Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

MANAJEMEN RISIKO OPERASIONAL AMMONIA RECOVERY PLANT DI PLTU PAITON DENGAN MENGGUNAKAN METODE RISK FAILURE MODE & EFFECT ANALYSIS DAN FAULT TREE ANALYSIS

 

Rieza Pahlevi1, A. A. B. Dinariyana Dwi P. 2

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia1,2

Email: [email protected]1

 

Abstrak

Dalam industri pembangkitan listrik, kepatuhan terhadap regulasi lingkungan terkait kualitas buangan air limbah sangat penting, khususnya parameter ammonia. Fasilitas Ammonia Recovery Plant (ARP) di PLTU Paiton berfungsi sebagai tahap pengolahan intermediate dari Wastewater Treatment Plant (WWTP) untuk mengatasi air limbah dengan kandungan ammonia tinggi. Kegagalan operasional ARP dapat mempengaruhi kualitas effluent dari WWTP, yang dipantau sesuai dumping permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Dari 2020 hingga 2023, tercatat 79 fault work order untuk memperbaiki masalah dalam sistem ARP di sistem MAXIMO CMMS, beberapa di antaranya menyebabkan ARP tidak beroperasi lebih dari 1 bulan. Masalah utama adalah kurangnya suku cadang akibat kerusakan berulang pada peralatan yang sama. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi risiko kritis kegagalan operasional ARP dan menentukan solusi pencegahannya. Proses penelitian diawali dengan identifikasi risiko kegagalan operasional menggunakan metode Risk Failure Modes and Effects Analysis (RFMEA), yang menyederhanakan pencarian penyebab kegagalan operasional berdasarkan kriteria penilaian sehingga dapat dilakukan seleksi kegagalan operasional yang pernah terjadi (risk mapping). Analisa dilanjutkan dengan metode Fault Tree Analysis (FTA) untuk menentukan basic event dari kegagalan operasional tersebut. Sebanyak 34 mode kegagalan diidentifikasi, dan dari analisa RFMEA diperoleh 4 mode kegagalan kritis: Innacurate pH reading, Valve Leaks, WWFD pipeline leaks pada Feed Pre-Adjust Systems, dan acid injection failure pada Chemical Injection Systems. Risiko kritis ini kemudian dianalisis menggunakan FTA untuk menentukan basic event dan langkah mitigasi risiko dalam bentuk risk control options (RCO). Diharapkan mitigasi risiko yang lebih baik dapat mengurangi atau menghindari kerugian dari kegagalan operasional pabrik di masa depan, sebagai bagian dari penerapan manajemen risiko yang efektif.

Kata Kunci: Manajemen Risiko, Ammonia Recovery Plant, RFMEA, FTA, Risk Control Options.

 

Abstract

In the power generation industry, compliance with environmental regulations regarding wastewater discharge quality is crucial, particularly concerning ammonia parameters. The Ammonia Recovery Plant (ARP) at the Paiton Power Plant serves as an intermediate treatment stage for the Wastewater Treatment Plant (WWTP) to manage wastewater with high ammonia content. Operational failures of the ARP can negatively impact the effluent quality from the WWTP, which is monitored according to the dumping permit from the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) of the Republic of Indonesia. From 2020 to 2023, 80 fault work orders were recorded in the MAXIMO CMMS system to fix issues in the ARP system, some of which caused the ARP to be non-operational for more than a month. One of the main issues was the lack of spare parts due to repeated failures of the same operational equipment. This forms the basis for this study, which aims to identify critical risks of ARP operational failures and determine solutions to prevent their recurrence. The research process began with identifying operational failure risks using the Risk Failure Modes and Effects Analysis (RFMEA) method. This method simplifies the process of finding the causes of operational failures based on required assessment criteria, allowing for the selection of past operational failures (risk mapping). This was followed by analysis using the Fault Tree Analysis (FTA) method to identify the basic events from the selected operational failures. A total of 34 failure modes were identified, and RFMEA analysis revealed 4 critical failure modes: inaccurate pH reading, valve leaks, WWFD pipeline leaks in the Feed Pre-Adjust Systems, and acid injection failure in the Chemical Injection Systems. These critical risks were then analyzed using FTA to determine the basic events and develop risk control options (RCO) to mitigate the risks of operational failures. Better risk mitigation is expected to reduce or even prevent losses from operational failures of the plant in the future, as part of effective risk management implementation.

Keywords: Risk Management, Ammonia Recovery Plant, RFMEA, FTA, Risk Control Options.

 

Pendahuluan

Dalam proses industri pembangkitan listrik, kualitas buangan air limbah menjadi salah satu poin kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan pemerintah terkait dampak terhadap lingkungan, baik air limbah tersebut merupakan buangan sisa proses maupun bagian dari auxliary system yang harus dibuang ke lingkungan (Kementerian LHK Republik Indonesia, 2009). PT. Paiton Energy (PTPE) sebagai owner dari PLTU Paiton Unit 3,7 dan 8 senantiasa menjalankan proses bisnis yang berpedoman pada peraturan dan perundangan yang berlaku di Republik Indonesia dalam segala aspek termasuk kepatuhan lingkungan (environmental compliance). Dalam operasional pembangkitannya, PTPE menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada PT. Paiton O&M Indonesia (POMI) sebagai perusahaan O&M (operation & maintenance) yang menjalankan operasional pembangkitan serta memastikan segala aspek kepatuhan yang terkait dipatuhi dengan baik sehingga operasional bisnis berjalan dengan lancar.

Salah satu parameter kimia yang menjadi bagian dari pengamatan buangan air limbah yang ditetapkan untuk fasilitas Wastewater Treatment Plant (WWTP) PLTU Paiton Unit 3,7 dan 8 adalah ammonia. Menyadari kondisi tersebut maka dilakukan pembangunan fasilitas Ammonia Recovery Plant (ARP) di PLTU Paiton berfungsi sebagai intermediate treatment dari fasilitas WWTP yang digunakan untuk mengolah air limbah dari proses pembangkitan listrik dengan kadar ammonia tinggi, mengingat sistem WWTP sendiri tidak didesain bisa digunakan untuk mengolah limbah dengan parameter kimia tersebut.

Kondisi operasi ideal dari sistem tersebut adalah dapat beroperasi sesuai dengan desain yang ditetapkan yaitu minimal 8 jam per hari, dengan berhenti beroperasi apabila dilakukan perawatan yang terjadwal secara sistematis pada software IBM® MAXIMO Computerized Maintenance Management Systems (MAXIMO), yang digunakan didalam internal POMI untuk melakukan manajemen pemeliharaan terhadap semua aset operasional pembangkitan di PLTU Paiton Unit 3, 7 dan 8. Namun dalam realita di lapangan seringkali ARP mengalami kegagalan operasional yang tidak diharapkan. Selama kurun waktu 2020 – 2023 ada 80 fault work order untuk perbaikan berbagai masalah pada sistem tersebut yang tercatat di MAXIMO. Beberapa diantaranya bahkan menyebabkan ARP tidak beroperasi dalam jangka waktu lebih dari 1 bulan. Salah satu penyebab utama dari masalah tersebut adalah spare parts yang tidak tersedia akibat dari kerusakan berulang yang terjadi pada peralatan operasional yang sama (George, 2020; Mirboroon & Razavi, 2020).

Kegagalan operasional tersebut tentunya berpengaruh secara langsung terhadap kualitas dari effluent WWTP yang merupakan salah satu titik pantau buangan air limbah perusahaan. Sesuai dengan dumping permit yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Kondisi tersebut tentunya berpengaruh secara langsung terhadap persepsi publik maupun stake holder terkait komitmen perusahaan terhadap environmental compliance, dan bagaimana penanganan terhadap dampak operasional perusahaan ke lingkungan (Nugroho et al., 2021; Srinivas, 2019).

Keuntungan dari penggunaaan metode ini adalah fokus dari Analisa lebih kepada kejadian yang memberikan jumlah kerugian yang besar kemudian dikembangkan risk control option (RCO) untuk menghindari kerugian lebih besar di kemudian hari (Firdaus & Irawan, 2017). Didalam proses RFMEA critical risk score & critical risk value akan menjadi dua variabel yang dilakukan deduksi menggunakan scatter diagram untuk memilih mana yang memiliki risiko paling tinggi dan mendesak untuk segera dilakukan penanganan, sehingga dapat memudahkan manajemen untuk melakukan pengaturan terkait finansial maupun faktor operasional yang lain. Namun disisi lain penyusunan RCO sebagai langkah evaluasi maupun mitigasi tentunya membutuhkan analisa yang lebih mendalam terkait apa sebenarnya penyebab dari risiko kritikal operasi yang telah diperoleh dari analisa menggunakan metode RFMEA, agar RCO yang disusun tepat saran dan efektif. Kurang komprehensif nya metode RFMEA ini dapat dilihat pada penelitian Purwanggono dan Margarette (2017) yang menggunakan RFMEA sebagai metode penilaian risiko terhadap proyek infrastruktur underpass. Dimana setelah proses RFMEA dan risiko kritikal diperoleh, kesimpulan yang kemudian diambil hanya pada perubahan SOP (Standard Operating Procedure) saja. Sedangkan dalam penerapan analisa risiko pada sistem industri yang kompleks maka dibutuhkan analisa yang lebih komprehensif untuk memperoleh penyebab utama dari failure mode yang dihasilkan dari analisa RFMEA. Sehingga keputusan terkait RCO yang diambil kemudian adalah yang paling sesuai diterapkan (Freeman, 1990; Surange & Bokade, 2022).

 Untuk mengakomodasi kekurangan tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan proses analisa tambahan yaitu metode Fault Tree Analysis (FTA). Metode FTA digunakan untuk menganalisis, menilai, dan mengilustrasikan secara grafik aliran hirarkis dari insiden atau situasi potensial yang dapat berdampak negatif terhadap keandalan dan kegunaan sistem sehingga dapat ditentukan penanganan preventif dari risiko yang terjadi (Mutlu & Altuntas, 2019). Hasil dari analisa FTA memberikan gambaran secara lebih detail mengenai sumber masalah dari risiko kritikal (TOP Event) yang terjadi, yang kemudian dilakukan proses deduksi menggunakan bagan detail yang bertujuan memunculkan  basic event dari sebuah fault. Basic event sendiri merupakan batas akhir dari proses deduktif bagan FTA yang menunjukkan penyebab utama terjadinya TOP Event tersebut (Dytha & Taufik, 2022; Vesely et al., 1981).

Penggunaan kedua metode tersebut juga sejalan dengan tujuan kuantifikasi risiko (Quantitative Risk Analysis/QRA) sebagai bentuk dari penerapan manajemen risiko. Dimana penerapan tersebut jamak digunakan pada pabrik kimia untuk membantu mencegah peristiwa yang berpotensi menyebabkan terjadinya kegagalan proses (Berg, 2010; Coleman, 2012). Dengan tahapan mengidentifikasi area-area di mana operasi, teknik, atau sistem manajemen dapat dimodifikasi untuk mengurangi risiko dengan cara yang paling efisien. Tujuan utamanya adalah menyusun tindakan pengelolaan yang tepat berdasarkan perolehan hasil studi dan memastikan fasilitas yang menangani bahan kimia berbahaya dioperasikan secara aman (Freeman, 1990; Yang et al., 2019).

Namun dikarenakan kompleksitas dari proses kimia yang dijalankan maupun sumber daya finansial yang dibutuhkan cukup tinggi, maka diperlukan penyusunan berdasarkan prioritas dari risiko yang berhasil dinilai. Hal ini untuk menghindari ketidaksesuaian penerapan manajemen risiko pada peralatan yang memiliki risiko lebih rendah dibandingkan yang memiliki nilai risiko lebih tinggi (Van Sciver, 1990). Sehingga, tujuan penelitian adalah;

1)   Melakukan Identifikasi risiko kritikal operasional Ammonia Recovery Plant di PLTU Paiton (Risk Mapping) beserta dengan level dari risiko tersebut menggunakan metoda RFMEA. Hasil identifikasi tersebut kemudian dilakukan penentuan ranking risiko berdasarkan perhitungan RPN (Risk Priority Number) yang dikombinasi dengan perhitungan Risk Score untuk menentukan risiko yang bersifat kritikal.

2)   Melakukan Identifikasi penyebab dari risiko kritikal yang tervalidasi dengan RFMEA dalam bentuk basic event dengan menggunakan metoda FTA.

3)   Menyusun Risk Control Option (RCO) terhadap penyebab risiko kritikal yang terindentifikasi, kemudian dilakukan validasi bersama dengan manajemen perusahaan sebagai dasar untuk pencegahan terhadap kegagalan operasional kembali di masa depan.

 

Metode Penelitian

Data primer dan sekunder adalah dua jenis data yang akan dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini. Data primer adalah informasi yang dikumpulkan langsung oleh peneliti dari sumber utama di lapangan. Untuk tujuan penelitian ini, data primer termasuk wawancara dan kuesioner dengan karyawan dan staf yang bertanggung jawab untuk menjalankan ARP di PLTU Paiton. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari internal review agar diperoleh masukan terkait variabel risiko yang bisa diambil untuk penelitian ini.

 

Identifikasi Kegagalan Operasi / Risk Event

Data lapangan akan digunakan untuk membuat variabel penelitian yang berfokus pada risiko operasional, dan berupa jenis kegagalan operasional yang pernah terjadi selama periode penelitian. Variabel-variabel ini akan diklasifikasikan menurut kategori subsistem yang ada pada ARP.

Setelah berbagai jenis mode kegagalan operasional telah ditemukan dari informasi yang dikumpulkan. Kemudian untuk memahami hubungan dan urutan mode kegagalan yang terkait dengan kegagalan operasional unit, mode mode kegagalan ini akan diklasifikasikan sebagai variabel yang akan dievaluasi untuk menentukan variabel mana yang merupakan risiko kritis.

Berikut ini adalah daftar kategori variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, yang mengikuti daftar peralatan utama dalam subsistem yang terdapat dalam ARP.

1)    Kegagalan pada feed pre-adjust system.

2)    Kegagalan pada RCAST system.

3)    Kegagalan pada Ammonum Hydroxide recovery system.

4)    Kegagalan pada membrane contactor system.

5)    Kegagalan pada membrane concentrator system.

6)    Kegagalan pada process cooling system.

7)    Kegagalan pada process heating system.

8)    Kegagalan pada chemical injection system.

9)    Kegagalan pada aqueous ammonia storage tank system.

10) Kegagalan pada programmable logic controller system.

11) Kegagalan pada power supply system.

 

Pemberian Nilai

Pada langkah ini, diberikan tiga nilai yang esensial. Pertama, nilai Occurrence / Likelihood yang bergantung pada seberapa sering mode kegagalan tertentu terjadi. Kedua, nilai Severity / Impact yang mencerminkan sejauh mana dampak dari mode kegagalan tersebut. Terakhir, nilai Detection yang mengindikasikan sejauh mana tingkat kemudahan dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya mode kegagalan. Semua nilai-nilai ini akan diperoleh melalui data lapangan, hasil wawancara, dan juga kuesioner.

 

Pengolahan dan Analisa Data

Dari data yang berisikan nilai Occurrence, Severity, Detection tersebut kemudian digunakan sebagai poin untuk perhitungan Risk score dan Risk priority Number (RPN) menggunakan perhitungan berikut:

 

                                                                                                                  (3.1)

 

Dimana :

S : Severity Rating

O : Occurrence Rating

D : Detection Rating

 

Sedangkan Risk score diperoleh dari perkalian Severity dan Occurrence. Dari data kalkulasi tersebut kemudian dilakukan pareto analysis untuk mengetahui risiko mana saja yang nilainya melebihi critical value. Dimana critical value diperoleh dari kalkulasi:

                                                                                             (3.2)

Risiko yang memiliki nilai RPN melebihi critical value kemudian dilakukan analisa perbandingan risk score dan RPN menggunakan scatter plot diagram. Nilai yang paling penting dari kedua diagram Pareto tersebut diidentifikasi, dan kemudian dicari titik pertemuan dari nilai kritikal ini di dalam Scatter plot. Dari proses tersebut diperoleh critical risk event dari operasional ARP yang membutuhkan mitigasi lebih lanjut untuk pengendalian risiko tersebut.

 

Penyusunan Mitigasi Risiko

Dari hasil analisa diatas kemudian dilakukan penyebab kejadian dari risiko kritikal yang berhasil diperoleh dengan menggunakan metode Fault Tree Analysis. Setelah penyebab kejadian (basic event) diperoleh kemudian disusun risk control options yang berisi berbagai metode yang dapat digunakan sebagai mitigasi terhadap risiko yang diperoleh agar tidak terjadi masalah serupa di masa depan.

Fault Tree Analysis akan diawali dengan penyusunan model grafis FTA untuk memperoleh gambaran detail dari penyebab kegagalan dari critical risk event yang dianalisa. Setelah membuat model grafis, langkah selanjutnya adalah menganalisa Fault Tree secara kualitatif dengan menggunakan Aljabar Boolean. Tujuannya adalah minimal cut set yaitu basic event (kejadian dasar) yang bila terjadi akan mengakibatkan terjadinya Top event. Suatu cut set dianggap sebagai minimal jika tidak dapat disederhanakan tanpa menghilangkan sifatnya.

Dari basic event yang diperoleh kemudian dilakukan penyusunan Risk Control Option (RCO) dengan menggunakan prinsip hirarki risk control, sehingga diperoleh solusi yang dapat diterapkan sebagai mitigasi risiko dari critical risk event yang diperoleh dari RFMEA. Validasi Risk Control Option (RCO) yang disusun dalam penelitian ini akan dilakukan bersama dengan manajemen terkait, namun untuk implementasi RCO yang disusun dan tervalidasi sepenuhnya hanya dapat diputuskan oleh manajemen internal perusahaan dan berada diluar tanggung jawab peneliti. Hal ini lebih disebabkan perlunya penyusunan ulang Annual Operational dan Capital expenditure oleh manajemen perusahaan.

Untuk memastikan bahwa setiap solusi yang telah disetujui oleh semua pihak dapat diterapkan secara menyeluruh, maka harus dilakukan komunikasi dengan pengambil keputusan (Decision Maker) tentang jenis risk control option yang akan digunakan untuk melakukan pengendalian risiko. Dengan tujuan untuk mengendalikan dan mencegah setiap risiko yang diidentifikasi dan menghindari kerugian yang mungkin terjadi.

 

Hasil dan Pembahasan

Analisa Data FMEA

Setelah penentuan kriteria untuk perhitungan Risk Priority Number (RPN) diperoleh, kemudian dilanjutkan dengan brainstorming dan pengisian kuosioner berisi 34 mode kegagalan yang kemudian ditentukan severity, occurrence & detection rating nya. Brainstorming dan pengisian kuosioner dilakukan bersama seluruh operator WWTP dan Shift leader yang dibantu pengisiannya oleh penulis dengan hasil perhitungan RPN dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

 

Tabel 1. Perhitungan Risk Priority Number ARP

Kode

Mode Kegagalan

Severity

Occurrence

Detection

RPN

F3

Valve Leaks

4

3

3

36

F4

WWFD Pipeline leak

4

3

3

36

F9

RCAST Valve stuck

3

3

4

36

F10

Instrument air junction box leaks

3

3

3

27

F15

Membrane Contactor Failure

3

3

3

27

F1

Inaccurate Reading of pH

3

4

2

24

F30

Acid Injection Failure

4

3

2

24

F5

Inlet CF Control Valve Stuck

3

2

3

18

F11

RCAST Circulation Pump Problem

3

3

2

18

F16

Membrane Contactor System Pump Failure

3

3

2

18

F20

Concentrate Pump Problem

3

2

3

18

F22

Concentrate Return Control Valve Problem

3

2

3

18

F24

Primary Chilled Water Pump Failure

3

2

3

18

F6

Level Transmitter Problem

3

4

1

12

F12

pH reading failed

3

4

1

12

F13

Bottom Pressure Transmitter Problem

3

4

1

12

F19

Cartridge Filter Blocked

3

2

2

12

F23

pH Reading Problem

3

4

1

12

F26

HX Valve Problem

3

2

2

12

F28

Caustic Pump Failure

3

2

2

12

F29

Acid Pump Failure

3

2

2

12

F33

AAST Line Leakage

4

1

3

12

F2

WWFD Pump not running

3

3

1

9

F7

Temperature Gauge Broken

3

1

3

9

F8

Instrument Air leaks

3

1

3

9

F17

Pressure Transmitter Problem

3

3

1

9

F18

Valve Instrument Air Problem

2

2

2

8

F14

Pump Discharge Flow Transmitter Problem

3

2

1

6

F21

Concentrate Inlet ISV Problem

3

2

1

6

F25

AUX Chiller Temperature Problem

3

1

2

6

F27

Heating Process Control Malfuction

3

2

1

6

F31

Transfer Pump Failure

3

2

1

6

F32

Circulation Pump Failure

3

1

2

6

F34

Circulation Pump Problem

3

2

1

6

 

Dengan data tersebut, dapat diambil risiko kritis dari operasional yaitu suatu risiko yang memiliki nilai diatas critical value. Didalam penelitian ini critical value sendiri diperoleh dari perhitungan berikut:

                                                   (4.2)

Dari data risiko kegagalan diatas diperoleh 13 mode kegagalan yang memiliki nilai RPN diatas critical value sebesar 15,06 yang dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

 

Tabel 2. Tabel risiko kritis berdasarkan FMEA

Kode

Mode Kegagalan

Severity

Occurrence

Detection

RPN

F3

Valve Leaks

4

3

3

36

F4

WWFD Pipeline leak

4

3

3

36

F9

RCAST Valve stuck

3

3

4

36

F10

Instrument air junction box leaks

3

3

3

27

F15

Membrane Contactor Failure

3

3

3

27

F1

Inaccurate Reading of pH

3

4

2

24

F30

Acid Injection Failure

4

3

2

24

F5

Inlet CF Control Valve Stuck

3

2

3

18

F11

RCAST Circulation Pump Problem

3

3

2

18

F16

Membrane Contactor System Pump Failure

3

3

2

18

F20

Concentrate Pump Problem

3

2

3

18

F22

Concentrate Return Control Valve Problem

3

2

3

18

F24

Primary Chilled Water Pump Failure

3

2

3

18

 

Analisa Data RFMEA

Setelah diperoleh data risiko kritikal dari perhitungan FMEA, maka dilanjutkan dengan proses analisa RFMEA. Untuk kalkulasi dengan RFMEA dibutuhkan nilai risk score dari masing-masing mode kegagalan, yang diperoleh dari perkalian antara severity dengan occurrence. Hasil dari perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

 

Tabel 3. Tabel perhitungan risk score

Kode

Mode Kegagalan

Severity

Occurrence

Risk score

F1

Inaccurate Reading of pH

3

4

12

F2

WWFD Pump not running

3

3

9

F3

Valve Leaks

4

3

12

F4

WWFD Pipeline leak

4

3

12

F5

Inlet CF Control Valve Stuck

3

2

6

F6

Level Transmitter Problem

3

4

12

F7

Temperature Gauge Broken

3

1

3

F8

Instrument Air leaks

3

1

3

F9

RCAST Valve stuck

3

3

9

F10

Instrument air junction box leaks

3

3

9

F11

RCAST Circulation Pump Problem

3

3

9

F12

pH reading failed

3

4

12

F13

Bottom Pressure Transmitter Problem

3

4

12

F14

Pump Discharge Flow Transmitter Problem

3

2

6

F15

Membrane Contactor Failure

3

3

9

F16

Membrane Contactor System Pump Failure

3

3

9

F17

Pressure Transmitter Problem

3

3

9

F18

Valve Instrument Air Problem

2

2

4

F19

Cartridge Filter Blocked

3

2

6

F20

Concentrate Pump Problem

3

2

6

F21

Concentrate Inlet ISV Problem

3

2

6

F22

Concentrate Return Control Valve Problem

3

2

6

F23

pH Reading Problem

3

4

12

F24

Primary Chilled Water Pump Failure

3

2

6

F25

AUX Chiller Temperature Problem

3

1

3

F26

HX Valve Problem

3

2

6

F27

Heating Process Control Malfuction

3

2

6

F28

Caustic Pump Failure

3

2

6

F29

Acid Pump Failure

3

2

6

F30

Acid Injection Failure

4

3

12

F31

Transfer Pump Failure

3

2

6

F32

Circulation Pump Failure

3

1

3

F33

AAST Line Leakage

4

1

4

F34

Circulation Pump Problem

3

2

6

 

Langkah selanjutnya adalah melakukan analisa perbandingan antara critical value yang diperoleh dari perhitungan FMEA berupa RPN dengan critical value pada perhitungan risk score. Proses analisa perbandingan ini menggunakan bantuan scatter plot diagram dengan membandingkan kode kegagalan yang memiliki RPN diatas critical value sebesar 15,06 dan risk score minimal 10. Dengan hasil dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

 

Gambar 1. Diagram Scatter Plot RPN vs Risk Score

 

Dari diagram scatter plot diatas dapat diketahui bahwa ada 4 mode kegagalan yang masuk dalam kategori kritikal bagi ARP system, dimana pada saat analisa dengan FMEA jumlah mode kegagalan mencapai 13. Hal ini membuktikan bahwa dengan analisa lanjutan yang lebih baik maka dapat diambil prioritas penanganan mode kegagalan yang paling kritikal bagi sebuah sistem. 4 Mode kegagalan tersebut dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

 

Tabel 4. Daftar risiko kritikal hasil analisa RFMEA

Kode

Mode Kegagalan

RPN

Risk Score

F1

Inaccurate Reading of pH

24

12

F3

Valve Leaks

36

12

F4

WWFD Pipeline leak

36

12

F30

Acid Injection Failure

24

12

 

 Keempat risiko kritikal tersebut kemudian akan dilakukan analisa Fault Tree Analysis (FTA) untuk mengetahui penyebab kegagalan tersebut sehingga dapat disusun rencana penanganan berupa risk control option agar risiko dapat ditangani dengan baik.

 

Analisa FTA untuk menentukan basic event dari risiko kritikal beserta Risk Control Options.

Fault tree analysis adalah model grafis yang menggambarkan berbagai kombinasi kesalahan/kegagalan (fault) secara paralel dan berurutan yang dapat menyebabkan timbulnya peristiwa kegagalan (failure event) yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam FTA yang dibuat, setiap risiko kritis ditetapkan sebagai peristiwa utama (top event). Proses ini kemudian menghasilkan basic event yang merupakan penyebab terjadinya peristiwa utama yang telah dikategorikan sebagai risiko kritis dari sebuah sistem, sehingga langkah-langkah yang tepat dapat diambil untuk mencegah terjadinya risiko kritis tersebut (risk control options). Basic event yang diidentifikasi mempertimbangkan penyebab masalah dari berbagai sisi (personil, metode kerja, peralatan, dan sebagainya).

Dari proses analisa awal menggunakan metode RFMEA diperoleh 4 mode kegagalan yang masuk kategori risiko kritikal bagi ARP systems, keempat mode tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisa FTA menggunakan pendekatan qualitative untuk memberikan penggambaran top to down event secara visual sehingga mempermudah pemahaman terkait basic event (E) dari mode kegagalan yang terjadi. Data terkait berbagai event yang dapat menyebabkan top event (T)terjadi penulis dapatkan dari laporan perbaikan yang tercatat pada CMMS, untuk mempersempit fokus pencarian basic event.

 

Inaccurate Reading of pH pada Feed Pre-Adjust systems.

Feed pre-adjust system, merupakan skid/bagian awal dari ARP system dimana dalam sistem tersebut ada proses pengaturan pH di kisaran 10,5 hingga 11,5. Metode pengaturan dilakukan dengan injeksi caustic soda pada jalur WWFD circulation pipe. Tujuan dari pengaturan pH ini adalah memastikan fasa ammonium yang didalam limbah berubah menjadi fasa gas ammonia terlarut sesuai dengan reaksi berikut:

                                                                             (4.3)    

 

Kontrol terhadap besaran caustic soda yang diinjeksikan sangat bergantung pada akurasi dari pembacaan online pH meter, sehingga apabila pembacaan tidak akurat maka kesetimbangan reaksi diatas tidak dapat terjadi. Secara sederhana alur operasional proses injeksi caustic soda pada WWFD dapat dilihat pada gambar 2 berikut:

Gambar 2. Alur Proses Injeksi Caustic Soda di Feed Pre-Adjust Systems

 

Kondisi tersebut dapat mengakibatkan impurities dalam limbah seperti NaCl, NaSO4 akan berikatan secara kuat dengan soluble ammonia yang akan mengalami proses distilasi di R-CAST skid. Sehingga akan ada kenaikan impurities di recovered ammonia yang bisa melebihi batas dan menyebabkan hasil produksi ammonia cair tidak dapat digunakan kembali di proses siklus kimia Unit 7&8.

Hasil analisa FTA untuk problem tersebut dapat dilihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Diagram FTA Inaccurate pH Reading

 

Dari hasil analisa FTA sesuai gambar 3 diatas diperoleh 4 minimum cut-set (MCS) yang menjadi kemudian menjadi basic event yaitu {E3},{E4},{35},{E1,E2}. Risk control options yang dapat digunakan untuk basic event tersebut sebagai berikut:

1)     Sambungan elektronik yang kurang rapat pada pH probe dapat diatasi dengan melakukan pengencangan ulang pada koneksi kabel, jika nantinya problem tersebut masih terjadi kembali maka dapat diatasi dengan penggantian kabel set yang digunakan dengan ukuran yang lebih panjang kemudian ditempatkan dalam conduit yang lebih kuat dan melindungi kabel dari gangguan fisik yang mungkin terjadi (engineering control).

2)     Kegagalan proses kalibrasi dan kemungkinan perawatan yang kurang dapat diatasi dengan memastikan bahwa proses kalibrasi dilakukan secara sistematis (terjadwal dan termonitor melalui CMMS) dan dilaksanakan dengan merujuk pada buku manual yang disediakan pabrikan (administrative control).

3)      pH probe yang tidak terendam dalam larutan ketika ARP shutdown dapat diatasi dengan modifikasi connection port dari pH probe ke pipa circulation line. Dari yang semula terpasang langsung pada pipa, maka akan dirubah dengan fabrikasi probe canister yang berfungsi sebagai tempat dimana probe akan dipasang. Gambaran sederhana rancangan instalasi dapat dilihat pada gambar 4 berikut:

A diagram of a device

Description automatically generated

Gambar 4. Rancangan Instalasi Probe pH di WWFD Circulation Line

 

 

1)     Dengan instalasi yang baru tersebut diharapkan meskipun ARP dalam kondisi shutdown maka probe akan tetap terendam larutan sehingga mencegah elektroda menjadi kering dan kemudian rusak (engineering control).

2)      Kondisi operasional yang tidak tercover dengan lengkap pada operating procedure dapat diatasi dengan melakukan review ulang seluruh prosedur terkait operasional ARP dan dilakukan penambahan langkah mitigasi operasional untuk kondisi – kondisi yang dapat terjadi ketika ARP shutdown (administrative control).

 

Valve Leak pada Feed Pre-Adjust systems.

Seperti yang dijelaskan pada bagian proses pengkondisian limbah pada Feed Pre-Adjust systems dilakukan secara otomatis. Sehingga berbagai valve yang berkaitan langsung dengan proses pengkondisian juga akan bekerja dengan cara yang sama. Namun kondisi operasional ARP yang beberapa kali shutdown karena berbagai masalah menyebabkan valve tersebut dalam kondisi standby (tidak bekerja) sehingga kondisi komponen dari valve tersebut akhirnya mengalami degradasi dan berpengaruh langsung pada kinerja valve, sedangkan secara desain ARP beroperasi selama 8 jam perhari. Hasil analisa FTA untuk mode kegagalan tersebut dapat dilihat pada gambar 5 berikut:

Gambar 5. Diagram FTA Feed Pre-Adjust Valve Leaks

Dari analisa FTA diatas diperoleh 4 MCS yaitu {E3},{E4},{35}, {E1,E2},{E7,E8}. Risk control options yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1)   Valve yang lama tidak beroperasi dapat mengalami degradasi pada komponen, terutama pada sealing systems yang berfungsi untuk menahan debris/dust dari luar masuk kedalam body actuator dan menyebabkan kerusakan pada komponen penting lain seperti pilot nozzle, positioner, spring, bearing, dan sebagainya. Penampang detail dari valve actuator dapat dilihat pada gambar 6 berikut:

Gambar 6. Detail komponen pada valve actuator (pneumatic)

Selain itu, kondisi lingkungan yang rentan adanya bahan/uap kimia juga dapat menyebabkan kerusakan yang sama. Solusi yang dapat diterapkan pada mode kegagalan diatas dengan melakukan individual skid operations pada saat ARP shutdown dengan tujuan valve yang bekerja pada saat skid aktif dapat beroperasi dengan normal sehingga terhindar dari kerusakan. Selain itu dapat ditambahkan juga valve-valve lain yang bisa dijalankan secara manual menggunakan valve solenoid untuk menjadi item routine preventive maintenance pada ARP systems (administrative control)

2)     Selain kerusakan yang terjadi pada actuator, pada body valve sendiri juga terdapat kerusakan yang disebabkan oleh rubber lining yang getas karena kondisi lingkungan, serta kerusakan yang diakibatkan tetesan dari jalur caustic soda karena terjadinya buntu pada injection quill (nozzle) sehingga muncul rembesan pada koneksi nozzle tersebut dan menetes pada body valve. Solusi yang dapat diambil untuk kegagalan tersebut adalah melakukan inspeksi dan pengecekan berkala pada valve terkait kondisi fisiknya, serta pengecekan pada jalur caustic soda injection sehingga dipastikan terhindar dari kebocoran yang diakibatkan over pressure karena injection quill yang buntu (administrative control).

3)     Pada saat shutdown, air limbah yang akan secara proses normal dikondisikan sebelum diolah, mengisi seluruh pipeline pada feed pre-adjust system. Limbah tersebut memiliki nilai pH <6 (asam), sehingga ketika air tersebut berdiam pada waktu lama dapat menyebabkan degradasi pada bahan-bahan yang kurang resisten terhadap paparan kondisi asam dalam waktu lama. Salah satu komponen yang teridentifikasi pada FTA ini adalah flexible joint (sambungan fleksibel antar dua equipment flange) yang berbahan karet sintetis. Solusi yang dapat diterapkan adalah dengan mengganti sistem flexible joint dengan fabrikasi rigid flange connection menggunakan bahan PVC (Polyvinyl Chloride) yang lebih resisten terhadap bahan kimia anorganik dengan berbagai kondisi pH. Modifikasi ini telah dilakukan selama proses penelitian dan hasil instalasi dapat dilihat pada gambar 7 berikut (subtitution control):

 

Gambar 7. Ilustrasi pvc connection flange yang digunakan

 

WWFD Pipeline leak pada Feed Pre-Adjust systems.

Sebuah proses yang melibatkan cairan limbah kimia serta proses penambahan bahan kimia lain dengan konsentrasi tinggi dan bersifat korosif tentunya memiliki risiko tinggi untuk terjadinya kebocoran pada jalur perpipaan nya. Masalah tersebut juga terjadi pada ARP terutama pada feed pre-adjust systems, dimana beberapa kali problem tersebut terjadi dan menyebabkan ARP harus shutdown untuk perbaikan kebocoran baik berupa penambalan, re-coating hingga penggantian sambungan antar pipa. Hasil analisa FTA untuk risiko kritikal tersebut dapat dilihat pada gambar 8 berikut:

Gambar 8. Diagram FTA WWFD Pipeline leak

 

Dari diagram FTA diatas diperoleh 7 MCS yaitu {E2},{E6},{E7},{E8},{E9},{E1},{E3,E4,E5}. Risk control options yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1)   Basic event awal yang teridentifikasi langsung adalah terjadinya kebocoran pada welding (pengelasan) pada sambungan pipa. Hasil dari laporan perbaikan yang ada pada CMMS menunjukkan bahwa kualitas pengelasan pada ARP systems banyak yang kurang baik, sedangkan kondisi ini terjadi setelah sistem beroperasi lebih dari masa garansi yang diberikan pabrikan, sehingga perbaikan harus dilakukan oleh internal PT. POMI sendiri. Solusi yang diambil yaitu melakukan pengelasan ulang (rewelding) pada titik pengelasan yang bermasalah dengan menggunakan metode SMAW (Shield Metal Arc Welding), kemudian dilakukan penetrant test dan bump test untuk memastikan hasil pengelasan optimal. Kemudian pada tiap joint connection yang memiliki risiko untuk mengalami kebocoran dilakukan coating menggunakan cat coating logam berbahan polyurethane atau epoxy phenolic untuk mencegah korosi dan memberi daya tahan dari perubahan kondisi lingkungan (engineering control).

2)   Korosi yang terjadi pada perpipaan juga menyebabkan kebocoran. Sebagian besar kondisi korosi terjadi karena kondisi lingkungan maupun kebocoran bahan kimia dari proses kegagalan sebelumnya. Sedangkan bahan kimia yang digunakan bersifat korosif sehingga mempercepat terjadinya korosi. Kondisi tersebut diperparah dengan proses flushing bekas kebocoran dengan tidak benar dan tuntas. Flushing hanya dilakukan secukupnya tanpa memastikan bahwa semua bocoran bahan kimia telah dibersihkan dengan tuntas, dan hanya menggunakan potable water (yang memiliki kandungan chlorine meskipun jumlah rendah). Solusi yang dapat dilakukan adalah mengganti penggunaan potable water untuk proses flushing pada saat terjadi kebocoran bahan kimia dengan demin water yang tidak memiliki kandungan bahan kimia yang memperparah korosi (subtitution control). Kemudian pada perpipaan yang memiliki potensi korosi selain penggunaan insulator untuk proteksi dari kondisi perubahan suhu eksternal seperti yang dapat dilihat pada gambar 9 berikut:

 

 

Several pipes on a metal rack

Description automatically generated with medium confidence

Gambar 9. Perpipaan yang dilengkapi insulator

 

Maka sebaiknya dilakukan re-coating pada perpipaan tersebut menggunakan bahan cat coating logam berbahan polyurethane atau epoxy phenolic (engineering control).

3)   Terjadinya kebuntuan pada chemical injection quill dari hasil penelitian lebih banyak disebabkan oleh aspek operasional. Dimana tidak adanya inspeksi atau line pressure test setelah ARP mengalami long-term shutdown sehingga ketika ARP dijalankan maka jalur menuju titik injeksi mengalami buntu. Ilustrasi aplikasi injection quill paada perpipaan dapat dilihat pada gambar 10 berikut:

Gambar 10. Ilustrasi aplikasi injection quill pada perpipaan

 

Kondisi tersebut secara langsung juga menyebabkan terjadinya pompa injeksi bahan kimia yang mengalami pressure tinggi. Solusi yang dapat diambil adalah melakukan injection line inspection maupun bump test sebelum ARP dijalankan setelah long-term shutdown (administrative control)

4)   Disisi lain, terjadinya pompa injeksi yang mengalami pressure tinggi juga disebabkan oleh adanya pembacaan yang keliru dari pH probe transmitter sehingga ketika pH terbaca lebih rendah dari setpoint maka pompa akan terus bekerja mengikuti variabel target pH. Ketika target tidak terpenuhi juga, maka solusi lain dilakukan adalah merubah setting frekuensi dan stroke injeksi pompa lebih tinggi dari standard sehingga pompa bekerja lebih keras dari kondisi normal. Solusi dari hal tersebut adalah melakukan verifikasi dan kalibrasi ulang terhadap seluruh pH transmitter yang terkoneksi dengan pompa injeksi bahan kimia sebelum ARP startup, sehingga dipastikan proses dapat berjalan dengan sesuai tanpa adanya kesalahan pembacaan transmitter.

5)   Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya kegagalan setelah long-term shutdown tersebut akan dimasukkan dalam prosedur PCS (pre-start check sheet) sehingga mempermudah operator dalam memastikan persiapan sebelum proses startup ARP (administrative control).

 

Acid Injection Failure pada Chemical Injection systems.

Pada proses chemical injection di ARP system, selain penggunaan caustic soda sebagai pengatur pH, sulfuric acid juga digunakan pada membrane concentrator skid sebagai pengatur pH dengan target <2.0. Tujuan dari pengaturan pH ini untuk memastikan gas ammonia yang dipisahkan pada proses membrane contactor berubah menjadi larutan ammonium sulfate dengan reaksi sebagai berikut:

                                                             (4.4)    

           

Sehingga ammonia berada dalam fasa stabil untuk kemudian dikembalikan ke ARP feed tank untuk diolah kembali. Gambaran sederhana proses yang terjadi pada membrane concentrator system dapat dilihat pada gambar 11 berikut:

Gambar 11. Diagram sederhana proses membrane concentrator system

 

Sehingga kegagalan proses injeksi sulfuric acid akan menyebabkan proses pengentalan ammonium sulfate tidak dapat berlangsung optimal dan ammonia ikut terbawa pada outlet membrane yang merupakan titik terakhir dari proses ARP. Dimana pada titik ini ammonia dijaga dengan konsentrasi dibawah 50 ppm sesuai dengan PERTEK-Air yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Hasil analisa FTA yang dilakukan pada kegagalan operasi ini dapat dilihat pada gambar 12 berikut:

Gambar 12. Diagram FTA acid injection failure

 

Dari hasil analisa FTA diatas diperoleh 5 MCS yaitu {E1},{E2},{E3},{E5},{E6,E7}. Risk control options yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1)   Pada permasalahan pump injection low speed, ditemukan basic event dari penelusuran laporan pada CMMS adanya kesalahan pengaturan setting, sehingga pompa tidak bekerja sesuai dengan settingan awal yaitu 4-20 mA. Kondisi ini menyebabkan pompa bekerja dibawah kemampuan optimalnya dan proses pengaturan pH menjadi lebih lambat karena distribusi sulfuric acid lebih rendah. Dari data CMMS juga ditemukan bahwa inverter dalam kondisi rusak sehingga harus dilakukan penggantian pompa. Solusi yang dapat diterapkan adalah pemasangan tagging tambah berisi setting default inverter dan stroke pada setiap pompa yang memiliki VFD sehingga kesalahan setting oleh operator dapat dihindari (administrative control).

2)   Solusi untuk kerusakan pada head pump discharge yang retak adalah dengan melakukan penggantian head pump yang baru, atau jika hasil investigasi performa pompa kurang optimal maka dilakukan penggantian jenis metering pump dengan output setting yang lebih tinggi (subtitution control). Adanya kerusakan pada head pump yang mengakibatkan kebocoran sulfuric acid ini harus menjadi perhatian bagi operator untuk menggunakan PPE (personal protective equipment) yang sesuai dengan bahan kimia tersebut pada saat bekerja dengan peralatan terkait. Meskipun secara sistem di local telah dilengkapi dengan chemical resistance curtain untuk mencegah kebocoran menyebar ke area sekitar (PPE control).

3)   Hasil penelusuran data CMMS pada permasalahan power loss, ditemukan bahwa yang menjadi penyebab adalah kesalahan pemasangan electrical contactor yang berfungsi memberikan perintah kepada pompa. Ketika pompa yang seharusnya bekerja pada saat CPA-P-560 (membrane contactor pump) aktif menjadi tidak bekerja karena permissive command terpasang pada membrane concentaror pump CPA-P-480, kesalahan ini terjadi setelah penggantian VFD sulfuric acid pump. Solusi dari permasalahan yang terjadi karena human error ini adalah memastikan electrical drawing digunakan sebagai referensi saat bekerja sehingga kesalahan pemasangan dapat dihindari di kemudian hari. Selain itu juga setiap technical drawing sebaiknya harus dilakukan review setiap 5 tahun sekali untuk memastikan segala perubahan pada sistem terdata dengan baik (administrative control).

 

Kesimpulan  

Dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan pada BAB IV, maka diperoleh berbagai data terkait risiko operasional Ammonia Recovery Plant (ARP) di PLTU Paiton dengan menggunakan metode RFMEA dan FTA. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut:

1)     ARP berperan dalam operasional PLTU Paiton terutama pada pengolahan air limbah operasional yang memiliki kadar ammonia tinggi, sehingga utilitas sub-system ini penting bagi perusahaan dalam memenuhi kepatuhan terhadap peraturan pemerintah terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan dari operasi PLTU.

2)     Dari hasil identifikasi ditemukan 34 mode kegagalan yang terjadi di ARP, kemudian dilakukan analisa dengan metode RFMEA dan diperoleh 4 mode kegagalan yang masuk dalam kategori kritikal yaitu innacurate pH reading, valve leaks, WWFD pipeline leaks pada Feed Pre-Adjust Systems dan acid injection failure pada Chemical Injection Systems.

3)     Kemudian untuk menentukan basic event dari 4 risiko kritikal tersebut digunakan metode FTA. Dengan hasil analisa metode FTA yaitu innacurate pH reading disebabkan oleh sambungan elektronik yang kurang rapat pada pH probe, kegagalan proses kalibrasi, kurangnya perawatan berkala, pH probe yang tidak terendam larutan ketika shutdown, dan kondisi operasional yang tidak tercover pada operating procedure. Valve Leak pada Feed Pre-Adjust systems disebabkan oleh sealing systems rusak, tidak beroperasi dalam waktu lama, postitioner pada valve actuator rusak, flexible joint material terdegradasi, material tidak sesuai untuk limbah kimia, kerusakan rubber lining, injection quill buntu dan jalur caustic soda bocor. WWFD Pipeline leak pada Feed Pre-Adjust systems disebabkan oleh kebocoran pengelasan sambungan pipa, korosi pada perpipaan dan tidak ada material untuk proteksi, proses flushing kebocoran yang tidak tuntas dan menggunakan potable water, tidak adanya inspeksi pada jalur perpipaan setelah long-term shutdown, kalibrasi pH probe gagal atau probe mengalami kerusakan, perubahan setting stroke pompa. Acid Injection Failure pada Chemical Injection systems disebabkan oleh kesalahan pengaturan setting pompa, inverter rusak, head pump discharge rusak, kesalahan pemasangan electrical contactor.

4)     Dari basic event yang diperoleh kemudian disusun risk control options antara lain; Solusi untuk innacurate pH reading yaitu penggantian kabel set dan penambahan conduit, proses kalibrasi sistemastis, modifikasi probe canister, review procedure. Valve Leak pada Feed Pre-Adjust systems diatasi dengan individual skid operations, inspeksi berkala pada valve dan jalur caustic soda, penggantian flexible joint dengan rigid flange dari bahan PVC. WWFD Pipeline leak pada Feed Pre-Adjust systems dapat diatasi dengan rewelding dengan metode SMAW, coating dengan bahan PU dan epoxy phenolic, flushing dengan demin water, re-coating perpipaan dengan bahan PU dan epoxy phenolic, injection line inspection dan bump test, kalibrasi ulang pH meter, revisi PCS. Acid Injection Failure pada Chemical Injection systems dapat diatasi dengan pembuatan tangging setting default inverter dan stroke pompa, penggantian head pump baru atau pompa dengan kapasitas lebih besar, penggunaan PPE, review technical drawing setiap 5 tahun sekali.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Berg, H.-P. (2010). Risk management: procedures, methods and experiences. Reliability: Theory & Applications, 5(2 (17)), 79–95.

Coleman, T. S. (2012). Quantitative risk management: a practical guide to financial risk. John Wiley & Sons.

Dytha, B. W., & Taufik, T. A. (2022). Risk Analysis using Risk Failure Mode and Effect in Implementation of Integrated Digital Reporting with Power Bi Dashboard. Jurnal Teknobisnis, 8(2), 32–43.

Firdaus, I. A., & Irawan, I. (2017). Manajemen Risiko Operasional Onshore Processing Facility Dengan Menggunakan Risk Failure Mode And Effect Analysis Dan Fault Tree Analysis (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember).

Freeman, R. A. (1990). CCPS guidelines for chemical process quantitative risk analysis. Plant/Operations Progress, 9(4), 231–235.

George, C. (2020). The essence of risk identification in project risk management: An overview. International Journal of Science and Research (IJSR), 9(2), 1553–1557.

Kementerian LHK Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.08 - 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Kementerian LHK Republik Indonesia, Jakarta.

Mirboroon, L., & Razavi, H. (2020). A case study of risk management of automotive industry projects using RFMEA method. Mapta Journal of Mechanical and Industrial Engineering (MJMIE), 4(1), 42–50.

Mutlu, N. G., & Altuntas, S. (2019). Risk analysis for occupational safety and health in the textile industry: Integration of FMEA, FTA, and BIFPET methods. International Journal of Industrial Ergonomics, 72, 222–240.

Nugroho, M. J., Bahartyan, E., Raymond, R., Hidayat, B., & Irawan, M. I. (2021). Root cause analysis of fires in coal power plants using RFMEA methods. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1096(1), 12100.

Purwanggono, B., & Margarette, A. (2017). Risk assessment of underpass infrastructure project based on IS0 31000 and ISO 21500 using fishbone diagram and RFMEA (project risk failure mode and effects analysis) method. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 277(1), 12039.

Srinivas, K. (2019). Process of risk management. In Perspectives on Risk, Assessment and Management Paradigms. IntechOpen.

Surange, V. G., & Bokade, S. U. (2022). Critical Risk Factors In The Industrial Sector: A Review.

Van Sciver, G. R. (1990). Quantitative risk analysis in the chemical process industry. Reliability Engineering & System Safety, 29(1), 55–68.

Vesely, W. E., Goldberg, F. F., Roberts, N. H., & Haasl, D. F. (1981). Fault Tree Handbook, US Nuclear Regulatory Commission, Rep. NUREG-0492, Jan, 397.

Yang, X., Duke, M., & Zhang, J. (2019). Modeling of heat and mass transfer in vacuum membrane distillation for ammonia separation. Separation and Purification Technology, 224, 121–131.

 

 

Copyright holder:

Rieza Pahlevi, A. A. B. Dinariyana Dwi P. (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: