
pemahaman dasar tentang masalah yang sedang dipertimbangkan.
Menurut
Heidegger, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu mengajukan pertanyaan di antara sekian banyak makhluk
yang ada. Harimau,
orangutan, batu, bus, dan sangkar tidak
mempertimbangkan keberadaan
mereka sendiri.Heidegger
memberikan pemahaman alternatif terhadap konsep kebenaran Plato yang berangkat dari kepercayaan yang telah diterima secara luas. Heidegger berpendapat bahwa Plato memasukkan konsep kebenaran sebagai aletheia, yang berasal dari bahasa
Yunani "a-" yang berarti "tanpa" dan "lethe"
yang berarti "melupakan".
Aletheia dapat diterjemahkan sebagai "tanpa melupakan" atau "tanpa dilupakan". Menurut teori ini, kebenaran
sejati tidak hanya terdiri dari
perolehan informasi baru, tetapi juga ingatan atau pemulihan
pengetahuan yang sebelumnya
hilang. Heidegger menekankan
bahwa dalam filsafat Plato, gagasan tentang kebenaran, aletheia, tidak dapat dipahami hanya dengan akal
atau rasio. Lebih jauh lagi,
kebenaran ditemukan melalui perjumpaan intuitif yang berada di luar kemampuan akal manusia. Akibatnya,
hanya melalui proses dialektika (percakapan atau diskusi) yang mencakup pengalaman intuitif, orang dapat bergerak lebih dekat dengan kebenaran
sejati.
Gagasan
Heidegger menciptakan hubungan
antara bahasa dan kognisi manusia. Menurutnya, bahasa lebih dari sekadar
saluran komunikasi atau alat untuk
menyampaikan informasi; bahasa juga merupakan representasi pemikiran manusia. Dengan demikian, bahasa memiliki kekuatan untuk mengubah pengalaman kita tentang realitas. Plato juga memiliki pandangan yang sama, dengan menyatakan
bahwa bahasa memainkan peran penting dalam mengembangkan
pemahaman manusia.
Heidegger berpendapat bahwa
Plato melihat bahasa sebagai teknik untuk merepresentasikan hal-hal atau ide-ide dalam dunia fisik. Heidegger mengklaim bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk
memahami eksistensi dan realitas yang sebenarnya, bukan hanya sebagai
representasi.
Truth
as Aletheia
Aletheia,
yang berasal dari bahasa Yunani, mengacu pada tindakan menyingkap atau mengungkapkan apa yang tersembunyi atau terselubung. Heidegger percaya bahwa proses penyingkapan sangat penting untuk mengetahui kebenaran. Dia mengklaim bahwa kebenaran bukanlah entitas yang sudah ada sebelumnya
atau ditemukan, melainkan hasil dari manusia yang secara aktif menemukannya
melalui interaksi mereka dengan kosmos.
Sederhananya, kebenaran bukanlah representasi statis dari realitas, melainkan sebuah ide dinamis yang terus berkembang dan dipengaruhi oleh interaksi manusia (Huttunen & Kakkori, 2020). Being and Time, sebuah karya Heidegger yang berpengaruh, menyajikan kritiknya terhadap teori kebenaran Plato. Pandangan Heidegger tentang kebenaran sebagai aletheia berbeda dengan pemahaman tradisional tentang kebenaran sebagai hubungan antara bahasa dan realitas (Becker et al., 2015). Sebaliknya,
Heidegger berpendapat bahwa
kebenaran bukanlah properti dari objek
atau pernyataan, melainkan karakteristik mendasar dari kehidupan
manusia yang terkait erat dengan bahasa
dan proses kognitif, Heidegger berpendapat
bahwa Plato melihat kebenaran sebagai fenomena yang ditunjukkan atau diekspos kepada
kita daripada produk dari proses kognitif kita (Forsyth et al., 1997).
Heidegger
berpendapat bahwa pandangan tentang kebenaran ini sangat penting dalam pemikiran
Plato dan memiliki dampak
yang luas pada seluruh filsafatnya. Plato mendefinisikan
kebenaran sebagai aspek inheren dari
realitas yang ada secara independen dari akal budi
kita (Ignatius et al., 2022). Heidegger berpendapat bahwa aletheia adalah kejadian yang dinamis, bukan konsep yang statis, Aletheia tidak hanya mencakup pengungkapan kebenaran yang sebelumnya tersembunyi, tetapi juga penemuan dan eksplorasi yang terus menerus terhadap tingkat kebenaran dan realitas yang baru (Becker et al., 2015). Aletheia
sangat terkait dengan gagasan Heidegger tentang keberadaan di dunia, yang juga dikenal
sebagai Dasein. Dasein mengacu
pada berbagai cara manusia mengada, yang dibedakan oleh kemampuan kita untuk sadar
diri dan reflektif. Menurut Heidegger, aletheia adalah komponen penting dari Dasein karena ia mengekspresikan
keinginan bawaan kita untuk memahami
dan mengungkapkan kebenaran
keberadaan kita.
Pada
saat yang sama, Heidegger mengklaim bahwa aletheia adalah proses
fundamental yang ada di semua
entitas. Dia melihat aletheia sebagai komponen fundamental dari struktur kehidupan yang muncul dengan sendirinya
dalam berbagai cara. Secara umum,
Heidegger melihat konsep aletheia dari Plato sebagai fondasi penting untuk memahami
hubungan kita dengan kebenaran dan lingkungan (Murtaufiq & Fahruddin, 2019). Konsep
ini menyoroti gagasan bahwa realitas
tidaklah statis dan tidak berubah, melainkan terus-menerus diekspos dan dipahami dengan cara-cara baru. Plato melihat realitas sebagai wahyu, bukan hasil dari
proses kognitif kita.
Heidegger berpendapat bahwa
aletheia adalah fenomena dinamis dan bukan konsepsi statis, dan hal ini terkait
erat dengan konsepnya tentang ada-di-dalam-dunia, atau Dasein. Heidegger melihat aletheia sebagai komponen fundamental dari Dasein,
yang menunjukkan keinginan bawaan kita untuk
memahami dan mengungkapkan kebenaran keberadaan kita. Akhirnya, Heidegger melihat konsep aletheia dari Plato sebagai fondasi penting untuk memahami
hubungan kita dengan kebenaran dan lingkungan kita.
The
Allegory of the Cave
Metafora ini dimulai dengan
sekelompok orang yang telah
menghabiskan seluruh hidup mereka terpenjara
di sebuah gua dan dirantai bersama. Mereka terikat oleh dinding tanpa bentuk,
tidak dapat bergerak, dan hanya dapat merasakan gema dari dunia luar. Gua ini mewakili
dunia fenomena, realitas fisik yang dialami manusia dengan panca indera mereka.
Orang-orang di dalam gua merasa puas dengan
pemahaman mereka yang terbatas akan realitas
dan percaya bahwa gambar di dinding adalah satu-satunya kebenaran. Namun, salah satu orang yang dipenjara dibebaskan dan dipaksa untuk menghadapi cahaya yang berasal dari api di belakangnya.
Pada awalnya, dia tidak dapat melihat
karena cahaya yang luar biasa dan berjuang untuk melihat objek di sekitarnya, yang mewakili komponen fisik dari keberadaan. Proses ini melambangkan kesedihan dan ketidakpastian yang
muncul saat mencari kebenaran (Zamosc, 2017).
Setelah mata sang tahanan menyesuaikan diri dengan cahaya, ia melihat benda-benda
dalam bentuk aslinya dan menyadari bahwa bayangan yang tercipta di dinding hanyalah ilusi. Selanjutnya, dia dibawa ke luar
gua, di mana dia melihat sumber cahaya yang sebenarnya: matahari, yang mewakili dunia substansi, atau kebijaksanaan sejati dan kebenaran tertinggi (Losin, 1996). Awalnya, sang tawanan diliputi oleh intensitas kecerahan matahari dan tidak dapat menyadari realitas sejati dan kemegahan planet ini. Meskipun demikian, ketika dia mencurahkan
lebih banyak waktu untuk menyesuaikan
diri dengan pencahayaan, dia memperoleh pemahaman menyeluruh tentang kosmos dan mampu melihat segala sesuatu dalam keadaan
aslinya. Metafora gua mewakili situasi
manusia dan pemahaman kita yang terbatas tentang realitas (Sandler, 2017). Jelas, sebagian besar individu merasa puas dengan ilusi
yang mereka tangkap dengan indera mereka
dan tidak memiliki keinginan untuk mengejar kebenaran (Permono, 2021). Individu yang memiliki keberanian untuk memeriksa keyakinan mereka sendiri dan secara aktif mencari
informasi, di sisi lain, memiliki potensi untuk membebaskan diri dari kendala
ketidaktahuan dan mencapai pencerahan sejati. Metafora gua menyoroti
pentingnya menggunakan pemikiran logis dan secara aktif mencari
pengetahuan untuk mengungkap kebenaran. Metafora ini mendorong
orang untuk memeriksa persepsi mereka tentang realitas dan berusaha untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang
dunia dan diri mereka sendiri.
Language
Heidegger
berpendapat bahwa bahasa tidak hanya
berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan
pengetahuan dan kebenaran, tetapi juga sebagai alat untuk memahami
dan menyadari eksistensi manusia. Heidegger melihat bahasa sebagai tempat tinggal kebenaran, yang mengekspresikan hubungan eksistensi manusia dan dunia melalui
kata-kata (Losin, 1996). Bahasa, menurut
Heidegger, tidak hanya berfungsi sebagai metode komunikasi, tetapi juga sebagai domain untuk mengungkapkan dan memahami inti eksistensi manusia. Heidegger menekankan pentingnya mempelajari dan memahami bahasa karena bahasa adalah
satu-satunya cara bagi manusia untuk
menyadari signifikansi dan eksistensinya di dunia (Becker et al., 2015). Secara umum, perspektif
Heidegger tentang bahasa lebih menghargai eksistensi dan keberadaan manusia daripada transmisi pengetahuan dan kebenaran melalui bahasa, konsepsi Heidegger tentang konsep Plato tentang kebenaran menekankan pentingnya Bahasa (Zamosc, 2017). Menurutnya, bahasa lebih dari
sekadar alat komunikasi; bahasa adalah jalan fundamental untuk mengekspresikan realitas. Hal ini karena bahasa lebih
dari sekadar sekumpulan kata dan simbol; bahasa juga terkait erat dengan cara
kita hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Secara sederhana, bahasa mencerminkan pemahaman kita tentang alam semesta,
memungkinkan kita untuk mengartikulasikan dan menginterpretasikan berbagai gagasan. Heidegger berpendapat bahwa penggunaan bahasa ini menunjukkan
obsesi Plato untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi atau "tersingkap". Lebih jauh lagi, Heidegger melihat adanya hubungan yang signifikan antara kognisi dan komunikasi dalam kerangka filosofis Plato (Ignatius et al., 2022). Ia
berpendapat bahwa Plato percaya bahwa berpikir
dan berbicara saling terkait erat, dengan
bahasa berfungsi sebagai saluran yang digunakan untuk mengkomunikasikan ide-ide. Heidegger melihat
hal ini sebagai
penyimpangan dari pandangan tradisional Barat tentang pemikiran sebagai prosedur yang terisolasi dan terinternalisasi.
Plato mendefinisikan pemikiran
sebagai upaya individu dan komunitas yang terjadi melalui percakapan dan diskusi dengan orang lain.
Namun, pemahaman Heidegger tentang filsafat Plato telah menerima kritik. Beberapa orang berpendapat bahwa dia terlalu
menekankan bahasa sementara mengabaikan aspek penting lainnya
dari filsafat Plato, seperti metafisika dan etika (Ignatius et al., 2022). Tidak
jelas seberapa besar pandangan filosofis Heidegger sendiri mempengaruhi pembacaannya terhadap Plato. Meskipun dikritik, pembacaan Heidegger terhadap Plato memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap hermeneutika dan eksistensialisme.
Pemikirannya tentang kebenaran dan bahasa terus menginformasikan perdebatan filosofis.
Thought
Menurut
Heidegger, bahasa adalah ranah di mana kebenaran dibentuk dan dijaga. Pemikiran yang efektif dan akurat harus terus
menerus memeriksa penggunaan bahasa yang tepat untuk memahami
dan menjelaskan kebenaran.
Bahasa berfungsi sebagai
media komunikasi dan pemahaman
antarmanusia, oleh karena itu pemikiran yang efektif dan etis harus mempertimbangkan dimensi sosialnya. Namun, Heidegger menekankan keterbatasan bahasa dalam menyajikan kebenaran yang lengkap, mengakui bahwa aspek-aspek tertentu dari realitas luput
dari artikulasi verbal (Arif, 2017). Akibatnya, pikiran yang Cerdas harus berhati-hati saat menggunakan bahasa dan terus menilai apakah istilah yang dipilih berhasil menggambarkan keseluruhan realitas. Interpretasi Heidegger atas gagasan Plato tentang kebenaran menekankan hubungan antara bahasa dan pikiran. Ia berpendapat bahwa kognisi bukan
hanya proses rasional atau objektif, tetapi secara konstan
dipengaruhi oleh bahasa dan
lingkungan historis kita (Adian, 2016). Sederhananya, konsep kita tentang
realitas terkait erat dengan kebiasaan
budaya dan bahasa kita. Heidegger menekankan pentingnya mempertanyakan ide dan
prasangka kita dengan benar untuk
mengungkap kebenaran yang mendasarinya.
Bahasa
berfungsi sebagai instrumen untuk memahami akar eksistensial
kita, bukan hanya sebagai alat
untuk menyampaikan fakta. Heidegger juga menggarisbawahi
pentingnya bahasa sebagai media untuk mengekspresikan kehidupan dan pengalaman manusia, bukan hanya sebagai
alat untuk memahami dan mengomunikasikan realitas secara objektif (Basuki et al., 2023). Bahasa membentuk
identitas dan persepsi
orang sekaligus memengaruhi
ide dan perilaku mereka.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang akurat sangat penting untuk memahami diri kita sendiri
dan interaksi kita dengan dunia luar (Reiginayossi & Sitorus, 2023). Bahasa menentukan
bagaimana kita memandang realitas dan memahami diri kita
sendiri dan orang lain. Namun,
bahasa dapat membatasi kecerdasan dan pengalaman manusia. Heidegger berpendapat bahwa ketika bahasa digunakan
secara tidak benar atau secara
tertutup untuk mendikte realitas, bahasa dapat digunakan
untuk menindas dan menjajah. Oleh karena itu, bahasa harus
diperiksa secara kritis dan objektif untuk mempromosikan ide-ide yang bebas dan beragam. Dengan demikian, Heidegger melihat bahwa bahasa
berfungsi sebagai alam semesta yang rumit di mana kebenaran ditemukan, direpresentasikan, dan
dihargai. Peran bahasa dalam mengetahui dan berbagi kebenaran harus terus dieksplorasi
dan diselidiki dengan cermat untuk mencapai
pemikiran yang efektif, etis, dan bebas (Reiginayossi & Sitorus, 2023).
Pembahasan
Pengungkapan esensi tersembunyi dalam penjelasan Heidegger tentang gagasan Plato tentang kebenaran secara signifikan dibentuk oleh kerangka linguistik yang digunakan.
Heidegger percaya bahwa bahasa memainkan peran penting dalam
menyingkap esensi yang tersembunyi. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai mekanisme untuk memahami dunia dan esensinya.
Heidegger berpendapat bahwa
dalam karyanya
"Theaetetus", Plato menegaskan bahwa kebenaran adalah korespondensi antara proposisi dan aktualitas. Namun demikian, Heidegger menolak perspektif ini karena ia percaya
bahwa kebenaran tidak dapat dipahami
secara proposisional melalui bahasa. Namun, kebenaran hanya dapat dipahami
melalui perjumpaan pribadi yang dibentuk oleh
kata-kata. Heidegger menggarisbawahi bahwa bahasa tidak
hanya berfungsi sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai atribut manusiawi yang berbeda yang memungkinkan kita untuk memahami
esensi dan signifikansi
dunia. Bahasa memiliki kemampuan
untuk mengekspos aspek-aspek tersembunyi dari dunia, tetapi juga dapat mengaburkannya. Dengan demikian, bahasa memiliki kemampuan untuk membentuk pemahaman kita tentang esensi
yang tersembunyi. Menurut pembacaan Heidegger terhadap
Plato, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan ide kebenaran, tetapi juga memainkan peran penting dalam memahami
esensi dunia yang tersembunyi.
Bahasa sangat penting dalam
mengungkap esensi karena berfungsi sebagai cerminan dari persepsi dan pemahaman manusia tentang dunia. Heidegger berpendapat
bahwa bahasa memiliki kapasitas untuk membatasi pemahaman kita akan esensi yang tersembunyi. Heidegger berpendapat
bahwa bahasa Plato, dalam hal memahami
realitas, masih dibatasi oleh konsepsi proposisional yang terbatas dan hanya dapat menangkap
sebagian dari esensi fundamental.
Lebih jauh lagi, Heidegger menggarisbawahi pentingnya bahasa dalam membentuk
pemahaman kita akan kebenaran. Ia berpendapat bahwa bahasa mempengaruhi
pemahaman kita akan kebenaran melalui pengungkapan. Dalam pengungkapan ini, bahasa tidak
hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan ide, tetapi juga sebagai media yang melaluinya sifat realitas yang tersembunyi dapat disingkapkan. Bahasa memiliki kemampuan untuk mengungkapkan aspek-aspek yang tersembunyi dari sifat dasar
dan menumbuhkan pemahaman
yang lebih rumit dan komprehensif tentang kebenaran. Namun, Heidegger juga menggarisbawahi bahwa bahasa tidak mampu
merefleksikan esensi secara lengkap dan akurat. Bahasa pada dasarnya terbatas dan dapat mengaburkan bagian-bagian tertentu dari esensi.
Orang yang berbeda dapat menafsirkan esensi yang tersembunyi secara berbeda ketika mereka menggunakan kata-kata yang
sama. Perbedaan ini muncul dari
variasi pemahaman dan persepsi individu terhadap terminologi. Heidegger menegaskan bahwa bahasa tidak sepenuhnya
dapat dipercaya dalam hal memahami
sifat tersembunyi dari berbagai hal.
Sebaliknya, ia memandang bahasa sebagai alat yang rumit yang rentan disalahpahami.
Heidegger
menyoroti pentingnya konteks dalam memahami
esensi yang tersembunyi sambil menjelaskan konsep Plato tentang kebenaran. Ia berpendapat
bahwa bahasa selalu digunakan dalam konteks tertentu,
dan setiap individu memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda. Bahasa adalah konstruksi sosial yang membentuk bagaimana seseorang memahami dan menafsirkan esensi yang mendasarinya. Oleh karena itu, untuk mencapai
pemahaman yang lebih mendalam tentang inti, penafsiran bahasa membutuhkan ketergantungan pada faktor-faktor kontekstual. Selain itu, Heidegger juga menyoroti pentingnya pengetahuan intuitif dalam memahami esensi yang tersembunyi. Ia percaya bahwa
bahasa tidak dapat sepenuhnya mengungkapkan inti, tetapi intuitusi memungkinkan individu untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang dunia. Bahasa dapat memberikan konsep dan istilah yang dapat membantu pemahaman intuitif, tetapi inti yang sebenarnya tidak dapat diungkapkan
melalui bahasa semata. Overall, Heidegger menyampaikan
pentingnya bahasa dalam memahami esensi yang tersembunyi, terutama dalam perspektif Plato tentang kebenaran. Bahasa bukan hanya sebagai sarana
untuk menyampaikan kebenaran, tetapi juga sebagai mekanisme yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi manusia tentang dunia dan esensinya. Namun, bahasa juga memiliki keterbatasan dan dapat mengaburkan pemahaman tentang esensi. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang esensi membutuhkan ketergantungan pada konteks, pengetahuan intuitif, dan pengalaman individu.
Pemahaman
yang mendalam dan menyeluruh,
melampaui pemahaman yang dangkal dan lebih dari sekadar pemahaman
teoretis atau konseptual. Dalam hal ini, hal
ini berkaitan dengan pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang sifat dasar
kebenaran dan penjelasan
Heidegger tentang gagasan
Plato tentang kebenaran. Untuk benar-benar memahami sifat dasar dari sesuatu,
seseorang harus bergantung pada keadaan sekitar, pemahaman intuitif, dan perjumpaan pribadi. Oleh karena itu, tidak cukup
hanya mengandalkan pemahaman teoretis dan konseptual umum untuk mendapatkan pemahaman yang tepat tentang suatu gagasan
atau fenomena. Namun, hal ini
juga membutuhkan pemahaman
yang lebih mendalam tentang konteks historis, budaya, atau situasi yang mempengaruhi konsep tersebut. Untuk memahami substansi penuh dari konsep
tersebut, penting untuk memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang konteksnya.
Selain itu, untuk mencapai
pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam, diperlukan juga pengetahuan intuitif. Pengetahuan intuitif mencakup kapasitas untuk memahami suatu konsep tidak hanya
melalui cara-cara kognitif, tetapi juga melalui intuisi atau naluri. Pengetahuan
intuitif memungkinkan seseorang untuk memahami sifat dasar dari sebuah
ide tanpa perlu pemahaman teoritis yang berlebihan. Pemahaman yang melekat ini juga mencerminkan pertemuan pribadi yang telah dibentuk oleh keadaan dan lingkungan tertentu, sehingga membantu pemahaman yang lebih mendalam tentang esensi kebenaran. Pada akhirnya, untuk mencapai pemahaman yang mendalam dan mencakup segalanya, diperlukan pengalaman pribadi juga. Pengalaman meningkatkan pemahaman seseorang terhadap gagasan dengan memberikan paparan langsung terhadap realitas yang mendasari yang tersembunyi di dalam konsep. Oleh karena itu, pengalaman
pribadi dapat berfungsi sebagai sarana yang signifikan untuk memahami kebenaran dan penjelasan
Heidegger tentang gagasan
Plato tentang kebenaran.
Interpretasi
Heidegger atas filsafat
Plato menyoroti eksistensi
dan fenomena yang nyata, menyimpang dari konsep kebenaran Plato yang abadi. Pandangan ini menghadirkan pertanyaan mengenai hubungan antara realitas konkret dan gagasan yang abadi, serta dampaknya terhadap penggunaan bahasa dan pemahaman manusia terhadap dunia sekitar. Bagi Heidegger, bahasa merupakan alat untuk memahami
alam semesta namun juga sumber kesalahan dalam pengetahuan manusia tentang kenyataan. Hal ini menimbulkan tantangan etis tentang tanggung jawab manusia dalam
menggunakan bahasa secara efektif untuk memahami realitas. Lebih lanjut, konsep Heidegger tentang penyingkapan alam memperluas pemahaman tentang fitur ontologis bahasa, menjadikan bahasa sebagai sarana untuk memahami
eksistensi dalam konteks yang lebih luas. Dengan demikian,
interpretasi Heidegger terhadap
konsep kebenaran Plato memiliki dampak signifikan pada pemahaman kita mengenai hubungan
antara bahasa dan kehidupan manusia. Untuk memahami sifat kebenaran dan interpretasi Heidegger tentang konsep kebenaran Plato, seseorang harus memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan integrasi ketergantungan konteks, pengetahuan intuitif, dan pengalaman individu. Pemahaman tidak hanya bergantung pada gagasan dan konsepsi yang menyeluruh, tetapi juga mencakup elemen-elemen yang mencerminkan eksistensi dan aktualitas manusia yang nyata. Oleh karena itu, untuk benar-benar
memahami esensi, seseorang harus mengembangkan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang sifat dasar
kebenaran dan interpretasi
Heidegger tentang gagasan
Plato tentang kebenaran.
Kesimpulan
Heidegger
menekankan pentingnya bahasa dalam membentuk
pemahaman kita akan kebenaran. Ia percaya bahwa
bahasa mempengaruhi pemahaman kita akan kebenaran, dan bahwa bahasa dapat
digunakan dengan berbagai cara, tergantung pada pengetahuan dan persepsi individu. Sebagai contoh, orang yang berbeda dapat menginterpretasikan
kebenaran secara berbeda ketika menggunakan terminologi yang sama. Perbedaan ini muncul dari
perbedaan persepsi dan terminologi individu. Heidegger
juga menyoroti pentingnya konteks dalam memahami
kebenaran, dengan menyatakan bahwa bahasa selalu digunakan
dalam konteks tertentu, dan setiap individu memiliki pengalaman dan tingkat pengetahuan yang berbeda. Bahasa adalah sebuah konstruksi
sosial yang membantu individu untuk memahami dan menginterpretasikan esensi. Untuk mencapai
pemahaman yang lebih dalam tentang intuisi,
bahasa perlu dipengaruhi oleh faktor-faktor kontekstual. Sebagai kesimpulan, Heidegger menekankan pentingnya bahasa dalam memahami kebenaran, khususnya dalam perspektif Plato. Bahasa bukan hanya sarana
untuk mengekspresikan ide, tetapi juga mekanisme untuk memahami dunia dan esensinya. Bahasa bukan hanya sarana untuk
mengekspresikan ide tetapi
juga sarana untuk memahami dunia melalui intuisi. Secara keseluruhan, Heidegger menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami kebenaran, menekankan perannya dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia dan esensinya.
BIBLIOGRAFI
Adian, D. G. (2016). Pengantar fenomenologi. Penerbit
Koekoesan.
Arif, M. (2017). Hermeneutika Heidegger Dan Relevansinya
Terhadap Kajian Al-Qur’an. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, 16(1),
85–106.
Bakker, A., & Zubair, A. C. (2007). Metodologi
penelitian filsafat.
Basuki, B., Rahman, A., Juansah, D. E., & Nulhakim, L.
(2023). Perjalanan menuju pemahaman yang mendalam mengenai ilmu pengetahuan:
studi filsafat tentang sifat realitas. Jurnal Ilmiah Global Education, 4(2),
722–734.
Becker, G., Jors, K., & Block, S. (2015). Discovering the
truth beyond the truth. Journal of Pain and Symptom Management, 49(3),
646–649.
Duranti, A. (2023). If it is language that speaks, what do
speakers do? Confronting Heidegger’s language ontology. Journal of
Linguistic Anthropology, 33(3), 285–310.
Forsyth, T., Thomas, T., Torrance, F., Morrison, J. D., &
Kendall, R. T. (1997). Scholars Crossing Scholars Crossing Patenloster
Bibhcal and Iogical Monol!I"Aphs Calvin And English Calvinism The Extent
Of The Atonement. https://digitalcommons.liberty.edu/Lts_Fac_Pubs/100
Huttunen, R., & Kakkori, L. (2020). Heidegger’s theory of
truth and its importance for the quality of qualitative research. Journal of
Philosophy of Education, 54(3), 600–616.
Ignatius, I., Umotong, I., & Dennis, O. (2022).
Heidegger’s notion of truth as Alethia: a critical exposition. International
Journal of Humanities and Innovation (IJHI), 5(2), 74–79.
Losin, P. (1996). Education and Plato’s parable of the cave. Journal
of Education, 178(3), 49–65.
Murtaufiq, S., & Fahruddin, A. H. (2019). Esensi
Pendidikan Ontologis Heidegger bagi Pendidikan Tinggi. Akademika, 13(02).
Owens, W. D. (1987). Heidegger and the philosophy of
language. Auslegung: A Journal of Philosophy, 14(1), 48–66.
Parmitasari, R. D. A., Bulutoding, L., & Alwi, Z. (2020).
Landasan filosofis metodologi penelitian multiparadigma: suatu pengantar. Jurnal
Study of Scienific and Behavioral Management (SSBM) Vol, 1, 79–94.
Permono, S. A. (2021). Mencecap Esensi Kebenaran di Zaman
Pascakebenaran. Dekonstruksi, 1(01), 71–86.
Reiginayossi, M., & Sitorus, F. K. (2023). Bahasa Sebagai
Cermin Identitas Analisis Perspektif Martin Heidegger. Jurnal Ilmu
Komunikasi Dan Media Sosial (JKOMDIS), 3(3), 657–660.
Sandler, P. (2017). Heidegger’s Philosophy of Language in
Being and Time. Episteme, 28(1), 5.
Wahid, L. A. (2021). Eksistensi dan metodologi pendekatan
filosofis dalam studi islam. Edisi, 3(3), 472–488.
Zamosc, G. (2017). El significado político de la alegoría de
la caverna de Platón. Ideas y Valores: Revista Colombiana de Filosofía, 66(165),
237–266.
Zamroni, M. (2022). Filsafat Komunikasi: Pengantar
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. IRCiSoD.
Copyright
holder: Nindyo Andayaning Pandusaputri (2024) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |