Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 9, September 2024

 

KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATOFITOSIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUD TABANAN PERIODE TAHUN 2016-2021

 

I Nyoman Fidry Octora Young Amukty1, Ni Made Indah Puspasari2

RSU Dharma Yadnya Denpasar, Bali, Indonesia1

RSUD Tabanan, Bali, Indonesia2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Dermatofitosis merupakan penyakit yang di sebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofita menyerang jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan tahun 2016-2021. Penelitian deskriptif restrospektif ini mengambil sampel secara konsekutif dengan mengevaluasi rekam medis untuk mendapatkan karakteristik dermatofitosis berdasarkan umur, jenis kelamin, diagnosis, pengobatan dan lama pengobatan. Laki-laki (61,50%) dan kelompok umur dewasa awal (40,38%) merupakan penderita dermatofitosis terbanyak. Diagnosis tersering adalah Tinea kruris (43,66%). Pengobatan topikal dengan salep mikonazole 2% (42,08%) paling sering digunakan, sedangkan lama pengobatan paling banyak selama 4 minggu (38,97).

Kata kunci: dermatofitosis, karakteristik, RSUD Tabanan

 

Abstract

Dermatophytosis is a disease caused by the colonization of dermatophyte fungi attacking tissues, such as the stratum corneum in the epidermis of the skin, hair and nails. This study aims to obtain the characteristics of dermatophytosis in the Dermatovenereology Polyclinic at Tabanan Regional Hospital in 2016-2021. This retrospective descriptive study took samples consecutively by evaluating medical records to obtain characteristics of dermatophytosis based on age, gender, diagnosis, treatment and duration of treatment. Men (61.50%) and the early adult age group (40.38%) were the most dermatophytosis sufferers. The most common diagnosis was Tinea cruris (43.66%). Topical treatment with 2% miconazole ointment (42.08%) was most often used, while the maximum duration of treatment was 4 weeks (38.97).

Key words: dermatophytosis, characteristics, Tabanan Regional Hospital

 

Pendahuluan

Dermatofitosis merupakan salah satu jenis infeksi mikosis superfisial yang disebabkan oleh jamur yang menginfeksi jaringan yang kaya akan keratin, seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku (Goldsmith et al., 2012; Sahoo & Mahajan, 2016; Song & Li, 2023). Infeksi ini sering dikenal sebagai tinea dan dikategorikan berdasarkan area tubuh yang terinfeksi. Organisme penyebab dermatofitosis berasal dari tiga genus utama, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton, serta dibagi berdasarkan cara penularannya menjadi tiga kategori: antropofilik, zoofilik, dan geofilik (Goldsmith et al., 2012; Lakshmipathy & Kannabiran, 2010; Nenoff et al., 2014; Putri & Astari, 2017).

Dermatofitosis dapat dikelompokkan menurut lokasi infeksinya, meliputi tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis et manum, tinea korporis, dan tinea unguium. Tinea kapitis merupakan infeksi jamur pada kulit kepala yang menyerang batang rambut, sering menyebabkan kebotakan, terutama pada anak-anak. Tinea barbae menyerang area dagu dan jenggot (Beuscher & Kelechi, 2019; Goldsmith et al., 2012). Tinea kruris terjadi di area lipat paha, genitalia, pubis, perineum, dan perianal (Tabara et al., 2015; Zane et al., 2016). Tinea pedis, atau ringworm of the foot, adalah infeksi jamur pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki. Sementara tinea manum merupakan infeksi jamur yang menyerang kulit telapak tangan, punggung tangan, dan jari-jari tangan. Tinea unguium, atau onikomikosis dermatofitik, merupakan infeksi jamur pada kuku yang umumnya disebabkan oleh T. mentagrophytes dan T. rubrum. Sedangkan tinea korporis mengacu pada infeksi jamur yang menyerang bagian tubuh lainnya yang tidak termasuk dalam lima kategori tinea yang telah disebutkan sebelumnya (Setianingsih et al., 2015).

Prevalensi dermatofitosis di berbagai negara berbeda-beda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO (World Health Organization), diperkirakan sekitar 20% populasi dunia mengalami infeksi jamur, dan tinea korporis merupakan tipe infeksi dermatofita yang paling umum. Tipe infeksi lain yang umum meliputi tinea kruris, tinea pedis, dan onikomikosis (Agustine, 2012). Di Indonesia, sekitar 52% kasus dermatofitosis adalah tinea korporis dan tinea kruris. Dermatofitosis di Indonesia menempati urutan kedua setelah pityriasis versikolor (Sondakh et al., 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Sondakh et al. (2013) di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado menunjukkan bahwa tinea kruris merupakan tipe yang paling umum (35,3%). Sementara itu, penelitian oleh Devy  dan Ervianti (2016) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode 2014-2016 menunjukkan bahwa tinea korporis menjadi tipe yang paling dominan dengan persentase 56,1%. Penelitian lain oleh Nurwulan et al. (2019) di RSI Aisiyah Malang pada tahun 2017 menemukan bahwa tinea incognito menyumbang 26%, diikuti tinea korporis dan tinea unguium masing-masing sebesar 21% (Surekha et al., 2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kasus dermatofitosis meliputi kebersihan diri yang buruk, pemakaian pakaian ketat atau tidak menyerap keringat, status ekonomi rendah, lingkungan yang padat dan lembap, kontak langsung dengan penderita atau hewan terinfeksi, serta kondisi kesehatan seperti HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau penggunaan obat-obatan imunosupresif seperti kortikosteroid dan sitostatika jangka panjang (Sarika et al., 2014).

Diagnosis dermatofitosis dilakukan secara klinis, didukung oleh beberapa metode pemeriksaan seperti pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan penggunaan lampu Wood untuk spesies tertentu. Kultur digunakan untuk mengidentifikasi spesies jamur, sedangkan pemeriksaan kalium hidroksida (KOH) 10-20% bertujuan menemukan hifa dermatofita yang bercabang dan memiliki septa (Midaty & Budimulja, 2013).

Pengobatan dermatofitosis saat ini telah berkembang dengan ditemukannya berbagai jenis obat antijamur baru, baik dalam bentuk topikal maupun sistemik, yang diharapkan dapat menurunkan prevalensi penyakit jamur. Antijamur sistemik seperti terbenafin, griseofulvin, itraconazol, dan flukonazol diindikasikan untuk pasien yang tidak merespons terapi topikal, dengan hasil yang baik dalam pengobatan dermatofitosis (Karyadini et al., 2016). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan tahun 2016-2021.

 

Metoda Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Kulit dan Kelamin pada tahun 2023 dengan desain penelitian deskriptif retrospektif. Populasi yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh pasien yang terdiagnosis dermatofitosis yang melakukan kunjungan ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan selama periode 2016 hingga 2021. Sampel penelitian diambil menggunakan metode Consecutive Sampling. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan rumus sebagai berikut.

 

𝑛= (𝑁×𝑧2𝑝× 𝑞) : (2(𝑁− 1)+𝑧2 ×𝑝× q

 

Keterangan:

n=Perkiraan besar sampel N=Perkiraan besar populasi z=Nilai standar nominal untuk

𝖺=0,05(1,96)

p=Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%

q = 1- p (100% - p)

d = Tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05) (Sastroasmoro, 2011)

 

Dengan perhitungan sampel sebagai berikut

 

𝑛 = (50 ×(1,96)2× 0,5×0,5) :((0,05)2(50−1)+(1,96)2×0,5 ×0,5

𝑛 = 44,343 = 45 responden

 

Hasil dan Pembahasan

Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, laki-laki lebih sering mengalami dermatofitosis dibandingkan dengan perempuan, yaitu sebanyak 61,50%. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang juga menemukan bahwa kasus dermatofitosis lebih banyak terjadi pada laki-laki (Sari, 2021). Namun, penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda, di mana perempuan lebih sering menderita dermatofitosis (58,3%) dibandingkan laki-laki, dengan alasan bahwa perempuan lebih cenderung memperhatikan perubahan pada penampilan mereka, sehingga lebih terdorong untuk mencari perawatan medis (Sari, 2021).

 

Tabel 1.  jenis kelamin penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021

 

Tahun

Jenis Kelamin

 

Keterangan

Laki - laki

Perempuan

N

%

N

%

2016

23

17.56

21

25.61

Laki laki 61,50%

Perempuan 38,50%

2017

21

16.03

8

9.76

2018

17

12.98

11

13.41

2019

19

14.50

17

20.73

2020

27

20.61

15

18.29

2021

24

18.32

10

12.20

Total

131

100

82

100

 

Usia terbanyak yang mengalami infeksi dermatofitosis adalah dewasa awal (20-44 tahun) yaitu sebesar 40,38%. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian di Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2016 yang mendapatkan usia tertinggi menderita dermatofitosis yaitu 25-44 tahun sebesar 31,4%. Hasil ini berbeda dengan yang di dapatkan pada beberapa penelitian sebelumnya yaitu kasus terbanyak ditemukan pada usia dewasa tua (45-64 tahun), dengan asumsi bahwa angka kejadian dermatofitosis meningkat seiring bertambahnya usia.

Tabel 2. Distribusi usia penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021

 

Tahun

 

Kelompok Usia

Keterangan

Anak - anak

Remaja Awal

Remaja Akhir

Dewasa

Awal

Dewasa Akhir

Lansia Awal

Lansia Akhir

Manula

 

Anak Anak 1.88% Remaja Awal 8.92%

Remaja Akhir 6.10%

Dewasa Awal 40.38%

Dewasa akhir 8.92%

Lansia Awal 9.39%

Lansia Akhir 7.98%

Manula 16.43%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

2016

2

50

7

36.84

3

23.08

11

12.79

2

10.53

6

30

2

11.76

4

11,43

2017

0

0

2

10.53

4

30.77

17

19.77

3

15.79

1

5

4

25.53

7

20

2018

0

0

1

5.26

1

7.69

20

23.26

3

75.79

3

15

7

41.18

3

8.57

2019

1

25

2

10.53

2

15.38

7

8.14

5

26.32

5

25

2

11.76

5

14.29

2020

0

0

4

21.05

1

7.69

18

20.93

4

21.05

2

10

1

5.88

7

20

2021

1

25

3

15.79

2

15.38

13

15.12

2

10.53

3

15

1

5.88

9

25.71

Total

4

100

19

100

13

100

86

100

19

100

20

100

17

100

35

100

 

Jenis dermatofitosis terbanyak yang didapatkan pada penelitian ini adalah tinea kruris yaitu sebesar 43,66% disusul oleh tinea unguium (18,78%) dan tinea korporis (14,08%). Hasil yang sama ditemukan pada penelitian di RSUP Prof, Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2012 sebesar 55,38% kasus. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian lainnya yang menemukan diagnosis terbanyak adalah tinea korporis (56,1%). Hal ini disebabkan karena tinea korporis dapat mengenai semua permukaan tubuh dan dapat diderita oleh semua umur, terutama pada orang dewasa yang kurang mengerti kebersihan dan banyak berkeringat serta kelembapan kulit yang tinggi.21

 

Tabel 3. Distribusi jenis dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021

Tahun

Diagnosis

Keterangan

Kapitis

Barbae

Manus

Kruris

Pedis

Unguium

Korporis

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

2016

0

0

0

0

4

22.22

10

10.75

3

11.54

10

25

4

13.33

Tinea Kapitis 1.88%

Tinea Barbae 0.94%

Tinea Manus 8.45%

Tinea Kruris 43.66%

Tinea Pedis 12.21%

Tinea Unguium 18.78%

Tinea Korporis 14.08%

2017

1

25

0

0

2

11.11

19

20.43

5

19.23

11

27.50

5

16.67

2018

0

0

1

50

1

5.56

28

30.11

2

7.69

9

22.50

8

26.67

2019

2

50

0

0

6

33.33

11

11.83

7

26.92

8

20

6

20

2020

0

0

0

0

2

11.11

17

18.28

7

26.92

5

12.50

5

16.67

2021

1

25

1

50

3

16.67

8

8.60

2

7.69

7

17.50

2

6.67

Total

4

100

2

100

18

100

93

100

26

100

40

100

30

100


Jenis pengobatan kasus dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan adalah dengan terapi sistemik dan topikal. Tablet Ketokonazole 200mg merupakan obat sistemik yang paling sering digunakan pada penelitian ini (33,03%), sedangkan salep mikonazole 2% terbanyak untuk pengobatan topikal (42,08%). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian lainnya yaitu tablet griseofulvin 500mg lebih sering digunakan untuk pengobatan sistemik. Hal ini lebih dikarenakan griseofulvin merupakan obat standar yang dipakai dalam Panduan Praktik Klinik (PPK) yang berlaku di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo tempat penelitian dilakukan (Devy & Ervianti, 2016).

 

Tabel 4. Distribusi jenis pengobatan dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021

 

 

Tahun

Jenis Pengobatan

 

 

Keterangan

Oral

Salep

Ketokonazole

Griseofulvin

Itrakonazole

Ketokonazole

Mikonazole

Terbinafin

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

2016

8

10.96

2

8.70

0

100

7

21.88

13

13.98

0

100

Ketokonazole 200mg tablet 33.03%

Griseofulvin 10.41%

Itrakonazole 0%

Ketokonazole salep 14.48% Mikonazole 42.08%

Terbinafin 0%

2017

7

9.59

5

21.74

0

100

8

25

19

20.43

0

100

2018

11

15.07

4

17.39

0

100

4

12.50

16

17.20

0

100

2019

21

28.77

7

30.43

0

100

7

21.88

13

13.98

0

100

2020

16

21.92

4

17.39

0

100

4

12.50

15

16.13

0

100

2021

10

13.70

1

4.35

0

100

2

6.25

17

18.28

0

100

Total

73

100

23

100

0

100

32

100

93

100

0

100

 

Lama pengobatan dermatofitosis dalam penelitian ini terbanyak di temukan selama 4 minggu yaitu sebanyak 38,97%. Banyak hal yang mempengaruhi kesembuhan pasien dermatofitosis sehingga berkaitan dengan lamanya pengobatan. Misalkan jenis dermatofitosis yang diderita, adanya penyakit dasar, dan ketaatan dalam mengikuti saran pengobatan.

 

Tabel 5. Distribusi lama pengobatan dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan periode 2016-2021

 

 

Tahun

Lama Pengobatan

 

Keterangan

2 Minggu

3 Minggu

4 Minggu

5 Minggu

6 Minggu

7 Minggu

8 Minggu

>2 Bulan

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

2  Minggu

17.84%

3  Minggu 9.86%

4  Minggu

38.97%

5  Minggu 8.45%

6  Minggu 4.23%

7  Minggu 0%

8  Minggu 0%

>2 Bulan 20.66%

2016

5

13.16

1

4.76

8

9.64

1

5.56

0

0

0

100

0

100

8

18.18

2017

8

21.05

4

19.05

14

16.87

3

16.67

1

11.11

0

100

0

100

10

22.73

2018

7

18.42

8

38.10

21

25.30

7

38.89

5

55.56

0

100

0

100

7

15.91

2019

9

23.68

2

9.52

14

16.87

2

11.11

1

11.11

0

100

0

100

8

18.18

2020

7

18.42

5

23.81

21

25.30

5

27.78

2

22.22

0

100

0

100

8

18.18

2021

2

5.26

1

4.76

5

6.02

0

0

0

0

0

100

0

100

3

6.82

Total

38

100

21

100

83

100

18

100

9

100

0

100

0

100

44

100

 

Tabel 5 memperlihatkan distribusi lama pengobatan dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tabanan selama periode 2016-2021, yang terbagi ke dalam beberapa kategori durasi pengobatan, yaitu 2 minggu, 3 minggu, 4 minggu, 5 minggu, 6 minggu, 7 minggu, 8 minggu, dan lebih dari 2 bulan. Dari data tersebut, mayoritas pasien menerima pengobatan dengan durasi 4 minggu, yang mencatat persentase tertinggi secara keseluruhan, yaitu 38.97%. Pengobatan dengan durasi lebih dari 2 bulan menjadi kategori kedua yang paling banyak terjadi, dengan persentase 20.66%. Pada tahun 2016, kategori durasi pengobatan 4 minggu mencatat angka tertinggi sebesar 9.64%, dan meningkat secara signifikan di tahun 2018 menjadi 25.30%. Durasi pengobatan 2 minggu dan lebih dari 2 bulan juga menunjukkan angka yang cukup signifikan, meskipun mengalami fluktuasi di setiap tahunnya. Menariknya, durasi pengobatan 7 minggu dan 8 minggu tidak tercatat di sepanjang periode penelitian ini, menandakan bahwa tidak ada pasien yang memerlukan pengobatan selama durasi tersebut. Secara umum, hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien sembuh dalam kurun waktu 4 minggu, meskipun ada juga sejumlah pasien yang memerlukan pengobatan lebih lama, yaitu lebih dari 2 bulan, kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor seperti tingkat keparahan infeksi atau respons terhadap pengobatan.

 

Kesimpulan

Karakteristik penderita dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin di RSUD Tabanan ditemukan laki-laki lebih banyak menderita dermatofitosis dengan kelompok umur tersering adalah dewasa muda. Jenis dermatofitosis terbanyak yaitu tinea kruris dan pengobatan sistemik yang sering dipakai tablet itrakonazole 200mg dan salep mikonazole 2% untuk pengobatan topikal. Lama pengobatan pada penelitian ini adalah 4 minggu.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustine, R. (2012). Perbandingan Sensitivitas Dan Spesifisitas Pemeriksaan Sediaan Langsung Koh 2a% Dengan Sentrifugasi Dan Tanpa Sentrifugasi Pada Tinea Kruris. Padang: Andalas University.

Beuscher, T. L., & Kelechi, T. J. (2019). Onychomycosis: Diagnosis, Treatment, and Prevention. Journal of Wound, Ostomy and Continence Nursing, 46(4). https://doi.org/10.1097/WON.0000000000000556

Devy, D., & Ervianti, E. (2016). Studi Retrospektif : Karakteristik Dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 30(1).

Goldsmith, L. A., Fitzpatrick, T. B., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffell, D. J., & Wolff, K. (2012). Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. (No Title).

Karyadini, H. W., Rahayu, & Masfiyah. (2016). Profil Mikroorganisme Penyebab Dermatofitosis Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Media Farmasi Indonesia, 13(2).

Lakshmipathy, D. T., & Kannabiran, K. (2010). Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment. Natural Science, 02(07). https://doi.org/10.4236/ns.2010.27090

Midaty, S., & Budimulja, U. (2013). Dermatofitosis. Edisi ke-7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nenoff, P., Krüger, C., Ginter-Hanselmayer, G., & Tietz, H. J. (2014). Mycology-an update. Part 1: Dermatomycoses: Causative agents, epidemiology and pathogenesis. JDDG - Journal of the German Society of Dermatology, 12(3). https://doi.org/10.1111/ddg.12245

Nurwulan, D., Hidayatullah, T. A., Nuzula, A. F., & Puspita, R. (2019). Profil Dermatofitosis Superfisialis Periode Januari – Desember 2017 Di Rumah Sakit Islam Aisiyah Malang. Saintika Medika, 15(1). https://doi.org/10.22219/sm.vol15.smumm1.8625

Putri, A. I., & Astari, L. (2017). Profil dan Evaluasi Pasien Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 29(2).

Sahoo, A., & Mahajan, R. (2016). Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A comprehensive review. Indian Dermatology Online Journal, 7(2). https://doi.org/10.4103/2229-5178.178099

Sari, K. E. S. S. P. (2021). Profil dermatofitosis di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode 2017-2018.

Sarika, G., Purva, A., Rahul, R., & Saksham, G. (2014). Prevalence of dermatophytic infection and determining sensitivity of diagnostic procedures. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 6(3).

Setianingsih, I., Arianti, D., & Fadilly, A. (2015). Prevalensi, Agen Penyebab, dan Analisis Faktor Risiko Infeksi Tinea Unguium pada Peternak Babi di Kecamatan Tanah Siang, Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Buski, 5(3).

Sondakh, C. E. E. J., Pandaleke, T. A., & Mawu, F. O. (2016). Profil dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013. E-CliniC, 4(1). https://doi.org/10.35790/ecl.4.1.2016.12134

Song, Y., & Li, R. (2023). Superficial fungal infections. In Molecular Medical Microbiology, Third Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818619-0.00083-6

Surekha, A., Kumar, Gr., Sridevi, K., Murty, D., Usha, G., & Bharathi, G. (2015). Superficial dermatomycoses: A prospective clinico-mycological study. Journal of Clinical and Scientific Research, 4(1). https://doi.org/10.15380/2277-5706.jcsr.14.051

Tabara, K., Szewczyk, A. E., Bienias, W., Wojciechowska, A., Pastuszka, M., Oszukowska, M., & Kaszuba, A. (2015). Amorolfine vs. ciclopirox - Lacquers for the treatment of onychomycosis. In Postepy Dermatologii i Alergologii (Vol. 32, Issue 1). https://doi.org/10.5114/pdia.2014.40968

Zane, L. T., Chanda, S., Coronado, D., & Del Rosso, J. (2016). Antifungal agents for onychomycosis: New treatment strategies to improve safety. Dermatology Online Journal, 22(3). https://doi.org/10.5070/d3223030383

 

Copyright holder:

I Nyoman Fidry Octora Young Amukty, Ni Made Indah Puspasari (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: