Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

ANALISIS VARIABEL MAKRO EKONOMI DENGAN DANA PIHAK KETIGA (DPK) SEBAGAI VARIABEL INTERVENING TERHADAP PENYALURAN PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE 2010-2019

 

Reny Tembera1*, Sri Hermawati2

Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]*

 

 

Abstrak

Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia terus mengalami tren kenaikan dari waktu ke waktu. Namun kondisi makro ekonomi selalu berubah, di mana pada beberapa periode mengalami pertumbuhan yang pesat dan melambat pada periode lainnya. Maka dari itu, variabel makro ekonomi sebagai indikator ekonomi perlu dijaga kestabilannya oleh pemerintah, karena perubahannya dapat mempengaruhi semua sektor ekonomi tidak terkecuali perbankan syariah. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh langsung dan tidak langsung variabel makro ekonomi kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah dan digunakan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai variabel intervening. Variabel makro ekonomi yang diteliti adalah inflasi, BI rate, dan nilai tukar rupiah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan syariah di Indonesia baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS). Seluruh populasi diambil sebagai sampel dengan jenis data time series dari Januari 2010-Desember 2019. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis jalur. Kemudian, data yang diperoleh diolah menggunakan software statistik Eviews versi 10. Dari hasil analisis yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa hanya nilai tukar rupiah yang berpengaruh langsung dan tidak langsung kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah. Dengan kata lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya menjadi variabel intervening atas nilai tukar rupiah, sebab nilai tukar rupiah yang mempunyai pengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran pembiayaan.

Kata kunci: variabel makro ekonomi, Dana Pihak Ketiga (DPK), penyaluran pembiayaan

 

Abstract

The growth of Islamic banking in Indonesia continues to experience an upward trend from time to time. However, macro economic conditions are always changing, with some periods experiencing rapid growth and slowing in other periods. Therefore, macro economic variables as economic indicators need to be kept stable by the government, because changes in macro economic variable can effect all economic sectors, including the Islamic banking. The purpose of this research to determine and analyze the direct and indirect effect of macro economic variables on distribution of Islamic banking financing and uses Third Party Funds (TPF) as an intervening variable. The macro economic variables studied were inflation, BI rate, and rupiah exchange rate. The population in this study is all Islamic banking in Indonesia, both Islamic Commercial Banks (ICB) and Islamic Business Units (IBU). All populations were taken as samples with the type of time series data from January 2010-December 2019. The analytical tool used was path analysis. Then, the data obtained was processed using the Eviews version 10 statistical software. From the analysis carried out, it was found that only the rupiah exchange rate had a direct and indirect effect on the distribution of Islamic banking financing. In other words, Third Party Funds (TPF) are only an intervening variable on the rupiah exchange rate, because the rupiah exchange rate has an influence on Third Party Funds and financing distribution.

Keywords: macro economic variables, Third Party Funds, financing distribution

 


Pendahuluan

Saat ini bank sudah menjadi satu bagian terpenting dari kehidupan masyarakat. Berjalan dengan prinsip yang menomorsatukan kepercayaan, bank tidak hanya untuk individu dan masyarakat, tetapi ikut andil dalam kemajuan suatu negara dan kegiatan perekonomiannya. Dalam prakteknya, perbankan di Indonesia bekerja dengan dua sistem diantaranya bank dengan akad bunga (konvensional) dan bank dengan akad bagi hasil (syariah).

Munculnya bank dengan akad syariah membawa suatu kegembiraan bagi muslim di Indonesia sekaligus memberi jalan keluar atas persoalan bunga atau riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional. Dalam kegiatan operasionalnya, bank dengan akad syariah juga berfungsi sebagai penghubung seperti yang dilakukan bank konvensional yaitu menggalang dana dari pihak yang berekonomi lebih melalui produk simpanan bank baru kemudian diadakan pengucuran dana kepada pihak yang berkekurangan ekonomi. Disamping berperan sebagai penghubung, bank syariah juga aktif menjual jasa (Kasmir, 2014).

Perbankan syariah di Indonesia semakin tampak berkembang setelah munculnya aturan baru perbankan syariah di tahun 2008. Hingga 2019:12 terekam dalam data OJK (2019) ada sebanyak 198 bank syariah di Indonesia terdiri dari 14 BUS, 20 UUS, dan 164 BPRS. Perkembangan perbankan syariah ini diantaranya dapat dapat dilihat dari segi banyaknya bank, jumlah jaringan kantor, Dana Pihak Ketiga (DPK) serta jumlah dana yang berhasil dikucurkan. Dari data statistik, tercatat bahwa grafik perkembangan perbankan syariah cenderung naik dalam 10 tahun terakhir. Jika kondisi tersebut terus berlanjut, dapat menghidupkan bank-bank syariah junior di Indonesia. Namun tidak ideal jika hanya meninjau dari sisi perkembangannya saja maka penting untuk melihat dari sisi pertumbuhan. Dari sisi pertumbuhannya, jumlah kantor Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) garis grafiknya condong menunjukkan penurunan bahkan beberapa kali untuk periode 2010-2019 tercatat negatif. Begitu pula dengan garis grafik jumlah aset, dana pembiayaan yang dikucurkan, serta Dana Pihak Ketiga juga tampak menurun.

Pada dasarnya untuk berbisnis, bank sangat terikat dengan jumlah dana simpanan masyarakat yang tersedia dalam brankas bank. Hal ini bukan tanpa sebab dimana dengan tersedianya dana simpanan masyarakat ini bank dapat melaksanakan fungsinya dengan baik selaku lembaga penghubung (intermediasi). Untuk mendapatkan dana dari masyarakat yang surplus (funding) dan dalam usaha mendistribusikan dana (lending), ada banyak faktor yang dihadapi bank. Faktor tersebut  bisa timbul dari dalam diri bank itu sendiri dan diluar diri mereka yang tidak bisa mereka kendalikan. Hal-hal diluar kendali mereka merupakan variabel yang tidak boleh terbaikan dan perlu dipantau dengan hati-hati karena sangat berpengaruh terhadap fluktuasi jumlah simpanan masyarakat di perbankan syariah dan jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan. Beberapa faktor yang diluar kendali ini adalah kondisi makro ekonomi.

Empat variabel makro ekonomi yakni inflasi, BI rate, nilai tukar rupiah, dan jumlah uang beredar serta Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis pembiayaan di perbankan syariah. Berdasarkan data yang diambil dari BPS, Kementerian Perdagangan, dan OJK, diketahui bahwa dalam periode tahun 2010 hingga tahun 2019 selain jumlah uang beredar, secara keseluruhan variabel makro ekonomi tampak berfluktuasi. Sama seperti jumlah uang beredar, kondisi yang terjadi pada grafik jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan syariah dan jumlah dana yang berhasil didistribusikan terus menunjukkan grafik yang meningkat. Ini menjadi sebuah tanda, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang jumlahnya tersedia banyak disertai dengan pengucuran dana yang besar pula. Walaupun terus tumbuh beriringan, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pendistribusian dana pembiayaan sudah mununjukkan garis tren perlambatan sejak tahun 2012. Muhammadinah (2020) juga mengutarakan dalam penelitiannya bahwa selaras dengan hasil pemantauan konsumen BI, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang melambat dikarenakan porsi dari penghasilan konsumen yang ditabung berkurang.

Telah dibuktikan oleh Cahyono (2009) dan Rifai et al., (2017) bahwa fluktuasi atas jumlah pencairan dana pembiayaan di bank syariah tidak hanya ditentukan oleh perubahan dana yang disetorkan masyarakat tetapi juga dipengaruhi perubahan variabel makro ekonomi. Lebih lanjut, Afiqah dan Laila (2021) juga berusaha memeriksa faktor penentu simpanan dan pembiayaan bank syariah di Indonesia dan mengungkapkan bahwa setiap kelalaian yang dibuat dalam jangka pendek terhadap tabungan dan pembiayaan akan secara pasti membentuk hubungan jangka panjang. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa perubahan yang intens dari tabungan dan perilaku pembiayaan perbankan Islam terungkap dari pengaruh variabel makro ekonomi. Akan tetapi, penelitian Maries (2008) menemukan hasil sebaliknya. Ia menjelaskan bahwa tiap variabel makro ekonomi yang digunakannya membawa pengaruh yang kecil dan tidak ada yang dominan terhadap jumlah setoran masyarakat dan dana pembiayaan yang dialokasikan oleh perbankan syariah.

Melihat penelitian sebelumnya, penelitian ini berupaya menyelediki variabel makro ekonomi (inflasi, BI rate, nilai tukar rupiah, jumlah uang beredar) apa saja yang berhubungan dengan penyaluran pembiayaan perbankan syariah melalui variabel intervening Dana Pihak Ketiga (DPK). Pemilihan variabel makro didasarkan pemikiran bahwa keberadaan variabel makro ekonomi tidak dapat disingkirkan dampaknya dari kegiatan usaha bank. Kondisi makro ekonomi akan mempengaruhi kehidupan ekonomi dan keputusan pembuat kebijakan di Tingkat terutama menyangkut Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pendistribusian dana oleh bank syariah. Dana Pihak Ketiga (DPK) adalah sumber modal bagi bank agar mereka dapat menjalankan aktivitasnya sebagai lembaga penyalur uang.

 

Dampak Inflasi kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Penyaluran Pembiayaan

Inflasi (INF): Inflasi merupakan suatu kondisi di mana harga dari barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari dan jasa mengalami kenaikan seperti bahan bakar, layanan kesehatan, dan perumahan. Inflasi dapat mengubah kebiasaan individu atau kelompok (Nahar & Sarker, 2016). Umpamanya, ketika perusahaan mengestimasi inflasi akan lebih besar di masa yang akan datang, mereka mulai berpikir bagaimana mereka bisa menambah harga tanpa merasa rugi dahulu karena berkurangnya permintaan atas output mereka.

Sukirno (2015) mengatakan bahwa inflasi berakibat kurang baik kepada orang, warga, serta membawa efek pada aktivitas ekonomi secara menyeluruh. Yang paling utama adalah timbulnya inflasi akan membuat tingkat kesejahteraan pada sekelompok besar orang menurun karena inflasi meningkat lebih kilat dari penambahan upah kerja. Pendapatan yang awalnya sudah dijatahkan untuk disetor ke dalam tabungan akan dihabiskan setengah atau seluruhnya untuk melengkapi keperluan hidup. Ketika tingkat inflasi tinggi, kebiasaan orang bergeser dari yang senang membuat tabungan menjadi lebih berkeinginan untuk menarik kembali uang tabungannya. Kondisi yang seperti ini menyulitkan bank dalam menggalang dana masyarakat.

Tingkat inflasi yang tinggi tidak akan memacu pembangunan ekonomi. Biaya produksi yang terus menaik akan memberikan keuntungan bagi produsen jika tingkat inflasi berada dalam kisaran yang masih hijau yaitu lebih rendah dari 5% (Cahyono, 2009). Kegiatan produksi menjadi sangat tidak menguntungkan jika tingkat inflasi lebih tinggi dari 10% dan terjadi dalam waktu yang lama, biaya produksi terus naik sehingga mengurangi keuntungan produsen (Cahyono, 2009). Kenaikan biaya produksi tentu akan menaikkan harga nominal barang dan jasa. Karena itu, masyarakat akan mengurangi konsumsinya pada barang dan jasa dan kegiatan spekulatif yang justru berkembang. Selain itu, barang dan jasa dari hasil produksi negara bersangkutan tidak mampu bersaing di pasar internasional menyebabkan banyak produsen yang mengalami kerugian sehingga produsen tidak berkeinginan untuk menambah produksinya. Pada akhirnya, permintaan pembiayaan berkurang di bank.

Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:

Hipotesis 1: Ada pengaruh dari Inflasi terhadap Dana Pihak Ketiga

Hipotesis 4: Ada pengaruh dari inflasi terhadap Penyaluran Pembiayaan

 

Dampak BI rate kepada Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Pembiayaan

BI Rate (BIRT): suku bunga dapat dlihat sebagai income dari tabungan. Harga dari uang tabungan kita dan harga dari sewa uang yang harus diserahkan ke bank akan disesuaikan setelah kenaikan dan penurunan BI rate yang diberlakukan oleh Bank Indonesia. Tindakan Bank Indonesia dalam menyikapi kenaikan harga (inflasi) tersebut menjadi sesuatu yang harus diperhatikan perbankan syariah walaupun pada kenyataannya bank syariah tidak berpraktek dengan akad bunga.

Saat suku bunga tinggi, masyarakat lebih banyak membuat tabungan di bank konvensional dibanding di bank syariah karena mereka akan menerima lebih banyak income dari tabungan. Umumnya, klien besar seperti korporasi akan memindahkan dana dalam jumlah besar ke bank konvensional untuk mendapatkan income yang lebih besar. Jika yang dilihat adalah bank yang mampu memberikan return yang tinggi, jumlah setoran masyarakat akan meningkat, dan kebijakan regulator untuk mempersedikit peredaran uang akan terwujud.

Saat ini masih ada masyarakat yang rasional. Mereka yang semula melakukan pembiayaan dari bank syariah bisa berpaling ke bank konvensional atau mereka yang semula mengambil pinjaman dari bank konvensional akan hijrah ke bank syariah. Hal ini karena mereka memperhitungkan bank mana yang menawarkan manfaat lebih besar kepada mereka. Masyarakat selalu melihat tingkat bunga ketika mereka hendak mengambil pinjaman dari bank.

Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:

Hipotesis 2: Ada pengaruh dari BI rate terhadap Dana Pihak Ketiga

Hipotesis 5: Ada pengaruh dari BI rate terhadap Penyaluran Pembiayaan

 

Dampak Nilai tukar rupiah kepada Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Pembiayaan

Nilai Tukar Rupiah (NTRP): sejumlah uang yang dikorbankan untuk bisa mempunyai satu unit uang negara lain (Gilarso, 2004). Nilai tukar terus berubah dan relatif tidak stabil karena porsi mata uang asing yang ditawarkan dan dibutuhkan juga berubah dari waktu ke waktu. Nilai dari suatu mata uang akan jauh lebih berharga bila jumlah yang dibutuhkan lebih besar dari jumlah yang tersedia dan nilai tukar akan menurun bila jumlah yang dibutuhkan sedikit dari jumlah yang tersedia.

Nilai rupiah yang turun terhadap mata uang dollar AS menyebabkan uang belanja produsen untuk bahan baku dan barang modal yang diambil dari luar negeri menjadi naik artinya harga barang di negara dollar menjadi mahal sedangkan harga barang di negara sendiri menjadi murah. Akibatnya adalah ada tindakan pengambilan dana likuid dari bank oleh produsen untuk menangani persoalan pendanaan mereka. Tindakan ini akan mengurangi jumlah dana masyarakat yang ada pada bank.

Kalau negara kita lebih banyak membutuhkan dollar AS untuk pembayaran barang impor tetapi persediaannya tidak mencukupi karena sedikit melakukan kegiatan ekspor ke negara dollar, nilai tukar dollar AS akan bertambah dan nilai rupiah menjadi berkurang. Saat nilai rupiah berkurang, kegiatan ekspor ke negara dollar menjadi semakin menarik apabila dihitung dalam mata uang negara dollar. Tingginya permintaan dari negara dollar terhadap barang-barang dalam negeri akan direspon oleh produsen dengan menaikkan jumlah produksinya dan mereka mungkin butuh uang tambahan dari bank untuk menyuburkan bisnis mereka.

Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:

Hipotesis 3: Ada pengaruh dari Nilai Tukar Rupiah terhadap Dana Pihak Ketiga

Hipotesis 6: Ada pengaruh dari Nilai Tukar Rupiah terhadap Penyaluran Pembiayaan

 

Dampak JUB kepada DPK dan Penyaluran Pembiayaan

Jumlah Uang Beredar (JUB): uang sangat berguna sebagai alat untuk memajukan kegiatan ekonomi disamping itu juga selalu memuat masalah. Dalam buku Gilarso (2004) kalau kuantitasnya terlalu besar, akibatnya menjadi tidak baik yaitu bisa terjadi inflasi dan kalau terlalu sedikit, itu juga tidak baik karena akan membuat ekonomi menjadi macet atau deflasi. Para ekonom mengatakan bahwa perubahan jumlah uang beredar akan mengubah tingkat harga barang dan jasa. Dengan maksud yang sama dapat dikatakan bahwa nilai suatu uang tergantung dari jumlah uang (money supply).

Aktivitas yang tinggi dan rendah di bidang produksi dan perdagangan menentukan banyak sedikitnya jumlah uang yang beredar. Dengan maksud yang sama dapat dikatakan bahwa orang berkeinginan untuk menggunakan uang terutama karena motif transaksi dan sikap yang mau berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak terduga. Kebutuhan terhadap uang tersebut bisa berubah secara proporsional setiap saat biasanya tergantung pada tingkat produksi dan pendapatan. Jumlah uang beredar yang bertambah banyak di masyarakat akan mendorong banyak orang untuk membuat simpanan di bank.

Jumlah uang beredar yang bertambah akan semakin mempermudah bagi bank menghasilkan dana pihak ketiga dalam jumlah banyak. Meningkatnya jumlah uang beredar ini dapat disebabkan karena membaiknya daya beli masyarakat dan tingginya permintaan dunia terhadap produk lokal Indonesia. Bila pertambahan jumlah dana pihak ketiga tidak cepat didistribusikan bank dalam bentuk pembiayaan, bank syariah bisa mengalami kerugian karena kewajiban bank terus berjalan untuk memberikan rasio pembagian keuntungan atas dana yang telah digalang dari masyarakat.

Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:

Hipotesis 7: Ada pengaruh dari JUB terhadap Dana Pihak Ketiga

Hipotesis 8: Ada pengaruh dari JUB terhadap Penyaluran Pembiayaan

 

 

 

Dampak DPK ke Penyaluran Pembiayaan

Dana Pihak Ketiga (DPK): sebagai lembaga penghubung (intermediasi), dana itu penting dan wajib ada dalam bank. Jika tidak ada dana, bank tidak bisa melakukan apa-apa atau dengan kata lain bank tidak berfungsi sama sekali. Membujuk klien untuk melakukan penghematan dan memberikan pembiayaan kepada klien adalah kegiatan yang utama dijalankan bank. Bentuk penghematan di bank syariah terdiri dari simpanan giro dengan prinsip wadi'ah, simpanan tabungan dengan prinsip wadi'ah dan mudharabah, dan simpanan deposito dengan prinsip mudharabah.

Total setoran masyarakat di bank menjadi suatu ukuran kepercayaan klien kepada bank yang bersangkutan. Selain itu, Rifai et al. (2017) mengungkapkan bahwa simpanan yang digalang bank dari pihak yang berekonomi lebih akan dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan kepada pihak yang kekurangan ekonomi. Maka dari itu, jumlah pembiayaan yang dapat dialokasikan sangat bergantung pada besarnya dana yang berhasil digalang bank dari klien. Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:

Hipotesis 9 : Ada pengaruh dari DPK terhadap Penyaluran Pembiayaan

 

Metode Penelitian

Penelitian ini akan memeriksa efek tidak langsung dari variabel makro ekonomi terhadap pembiayaan dengan menggunakan variabel DPK sebagai variabel intrvening. Data diambil dari seluruh populasi. Data yang digunakan berupa data bulanan selama periode 2010 hingga 2019 dikumpulkan dari laman resmi Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perdagangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Semua data agregat yang telah dikumpul tersebut dikonversikan menjadi data riil, ini merupakan langkah awal sebelum dilakukan analisis. Penelitian ini menggunakan analisis jalur sebagai metode analisis data dan untuk mencapai tujuan penelitian ini, data penelitian diolah dengan Eviews versi 10. Dengan demikian, mencakup 2 model matematis yang ingin dianalisis di penelitian ini:

Gambar 1. Model Penelitian

 

DPK = α + β1(INF) + β2(BIRT) + β3(NTRP) + β4(JUB) + ε1 …………………………. (1)

PPY = α + β1(INF) + β2(BIRT) + β3(NTRP) + β4(JUB) + β5(DPK) + ε2 ……………....(2)

 

Di mana DPK, adalah Dana Pihak Ketiga sebagai variable intervening, PPY adalah penyaluran pembiayaan, α disebut nilai tetap dalam model, β(1) ; β(2) ; β(3) ; β(4) ; β(5) adalah koefisisn dari  INF, BIRT, NTRP, JUB, dan DPK, ε adalah variabel penganggu (error), INF adalah inflasi, BIRT adalah BI rate, NTRP adalah nilai tukar rupiah, serta JUB adalah jumlah uang beredar.

Seperti pada umumnya, prosedur mengestimasi data time series dimulai dari melakukan pengujian asumsi klasik. Ada empat uji asumsi klasik meliputi multikolinearitas, otokorelasi, heteroskedastisitas, dan normalitas. Dalam buku Gunawan (2020) menjelaskan bahwa pengujian pelanggaran asumsi ini bertujuan agar model yang dihasilkan tidak bias, bisa konsisten, dan akurat. Untuk itu, diperlukan model yang lolos pengujian asumsi klasik dan tindakan penanganan sesuai masalah yang terjadi dalam model. Sebelum dilakukan analisis jalur, data juga dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Statistik Deskriptif


Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi awal terkait data dari variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, analisis data dengan statistik deskriptif dilihat dari nilai rata-rata, nilai maksimum, nilai minimum, dan standar deviasi. Hasil statistik deskriptif terlihat pada tabel 1 berikut ini:

 

Tabel 1. Statistik Deskriptif

 

INF

BIRT

NTRP

JUB

DPK

PPY

Mean

0.387917

5.780833

9256.566

3183895.

165476.3

151219.0

Median

0.275000

5.690000

 10272.31

3519182.

177765.1

170351.2

Maximum

3.290000

7.990000

12046.52

4433170.

299531.2

255398.0

Minimum

-0.450000

3.210000

6673.410

1751107.

44683.14

39945.77

Std. Dev.

0.509143

1.082127

1709.663

888443.7

77144.82

64341.20

Skewness

2.230017

-0.057222

-0.364217

-0.279238

-0.022501

-0.251220

Kurtosis

12.29894

2.248816

1.350624

1.453833

1.716194

1.799231

 

 

 

 

 

 

 

Jarque-Bera

531.8110

2.886877

16.25528

13.51263

8.250919

8.471463

Probability

0.000000

0.236114

0.000295

0.001164

0.016156

0.014469

 

 

 

 

 

 

 

Sum

46.55000

693.7000

1110788.

3.82E+08

19857152

18146282

Sum Sq. Dev.

30.84798

139.3489

3.48E+08

9.39E+13

7.08E+11

4.93E+11

 

 

 

 

 

 

 

Observations

120

120

120

120

120

120

 

Dari hasil statistik deskriptif diatas, menerangkan bahwa jumlah observasi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebanyak 120. Angka ini didapatkan dari total penggunaan data riil bulanan selama 10 tahun. (1) Nilai inflasi (INF) rata-rata adalah 0.387917 dengan simpangan baku sebesar 0.509143. INF memiliki nilai maksimum 3.290000 dan nilai minimum -0.450000. (2) Nilai BI rate (BIRT) rata-rata adalah 5.780833 dengan simpangan baku sebesar 1.082127. BIRT memiliki nilai maksimum 7.990000 dan nilai minimum 3.210000. (3) Nilai nilai tukar rupiah (NTRP) rata-rata adalah 9256.566 dengan simpangan baku sebesar 1709.663. NTRP memiliki nilai maksimum 12046.52 dan nilai minimum 6673.410. (4) Nilai jumlah uang beredar (JUB) rata-rata adalah 3183895 dengan simpangan baku sebesar 888443.7. JUB memiliki nilai maksimum 4433170 dan nilai minimum 1751107. (5) Nilai dana pihak ketiga (DPK) rata-rata adalah 165476.3 dengan simpangan baku sebesar 77144.82. DPK memiliki nilai maksimum 299531.2 dan nilai minimum 44683.14. (6) Nilai penyaluran pembiayaan (PPY) rata-rata 151219.0 dengan simpangan baku sebesar 64341.20. PPY memiliki nilai maksimum 255398.0 dan nilai minimum 39945.77.

Pengujian Asumsi Klasik

1)  Multikolinearitas

Seharusnya tidak terjadi hubungan timbal balik (multikolinearitas) antara variabel penyebab yang satu dengan lainnya di dalam model regresi yang baik. Untuk mengetahuinya, dilakukan tes multikolinearitas dengan melihat nilai centered Variance Inflation Factors (VIF) dan Tolerance. Bila nilai centered VIF dibawah dari angka 10 dan tolerance diatas 0.1 maka dianggap model yang dihasilkan dalam penelitian ini terbebas dari masalah multikolinearitas. Hasil tes multikolinearitas untuk model 1 dan model 2 adalah sebagai berikut.


 

Tabel 2. Hasil Tes Multikolinearitas

Model

Tolerance

Centered VIF

Model Persamaan Regresi 1

 

 

     INF

0.731101

1.367801

     BIRT

0.421812

2.370724

     NTRP

0.092400

10.82255

     JUB

0.083195

12.01996

Model Persamaan Regresi 2

 

 

     INF

0.730794

1.368374

     BIRT

0.421273

2.373760

     NTRP

0.046880

21.33108

     JUB

0.006843

146.1373

     DPK

0.012945

77.22938

                               Y_regresi1: DPK       Y_regresi2 : PPY


 

Hasil tes multikolinearitas memperlihatkan bahwa di dalam model 1, variabel bebas NTRP dan JUB saling berhubungan erat. Karena itu, diputuskan JUB yang di keluarkan di model 1. Dan di model 2 masih ditemui multikolinearitas pada variabel NTRP, JUB, dan DPK. Maka JUB harus dikeluarkan juga dari model 2. Jadi, kini penelitian ini meniadakan variabel JUB pada model 1 dan model 2.

 

2)  Otokorelasi

Model regresi yang baik seharusnya tidak mengandung problem otokorelasi. Telah dilakukan uji otokorelasi pada kedua model (setelah satu variabel JUB dihapuskan) terlihat pada tabel 3.

 

 

Tabel 3. Hasil Tes Otokorelasi


Model

Obs*R-squared

Prob. Chi-Square

Model Persamaan Regresi 1 Tanpa JUB

100.6177

0.0000

Model Persamaan Regresi 2 Tanpa JUB

98.41863

0.0000


 

Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10

 


Hasil tes otokorelasi menunjukkan bahwa dengan uji LM dapat dilihat nilai probabilitas dari Chi-Square dari kedua model (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sama-sama sebesar 0.0000 atau lebih rendah dari 0.05. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa telah terjadi otokorelasi pada model 1 dan 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) yang artinya kedua model tersebut tidak lolos asumsi otokorelasi.

Untuk menangani permasalahan otokorelasi yang terjadi di dalam model 1 dan model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan), penelitian ini menggunakan metode first difference. Di mana bentuk persamaan kedua model yang akan diregresi kembali dikonversi seperti berikut ini:


 


∆DPK = α + β1∆(INF) + β2∆(BIRT) + β3∆NTRP + ε1 …………………………………………… (1)

∆PPY = α + β1∆(INF) + β2∆(BIRT) + β3∆(NTRP) + β4∆(DPK) + ε2 …………………….(2)

Berikut ini hasil penanganan masalah otokorelasi pada model 1 dan model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan):


 


Tabel 4. Hasil Penanganan Masalah Otokorelasi

Model

Obs*R-squared

Probabilitas

Model Persamaan Regresi 1 Tanpa JUB

1.832020

0.4001

Model Persamaan Regresi 2 Tanpa JUB

0.790285

0.6736

Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10

 


Setelah mengkonversikan model 1 dan model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) dengan cara first difference, diperoleh nilai prob. Chi-Square untuk kedua model pada hasil uji LM adalah sebesar 0.4001 dan 0.6736 atau lebih tinggi dari 0.05. Jadi, di dalam model 1 dan model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sudah tidak berisi masalah otokorelasi yang artinya kedua model dalam penelitian ini telah lolos asumsi otokorelasi.

 


3)  Heteroskedastisitas


Di dalam model regresi yang baik, semua residual (error) memiliki variance yang konstan, situasi ini dinamakan homoskedastisitas. Sedangkan jika variancenya berbeda-beda disebut heteroskedastisitas. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan tes heteroskedastisitas dengan uji white (included cross terms). Model regresi dianggap terbebas dari problem heteroskedastisitas atau data homoskedastisitas bila memiliki nilai probabilitas Chi-Square diatas dari tingkat α = 0.05. Hasil tes heteroskedastisitas pada kedua model (setelah satu variabel JUB dihapuskan) dapat dilihat pada tabel 5.


 

Tabel 5. Hasil Tes Heteroskedastisitas

Model

Obs*R-squared

Probabilitas

Model Persamaan Regresi 1 Tanpa JUB

48.01194

0.0000

Model Persamaan Regresi 2 Tanpa JUB

44.69129

0.0000

Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10

 


Hasil tes heteroskedastisitas menunjukkan bahwa dengan uji white, nilai Obs*R-squared untuk model 1 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sebesar 48.01194 dengan probabilitas Chi-Square 0.0000. Sedangkan, model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) memiliki nilai Obs*R-squared sebesar 44.69129 dengan probabilitas Chi-Square yang lebih rendah dari α = 0.05 menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas pada kedua model.

Karena ada unsur heteroskedastisitas pada kedua model maka penelitian ini menanganinya dengan menggunakan uji huber white. Uji huber white ini adalah metode penanganan yang membuat standar error baru. Di mana dari hasil penanganan heteroskedastisitas dengan uji huber white, terlihat ada perubahan pada nilai standard error yang menjadi kecil. Walaupun model tetap berisi heteroskedastisitas, namun kini melalui standard error baru, uji signifikansi satu per satu (uji - t) dan serempak (uji - F) akhirnya menjadi valid dengan koefisien parameter yang sama.


 

4)  Normalitas


Model regresi yang baik seharusnya memiliki data yang tersebar secara normal atau hampir normal. Untuk mengetahui normal atau tidaknya penyebaran data dari model yang dihasilkan dilihat melalui uji Jarque-Bera (JB). Bila hasilnya, prob. dari statistik Jarque-Bera (JB) diatas dari angka 0.05 maka dianggap model sudah memiliki sebaran data yang bertipe normal. Hasil tes normalitas untuk model 1 dan model 2 yang setelah satu variabel JUB dihapuskan, terlihat pada gambar 2.


 

Gambar 2. Hasil Tes Normalitas Model Persamaan Regresi 1 Tanpa JUB

Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10

 


Hasil tes normalitas menunjukkan bahwa nilai statistik JB untuk model 1 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sebesar 5.734227 dan probabilitas dari statistik JB sebesar 0.056863. Probabilitas dari statistik JB) yang berada pada angka 0.05 tersebut menunjukkan bahwa data dari variabel sebab dan variabel akibat pada model 1 tanpa JUB ini hampir tersebar secara normal.

 


 

Gambar 3. Hasil Tes Normalitas Model Persamaan Regresi 2 Tanpa JUB

Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10

 


Hasil tes normalitas menunjukkan bahwa nilai statistik JB untuk model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sebesar 5.840435 dan probabilitas dari statistik JB sebesar 0.053922. Probabilitas dari statistik JB yang berada pada angka 0.05 tersebut menunjukkan bahwa data dari variabel bebas dan variabel akibat pada model 2 tanpa JUB hampir tersebar secara normal.

Pada jumlah amatan yang kecil, seluruh data yang terlibat diperlukan normal karena hasil pengujian hipotesis menjadi tidak valid jika asumsi ini dilanggar dan kita boleh meniadakannya pada jumlah amatan yang besar. Asumsi OLS pada jumlah amatan yang besar lebih ditekankan kepada tes otokorelasi dan heteroskedastisitas karena akan membuat kesimpulan statistik yang diambil menjadi tidak valid.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Hasil


Model Persaman Regresi 1 Tanpa JUB

Setelah melewati tes multikolinearitas, otokorelasi, heteroskedastisitas, dan normalitas, maka model persamaan regresi 1 dan 2 tanpa JUB yang sudah lulus syarat BLUE adalah sebagai berikut:

 

D(DPK) = 1983.238 - 1251.088 D(INF) - 2820.839 D(BIRT) + 7.296353 D(NTRP) + e1

 

Model yang terbentuk memiliki nilai statistik - F sebesar 17.97636 dengan signifikansi F sebesar 0.000000 yang lebih rendah dari tingkat α = 0.05. Jadi, dapat kita nyatakan bahwa dengan tingkat keyakinan 95%, seluruh variabel penyebab (inflasi, BI rate, dan nilai tukar rupiah) yang terlibat dalam model 1 secara serempak berpengaruh dan mampu menjelaskan variabel akibat yaitu Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan syariah. Besar sumbangan tiga variabel penyebab di dalam model 1 adalah 0.301482, sedangkan sisanya  = 0.698518 atau 69,85% dijelaskan oleh variabel luar yang tidak diikutkan dalam pengujian.

 

Model Persaman Regresi 2 Tanpa JUB

 

D(PPY) = 532.2504 - 116.4631 D(INF) - 132. 5615 D(BIRT) + 4.591214 D(NTRP) + 0.559829 D(DPK) + e2

 

Model yang terbentuk memiliki nilai statistik - F sebesar 94.18746 dengan signifikansi F sebesar 0.000000 yang lebih rendah dari tingkat α = 0.05. Jadi, dapat kita nyatakan bahwa seluruh variabel penyebab (inflasi, BI rate, nilai tukar rupiah, dan Dana Pihak Ketiga (DPK)) yang terlibat dalam model 2 secara serempak mampu menjelaskan variabel akibat yaitu penyaluran pembiayaan (PPY) di perbankan syariah. Besar sumbangan empat variabel penyebab di dalam model 2 adalah 0.759552, sedangkan sisanya  = 0.240448 atau 24.04% dijelaskan oleh variabel luar yang tidak diikutkan dalam pengujian.


                                    


Analisis Hasil Penelitian

1)  Pengaruh Inflasi Kepada Dana Pihak Ketiga

Pada model pertama, koefisien variabel inflasi sebesar -1251.088 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.5723 (lebih besar dari α = 0.05). Tanda negatif pada koefisien inflasi menjelaskan bahwa saat harga bergerak naik yang terjadi adalah adanya tindakan pengambilan uang yang mereka letakkan di bank, akibatnya total setoran masyarakat secara keseluruhan yang berada di bank menjadi berkurang. Tetapi, hasil uji sig - t menerangkan bahwa variabel inflasi tidak mempunya pengaruh kepada Dana Pihak Ketiga. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Tho’in et al. (2019), Tripuspitorini et al. (2020) dan Maries (2008). Hal ini karena perbankan syariah tidak berpraktek dengan akad bunga melainkan menerapkan akad bagi hasil. Selain itu, inflasi di Indonesia rata-rata masih dalam kisaran yang wajar dibawah 10 persen artinya masyarakat masih bisa mengadakan dananya dengan baik tanpa harus mengeluarkan uang tabungan yang mereka letakkan di perbankan syariah. Jumlah dana pihak ketiga yang terus bertambah disaat inflasi tampak berfluktuasi disebabkan karena tujuan masyarakat membuat tabungan adalah untuk mempersiapkan diri dari berbagai hal yang tidak pasti di masa depan. Selain itu, bisa terjadi karena masyarakat sudah banyak yang ingin bertransaksi dengan prinsip syariah atau dengan kata lain mereka ingin terhindari dari bunga yang diyakini mengandung riba serta mereka lebih percaya menitipkan uang mereka di bank syariah.

 

2)  Pengaruh BI rate Kepada Dana Pihak Ketiga

Pada model pertama, koefisien variabel BI rate sebesar -2820.839 dan tingkat signifikansi uji - t sebesar 0.1811 (lebih besar dari α = 0.05). Hasil uji - t menunjukkan bukti setiap perubahan BI rate tidak membawa perubahan pada jumlah dana pihak ketiga.  Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Afrida (2018). Dampak dari BI rate sebenarnya lebih tepat dihubungkan dengan bank konvensional, mereka justru mempergunakan BI rate untuk menentukan harga dari sewa uang dan tabungan. Dari data penelitian menunjukkan bahwa jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan terus meningkat disaat BI rate mengalami fluktuasi. Peningkatan dana pihak ketiga menandakan bahwa masyarakat sudah banyak yang mulai sadar akan sistem bunga yang ditetapkan bank konvensional adalah riba dan mereka berusaha untuk menghindari riba dengan memilih hijrah ke produk tabungan bank syariah. Masyarakat yang memilih bank syariah sebagai tempat mereka menyimpan dana tidak memiliki motif mencari profit. Sebenarnya alasan mendasar penyebab BI rate tidak signifikan mempengaruhi dana piha ketiga adalah karena tidak seluruhnya masyarakat peduli atau tahu mengenai BI rate, sehingga kebanyakan mereka yang akan membuat tabungan di bank tidak mempertimbangan BI rate.


3)  Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Kepada Dana Pihak Ketiga

Pada model pertama, koefisien variabel nilai tukar rupiah sebesar 7.296353 dan tingkat signifikansi uji - t sebesar 0.0135 (lebih kecil dari α = 0.05). Hasil ini menguatkan hasil penelitian terkait oleh Afrida (2018), dan Jatnika et al. (2020). Selama tahun penelitian, kondisi ekonomi di Indonesi dalam keadaan kompetitif dan produktif. Walaupun pergerakan nilai kurs rupiah terlihat tidak stabil dan sering terdepresiasi, akan tetapi secara rata-rata nilai kurs rupiah masih cukup baik. Kondisi nilai kurs rupiah yang terjadi dalam periode awal 2010 hingga periode akhir 2019 mengakibatkan masyarakat lebih banyak memiliki uang karena aktivitas ekonomi yang sedang tumbuh. Kondisi nilai kurs rupiah yang berfluktuasi tersebut membuat pengekspor dan pengimpor lebih memilih untuk menyetor uang dari hasil bisnis mereka ke bank daripada membelanjakan uangnya atau menyimpan uang dalam bentuk investasi lain. Pada periode penelitian ini tingkat inflasi di Indonesia masih tergolong ringan. Hal ini terlihat dari data selama periode tersebut baik nasabah individu maupun nasabah korporasi tidak menggunakan uang tabungan yang mereka simpan di bank syariah guna memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, masysrakat yang rasional melihat bank selain sebagai tempat yang aman dari tindakan kejahatan, juga melihat bank syariah memiliki stabilitas yang lebih baik. Hal ini yang mengakibatkan jumlah simpanan di bank syariah terus meningkat disaat nilai kurs rupiah lebih sering terdepresiasi dan tidak stabil.

4)  Pengaruh Inflasi Kepada Penyaluran Pembiayaan

Pada model kedua, koefisien variabel inflasi sebesar -116.4631 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.9052 (lebih besar dari α = 0.05). Hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh inflasi terhadap penyaluran pembiayaan di bank syariah. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Nurrochman et al. (2016), dan Maries (2008). Dalam tabel statistik deskriptif, rata-rata tingkat inflasi selama tahun penelitian masih dalam kelompok yang ringan terlihat inflasi masih dibawah 10 persen (Nugroho, 2016). Karena hampir tidak ada perubahan pada daya beli masyarakat dan juga produsen tidak mengurangi produksinya. Hal tersebut terlihat dari masyarakat yang selalu ada uang untuk mengisi rekening tabungan mereka di bank syariah. Untuk mencukupi kebutuhan modal usaha, nampaknya  peruahaan selalu menambah kas dengan memanfaatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Pada kondisi ini ternyata terlihat masyarakat lebih memilih menanamkan uang di perbankan syariah yang jelas memberikan bagi hasil berdasarkan profit sharing dan mengambil pembiayaan di perbankan syariah karena mereka berpikir kalau perbankan syariah tidak pernah memberatkan mitranya dalam mencicil pembiayaan yang telah diberikan saat terjadi inflasi yang tinggi. Meskipun beberapa penelitian mengatakan bank syariah tidak seratus persen murni syariah salah satunya Rasyid (2022) namun masyarakat kelihatannya mulai ingin bertransaksi melalui bank syariah dan bahwa lebih yakin menggunakan bank syariah baik itu karena alasan faktor agama maupun keuntungan. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah dana setoran masyarakat dan jumlah dana pembiayaan yang berhasil didistribusikan ke masyarakat terus meningkat secara beriringan.

5)  Pengaruh BI Rate Kepada Penyaluran Pembiayaan

Pada model kedua, koefisien variabel BI rate sebesar -132.5615 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.9037 (lebih besar dari α = 0.05). Nilai sig membuktikan bahwa tidak ada pengaruhBI rate terhadap penyaluran dana pihak ketiga. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Zaimsyah (2020). Tanda negatif pada koefisien regresi BI rate menunjukkan bahwa mereka yang sedang mencari dana tidak mau terburu-buru atau mengurungkan rencananya untuk menyewa uang ke bank ketika tingkat bunga sedang naik karena harga dari sewa uang menjadi mahal. Hasil uji - t menunjukkan bahwa dari awal tahun 2010 hingga 2019, naik turunnya BI rate tidak merubah besaran jumlah dana yang didistribusikan dalam bentuk pembiayaan. Karena tingkat bunga BI menjadi patokan bagi bank konvensional dalam operasionalnya, sehingga layak jika BI rate tidak secara signifikan berdampak pada perubahan jumlah pembiayaan yang didistribusikan.

Selama kurun 2010 hingga 2019 kondisi ekonomi sedang hidup yang tergambar dari tingkat inflasi yang secara rata-rata masih lebih rendah dari 10 persen maka dari itu banyak produsen yang menambah produksinya dengan menggunakan pembiayaan di perbankan syariah. Alasan lain yang menjadi dasar BI rate tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan perbankan syariah adalah karena tidak semua masyarakat yang peduli atau tahu tentang BI rate sehingga masyarakat dalam memilih tempat untuk menyewa uang tidak memperhitungan BI rate. Walaupun secara empiris jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan tidak dipengaruhi oleh BI rate, tetapi korelasi parsial antara BI rate dan jumlah pembiayaan bank menunjukan bahwa harga dari sewa uang yang dipatok seperti di bank konvensional, benar-benar masih sebagai alasan orang-orang dalam menyewa uang ke bank yang pada akhirnya akan berakibat pada jumlah pembiayaan syariah.

6)  Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Kepada Penyaluran Pembiayaan

Pada model kedua, koefisien nilai tukar rupiah sebesar 4.591214 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.0001 (lebih kecil dari α = 0.05). Tanda positif pada koefisien nilai tukar rupiah bersesuaian dengan data dalam penelitian ini. Di mana kondisi nilai tukar rupiah cukup baik selama periode penelitian terlihat dari rata-rata nilai tukar rupiah yang mencapai sebesar Rp 9256.566 per dollar AS. Kecilnya tingkat inflasi di Indonesia menunjukkan kegiatan produki selama periode penelitian memberikan keuntungan bagi produsen. Pada kondisi yang rendah risiko tersebut, membangkitkan semangat produsen untuk meningkatkan kegiatan produksinya dengan cara mengambil pembiayaan ke perbankan syariah.

Penelitian ini menemukan koefisien nilai tukar rupiah signifikan dalam persamaan regresi 2 yang berarti bahwa perubahan nilai tukar rupiah tentu akan menyebabkan perubahan pada jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Hakimi (2020). Meskipun kondisi rupiah cukup baik selama periode penelitian namun jika dicermati nilai rupiah yang bertambah dan berkurang dari waktu ke waktu, justru tidak mengurangi aktivitas bank dalam melakukan pendistribusian pembiayaan kepada pihak yang membutuhkan dana. Artinya jumlah pembiayaan yang didistribusikan terus bertambah setiap bulannya. Selain itu, dengan masih sedikitnya Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang ikut serta dalam transaksi mata uang asing seharusnya tidak membuat jumlah pembiayaan yang didistribusikan terpengaruh oleh perubahan nilai tukar. Secara statistik penguatan dan pelemahan rupiah terbukti mempengaruhi jumlah pembiayaan yang didistribusikan.

7)  Pengaruh Dana Pihak Ketiga Kepada Penyaluran Pembiayaan

Pada model kedua, koefisien dana pihak ketiga sebesar 0.559829 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.0000 (lebih kecil dari α = 0.05). Sebagai lembaga penghubung antara penabung dan kelompok yang mempunyai kebutuhan dana, bank syariah mempunyai kewajiban untuk mendistribusikannya kembali dalam bentuk pembiayaan kepada kelompok yang kekurangan dana. Jumlah dana pihak ketiga yang dapat didistribusikan dalam bentuk pembiayaan ini sangat bergantung pada besaran dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan perbankan syariah. Hubungan positif yang terjadi diantara dana pihak ketiga dengan penyaluran pembiayaan ini sejalan dengan hasil uji - t. Hasil ini menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurrochman dan Mahfudz (2016) dan Rifai (2017). Jumlah dana pihak ketiga yang berpengaruh secara statistik pada penyaluran pembiayaan disebabkan karena dana adalah bagian penting di segala kegiatan dan dana setoran masyarakat atau dana pihak ketiga ini adalah aset bank yang porsinya lebih besar dari modal bank itu sendiri. Dan sumber dana dari masyarakat ini termasuk mudah untuk didapatkan dan tersedia dalam porsi yang banyak di masyarakat sehingga dana pihak ketiga menjadi sumber dana yang paling diistimewakan bank untuk dapat melakukan pembiayaan. Selain itu berdasarkan data peneltiian, terlihat jelas bahwa di dalam periode penelitian (sejak Januari 2010 s/d. Desember 2019) tren perkembangan penyaluran pembiayaan bergerak meningkat dan beriringan dengan tren perkembangan dana pihak ketiga.

8)  Pengaruh Inflasi, BI Rate, Nilai Tukar Rupiah, Kepada Penyaluran Pembiayaan Lewat Dana Pihak Ketiga

Dari hasil uji model dalam penelitian ini yaitu pengaruh langsung terhadap Dana Pihak Ketiga dan penyaluran pembiayaan diperoleh bukti bahwa hanya nilai tukar rupiah yang ada pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung ke total pembiayaan. Terlihat dari nilai uji t masing-masing variabel yang lebih besar 0.05. Hal ini berarti dana pihak ketiga hanya menghubungkan pengaruh nilai tukar rupiah ke total penyaluran pembiayan atau dengan kata lain DPK hanya sebagai variabel intervening atas nilai tukar rupiah. Baron et al. (1986) mengatakan dapat disebut variabel intervening, jika suatu variabel mempunyai pengaruh yang signifikan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan data penelitian, di mana penabung tidak lagi mempertimbangkan nilai tukar dalam hal menitipkan uangnya ke bank syariah. Data penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tetap memilih menyimpan uangnya di perbankan syariah meskipun saat harga dollar naik (nilai kurs rupiah terdepresiasi). Hal ini karena apabila nilai tukar rupiah mengalami apresiasi membuat harga barang ekspor menjadi meningkat yang akibatnya produsen menghadapi penurunan permintaan dan kemungkinan mereka tidak dapat menutupi kembali pengeluaran mereka. Selain itu kelihatannya pada saat kurs rupiah terdepresiasi, masyarakat tidak menarik uangnya untuk membeli mata uang asing atau tidak banyak uang masyarakat yang mengalir ke luar negeri karena mereka masih tertarik dengan tingkat pengembalian investasi di Indonesia dan tentunya mereka masih merasa itu lebih menguntungkan bagi mereka ketimbang menanamkan uang pada bentuk investasi lain atau menyimpannya di perbankan konvensional. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal menitipkan uangnya kepada bank syariah masih cukup tinggi.

Dan pada dasarnya, nilai kurs dan inflasi saling terkait. Penurunan nilai kurs membuat harga barang menjadi lebih mahal. Namun, kenaikan harga yang berlaku di pasar selama periode 2010:01 hingga 2019:12 tidak terlalu berdampak, karena tingkat harga yang tercermin oleh tingkat inflasi tergolong rendah (kurang dari 10%). Karena kondisi ekonomi selama masa penelitian terlihat kompetitif dan produktif namun kurs rupiah berfluktuatif maka bank syariah banyak mencairkan dana ke masyarakat tetapi disamping itu masyarakat tetap menabung di bank syariah karena investasi tempat lain kemungkinan akan memiliki risiko yang lebih tinggi.

 


Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis membuat kesimpulan bahwa: (1) Secara parsial inflasi dan BI rate tidak berpengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah. Sedangkan nilai tukar rupiah berpengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah. (2) Secara parsial inflasi dan BI rate tidak berpengaruh kepada pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah. Sedangkan nilai tukar rupiah berpengaruh kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah. (3) Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah. (4) Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya menjadi variabel intervening atas nilai tukar rupiah, sebab variabel ini yang mempunyai pengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran pembiayaan.

 



BIBLIOGRAFI

 


Afiqah, Y. W., & Laila, N. (2021). Penentu Profitabilitas Pada Bank Umum Syariah Di Ndonesia: Faktor Internal Bank Dan Makroekonomi. Jurnal Ekonomi Syariah Teori Dan Terapan, 8(6), 797–807.

Afrida, Y. (2018). Pengaruh inflasi, kurs, tingkat suku bunga, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar terhadap jumlah DPK bank syari’ah. Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam, 3(2).

Baron, J. N., Davis-Blake, A., & Bielby, W. T. (1986). The structure of opportunity: How promotion ladders vary within and among organizations. Administrative Science Quarterly, 248–273.

Cahyono, A. (2009). Pengaruh Indikator Makroekonomi terhadap Dana Pihak Ketiga dan Pembiayaan Bank Syariah Mandiri. Universitas Indonesia.

Gilarso, T. (2004). Pengantar ilmu ekonomi makro. Kanisius.

Gunawan, C. (2020). Mahir Menguasai SPSS Panduan Praktis Mengolah Data Penelitian New Edition Buku Untuk Orang Yang (Merasa) Tidak Bisa Dan Tidak Suka Statistika. Deepublish.

Jatnika, M. D. (2020). Pengaruh variabel makroekonomi terhadap dana pihak ketiga Bank Umum Syariah di Indonesia. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi Dan Bisnis, 4(1), 164–173.

Kasmir. (2014). Dasar-Dasar Perbankan. RajaGrafindo Persada.

Maries, R. (2008). Dampak Fluktuasi Variabel Ekonomi Makro Terhadap DPK yang Dihimpun dan Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia. Universitas Indonesia: Jakarta.

Nahar, S., & Sarker, N. (2016). Are macroeconomic factors substantially influential for Islamic bank financing? Cross-country evidence. IOSR Journal of Business and Management, 18(6), 2319–7668.

Nugroho, R. E. (2016). Analisis Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Di Indonesia Periode 1998–2014. Penelitian Dan Aplikasi Sistem Dan Teknik Industri, 10(2), 182887.

Nurrochman, I., & Mahfudz, M. (2016). Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan pada bank umum syariah (Studi pada bank umum syariah tahun 2012-2015). Fakultas Ekonomika dan Bisnis.

Rasyid, M. (2022). Meninjau Ulang Prinsip-Prinsip Syariah Dalam Perbankan Syariah Di Indonesia. Et-Tijarie: Jurnal Hukum Dan Bisnis Syariah, 7(1), 1–21.

Rifai, S. A., Susanti, H., & Setyaningrum, A. (2017). Analisis Pengaruh Kurs Rupiah, Laju Inflasi, Jumlah Uang Beredar dan Pertumbuhan Ekspor terhadap Total Pembiayaan Perbankan Syariah dengan Dana Pihak Ketiga sebagai Variabel Moderating. Muqtasid, 8(1), 18–39. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18326/muqtasid.v8i1.18-39

Sukirno, S. (2015). Makroekonomi teori pengantar.

Tho’in, M., & Prastiwi, I. E. (2019). An Analysis the Rupiah Exchange Rates Effect Against the American Dollar and Inflation Against the Growth of Islamic Banking Mudharabah Deposits in Indonesia. International Journal of Islamic Business and Economics (IJIBEC), 3(1), 61–69.

Tripuspitorini, F. A., & Setiawan, S. (2020). Pengaruh faktor makroekonomi terhadap pertumbuhan dana pihak ketiga pada bank umum syariah di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Dan Keuangan, 8(1), 121–132.

Zaimsyah, A. M. (2020). Factors Affecting the Distribution of Micro, Small and Medium Enterprises (MSME) Financing in Islamic Banks. AL-FALAH: Journal of Islamic Economics, 5(1), 38–51.




Copyright holder:

Reny Tembera, Sri Hermawati (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: