Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 8, Agustus
2024
MANAJEMEN
RISIKO OPERASIONAL AMMONIA RECOVERY PLANT DI PLTU PAITON DENGAN
MENGGUNAKAN METODE RISK FAILURE MODE & EFFECT ANALYSIS DAN FAULT
TREE ANALYSIS
Rieza Pahlevi1, A. A. B. Dinariyana Dwi P. 2
Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia1,2
Email: [email protected]1
Dalam
industri pembangkitan listrik, kepatuhan terhadap regulasi lingkungan terkait kualitas buangan air limbah sangat penting, khususnya parameter ammonia. Fasilitas
Ammonia Recovery Plant (ARP) di PLTU Paiton berfungsi sebagai tahap pengolahan intermediate dari Wastewater Treatment Plant (WWTP) untuk mengatasi air limbah dengan kandungan
ammonia tinggi. Kegagalan
operasional ARP dapat mempengaruhi kualitas effluent
dari WWTP, yang dipantau sesuai dumping permit dari
Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) RI. Dari 2020 hingga 2023, tercatat 79 fault
work order untuk memperbaiki
masalah dalam sistem ARP di sistem MAXIMO CMMS,
beberapa di antaranya menyebabkan ARP tidak beroperasi lebih dari 1 bulan. Masalah
utama adalah kurangnya suku cadang akibat kerusakan
berulang pada peralatan
yang sama. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
risiko kritis kegagalan operasional ARP dan menentukan solusi pencegahannya. Proses penelitian diawali dengan identifikasi risiko kegagalan operasional menggunakan metode Risk
Failure Modes and Effects Analysis (RFMEA), yang menyederhanakan
pencarian penyebab kegagalan operasional berdasarkan kriteria penilaian sehingga dapat dilakukan seleksi kegagalan operasional yang pernah terjadi (risk mapping). Analisa dilanjutkan
dengan metode Fault Tree
Analysis (FTA) untuk menentukan
basic event dari kegagalan
operasional tersebut. Sebanyak 34 mode kegagalan diidentifikasi, dan dari analisa RFMEA diperoleh 4 mode kegagalan kritis: Innacurate pH reading, Valve Leaks, WWFD
pipeline leaks pada Feed Pre-Adjust Systems, dan acid injection
failure pada Chemical Injection Systems. Risiko
kritis ini kemudian dianalisis menggunakan FTA untuk menentukan basic event dan langkah
mitigasi risiko dalam bentuk risk control
options (RCO). Diharapkan mitigasi
risiko yang lebih baik dapat mengurangi
atau menghindari kerugian dari kegagalan
operasional pabrik di masa depan, sebagai bagian dari penerapan
manajemen risiko yang efektif.
Kata
Kunci: Manajemen Risiko, Ammonia
Recovery Plant, RFMEA, FTA, Risk Control Options.
In the power generation industry,
compliance with environmental regulations regarding wastewater discharge
quality is crucial, particularly concerning ammonia parameters. The Ammonia
Recovery Plant (ARP) at the Paiton Power Plant serves
as an intermediate treatment stage for the Wastewater Treatment Plant (WWTP) to
manage wastewater with high ammonia content. Operational failures of the ARP
can negatively impact the effluent quality from the WWTP, which is monitored according
to the dumping permit from the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) of
the Republic of Indonesia. From 2020 to 2023, 80 fault work orders were
recorded in the MAXIMO CMMS system to fix issues in the ARP system, some of
which caused the ARP to be non-operational for more than a month. One of the
main issues was the lack of spare parts due to repeated failures of the same
operational equipment. This forms the basis for this study, which aims to
identify critical risks of ARP operational failures and determine solutions to
prevent their recurrence. The research process began with identifying
operational failure risks using the Risk Failure Modes and Effects Analysis
(RFMEA) method. This method simplifies the process of finding the causes of
operational failures based on required assessment criteria, allowing for the
selection of past operational failures (risk mapping). This was followed by
analysis using the Fault Tree Analysis (FTA) method to identify the basic
events from the selected operational failures. A total of 34 failure modes were
identified, and RFMEA analysis revealed 4 critical failure modes: inaccurate pH
reading, valve leaks, WWFD pipeline leaks in the Feed Pre-Adjust Systems, and
acid injection failure in the Chemical Injection Systems. These critical risks
were then analyzed using FTA to determine the basic events and develop risk
control options (RCO) to mitigate the risks of operational failures. Better
risk mitigation is expected to reduce or even prevent losses from operational
failures of the plant in the future, as part of effective risk management
implementation.
Keywords:
Risk Management, Ammonia Recovery Plant, RFMEA, FTA, Risk Control
Options.
Dalam proses industri pembangkitan listrik, kualitas buangan air limbah menjadi salah satu poin kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan pemerintah terkait dampak terhadap lingkungan, baik air limbah tersebut merupakan buangan sisa proses maupun bagian dari
auxliary system yang harus dibuang ke
lingkungan (Kementerian
LHK Republik Indonesia, 2009).
PT. Paiton Energy (PTPE) sebagai
owner dari PLTU Paiton
Unit 3,7 dan 8 senantiasa menjalankan
proses bisnis yang berpedoman
pada peraturan dan perundangan
yang berlaku di Republik
Indonesia dalam segala aspek termasuk kepatuhan lingkungan (environmental
compliance). Dalam operasional
pembangkitannya, PTPE menyerahkan
tanggung jawab tersebut kepada PT. Paiton O&M Indonesia (POMI) sebagai
perusahaan O&M (operation & maintenance)
yang menjalankan operasional
pembangkitan serta memastikan segala aspek kepatuhan yang terkait dipatuhi dengan baik sehingga
operasional bisnis berjalan dengan lancar.
Salah satu parameter kimia yang menjadi bagian dari pengamatan buangan air limbah yang ditetapkan untuk fasilitas Wastewater Treatment Plant (WWTP) PLTU Paiton Unit 3,7 dan 8 adalah ammonia.
Menyadari kondisi tersebut maka dilakukan
pembangunan fasilitas Ammonia
Recovery Plant (ARP) di PLTU Paiton berfungsi sebagai intermediate
treatment dari fasilitas
WWTP yang digunakan untuk mengolah air limbah dari proses pembangkitan listrik dengan kadar ammonia tinggi, mengingat sistem WWTP sendiri tidak didesain
bisa digunakan untuk mengolah limbah dengan parameter kimia tersebut.
Kondisi operasi
ideal dari sistem tersebut adalah dapat beroperasi sesuai dengan desain
yang ditetapkan yaitu
minimal 8 jam per hari, dengan
berhenti beroperasi apabila dilakukan perawatan yang terjadwal secara sistematis pada software
IBM® MAXIMO Computerized Maintenance Management Systems (MAXIMO), yang digunakan didalam internal POMI untuk melakukan manajemen pemeliharaan terhadap semua aset operasional pembangkitan di PLTU Paiton Unit
3, 7 dan 8. Namun dalam realita di lapangan seringkali ARP mengalami kegagalan operasional yang tidak diharapkan. Selama kurun waktu
2020 – 2023 ada 80 fault work order untuk perbaikan berbagai masalah pada sistem tersebut yang tercatat di MAXIMO. Beberapa diantaranya bahkan menyebabkan ARP tidak beroperasi dalam jangka waktu lebih
dari 1 bulan. Salah satu penyebab utama
dari masalah tersebut adalah spare parts
yang tidak tersedia akibat dari kerusakan
berulang yang terjadi pada peralatan operasional yang sama (George,
2020; Mirboroon & Razavi, 2020).
Kegagalan operasional
tersebut tentunya berpengaruh secara langsung terhadap kualitas dari effluent
WWTP yang merupakan salah satu
titik pantau buangan air limbah perusahaan. Sesuai dengan dumping permit yang ditetapkan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) Republik
Indonesia. Kondisi tersebut
tentunya berpengaruh secara langsung terhadap persepsi publik maupun stake holder
terkait komitmen perusahaan terhadap environmental
compliance, dan bagaimana penanganan
terhadap dampak operasional perusahaan ke lingkungan (Nugroho
et al., 2021; Srinivas, 2019).
Keuntungan dari
penggunaaan metode ini adalah fokus
dari Analisa lebih kepada kejadian yang memberikan jumlah kerugian yang besar kemudian dikembangkan risk
control option (RCO) untuk menghindari
kerugian lebih besar di kemudian hari (Firdaus
& Irawan, 2017).
Didalam proses RFMEA critical risk score &
critical risk value akan menjadi
dua variabel yang dilakukan
deduksi menggunakan scatter
diagram untuk memilih
mana yang memiliki risiko
paling tinggi dan mendesak untuk segera dilakukan
penanganan, sehingga dapat memudahkan manajemen untuk melakukan pengaturan terkait finansial maupun faktor operasional
yang lain. Namun disisi
lain penyusunan RCO sebagai
langkah evaluasi maupun mitigasi tentunya membutuhkan analisa yang lebih mendalam terkait apa sebenarnya penyebab dari risiko
kritikal operasi yang telah diperoleh dari analisa menggunakan
metode RFMEA, agar RCO yang disusun
tepat saran dan efektif. Kurang
komprehensif nya metode RFMEA ini dapat dilihat pada penelitian Purwanggono dan
Margarette (2017) yang menggunakan RFMEA sebagai metode penilaian risiko terhadap proyek infrastruktur underpass. Dimana setelah
proses RFMEA dan risiko kritikal
diperoleh, kesimpulan yang kemudian diambil hanya pada perubahan SOP (Standard
Operating Procedure) saja. Sedangkan dalam penerapan analisa risiko pada sistem industri yang kompleks maka dibutuhkan analisa yang lebih komprehensif untuk memperoleh penyebab utama dari failure mode
yang dihasilkan dari analisa RFMEA. Sehingga keputusan terkait RCO yang diambil kemudian adalah yang paling sesuai diterapkan (Freeman, 1990; Surange & Bokade, 2022).
Untuk mengakomodasi kekurangan tersebut maka dalam
penelitian ini dilakukan proses analisa tambahan yaitu metode Fault
Tree Analysis
(FTA). Metode FTA digunakan
untuk menganalisis, menilai, dan mengilustrasikan secara grafik aliran
hirarkis dari insiden atau situasi
potensial yang dapat berdampak negatif terhadap keandalan dan kegunaan sistem sehingga dapat ditentukan
penanganan preventif dari risiko yang terjadi (Mutlu & Altuntas, 2019). Hasil dari analisa FTA memberikan gambaran secara lebih detail mengenai sumber masalah dari risiko
kritikal (TOP Event) yang terjadi,
yang kemudian dilakukan
proses deduksi menggunakan bagan detail yang bertujuan memunculkan basic event dari sebuah fault. Basic
event sendiri merupakan
batas akhir dari proses deduktif bagan FTA yang menunjukkan penyebab utama terjadinya TOP Event
tersebut (Dytha & Taufik, 2022; Vesely et al., 1981).
Penggunaan kedua
metode tersebut juga sejalan dengan tujuan kuantifikasi risiko (Quantitative Risk Analysis/QRA) sebagai bentuk dari penerapan manajemen risiko. Dimana penerapan tersebut jamak digunakan pada pabrik kimia untuk
membantu mencegah peristiwa yang berpotensi menyebabkan terjadinya kegagalan proses (Berg,
2010; Coleman, 2012). Dengan
tahapan mengidentifikasi
area-area di mana operasi, teknik,
atau sistem manajemen dapat dimodifikasi untuk mengurangi risiko dengan cara yang paling efisien. Tujuan utamanya adalah menyusun tindakan pengelolaan yang tepat berdasarkan perolehan hasil studi dan memastikan fasilitas yang menangani bahan kimia berbahaya dioperasikan secara aman (Freeman,
1990; Yang et al., 2019).
Namun dikarenakan
kompleksitas dari proses kimia yang dijalankan maupun sumber daya
finansial yang dibutuhkan cukup tinggi, maka
diperlukan penyusunan berdasarkan prioritas dari risiko yang berhasil dinilai. Hal ini untuk menghindari
ketidaksesuaian penerapan manajemen risiko pada peralatan yang memiliki risiko lebih rendah
dibandingkan yang memiliki nilai risiko lebih
tinggi (Van
Sciver, 1990). Sehingga,
tujuan penelitian adalah;
1)
Melakukan
Identifikasi risiko kritikal operasional Ammonia
Recovery Plant di PLTU Paiton (Risk
Mapping) beserta dengan level dari risiko tersebut menggunakan metoda
RFMEA. Hasil identifikasi tersebut kemudian dilakukan penentuan ranking risiko
berdasarkan perhitungan RPN (Risk
Priority Number) yang dikombinasi dengan perhitungan Risk Score untuk menentukan risiko
yang bersifat kritikal.
2)
Melakukan Identifikasi penyebab
dari risiko kritikal yang tervalidasi dengan RFMEA dalam bentuk basic event dengan menggunakan metoda
FTA.
3) Menyusun Risk Control Option (RCO) terhadap penyebab risiko kritikal yang terindentifikasi, kemudian dilakukan validasi bersama dengan manajemen perusahaan sebagai dasar untuk pencegahan terhadap kegagalan operasional kembali di masa depan.
Data primer
dan sekunder adalah dua jenis data yang akan dikumpulkan dan digunakan dalam
penelitian ini. Data primer adalah informasi yang dikumpulkan langsung oleh
peneliti dari sumber utama di lapangan. Untuk tujuan penelitian ini, data
primer termasuk wawancara dan kuesioner dengan karyawan dan staf yang
bertanggung jawab untuk menjalankan ARP di PLTU Paiton. Hal tersebut dilakukan
sebagai bagian dari internal review agar diperoleh masukan terkait variabel
risiko yang bisa diambil untuk penelitian ini.
Data
lapangan akan digunakan untuk membuat variabel penelitian yang berfokus pada
risiko operasional, dan berupa jenis kegagalan operasional yang pernah terjadi
selama periode penelitian. Variabel-variabel ini akan diklasifikasikan menurut
kategori subsistem yang ada pada ARP.
Setelah berbagai jenis mode kegagalan operasional telah ditemukan dari
informasi yang dikumpulkan. Kemudian untuk memahami hubungan dan urutan mode
kegagalan yang terkait dengan kegagalan operasional unit, mode mode kegagalan
ini akan diklasifikasikan sebagai variabel yang akan dievaluasi untuk
menentukan variabel mana yang merupakan risiko kritis.
Berikut ini adalah daftar kategori variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini, yang mengikuti daftar peralatan utama dalam
subsistem yang terdapat dalam ARP.
1) Kegagalan pada feed
pre-adjust system.
2) Kegagalan pada RCAST
system.
3) Kegagalan pada Ammonum
Hydroxide recovery system.
4) Kegagalan pada membrane
contactor system.
5) Kegagalan pada membrane
concentrator system.
6) Kegagalan pada process
cooling system.
7) Kegagalan pada process
heating system.
8) Kegagalan pada chemical
injection system.
9) Kegagalan pada aqueous
ammonia storage tank system.
10) Kegagalan pada programmable
logic controller system.
11) Kegagalan pada power
supply system.
Pada langkah ini, diberikan tiga nilai yang esensial.
Pertama, nilai Occurrence / Likelihood yang bergantung pada
seberapa sering mode kegagalan tertentu terjadi. Kedua, nilai Severity /
Impact yang mencerminkan sejauh mana dampak dari mode kegagalan
tersebut. Terakhir, nilai Detection yang mengindikasikan sejauh mana
tingkat kemudahan dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya mode kegagalan. Semua
nilai-nilai ini akan diperoleh melalui data lapangan, hasil wawancara, dan juga
kuesioner.
Dari data yang berisikan nilai Occurrence,
Severity, Detection tersebut kemudian digunakan sebagai poin untuk
perhitungan Risk score dan Risk priority Number (RPN) menggunakan
perhitungan berikut:
(3.1)
Dimana :
S : Severity Rating
O : Occurrence Rating
D : Detection Rating
Sedangkan Risk score diperoleh dari
perkalian Severity dan Occurrence. Dari data kalkulasi tersebut
kemudian dilakukan pareto analysis untuk mengetahui risiko mana saja
yang nilainya melebihi critical value. Dimana critical value
diperoleh dari kalkulasi:
(3.2)
Risiko yang memiliki nilai RPN melebihi critical
value kemudian dilakukan analisa perbandingan risk score dan RPN
menggunakan scatter plot diagram. Nilai yang paling penting dari kedua
diagram Pareto tersebut diidentifikasi, dan kemudian dicari titik pertemuan
dari nilai kritikal ini di dalam Scatter plot. Dari proses tersebut
diperoleh critical risk event dari operasional ARP yang membutuhkan
mitigasi lebih lanjut untuk pengendalian risiko tersebut.
Dari hasil analisa diatas kemudian dilakukan penyebab
kejadian dari risiko kritikal yang berhasil diperoleh dengan menggunakan metode
Fault Tree Analysis. Setelah penyebab kejadian (basic event)
diperoleh kemudian disusun risk control options yang berisi berbagai
metode yang dapat digunakan sebagai mitigasi terhadap risiko yang diperoleh
agar tidak terjadi masalah serupa di masa depan.
Fault Tree Analysis akan diawali dengan penyusunan model grafis FTA
untuk memperoleh gambaran detail dari penyebab kegagalan dari critical risk
event yang dianalisa. Setelah membuat model grafis,
langkah selanjutnya adalah
menganalisa Fault Tree secara
kualitatif dengan menggunakan Aljabar Boolean. Tujuannya adalah minimal cut
set yaitu basic event (kejadian
dasar) yang bila terjadi akan mengakibatkan
terjadinya Top event. Suatu
cut set dianggap sebagai
minimal jika tidak dapat disederhanakan tanpa menghilangkan sifatnya.
Dari basic event yang diperoleh kemudian dilakukan penyusunan Risk
Control Option (RCO) dengan menggunakan prinsip hirarki risk control, sehingga
diperoleh solusi yang dapat diterapkan sebagai mitigasi risiko dari critical
risk event yang diperoleh dari RFMEA. Validasi Risk Control Option
(RCO) yang disusun dalam penelitian ini akan dilakukan bersama dengan manajemen
terkait, namun untuk implementasi RCO yang disusun dan tervalidasi sepenuhnya
hanya dapat diputuskan oleh manajemen internal perusahaan dan berada diluar
tanggung jawab peneliti. Hal ini lebih disebabkan perlunya penyusunan ulang
Annual Operational dan Capital expenditure oleh manajemen perusahaan.
Untuk memastikan bahwa setiap solusi yang telah disetujui oleh semua
pihak dapat diterapkan secara menyeluruh, maka harus dilakukan komunikasi
dengan pengambil keputusan (Decision Maker) tentang jenis risk
control option yang akan digunakan untuk melakukan pengendalian risiko.
Dengan tujuan untuk mengendalikan dan mencegah setiap risiko yang
diidentifikasi dan menghindari kerugian yang mungkin terjadi.
Setelah penentuan
kriteria untuk perhitungan Risk Priority Number (RPN) diperoleh, kemudian dilanjutkan dengan brainstorming
dan pengisian kuosioner
berisi 34 mode kegagalan
yang kemudian ditentukan severity,
occurrence & detection rating nya. Brainstorming
dan pengisian kuosioner dilakukan bersama seluruh operator WWTP dan Shift leader yang dibantu pengisiannya oleh penulis dengan hasil perhitungan RPN dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Perhitungan Risk
Priority Number ARP
Kode |
Mode Kegagalan |
Severity |
Occurrence |
Detection |
RPN |
F3 |
Valve Leaks |
4 |
3 |
3 |
36 |
F4 |
WWFD Pipeline leak |
4 |
3 |
3 |
36 |
F9 |
RCAST Valve stuck |
3 |
3 |
4 |
36 |
F10 |
Instrument air junction box leaks |
3 |
3 |
3 |
27 |
F15 |
Membrane Contactor Failure |
3 |
3 |
3 |
27 |
F1 |
Inaccurate Reading of pH |
3 |
4 |
2 |
24 |
F30 |
Acid Injection Failure |
4 |
3 |
2 |
24 |
F5 |
Inlet CF Control Valve Stuck |
3 |
2 |
3 |
18 |
F11 |
RCAST Circulation Pump Problem |
3 |
3 |
2 |
18 |
F16 |
Membrane Contactor System Pump Failure |
3 |
3 |
2 |
18 |
F20 |
Concentrate Pump Problem |
3 |
2 |
3 |
18 |
F22 |
Concentrate Return Control Valve Problem |
3 |
2 |
3 |
18 |
F24 |
Primary Chilled Water Pump Failure |
3 |
2 |
3 |
18 |
F6 |
Level Transmitter Problem |
3 |
4 |
1 |
12 |
F12 |
pH reading failed |
3 |
4 |
1 |
12 |
F13 |
Bottom Pressure Transmitter Problem |
3 |
4 |
1 |
12 |
F19 |
Cartridge Filter Blocked |
3 |
2 |
2 |
12 |
F23 |
pH Reading Problem |
3 |
4 |
1 |
12 |
F26 |
HX Valve Problem |
3 |
2 |
2 |
12 |
F28 |
Caustic Pump Failure |
3 |
2 |
2 |
12 |
F29 |
Acid Pump Failure |
3 |
2 |
2 |
12 |
F33 |
AAST Line Leakage |
4 |
1 |
3 |
12 |
F2 |
WWFD Pump not running |
3 |
3 |
1 |
9 |
F7 |
Temperature Gauge Broken |
3 |
1 |
3 |
9 |
F8 |
Instrument Air leaks |
3 |
1 |
3 |
9 |
F17 |
Pressure Transmitter Problem |
3 |
3 |
1 |
9 |
F18 |
Valve Instrument Air Problem |
2 |
2 |
2 |
8 |
F14 |
Pump Discharge Flow Transmitter Problem |
3 |
2 |
1 |
6 |
F21 |
Concentrate Inlet ISV Problem |
3 |
2 |
1 |
6 |
F25 |
AUX Chiller Temperature Problem |
3 |
1 |
2 |
6 |
F27 |
Heating Process Control Malfuction |
3 |
2 |
1 |
6 |
F31 |
Transfer Pump Failure |
3 |
2 |
1 |
6 |
F32 |
Circulation Pump Failure |
3 |
1 |
2 |
6 |
F34 |
Circulation Pump Problem |
3 |
2 |
1 |
6 |
Dengan data tersebut, dapat diambil risiko kritis dari operasional
yaitu suatu risiko yang memiliki nilai diatas critical value.
Didalam penelitian ini critical value sendiri
diperoleh dari perhitungan berikut:
(4.2)
Dari
data risiko kegagalan diatas diperoleh 13 mode kegagalan yang memiliki nilai RPN diatas critical
value sebesar 15,06 yang dapat
dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Tabel risiko kritis berdasarkan
FMEA
Kode |
Mode Kegagalan |
Severity |
Occurrence |
Detection |
RPN |
F3 |
Valve Leaks |
4 |
3 |
3 |
36 |
F4 |
WWFD Pipeline leak |
4 |
3 |
3 |
36 |
F9 |
RCAST Valve stuck |
3 |
3 |
4 |
36 |
F10 |
Instrument air junction box leaks |
3 |
3 |
3 |
27 |
F15 |
Membrane Contactor Failure |
3 |
3 |
3 |
27 |
F1 |
Inaccurate Reading of pH |
3 |
4 |
2 |
24 |
F30 |
Acid Injection Failure |
4 |
3 |
2 |
24 |
F5 |
Inlet CF Control Valve Stuck |
3 |
2 |
3 |
18 |
F11 |
RCAST Circulation Pump Problem |
3 |
3 |
2 |
18 |
F16 |
Membrane Contactor System Pump Failure |
3 |
3 |
2 |
18 |
F20 |
Concentrate Pump Problem |
3 |
2 |
3 |
18 |
F22 |
Concentrate Return Control Valve Problem |
3 |
2 |
3 |
18 |
F24 |
Primary Chilled Water Pump Failure |
3 |
2 |
3 |
18 |
Setelah diperoleh
data risiko kritikal dari perhitungan FMEA, maka dilanjutkan dengan proses analisa RFMEA. Untuk kalkulasi dengan RFMEA dibutuhkan nilai risk score dari
masing-masing mode kegagalan, yang diperoleh dari perkalian antara severity dengan occurrence. Hasil dari
perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Tabel perhitungan risk score
Kode |
Mode Kegagalan |
Severity |
Occurrence |
Risk score |
F1 |
Inaccurate Reading of pH |
3 |
4 |
12 |
F2 |
WWFD Pump not running |
3 |
3 |
9 |
F3 |
Valve Leaks |
4 |
3 |
12 |
F4 |
WWFD Pipeline leak |
4 |
3 |
12 |
F5 |
Inlet CF Control Valve Stuck |
3 |
2 |
6 |
F6 |
Level Transmitter Problem |
3 |
4 |
12 |
F7 |
Temperature Gauge Broken |
3 |
1 |
3 |
F8 |
Instrument Air leaks |
3 |
1 |
3 |
F9 |
RCAST Valve stuck |
3 |
3 |
9 |
F10 |
Instrument air junction box leaks |
3 |
3 |
9 |
F11 |
RCAST Circulation Pump Problem |
3 |
3 |
9 |
F12 |
pH reading failed |
3 |
4 |
12 |
F13 |
Bottom Pressure Transmitter Problem |
3 |
4 |
12 |
F14 |
Pump Discharge Flow Transmitter Problem |
3 |
2 |
6 |
F15 |
Membrane Contactor Failure |
3 |
3 |
9 |
F16 |
Membrane Contactor System Pump Failure |
3 |
3 |
9 |
F17 |
Pressure Transmitter Problem |
3 |
3 |
9 |
F18 |
Valve Instrument Air Problem |
2 |
2 |
4 |
F19 |
Cartridge Filter Blocked |
3 |
2 |
6 |
F20 |
Concentrate Pump Problem |
3 |
2 |
6 |
F21 |
Concentrate Inlet ISV Problem |
3 |
2 |
6 |
F22 |
Concentrate Return Control Valve Problem |
3 |
2 |
6 |
F23 |
pH Reading Problem |
3 |
4 |
12 |
F24 |
Primary Chilled Water Pump Failure |
3 |
2 |
6 |
F25 |
AUX Chiller Temperature Problem |
3 |
1 |
3 |
F26 |
HX Valve Problem |
3 |
2 |
6 |
F27 |
Heating Process Control Malfuction |
3 |
2 |
6 |
F28 |
Caustic Pump Failure |
3 |
2 |
6 |
F29 |
Acid Pump Failure |
3 |
2 |
6 |
F30 |
Acid Injection Failure |
4 |
3 |
12 |
F31 |
Transfer Pump Failure |
3 |
2 |
6 |
F32 |
Circulation Pump Failure |
3 |
1 |
3 |
F33 |
AAST Line Leakage |
4 |
1 |
4 |
F34 |
Circulation Pump Problem |
3 |
2 |
6 |
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisa perbandingan antara critical
value yang diperoleh dari
perhitungan FMEA berupa RPN
dengan critical value pada perhitungan
risk score. Proses analisa perbandingan
ini menggunakan bantuan scatter plot diagram dengan
membandingkan kode kegagalan yang memiliki RPN diatas critical value sebesar
15,06 dan risk score minimal 10. Dengan
hasil dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1. Diagram Scatter
Plot RPN vs Risk Score
Dari diagram scatter plot diatas dapat diketahui
bahwa ada 4 mode kegagalan yang masuk dalam kategori kritikal bagi ARP system, dimana pada saat analisa dengan FMEA jumlah mode kegagalan mencapai 13. Hal ini membuktikan bahwa dengan analisa lanjutan yang lebih baik maka dapat
diambil prioritas penanganan mode kegagalan yang
paling kritikal bagi sebuah sistem. 4 Mode kegagalan tersebut dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 4. Daftar risiko kritikal hasil analisa RFMEA
Kode |
Mode Kegagalan |
RPN |
Risk Score |
F1 |
Inaccurate Reading
of pH |
24 |
12 |
F3 |
Valve Leaks |
36 |
12 |
F4 |
WWFD Pipeline leak |
36 |
12 |
F30 |
Acid Injection
Failure |
24 |
12 |
Keempat risiko kritikal tersebut kemudian akan dilakukan analisa Fault Tree Analysis (FTA) untuk mengetahui penyebab kegagalan tersebut sehingga dapat disusun rencana
penanganan berupa risk
control option agar risiko dapat
ditangani dengan baik.
Fault tree analysis adalah model grafis yang menggambarkan berbagai kombinasi kesalahan/kegagalan (fault) secara paralel dan berurutan yang dapat menyebabkan timbulnya peristiwa kegagalan (failure event) yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam FTA yang dibuat, setiap risiko kritis
ditetapkan sebagai peristiwa utama (top event).
Proses ini kemudian menghasilkan basic event yang merupakan
penyebab terjadinya peristiwa utama yang telah dikategorikan sebagai risiko kritis dari sebuah
sistem, sehingga langkah-langkah yang tepat dapat diambil untuk
mencegah terjadinya risiko kritis tersebut
(risk control options). Basic event yang diidentifikasi
mempertimbangkan penyebab masalah dari berbagai
sisi (personil, metode kerja, peralatan,
dan sebagainya).
Dari
proses analisa awal menggunakan metode RFMEA diperoleh 4 mode kegagalan yang masuk kategori risiko kritikal bagi ARP systems, keempat
mode tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisa FTA menggunakan pendekatan qualitative untuk
memberikan penggambaran top
to down event secara visual sehingga
mempermudah pemahaman terkait basic event (E) dari
mode kegagalan yang terjadi.
Data terkait berbagai event
yang dapat menyebabkan top
event (T)terjadi penulis
dapatkan dari laporan perbaikan yang tercatat pada CMMS, untuk mempersempit fokus pencarian basic event.
Feed
pre-adjust system, merupakan skid/bagian awal dari ARP system dimana dalam
sistem tersebut ada proses pengaturan pH di kisaran 10,5 hingga 11,5. Metode
pengaturan dilakukan dengan injeksi caustic soda pada jalur WWFD circulation
pipe. Tujuan dari pengaturan pH ini adalah memastikan fasa ammonium
yang didalam limbah berubah menjadi fasa gas ammonia terlarut sesuai
dengan reaksi berikut:
(4.3)
Kontrol terhadap besaran caustic soda yang diinjeksikan sangat
bergantung pada akurasi dari pembacaan online pH meter, sehingga apabila
pembacaan tidak akurat maka kesetimbangan reaksi diatas tidak dapat terjadi.
Secara sederhana alur operasional proses injeksi caustic soda pada WWFD dapat dilihat
pada gambar 2
berikut:
Gambar 2. Alur Proses Injeksi Caustic Soda di
Feed Pre-Adjust Systems
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan impurities dalam limbah
seperti NaCl, NaSO4 akan berikatan secara kuat dengan soluble
ammonia yang akan mengalami proses distilasi di R-CAST skid.
Sehingga akan ada kenaikan impurities di recovered ammonia yang
bisa melebihi batas dan menyebabkan hasil produksi ammonia cair tidak
dapat digunakan kembali di proses siklus kimia Unit 7&8.
Hasil analisa FTA untuk problem tersebut dapat dilihat pada gambar 3
berikut:
Gambar 3. Diagram FTA Inaccurate
pH Reading
Dari hasil analisa FTA sesuai gambar 3
diatas diperoleh 4 minimum cut-set (MCS) yang menjadi kemudian
menjadi basic event yaitu {E3},{E4},{35},{E1,E2}. Risk control
options yang dapat digunakan untuk basic event tersebut sebagai
berikut:
1)
Sambungan
elektronik yang kurang rapat pada pH probe dapat diatasi dengan
melakukan pengencangan ulang pada koneksi kabel, jika nantinya problem tersebut
masih terjadi kembali maka dapat diatasi dengan penggantian kabel set yang
digunakan dengan ukuran yang lebih panjang kemudian ditempatkan dalam conduit
yang lebih kuat dan melindungi kabel dari gangguan fisik yang mungkin
terjadi (engineering control).
2)
Kegagalan
proses kalibrasi dan kemungkinan perawatan yang kurang dapat diatasi dengan
memastikan bahwa proses kalibrasi dilakukan secara sistematis (terjadwal dan
termonitor melalui CMMS) dan dilaksanakan dengan merujuk pada buku
manual yang disediakan pabrikan (administrative control).
3)
pH probe yang tidak terendam
dalam larutan ketika ARP shutdown dapat diatasi dengan modifikasi connection
port dari pH probe ke pipa circulation line. Dari yang semula
terpasang langsung pada pipa, maka akan dirubah dengan fabrikasi probe
canister yang berfungsi sebagai tempat dimana probe akan dipasang. Gambaran
sederhana rancangan instalasi dapat dilihat pada gambar 4 berikut:
Gambar
4. Rancangan Instalasi Probe
pH di WWFD Circulation Line
1)
Dengan
instalasi yang baru tersebut diharapkan meskipun ARP dalam kondisi shutdown
maka probe akan tetap terendam larutan sehingga mencegah elektroda
menjadi kering dan kemudian rusak (engineering control).
2)
Kondisi operasional yang tidak tercover dengan
lengkap pada operating procedure dapat diatasi dengan melakukan review
ulang seluruh prosedur terkait operasional ARP dan dilakukan penambahan langkah
mitigasi operasional untuk kondisi – kondisi yang dapat terjadi ketika ARP
shutdown (administrative control).
Seperti yang dijelaskan pada bagian proses pengkondisian limbah pada Feed
Pre-Adjust systems
dilakukan secara otomatis. Sehingga berbagai valve yang berkaitan
langsung dengan proses pengkondisian juga akan bekerja dengan cara yang sama. Namun kondisi operasional
ARP yang beberapa kali shutdown karena berbagai masalah menyebabkan valve tersebut dalam kondisi standby (tidak bekerja) sehingga kondisi komponen dari valve tersebut akhirnya mengalami degradasi dan berpengaruh langsung pada kinerja valve,
sedangkan secara desain ARP beroperasi selama 8 jam perhari. Hasil analisa FTA untuk mode kegagalan tersebut dapat dilihat pada gambar 5 berikut:
Gambar 5. Diagram FTA Feed
Pre-Adjust Valve Leaks
Dari
analisa FTA diatas diperoleh 4 MCS yaitu {E3},{E4},{35}, {E1,E2},{E7,E8}. Risk control options
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Valve yang lama tidak
beroperasi dapat mengalami degradasi pada komponen, terutama pada sealing
systems yang berfungsi untuk menahan debris/dust dari luar masuk
kedalam body actuator dan menyebabkan kerusakan pada komponen penting
lain seperti pilot nozzle, positioner, spring, bearing, dan sebagainya.
Penampang detail dari valve actuator dapat dilihat pada gambar
6 berikut:
Gambar 6. Detail komponen pada valve actuator (pneumatic)
Selain
itu, kondisi lingkungan yang rentan adanya bahan/uap kimia juga dapat
menyebabkan kerusakan yang sama. Solusi yang dapat diterapkan pada mode
kegagalan diatas dengan melakukan individual skid operations pada saat
ARP shutdown dengan tujuan valve yang bekerja pada saat skid
aktif dapat beroperasi dengan normal sehingga terhindar dari kerusakan. Selain
itu dapat ditambahkan juga valve-valve lain yang bisa dijalankan secara
manual menggunakan valve solenoid untuk menjadi item routine
preventive maintenance pada ARP systems (administrative control)
2)
Selain
kerusakan yang terjadi pada actuator, pada body valve sendiri
juga terdapat kerusakan yang disebabkan oleh rubber lining yang getas
karena kondisi lingkungan, serta kerusakan yang diakibatkan tetesan dari jalur caustic
soda karena terjadinya buntu pada injection quill (nozzle) sehingga
muncul rembesan pada koneksi nozzle tersebut dan menetes pada body
valve. Solusi yang dapat diambil untuk kegagalan tersebut adalah melakukan
inspeksi dan pengecekan berkala pada valve terkait kondisi fisiknya,
serta pengecekan pada jalur caustic soda injection sehingga dipastikan
terhindar dari kebocoran yang diakibatkan over pressure karena injection
quill yang buntu (administrative control).
3) Pada saat shutdown,
air limbah yang akan secara proses normal dikondisikan sebelum diolah, mengisi
seluruh pipeline pada feed pre-adjust system. Limbah tersebut
memiliki nilai pH <6 (asam), sehingga ketika air tersebut berdiam pada waktu
lama dapat menyebabkan degradasi pada bahan-bahan yang kurang resisten terhadap
paparan kondisi asam dalam waktu lama. Salah satu komponen yang teridentifikasi
pada FTA ini adalah flexible joint (sambungan fleksibel antar dua equipment
flange) yang berbahan karet sintetis. Solusi yang dapat diterapkan adalah
dengan mengganti sistem flexible joint dengan fabrikasi rigid flange
connection menggunakan bahan PVC (Polyvinyl Chloride) yang lebih
resisten terhadap bahan kimia anorganik dengan berbagai kondisi pH. Modifikasi
ini telah dilakukan selama proses penelitian dan hasil instalasi dapat dilihat
pada gambar 7
berikut (subtitution control):
Gambar 7. Ilustrasi pvc connection flange yang digunakan
Sebuah proses yang melibatkan cairan limbah kimia serta proses penambahan
bahan kimia lain dengan konsentrasi tinggi dan bersifat korosif tentunya
memiliki risiko tinggi untuk terjadinya kebocoran pada jalur perpipaan nya.
Masalah tersebut juga terjadi pada ARP terutama pada feed pre-adjust systems,
dimana beberapa kali problem tersebut terjadi dan menyebabkan ARP harus
shutdown untuk perbaikan kebocoran baik berupa penambalan, re-coating hingga
penggantian sambungan antar pipa. Hasil analisa FTA untuk risiko kritikal
tersebut dapat dilihat pada gambar 8 berikut:
Gambar 8. Diagram FTA WWFD Pipeline leak
Dari diagram FTA diatas diperoleh 7 MCS yaitu
{E2},{E6},{E7},{E8},{E9},{E1},{E3,E4,E5}. Risk control options yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Basic
event
awal yang teridentifikasi langsung adalah terjadinya kebocoran pada welding
(pengelasan) pada sambungan pipa. Hasil dari laporan perbaikan yang ada pada
CMMS menunjukkan bahwa kualitas pengelasan pada ARP systems banyak yang
kurang baik, sedangkan kondisi ini terjadi setelah sistem beroperasi lebih dari
masa garansi yang diberikan pabrikan, sehingga perbaikan harus dilakukan oleh
internal PT. POMI sendiri. Solusi yang diambil yaitu melakukan pengelasan ulang
(rewelding) pada titik pengelasan yang bermasalah dengan menggunakan
metode SMAW (Shield Metal Arc Welding), kemudian dilakukan penetrant
test dan bump test untuk memastikan hasil pengelasan optimal.
Kemudian pada tiap joint connection yang memiliki risiko untuk mengalami
kebocoran dilakukan coating menggunakan cat coating logam
berbahan polyurethane atau epoxy phenolic untuk mencegah korosi
dan memberi daya tahan dari perubahan kondisi lingkungan (engineering
control).
2)
Korosi
yang terjadi pada perpipaan juga menyebabkan kebocoran. Sebagian besar kondisi
korosi terjadi karena kondisi lingkungan maupun kebocoran bahan kimia dari
proses kegagalan sebelumnya. Sedangkan bahan kimia yang digunakan bersifat
korosif sehingga mempercepat terjadinya korosi. Kondisi tersebut diperparah
dengan proses flushing bekas kebocoran dengan tidak benar dan tuntas. Flushing
hanya dilakukan secukupnya tanpa memastikan bahwa semua bocoran bahan kimia
telah dibersihkan dengan tuntas, dan hanya menggunakan potable water
(yang memiliki kandungan chlorine meskipun jumlah rendah). Solusi yang
dapat dilakukan adalah mengganti penggunaan potable water untuk proses
flushing pada saat terjadi kebocoran bahan kimia dengan demin water yang
tidak memiliki kandungan bahan kimia yang memperparah korosi (subtitution
control). Kemudian pada perpipaan yang memiliki potensi korosi selain
penggunaan insulator untuk proteksi dari kondisi perubahan suhu
eksternal seperti yang dapat dilihat pada gambar 9 berikut:
Gambar 9. Perpipaan yang dilengkapi insulator
Maka sebaiknya
dilakukan re-coating pada perpipaan
tersebut menggunakan bahan cat coating logam berbahan polyurethane atau
epoxy phenolic (engineering control).
3)
Terjadinya
kebuntuan pada chemical injection quill dari hasil penelitian lebih
banyak disebabkan oleh aspek operasional. Dimana tidak adanya inspeksi atau line
pressure test setelah ARP mengalami long-term shutdown sehingga
ketika ARP dijalankan maka jalur menuju titik injeksi mengalami buntu.
Ilustrasi aplikasi injection quill paada perpipaan dapat dilihat pada
gambar 10
berikut:
Gambar 10. Ilustrasi aplikasi injection quill pada perpipaan
Kondisi tersebut
secara langsung juga menyebabkan terjadinya pompa injeksi bahan
kimia yang mengalami pressure
tinggi. Solusi yang dapat diambil adalah melakukan injection line inspection maupun bump test sebelum
ARP dijalankan setelah long-term
shutdown (administrative control)
4)
Disisi
lain, terjadinya pompa injeksi yang mengalami pressure tinggi juga
disebabkan oleh adanya pembacaan yang keliru dari pH probe transmitter sehingga
ketika pH terbaca lebih rendah dari setpoint maka pompa akan terus
bekerja mengikuti variabel target pH. Ketika target tidak terpenuhi
juga, maka solusi lain dilakukan adalah merubah setting frekuensi dan stroke
injeksi pompa lebih tinggi dari standard sehingga pompa bekerja lebih
keras dari kondisi normal. Solusi dari hal tersebut adalah melakukan verifikasi
dan kalibrasi ulang terhadap seluruh pH transmitter yang terkoneksi
dengan pompa injeksi bahan kimia sebelum ARP startup, sehingga
dipastikan proses dapat berjalan dengan sesuai tanpa adanya kesalahan pembacaan
transmitter.
5)
Berbagai
kondisi yang menyebabkan terjadinya kegagalan setelah long-term shutdown
tersebut akan dimasukkan dalam prosedur PCS (pre-start check sheet)
sehingga mempermudah operator dalam memastikan persiapan sebelum proses startup
ARP (administrative control).
Pada proses
chemical injection di ARP system, selain penggunaan caustic
soda sebagai pengatur pH, sulfuric acid juga digunakan pada membrane
concentrator skid sebagai pengatur pH dengan target <2.0. Tujuan dari
pengaturan pH ini untuk memastikan gas ammonia yang dipisahkan pada
proses membrane contactor berubah menjadi larutan ammonium sulfate dengan
reaksi sebagai berikut:
(4.4)
Sehingga
ammonia berada dalam fasa stabil untuk kemudian dikembalikan ke ARP
feed tank untuk diolah kembali. Gambaran sederhana proses yang terjadi pada
membrane concentrator system dapat dilihat pada gambar 11
berikut:
Gambar 11. Diagram sederhana proses membrane
concentrator system
Sehingga kegagalan proses injeksi sulfuric acid akan menyebabkan
proses pengentalan ammonium sulfate tidak dapat berlangsung optimal dan ammonia
ikut terbawa pada outlet membrane yang merupakan titik terakhir dari
proses ARP. Dimana pada titik ini ammonia dijaga dengan konsentrasi
dibawah 50 ppm sesuai dengan PERTEK-Air yang ditetapkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup. Hasil analisa FTA yang dilakukan pada kegagalan operasi ini
dapat dilihat pada gambar 12
berikut:
Gambar 12. Diagram FTA acid
injection failure
Dari hasil analisa FTA diatas diperoleh 5 MCS yaitu
{E1},{E2},{E3},{E5},{E6,E7}. Risk control options yang dapat digunakan
untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Pada
permasalahan pump injection low speed, ditemukan basic event dari
penelusuran laporan pada CMMS adanya kesalahan pengaturan setting, sehingga
pompa tidak bekerja sesuai dengan settingan awal yaitu 4-20 mA. Kondisi ini
menyebabkan pompa bekerja dibawah kemampuan optimalnya dan proses pengaturan pH
menjadi lebih lambat karena distribusi sulfuric acid lebih rendah. Dari
data CMMS juga ditemukan bahwa inverter dalam kondisi rusak sehingga
harus dilakukan penggantian pompa. Solusi yang dapat diterapkan adalah
pemasangan tagging tambah berisi setting default inverter dan stroke pada
setiap pompa yang memiliki VFD sehingga kesalahan setting oleh operator
dapat dihindari (administrative control).
2)
Solusi
untuk kerusakan pada head pump discharge yang retak adalah dengan melakukan
penggantian head pump yang baru, atau jika hasil investigasi performa pompa
kurang optimal maka dilakukan penggantian jenis metering pump dengan output
setting yang lebih tinggi (subtitution control). Adanya kerusakan
pada head pump yang mengakibatkan kebocoran sulfuric acid ini
harus menjadi perhatian bagi operator untuk menggunakan PPE (personal
protective equipment) yang sesuai dengan bahan kimia tersebut pada saat
bekerja dengan peralatan terkait. Meskipun secara sistem di local telah
dilengkapi dengan chemical resistance curtain untuk mencegah kebocoran
menyebar ke area sekitar (PPE control).
3) Hasil penelusuran data
CMMS pada permasalahan power loss, ditemukan bahwa yang menjadi penyebab
adalah kesalahan pemasangan electrical contactor yang berfungsi
memberikan perintah kepada pompa. Ketika pompa yang seharusnya bekerja pada
saat CPA-P-560 (membrane contactor pump) aktif menjadi tidak bekerja
karena permissive command terpasang pada membrane concentaror pump
CPA-P-480, kesalahan ini terjadi setelah penggantian VFD sulfuric acid pump.
Solusi dari permasalahan yang terjadi karena human error ini adalah
memastikan electrical drawing digunakan sebagai referensi saat bekerja
sehingga kesalahan pemasangan dapat dihindari di kemudian hari. Selain itu juga
setiap technical drawing sebaiknya harus dilakukan review setiap 5 tahun
sekali untuk memastikan segala perubahan pada sistem terdata dengan baik (administrative
control).
Dari
hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan pada BAB IV, maka
diperoleh berbagai data terkait risiko operasional Ammonia Recovery Plant
(ARP) di PLTU Paiton dengan menggunakan metode RFMEA dan FTA. Kesimpulan yang
dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut:
1)
ARP
berperan dalam operasional PLTU Paiton terutama pada pengolahan air limbah
operasional yang memiliki kadar ammonia tinggi, sehingga utilitas sub-system
ini penting bagi perusahaan dalam memenuhi kepatuhan terhadap peraturan
pemerintah terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan dari operasi PLTU.
2)
Dari
hasil identifikasi ditemukan 34 mode kegagalan yang terjadi di ARP, kemudian
dilakukan analisa dengan metode RFMEA dan diperoleh 4 mode kegagalan yang masuk
dalam kategori kritikal yaitu innacurate pH reading, valve leaks, WWFD
pipeline leaks pada Feed Pre-Adjust Systems dan acid injection
failure pada Chemical Injection Systems.
3)
Kemudian
untuk menentukan basic event dari 4 risiko kritikal tersebut digunakan
metode FTA. Dengan hasil analisa metode FTA yaitu innacurate pH reading disebabkan
oleh sambungan elektronik yang kurang rapat pada pH probe, kegagalan
proses kalibrasi, kurangnya perawatan berkala, pH probe yang tidak
terendam larutan ketika shutdown, dan kondisi operasional yang tidak tercover
pada operating procedure. Valve Leak pada Feed Pre-Adjust
systems disebabkan oleh sealing systems rusak, tidak beroperasi
dalam waktu lama, postitioner pada valve actuator rusak, flexible
joint material terdegradasi, material tidak sesuai untuk limbah kimia,
kerusakan rubber lining, injection quill buntu dan jalur caustic soda
bocor. WWFD Pipeline leak pada Feed Pre-Adjust systems disebabkan
oleh kebocoran pengelasan sambungan pipa, korosi pada perpipaan dan tidak ada
material untuk proteksi, proses flushing kebocoran yang tidak tuntas dan
menggunakan potable water, tidak adanya inspeksi pada jalur perpipaan
setelah long-term shutdown, kalibrasi pH probe gagal atau probe
mengalami kerusakan, perubahan setting stroke pompa. Acid Injection
Failure pada Chemical Injection systems disebabkan oleh kesalahan
pengaturan setting pompa, inverter rusak, head pump discharge
rusak, kesalahan pemasangan electrical contactor.
4)
Dari
basic event yang diperoleh kemudian disusun risk control options antara
lain; Solusi untuk innacurate pH reading yaitu penggantian kabel
set dan penambahan conduit, proses kalibrasi sistemastis, modifikasi probe
canister, review procedure. Valve Leak pada Feed
Pre-Adjust systems diatasi dengan individual skid operations, inspeksi
berkala pada valve dan jalur caustic soda, penggantian flexible joint dengan
rigid flange dari bahan PVC. WWFD Pipeline leak pada Feed Pre-Adjust
systems dapat diatasi dengan rewelding dengan metode SMAW, coating
dengan bahan PU dan epoxy phenolic, flushing dengan demin
water, re-coating perpipaan dengan bahan PU dan epoxy phenolic,
injection line inspection dan bump test, kalibrasi ulang pH
meter, revisi PCS. Acid Injection Failure pada Chemical Injection
systems dapat diatasi dengan pembuatan tangging setting default inverter
dan stroke pompa, penggantian head pump baru atau pompa dengan
kapasitas lebih besar, penggunaan PPE, review technical drawing setiap
5 tahun sekali.
Berg,
H.-P. (2010). Risk management: procedures, methods and experiences. Reliability:
Theory & Applications, 5(2 (17)), 79–95.
Coleman, T. S. (2012). Quantitative risk management: a
practical guide to financial risk. John Wiley & Sons.
Dytha, B. W., & Taufik, T. A. (2022). Risk Analysis using
Risk Failure Mode and Effect in Implementation of Integrated Digital Reporting
with Power Bi Dashboard. Jurnal Teknobisnis, 8(2), 32–43.
Firdaus, I. A., & Irawan, I. (2017). Manajemen Risiko
Operasional Onshore Processing Facility Dengan Menggunakan Risk Failure Mode
And Effect Analysis Dan Fault Tree Analysis (Doctoral dissertation, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember).
Freeman, R. A. (1990). CCPS guidelines for chemical process
quantitative risk analysis. Plant/Operations Progress, 9(4),
231–235.
George, C. (2020). The essence of risk identification in
project risk management: An overview. International Journal of Science and
Research (IJSR), 9(2), 1553–1557.
Kementerian LHK Republik Indonesia. (2009). Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.08 - 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha Dan/Atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Kementerian LHK
Republik Indonesia, Jakarta.
Mirboroon, L., & Razavi, H. (2020). A case study of risk
management of automotive industry projects using RFMEA method. Mapta Journal
of Mechanical and Industrial Engineering (MJMIE), 4(1), 42–50.
Mutlu, N. G., & Altuntas, S. (2019). Risk analysis for
occupational safety and health in the textile industry: Integration of FMEA,
FTA, and BIFPET methods. International Journal of Industrial Ergonomics,
72, 222–240.
Nugroho, M. J., Bahartyan, E., Raymond, R., Hidayat, B.,
& Irawan, M. I. (2021). Root cause analysis of fires in coal power plants
using RFMEA methods. IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering, 1096(1), 12100.
Purwanggono, B., & Margarette, A. (2017). Risk assessment
of underpass infrastructure project based on IS0 31000 and ISO 21500 using
fishbone diagram and RFMEA (project risk failure mode and effects analysis)
method. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 277(1),
12039.
Srinivas, K. (2019). Process of risk management. In Perspectives
on Risk, Assessment and Management Paradigms. IntechOpen.
Surange, V. G., & Bokade, S. U. (2022). Critical Risk
Factors In The Industrial Sector: A Review.
Van Sciver, G. R. (1990). Quantitative risk analysis in the
chemical process industry. Reliability Engineering & System Safety, 29(1),
55–68.
Vesely, W. E., Goldberg, F. F., Roberts, N. H., & Haasl,
D. F. (1981). Fault Tree Handbook, US Nuclear Regulatory Commission, Rep. NUREG-0492,
Jan, 397.
Yang, X., Duke, M., & Zhang, J. (2019). Modeling of heat
and mass transfer in vacuum membrane distillation for ammonia separation. Separation
and Purification Technology, 224, 121–131.
Copyright
holder: Rieza Pahlevi,
A. A. B. Dinariyana Dwi P. (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |