Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
8, Agustus 2024
IMPLEMENTASI TEORI PIERCING
THE CORPORATE VEIL DALAM TATANAN HUKUM PERSEROAN INDONESIA
Rivaldo Malau1, Fransisko Bryan
Mosa2, Gloria Lestari Sitanggang3, Arita
Novalia Jambormias4
Universitas Airlangga,
Surabaya, Indonesia1,2,4
Universitas Hasanuddin, Makassar,
Indonesia4
Email: [email protected]1,
[email protected]2,
[email protected]3,
[email protected]4
Abstrak
Dalam tatanan hukum
perseroan, lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas, memberikan suatu pengertian bahwa dalam sector hukum perseroan telah mengalami kemajuan, hal ini
sebagai suatu perwujudan dari doktrin-doktrin hukum modern dalam perseroan yang tidak ditemukan dalam aturan hukum
sebelumnya. Oleh karena itu perlu adanya
prinsip kehati-hatian, arif dan bijaksana yang pada akhirnya akan merujuk
pada perspektif keadilan dalam cakrawala hukum terhadap penerapan doktrin tersebut, dengan demikian efektivitas dari Piercing The Corporate Veil diharapkan tidak semata-mata sebagai Counter productive, namun sebaliknya dapat digunakan sebagai acuan dalam
kegiatan bisnis Perseroan. Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan implementasi Teori Piercing The Corporate Veil dalam tatanan hukum
perseroan Indonesia. Metode
yang digunakan adalah deskritif analitik dengan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan ruang bagi penerapan
doktrin ini, yang mengesampingkan selubung inkorporasi untuk membebankan tanggung jawab hukum kepada
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris.
Kata Kunci: Implementasi, Perseroan, Piercing
The Corporate Veil
Abstract
In the
order of corporate law, the birth of Law Number 40 of 2007 concerning Limited
Liability Companies, as a replacement for Law Number 1 of 1995 concerning
Limited Liability Companies, provides an understanding that the corporate law
sector has progressed, this is a manifestation of modern legal doctrines in the
company that were not found in the previous legal rules. Therefore, it is
necessary to have the principle of prudence, wisdom and prudence which will
ultimately refer to the perspective of justice in the legal horizon towards the
application of the doctrine, thus the effectiveness of Piercing The Corporate Veil is expected not merely as Counter productive, but instead can be used as a reference
in the Company's business activities. This research aims to describe the
implementation of Piercing The Corporate Veil Theory
in the Indonesian corporate law order. The method used is analytical
description with conceptual approach. The results show that Law Number 40 of
2007 concerning Limited Liability Companies provides space for the application
of this doctrine, which overrides the veil of incorporation to impose legal
liability on shareholders, directors, and commissioners.
Keywords:
Implementation, Company, Piercing The Corporate Veil
Pendahuluan
Dinamika dari perkembangan hukum, memberikan suatu pengertian yang umum bagi khalayak,
bahwa sejatinya hukum bukan hanya
bersifat rigid namun dapat juga bersifat fleksibel (Kahar, 2019). Tentunya yang mendasari hal tersebut
adalah dengan adanya suatu perbandingan
dan analisa yang fundamentalis
antara berbagai sector baik sosial, politik,
dan ekonomi dari arus pergerakan masyarakat, yang saling terhubung. Arus pergerakan yang selaras dari sektor-sektor tersebut, pada akhirnya akan memberikan pengaruh dalam pergerakan dan perkembangan hukum. Secara sederhana
pergerakan dan perkembangan
hukum dapat ditandai dengan muncul nya berbagai
aturan-aturan terbaru sebagai jawaban dari tatanan hidup
masyarakat yang terus berkembang kearah yang lebih modern (Utsman, 2009).
Aturan-aturan hukum atau dogmatika hukum tersebut, merupakan perwujudan dari berbagai teori-teori hukum yang awalnya adalah abstrak (Salam, 2019). Oleh karenanya implementasi dari berbagai teori hukum dapat dipergunakan
apabila di interpretasikan dengan aturan-aturan hukum yang telah ada (Hakim, 2016). Dengan lahirnya
ketentuan hukum terbaru dalam bidang
hukum perseroan, memberikan ruang bagi teori-teori hukum perseroan modern, yang sebelumnya tidak terakomodir. Dengan demikian teori-teori hukum perseroan modern yang berkembang ini, diharapkan menjadi tolak ukur dari
batasan hak dan kewajiban Perseroan serta organ perseroan dalam lingkup tanggugjawabnya terhadap pemerintah dan masyarakat, apabila terbukti melakukan suatu perbuatan yang secara hukum tidak
diperkenankan.
Dalam perkembangan hukum perseroan di Indonesia, dikenal
salah satu doktrin yakni, Penyingkapan tirai perusahaan, atau dalam bahasa
inggris dikenal dengan doktrin Piercing The Corporate Veil sejatinya doktrin ini dikenal dalam
sebagian besar sistem hukum modern saat ini, namun
aplikasi dari doktrin tersebut akan berbeda baik
interpetasi, implementasi serta derajat pengakuan
(Fuady, 2014). Hal ini disebabkan adanya perbedaan dari sistem hukum yang ada dari Negara yang menganutnya, baik sistem hukum Anglo saxon, maupun Eropa
Kontinental serta adanya perbedaan penafsiran hukum dalam sudut pandang
terkait efektivitas berlakunya doktrin tersebut dari Negara yang bersangkutan. Berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan (Indrapradja, 2020), seyogyanya telah mengakomodir doktrin tersebut, maka interpretasi dari aturan yang telah ada, pada akhirnya akan menjadi
cikal bakal, sampai dimana batasan
pemberlakuan dari doktrin tersebut, serta siapa saja
yang dapat tunduk pada doktrin tersebut.
Dengan dikukuhkannya Undang-undang Nomor 40 tahun Tahun 2007, Tentang Perseroan (Suharto, 2020), telah diberikan
suatu batasan secara khusus bahwa
Piercing The Corporate Veil dalam implementasinya akan ditujukan kepada Pihak pemegang
saham, direksi maupun secara khusus
dan terbatas kepada dewan komisaris, dari suatu perseroan. Jika dianalisa secara sederhana, Teori Piercing The Corporate Veil, memiliki makna negative, hal tersebut dikarenakan,
efektivitas dari doktrin ini, akan
berakibat pada banyak pihak yang dapat dirugikan, dikarenakan adanya pembebanan tanggungjawab hukum dengan mengesampingkan hak dan tanggungjawab antara Perseroan dengan Organ
Perseroan, dan juga meminta pertanggungjawab
hukum dari pihak ketiga baik
perorangan maupun perseroan lain yang memiliki perikatan dalam hubungan bisnis, sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perseroan (Pelaku).
Efektivitas Percing The Corporate veil, tentunya
tidak terlepas dari tindakan perseroan
dalam hal ini organ perseroan (Kandiawan & Kansil, 2020), yang bertindak secara langsung ataupun tidak langsung
melaksanakan kegiatan bisnis dengan tidak
mempertimbangkan secara seksama, serta penuh kehati-hatian pada setiap keputusan yang dibuat. Bertolak dari hal tersebut,
ada beberapa doktrin hukum modern yang memiliki keterkaitan dengan berlakunya Piercing The
Corporate Veil. Doktrin –doktrin
tersebut, merupakan perkembangan lebih lanjut yang saling terhubung serta memiliki efektivitas tersendiri, dalam kajian pengawasan serta tolak ukur,
kewajiban terbatas dan khusus perseroan serta organ perseroan, dalam hal ini,
Pemegang saham, Direksi, dan juga Komisaris.
Terlepas dari hal tersebut, konsep dasar yang patut dipahami, didalam lingkup badan usaha di Indonesia,
terdapat berbagai bentuk pendirian perusahaan. Klasifikasi bentuk pendirian perusahaan, dapat dilihat dari jumlah
pemilik, kemudian apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan (Abdulkadir, 1995). Dengan demikian
adanya perbedaan yang struktural memberikan suatu dampak yang saling terkait terhadap pertanggungjawaban secara yuridis apabila perusahaan tersebut, berbentuk badan hukum ataupun bukan
badan hukum.
Seyogyanya patut di perhatikan
secara seksama, sebab apabila dikemudian
hari perusahan tersebut merugi, pertanggungjawaban secara hukum akan dilihat
dari bentuk badan usaha tersebut, apakah tidak adanya
pemisahan harta antara pemilik/pendiri dengan perusahaan tersebut ataupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan adanya pertanggungjawaban secara terpisah antara harta benda
perusahaan dengan pendiri/perusahaan apabila berbadan hukum, maupun tidak
adanya pertanggungjawaban
yang terpisah antara, pendiri/pemilik perusahaan dengan perusahaan apabila belum/bukan merupakan
badan hukum. Namun terkadang dengan adanya prinsip yang sama, terkait pemisahan
personalitas badan hukum dengan perusahaan, memberikan suatu hambatan adanya keterlibatan pihak luar terhadap tindakan
organ Perusahaan, dikarenakan adanya
perlindungan dibalik makna selubung inkorprasi (Crus, 2021). Hal-hal yang telah diuraikan tersebut, merupakan dasar dari pengkajian teori piercing the
corporate veil.
Apabila di kaji lebih dalam lagi, Doktrin
Piercing The Corporate Veil secara umum dipandang
sebagai suatu konsep untuk mendiskreditkan
teori-teori hukum perseroan modern,yang
berkaitan dengan tanggungjawab yuridis oleh organ perseroan. dimana terkadang dipakai sebagai celah hukum
untuk membenarkan setiap tindakan bisnis yang dilakukan oleh organ perseroan, secara terselubung, dan terstruktur, bahkan untuk kepentingan
tertentu, yang puncaknya dapat merugikan banyak pihak. Namun
hal tersebut tentulah tidak tepat, karena fungsi
dari Piercing The Corporate veil bukan semata-mata sebagai counter productive, tetapi lebih kepada fungsi
pengawasan serta keseimbangan apabila pelaksanaan doktrin-doktrin hukum perseroan lainnya yang berkaitan dengan tanggungjawab yuridis tidak di laksanakan dengan itikad baik.
Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas, telah mengakomodir, doktrin Piercing The
Corporate Veil (Rosadi & Januarita, 2022) dan memberikan legitimasi secara terbatas dalam lingkup hukum perseroan,
terhadap Pemegang Saham, Direksi, serta komisaris (Tanggung jawab terbatas). Pada pembahasan lebih lanjut, akan diuraikan
sejauh mana pertanggungjawaban
terbatas yang dapat diterima oleh organ-organ perseroan
tersebut, apabila diberlakukannya, Doktrin Piercing The
Corporate Veil.
Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode pendekatan yang bersifat deskritif analitik. Dengan pendekatan konseptual (conseptual approach) dan sasaran
yang hendak dicapai adalah penelahaan Implementasi Teori
Piercing The
Corporate Veil Dalam Tatanan
Hukum Perseroan Indonesia. Tipe penelitian yang mendasari diri dengan tipe
deskritif analitik memberikan peluang dalam penelitian ini untuk menggambarkan
secara utuh dan menyeluruh proses yang hendak diwujudkan dalam menjawab rumusan masalah penelitian yang diajukan
Hasil dan Pembahasan
Konsep Pertanggugjawaban Yuridis Oleh Suatu Perusahaan
Di dalam
pengelompokan pertanggungjawaban
hukum, oleh suatu perusahaan, dapat dibedakan sesuai dengan bentuk badan usaha nya, dengan
demikian, secara garis besar konsep pertanggungjawaban
yuridis suatu perusahaan dapat diuraikan sebagaimana berikut:
A. Pertanggungjawaban yuridis entitas
badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum
Apabila, suatu entitas
badan usaha / perusahaan bukan merupakan badan hukum, maka tidak
dikenal adanya pertanggungjawaban secara terbatas, hal ini
dikarenakan tidak adanya pemisahan harta kekayaan yang structural antara entitas badan usaha/perusahaan dengan pendirinya. Tetapi dikenal adanya kesatuan harta antara entitas
badan usaha/perusahaan dengan pemiliknya. Dengan demikian , secara normative, pertanggungjawaban
hukum tidak terpisah antara entitas badan usaha/perusahaan dengan tanggung jawab pribadi milik perusahaan
tersebut, apabila didalam kegiatan bisnis nya mengakibatkan
kerugian bagi pihak ketiga, maka
pihak ketiga dapat leluasa menuntut pertanggugjawaban hukum dari pemilik entitas
badan usaha/perusahaan tersebut, termasuk didalamnya harta kekayaan pemiliknya apabila diperlukan adanya sita dan dilelang, untuk kepentingan pihak-pihak yang dirugikan. Konsekuensi hukum yang diterima oleh pendiri dan peilik dari suatu entitas
badan usaha/perusahaan yang
tidak berbentuk badan hukum, merupakan implementasi lebih lanjut dari ketentuan
1131 BW, “ segala barang-barang
bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perseorangan debitur itu” secara umum
dikenal beberapa entitas/badan usaha tidak berbentuk badan hukum,yakni persekutuan/cv, perkumpulan, firma dan komanditer (Harahap, 2021).
B. Pertanggungjawaban yuridis entitas
badan usaha yang berbentuk
badan hukum
Secara umum badan usaha yang berbentuk badan hukum dapat dikenal
dalam beberapa entitas, seperti Perseroan terbatas, koperasi dan sebagainya. Entitas badan usaha seperti ini
dikenal adanya pemisahan harta kekayaan secara structural antara badan usaha/perusahaan dengan pendiri/pemilik entitas tersebut. Hal ini menegaskan perbedaan pertanggungjawaban hukum, yang dapat dilakukan apabila dikemudian hari terjadi kerugian bagi pihak lain,
akibat dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh entitas tersebut. Tanggung jawab hukum yang dimaksud adalah, dalam hal pemberesan
harta kekayaan suatu perusahaan, pendiri/pemilik perusahaan hanya bertanggungjawab sebatas modal
yang ditanamkan pada entitas
perusahaan tersebut, sehingga harta benda pribadi milik
pendiri/pemilik perusahaan tersebut, tidak dapat disita
maupun digugat untuk dibebankan sebagai bagian dari perseroan tersebut. Hal ini merupakan prinsip dasar dari pengakuan
pertanggungjawaban suatu perusahaan berbentuk badan hukum.
Seyogyanya pertanggungjawaban hukum yang mendasar dari suatu entitas
badan usaha diatas, menghasilkan suatu kajian teoritis lebih lanjut, yakni
terhadap entitas seperti apa, yang dapat menjadi fokus
dari implementasi Piercing The
Corporate Veil? Tentunya untuk
menjawab hal ini, secara teoritis,
dapat merujuk pada suatu entitas badan usaha/perseroan yang berbentuk badan hukum. Perkembangan dari doktrin Piercing The Corporate Veil pada awalnya merupakan suatu doktrin pembanding,
terhadap prinsip keterpisahan tanggung jawab yuridis, antara entitas badan usaha/perusahan selaku badan hukum dengan para pemegang saham selaku Pemilik
terbatas perseroan, yang dimana pengakuan prinsip keterpisahan ini, secara tegas
dalam tatanan hukum Indonesia, diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas, yaitu secara garis besar para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi
atas kerugian yang diderita oleh perseroan, akibat dari perikatan
yang dibuat atas nama perseroan, namun bertanggung jawab hanya sebatas
saham yang dimiliki. Dengan demikian harta kekayaan para pemilik/pemegang saham perseroan tetap terlindungi. Prinsip ini merupakan
bagian dari selubung inkorporasi, namun dalam hal
tertentu, Piercing
The Corporate Veil, dapat
menembus selubung ini.
Keberadaan Piercing The Corporate Veil dalam Tatanan Hukum Perseroan Secara Generalis
Konsep dasar, dari
doktrin Piercing
the corporate veil secara universal dikenal dengan teori yang merujuk pada penyingkapan tirai suatu perusahaan. Hal ini dapat diterjemahkan
dalam bahasa inggris pada penggalan kata-kata nya, yakni :
1)
Pierce : Mengoyak atau merobek serta
menembus
2)
Veil : Suatu tirai atau penudung
3)
Corporate :
Perusahaan
Dengan demikian secara harfiah memberikan definisi, adanya suatu doktrin
yang bertindak sebagai penyingkap atau penembus suatu tirai/penudung perusahaan. Definisi ini apabila dikembangkan
lagi dalam hukum perusahaan, maka secara konkrit
akan merujuk pada pertanggungjawaban hukum yang dibebankan kepada pundak seseorang ataupun suatu perusahaan
lainnya, sebagai akibat dari tindakan
bisnis yang dilakukan oleh entitas badan usaha/perusahaan lainnya, tanpa mempertimbangkan ataupun mengabaikan fakta dalam memposisikan
pelaku perusahaan yang sebenarnya. Sehingga mengakibatkan diabaikannya selubung inkorporasi, dalam konsep pemisahan
structural badan hukum dengan
organ perseroan (pelaku) tersebut.
Sebagai akibat dari
hal tersebut, apabila terjadi suatu penyelesaian secara litigasi, maka pengadilan akan mengabaikan identitas perseroan tersebut sebagai badan hukum, serta membebankan
tanggung jawab hukum secara personal kepada pelaku (organ perseroan), dengan tidak mempertimbangkan keterpisahan tanggung jawab hukum yang structural dan terbatas, antara personal pelaku (organ perusahaan) dengan Perseroan. Jika hal ini telah dilaksanakan,
maka seyogyanya pengadilan telah mengoyak serta menyingkap selubung perusahaan tersebut (Friedman & Barnhill, 2000). Umum nya
teori ini akan berlaku secara
masif, apabila dalam kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perseroan menimbulkan kerugian serta adanya tuntutan dari pihak ketiga
yang dirugikan atas tindakan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan terkait. Dewasa ini, Doktrin Piercing the Corporate Veil, secara umum dapat di implementasikan
terhadap hal-hal sebagaimana berikut;
1)
Tidak terpenuhinya
formalitas pendirian perusahaan
2)
Permodalan yang kecil tidak sebanding
dengan bentuk dan arus pergerakan bisnis perusahaan.
3)
Setiap keputusan
bisnis Perseroan, tidak didasarkan pada formalitas tertentu, dengan mengabaikan prinsip dalam anggaran dasar (misalnya RUPS)
4)
Penggunaan aset dan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi serta mengabaikan
formalitas pembukuan dan
juga record keeping, sehingga berpotensi
terjadinya campur aduk antara aset
perusahaan dengan aset dari pemegang
saham
5)
Perusahaan tersebut, di fasilitasi sebagai alter ego, sebagai akibat dari adanya
dominasi pemegang saham
6)
Dalam bentuk
Perusahaan Holding, adanya intervensi
yang terstruktur terhadap entitas anak perusahaannya,
sehingga beban pertanggungjawaban dilimpahkan kepada anak perusahaannya.
7)
Terhadap setiap tindak pidana
di bidang korporasi, yang dilakukan oleh perusahaan dengan merugikan kepentingan umum.
hal diatas merupakan gambaran umum secara
relative, yang sering dilakukan
oleh banyak perusahaan, dengan potensi pelanggaran hukum yang sangat masif. Hal ini lah yang menjadi kajian penerapan dari Piercing the
Corporate Veil secara universal. Dengan demikian, dalam tatanan hukum
perseroan secara universal,
teori penyingkapan tirai perusahaan, dapat diimplementasikan, terhadap hal berikut
ini:
1. Perusahaan tidak patuh terhadap
formalitas hukum tertentu.
Terkait formalitas tertentu dalam perusahaan, pada umumnya bukan hanya berkaitan
dengan legalitas pendirian perusahaan namun juga berkaitan dengan segala aspek
kegiatan bisnis dari perseroan itu sendiri. Dengan
fokus kajian bukan untuk melindungi
pihak lain seperti pihak ketiga yang terlibat dalam kegiatan bisnis perseroan tersebut, namun semata-mata, untuk penegakan hukum secara formalitas,
menurut aturan hukum yang berlaku bagi perusahaan. Penerapan dari doktrin Piercing the
Corporate Veil yang dimaksud dalam
hal ini adalah ;
a.
Ketidakpatuhan terhadap ketentuan anggaran dasar mengenai pemilihan dan pengesahan direksi, komisaris dan sebagainya.
b.
Tidak melaksanakan
kewajiban yang berkaitan dengan penempatan modal dan penyetoran modal terhadap perseroan
c.
Adanya intervensi
yang masif dari pemegang saham terhadap kegiatan bisnis perusahaan.
2. Entitas Badan hukum/Perusahaan
Group, dalam Hubungan antara Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan.
Perusahaan group, menurut pendapat Emmy Pangaribuan, didefinisikan sebagai gabungan beberapa perusahaan, yang terpisah secara entitas badan hukum, namun memiliki keterkaitan dalam kesatuan ekonomis (Simanjuntak, 1997). Dalam kegiatan
bisnisnya, induk perusahaan atau Holding Company umumnya
memiliki kendali yang masif terhadap anak perusahaannya, dikarenakan memiliki kedudukan sebagai pemegang saham mayoritas pada anak perusahaan tersebut (Ramadhanti, 2022), walaupun adanya prinsip kemandirian dari masing-masing
badan usaha tersebut.
Dewasa ini
keterkaitan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan,
mengakibatkan beberapa
problem hukum, yang pada akhirnya
akan menjadi kajian dari penerapan
Piercing The
Corporate Veil. Misalnya
dalam melaksanakan kegiatan bisnis, adanya keterpisahan secara artifisial dengan arah kebijakan
bisnis masing-masing, namun
bisnis tersebut kemudian dimanipulasi, seolah-olah hanya dilaksanakan oleh satu entitas perusahaan saja, dengan harapan
meminimalisir pertangungjawaban
secara renteng antara perusahaan-perusahaan terkait apabila terjadi pelanggaran hukum dari bisnis
yang dijalankan.
Hal lainnya yang menjadi titik fokus dari
penerapan doktrin Piercing The
Corporate Veil terhadap hubungan
antara Holding Company dengan
anak perusahaannya adalah apabila terjadi kontrol yang terlalu masif oleh perusahaan induk, melampaui batas-batas wajar dalam hubungan bisnis, dengan melakukan tindakan-tindakan yang patut, seperti penipuan, tidak jujur dalam menjalankan
bisnis, serta tindakan lain yang terindikasi tidak berasaskan keadilan.
3. Doktrin Piercing The Corporate Veil Diberlakukan Terhadap Hubungan Kerja Sama
Dalam hubungan kontraktual baik antara Perseroan dengan organ
Perseroan ataupun hubungan kerja sama yang melibatkan pihak ketiga, apabila terjadi kerugian, yang tidak dapat dicegah
dan ditanggulangi maka Doktrin Piercing The Corporate Veil, akan muncul sebagai counter productive yang membatasi
keberlanjutan dari kerugian tersebut, dengan mengkaji kembali, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut dibebankan. Namun yang menjadi tolak ukur diterapkan
nya doktrin ini yakni, apabila
terindikasi adanya aktivitas yang tidak wajar, dalam melaksanakan
kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Hal-hal yang tidak lazim ini, dapat
ditemukan dalam beberapa keadaan seperti berikut ini:
a.
Adanya indikasi
penipuan, dalam hal diperdayanya pihak ketiga agar dapat melakukan hubungan transaksi dengan perusahaan.
b.
Aktivitas bisnis dari perusahaan
tersebut membingungkan. Yakni tidak adanya
pemisahan yang structural dari
perbendaharaan perusahaan
dan pemegang saham, misalnya terjadi transaksi antara perusahaan dengan pihak ketiga, yang dimana pembayarannya bukan atas nama
perseroan, melainkan cek pribadi.
c.
Dalam hal
permodalan perseroan dinyatakan tidak sehat, yakni terhadap
modal yang sudah ditempatkan,
tidak adanya penyetoran modal perseroan oleh pemegang saham.
d.
Menjalankan perusahaan dengan tidak wajar, sehingga
munculah fakta-fakta lain seperti, perusahaan dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya selalu mendapat low profits bahkan
merugi, serta pasiva perusahaan secara khusus dana perseroan selalu dipergunakan untuk kepentingan pemegang saham.
Keadaan-keadaan yang telah diuraikan tersebut, pada akhirnya tidak akan luput dari
pengkajian dan penerapan doktrin Piercing The Corporate Veil.
4. Terhadap Tindak Pidana
yang Dilakukan oleh Perusahaan
Seyogyanya setiap perusahaan
didirikan bertujuan untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya,
seringkali dalam meningkatkan profit, banyak tindakan bisnis perusahaan yang melanggar batas kewajaran atau terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum serta tindak
pidana. Secara umum, bentuk tindak
pidana dalam bidang korporasi, dijelaskan dalam beberapa unsur, yakni;
a)
Criminal Corporation, yakni perusahaan tersebut, dibentuk dengan tujuan yang jahat, dengan demikian perusahaan hanya dipergunakan sebagai alat untuk menjalankan
kejahatan tertentu. Sehingga dalam kegiatan bisnisnya, perusahaan tersebut akan berjalan seolah-olah
patuh terhadap segala ketentuan hukum yang berkaitan dengan korporasi, namun faktanya kerapkali memanipulasi hukum, dalam rangka
menyembunyikan kejahatannya
(Mulyana, 2018). Suatu entitas
badan usaha/perusahaan tentunya merupakan subjek hukum yang pasif, sehingga alur kebijakan serta aktifitas perusahaan dijalankan, melalui organ-organnya. Sehingga akar permasalahannya
dimulai dari tindakan pengurus perusahaan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh perusahaan. Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan perpajakan, penipuan dalam bidang keuangan seperti investasi bodong, bank tanpa legaliatas yang jelas dan sebagainya.
b)
Crime Against Corporation, yakni suatu kejahatan di bidang korporasi, namun, posisi perusahaan
adalah sebagai korban. Hal ini semata-mata terjadi akibat tindakan internal dari pengurus perusahaan yang merugikan perusahaan dan juga masyarakat pada umumnya. Yang sering terjadi adalah kejahatan dibidang penggelapan maupun pencucian uang.
Bentuk-bentuk kejahatan tersebut, pada akhirnya akan dibebankan
pertanggungjawaban, dan pada kondisi
ini akan diidentifikasi sejauh mana pertangungjawaban hukum yang akan dikenakan. Sebelum dikaitkan dengan doktrin Piercing The
Corporate Veil, dalam hal
pemisahan pertanggungjawaban,
ada beberapa teori yang dibangun dan memiliki hubungan kausalitas antara tindakan dan pembebanan tanggung jawab dalam kejahatan korporasi, yakni;
a) Doktrin Strict Liability, secara umum didefinisikan sebagai pertanggung jawaban mutlak yang dibebankan kepada entitas badan usaha/perusahaan akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya. Dengan dasar acuannya
adalah ketentuan perundang-undangan apabila tidak dipenuhi oleh perusahaan tersebut, misalnya dalam legalitas pendirian, tanpa perlu mengkaji
adanya unsur kesalahan baik itu kesengajaan maupun kelalaian dari pelaku tindak
pidana.
b) Doktrin Viciarious Liability, secara sederhana dikenal sebagai tanggung jawab pidana pengganti.
Yakni suatu subjek hukum, dapat
dibebankan tanggung jawab hukum dengan
tindakan ataupun perbuatan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum lainnya. Doktrin ini jika
dikembangkan dalam hukum perseroan, akan merujuk pada hubungan fiduciary duty antara pengurus perusahaan dengan entitas perusahaan tersebut. Sehingga apabila pengurus perusahaan (direksi) yang diberikan
kewenangan sebagai
representative dalam menjalankan
perusahaan dengan itikad baik serta
menerapkan prinsisp kehati-hatian, maka beban pertanggungjawabannya dapat dialihkan kepada entitas badan usaha/perusahaan apabila terjadi kerugian.
Konsepsi dasar pertanggungjawaban hukum yang telah diuraikan diatas, jika dianalisa secara seksama, bukan merupakan bagian mutlak dari
unsur-unsur yang membentuk eksistensi dari Teori Piercing The Corporate Veil.
Dalam hal penerapan Viciarious Liability, dalam
tindak pidana korporasi, doktrin ini akan dipakai
sebagai dasar pembelaan untuk meloloskan diri dari tanggung jawab
hukum yang dapat diterima. Namun dengan adanya Piercing
The Corporate Veil sebagai
doktrin pembanding, maka selubung inkorporasi
yang digunakan oleh organ atau
pengurus perusaahan dalam doktrin Viciarious
Liability akan dikesampingkan.
Implementasi Piercing The Corporate Veil, Dalam Konsepsi Yuridis di Indonesia
Dengan adanya perkembangan hukum secara universal terhadap eksistensi dari teori Piercing The Corporate Veil, seyogyanya telah memberikan suatu pandangan yang positif secara khusus dalam bidang
hukum bisnis korporasi, agar sedapat mungkin diberikan ruang dan disertakan dalam ketentuan hukum yang berlaku. Tentunya pemerintah menyadari, pentingnya eksistensi dari doktrin tersebut, oleh karena itu dengan
adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, telah memberikan interpretasi hukum terbatas dalam pemberlakuan Piercing
The Corporate Veil.
Parameter pengkajian
doktrin tersebut, merujuk pada setiap pertanggungjawaban yang dapat dibebankan, meskipun ada keterpisahan yang structural antara perusahaan ( badan hukum ) dengan pihak pemegang
saham, namun apabila terjadi kerugian dalam bisnis yang dijalankan, perusahaan, pengurus perusahaan bahkan pemegang saham, tentunya tidak luput dari pelimpahan
pembebanan tanggung jawab hukum. Secara
konseptual, pihak-pihak
yang dapat dilimpahkan pertanggung jawaban di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, adalah (Fuady, 2014):
1)
Secara terbatas
dilimpahkan kepada pihak pemegang saham
2)
Dilimpahkan terhadap pihak Direksi serta
3)
Secara khusus
dan terbatas kepada Komisaris
Pengkajian Doktrin Piercing The Corporate Veil terkait pertanggungjawaban
hukum yang dipindahkan kepada pihak pemegang
saham, direksi, serta komisaris, akan diuraikan sampai dimana batasan
pelanggaran kewajiban baik dari pihak
pemegang saham, direksi maupun komisaris sehingga menimbulkan penerapan doktrin tersebut.
1) Pengalihan pertanggjawaban hukum kepada pihak
pemegang saham
Seyogyanya dalam konsep
keterpisahan tanggung jawab hukum antara
suatu entitas badan hukum (perseroan) dengan pihak pemegang
saham (kepemilikan hak) dalam hukum
perseroan di Indonesia, secara
tegas diatur didalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas,
yakni “Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki” pasal ini merupakan penegasan
terkait pertanggungjawaban secara terbatas akibat dari keterpisahan
structural antara Perusahaan (Badan Hukum) dengan pihak pemegang
saham, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya apabila terjadi suatu kerugian,
pertanggungjawaban hukum pihak pemegang saham, hanya sebatas
modal atau sebatas nilai saham yang dimilikinya. Namun demikian keadaan tersebut sejatinya tidak berlaku secara
mutlak, pengecualian terhadap hal ini
adalah, perwujudan dari penerapan Piercing The Corporate Veil dalam keadaan sebagaimana berikut:
a. Keadaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas
Secara eksplisit, dalam pasal tersebut tanggungjawab yang dibebankan kepada pihak pemegang
saham dapat terjadi apabila
·
Belum atau tidak terpenuhinya
formalitas pendirian perusahaan sebagai badan hukum. Sehingga setiap kerugian yang timbul akibat perikatan
yang dibuat dengan pihak ketiga, menjadi
tanggungjawab pihak pemegang saham.
·
Pemegang saham yang bersangkutan dengan itikad buruk,
secara langsung maupun tidak langsung,
memanfaatkan perseroan demi
kepentingan pribadi, hal ini terjadi
sebagai akibat dari kontrol yang cukup masif dari
pemegang saham, dengan maksud yang tidak lazim atau
dengan itikad buruk, memperalat perusahaan sehingga mengakibatkan kerugian (Harahap, 2021).
·
Adanya bukti
keterlibatan pihak pemegang saham terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan.
·
Penggunaan kekayaan perseroan baik langsung maupun
tidak langsung secara melawan hukum, sehingga akibat dari tindakan
tersebut, kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang perseroan.
Terkait keadaan yang dijelaskan
dalam Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab terbatas pemegang saham dapat dikesampingkan
dan diterapkan Doktrin Piercing The
Corporate Veil, dalam hal
dapat dibuktikan adanya dominasi pemegang saham yang berlandaskan itikad buruk serta adanya
bukti penggunaan kekayaan perseroan yang tidak lazim dengan
mencampuradukan harta kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadi.
b. Keadaan sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas serta hal lainnya yang berkaitan dengan Kepemilikan saham.
Pelimpahan pertanggungjawaban dapat
dibebankan kepada pihak pemegang saham manakala berkaitan dengan kepemilikan saham atas suatu perseroan.
Secara umum dapat diketahui, bahwa dalam pendirian
suatu perusahaan, wajib didirikan oleh 2 (dua)
orang/Pemegang saham, dan berlaku secara mutlak namun dikecualikan
terhadap bentuk badan usaha milik Negara. Lebih lanjut adanya
ketentuan bahwa setelah perseroan tersebut sudah berbentuk badan hukum, dan apabila kepemiikan saham kurang dari
2 (dua) orang, diberikan jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan untuk mengalihkan
sebagian sahamnya ataupun perseroan diharuskan mengeluarkan saham baru kepada
pihak lain. Patut diperhatikan, sejatinya hal tersebut
merupakan rambu-rambu yang harus ditaati untuk
tetap terjaganya tanggungjawab terbatas antara pemegang saham dengan entitas
perusahaan. Namun apabila hal ini
tidak ditaati, maka tabir pertanggungjawaban
terbatas akan disingkap.
Interpretasi pembebanan tanggung
jawab hukum dalam keadaan ini
dimaksudkan sama dengan konsep pertanggungjawaban
hukum terhadap badan usaha bukan berbadan
hukum, yang dimana apabila terjadi kerugian, bukan hanya perseroan yang dibebankan tanggungjawab namun kekayaan pendiri/pemegang saham juga ikut dilibatkan. Hal ini secara tegas diatur
dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan, yakni dalam keadaan jangka
waktu yang diberikan telah dilampaui, namun pemegang saham tetap kurang
dari 2 (dua) orang, maka setiap kerugian yang timbul akibat dari
perikatan yang dibuat oleh perseroan, menjadi tanggungjawab pribadi dari pihak pemegang
saham. Hal lainnya yang bersangkutan dengan saham yakni apabila
pihak pemegang saham tidak menyetorkan
modal secara penuh dari modal yang ditempatkan, sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 33 Undang-undang
Perseroan terbatas, seyogyanya
patut diterapkann doktrin Piercing The Corporate Veil.
2) Pengalihan Pertanggungjawaban Hukum Kepada Direksi
Direksi memiliki peranan yang sangat penting, dalam mengelola dam memajukan suatu perusahaan, kewajiban yang dibebankan terhadap direksi sesuai dengan Pasal 97 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas,
yakni “ Direksi
Bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan “ pasal ini lah
yang menjadi cikal bakal berkembangya beberapa prinsip hukum modern dalam perusahaan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab direksi. Seringkali dalam menjalankan perusahaan, setiap keputusan atau kebijakan yang diambil, tidak cermat, dan bisa mengakibatkan kerugian. Namun dengan munculnya Prinsip Business Judgement Rule memberikan ruang adanya imunitas hukum bagi direksi,
hal ini secara
tegas diatur di dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas,
akan tetapi jika tidak memenuhi
unsur-unsur didalam pasal tersebut, maka prinsip ini
tidak berlaku, dengan demikian secara mutlak dapat
diterapkannya Doktrin Piercing
The Corporate Veil. Jika dicermati kedua doktrin tersebut
merupakan parameter pengkajian
dapat atau tidaknya pertanggungjawaban hukum dibebankan kepada pihak direksi,
sehingga posisi kedua doktrin tersebut
sejatinya sama, dengan konsep penilian
berorientasi terhadap tugas dan wewenang direksi dalam menjalnkan
perusahaan. Namun titik fokus dari
pembahasan ini secara khusus merujuk
pada doktrin Piercing The
Corporate Veil yang dapat diterapkan
terhadap direksi sebagaimana berikut
a. Tidak terlaksananya Prinsip Fiduciary Duty
Prinsip ini secara
eksplisit diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan setiap anggota direksi, dalam menjalnkan perseroan, harus berasaskan itikad baik serta
penuh tanggung jawab. Hal ini memberikan suatu pengertian yang khusus bahwa direksi, dalam mengambil kebijakan terhadap arus bisnis perusahaan,
wajib patuh terhadap anggaran dasar perusahaan, kebijakannya tidak bertentangan dengan undang-undang, serta memiliki kecermatan dalam menganalisia resiko yang mungkin terjadi, apabila prinsip fiduciary duty ini tidak terpenuhi, maka doktrin Piercing The Corporate Veil dapat diterapkan. Undang-undang Perseroan terbatas memberikan ruang yang lebih luas, mengenai
kewenangan gugatan bukan hanya diberikan
kepada pihak ketiga yang menderita kerugian akibat perikatan yang dibuat, namun juga kepada pihak pemegang saham (Fuady, 2014). Hal ini secara tegas diatur
dalam Pasal 97 ayat (6) Undang-undang Perseroan Terbatas.
b. Terkait laporan tahunan/Dokumen tahunan
Direksi dalam menjalankan
tugas kepengurusannya, bertanggungjawab menyediakan laporan tahunan yang dimana termuat juga laporan keuangan dari perseroan tersebut, hal ini
sebagai wujud nyata dari transparansi
informasi pergerakan bisnis perusahaan, dengan harapan meminimalisir segala tindakan yang terindikasi tidak lazim berkaitan
dengan sector keuangan perusahaan. Manakala hal tersebut tidak
dijalankan dengan patut (perhitungan laporan tahunan) maka doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan dalam keadaan ini. Sesuai
dengan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas yakni “Dalam hal
laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan”
c. Akibat pailitnya perusahaan.
Dengan pailitnya suatu perusahaan, tidak serta-merta menempatkan direksi sebagai pihak penanggung
jawab, sebagai akibat dari kepailitan
perusahaan. Keadaan inilah dimana berlaku
standar ganda penilaian antara doktrin Business Judgement Rule serta doktrin Piercing
The Corporate Veil. Direksi
akan menggunakan hak imunitas nya
untuk membuktikan bahwa tidak adanya
unsur kesengajaan atau kelalaian dikarenakan telah menerapkan prinsip Business Judgement Rule dalam kepengurusannya sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) Undang-undang Perseroan Terbatas atau direksi
dapat memberikan pembuktian terbalik, bahwa kepailitan perusahaan bukanlah akibat perbuatannya. Hal ini diatur dalam
Pasal (104) dan Pasal (105) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian jika standar penilaian
dari doktrin Business
Judgement Rule tidak terpenuhi,
maka secara mutlak diterapkanlah doktrin Piercing The
Corporate Veil
3) Pengalihan Pertanggung jawaban secara Terbatas Kepada Komisaris
Dalam keadaan tertentu
Komisaris, juga dapat dibebankan pertanggung jawaban, namun tanggung jawab tersebut terbatas dan tidak seluas direksi.
Hal ini dikarenakan komisaris diberikan kewenangan dalam undang-undang sebagai pengawas, dan komisaris merupakan target terakhir dari penerapan Piercing
The Corporate Veil. Hal-hal
yang menjadi sebab dapat diterapkannya doktrin tersebut kepada pihak komisaris
yaitu;
a)
Tidak terlaksananya
Prinsip Fiduciary Duty, hal
ini secara tegas diatur dalam
Pasal 114 ayat (2) Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yakni, “ Setiap anggota dewan komisaris wajib dengan itikad
baik, kehati-hatian dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan “ apabila terbukti lalai dalam melaksanakan
tugas tersebut, maka komisaris dapat dibebankan tanggung jawab, dengan kewenangan gugatan diberikan kepada pihak ketiga
dan juga pihak pemegang saham, hal ini
diatur dalam Pasal 114 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas.
b)
Terkait laporan tahunan/dokumen tahunan, Sesuai dengan Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas yakni “Dalam hal laporan
keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan”
c)
Pailitnya Perusahaan akibat kelalaian komisaris, hal ini secara tegas
diatur dalam Pasal 115 ayat (1) Undang-undang Perseroan terbatas, yakni adanya tanggung jawab secara renteng
antara anggota direksi dan anggota dewan komisaris.
Kesimpulan
Adanya pemisahan yang structural antara suatu entitas badan hukum/ Perusahaan dengan Pihak pemegang saham, serta tanggung
jawab organ Perusahaan dalam
menjalankan entitas tersebut, tidak serta merta membebankan
tanggung jawab hukum secara mutlak
kepada perseroan. Seyogyanya banyak hal yang dipergunakan sebagai selubung inkorporasi, dalam membentengi masing-masing pihak,
agar sebisa mungkin tidak terseret dalam kerugian yang diderita oleh perseroan. Adanya tanggung jawab terbatas yang dimiliki oleh pemegang saham, anggota direksi maupun komisaris, tentu akan dipergunakan sebagai alasan yang ampuh untuk melindungi
diri, namun hal tersebut tidak
sepenuhnya berlaku secara mutlak. Dengan adanya penerapan
Doktrin Piercing The
Corporate Veil, dapat mengesampingkan
selubung inkorporasi tersebut. Oleh karena itu, doktrin ini
muncul, menjadi penilaian terakhir, serta bertindak sebagai counter productive terkait setiap tindakan yang dilakukan baik oleh pemegang saham, direksi, maupun komisaris, dengan
tidak berlandaskan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan
tugas yang diberikan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan, telah memberikan ruang yang cukup untuk Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veil. Dengan demikian
parameter pengkajian dari beban pertanggung jawaban hukum akan
di analisa secara luas dalam undang-undang
tersebut, sehingga tidak keliru dalam
membebankan tanggung jawab hukum kepada
pihak-pihak yang terbukti bersalah dan mengakibatkan kerugian terhadap sautu Perusahaan.
BIBLIOGRAFI
Abdulkadir, M. (1995). Pengantar
Hukum Perusahaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Crus, P. de. (2021). Hukum
Perusahaan dan Hukum Dagang. Nusamedia.
Friedman, J. P., & Barnhill, S.
S. (2000). Dictionary of business terms. Baron’s Educational Services.
Fuady, M. (2014). Doktrin-doktrin
modern dalam corporate law & eksistensinya dalam hukum Indonesia. Citra
Aditya Bakti.
Hakim, M. R. (2016). Implementasi
Rechtsvinding Yang Berkarakteristik Hukum Progresif. Jurnal Hukum Dan
Peradilan, 5(2), 227–248.
Harahap, Y. (2021). Hukum
perseroan terbatas. Sinar Grafika (Bumi Aksara).
Indrapradja, I. S. (2020). Kajian
Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi Dan Dewan Komisaris Pada Struktur
Organisasi Perseroan Terbatas Yang Bersifat Kolegialitas Menurut Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Jurnal Ilmiah Magister Ilmu
Administrasi, 13(1).
Kahar, M. S. (2019). Dasar-Dasar
Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Pengantar Hukum Tata Negara dalam Perspektif
Teoritis-Filosofis. CV. Social Politic Genius (SIGn).
Kandiawan, J., & Kansil, C. S. T.
(2020). Pelindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Perusahaan Tercatat Dalam Hal
Diberlakukannya Suspensi Perdagangan Efek Oleh Bursa Efek Indonesia (Studi
Kasus: PT Evergreen Invesco, Tbk (GREN) Tahun 2017). Jurnal Hukum Adigama,
3(2), 544–568.
Mulyana, A. N. (2018). Pendekatan
ekonomi dalam penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Ramadhanti, A. D. (2022). Akibat
Hukum Kepailitan Induk Perusahaan Terhadap Saham Pada Anak Perusahaan. Jurist-Diction,
5(6).
Rosadi, A. K., & Januarita, R.
(2022). Implikasi Pendirian Perseroan Perorangan menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditinjau dari Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bandung
Conference Series: Law Studies, 2(1), 323–329.
Salam, S. (2019). Rekonstruksi
Paradigma Filsafat Ilmu: Studi Kritis Terhadap Ilmu Hukum Sebagai Ilmu. Ekspose:
Jurnal Penelitian Hukum Dan Pendidikan, 18(2), 885–896.
Simanjuntak, E. (1997). Seri Hukum
Dagang: Perusahaan Kelompok (group company/concern). Jogyakarta: Universitas
Gajah Mada. Hal, 5.
Suharto, A. R. (2020). Prinsip
Piercing The Corporate Veil Pada Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum. Yustisia
Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum, 6(2).
Utsman, S. (2009). Dasar-dasar
sosiologi hukum: Makna dialog antara hukum & masyarakat, dilengkapi
proposal penelitian hukum (legal research). Pustaka Pelajar.
Copyright
holder: Rivaldo Malau, Fransisko
Bryan Mosa, Gloria Lestari Sitanggang,
Arita Novalia Jambormias
(2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |