Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
9, No. 8, Agustus 2024
ANALISIS VARIABEL MAKRO EKONOMI
DENGAN DANA PIHAK KETIGA (DPK) SEBAGAI VARIABEL INTERVENING TERHADAP PENYALURAN
PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE 2010-2019
Reny Tembera1*, Sri Hermawati2
Universitas Gunadarma, Jakarta,
Indonesia1,2
Email: [email protected]*
Abstrak
Pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia terus
mengalami tren kenaikan dari waktu
ke waktu. Namun kondisi makro
ekonomi selalu berubah, di mana pada beberapa periode mengalami pertumbuhan yang pesat dan melambat pada periode lainnya. Maka dari
itu, variabel makro ekonomi sebagai
indikator ekonomi perlu dijaga kestabilannya
oleh pemerintah, karena perubahannya dapat mempengaruhi semua sektor ekonomi tidak terkecuali perbankan syariah. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
dan menganalisis pengaruh langsung dan tidak langsung variabel makro ekonomi kepada
penyaluran pembiayaan perbankan syariah dan digunakan Dana
Pihak Ketiga (DPK) sebagai variabel intervening. Variabel makro ekonomi yang diteliti adalah inflasi, BI rate, dan nilai tukar rupiah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan syariah di Indonesia baik
Bank Umum Syariah (BUS) maupun
Unit Usaha Syariah (UUS). Seluruh populasi
diambil sebagai sampel dengan jenis
data time series dari Januari
2010-Desember 2019. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis jalur. Kemudian, data yang diperoleh diolah menggunakan software statistik Eviews versi 10. Dari hasil analisis yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa hanya nilai
tukar rupiah yang berpengaruh
langsung dan tidak langsung kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah. Dengan kata
lain, Dana Pihak Ketiga
(DPK) hanya menjadi variabel intervening atas nilai tukar rupiah, sebab nilai tukar
rupiah yang mempunyai pengaruh
kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran pembiayaan.
Kata kunci:
variabel makro ekonomi, Dana Pihak Ketiga (DPK), penyaluran pembiayaan
Abstract
The
growth of Islamic banking in Indonesia continues to experience an upward trend
from time to time. However, macro economic conditions
are always changing, with some periods experiencing rapid growth and slowing in
other periods. Therefore, macro economic variables as
economic indicators need to be kept stable by the government, because changes
in macro economic variable can effect all economic sectors, including the Islamic
banking. The purpose of this research to determine and analyze the direct and
indirect effect of macro economic variables on
distribution of Islamic banking financing and uses Third Party Funds (TPF) as
an intervening variable. The macro economic variables
studied were inflation, BI rate, and rupiah exchange rate. The population in
this study is all Islamic banking in Indonesia, both Islamic Commercial Banks (ICB)
and Islamic Business Units (IBU). All populations were taken as samples with the
type of time series data from January 2010-December 2019. The analytical tool
used was path analysis. Then, the data obtained was processed using the Eviews version 10 statistical software. From the analysis
carried out, it was found that only the rupiah exchange rate had a direct and
indirect effect on the distribution of Islamic banking financing. In other
words, Third Party Funds (TPF) are only an intervening variable on the rupiah
exchange rate, because the rupiah exchange rate has an influence on Third Party
Funds and financing distribution.
Keywords:
macro economic variables, Third Party Funds,
financing distribution
Pendahuluan
Saat ini bank sudah menjadi satu bagian
terpenting dari kehidupan masyarakat. Berjalan dengan prinsip yang menomorsatukan kepercayaan, bank tidak hanya untuk individu
dan masyarakat, tetapi ikut andil dalam
kemajuan suatu negara dan kegiatan perekonomiannya. Dalam prakteknya, perbankan di Indonesia bekerja dengan dua sistem diantaranya bank dengan akad bunga (konvensional)
dan bank dengan akad bagi hasil (syariah).
Munculnya bank dengan akad syariah membawa suatu kegembiraan
bagi muslim di Indonesia sekaligus memberi jalan keluar atas
persoalan bunga atau riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional.
Dalam kegiatan operasionalnya, bank dengan akad syariah juga berfungsi sebagai penghubung seperti yang dilakukan bank konvensional yaitu menggalang dana dari pihak yang berekonomi lebih melalui produk
simpanan bank baru kemudian diadakan pengucuran dana kepada pihak yang berkekurangan ekonomi. Disamping berperan sebagai penghubung, bank syariah juga aktif
menjual jasa (Kasmir, 2014).
Perbankan
syariah di Indonesia semakin tampak
berkembang setelah munculnya aturan baru perbankan syariah di tahun 2008. Hingga 2019:12 terekam dalam data OJK (2019) ada sebanyak 198 bank syariah di
Indonesia terdiri dari 14
BUS, 20 UUS, dan 164 BPRS. Perkembangan perbankan syariah ini diantaranya dapat dapat dilihat dari
segi banyaknya bank, jumlah jaringan kantor, Dana Pihak Ketiga (DPK) serta jumlah dana yang berhasil dikucurkan. Dari data statistik, tercatat bahwa grafik perkembangan perbankan syariah cenderung naik dalam 10 tahun terakhir. Jika kondisi tersebut terus berlanjut, dapat menghidupkan bank-bank syariah junior di Indonesia. Namun tidak ideal jika hanya meninjau
dari sisi perkembangannya saja maka penting untuk
melihat dari sisi pertumbuhan. Dari sisi pertumbuhannya, jumlah kantor Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) garis grafiknya condong menunjukkan penurunan bahkan beberapa kali untuk periode 2010-2019 tercatat negatif. Begitu pula dengan garis grafik jumlah aset,
dana pembiayaan yang dikucurkan,
serta Dana Pihak Ketiga juga tampak menurun.
Pada dasarnya untuk berbisnis, bank sangat terikat dengan jumlah dana simpanan masyarakat yang tersedia dalam brankas bank. Hal ini bukan tanpa sebab
dimana dengan tersedianya dana simpanan masyarakat ini bank dapat melaksanakan fungsinya dengan baik selaku lembaga
penghubung (intermediasi). Untuk mendapatkan dana dari masyarakat yang surplus (funding)
dan dalam usaha mendistribusikan dana (lending), ada
banyak faktor yang dihadapi bank. Faktor tersebut bisa timbul dari dalam
diri bank itu sendiri dan diluar diri mereka yang tidak bisa mereka
kendalikan. Hal-hal diluar kendali mereka merupakan variabel yang tidak boleh terbaikan dan perlu dipantau dengan hati-hati karena sangat berpengaruh terhadap fluktuasi jumlah simpanan masyarakat di perbankan syariah
dan jumlah dana pembiayaan
yang didistribusikan. Beberapa
faktor yang diluar kendali ini adalah
kondisi makro ekonomi.
Empat variabel makro ekonomi yakni inflasi,
BI rate, nilai tukar
rupiah, dan jumlah uang beredar
serta Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis pembiayaan di perbankan syariah. Berdasarkan
data yang diambil dari BPS,
Kementerian Perdagangan, dan OJK, diketahui
bahwa dalam periode tahun 2010 hingga tahun 2019 selain jumlah uang beredar, secara keseluruhan variabel makro ekonomi tampak
berfluktuasi. Sama seperti jumlah uang beredar, kondisi yang terjadi pada grafik jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan syariah dan jumlah dana
yang berhasil didistribusikan
terus menunjukkan grafik yang meningkat. Ini menjadi sebuah
tanda, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang jumlahnya tersedia banyak disertai dengan pengucuran dana yang besar pula. Walaupun terus tumbuh beriringan, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pendistribusian
dana pembiayaan sudah mununjukkan garis tren perlambatan sejak tahun 2012. Muhammadinah (2020)
juga mengutarakan dalam penelitiannya bahwa selaras dengan hasil pemantauan konsumen BI, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang melambat dikarenakan porsi dari penghasilan
konsumen yang ditabung berkurang.
Telah dibuktikan oleh Cahyono (2009) dan Rifai et al., (2017) bahwa fluktuasi atas jumlah pencairan
dana pembiayaan di bank syariah tidak
hanya ditentukan oleh perubahan dana yang disetorkan masyarakat tetapi juga dipengaruhi perubahan variabel makro ekonomi. Lebih lanjut, Afiqah
dan Laila (2021) juga berusaha memeriksa faktor penentu simpanan dan pembiayaan bank
syariah di Indonesia dan mengungkapkan bahwa setiap kelalaian
yang dibuat dalam jangka pendek terhadap
tabungan dan pembiayaan akan secara pasti
membentuk hubungan jangka panjang. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa perubahan yang intens dari tabungan
dan perilaku pembiayaan perbankan Islam terungkap dari pengaruh variabel
makro ekonomi. Akan tetapi, penelitian Maries (2008) menemukan hasil sebaliknya. Ia menjelaskan bahwa tiap variabel makro
ekonomi yang digunakannya membawa pengaruh yang kecil dan tidak ada yang dominan terhadap jumlah setoran masyarakat dan dana pembiayaan yang dialokasikan oleh
perbankan syariah.
Melihat penelitian sebelumnya, penelitian ini berupaya menyelediki variabel makro ekonomi (inflasi, BI rate, nilai tukar rupiah, jumlah uang beredar) apa saja yang berhubungan
dengan penyaluran pembiayaan perbankan syariah melalui variabel intervening Dana
Pihak Ketiga (DPK). Pemilihan variabel makro didasarkan pemikiran bahwa keberadaan variabel makro ekonomi tidak
dapat disingkirkan dampaknya dari kegiatan usaha bank. Kondisi makro ekonomi
akan mempengaruhi kehidupan ekonomi dan keputusan pembuat kebijakan di Tingkat terutama menyangkut Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pendistribusian
dana oleh bank syariah. Dana Pihak Ketiga (DPK) adalah sumber modal bagi bank agar mereka dapat menjalankan
aktivitasnya sebagai lembaga penyalur uang.
Dampak Inflasi kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Penyaluran Pembiayaan
Inflasi (INF):
Inflasi merupakan suatu kondisi di mana harga dari barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari dan jasa mengalami kenaikan seperti bahan bakar, layanan
kesehatan, dan perumahan. Inflasi dapat mengubah
kebiasaan individu atau kelompok (Nahar & Sarker, 2016). Umpamanya, ketika perusahaan mengestimasi inflasi akan lebih
besar di masa yang akan datang, mereka mulai berpikir bagaimana mereka bisa menambah harga
tanpa merasa rugi dahulu karena
berkurangnya permintaan atas output mereka.
Sukirno (2015) mengatakan bahwa inflasi berakibat kurang baik kepada
orang, warga, serta membawa efek pada aktivitas ekonomi secara menyeluruh. Yang paling utama adalah timbulnya
inflasi akan membuat tingkat kesejahteraan pada sekelompok besar orang menurun karena inflasi meningkat lebih kilat dari penambahan
upah kerja. Pendapatan yang awalnya sudah dijatahkan untuk disetor ke
dalam tabungan akan dihabiskan setengah atau seluruhnya
untuk melengkapi keperluan hidup. Ketika tingkat inflasi tinggi, kebiasaan orang bergeser dari yang senang membuat tabungan menjadi lebih berkeinginan untuk menarik kembali
uang tabungannya. Kondisi
yang seperti ini menyulitkan bank dalam menggalang dana masyarakat.
Tingkat inflasi yang tinggi tidak akan memacu
pembangunan ekonomi. Biaya produksi yang terus menaik akan
memberikan keuntungan bagi produsen jika
tingkat inflasi berada dalam kisaran
yang masih hijau yaitu lebih rendah
dari 5% (Cahyono, 2009). Kegiatan produksi menjadi sangat tidak menguntungkan jika tingkat inflasi lebih tinggi dari
10% dan terjadi dalam waktu yang lama, biaya produksi terus naik sehingga mengurangi keuntungan produsen (Cahyono, 2009). Kenaikan biaya produksi tentu akan menaikkan harga nominal barang dan jasa. Karena itu, masyarakat akan mengurangi konsumsinya pada barang dan jasa dan kegiatan spekulatif yang justru berkembang. Selain itu, barang
dan jasa dari hasil produksi negara bersangkutan tidak mampu bersaing di pasar internasional menyebabkan banyak produsen yang mengalami kerugian sehingga produsen tidak berkeinginan untuk menambah produksinya. Pada akhirnya, permintaan pembiayaan berkurang di bank.
Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:
Hipotesis 1: Ada pengaruh dari Inflasi
terhadap Dana Pihak Ketiga
Hipotesis 4: Ada pengaruh dari inflasi
terhadap Penyaluran Pembiayaan
Dampak BI
rate kepada Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Pembiayaan
BI Rate (BIRT): suku bunga dapat dlihat
sebagai income dari tabungan. Harga dari uang tabungan kita dan harga dari sewa
uang yang harus diserahkan ke bank akan disesuaikan
setelah kenaikan dan penurunan BI rate yang diberlakukan
oleh Bank Indonesia. Tindakan Bank Indonesia dalam menyikapi kenaikan harga (inflasi) tersebut menjadi sesuatu yang harus diperhatikan perbankan syariah walaupun pada kenyataannya bank
syariah tidak berpraktek dengan akad bunga.
Saat suku bunga tinggi,
masyarakat lebih banyak membuat tabungan di bank konvensional dibanding di bank syariah karena mereka akan menerima
lebih banyak income dari tabungan. Umumnya, klien besar seperti korporasi
akan memindahkan dana dalam jumlah besar
ke bank konvensional untuk mendapatkan income
yang lebih besar. Jika yang
dilihat adalah bank yang mampu memberikan return
yang tinggi, jumlah setoran masyarakat akan meningkat, dan kebijakan regulator untuk mempersedikit peredaran uang akan terwujud.
Saat ini masih ada
masyarakat yang rasional. Mereka yang semula melakukan pembiayaan dari bank syariah bisa berpaling ke bank konvensional atau mereka yang semula mengambil pinjaman dari bank konvensional akan hijrah ke
bank syariah. Hal ini karena
mereka memperhitungkan bank
mana yang menawarkan manfaat
lebih besar kepada mereka. Masyarakat selalu melihat tingkat bunga ketika
mereka hendak mengambil pinjaman dari bank.
Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:
Hipotesis 2: Ada pengaruh dari BI rate terhadap Dana Pihak Ketiga
Hipotesis 5: Ada pengaruh dari BI rate terhadap Penyaluran Pembiayaan
Dampak Nilai tukar rupiah kepada Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Pembiayaan
Nilai Tukar Rupiah (NTRP): sejumlah uang
yang dikorbankan untuk bisa mempunyai satu unit uang negara lain (Gilarso, 2004). Nilai tukar terus berubah
dan relatif tidak stabil karena porsi
mata uang asing yang ditawarkan dan dibutuhkan juga berubah dari waktu
ke waktu. Nilai dari suatu mata
uang akan jauh lebih berharga bila jumlah yang dibutuhkan lebih besar dari jumlah
yang tersedia dan nilai tukar akan menurun
bila jumlah yang dibutuhkan sedikit dari jumlah yang tersedia.
Nilai rupiah yang turun terhadap mata uang dollar AS menyebabkan
uang belanja produsen untuk bahan baku
dan barang modal yang diambil
dari luar negeri menjadi naik artinya harga barang di negara dollar menjadi mahal sedangkan harga barang di negara sendiri menjadi murah. Akibatnya adalah ada tindakan
pengambilan dana likuid dari bank oleh produsen untuk menangani persoalan pendanaan mereka. Tindakan ini akan mengurangi jumlah dana masyarakat yang ada pada bank.
Kalau negara
kita lebih banyak membutuhkan dollar AS untuk pembayaran barang impor tetapi
persediaannya tidak mencukupi karena sedikit melakukan kegiatan ekspor ke negara dollar, nilai tukar dollar AS akan bertambah dan nilai rupiah menjadi berkurang. Saat nilai rupiah berkurang, kegiatan ekspor ke negara dollar menjadi semakin menarik apabila dihitung dalam mata uang negara dollar. Tingginya
permintaan dari negara
dollar terhadap barang-barang
dalam negeri akan direspon oleh produsen dengan menaikkan jumlah produksinya dan mereka mungkin butuh uang tambahan dari bank untuk menyuburkan bisnis mereka.
Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:
Hipotesis 3: Ada pengaruh dari Nilai Tukar Rupiah terhadap Dana Pihak Ketiga
Hipotesis 6: Ada pengaruh dari Nilai Tukar Rupiah terhadap Penyaluran Pembiayaan
Dampak JUB kepada DPK dan Penyaluran Pembiayaan
Jumlah Uang Beredar (JUB): uang sangat berguna sebagai alat untuk memajukan
kegiatan ekonomi disamping itu juga selalu memuat masalah.
Dalam buku Gilarso (2004) kalau kuantitasnya terlalu besar, akibatnya menjadi tidak baik yaitu
bisa terjadi inflasi dan kalau terlalu sedikit, itu juga tidak baik karena akan
membuat ekonomi menjadi macet atau
deflasi. Para ekonom mengatakan bahwa perubahan jumlah uang beredar akan mengubah
tingkat harga barang dan jasa. Dengan maksud yang sama dapat dikatakan
bahwa nilai suatu uang tergantung dari jumlah uang (money supply).
Aktivitas yang tinggi dan rendah di bidang produksi dan perdagangan menentukan banyak sedikitnya jumlah uang yang beredar. Dengan maksud yang sama dapat dikatakan
bahwa orang berkeinginan untuk menggunakan uang terutama karena motif transaksi dan sikap yang mau berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak terduga. Kebutuhan terhadap uang tersebut bisa berubah
secara proporsional setiap saat biasanya
tergantung pada tingkat produksi dan pendapatan. Jumlah uang beredar yang bertambah banyak di masyarakat akan mendorong banyak orang untuk membuat simpanan
di bank.
Jumlah uang beredar yang bertambah akan semakin mempermudah
bagi bank menghasilkan dana
pihak ketiga dalam jumlah banyak.
Meningkatnya jumlah uang beredar ini dapat
disebabkan karena membaiknya daya beli masyarakat dan tingginya permintaan dunia terhadap produk lokal Indonesia. Bila pertambahan
jumlah dana pihak ketiga tidak cepat
didistribusikan bank dalam bentuk pembiayaan, bank syariah bisa mengalami kerugian karena kewajiban bank terus berjalan untuk memberikan rasio pembagian keuntungan atas dana yang telah digalang dari masyarakat.
Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:
Hipotesis 7: Ada pengaruh dari JUB terhadap Dana Pihak Ketiga
Hipotesis 8: Ada pengaruh dari JUB terhadap Penyaluran Pembiayaan
Dampak DPK ke Penyaluran Pembiayaan
Dana Pihak Ketiga (DPK): sebagai lembaga penghubung (intermediasi), dana itu penting dan wajib ada dalam bank. Jika tidak ada dana, bank tidak bisa melakukan
apa-apa atau dengan kata lain bank tidak berfungsi sama sekali. Membujuk klien untuk melakukan
penghematan dan memberikan pembiayaan kepada klien adalah kegiatan
yang utama dijalankan bank.
Bentuk penghematan di bank
syariah terdiri dari simpanan giro dengan
prinsip wadi'ah, simpanan tabungan dengan prinsip wadi'ah dan mudharabah, dan simpanan deposito dengan prinsip mudharabah.
Total setoran masyarakat di bank menjadi suatu ukuran
kepercayaan klien kepada bank yang bersangkutan. Selain itu, Rifai et al. (2017) mengungkapkan bahwa simpanan yang digalang bank dari pihak yang berekonomi lebih akan dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan kepada pihak yang kekurangan ekonomi. Maka dari
itu, jumlah pembiayaan yang dapat dialokasikan sangat bergantung
pada besarnya dana yang berhasil
digalang bank dari klien. Atas dasar uraian diatas, penulis menduga bahwa:
Hipotesis 9 : Ada pengaruh dari DPK terhadap Penyaluran Pembiayaan
Metode Penelitian
Penelitian ini akan memeriksa
efek tidak langsung dari variabel
makro ekonomi terhadap pembiayaan dengan menggunakan variabel DPK sebagai variabel intrvening. Data diambil dari seluruh
populasi. Data yang digunakan
berupa data bulanan selama periode 2010 hingga 2019 dikumpulkan dari laman resmi
Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perdagangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Semua data agregat yang telah dikumpul tersebut dikonversikan menjadi data riil, ini merupakan
langkah awal sebelum dilakukan analisis. Penelitian ini menggunakan analisis jalur sebagai metode analisis data dan untuk mencapai tujuan penelitian ini, data penelitian diolah dengan Eviews versi
10. Dengan demikian, mencakup 2 model matematis yang ingin dianalisis di penelitian ini:
Gambar 1.
Model Penelitian
DPK = α + β1(INF)
+ β2(BIRT) + β3(NTRP) + β4(JUB) + ε1 ………………………….
(1)
PPY = α + β1(INF)
+ β2(BIRT) + β3(NTRP) + β4(JUB) + β5(DPK)
+ ε2 ……………....(2)
Di mana DPK, adalah Dana Pihak Ketiga sebagai variable
intervening, PPY adalah penyaluran
pembiayaan, α disebut nilai tetap dalam
model, β(1) ; β(2) ;
β(3) ; β(4) ; β(5) adalah
koefisisn dari INF, BIRT, NTRP, JUB, dan DPK, ε adalah variabel penganggu (error), INF adalah
inflasi, BIRT adalah BI
rate, NTRP adalah nilai tukar rupiah, serta JUB adalah jumlah uang beredar.
Seperti pada umumnya, prosedur mengestimasi data time series dimulai
dari melakukan pengujian asumsi klasik. Ada empat uji asumsi klasik meliputi
multikolinearitas, otokorelasi,
heteroskedastisitas, dan normalitas.
Dalam buku Gunawan (2020) menjelaskan bahwa pengujian pelanggaran asumsi ini bertujuan
agar model yang dihasilkan tidak
bias, bisa konsisten, dan akurat. Untuk itu,
diperlukan model yang lolos pengujian
asumsi klasik dan tindakan penanganan sesuai masalah yang terjadi dalam model. Sebelum dilakukan analisis jalur, data juga dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil
dan Pembahasan
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi awal terkait
data dari variabel-variabel
yang diteliti dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, analisis data dengan statistik deskriptif dilihat dari nilai
rata-rata, nilai maksimum, nilai minimum, dan standar deviasi. Hasil statistik deskriptif terlihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Statistik
Deskriptif
|
INF |
BIRT |
NTRP |
JUB |
DPK |
PPY |
Mean |
0.387917 |
5.780833 |
9256.566 |
3183895. |
165476.3 |
151219.0 |
Median |
0.275000 |
5.690000 |
10272.31 |
3519182. |
177765.1 |
170351.2 |
Maximum |
3.290000 |
7.990000 |
12046.52 |
4433170. |
299531.2 |
255398.0 |
Minimum |
-0.450000 |
3.210000 |
6673.410 |
1751107. |
44683.14 |
39945.77 |
Std. Dev. |
0.509143 |
1.082127 |
1709.663 |
888443.7 |
77144.82 |
64341.20 |
Skewness |
2.230017 |
-0.057222 |
-0.364217 |
-0.279238 |
-0.022501 |
-0.251220 |
Kurtosis |
12.29894 |
2.248816 |
1.350624 |
1.453833 |
1.716194 |
1.799231 |
|
|
|
|
|
|
|
Jarque-Bera |
531.8110 |
2.886877 |
16.25528 |
13.51263 |
8.250919 |
8.471463 |
Probability |
0.000000 |
0.236114 |
0.000295 |
0.001164 |
0.016156 |
0.014469 |
|
|
|
|
|
|
|
Sum |
46.55000 |
693.7000 |
1110788. |
3.82E+08 |
19857152 |
18146282 |
Sum Sq. Dev. |
30.84798 |
139.3489 |
3.48E+08 |
9.39E+13 |
7.08E+11 |
4.93E+11 |
|
|
|
|
|
|
|
Observations |
120 |
120 |
120 |
120 |
120 |
120 |
Dari hasil statistik deskriptif diatas, menerangkan bahwa jumlah observasi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebanyak 120. Angka ini didapatkan dari total penggunaan data riil bulanan selama
10 tahun. (1) Nilai inflasi
(INF) rata-rata adalah 0.387917 dengan
simpangan baku sebesar 0.509143. INF memiliki nilai maksimum 3.290000 dan nilai minimum -0.450000. (2) Nilai BI rate (BIRT) rata-rata
adalah 5.780833 dengan simpangan baku sebesar 1.082127. BIRT memiliki nilai maksimum 7.990000 dan nilai minimum 3.210000. (3) Nilai nilai
tukar rupiah (NTRP) rata-rata adalah
9256.566 dengan simpangan baku sebesar 1709.663. NTRP memiliki nilai maksimum 12046.52 dan nilai
minimum 6673.410. (4) Nilai jumlah uang beredar (JUB) rata-rata adalah
3183895 dengan simpangan baku sebesar 888443.7. JUB memiliki nilai maksimum 4433170 dan nilai
minimum 1751107. (5) Nilai dana pihak ketiga (DPK) rata-rata adalah
165476.3 dengan simpangan baku sebesar 77144.82. DPK memiliki nilai maksimum 299531.2 dan nilai
minimum 44683.14. (6) Nilai penyaluran pembiayaan (PPY) rata-rata 151219.0 dengan
simpangan baku sebesar 64341.20. PPY memiliki nilai maksimum 255398.0 dan nilai minimum 39945.77.
Pengujian Asumsi Klasik
1) Multikolinearitas
Seharusnya tidak terjadi hubungan
timbal balik (multikolinearitas)
antara variabel penyebab yang satu dengan lainnya di dalam model regresi yang baik. Untuk mengetahuinya,
dilakukan tes multikolinearitas dengan melihat nilai centered
Variance Inflation Factors (VIF) dan Tolerance. Bila nilai centered VIF dibawah
dari angka 10 dan tolerance
diatas 0.1 maka dianggap model yang dihasilkan dalam penelitian ini terbebas dari
masalah multikolinearitas.
Hasil tes multikolinearitas
untuk model 1 dan model 2 adalah
sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil Tes
Multikolinearitas
Model |
Tolerance |
Centered VIF |
Model Persamaan Regresi 1 |
|
|
•
INF |
0.731101 |
1.367801 |
•
BIRT |
0.421812 |
2.370724 |
•
NTRP |
0.092400 |
10.82255 |
•
JUB |
0.083195 |
12.01996 |
Model Persamaan Regresi 2 |
|
|
•
INF |
0.730794 |
1.368374 |
•
BIRT |
0.421273 |
2.373760 |
•
NTRP |
0.046880 |
21.33108 |
•
JUB |
0.006843 |
146.1373 |
•
DPK |
0.012945 |
77.22938 |
Y_regresi1:
DPK Y_regresi2 :
PPY
Hasil
tes multikolinearitas memperlihatkan bahwa di dalam model 1, variabel bebas NTRP dan JUB saling berhubungan erat. Karena itu, diputuskan JUB yang di keluarkan di model 1. Dan di model 2 masih
ditemui multikolinearitas
pada variabel NTRP, JUB, dan DPK. Maka
JUB harus dikeluarkan juga dari model 2. Jadi, kini penelitian ini meniadakan variabel JUB pada
model 1 dan model 2.
2) Otokorelasi
Model
regresi yang baik seharusnya tidak mengandung problem otokorelasi.
Telah dilakukan uji otokorelasi
pada kedua model (setelah satu variabel JUB dihapuskan) terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Tes
Otokorelasi
Model |
Obs*R-squared |
Prob. Chi-Square |
Model Persamaan
Regresi 1 Tanpa JUB |
100.6177 |
0.0000 |
Model Persamaan
Regresi 2 Tanpa JUB |
98.41863 |
0.0000 |
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10
Hasil
tes otokorelasi menunjukkan bahwa dengan uji LM dapat dilihat nilai probabilitas
dari Chi-Square dari
kedua model (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sama-sama sebesar 0.0000 atau lebih rendah dari
0.05. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa telah terjadi
otokorelasi pada model 1 dan 2 (setelah
satu variabel JUB dihapuskan) yang artinya kedua model tersebut tidak lolos asumsi otokorelasi.
Untuk menangani permasalahan otokorelasi yang terjadi di dalam model 1 dan model 2 (setelah
satu variabel JUB dihapuskan), penelitian ini menggunakan metode first difference. Di mana bentuk
persamaan kedua model yang akan diregresi kembali dikonversi seperti berikut ini:
∆DPK
= α + β1∆(INF) + β2∆(BIRT) + β3∆NTRP + ε1
…………………………………………… (1)
∆PPY
= α + β1∆(INF) + β2∆(BIRT) + β3∆(NTRP) + β4∆(DPK)
+ ε2 …………………….(2)
Berikut ini hasil penanganan
masalah otokorelasi pada
model 1 dan model 2 (setelah satu
variabel JUB dihapuskan):
Tabel
4. Hasil Penanganan Masalah
Otokorelasi
Model |
Obs*R-squared |
Probabilitas |
Model Persamaan
Regresi 1 Tanpa JUB |
1.832020 |
0.4001 |
Model Persamaan
Regresi 2 Tanpa JUB |
0.790285 |
0.6736 |
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10
Setelah mengkonversikan model 1 dan model 2 (setelah
satu variabel JUB dihapuskan) dengan cara first difference, diperoleh
nilai prob. Chi-Square untuk
kedua model pada hasil uji
LM adalah sebesar 0.4001
dan 0.6736 atau lebih tinggi dari 0.05. Jadi, di dalam model 1 dan model 2 (setelah
satu variabel JUB dihapuskan) sudah tidak berisi masalah
otokorelasi yang artinya kedua model dalam penelitian ini telah lolos asumsi otokorelasi.
3) Heteroskedastisitas
Di
dalam model regresi yang baik, semua residual (error)
memiliki variance yang konstan,
situasi ini dinamakan homoskedastisitas. Sedangkan jika variancenya berbeda-beda disebut heteroskedastisitas. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan
tes heteroskedastisitas dengan uji white (included cross terms). Model
regresi dianggap terbebas dari problem heteroskedastisitas atau data homoskedastisitas bila memiliki nilai probabilitas Chi-Square diatas
dari tingkat α = 0.05.
Hasil tes heteroskedastisitas
pada kedua model (setelah satu variabel JUB dihapuskan) dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Tes
Heteroskedastisitas
Model |
Obs*R-squared |
Probabilitas |
Model Persamaan Regresi 1 Tanpa JUB |
48.01194 |
0.0000 |
Model Persamaan Regresi 2 Tanpa JUB |
44.69129 |
0.0000 |
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10
Hasil
tes heteroskedastisitas menunjukkan bahwa dengan uji white, nilai Obs*R-squared untuk
model 1 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sebesar 48.01194 dengan probabilitas Chi-Square 0.0000. Sedangkan,
model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) memiliki nilai Obs*R-squared sebesar
44.69129 dengan probabilitas
Chi-Square yang lebih rendah
dari α = 0.05 menunjukkan bahwa telah terjadi
pelanggaran asumsi heteroskedastisitas pada kedua
model.
Karena
ada unsur heteroskedastisitas pada kedua
model maka penelitian ini menanganinya dengan menggunakan uji huber white. Uji huber
white ini adalah metode penanganan yang membuat standar error baru. Di mana dari hasil penanganan heteroskedastisitas dengan uji huber white, terlihat
ada perubahan pada nilai standard error yang menjadi
kecil. Walaupun model tetap berisi heteroskedastisitas,
namun kini melalui standard error baru,
uji signifikansi satu per satu (uji - t) dan serempak (uji
- F) akhirnya menjadi valid
dengan koefisien parameter
yang sama.
4) Normalitas
Model
regresi yang baik seharusnya memiliki data yang tersebar secara normal atau hampir normal. Untuk mengetahui normal atau tidaknya penyebaran
data dari model yang dihasilkan
dilihat melalui uji Jarque-Bera
(JB). Bila hasilnya, prob. dari
statistik Jarque-Bera (JB) diatas
dari angka 0.05 maka dianggap model sudah memiliki sebaran data yang bertipe normal.
Hasil tes normalitas untuk model 1 dan model 2 yang setelah
satu variabel JUB dihapuskan, terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Hasil Tes Normalitas Model Persamaan Regresi 1 Tanpa JUB
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10
Hasil
tes normalitas menunjukkan bahwa nilai statistik JB untuk model 1 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sebesar 5.734227 dan probabilitas dari statistik JB sebesar 0.056863. Probabilitas dari statistik JB) yang berada pada angka 0.05 tersebut menunjukkan bahwa data dari variabel sebab
dan variabel akibat pada
model 1 tanpa JUB ini hampir tersebar secara normal.
Gambar 3. Hasil Tes Normalitas Model Persamaan Regresi 2 Tanpa JUB
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 10
Hasil
tes normalitas menunjukkan bahwa nilai statistik JB untuk model 2 (setelah satu variabel JUB dihapuskan) sebesar 5.840435 dan probabilitas dari statistik JB sebesar 0.053922. Probabilitas dari statistik JB yang berada pada angka 0.05 tersebut menunjukkan bahwa data dari variabel bebas
dan variabel akibat pada
model 2 tanpa JUB hampir tersebar secara normal.
Pada
jumlah amatan yang kecil, seluruh data yang terlibat diperlukan normal karena hasil pengujian
hipotesis menjadi tidak valid jika asumsi ini dilanggar
dan kita boleh meniadakannya pada jumlah amatan yang besar. Asumsi OLS pada jumlah amatan yang besar lebih ditekankan kepada tes otokorelasi
dan heteroskedastisitas karena
akan membuat kesimpulan statistik yang diambil menjadi tidak valid.
Hasil
Model Persaman Regresi 1 Tanpa JUB
Setelah melewati tes multikolinearitas,
otokorelasi, heteroskedastisitas,
dan normalitas, maka model persamaan regresi 1 dan 2 tanpa JUB yang sudah lulus syarat BLUE adalah sebagai berikut:
D(DPK) = 1983.238 - 1251.088 D(INF) -
2820.839 D(BIRT) + 7.296353 D(NTRP) + e1
Model yang terbentuk memiliki nilai statistik - F sebesar 17.97636 dengan signifikansi F sebesar 0.000000 yang
lebih rendah dari tingkat α = 0.05. Jadi, dapat kita nyatakan
bahwa dengan tingkat keyakinan 95%, seluruh variabel penyebab (inflasi, BI rate, dan nilai tukar rupiah) yang terlibat dalam model 1 secara serempak berpengaruh dan mampu menjelaskan variabel akibat yaitu Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan syariah. Besar sumbangan tiga variabel penyebab di dalam model 1 adalah 0.301482, sedangkan sisanya = 0.698518 atau 69,85% dijelaskan oleh
variabel luar yang tidak diikutkan dalam pengujian.
Model Persaman Regresi 2 Tanpa JUB
D(PPY)
= 532.2504 - 116.4631 D(INF) - 132. 5615 D(BIRT) + 4.591214 D(NTRP) + 0.559829
D(DPK) + e2
Model yang terbentuk memiliki nilai statistik - F sebesar 94.18746 dengan signifikansi F sebesar 0.000000 yang
lebih rendah dari tingkat α = 0.05. Jadi, dapat kita nyatakan
bahwa seluruh variabel penyebab (inflasi, BI rate, nilai tukar rupiah, dan Dana Pihak Ketiga (DPK)) yang terlibat dalam model 2 secara serempak mampu menjelaskan variabel akibat yaitu penyaluran
pembiayaan (PPY) di perbankan
syariah. Besar sumbangan empat variabel penyebab di dalam model 2 adalah 0.759552, sedangkan sisanya = 0.240448 atau 24.04% dijelaskan oleh
variabel luar yang tidak diikutkan dalam pengujian.
Analisis Hasil Penelitian
1) Pengaruh Inflasi Kepada Dana Pihak Ketiga
Pada model pertama,
koefisien variabel inflasi sebesar -1251.088 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.5723 (lebih besar dari α = 0.05). Tanda negatif pada koefisien inflasi menjelaskan bahwa saat harga
bergerak naik yang terjadi adalah adanya tindakan
pengambilan uang yang mereka
letakkan di bank, akibatnya
total setoran masyarakat secara keseluruhan yang berada di bank menjadi berkurang. Tetapi, hasil uji sig - t menerangkan bahwa variabel inflasi tidak mempunya
pengaruh kepada Dana Pihak Ketiga. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Tho’in et al. (2019), Tripuspitorini et al. (2020) dan Maries (2008). Hal ini karena perbankan
syariah tidak berpraktek dengan akad bunga
melainkan menerapkan akad bagi hasil.
Selain itu, inflasi di Indonesia rata-rata masih
dalam kisaran yang wajar dibawah 10 persen artinya masyarakat masih bisa mengadakan dananya dengan baik tanpa harus
mengeluarkan uang tabungan
yang mereka letakkan di perbankan syariah. Jumlah dana pihak ketiga yang terus bertambah disaat inflasi tampak berfluktuasi disebabkan karena tujuan masyarakat membuat tabungan adalah untuk mempersiapkan
diri dari berbagai hal yang tidak pasti di masa depan. Selain itu,
bisa terjadi karena masyarakat sudah banyak yang ingin bertransaksi dengan prinsip syariah atau dengan kata lain mereka ingin terhindari
dari bunga yang diyakini mengandung riba serta mereka
lebih percaya menitipkan uang mereka di bank
syariah.
2) Pengaruh BI
rate Kepada Dana Pihak Ketiga
Pada
model pertama, koefisien variabel BI rate sebesar
-2820.839 dan tingkat signifikansi
uji - t sebesar 0.1811 (lebih
besar dari α = 0.05). Hasil
uji - t menunjukkan bukti setiap perubahan BI rate tidak membawa perubahan
pada jumlah dana pihak ketiga. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Afrida (2018). Dampak dari BI rate sebenarnya lebih tepat dihubungkan dengan bank konvensional, mereka justru mempergunakan
BI rate untuk menentukan harga dari sewa
uang dan tabungan. Dari data penelitian
menunjukkan bahwa jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan terus meningkat disaat BI rate mengalami fluktuasi. Peningkatan dana pihak ketiga menandakan bahwa masyarakat sudah banyak yang mulai sadar akan
sistem bunga yang ditetapkan bank konvensional adalah riba dan mereka berusaha untuk menghindari riba dengan memilih
hijrah ke produk tabungan bank syariah. Masyarakat
yang memilih bank syariah sebagai
tempat mereka menyimpan dana tidak memiliki motif mencari profit. Sebenarnya alasan mendasar penyebab BI rate tidak signifikan mempengaruhi dana piha ketiga adalah karena
tidak seluruhnya masyarakat peduli atau tahu mengenai
BI rate, sehingga kebanyakan
mereka yang akan membuat tabungan di bank tidak mempertimbangan BI rate.
3) Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Kepada Dana Pihak Ketiga
Pada
model pertama, koefisien variabel nilai tukar rupiah sebesar 7.296353 dan
tingkat signifikansi uji -
t sebesar 0.0135 (lebih kecil dari α = 0.05). Hasil ini menguatkan hasil penelitian terkait oleh Afrida (2018), dan Jatnika et al. (2020). Selama tahun penelitian,
kondisi ekonomi di Indonesi dalam keadaan kompetitif dan produktif. Walaupun pergerakan nilai kurs rupiah terlihat tidak stabil dan sering terdepresiasi, akan tetapi secara
rata-rata nilai kurs rupiah
masih cukup baik. Kondisi nilai
kurs rupiah yang terjadi dalam periode awal
2010 hingga periode akhir 2019 mengakibatkan masyarakat lebih banyak memiliki uang karena aktivitas ekonomi yang sedang tumbuh. Kondisi nilai kurs rupiah yang berfluktuasi tersebut membuat pengekspor dan pengimpor lebih memilih untuk menyetor
uang dari hasil bisnis mereka ke
bank daripada membelanjakan
uangnya atau menyimpan uang dalam bentuk investasi lain. Pada periode penelitian ini tingkat inflasi di Indonesia masih tergolong ringan. Hal ini terlihat dari data selama periode tersebut baik nasabah
individu maupun nasabah korporasi tidak menggunakan uang tabungan yang mereka simpan di bank syariah guna memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, masysrakat yang rasional melihat bank selain sebagai tempat yang aman dari tindakan kejahatan,
juga melihat bank syariah memiliki
stabilitas yang lebih baik. Hal ini yang mengakibatkan jumlah simpanan di bank syariah terus meningkat disaat nilai kurs rupiah lebih sering terdepresiasi
dan tidak stabil.
4) Pengaruh Inflasi Kepada Penyaluran Pembiayaan
Pada
model kedua, koefisien variabel inflasi sebesar -116.4631 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.9052
(lebih besar dari α = 0.05). Hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh inflasi terhadap penyaluran pembiayaan di bank
syariah. Hasil penelitian ini
menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Nurrochman et al. (2016), dan Maries (2008). Dalam tabel statistik
deskriptif, rata-rata tingkat
inflasi selama tahun penelitian masih dalam kelompok
yang ringan terlihat inflasi masih dibawah
10 persen (Nugroho, 2016). Karena hampir tidak ada
perubahan pada daya beli masyarakat dan juga produsen tidak mengurangi produksinya. Hal tersebut terlihat dari masyarakat yang selalu ada uang untuk mengisi rekening
tabungan mereka di bank
syariah. Untuk mencukupi kebutuhan modal usaha, nampaknya peruahaan selalu menambah kas dengan memanfaatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Pada kondisi ini ternyata terlihat
masyarakat lebih memilih menanamkan uang di perbankan syariah yang jelas memberikan bagi hasil berdasarkan profit sharing
dan mengambil pembiayaan di
perbankan syariah karena mereka berpikir kalau perbankan syariah tidak pernah memberatkan
mitranya dalam mencicil pembiayaan yang telah diberikan saat terjadi inflasi
yang tinggi. Meskipun beberapa penelitian mengatakan bank syariah tidak seratus persen murni syariah salah satunya
Rasyid (2022) namun masyarakat kelihatannya mulai ingin bertransaksi melalui bank syariah dan bahwa lebih yakin menggunakan
bank syariah baik itu karena alasan faktor
agama maupun keuntungan.
Hal ini dapat kita lihat dari
jumlah dana setoran masyarakat dan jumlah dana pembiayaan yang berhasil didistribusikan ke masyarakat terus meningkat secara beriringan.
5) Pengaruh BI
Rate Kepada Penyaluran Pembiayaan
Pada
model kedua, koefisien variabel BI rate sebesar
-132.5615 dan tingkat signifikan
uji - t sebesar 0.9037 (lebih
besar dari α = 0.05). Nilai
sig membuktikan bahwa tidak ada pengaruhBI
rate terhadap penyaluran
dana pihak ketiga. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Zaimsyah (2020). Tanda negatif pada koefisien regresi BI rate menunjukkan bahwa mereka yang sedang mencari dana tidak mau terburu-buru
atau mengurungkan rencananya untuk menyewa uang ke bank ketika tingkat bunga sedang naik karena harga dari
sewa uang menjadi mahal. Hasil
uji - t menunjukkan bahwa dari awal tahun
2010 hingga 2019, naik turunnya
BI rate tidak merubah besaran jumlah dana yang didistribusikan dalam bentuk pembiayaan. Karena tingkat bunga BI menjadi patokan bagi bank konvensional dalam operasionalnya, sehingga layak jika BI rate tidak secara signifikan berdampak pada perubahan jumlah pembiayaan yang didistribusikan.
Selama kurun 2010 hingga 2019 kondisi ekonomi sedang hidup yang tergambar dari tingkat inflasi yang secara rata-rata masih lebih rendah dari
10 persen maka dari itu banyak
produsen yang menambah produksinya dengan menggunakan pembiayaan di perbankan syariah. Alasan lain
yang menjadi dasar BI rate tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan perbankan syariah adalah karena tidak semua
masyarakat yang peduli atau tahu tentang
BI rate sehingga masyarakat
dalam memilih tempat untuk menyewa
uang tidak memperhitungan
BI rate. Walaupun secara empiris jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan tidak dipengaruhi oleh BI rate, tetapi korelasi parsial antara BI rate dan jumlah pembiayaan bank menunjukan bahwa harga dari sewa
uang yang dipatok seperti
di bank konvensional, benar-benar
masih sebagai alasan orang-orang dalam menyewa uang ke bank yang pada akhirnya akan berakibat
pada jumlah pembiayaan
syariah.
6) Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Kepada Penyaluran Pembiayaan
Pada
model kedua, koefisien nilai tukar rupiah sebesar 4.591214 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.0001
(lebih kecil dari α = 0.05). Tanda positif
pada koefisien nilai tukar rupiah bersesuaian dengan data dalam penelitian ini. Di mana kondisi nilai tukar
rupiah cukup baik selama periode penelitian terlihat dari rata-rata nilai tukar rupiah yang mencapai sebesar Rp 9256.566 per dollar AS. Kecilnya
tingkat inflasi di
Indonesia menunjukkan kegiatan
produki selama periode penelitian memberikan keuntungan bagi produsen. Pada kondisi yang rendah risiko tersebut, membangkitkan semangat produsen untuk meningkatkan kegiatan produksinya dengan cara mengambil pembiayaan ke perbankan
syariah.
Penelitian ini menemukan koefisien
nilai tukar rupiah signifikan dalam persamaan regresi 2 yang berarti bahwa perubahan
nilai tukar rupiah tentu akan menyebabkan
perubahan pada jumlah dana pembiayaan yang didistribusikan.
Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian terkait yang dilakukan oleh Hakimi (2020). Meskipun
kondisi rupiah cukup baik selama periode
penelitian namun jika dicermati nilai rupiah yang bertambah dan berkurang dari waktu ke waktu,
justru tidak mengurangi aktivitas bank dalam melakukan pendistribusian pembiayaan kepada pihak yang membutuhkan dana. Artinya jumlah pembiayaan yang didistribusikan terus bertambah setiap bulannya. Selain itu, dengan masih
sedikitnya Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang ikut serta dalam transaksi
mata uang asing seharusnya tidak membuat jumlah pembiayaan yang didistribusikan terpengaruh oleh perubahan nilai tukar. Secara
statistik penguatan dan pelemahan rupiah terbukti mempengaruhi jumlah pembiayaan yang didistribusikan.
7) Pengaruh Dana Pihak Ketiga Kepada
Penyaluran Pembiayaan
Pada
model kedua, koefisien dana
pihak ketiga sebesar 0.559829 dan tingkat signifikan uji - t sebesar 0.0000
(lebih kecil dari α = 0.05). Sebagai lembaga penghubung antara penabung dan kelompok yang mempunyai kebutuhan dana, bank syariah mempunyai
kewajiban untuk mendistribusikannya kembali dalam bentuk pembiayaan
kepada kelompok yang kekurangan dana. Jumlah dana pihak ketiga yang dapat didistribusikan dalam bentuk pembiayaan
ini sangat bergantung pada besaran dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan perbankan syariah. Hubungan positif yang terjadi diantara dana pihak ketiga dengan
penyaluran pembiayaan ini sejalan dengan
hasil uji - t. Hasil ini menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurrochman dan Mahfudz
(2016) dan Rifai (2017). Jumlah dana pihak ketiga yang berpengaruh secara statistik pada penyaluran pembiayaan disebabkan karena dana adalah bagian penting
di segala kegiatan dan dana
setoran masyarakat atau dana pihak ketiga ini adalah
aset bank yang porsinya lebih besar dari
modal bank itu sendiri. Dan
sumber dana dari masyarakat ini termasuk mudah untuk didapatkan dan tersedia dalam porsi yang banyak di masyarakat sehingga dana pihak ketiga menjadi
sumber dana yang paling diistimewakan
bank untuk dapat melakukan pembiayaan. Selain itu berdasarkan
data peneltiian, terlihat jelas bahwa di dalam periode penelitian
(sejak Januari 2010 s/d. Desember 2019) tren perkembangan penyaluran pembiayaan bergerak meningkat dan beriringan dengan tren perkembangan
dana pihak ketiga.
8) Pengaruh Inflasi, BI Rate, Nilai Tukar
Rupiah, Kepada Penyaluran Pembiayaan Lewat Dana Pihak Ketiga
Dari
hasil uji model dalam penelitian ini yaitu pengaruh langsung terhadap Dana Pihak Ketiga dan penyaluran pembiayaan diperoleh bukti bahwa hanya nilai
tukar rupiah yang ada pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung ke total pembiayaan. Terlihat dari nilai uji t masing-masing variabel yang lebih besar 0.05. Hal ini berarti dana pihak ketiga hanya menghubungkan
pengaruh nilai tukar rupiah ke total penyaluran pembiayan atau dengan kata lain DPK hanya sebagai variabel
intervening atas nilai tukar rupiah. Baron et al. (1986) mengatakan dapat disebut variabel intervening, jika suatu variabel
mempunyai pengaruh yang signifikan.
Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan
data penelitian, di mana penabung
tidak lagi mempertimbangkan nilai tukar dalam hal
menitipkan uangnya ke bank syariah. Data penelitian menunjukkan bahwa masyarakat tetap memilih menyimpan uangnya di perbankan syariah meskipun saat harga
dollar naik (nilai kurs
rupiah terdepresiasi). Hal ini
karena apabila nilai tukar rupiah mengalami apresiasi membuat harga barang
ekspor menjadi meningkat yang akibatnya produsen menghadapi penurunan permintaan dan kemungkinan mereka tidak dapat menutupi
kembali pengeluaran mereka. Selain itu kelihatannya pada saat kurs rupiah terdepresiasi, masyarakat tidak menarik uangnya
untuk membeli mata uang asing atau tidak banyak
uang masyarakat yang mengalir
ke luar negeri karena mereka masih
tertarik dengan tingkat pengembalian investasi di Indonesia dan tentunya
mereka masih merasa itu lebih
menguntungkan bagi mereka ketimbang menanamkan uang pada bentuk investasi lain atau menyimpannya di perbankan konvensional. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal menitipkan uangnya kepada bank syariah masih cukup tinggi.
Dan
pada dasarnya, nilai kurs dan inflasi saling terkait. Penurunan nilai kurs membuat harga
barang menjadi lebih mahal. Namun, kenaikan harga yang berlaku di pasar selama periode 2010:01 hingga 2019:12 tidak terlalu berdampak,
karena tingkat harga yang tercermin oleh tingkat inflasi tergolong rendah (kurang dari 10%). Karena kondisi ekonomi selama masa penelitian terlihat kompetitif dan produktif namun kurs rupiah berfluktuatif maka bank syariah banyak mencairkan dana ke masyarakat tetapi disamping itu masyarakat
tetap menabung di bank
syariah karena investasi tempat lain kemungkinan akan memiliki risiko
yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis membuat
kesimpulan bahwa: (1) Secara parsial inflasi dan BI rate tidak berpengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah. Sedangkan nilai tukar rupiah berpengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah. (2) Secara parsial inflasi dan BI rate tidak berpengaruh kepada pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah. Sedangkan nilai tukar rupiah berpengaruh kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah. (3)
Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh kepada penyaluran pembiayaan perbankan syariah. (4) Dana Pihak
Ketiga (DPK) hanya menjadi variabel intervening atas nilai tukar
rupiah, sebab variabel ini yang mempunyai pengaruh kepada Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran pembiayaan.
BIBLIOGRAFI
Afiqah, Y. W., & Laila, N. (2021). Penentu Profitabilitas
Pada Bank Umum Syariah Di Ndonesia: Faktor Internal Bank Dan Makroekonomi. Jurnal
Ekonomi Syariah Teori Dan Terapan, 8(6), 797–807.
Afrida, Y. (2018). Pengaruh inflasi, kurs, tingkat suku
bunga, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar terhadap jumlah DPK bank
syari’ah. Maqdis: Jurnal Kajian Ekonomi Islam, 3(2).
Baron, J. N., Davis-Blake, A., & Bielby, W. T. (1986).
The structure of opportunity: How promotion ladders vary within and among
organizations. Administrative Science Quarterly, 248–273.
Cahyono, A. (2009). Pengaruh Indikator Makroekonomi
terhadap Dana Pihak Ketiga dan Pembiayaan Bank Syariah Mandiri. Universitas
Indonesia.
Gilarso, T. (2004). Pengantar ilmu ekonomi makro.
Kanisius.
Gunawan, C. (2020). Mahir Menguasai SPSS Panduan Praktis
Mengolah Data Penelitian New Edition Buku Untuk Orang Yang (Merasa) Tidak Bisa
Dan Tidak Suka Statistika. Deepublish.
Jatnika, M. D. (2020). Pengaruh variabel makroekonomi
terhadap dana pihak ketiga Bank Umum Syariah di Indonesia. Jurnal Muara Ilmu
Ekonomi Dan Bisnis, 4(1), 164–173.
Kasmir. (2014). Dasar-Dasar Perbankan. RajaGrafindo
Persada.
Maries, R. (2008). Dampak Fluktuasi Variabel Ekonomi Makro
Terhadap DPK yang Dihimpun dan Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di
Indonesia. Universitas Indonesia: Jakarta.
Nahar, S., & Sarker, N. (2016). Are macroeconomic factors
substantially influential for Islamic bank financing? Cross-country evidence. IOSR
Journal of Business and Management, 18(6), 2319–7668.
Nugroho, R. E. (2016). Analisis Faktor–Faktor Yang
Mempengaruhi Pengangguran Di Indonesia Periode 1998–2014. Penelitian Dan
Aplikasi Sistem Dan Teknik Industri, 10(2), 182887.
Nurrochman, I., & Mahfudz, M. (2016). Analisis
faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan pada bank umum syariah (Studi pada
bank umum syariah tahun 2012-2015). Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
Rasyid, M. (2022). Meninjau Ulang Prinsip-Prinsip Syariah
Dalam Perbankan Syariah Di Indonesia. Et-Tijarie: Jurnal Hukum Dan Bisnis
Syariah, 7(1), 1–21.
Rifai, S. A., Susanti, H., & Setyaningrum, A. (2017).
Analisis Pengaruh Kurs Rupiah, Laju Inflasi, Jumlah Uang Beredar dan
Pertumbuhan Ekspor terhadap Total Pembiayaan Perbankan Syariah dengan Dana
Pihak Ketiga sebagai Variabel Moderating. Muqtasid, 8(1), 18–39.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18326/muqtasid.v8i1.18-39
Sukirno, S. (2015). Makroekonomi teori pengantar.
Tho’in, M., & Prastiwi, I. E. (2019). An Analysis the
Rupiah Exchange Rates Effect Against the American Dollar and Inflation Against
the Growth of Islamic Banking Mudharabah Deposits in Indonesia. International
Journal of Islamic Business and Economics (IJIBEC), 3(1), 61–69.
Tripuspitorini, F. A., & Setiawan, S. (2020). Pengaruh
faktor makroekonomi terhadap pertumbuhan dana pihak ketiga pada bank umum
syariah di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Dan Keuangan, 8(1),
121–132.
Zaimsyah, A. M. (2020). Factors Affecting the Distribution of
Micro, Small and Medium Enterprises (MSME) Financing in Islamic Banks. AL-FALAH:
Journal of Islamic Economics, 5(1), 38–51.
Copyright holder: Reny Tembera, Sri Hermawati (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |