Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No.
9, September 2024
KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATOFITOSIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN
RSUD TABANAN PERIODE TAHUN 2016-2021
I Nyoman Fidry Octora Young
Amukty1, Ni Made Indah Puspasari2
RSU Dharma Yadnya Denpasar, Bali,
Indonesia1
RSUD Tabanan,
Bali, Indonesia2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Dermatofitosis merupakan
penyakit yang di sebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofita menyerang jaringan yang mengandung
keratin, seperti stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Tabanan tahun 2016-2021.
Penelitian deskriptif restrospektif
ini mengambil sampel secara konsekutif dengan mengevaluasi rekam medis untuk mendapatkan karakteristik dermatofitosis berdasarkan umur, jenis kelamin,
diagnosis, pengobatan dan lama pengobatan. Laki-laki (61,50%) dan
kelompok umur dewasa awal (40,38%)
merupakan penderita dermatofitosis terbanyak. Diagnosis tersering adalah Tinea kruris (43,66%). Pengobatan topikal dengan salep mikonazole 2% (42,08%) paling sering digunakan, sedangkan lama pengobatan paling
banyak selama 4 minggu (38,97).
Kata kunci:
dermatofitosis, karakteristik, RSUD Tabanan
Dermatophytosis is a disease caused by the colonization
of dermatophyte fungi attacking tissues, such as the stratum
corneum in the epidermis of the skin, hair and nails. This study aims to obtain the characteristics of
dermatophytosis in the Dermatovenereology Polyclinic at Tabanan Regional Hospital in 2016-2021. This
retrospective descriptive study took samples consecutively by evaluating medical
records to obtain characteristics of dermatophytosis based on age, gender, diagnosis,
treatment and duration
of treatment. Men (61.50%) and the early adult age
group (40.38%) were the most
dermatophytosis sufferers. The most common diagnosis was Tinea cruris (43.66%). Topical treatment with
2% miconazole ointment (42.08%) was most often used, while the maximum
duration of treatment was 4
weeks (38.97).
Key words: dermatophytosis, characteristics, Tabanan Regional Hospital
Pendahuluan
Dermatofitosis merupakan salah satu jenis infeksi
mikosis superfisial yang disebabkan oleh jamur yang menginfeksi jaringan yang
kaya akan keratin, seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku
Dermatofitosis dapat dikelompokkan menurut lokasi
infeksinya, meliputi tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis et
manum, tinea korporis, dan tinea unguium. Tinea kapitis merupakan infeksi jamur
pada kulit kepala yang menyerang batang rambut, sering menyebabkan kebotakan,
terutama pada anak-anak. Tinea barbae menyerang area dagu dan jenggot
Prevalensi dermatofitosis di berbagai negara
berbeda-beda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO (World Health
Organization), diperkirakan sekitar 20% populasi dunia mengalami infeksi jamur,
dan tinea korporis merupakan tipe infeksi dermatofita yang paling umum. Tipe
infeksi lain yang umum meliputi tinea kruris, tinea pedis, dan onikomikosis
Diagnosis dermatofitosis dilakukan secara klinis,
didukung oleh beberapa metode pemeriksaan seperti pemeriksaan mikroskopis,
kultur, dan penggunaan lampu Wood untuk spesies tertentu. Kultur digunakan
untuk mengidentifikasi spesies jamur, sedangkan pemeriksaan kalium hidroksida
(KOH) 10-20% bertujuan menemukan hifa dermatofita yang bercabang dan memiliki
septa
Pengobatan dermatofitosis saat ini telah berkembang
dengan ditemukannya berbagai jenis obat antijamur baru, baik dalam bentuk
topikal maupun sistemik, yang diharapkan dapat menurunkan prevalensi penyakit
jamur. Antijamur sistemik seperti terbenafin, griseofulvin, itraconazol, dan
flukonazol diindikasikan untuk pasien yang tidak merespons terapi topikal,
dengan hasil yang baik dalam pengobatan dermatofitosis
Metoda Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Kulit dan Kelamin pada tahun 2023 dengan desain penelitian deskriptif retrospektif. Populasi yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh pasien yang terdiagnosis dermatofitosis yang melakukan kunjungan ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan selama periode 2016 hingga 2021. Sampel penelitian diambil menggunakan metode Consecutive Sampling. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan rumus sebagai berikut.
𝑛= (𝑁×𝑧2𝑝× 𝑞) : (2(𝑁− 1)+𝑧2 ×𝑝× q
Keterangan:
n=Perkiraan besar sampel N=Perkiraan besar populasi z=Nilai standar nominal untuk
𝖺=0,05(1,96)
p=Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q = 1- p (100% - p)
d = Tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05) (Sastroasmoro, 2011)
Dengan perhitungan sampel sebagai berikut
𝑛 = (50 ×(1,96)2× 0,5×0,5) :((0,05)2(50−1)+(1,96)2×0,5 ×0,5
𝑛 = 44,343 = 45 responden
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, laki-laki lebih sering
mengalami dermatofitosis dibandingkan dengan perempuan, yaitu sebanyak 61,50%.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang juga menemukan bahwa kasus
dermatofitosis lebih banyak terjadi pada laki-laki
Tabel 1. jenis kelamin penderita dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021
Tahun |
Jenis Kelamin |
Keterangan |
|||
Laki - laki |
Perempuan |
||||
N |
% |
N |
% |
||
2016 |
23 |
17.56 |
21 |
25.61 |
Laki – laki 61,50% Perempuan 38,50% |
2017 |
21 |
16.03 |
8 |
9.76 |
|
2018 |
17 |
12.98 |
11 |
13.41 |
|
2019 |
19 |
14.50 |
17 |
20.73 |
|
2020 |
27 |
20.61 |
15 |
18.29 |
|
2021 |
24 |
18.32 |
10 |
12.20 |
|
Total |
131 |
100 |
82 |
100 |
Usia
terbanyak yang mengalami
infeksi dermatofitosis adalah dewasa awal (20-44
tahun) yaitu sebesar 40,38%. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian di Divisi
Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya tahun 2016 yang
mendapatkan usia tertinggi menderita dermatofitosis yaitu 25-44 tahun sebesar 31,4%. Hasil
ini berbeda dengan yang di dapatkan
pada beberapa penelitian sebelumnya yaitu kasus terbanyak ditemukan pada usia dewasa tua (45-64 tahun),
dengan asumsi bahwa angka kejadian
dermatofitosis meningkat seiring
bertambahnya usia.
Tabel 2. Distribusi usia penderita dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021
Tahun |
Kelompok Usia |
Keterangan |
|||||||||||||||
Anak - anak |
Remaja Awal |
Remaja Akhir |
Dewasa Awal |
Dewasa Akhir |
Lansia Awal |
Lansia Akhir |
Manula |
Anak Anak 1.88%
Remaja Awal 8.92% Remaja Akhir 6.10% Dewasa Awal 40.38% Dewasa akhir 8.92% Lansia Awal 9.39% Lansia Akhir 7.98% Manula 16.43% |
|||||||||
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
||
2016 |
2 |
50 |
7 |
36.84 |
3 |
23.08 |
11 |
12.79 |
2 |
10.53 |
6 |
30 |
2 |
11.76 |
4 |
11,43 |
|
2017 |
0 |
0 |
2 |
10.53 |
4 |
30.77 |
17 |
19.77 |
3 |
15.79 |
1 |
5 |
4 |
25.53 |
7 |
20 |
|
2018 |
0 |
0 |
1 |
5.26 |
1 |
7.69 |
20 |
23.26 |
3 |
75.79 |
3 |
15 |
7 |
41.18 |
3 |
8.57 |
|
2019 |
1 |
25 |
2 |
10.53 |
2 |
15.38 |
7 |
8.14 |
5 |
26.32 |
5 |
25 |
2 |
11.76 |
5 |
14.29 |
|
2020 |
0 |
0 |
4 |
21.05 |
1 |
7.69 |
18 |
20.93 |
4 |
21.05 |
2 |
10 |
1 |
5.88 |
7 |
20 |
|
2021 |
1 |
25 |
3 |
15.79 |
2 |
15.38 |
13 |
15.12 |
2 |
10.53 |
3 |
15 |
1 |
5.88 |
9 |
25.71 |
|
Total |
4 |
100 |
19 |
100 |
13 |
100 |
86 |
100 |
19 |
100 |
20 |
100 |
17 |
100 |
35 |
100 |
Jenis dermatofitosis terbanyak yang didapatkan pada penelitian ini adalah tinea kruris yaitu sebesar 43,66% disusul oleh tinea unguium (18,78%) dan tinea korporis (14,08%). Hasil yang sama ditemukan pada penelitian di RSUP Prof, Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2012 sebesar 55,38% kasus. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian lainnya yang menemukan diagnosis terbanyak adalah tinea korporis (56,1%). Hal ini disebabkan karena tinea korporis dapat mengenai semua permukaan tubuh dan dapat diderita oleh semua umur, terutama pada orang dewasa yang kurang mengerti kebersihan dan banyak berkeringat serta kelembapan kulit yang tinggi.21
Tabel 3.
Distribusi jenis dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan
periode 2016-2021
Tahun |
Diagnosis |
Keterangan |
|||||||||||||
Kapitis |
Barbae |
Manus |
Kruris |
Pedis |
Unguium |
Korporis |
|||||||||
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
||
2016 |
0 |
0 |
0 |
0 |
4 |
22.22 |
10 |
10.75 |
3 |
11.54 |
10 |
25 |
4 |
13.33 |
Tinea Kapitis 1.88% Tinea Barbae 0.94% Tinea Manus 8.45% Tinea Kruris 43.66% Tinea Pedis 12.21% Tinea Unguium 18.78% Tinea Korporis 14.08% |
2017 |
1 |
25 |
0 |
0 |
2 |
11.11 |
19 |
20.43 |
5 |
19.23 |
11 |
27.50 |
5 |
16.67 |
|
2018 |
0 |
0 |
1 |
50 |
1 |
5.56 |
28 |
30.11 |
2 |
7.69 |
9 |
22.50 |
8 |
26.67 |
|
2019 |
2 |
50 |
0 |
0 |
6 |
33.33 |
11 |
11.83 |
7 |
26.92 |
8 |
20 |
6 |
20 |
|
2020 |
0 |
0 |
0 |
0 |
2 |
11.11 |
17 |
18.28 |
7 |
26.92 |
5 |
12.50 |
5 |
16.67 |
|
2021 |
1 |
25 |
1 |
50 |
3 |
16.67 |
8 |
8.60 |
2 |
7.69 |
7 |
17.50 |
2 |
6.67 |
|
Total |
4 |
100 |
2 |
100 |
18 |
100 |
93 |
100 |
26 |
100 |
40 |
100 |
30 |
100 |
Jenis pengobatan kasus dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Tabanan adalah dengan terapi sistemik dan topikal. Tablet Ketokonazole 200mg merupakan obat sistemik
yang paling sering digunakan pada penelitian ini (33,03%), sedangkan
salep mikonazole 2% terbanyak untuk
pengobatan topikal (42,08%).
Hasil yang berbeda ditemukan
pada penelitian lainnya yaitu tablet
griseofulvin 500mg lebih sering digunakan
untuk pengobatan sistemik. Hal ini lebih dikarenakan griseofulvin merupakan obat standar
yang dipakai dalam Panduan Praktik Klinik (PPK) yang berlaku
di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
tempat penelitian dilakukan
Tabel 4.
Distribusi jenis pengobatan dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
Tabanan periode 2016-2021
Tahun |
Jenis Pengobatan |
Keterangan |
|||||||||||
Oral |
Salep |
||||||||||||
Ketokonazole |
Griseofulvin |
Itrakonazole |
Ketokonazole |
Mikonazole |
Terbinafin |
||||||||
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
||
2016 |
8 |
10.96 |
2 |
8.70 |
0 |
100 |
7 |
21.88 |
13 |
13.98 |
0 |
100 |
Ketokonazole 200mg tablet 33.03% Griseofulvin 10.41% Itrakonazole 0% Ketokonazole salep 14.48% Mikonazole 42.08% Terbinafin 0% |
2017 |
7 |
9.59 |
5 |
21.74 |
0 |
100 |
8 |
25 |
19 |
20.43 |
0 |
100 |
|
2018 |
11 |
15.07 |
4 |
17.39 |
0 |
100 |
4 |
12.50 |
16 |
17.20 |
0 |
100 |
|
2019 |
21 |
28.77 |
7 |
30.43 |
0 |
100 |
7 |
21.88 |
13 |
13.98 |
0 |
100 |
|
2020 |
16 |
21.92 |
4 |
17.39 |
0 |
100 |
4 |
12.50 |
15 |
16.13 |
0 |
100 |
|
2021 |
10 |
13.70 |
1 |
4.35 |
0 |
100 |
2 |
6.25 |
17 |
18.28 |
0 |
100 |
|
Total |
73 |
100 |
23 |
100 |
0 |
100 |
32 |
100 |
93 |
100 |
0 |
100 |
Lama pengobatan dermatofitosis dalam penelitian ini terbanyak di temukan selama 4 minggu yaitu sebanyak 38,97%. Banyak hal yang mempengaruhi kesembuhan pasien dermatofitosis sehingga berkaitan dengan lamanya pengobatan. Misalkan jenis dermatofitosis yang diderita, adanya penyakit dasar, dan ketaatan dalam mengikuti saran pengobatan.
Tabel 5.
Distribusi lama pengobatan dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
Tabanan periode 2016-2021
Tahun |
Lama Pengobatan |
Keterangan |
|||||||||||||||
2 Minggu |
3 Minggu |
4 Minggu |
5 Minggu |
6 Minggu |
7 Minggu |
8 Minggu |
>2 Bulan |
||||||||||
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
N |
% |
2 Minggu 17.84% 3 Minggu 9.86% 4 Minggu 38.97% 5 Minggu 8.45% 6 Minggu 4.23% 7 Minggu 0% 8 Minggu 0% >2 Bulan 20.66% |
|
2016 |
5 |
13.16 |
1 |
4.76 |
8 |
9.64 |
1 |
5.56 |
0 |
0 |
0 |
100 |
0 |
100 |
8 |
18.18 |
|
2017 |
8 |
21.05 |
4 |
19.05 |
14 |
16.87 |
3 |
16.67 |
1 |
11.11 |
0 |
100 |
0 |
100 |
10 |
22.73 |
|
2018 |
7 |
18.42 |
8 |
38.10 |
21 |
25.30 |
7 |
38.89 |
5 |
55.56 |
0 |
100 |
0 |
100 |
7 |
15.91 |
|
2019 |
9 |
23.68 |
2 |
9.52 |
14 |
16.87 |
2 |
11.11 |
1 |
11.11 |
0 |
100 |
0 |
100 |
8 |
18.18 |
|
2020 |
7 |
18.42 |
5 |
23.81 |
21 |
25.30 |
5 |
27.78 |
2 |
22.22 |
0 |
100 |
0 |
100 |
8 |
18.18 |
|
2021 |
2 |
5.26 |
1 |
4.76 |
5 |
6.02 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
100 |
0 |
100 |
3 |
6.82 |
|
Total |
38 |
100 |
21 |
100 |
83 |
100 |
18 |
100 |
9 |
100 |
0 |
100 |
0 |
100 |
44 |
100 |
Tabel 5 memperlihatkan distribusi lama
pengobatan dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan selama
periode 2016-2021, yang terbagi ke dalam beberapa kategori durasi pengobatan,
yaitu 2 minggu, 3 minggu, 4 minggu, 5 minggu, 6 minggu, 7 minggu, 8 minggu, dan
lebih dari 2 bulan. Dari data tersebut, mayoritas pasien menerima pengobatan
dengan durasi 4 minggu, yang mencatat persentase tertinggi secara keseluruhan,
yaitu 38.97%. Pengobatan dengan durasi lebih dari 2 bulan menjadi kategori kedua
yang paling banyak terjadi, dengan persentase 20.66%. Pada tahun 2016, kategori
durasi pengobatan 4 minggu mencatat angka tertinggi sebesar 9.64%, dan
meningkat secara signifikan di tahun 2018 menjadi 25.30%. Durasi pengobatan 2
minggu dan lebih dari 2 bulan juga menunjukkan angka yang cukup signifikan,
meskipun mengalami fluktuasi di setiap tahunnya. Menariknya, durasi pengobatan
7 minggu dan 8 minggu tidak tercatat di sepanjang periode penelitian ini,
menandakan bahwa tidak ada pasien yang memerlukan pengobatan selama durasi
tersebut. Secara umum, hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien sembuh
dalam kurun waktu 4 minggu, meskipun ada juga sejumlah pasien yang memerlukan
pengobatan lebih lama, yaitu lebih dari 2 bulan, kemungkinan disebabkan oleh
berbagai faktor seperti tingkat keparahan infeksi atau respons terhadap
pengobatan.
Kesimpulan
Karakteristik penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin di RSUD Tabanan ditemukan laki-laki lebih banyak menderita dermatofitosis dengan kelompok umur tersering adalah dewasa muda. Jenis dermatofitosis terbanyak yaitu tinea kruris dan pengobatan sistemik yang sering dipakai tablet itrakonazole 200mg dan salep mikonazole 2% untuk pengobatan topikal. Lama pengobatan pada penelitian ini adalah 4 minggu.
BIBLIOGRAFI
Agustine,
R. (2012). Perbandingan Sensitivitas Dan Spesifisitas Pemeriksaan Sediaan
Langsung Koh 2a% Dengan Sentrifugasi Dan Tanpa Sentrifugasi Pada Tinea Kruris.
Padang: Andalas University.
Beuscher, T. L., &
Kelechi, T. J. (2019). Onychomycosis: Diagnosis, Treatment, and Prevention. Journal
of Wound, Ostomy and Continence Nursing, 46(4).
https://doi.org/10.1097/WON.0000000000000556
Devy, D., & Ervianti, E.
(2016). Studi Retrospektif : Karakteristik Dermatofitosis. Jurnal Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 30(1).
Goldsmith, L. A., Fitzpatrick,
T. B., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffell, D. J., &
Wolff, K. (2012). Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. (No Title).
Karyadini, H. W., Rahayu,
& Masfiyah. (2016). Profil Mikroorganisme Penyebab Dermatofitosis Di Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Media Farmasi Indonesia, 13(2).
Lakshmipathy, D. T., &
Kannabiran, K. (2010). Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment. Natural
Science, 02(07). https://doi.org/10.4236/ns.2010.27090
Midaty, S., & Budimulja,
U. (2013). Dermatofitosis. Edisi ke-7. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Nenoff, P., Krüger, C.,
Ginter-Hanselmayer, G., & Tietz, H. J. (2014). Mycology-an update. Part 1:
Dermatomycoses: Causative agents, epidemiology and pathogenesis. JDDG -
Journal of the German Society of Dermatology, 12(3).
https://doi.org/10.1111/ddg.12245
Nurwulan, D., Hidayatullah, T.
A., Nuzula, A. F., & Puspita, R. (2019). Profil Dermatofitosis
Superfisialis Periode Januari – Desember 2017 Di Rumah Sakit Islam Aisiyah
Malang. Saintika Medika, 15(1).
https://doi.org/10.22219/sm.vol15.smumm1.8625
Putri, A. I., & Astari, L.
(2017). Profil dan Evaluasi Pasien Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit Dan Kelamin, 29(2).
Sahoo, A., & Mahajan, R.
(2016). Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A
comprehensive review. Indian Dermatology Online Journal, 7(2).
https://doi.org/10.4103/2229-5178.178099
Sari, K. E. S. S. P. (2021). Profil
dermatofitosis di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode
2017-2018.
Sarika, G., Purva, A., Rahul,
R., & Saksham, G. (2014). Prevalence of dermatophytic infection and
determining sensitivity of diagnostic procedures. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 6(3).
Setianingsih, I., Arianti, D.,
& Fadilly, A. (2015). Prevalensi, Agen Penyebab, dan Analisis Faktor
Risiko Infeksi Tinea Unguium pada Peternak Babi di Kecamatan Tanah Siang,
Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Buski, 5(3).
Sondakh, C. E. E. J.,
Pandaleke, T. A., & Mawu, F. O. (2016). Profil dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Januari – Desember 2013. E-CliniC, 4(1).
https://doi.org/10.35790/ecl.4.1.2016.12134
Song, Y., & Li, R. (2023).
Superficial fungal infections. In Molecular Medical Microbiology, Third
Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818619-0.00083-6
Surekha, A., Kumar, Gr.,
Sridevi, K., Murty, D., Usha, G., & Bharathi, G. (2015). Superficial
dermatomycoses: A prospective clinico-mycological study. Journal of
Clinical and Scientific Research, 4(1).
https://doi.org/10.15380/2277-5706.jcsr.14.051
Tabara, K., Szewczyk, A. E.,
Bienias, W., Wojciechowska, A., Pastuszka, M., Oszukowska, M., & Kaszuba,
A. (2015). Amorolfine vs. ciclopirox - Lacquers for the treatment of
onychomycosis. In Postepy Dermatologii i Alergologii (Vol. 32, Issue
1). https://doi.org/10.5114/pdia.2014.40968
Zane, L. T., Chanda, S.,
Coronado, D., & Del Rosso, J. (2016). Antifungal agents for onychomycosis:
New treatment strategies to improve safety. Dermatology Online Journal,
22(3). https://doi.org/10.5070/d3223030383
Copyright
holder: I
Nyoman Fidry Octora Young Amukty, Ni Made Indah Puspasari (2024) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |