Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

IMPLEMENTASI TEORI PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TATANAN HUKUM PERSEROAN INDONESIA

 

Rivaldo Malau1, Fransisko Bryan Mosa2, Gloria Lestari Sitanggang3, Arita Novalia Jambormias4

Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia1,2,4

Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia4

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4

 

Abstrak

Dalam tatanan hukum perseroan, lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas, memberikan suatu pengertian bahwa dalam sector hukum perseroan telah mengalami kemajuan, hal ini sebagai suatu perwujudan dari doktrin-doktrin hukum modern dalam perseroan yang tidak ditemukan dalam aturan hukum sebelumnya. Oleh karena itu perlu adanya prinsip kehati-hatian, arif dan bijaksana yang pada akhirnya akan merujuk pada perspektif keadilan dalam cakrawala hukum terhadap penerapan doktrin tersebut, dengan demikian efektivitas dari Piercing The Corporate Veil diharapkan tidak semata-mata sebagai Counter productive, namun sebaliknya dapat digunakan sebagai acuan dalam kegiatan bisnis Perseroan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan implementasi Teori Piercing The Corporate Veil dalam tatanan hukum perseroan Indonesia. Metode yang digunakan adalah deskritif analitik dengan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan ruang bagi penerapan doktrin ini, yang mengesampingkan selubung inkorporasi untuk membebankan tanggung jawab hukum kepada pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris.

Kata Kunci: Implementasi, Perseroan, Piercing The Corporate Veil

  

Abstract

In the order of corporate law, the birth of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, as a replacement for Law Number 1 of 1995 concerning Limited Liability Companies, provides an understanding that the corporate law sector has progressed, this is a manifestation of modern legal doctrines in the company that were not found in the previous legal rules. Therefore, it is necessary to have the principle of prudence, wisdom and prudence which will ultimately refer to the perspective of justice in the legal horizon towards the application of the doctrine, thus the effectiveness of Piercing The Corporate Veil is expected not merely as Counter productive, but instead can be used as a reference in the Company's business activities. This research aims to describe the implementation of Piercing The Corporate Veil Theory in the Indonesian corporate law order. The method used is analytical description with conceptual approach. The results show that Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies provides space for the application of this doctrine, which overrides the veil of incorporation to impose legal liability on shareholders, directors, and commissioners.

Keywords: Implementation, Company, Piercing The Corporate Veil

Pendahuluan

Dinamika dari perkembangan hukum, memberikan suatu pengertian yang umum bagi khalayak, bahwa sejatinya hukum bukan hanya bersifat rigid namun dapat juga bersifat fleksibel (Kahar, 2019). Tentunya yang mendasari hal tersebut adalah dengan adanya suatu perbandingan dan analisa yang fundamentalis antara berbagai sector baik sosial, politik, dan ekonomi dari arus pergerakan masyarakat, yang saling terhubung. Arus pergerakan yang selaras dari sektor-sektor tersebut, pada akhirnya akan memberikan pengaruh dalam pergerakan dan perkembangan hukum. Secara sederhana pergerakan dan perkembangan hukum dapat ditandai dengan muncul nya berbagai aturan-aturan terbaru sebagai jawaban dari tatanan hidup masyarakat yang terus berkembang kearah yang lebih modern (Utsman, 2009).

Aturan-aturan hukum atau dogmatika hukum tersebut, merupakan perwujudan dari berbagai teori-teori hukum yang awalnya adalah abstrak (Salam, 2019). Oleh karenanya implementasi dari berbagai teori hukum dapat dipergunakan apabila di interpretasikan dengan aturan-aturan hukum yang telah ada (Hakim, 2016). Dengan lahirnya ketentuan hukum terbaru dalam bidang hukum perseroan, memberikan ruang bagi teori-teori hukum perseroan modern, yang sebelumnya tidak terakomodir. Dengan demikian teori-teori hukum perseroan modern yang berkembang ini, diharapkan menjadi tolak ukur dari batasan hak dan kewajiban Perseroan serta organ perseroan dalam lingkup tanggugjawabnya terhadap pemerintah dan masyarakat, apabila terbukti melakukan suatu perbuatan yang secara hukum tidak diperkenankan.

Dalam perkembangan hukum perseroan di Indonesia, dikenal salah satu doktrin yakni, Penyingkapan tirai perusahaan, atau dalam bahasa inggris dikenal dengan doktrin Piercing The Corporate Veil sejatinya doktrin ini dikenal dalam sebagian besar sistem hukum modern saat ini, namun aplikasi dari doktrin tersebut akan berbeda baik interpetasi, implementasi serta derajat pengakuan (Fuady, 2014). Hal ini disebabkan adanya perbedaan dari sistem hukum yang ada dari Negara yang menganutnya, baik sistem hukum Anglo saxon, maupun Eropa Kontinental serta adanya perbedaan penafsiran hukum dalam sudut pandang terkait efektivitas berlakunya doktrin tersebut dari Negara yang bersangkutan. Berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan (Indrapradja, 2020), seyogyanya telah mengakomodir doktrin tersebut, maka interpretasi dari aturan yang telah ada, pada akhirnya akan menjadi cikal bakal, sampai dimana batasan pemberlakuan dari doktrin tersebut, serta siapa saja yang dapat tunduk pada doktrin tersebut.

Dengan dikukuhkannya Undang-undang Nomor 40 tahun Tahun 2007, Tentang Perseroan (Suharto, 2020), telah diberikan suatu batasan secara khusus bahwa Piercing The Corporate Veil dalam implementasinya akan ditujukan kepada Pihak pemegang saham, direksi maupun secara khusus dan terbatas kepada dewan komisaris, dari suatu perseroan. Jika dianalisa secara sederhana, Teori Piercing The Corporate Veil, memiliki makna negative, hal tersebut dikarenakan, efektivitas dari doktrin ini, akan berakibat pada banyak pihak yang dapat dirugikan, dikarenakan adanya pembebanan tanggungjawab hukum dengan mengesampingkan hak dan tanggungjawab antara Perseroan dengan Organ Perseroan, dan juga meminta pertanggungjawab hukum dari pihak ketiga baik perorangan maupun perseroan lain yang memiliki perikatan dalam hubungan bisnis, sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perseroan (Pelaku).

Efektivitas Percing The Corporate veil, tentunya tidak terlepas dari tindakan perseroan dalam hal ini organ perseroan (Kandiawan & Kansil, 2020), yang bertindak secara langsung ataupun tidak langsung melaksanakan kegiatan bisnis dengan tidak mempertimbangkan secara seksama, serta penuh kehati-hatian pada setiap keputusan yang dibuat. Bertolak dari hal tersebut, ada beberapa doktrin hukum modern yang memiliki keterkaitan dengan berlakunya Piercing The Corporate Veil. Doktrindoktrin tersebut, merupakan perkembangan lebih lanjut yang saling terhubung serta memiliki efektivitas tersendiri, dalam kajian pengawasan serta tolak ukur, kewajiban terbatas dan khusus perseroan serta organ perseroan, dalam hal ini, Pemegang saham, Direksi, dan juga  Komisaris.

Terlepas dari hal tersebut, konsep dasar yang patut dipahami, didalam lingkup badan usaha di Indonesia, terdapat berbagai bentuk pendirian perusahaan. Klasifikasi bentuk pendirian perusahaan, dapat dilihat dari jumlah pemilik, kemudian apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan (Abdulkadir, 1995). Dengan demikian adanya perbedaan yang struktural memberikan suatu dampak yang saling terkait terhadap pertanggungjawaban secara yuridis apabila perusahaan tersebut, berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum.  

Seyogyanya patut di perhatikan secara seksama, sebab apabila dikemudian hari perusahan tersebut merugi, pertanggungjawaban secara hukum akan dilihat dari bentuk badan usaha tersebut, apakah tidak adanya pemisahan harta antara pemilik/pendiri dengan perusahaan tersebut ataupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan adanya pertanggungjawaban secara terpisah antara harta benda perusahaan dengan pendiri/perusahaan apabila berbadan hukum, maupun tidak adanya pertanggungjawaban yang terpisah antara, pendiri/pemilik perusahaan dengan perusahaan apabila belum/bukan merupakan badan hukum. Namun terkadang dengan adanya prinsip yang sama, terkait pemisahan personalitas badan hukum dengan perusahaan, memberikan suatu hambatan adanya keterlibatan pihak luar terhadap tindakan organ Perusahaan, dikarenakan adanya perlindungan dibalik makna selubung inkorprasi (Crus, 2021).  Hal-hal yang telah diuraikan tersebut, merupakan dasar dari pengkajian teori piercing the corporate veil.

Apabila di kaji lebih dalam lagi, Doktrin Piercing The Corporate Veil secara umum dipandang sebagai suatu konsep untuk mendiskreditkan teori-teori hukum perseroan modern,yang berkaitan dengan tanggungjawab yuridis oleh organ perseroan. dimana terkadang dipakai sebagai celah hukum untuk membenarkan setiap tindakan bisnis yang dilakukan oleh organ perseroan, secara terselubung, dan terstruktur, bahkan untuk kepentingan tertentu, yang puncaknya dapat merugikan banyak pihak. Namun hal tersebut tentulah tidak tepat, karena fungsi dari Piercing The Corporate veil bukan semata-mata sebagai counter productive, tetapi lebih kepada fungsi pengawasan serta keseimbangan apabila pelaksanaan doktrin-doktrin hukum perseroan lainnya yang berkaitan dengan tanggungjawab yuridis tidak di laksanakan dengan itikad baik.

   Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas, telah mengakomodir, doktrin Piercing The Corporate Veil (Rosadi & Januarita, 2022) dan memberikan legitimasi secara terbatas dalam lingkup hukum perseroan, terhadap Pemegang Saham, Direksi, serta komisaris (Tanggung jawab terbatas). Pada pembahasan lebih lanjut, akan diuraikan sejauh mana pertanggungjawaban terbatas yang dapat diterima oleh organ-organ perseroan tersebut, apabila diberlakukannya, Doktrin Piercing The Corporate Veil.

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode pendekatan yang bersifat deskritif analitik. Dengan pendekatan konseptual (conseptual approach) dan sasaran yang hendak dicapai adalah penelahaan Implementasi Teori Piercing The Corporate Veil Dalam Tatanan Hukum Perseroan Indonesia. Tipe penelitian yang mendasari diri dengan tipe deskritif analitik memberikan peluang dalam penelitian ini untuk menggambarkan secara utuh dan menyeluruh proses yang hendak diwujudkan dalam menjawab rumusan masalah penelitian yang diajukan

 

Hasil dan Pembahasan

Konsep Pertanggugjawaban Yuridis Oleh Suatu Perusahaan

Di dalam pengelompokan pertanggungjawaban hukum, oleh suatu perusahaan, dapat dibedakan sesuai dengan bentuk badan usaha nya, dengan demikian, secara garis besar konsep pertanggungjawaban yuridis suatu perusahaan dapat diuraikan sebagaimana berikut:

A. Pertanggungjawaban yuridis entitas badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum

Apabila, suatu entitas badan usaha / perusahaan bukan merupakan badan hukum, maka tidak dikenal adanya pertanggungjawaban secara terbatas, hal ini dikarenakan tidak adanya pemisahan harta kekayaan yang structural antara entitas badan usaha/perusahaan dengan pendirinya. Tetapi dikenal adanya kesatuan harta antara entitas badan usaha/perusahaan dengan pemiliknya. Dengan demikian , secara normative, pertanggungjawaban hukum tidak terpisah antara entitas badan usaha/perusahaan dengan tanggung jawab pribadi milik perusahaan tersebut, apabila didalam kegiatan bisnis nya mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga, maka pihak ketiga dapat  leluasa menuntut pertanggugjawaban hukum dari pemilik entitas badan usaha/perusahaan tersebut, termasuk didalamnya harta kekayaan pemiliknya apabila diperlukan adanya sita dan dilelang, untuk kepentingan pihak-pihak yang dirugikan. Konsekuensi hukum yang diterima oleh pendiri dan peilik dari suatu entitas badan usaha/perusahaan yang tidak berbentuk badan hukum, merupakan implementasi lebih lanjut dari ketentuan 1131 BW, “ segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perseorangan debitur itusecara umum dikenal beberapa entitas/badan usaha tidak berbentuk badan hukum,yakni persekutuan/cv, perkumpulan, firma dan komanditer (Harahap, 2021).

B.  Pertanggungjawaban yuridis entitas badan usaha yang berbentuk badan hukum

Secara umum badan usaha yang berbentuk badan hukum dapat dikenal dalam beberapa entitas, seperti Perseroan terbatas, koperasi dan sebagainya. Entitas badan usaha seperti ini dikenal adanya pemisahan harta kekayaan secara structural antara badan usaha/perusahaan dengan pendiri/pemilik entitas tersebut. Hal ini menegaskan perbedaan pertanggungjawaban hukum, yang dapat dilakukan apabila dikemudian hari terjadi kerugian bagi pihak lain, akibat dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh entitas tersebut. Tanggung jawab hukum yang dimaksud adalah, dalam hal pemberesan harta kekayaan suatu perusahaan, pendiri/pemilik perusahaan hanya bertanggungjawab sebatas modal yang ditanamkan pada entitas perusahaan tersebut, sehingga harta benda pribadi milik pendiri/pemilik perusahaan tersebut, tidak dapat disita maupun digugat untuk dibebankan sebagai bagian dari perseroan tersebut. Hal ini merupakan prinsip dasar dari pengakuan pertanggungjawaban suatu perusahaan berbentuk badan hukum.

Seyogyanya pertanggungjawaban hukum yang mendasar dari suatu entitas badan usaha diatas, menghasilkan suatu kajian teoritis lebih lanjut, yakni terhadap entitas seperti apa, yang dapat menjadi fokus dari implementasi Piercing The Corporate Veil? Tentunya untuk menjawab hal ini, secara teoritis, dapat merujuk pada suatu entitas badan usaha/perseroan yang berbentuk badan hukum. Perkembangan dari doktrin  Piercing The Corporate Veil pada awalnya merupakan suatu doktrin pembanding, terhadap prinsip keterpisahan tanggung jawab yuridis, antara entitas badan usaha/perusahan selaku badan hukum dengan para pemegang saham selaku Pemilik terbatas perseroan, yang dimana pengakuan prinsip keterpisahan ini, secara tegas dalam tatanan hukum Indonesia, diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas, yaitu secara garis besar para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita oleh perseroan, akibat dari perikatan yang dibuat atas nama perseroan, namun bertanggung jawab hanya sebatas saham yang dimiliki. Dengan demikian harta kekayaan para pemilik/pemegang saham perseroan tetap terlindungi. Prinsip ini merupakan bagian dari selubung inkorporasi, namun dalam hal tertentu, Piercing The Corporate Veil, dapat menembus selubung ini.

 

Keberadaan Piercing The Corporate Veil dalam Tatanan Hukum Perseroan Secara Generalis

Konsep dasar, dari doktrin Piercing the corporate veil secara universal dikenal dengan teori yang merujuk pada penyingkapan tirai suatu perusahaan. Hal ini dapat diterjemahkan dalam bahasa inggris pada penggalan kata-kata nya, yakni :

1)    Pierce                  :  Mengoyak atau merobek serta menembus

2)    Veil                      :  Suatu tirai atau penudung

3)    Corporate            :  Perusahaan

Dengan demikian secara harfiah memberikan definisi, adanya suatu doktrin yang bertindak sebagai penyingkap atau penembus suatu tirai/penudung perusahaan. Definisi ini apabila dikembangkan lagi dalam hukum perusahaan, maka secara konkrit akan merujuk pada pertanggungjawaban hukum yang dibebankan kepada pundak seseorang ataupun suatu perusahaan lainnya, sebagai akibat dari tindakan bisnis yang dilakukan oleh entitas badan usaha/perusahaan lainnya, tanpa mempertimbangkan ataupun mengabaikan fakta dalam memposisikan pelaku perusahaan yang sebenarnya. Sehingga mengakibatkan diabaikannya selubung inkorporasi, dalam konsep pemisahan structural badan hukum dengan organ perseroan (pelaku) tersebut.

Sebagai akibat dari hal tersebut, apabila terjadi suatu penyelesaian secara litigasi, maka pengadilan akan mengabaikan identitas perseroan tersebut sebagai badan hukum, serta membebankan tanggung jawab hukum secara personal kepada pelaku (organ perseroan), dengan tidak mempertimbangkan keterpisahan tanggung jawab hukum yang structural dan terbatas, antara personal pelaku (organ perusahaan) dengan Perseroan. Jika hal ini telah dilaksanakan, maka seyogyanya pengadilan telah mengoyak serta menyingkap selubung perusahaan tersebut (Friedman & Barnhill, 2000). Umum nya teori ini akan berlaku secara masif, apabila dalam kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perseroan menimbulkan kerugian serta adanya tuntutan dari pihak ketiga yang dirugikan atas tindakan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan terkait. Dewasa ini, Doktrin Piercing the Corporate Veil, secara umum dapat di implementasikan terhadap hal-hal sebagaimana berikut;

1)    Tidak terpenuhinya formalitas pendirian perusahaan

2)    Permodalan yang kecil tidak sebanding dengan bentuk dan arus pergerakan bisnis perusahaan.

3)    Setiap keputusan bisnis Perseroan, tidak didasarkan pada formalitas tertentu, dengan mengabaikan prinsip dalam anggaran dasar (misalnya RUPS)

4)    Penggunaan aset dan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi serta mengabaikan formalitas pembukuan dan juga record keeping, sehingga berpotensi terjadinya campur aduk antara aset perusahaan dengan aset dari pemegang saham

5)    Perusahaan tersebut, di fasilitasi sebagai alter ego, sebagai akibat dari adanya dominasi pemegang saham

6)    Dalam bentuk Perusahaan Holding, adanya intervensi yang terstruktur terhadap entitas anak perusahaannya, sehingga beban pertanggungjawaban dilimpahkan kepada anak perusahaannya.

7)    Terhadap setiap tindak pidana di bidang korporasi, yang dilakukan oleh perusahaan dengan merugikan kepentingan umum.

hal diatas merupakan gambaran umum secara relative, yang sering dilakukan oleh banyak perusahaan, dengan potensi pelanggaran hukum yang sangat masif. Hal ini lah yang menjadi kajian penerapan dari Piercing the Corporate Veil secara universal. Dengan demikian, dalam tatanan hukum perseroan secara universal, teori penyingkapan tirai perusahaan, dapat diimplementasikan, terhadap hal berikut ini:

1.   Perusahaan tidak patuh terhadap formalitas hukum tertentu.

Terkait formalitas tertentu dalam perusahaan, pada umumnya bukan hanya berkaitan dengan legalitas pendirian perusahaan namun juga berkaitan dengan segala aspek kegiatan bisnis dari perseroan itu sendiri. Dengan fokus kajian bukan untuk melindungi pihak lain seperti pihak ketiga yang terlibat dalam kegiatan bisnis perseroan tersebut, namun semata-mata, untuk penegakan hukum secara formalitas, menurut aturan hukum yang berlaku bagi perusahaan. Penerapan dari doktrin Piercing the Corporate Veil yang dimaksud dalam hal ini adalah ;

a.     Ketidakpatuhan terhadap ketentuan anggaran dasar mengenai pemilihan dan pengesahan direksi, komisaris dan sebagainya.

b.     Tidak melaksanakan kewajiban yang berkaitan dengan penempatan modal dan penyetoran modal terhadap perseroan

c.     Adanya intervensi yang masif dari pemegang saham terhadap kegiatan bisnis perusahaan.

2.   Entitas Badan hukum/Perusahaan Group, dalam Hubungan antara Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan.

Perusahaan group, menurut pendapat Emmy Pangaribuan, didefinisikan sebagai gabungan beberapa perusahaan, yang terpisah secara entitas badan hukum, namun memiliki keterkaitan dalam kesatuan ekonomis (Simanjuntak, 1997). Dalam kegiatan bisnisnya, induk perusahaan atau Holding Company umumnya memiliki kendali yang masif terhadap anak perusahaannya, dikarenakan memiliki kedudukan sebagai pemegang saham mayoritas pada anak perusahaan tersebut (Ramadhanti, 2022), walaupun adanya prinsip kemandirian dari masing-masing badan usaha tersebut.

Dewasa ini keterkaitan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan, mengakibatkan beberapa problem hukum, yang pada akhirnya akan menjadi kajian dari penerapan Piercing The Corporate Veil.  Misalnya dalam melaksanakan kegiatan bisnis, adanya keterpisahan secara artifisial dengan arah kebijakan bisnis masing-masing, namun bisnis tersebut kemudian dimanipulasi, seolah-olah hanya dilaksanakan oleh satu entitas perusahaan saja, dengan harapan meminimalisir pertangungjawaban secara renteng antara perusahaan-perusahaan terkait apabila terjadi pelanggaran hukum dari bisnis yang dijalankan.

Hal lainnya yang menjadi titik fokus dari penerapan doktrin Piercing The Corporate Veil terhadap hubungan antara Holding Company dengan anak perusahaannya adalah apabila terjadi kontrol yang terlalu masif oleh perusahaan induk, melampaui batas-batas wajar dalam hubungan bisnis, dengan melakukan tindakan-tindakan yang patut, seperti penipuan, tidak jujur dalam menjalankan bisnis, serta tindakan lain yang terindikasi tidak berasaskan keadilan.

3.   Doktrin Piercing The Corporate Veil Diberlakukan Terhadap Hubungan Kerja Sama

Dalam hubungan kontraktual baik antara Perseroan dengan organ Perseroan ataupun hubungan kerja sama yang melibatkan pihak ketiga, apabila terjadi kerugian, yang tidak dapat dicegah dan ditanggulangi maka Doktrin Piercing The Corporate Veil, akan muncul sebagai counter productive yang membatasi keberlanjutan dari kerugian tersebut, dengan mengkaji kembali, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut dibebankan. Namun yang menjadi tolak ukur diterapkan nya doktrin ini yakni, apabila terindikasi adanya aktivitas yang tidak wajar, dalam melaksanakan kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Hal-hal yang tidak lazim ini, dapat ditemukan dalam beberapa keadaan seperti berikut ini:

a.   Adanya indikasi penipuan, dalam hal diperdayanya pihak ketiga agar dapat melakukan hubungan transaksi dengan perusahaan.

b.   Aktivitas bisnis dari perusahaan tersebut membingungkan. Yakni tidak adanya pemisahan yang structural dari perbendaharaan perusahaan dan pemegang saham, misalnya terjadi transaksi antara perusahaan dengan pihak ketiga, yang dimana pembayarannya bukan atas nama perseroan, melainkan cek pribadi.

c.   Dalam hal permodalan perseroan dinyatakan tidak sehat, yakni terhadap modal yang sudah ditempatkan, tidak adanya penyetoran modal perseroan oleh pemegang saham.

d.   Menjalankan perusahaan dengan tidak wajar, sehingga munculah fakta-fakta lain seperti, perusahaan dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya selalu mendapat low profits bahkan merugi, serta pasiva perusahaan secara khusus dana perseroan selalu dipergunakan untuk kepentingan pemegang saham.

Keadaan-keadaan yang telah diuraikan tersebut, pada akhirnya tidak akan luput dari pengkajian dan penerapan doktrin Piercing The Corporate Veil.

4.   Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Perusahaan

Seyogyanya setiap perusahaan didirikan bertujuan untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, seringkali dalam meningkatkan profit, banyak tindakan bisnis perusahaan yang melanggar batas kewajaran atau terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum serta tindak pidana. Secara umum, bentuk tindak pidana dalam bidang korporasi, dijelaskan dalam beberapa unsur, yakni;

a)    Criminal Corporation, yakni perusahaan tersebut, dibentuk dengan tujuan yang jahat, dengan demikian perusahaan hanya dipergunakan sebagai alat untuk menjalankan kejahatan tertentu. Sehingga dalam kegiatan bisnisnya, perusahaan tersebut akan berjalan seolah-olah patuh terhadap segala ketentuan hukum yang berkaitan dengan korporasi, namun faktanya kerapkali memanipulasi hukum, dalam rangka menyembunyikan kejahatannya (Mulyana, 2018). Suatu entitas badan usaha/perusahaan tentunya merupakan subjek hukum yang pasif, sehingga alur kebijakan serta aktifitas perusahaan dijalankan, melalui organ-organnya. Sehingga akar permasalahannya dimulai dari tindakan pengurus perusahaan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh perusahaan. Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan perpajakan, penipuan dalam bidang keuangan seperti investasi bodong, bank tanpa legaliatas yang jelas dan sebagainya.

b)    Crime Against Corporation, yakni suatu kejahatan di bidang korporasi, namun, posisi perusahaan adalah sebagai korban. Hal ini semata-mata terjadi akibat tindakan internal dari pengurus perusahaan yang merugikan perusahaan dan juga masyarakat pada umumnya. Yang sering terjadi adalah kejahatan dibidang penggelapan maupun pencucian uang.

Bentuk-bentuk kejahatan tersebut, pada akhirnya akan dibebankan pertanggungjawaban, dan pada kondisi ini akan diidentifikasi sejauh mana pertangungjawaban hukum yang akan dikenakan. Sebelum dikaitkan dengan doktrin Piercing The Corporate Veil, dalam hal pemisahan pertanggungjawaban, ada beberapa teori yang dibangun dan memiliki hubungan kausalitas antara tindakan dan pembebanan tanggung jawab dalam kejahatan korporasi, yakni;

a)  Doktrin Strict Liability, secara umum didefinisikan sebagai pertanggung jawaban mutlak yang dibebankan kepada entitas badan usaha/perusahaan akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya. Dengan dasar acuannya adalah ketentuan perundang-undangan apabila tidak dipenuhi oleh perusahaan tersebut, misalnya dalam legalitas pendirian, tanpa perlu mengkaji adanya unsur kesalahan baik itu kesengajaan maupun kelalaian dari pelaku tindak pidana.

b)  Doktrin Viciarious Liability, secara sederhana dikenal sebagai tanggung jawab pidana pengganti. Yakni suatu subjek hukum, dapat dibebankan tanggung jawab hukum dengan tindakan ataupun perbuatan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum lainnya. Doktrin ini jika dikembangkan dalam hukum perseroan, akan merujuk pada hubungan fiduciary duty antara pengurus perusahaan dengan entitas perusahaan tersebut. Sehingga apabila pengurus perusahaan (direksi)  yang diberikan kewenangan sebagai representative dalam menjalankan perusahaan dengan itikad baik serta menerapkan prinsisp kehati-hatian, maka beban pertanggungjawabannya dapat dialihkan kepada entitas badan usaha/perusahaan apabila terjadi kerugian.

Konsepsi dasar pertanggungjawaban hukum yang telah diuraikan diatas, jika dianalisa secara seksama, bukan merupakan bagian mutlak dari unsur-unsur yang membentuk eksistensi dari Teori Piercing The Corporate Veil.  Dalam hal penerapan Viciarious Liability,  dalam tindak pidana korporasi, doktrin ini akan dipakai sebagai dasar pembelaan untuk meloloskan diri dari tanggung jawab hukum yang dapat diterima. Namun dengan adanya Piercing The Corporate Veil sebagai doktrin pembanding, maka selubung inkorporasi yang digunakan oleh organ atau pengurus perusaahan dalam doktrin Viciarious Liability akan dikesampingkan.

 

Implementasi Piercing The Corporate Veil, Dalam Konsepsi Yuridis di Indonesia

Dengan adanya perkembangan hukum secara universal terhadap eksistensi dari teori Piercing The Corporate Veil, seyogyanya telah memberikan suatu pandangan yang positif secara khusus dalam bidang hukum bisnis korporasi, agar sedapat mungkin diberikan ruang dan disertakan dalam ketentuan hukum yang berlaku. Tentunya pemerintah menyadari, pentingnya eksistensi dari doktrin tersebut, oleh karena itu dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, telah memberikan interpretasi hukum terbatas dalam pemberlakuan Piercing The Corporate Veil.

Parameter pengkajian doktrin tersebut, merujuk pada setiap pertanggungjawaban yang dapat dibebankan, meskipun ada keterpisahan yang structural antara perusahaan ( badan hukum ) dengan pihak pemegang saham, namun apabila terjadi kerugian dalam bisnis yang dijalankan, perusahaan, pengurus perusahaan bahkan pemegang saham, tentunya tidak luput dari pelimpahan pembebanan tanggung jawab hukum. Secara konseptual, pihak-pihak yang dapat dilimpahkan pertanggung jawaban di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, adalah (Fuady, 2014):

1)    Secara terbatas dilimpahkan kepada pihak pemegang saham

2)    Dilimpahkan terhadap pihak Direksi serta

3)    Secara khusus dan terbatas kepada Komisaris

Pengkajian Doktrin Piercing The Corporate Veil  terkait pertanggungjawaban hukum yang dipindahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, serta komisaris, akan diuraikan sampai dimana batasan pelanggaran kewajiban baik dari pihak pemegang saham, direksi maupun komisaris sehingga menimbulkan penerapan doktrin tersebut.

 

1)    Pengalihan pertanggjawaban hukum kepada pihak pemegang saham

Seyogyanya dalam konsep keterpisahan tanggung jawab hukum antara suatu entitas badan hukum (perseroan) dengan pihak pemegang saham (kepemilikan hak) dalam hukum perseroan di Indonesia, secara tegas diatur didalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, yakniPemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimilikipasal ini merupakan penegasan terkait pertanggungjawaban secara terbatas akibat dari keterpisahan structural antara Perusahaan (Badan Hukum) dengan pihak pemegang saham, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya apabila terjadi suatu kerugian, pertanggungjawaban hukum pihak pemegang saham, hanya sebatas modal atau sebatas nilai saham yang dimilikinya. Namun demikian keadaan tersebut sejatinya tidak berlaku secara mutlak, pengecualian terhadap hal ini adalah, perwujudan dari penerapan Piercing The Corporate Veil dalam keadaan sebagaimana berikut:

a.     Keadaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas

Secara eksplisit, dalam pasal tersebut tanggungjawab yang dibebankan kepada pihak pemegang saham dapat terjadi apabila

·      Belum atau tidak terpenuhinya formalitas pendirian perusahaan sebagai badan hukum. Sehingga setiap kerugian yang timbul akibat perikatan yang dibuat dengan pihak ketiga, menjadi tanggungjawab pihak pemegang saham.

·      Pemegang saham yang bersangkutan dengan itikad buruk, secara langsung maupun tidak langsung, memanfaatkan perseroan demi kepentingan pribadi, hal ini terjadi sebagai akibat dari kontrol yang cukup masif dari pemegang saham, dengan maksud yang tidak lazim atau dengan itikad buruk, memperalat perusahaan sehingga mengakibatkan kerugian (Harahap, 2021).

·      Adanya bukti keterlibatan pihak pemegang saham terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan.

·      Penggunaan kekayaan perseroan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum, sehingga akibat dari tindakan tersebut, kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

Terkait keadaan yang dijelaskan dalam Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab terbatas pemegang saham dapat dikesampingkan dan diterapkan Doktrin Piercing The Corporate Veil, dalam hal dapat dibuktikan adanya dominasi pemegang saham yang berlandaskan itikad buruk serta adanya bukti penggunaan kekayaan perseroan yang tidak lazim dengan mencampuradukan harta kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadi.

 

b.    Keadaan sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas serta hal lainnya yang berkaitan dengan Kepemilikan saham.

Pelimpahan pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada pihak pemegang saham manakala berkaitan dengan kepemilikan saham atas suatu perseroan. Secara umum dapat diketahui, bahwa dalam pendirian suatu perusahaan, wajib didirikan oleh 2 (dua) orang/Pemegang saham, dan berlaku secara mutlak namun dikecualikan terhadap bentuk badan usaha milik Negara. Lebih lanjut adanya ketentuan bahwa setelah perseroan tersebut sudah berbentuk badan hukum, dan apabila kepemiikan saham kurang dari 2 (dua) orang, diberikan jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan untuk mengalihkan sebagian sahamnya ataupun perseroan diharuskan mengeluarkan saham baru kepada pihak lain. Patut diperhatikan, sejatinya hal tersebut merupakan rambu-rambu yang harus ditaati untuk tetap terjaganya tanggungjawab terbatas antara pemegang saham dengan entitas perusahaan. Namun apabila hal ini tidak ditaati, maka tabir pertanggungjawaban terbatas akan disingkap.

Interpretasi pembebanan tanggung jawab hukum dalam keadaan ini dimaksudkan sama dengan konsep pertanggungjawaban hukum terhadap badan usaha bukan berbadan hukum, yang dimana apabila terjadi kerugian, bukan hanya perseroan yang dibebankan tanggungjawab namun kekayaan pendiri/pemegang saham juga ikut dilibatkan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan, yakni dalam keadaan jangka waktu yang diberikan telah dilampaui, namun pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka setiap kerugian yang timbul akibat dari perikatan yang dibuat oleh perseroan, menjadi tanggungjawab pribadi dari pihak pemegang saham. Hal lainnya yang bersangkutan dengan saham yakni apabila pihak pemegang saham tidak menyetorkan modal secara penuh dari modal yang ditempatkan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Perseroan terbatas, seyogyanya patut diterapkann doktrin Piercing The Corporate Veil.      

     

2)  Pengalihan Pertanggungjawaban Hukum Kepada Direksi

Direksi memiliki peranan yang sangat penting, dalam mengelola dam memajukan suatu perusahaan, kewajiban yang dibebankan terhadap direksi sesuai dengan Pasal 97 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas, yakni Direksi Bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan “ pasal ini lah yang menjadi cikal bakal berkembangya beberapa prinsip hukum modern dalam perusahaan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab direksi. Seringkali dalam menjalankan perusahaan, setiap keputusan atau kebijakan yang diambil, tidak cermat, dan bisa mengakibatkan kerugian. Namun dengan munculnya Prinsip Business Judgement Rule memberikan ruang adanya imunitas hukum bagi direksi, hal ini secara tegas diatur di dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas, akan tetapi jika tidak memenuhi unsur-unsur didalam pasal tersebut, maka prinsip ini tidak berlaku, dengan demikian secara mutlak dapat diterapkannya Doktrin Piercing The Corporate Veil.  Jika dicermati kedua doktrin tersebut merupakan parameter pengkajian dapat atau tidaknya pertanggungjawaban hukum dibebankan kepada pihak direksi, sehingga posisi kedua doktrin tersebut sejatinya sama, dengan konsep penilian berorientasi terhadap tugas dan wewenang direksi dalam menjalnkan perusahaan. Namun titik fokus dari pembahasan ini secara khusus merujuk pada doktrin Piercing The Corporate Veil yang dapat diterapkan terhadap direksi sebagaimana berikut

a.     Tidak terlaksananya Prinsip Fiduciary Duty

Prinsip ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 97 ayat  (1) dan (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan setiap anggota direksi, dalam menjalnkan perseroan, harus berasaskan itikad baik serta penuh tanggung jawab. Hal ini memberikan suatu pengertian yang khusus bahwa direksi, dalam mengambil kebijakan terhadap arus bisnis perusahaan, wajib patuh terhadap anggaran dasar perusahaan, kebijakannya tidak bertentangan dengan undang-undang, serta memiliki kecermatan dalam menganalisia resiko yang mungkin terjadi, apabila prinsip fiduciary duty ini tidak terpenuhi, maka doktrin Piercing The Corporate Veil dapat diterapkan. Undang-undang Perseroan terbatas memberikan ruang yang lebih luas, mengenai kewenangan gugatan bukan hanya diberikan kepada pihak ketiga yang menderita kerugian akibat perikatan yang dibuat, namun juga kepada pihak pemegang saham (Fuady, 2014). Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 97 ayat (6) Undang-undang Perseroan Terbatas.

b.    Terkait laporan tahunan/Dokumen tahunan    

Direksi dalam menjalankan tugas kepengurusannya, bertanggungjawab menyediakan laporan tahunan yang dimana termuat juga laporan keuangan dari perseroan tersebut, hal ini sebagai wujud nyata dari transparansi informasi pergerakan bisnis perusahaan, dengan harapan meminimalisir segala tindakan yang terindikasi tidak lazim berkaitan dengan sector keuangan perusahaan. Manakala hal tersebut tidak dijalankan dengan patut (perhitungan laporan tahunan) maka doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan dalam keadaan ini. Sesuai dengan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas yakniDalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan

c.     Akibat pailitnya perusahaan.

Dengan pailitnya suatu perusahaan, tidak serta-merta menempatkan direksi sebagai pihak penanggung jawab, sebagai akibat dari kepailitan perusahaan. Keadaan inilah dimana berlaku standar ganda penilaian antara doktrin Business Judgement Rule serta doktrin Piercing The Corporate Veil. Direksi akan menggunakan hak imunitas nya untuk membuktikan bahwa tidak adanya unsur kesengajaan atau kelalaian dikarenakan telah menerapkan prinsip Business Judgement Rule dalam kepengurusannya sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) Undang-undang Perseroan Terbatas atau direksi dapat memberikan pembuktian terbalik, bahwa kepailitan perusahaan bukanlah akibat perbuatannya. Hal ini diatur dalam Pasal (104) dan Pasal (105) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian jika standar penilaian dari doktrin Business Judgement Rule tidak terpenuhi, maka secara mutlak diterapkanlah doktrin Piercing The Corporate Veil   

 

3)  Pengalihan Pertanggung jawaban secara Terbatas Kepada Komisaris

Dalam keadaan tertentu Komisaris, juga dapat dibebankan pertanggung jawaban, namun tanggung jawab tersebut terbatas dan tidak seluas direksi. Hal ini dikarenakan komisaris diberikan kewenangan dalam undang-undang sebagai pengawas, dan komisaris merupakan target terakhir dari penerapan Piercing The Corporate Veil. Hal-hal yang menjadi sebab dapat diterapkannya doktrin tersebut kepada pihak komisaris yaitu;

a)    Tidak terlaksananya Prinsip Fiduciary Duty, hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 114 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yakni, “ Setiap anggota dewan komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroanapabila terbukti lalai dalam melaksanakan tugas tersebut, maka komisaris dapat dibebankan tanggung jawab, dengan kewenangan gugatan diberikan kepada pihak ketiga dan juga pihak pemegang saham, hal ini diatur dalam Pasal 114 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas.

b)    Terkait laporan tahunan/dokumen tahunan, Sesuai dengan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas yakniDalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan

c)    Pailitnya Perusahaan akibat kelalaian komisaris, hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 115 ayat (1) Undang-undang Perseroan terbatas, yakni adanya tanggung jawab secara renteng antara anggota direksi dan anggota dewan komisaris.

 

Kesimpulan

Adanya pemisahan yang structural antara suatu entitas badan hukum/ Perusahaan dengan Pihak pemegang saham, serta tanggung jawab organ Perusahaan dalam menjalankan entitas tersebut, tidak serta merta membebankan tanggung jawab hukum secara mutlak kepada perseroan. Seyogyanya banyak hal yang dipergunakan sebagai selubung inkorporasi, dalam membentengi masing-masing pihak, agar sebisa mungkin tidak terseret dalam kerugian yang diderita oleh perseroan. Adanya tanggung jawab terbatas yang dimiliki oleh pemegang saham, anggota direksi maupun komisaris, tentu akan dipergunakan sebagai alasan yang ampuh untuk melindungi diri, namun hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku secara mutlak. Dengan adanya penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil, dapat mengesampingkan selubung inkorporasi tersebut. Oleh karena itu, doktrin ini muncul, menjadi penilaian terakhir, serta bertindak sebagai counter productive terkait setiap tindakan yang dilakukan baik oleh pemegang saham, direksi, maupun komisaris,  dengan tidak berlandaskan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan, telah memberikan ruang yang cukup untuk Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil. Dengan demikian parameter pengkajian dari beban pertanggung jawaban hukum akan di analisa secara luas dalam undang-undang tersebut, sehingga tidak keliru dalam membebankan tanggung jawab hukum kepada pihak-pihak yang terbukti bersalah dan mengakibatkan kerugian terhadap sautu Perusahaan.            

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdulkadir, M. (1995). Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Crus, P. de. (2021). Hukum Perusahaan dan Hukum Dagang. Nusamedia.

Friedman, J. P., & Barnhill, S. S. (2000). Dictionary of business terms. Baron’s Educational Services.

Fuady, M. (2014). Doktrin-doktrin modern dalam corporate law & eksistensinya dalam hukum Indonesia. Citra Aditya Bakti.

Hakim, M. R. (2016). Implementasi Rechtsvinding Yang Berkarakteristik Hukum Progresif. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 5(2), 227–248.

Harahap, Y. (2021). Hukum perseroan terbatas. Sinar Grafika (Bumi Aksara).

Indrapradja, I. S. (2020). Kajian Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi Dan Dewan Komisaris Pada Struktur Organisasi Perseroan Terbatas Yang Bersifat Kolegialitas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Jurnal Ilmiah Magister Ilmu Administrasi, 13(1).

Kahar, M. S. (2019). Dasar-Dasar Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Pengantar Hukum Tata Negara dalam Perspektif Teoritis-Filosofis. CV. Social Politic Genius (SIGn).

Kandiawan, J., & Kansil, C. S. T. (2020). Pelindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Perusahaan Tercatat Dalam Hal Diberlakukannya Suspensi Perdagangan Efek Oleh Bursa Efek Indonesia (Studi Kasus: PT Evergreen Invesco, Tbk (GREN) Tahun 2017). Jurnal Hukum Adigama, 3(2), 544–568.

Mulyana, A. N. (2018). Pendekatan ekonomi dalam penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Ramadhanti, A. D. (2022). Akibat Hukum Kepailitan Induk Perusahaan Terhadap Saham Pada Anak Perusahaan. Jurist-Diction, 5(6).

Rosadi, A. K., & Januarita, R. (2022). Implikasi Pendirian Perseroan Perorangan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditinjau dari Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bandung Conference Series: Law Studies, 2(1), 323–329.

Salam, S. (2019). Rekonstruksi Paradigma Filsafat Ilmu: Studi Kritis Terhadap Ilmu Hukum Sebagai Ilmu. Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum Dan Pendidikan, 18(2), 885–896.

Simanjuntak, E. (1997). Seri Hukum Dagang: Perusahaan Kelompok (group company/concern). Jogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal, 5.

Suharto, A. R. (2020). Prinsip Piercing The Corporate Veil Pada Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum. Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum, 6(2).

Utsman, S. (2009). Dasar-dasar sosiologi hukum: Makna dialog antara hukum & masyarakat, dilengkapi proposal penelitian hukum (legal research). Pustaka Pelajar.

 

 

Copyright holder:

Rivaldo Malau, Fransisko Bryan Mosa, Gloria Lestari Sitanggang,

Arita Novalia Jambormias (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: