Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9,
No. 10, Oktober 2024
PENGARUH ‘ABD AL-QAHHAR TERHADAP PERKEMBANGAN TAREKAT SYATTARIYAH DI BANTEN
Nurhayanah1, Devi Rahmawati2, Hafidz Taqiyuddin3
UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten, Banten, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3
Abstrak
Karya ilmiah ini akan membahas pengaruh ‘Abd al-Qahhar
terhadap Tarekat Syattariyah di Banten. Tarekat adalah cara, jalan untuk
mengamalkan zikir tertentu kepada Allah SWT. Berdasarkan ulama ulama besar
tertentu. Tarekat Syattariyah adalah ajaran yang pertama kali muncul di negara
India pada abad ke-15. Tarekat ini diajarkan oleh tokoh yang telah
mengembangkan dan mempopulerkannya yaitu Abdullah Asyattar yang kemudian
disebarluaskan oleh para mursyid dan murid-muridnya, sampai dengan ke tanah
Banten. Tujuan penelitian ini yaitu: untuk mengetahui pengaruh Abd Qahhar
terhadap perkembangan Tarekat Syatariyyah di tanah Banten. Metode penelitian
yang digunakan yaitu analisis kualitiatif dengan jenis penelitian lapangan
(field research), yakni pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti guna
mendapatkan data yang relevan di Tanara Banten. Data primer penelitian ini yaitu mewawancarai Kyai Mustanjid Tajudin
sebagai penyambung sanad (mursyid) dari Tarekat Syatariyyah di Tanara Banten.
Data sekunder yang diperoleh atau dikumpulkan melalui buku-buku, brosur, dan
artikel yang didapat dari website yang berkaitan dengan penelitian. Hasil dari
penelitian ini bahwa terekat Syattariyah sangat popular sekali di kalangan
masyarakat Banten, namun pada masa kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak
populer lagi karena di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu
Abdul Qahhar Al-Syatari al- Bantani karena beranggapan tarekat ini berlawanan
dengan politik.
Kata Kunci: Tarekat
Syattariyah, ‘Abd al-Qahhar.
Abstract
This scientific work will discuss the influence of ‘Abd
al-Qahhar on the Syattariyah Tarekat in Banten. Tarekat is a way, a way to
practice certain dhikr to Allah SWT. Based on certain great Islamic scholars.
The Syattariyah Order is a teaching that first appeared in India in the 15th
century. This order was taught by the figure who developed and popularized it,
namely Abdullah Asyattar, who was then spread by his murshids and students, all
the way to the land of Banten. The aim of this research is: to determine the
influence of Abd Qahhar on the development of the Syatariyyah Order in Banten.
The research method used is qualitative analysis with a type of field research,
namely direct observation of the object being studied in order to obtain
relevant data in Tanara Banten. The primary data for this research is
interviewing Kyai Mustanjid Tajudin as the connecting sanad (mursyid) of the
Syatariyyah Tarekat in Tanara Banten. Secondary data obtained or collected
through books, brochures and articles obtained from websites related to
research. The results of this research are that Tarekat Syattariyah is very
popular among the people of Banten, but during the Ageng Tirtayasa Sultanate it
was no longer popular because it was developed by Sultan Haji or Shaykh Abdullah
Ibnu Abdul Qahhar Al-Syatari al-Bantani because he thought this tarekat was
against politics.
Keywords: Tarekat
Syattariyah, ‘Abd al-Qahhar.
Pendahuluan
Dalam konteks Islam, salah satu
pendekatan pendidikan adalah membentuk seseorang yang memiliki keimanan dan
ketaqwaan yang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus cakap, berilmu,
sehat, dan kreatif. Salah satu metode yang mengedepankan kemandirian dan
tanggung jawab adalah metode tarekat, yang mempunyai reputasi yang sudah lama
ada. Metode ini tidak hanya memberikan pengetahuan dan wawasan, tetapi juga
menanamkan kerangka hidup dan prinsip-prinsip pedoman bagi siswa atau mereka
yang terlibat di dalamnya. Saat ini, terdapat kesalahpahaman yang umum bahwa
tarekat ini hanya berfungsi sebagai entitas organisasi, aliran pemikiran, atau
sarana penyucian spiritual
Tarekat merupakan konsep baru
yang muncul pada penghujung abad kelima awal abad ke 6 H, pada tataran
konseptual tarekat merupakan jalan atau metode sufi yang mengantarkan hamba
kepada Allah SWT
Tarekat adalah cara, jalan untuk
mengamalkan zikir tertentu kepada Allah SWT. Berdasarkan ulama ulama besar
tertentu
Tarekat adalah suatu jalan, cara,
madzhab, aliran dan tempat berteduh. Tarekat dibangun di atas hubungan yang
erat antara seorang guru (mursyid)
dengan muridnya. Hubungan mursyid dan murid ini dapat dianggap sebagai pilar
penting dalam organisasi tarekat. Hubungan tersebut diawali dengan pernyataan
kesetiaan (bai'at) dari seseorang yang hendak menjadi murid tarekat kepada
syekh tertentu sebagai mursyid
Dalam ilmu tasawwuf seringkali
dikenal istilah Tariqah, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai
Ridha Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak
jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Atthuruq bil adadil anfasil
mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka
ragam dan macamnya. Orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati,
karena ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang
tidak diterima (Mu’tabarah Wa ghairu Mu’tabarah)
Ajaran tarekat Syattariyah yang
lebih dominan menggunakan akal dibandingkan amalan lain, yang mana menjadi
sebuah ciri khas dalam tarekat ini. Waktu penyebarannya di Jawa, tarekat ini
mempunyai pengaruh yang besar, terutama pada kebudayaan, agama atau ajaran
kejawen, yang sekarang dinamakan kepercayaan terhadap tuhan yang Maha Esa
Melihat penelitian terdahulu
jurnal yang berjudul “Perkembangan
Dan Nilai - Nilai Ajaran Thoriqoh Syattariyyah Di Banten”
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian lapangan (field research), yakni pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti guna mendapatkan data yang relevan
Dalam pengumpulan data baik itu
yang berupa segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun
suatu informasi. Dalam usaha pengumpulan data, peneliti gunakan dalam penlitian
ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi yang membantu peneliti untuk
mencari atau mendapatan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Adapun
analisis data yang peneliti gunakan untuk menghasilkan data yang relevan yaitu
melalui tiga tahap : Observasi lapangan, observasi ini di lakukan di Tanara
banten pada tanggal 5 Juli 2024 sampai 14 Juli 2024. Wawancara, wewawancarai dengan
tiga narasumber; pertama, Kyai Mustanjid Tajudin sebagai penyambung sanad dari
Tarekat Syatariyyah di Tanara Banten, kedua Ubaedillah, dan Muhamad Shoheh.
Tahap yang terakhir yaitu dokumentasi , Ayah kyiai Mustanjid bernama KH.Syekh
Ma'mun Bin Syekh Muhhamad Ali Al madinah Wafat pada 20 Ramadhan Tahun 1996 yang di maqomkan di
Cakung Sakujang Serang Banten. Dokumentasi yang tujuannya sebagai bukti dalam proses pencarian data.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian Tarekat
Secara etimologis istilah tarekat
berasal dari bahasa Arab taraqa, bentuk jamaknya tara'iq yang
berarti suatu tujuan, keadaan, aliran, atau garis dalam konteks tertentu.
Al-Qur'an, sebagai sumber utama, sering kali menyinggung konsep-konsep tarekat,
yang kesemuanya pada akhirnya menyatu pada gagasan mendasar tentang suatu jalan
atau metodologi
Secara etimologi berarti : (1)
jalan, cara (al-kaifiyyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3)
mazhab, aliran, haluan (al-mazhab) ;Menurut istilah tarekat berarti
perjalanan seorang saleh (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan
diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan
diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Kata “tarekat” mempunyai tantangan
dalam rumusan yang tepat karena maknanya yang terus berkembang seiring dengan
perluasan jangkauan dan pengaruhnya. Akibatnya, terdapat banyak penafsiran
mengenai konsep "tarekat" baik dalam konteks agama maupun
sekuler
Munculnya Tarekat
Pada hakekatnya tarekat bukanlah
sesuatu yang terpisah dari syari'at, sebab tarekat adalah pengejawantahan dari
syariat itu sendiri. Sebagaimana lazim dikatakan orang, ”syariat tanpa tarekat
adalah kosong, sedangkan tarekat tanpa syariat adalah bohong.” Terkait hal ini
Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas menyatakan bahwa
tarekat merupakan bagian terpenting dari pada pelaksanaan tasawuf. Mempelajari
tasawuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu usaha
yang hampa. Dalam ajaran tasawuf diterangkan, bahwa syariat itu hanya peraturan
belaka, tarekat lah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu,
apabila syariat dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat
yang tidak lain daripada perbaikan keadaan atau ahwal, sedangkan tujuan yang
terakhir ialah makrifat yaitu mengenal dan mencintai Tuhan dengan
sebaik-baiknya
Habib Muhammad Lutfi bin Yahya,
Pemimpin Jamiyyah Ahlit Tarekat Al- Mu’tabarah An-Nahdliyyah, membagi
Tarekat dua: Tarekat Syariah dan Tarekat Wushul. Tarekat
Syariah adalah seperangkat aturan-aturan fiqih yang disebutkan dalam
berbagai kitab-kitab para fukaha yang mu’tabar, para muhadistin,
mutakalimin dan mufassirin yang mu’tabar. Sedangkan tarekat
wushul adalah upaya memetik natijah (hasil) dari pelaksanaan tarekat
Syariah dengan mengikuti bimbingan seorang Syekh dengan penuh khidmah (pengapdian),
muaffaqoh (mengangap benar) dan menghindar buruk sangka, serta berupaya
membersihkan hatinya dari berbagai sifat tercela, menghiasinya dengan sifat
mulia, dan memperbanyak zikir, menyebut nama Allah. Karena pembersihan hati
dari berbagai hal negatif tersebut hukumnya wajib, maka wajib pula hukum
memasuki tarikat
Masuknya Tarekat Ke Nusantara
Sejarah tarekat di Indonesia
diyakini sama dengan sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Para
sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak Sufidtik itulah yang membuat penduduk
nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha menjadi sangat tertarik. Tradisi
dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu
dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarikat yang
dibawa para wali. Sehingga perubahan besar itu pun berlangsung nyaris tanpa
meneteskan darah sedikitpun. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di india yang
dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan, bahkan konon
sedikit pemaksaan dengan senjata. Oleh para raja Muslim seperti Sultan Mahmud
Ghadzna, Auranzeb, Haidar Aly, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat
ini India terlebih setelah terbagi tiga dengan Pakistan dengan Banglades dan
muslim, Islam tetap tidak berhasil secara massip menggeser Hindu sebagai Agama
mayoritas masyarakat
Besarnya pengaruh tarekat dalam
islamisasi juga didukung dengan dari temuan sejarah bahwa sebenarnya Islam
sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7, dan di Jawa sejak abad 11 M, namun
sejauh itu tidak cukup signifikan mengubah agama masyarakat nusantara. Islam
saat ini hanya menjadi agama para pendatang yang berkumpul dalam
komuniatas-komunitas kecil di beberapa kota di pesisir Jawa, seperti di Leran
(Gresik), Idramanyu dan Semarang. Sementara penduduk asli diceritakan masih
hidup dengan agamanya, bahkan digambarkan dengan pola hidup yang “kotor”
Proses islamisasi nusantara
secara besar-besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15,
bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhalaki yang ditandai
dengan munculnya aliran-aliran tarekat di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah
dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan
konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur Ahklak, syariat, dan
filsafat. Konsep itu diterima sacara terbuka oleh kaum fukaha yang
sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang
kontroversial. Dilanjutkan dengan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf
yang dipimpin oleh para sufi terkemuka seperti Syekh Abdul Qadir Al- Jailani
(wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqoh Qodiriyyah.
Ada juga Syekh Najmudin Kubro (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqoh
Kubrawiyyah; Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqoh
Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Arfa’iyyah. Belakangan,
pada awal abad keempat belas juga lahir Tarekat Naqsabandiyah yang
didirikan oleh Syekh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandy (wafat 1389) di Khurasan
dan Tarekat Syathariyyah yang di dirikan Syekh Abdullah Asy-Syatthari
(wafat 1428 M)
Tarekat-tarekat ini kemudian
menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara, melalui para penyebar agama
Islam. Mencapai puncaknya pada abad 17-18, bersamaan dengan orang-orang Jawa
yang naik haji. Hingga saat ini tak kurang dari 44 tarekat yang telah ada dan
tersebar di seluruh Indonesia
a. Era Wali Songo (Wali Sembilan)
Para sejarawan Barat
menyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang
semula beragama Hindu dan Budha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal
India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spritualitas itu dianggap
lebihdekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarikat yang dibawa oleh
para wali. Sayang nya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17 cukup sulit
dilacak. Meski begitu, beberapa cacatan tradisional di keraton-keraton sedikit
banyak bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana
raja-raja Muslim
Salah satu referensi
keterkaitan para wali dengan dunia tarekat adalah Serat Banten Rante-rante,
sejarah Banten kuno, dalam karya sastra yang ditulis diawal berdirinya
kesultaanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati
pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syehk Najmuddin
Kubra dan Syekh Abu Hasan Asyadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang
sunan konon memperoleh Izazah kemursyidan Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah
Terlepas dari
kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri tarekat dalam
Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultaanan Cirebon itu diyakini sebagai
orang pertama yang membawa tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa
Selain Sunan Gunung
Jati, anggota wali songgo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel dan
Sunan Bonang alias Raden Makhdum Ibrahim. Dalam babat Tanah Jawi, Sunan Ampel
disebut-sebut mengajarkan Suluk Tarekat Naqsabandiyah. Sementara Sunan Bonang,
diceritakan oleh Caita Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah
dikediri, karena menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, lalu pindah
ke Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak. Tak lama kemudian ia hijrah ke
Lasem, Rembang membangun zawiyyah dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani
suluk itu lah Raden Makhdum Ibrahim yang kemudian bergelar Sunan Bonang itu
melanjutkan dakwahnya. Adapun pendekatan-pendekatan baru ini terbukti dengan
beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik
bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat
b. Pada Abad Ke 17-18
Tarekat lain yang
tercatat masuk ke Nusantara pada periode awal adalah Tarekat Qodiriyyah,
Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga tarekat tersebut masuk ke Sumatra
sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Tarekat Qadiriyyah
yang di bawa oleh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan sufi kontroversial dari
Aceh. Meski banyak meninggalkan karya tulis, namun sang sufi yang sempat
berkelana kenegeri-negeri di Asia selatan dan tenggara itu diyakini tidak
menyebarkan tarekat nya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh
murid utamanya, Syamsudin al-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan
Tarekat Syadthariyyah izazah kemursidan Syathariyyahnya di peroleh dari sufi
asal Hujarat, Syeh Muhammad Bin Fadhlullah Burhanpuri
Meskipun berbeda
tarekat, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan
faham Wahdatul wujud, yang kemudian memicu konflik tajam dengan Sufi lain yang
menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syekh Nuruddin Al-Raniri. Usaha kelompok Al-Raniri
dalam memeranggi ajaran pantaisme ala-Syamsuddin itu tidak main-main. Selain
pembakaran kitab pegangan dan zauwiyyah-zauwiyyahnya, al-Raniri juga berhasil
meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsuddin serta para pengikutnya.
Sepeninggal
al-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syekh Abdul Rau’f al- Singkili asal
Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama 19 tahun itu
membawa Tarikat Syadthariyyah yang lebih bercorak ahklaki. Ijazah
kemursyidan Syehk Abdul Rau’f Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah,
Syehk Ahmad al-Qusasy (wafat 1660 M) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (wafat 1691).
Setelah mendengar konflik antara pengikut Syadthariyyah la Syamsudin yang
kontrofersial dan Syekh Nuruddin al-Raniri, Abdul Rau’f di utus gurunya untuk
kembali ke Aceh guna menyebarkan Tarekat Syadthariyyah yang benar.
Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu
diangkat menjadi salah satu mufti kerajaaan
Syekh Abdul Rauf
Singkel memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam
dan Tarekat Syaddthariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka adalah
Syekh Burhanuddin Ulakan, yang berdakwah, berjuang melawan VOC dan wafat
priaman sumatra barat. Melalui ulama sufi dan juga pernah berguru kepada Syekh
Ahmad al-Kusasi di Mekah, Tarekat Syadthariyyah kemudian menyebar di Sumatra
Barat. Tokoh lain yang hidup semasa Syekh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga
berguru kepada Syekh Ibrahim al-Kurnia serta ulam sufi lainnya di Timur Tenggah
adalah Syekh Yusuf al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah
mengembara hingga ke Damaskus, Syekh Yusuf pulang ke Nusantara dengan
mengantongi izazah kemursyidan tarikat Naqsabandiyah, Qadariyyah, Syathariyyah,
Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah
Tarekat Syatariyah
masuk ke daerah Banten dan kemudian di popularkan di banten yang di bawa oleh
Hamzah fansuri yang pernah mengembara di banten khusunya di istana kesultanan
Banten dan mengenalkan tarekat Syattariyah kepada Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Pada masa ini terekat Syattariyah sangat popular sekali di kalangan masyarakat
Banten, namun pada masa kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak populer lagi
karena di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu Abdul Qahhar
Al-Syatari al- Bantani karena beranggapan tarekat ini berlawanan dengan politik
Berbeda dengan orang lain, ‘Abd
al-Qahhar yang menyebarkan tarekat sattariyah di Banten. ‘Abd al-Qahhar
merupakan keturunan Arab-Banten, ayahnya adalah ulama dari Arab, yakni ‘Abd
al-Qahhar , dan ibunya adalah orang Banten cucu Sultan Ageng Tirtayasa, Ratu
'Aisyah. ia berguru kepada al-Imam Muhammad bin 'Ali ath-Thabari, putera 'Ali
ath-Thabari yang juga guru para ulama Nusantara pada abad sebelumnya semisal
'Abd ar-Ra'üf Singkel
'Abdul al-Qahhar
dan Pengaruh Perkembangan Tariqah Syattariyah di Banten
Nama 'Abd Allah bin 'Abd
al-Qahhar al-Bantanī diabadikan dalam tulisan Martin van Bruinessen meski tidak
tuntas (hanya disebutkan dalam dua paragraph). Martin menyebutnya sebagai Guru
Besar (tarekat) di kesultanan Banten selain Syeikh Yusuf al-Maqassari, artinya,
Martin menganggapnya sebagau ulama yang memiliki pengaruh besar kesultanan
Banten.
Menurut pendapat Halwany Michrob
(alm), sebagaimana yang dicatat oleh Minal Aidin, bahwa yang dimaksud dengan
tokoh Abdullah bin 'Abdul Qahhar al-Bantani adalah Abdullan putra 'Abdul Qahhar
alias Sultan Haji Abu Nasr. Karena 'Abdullah bukanlah orang yang akan menjadi
sultan, maka dalam tulisannya ia selalu memakai nama ayah di belakang namanya,
sehingga namanya menjadi Abdullah bin 'Abdul Qahhar, sedangkan 'Abdul Qahhar
yang dimaksud adalah Sultan Haji Abu Nasr yang memerintah tahun 1672. Namun,
jika diteliti secara seksama, ternyata di antara 10 orang putra-putri sultan
Haji udak terdapat seorangpun yang bernama Abdullah
Sedangkan berdasarkan silsilah
"Sedjarah Tjikoendoel” sebagaimana yang dikutip Minal 'Aidin- terdapat
nama Abdullah Rifa'i putra Syekh Abdul Qahhar, yakni seorang ulama Banten yang
kemudian menikah dengan Ratu 'Aisyah cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayah dari
Ratu 'Aisyah adalah Syekh H. Ilyas Maulana Mansur Abdul Qahhar yang dimakamkan
di Cikadueun, Pandeglang. Syekh Abdullah Rifa'i disebutkan juga menikah dengan
janda R. Modjanagara, putri dari R. Wiraredja Regent (Bupati) Sukaraja, Bogor.
Dari pernikahan ini kemudian lahir R.A. Mangkupradja yang kemudian menjadi
Patih Cianjur, dan selanjutnya menurunkan silsilah Bupati Cianjur
Nama lengkap Sang Guru Besar itu,
sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber, adalah 'Abd Allah bin 'Abd
al-Qahhar al- Bantani. Informasi mengenai ulama ini terbilang sangat minim
sekalipun namanya cukup popular karena tercatat dalam beberapa karya biografi
bermutu semisal Geischichte der Arabischen Literatur (GAL) karya Carl
Brockelmann. Namun data-data yang disajikan dalam GAL ini hanya memuat
perkiraan tahun wafat dan dua karya monumentalnya yang paling dikenal dunia
yakni Risalah Syurut al-Hajj yang ia tulis selama ia berada di Makkah pada
tahun 1748 dan Kitab al-Masa'il. Karena itu, pengungkapan lebih jauh
mengenai jati diri tokoh ini masih menjadi pekerjaan lebih lanjut, dan peneliti
seringkali harus mencari-carinya dalam beberapa biografi peneliti naskah maupun
menelusuri naskah-naskah yang ia tulis.
Dalam jurnal Ade Fakih Kurniawan,
menyatakan bahwa 'Abd Allah bin 'Abd al-Qahhar al-Bantani adalah cucu dari
Sultan Ageng Tirtayasa." Jika yang ia maksud adalah cucu Sultan Ageng
Tirtayasa melalui jalur Sultan Haji (putera Sultan Ageng Tirtayasa yang
bergelar Sultan Abū an-Nasr ‘Abd al-Qahhar ), maka menurut saya itu adalah
kesimpulan yang terburu-buru. Pasalnya, tidak ada satu keterangan pun yang
menyatakan bahwa Sultan Haji memiliki putera bernama 'Abd Allah dalam silsilah
keturunannya
Dalam silsilah Sejarah Cianjur,
ditemukan nama 'Abd Allah dengan tambahan nama Rifa'i di belakangnya. 'Abd
Allah Rifa'i ini adalah putera Syeikh ‘Abd al-Qahhar , seorang ulama Banten
yang menikah dengan Ratu 'Aisyah cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayahanda Ratu
'Aisyah itu sendiri adalah Awliya Syeikh H. Ilyas Maulana Mansur yang
dimakamkan di Cikadueun, Pandeglang, Banten. Selanjutnya dinyatakan bahwa
Syeikh 'Abd Allah Rifa'i ini menikah dengan Ny. R. Modjanagara, puteri Raden
Adipati Wira Tanu Datar IV (Raden Sabirudin), seorang Adipati Cianjur. Adipati
ini dikenal dengan seorang penguasa yang alım, luas pengetahuan agamanya dan
sangat sholeh
Dari perkawinan 'Abd Allah Rifa'i
dengan Ny. R Modjanagara ini lahirlah beberapa putera dan puteri, yakni 1)
Raden Aria Mangkupradja yang kemudian menjadi Patih Cianjur dan selanjutnya
menurunkan silsilah Bupati Cianjur, 2) Raden Muhamad Husen yang kemudian
menjadi Pangbulu Gede Cianjur, 3) Nyi Bodedar yang menjadi orang terkaya di
zamannya dan telah mewakafkan berhektar-hektar tanah untuk keperluan
kepengbuluan, salah satu wakafnya yang hingga kini masih ada dikelola oleh
Badan Wakaf Masjid Agung Cianjur.
Jika kita membaca keterangan yang
ada dalam teks Masyahid an-Nasik fi Magamat as-Salik, ‘Abd al-Qahhar
sendiri menyatakan diri pernah tinggal di Cianjur, maka pernyataan dalam
Sejarah Cianjur adalah masuk akal dan dapat diterima. Berdasarkan pernyataan
dari Sejarah Cianjur di atas, maka keraguan Martin van Bruinessen mengenai
apakah ayah atau ibunya yang memiliki darah Banten dapat segera terjawab. ‘Abd
al-Qahhar merupakan keturunan Arab-Banten, ayahnya adalah ulama dari Arab,
yakni ‘Abd al-Qahhar , dan ibunya adalah orang Banten cucu Sultan Ageng
Tirtayasa, Ratu 'Aisyah
Abd al-Qahhar merupakan anak didik Sultan Abū
an-Nasr Muhammad 'Arif Zain al-Asyıqin (berkuasa 1753-1777) dan disebut- sebut
sebagai ulama yang produktif menyalin dan menulis karya-karya berbahasa Arab
maupun Jawa yang menjadi koleksi perpustakaan Kesultanan Banten sebelum
dirampas oleh Belanda pada tahun 1830 pasca likuidasi kesultanan."
Sepeninggalnya, terdapat tiga nama yang menjadi khalifah dari tarekat yang
dikembangkannya, seperti qadi Muhammad Tahir dari Bogor, Haji Muhammad Ali dari
Cianjur, dan Haji Muhammad Ibrahim Harun al-Jalis dari Cianjur." Perihal
kedekatannya dengan Sang Sultan adalah sebuah fakta, karena beberapa karyanya
seringkali merupakan permintaan Sang Sultan, sehingga membawa saya untuk
berasumsi bahwa ulama ini meski tidak tinggal di keraton ia tetap mendapat
dukungan dan perlindungan dari Sang Sultan
Dalam karya yang ia tulis, ia
mengaku bermazhab Syafi'i dalam soal fikih, pengikut tarekat Syattarıyah dan
Qadiriyyah, mengikuti mazhab al-Maturidi dalam soal akidah, dan mendapatkan
kematangan intelektualnya dari Makkah Musyarrafah. Selebihnya, tidak terdapat
sumber yang memberikan informasi mengenai kehidupannya secara utuh. Namun yang
jelas, ia dikenal dekat dengan Sultan Abū an-Nasr Muhammad 'Arif Zain
al-'Asyiqin yang kemudian banyak memintanya untuk menyalın atau menulis
buku-buku keagamaan untuk dipergunakan di Banten.
Berdasar kutipan di atas, ‘Abd
al-Qahhar pernah tinggal di Makkah pada tahun 1159 H/1746 M dan sempat menyalin
kitab berjudul Masa karya Muhammad bin Syaikh al-Baqī al-Maliki. Sementara itu,
dalam kumpulan naskah A. 131 halaman 68 juga dijumpai keterangan bahwa ‘Abd
al-Qahhar ini pada tahun 1161 H/1748 sempat mengarang naskah berjudul Risalab
Syurut al-Hajj di Makkah
Ketika di Makkah, ia berguru
kepada al-Imam Muhammad bin 'Ali ath-Thabari, putera 'Ali ath-Thabari yang juga
guru para ulama Nusantara pada abad sebelumnya semisal 'Abd ar-Ra'üf Singkel.
Guru penting keduanya ini pernah berguru kepada 'Abd Allah bin Sälim al- Bashri
al-Makki yang juga guru beberapa ulama kenamaan asal Nusantara di abad ke-17.
Darinya ‘Abd al-Qahhar menerima ajaran tarekat Syattariyah yang kemudian ia
sebarkan di daerah Banten dan sekitarnya. Dia juga memperoleh ijazah secara
langsung pengajaran kitab hadis karangan Muhammad Ali ath-Thabari berjudul Faydh
al Abad fi 'lim bi "Uluwwi al-Isnád
Beberapa nama gurunya yang lain
semasa di Makkah adalah Imam 'Abd al-Wahhab asy-Syafi'i, Sa'id asy-Syibli,
"Ali al-Yamani, Ahmad al-Astabawi, 'Ata' al-Mishri, Ahmad al-Mahalli,
Sa'id al- Magribi, Sälım al-Ganuqi al-Hadhrami, Sayyid 'Umar ad-Därir, Sayyid
Muhammad al-Mafazi, dan 'Abd al-Wahhab ath-Thanthawi al-Azhari, kepada nama
yang disebut terakhir ‘Abd al-Qahhar belajar ilmu fikih, tafsir al Baidhawi dan
hadis di Masjid al-Harara. Sementara satu nama gurunya yang paling memebrikan
pengaruh besar terhadap pemikiran ‘Abd al-Qahhar adalah Sayyid Ibrahim
al-Madani dan al-Imam Muhammad bin 'Ali ath-Thabari. Hal ini terlihat dari
tingginya pujian yang ia berikan kepada kedua ulama besar itu yang ia sebut
sebagai al- Alim al-'Allamah (penghulu para ularna).
Sedangkan selama di Madinah ‘Abd
al-Qahhar antara lain berguru kepada Sayyid Ibrahim al-Madani bin Muhammad
Thahir al- Madani yang memberinya ijazah pengajaran kitab as-Simt al-Majid
karya Ahmad al-Qusyäsyi. Hal ini terbilang wajar karena Sayyid Ibrahim al-
Madani merupakan putera dari Muhammad Thahir al-Madani yang disebut-sebut
sebagai anak sekaligus pengganti dari Ibrahim al-Kurani. Dengan demikian, guru
'Abd al-Qahhar adalah cucu ulama kenamaan abad ke-17 yang sangat berpengaruh
dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara pada abad sebelumnya. ‘Abd al-Qahhar
juga menerima tarekat Naqsyabandiyyah dari Ibrahim al-Madani
Ketika Syaikh Yusuf al-Maqassari
memperkenalkan tarekat Naqsyabandıyyah di Banten, bukanlah merupakan tarekat
dalam arti organisasi yang dibawanya melainkan hanya teknik-tekniknya, terutama
zikirnya dan metodenya dalam mengatur nafas. Pasalnya, jika benar ia telah
mengajarkannya pastilah akan ditemui beberapa orang khalifahnya di daerah
Banten. Kasus ‘Abd al-Qahhar mungkin berbeda. Syaikh Abd al-Qahhar ini telah mengangkat beberapa
khalifah di daerah-daerah sekitar Banten, yang tampaknya semacam permulaan bagi
organisasi yang sebenarnya, suatu jaringan yang pelan- pelan mengembang Namun,
tidak ada petunjuk sama sekali bahwa sesuatu yang menyerupai gerakan massa
telah timbul (bandingkan dengan pemberontakan petani Banten pada abad ke-19).
Dengan demikian, perkembangan tarekat syattariyah di Banten tidak lain atas
pengaruh dari ‘Abd al-Qahhar , akan tetapi tarekat ini perlahan pudar karena
datangnya tarekat Qadiriyah dan Naqasabandiyah.
Kesaktian dan ilmu kekebalan
dibanten yang membuat masyarakat sangat tertarik belajar Tarekat Syattariyah
Rifa’iyah, Martin Van Bruinessn dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,
mencatat bahwa Tarekat Rifaiyah yang paling berpengaruh dalam debus banten,
menurut Ubadillah, dosen Fakultas Dakwah UIN Sultan maulana Hasanuddin Banten,
menambahkan bahwa unsur utama dalam debus, yaitu permainan dengan senjata tajam
yang ditikam ke tubuh, jelas berasal dari Tarekat Rifa’iya, yang seiring dengan
waktu Tarekat Syattariyah bergabung dengan Rifa’iyah
Pada dasarnya ilmu kebal harus
ada yang melatih dan selalu latihan dengan alat-alat tajam, dan sungguh
disayangkan sekarang tidak ada latihan debus lagi setelah kakeknya meninggal
karena alat-alatnya sudah tidak ada lagi. Tarekat syattariyyah ini yang sangat
langka karena adanya penggabungan dengan ilmu debus, karena kekhwatiran dari
para leluhur KH. Mustanjid pada zaman sekrang khwatir disalahgunakan, maka dari
itu tidak sembarangan orang mudah untuk dibaiat dalam tarekat ini, karena zaman
sekarang sama zaman dahulu itu sangat berbeda, pada zaman dahulu memiliki ilmu
debus ini digunakan untuk melawan penjajahan dan menjaga diri dari segala
bentuk kejahatan maka sangat dipentingkan untuk mempunyai penjagaan ilmu, salah
satunya ilmu Tarekat Syatariyyah ini
Karya ‘Abd al-Qahhar
Berdasarkan pelacakan yang telah
peneliti lakukan hingga saat ini, setidaknya ditemukan 21 buah karya yang masih
dalam bentuk karya tulis tangan (manuscript) dan tersimpan di berbagai
tempat terutama di PNRI. Data berikut ini tentu saja masih tidak menutup
kemungkinan adanya karya lain yang belum terdeteksi secara lengkap. Karya-karya
berikut ini tentu saja ada yang berbentuk saduran, salinan, maupun terjemahan
dari karya ulama lain yang ia lakukan untuk kebutuhan pribadi maupun untuk
kebutuhan sultan. Nomor urut 1-3 merupakan tiga karya orisinil beliau,
sedangkan selanjutnya adalah karya salinan/saduran dari ulama terkenal saat
itu. Ke-21 karya tersebut adalah: 1) Fath al-Mulk li Yasila ilā Malik
al-Mulk 'Ala Qã dah Ahli Sulük, 2) Masyāhid al-Nasik fi Maqam al-Salik, 3)
Risalah fi Syurüt al-Hajj; (teks ke-4 dalam naskah), 4) Al-Mawahib
al-Rabbaniyyah 'an Asilati al-Jawiyyah, 5) Al-Kafi fi 'ilm al-'Arüdh wa al-Qawafi,
6) Manāhij al-Salik ila Asyraf al-Masalık, 7) Ikhtilaf al-Madzāhib, 8) Kitab
al-Marsima, 9) Rahmat al-Umah fi Ikhtilaf al-Aimah, 10) Kitāb al-Bustan, 11)
Kitab al-Masail Majmű at al-Kutub, 12) Al-Fathiyah fi 'ilm al-Hisābiyyah dan
Ma'rifat Istikhrāj A'mal al-Lail wa al-Nahär min Rubi Dairah (rub'ul
mujib), 13) Futūh al-Asrar fi Fadha il
at-Tahlil wa al-Adzkir 14) Kitab al-Hajibiyyah (salah satu teks dalam naskah
desa Pontang), 15) Washiyat al-Tullah (teks pertama dalam naskah desa Pontang),
16) Risalah Syattāriyah (Tuhfah al-Mursalah) (teks terakhir dalam naskah desa
Pontang) 17) Kitāb fi Risalat al-Asānid wa al-Ijāra, 18) Ushül al-Hadīts, 19)
Matn al-Tahiyyah fi Ushül al-Hadīts, 20) Kitāb al-Niqāyah fi Arba'a Asyar
Ilman, 21) Ilm al-Farā'ide
Sekilas Pemikiran ‘Abd al-Qahhar
Pemikiran tasawuf tokoh ulama
Banten ini terangkum dalam karya monumentalnya yang hingga kini masih dalam
bentuk manuscript yang berjudul “Fath al-Mulk liyasila ila Malik al-Mulk dan
Masyahid al-Nasik ila Maqamat al-Salik.” Sebagaimana corak pemikiran
tasawuf Melayu Nusantara abad ke-17 dan ke-18 yang berkembang saat itu,
pemikiran Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar sangat terpengaruh doktrin
mistisisme-filosofis terutama mengenai paham wujudiyah (Martabat Tujuh)
sebagaimana terekam dalam kedua naskah di atas, meski ia juga tetap cenderung
mempertahankan kesetiaan pada sisi-sisi syariat dalam melakukan praktek-praktek
keagamaan, terutama praktek ala mazhab Syafi'i dalam hukum fiqh dan
mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam hal teologi (aqidah)
Jejak kecenderungan pandangannya
dalam hal ibadah dan mu'amalah dapat dilihat dalam naskah yang ia salin
sendiri seperti dalam Kitab al-Masa il, Risalah fi Syurut al-Haj, dan
naskah lainnya. Selain cenderung kepada kajian filosofis-mistis yang memang
hingga saat itu masih sangat terasa pengaruhnya dalam wacana dunia Islam yang
sadah mulai meredup, pada sejumlah karyanya ia juga kerap membahas masalah
keutamaan ilmu, zikir dan tahlil, moralitas sosial, masalah-masalah hukum fiqh
(terutama sisi peribadatan dan hubungan sosial), serta manajemen hati. Hal ini
dapat dibaca pada teks lain dalam karyanya yang berjudul “Fath al-Mulk dan
juga pada beberapa teks dari naskah Majmu'at al-Kutub”
Amalan dan Ajaran tarekat
Syattariyah tiada lain adalah mengamalankan kalimat-kalimat toyyibah
untuk mendekatkan diri kepada Allah sampai mencapai kehakikatan dengan tujuan
mendaptkan ridho dan kebahagian dari Allah swt. Dan bacaan dzikir tarekat
syatthariyah dalam mengingat Allah tiada lain adalah kalimat tauhid yang
bertujuan untuk mentauhidkan Allah dengan menanamkannya didalam hati guna
mengesakan Tuhan Allah, bahwa tiada tuhan selain Allah. Dengan mengingat dan
mengamalkan kalimat tauhid inilah semua ilmu akan mudah masuk kedalam hati
Tarekat Syattariyah memiliki Keistimewaan terutama tarekat Syattariyah
wa Rifa’iyah di Banten, berikut merupakan keistimewaan Tarekat
Syattariyah wa Rifa’iyah. Tarekat Syattariyah termasuk dalam Tarekat
Muktabarok, yaitu yang bersanad sampai ke Nabi Muhammad SAW. Tarekat
Syathariah lahir di benua Arabia, sebagaimana kita ketahui jika Naksyabandi,
Qodariyah dan lainnya lahir di benua Arabia sedangkan Tarekat Syattariyah
lahir atau berkembang Di Negara India.
Tarekat Syattariyah merupakan tarekat
tertua kedua setelah Tarekat Qodariyah yang berdiri pada abad 13
sedangkan Tarekat Syattariyah abad ke 15 Hanya tarekat Syattariyah yang
bisa bergabung dengan Rifa’iyah di Banten. Jika Tarekat Maulawiyah
Jalaluddin Rumi memiliki tarian Sufi, maka Tarekat Syattariyah di
banten ada Rifa’iyah dengan debusnya. Jika Tarekat yang lain Umat Muslim
diharuskan bergabung dan terbuka untuk umum maka tarekat Syattariyah
hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terpilih. Tarekat Syattariyah
diamalkan dikalangan kerajaan Kesultanan Banten
Pada dasarnya ilmu kebal harus ada yang melatih dan selalu latihan dengan
alat-alat tajam, dan sungguh disayangkan sekarang tidak ada latihan debus lagi
setelah kakeknya meninggal karena alat-alatnya sudah tidak ada lagi. Tarekat
syattariyyah ini yang sangat langka karena adanya penggabungan dengan ilmu
debus, karena kekhwatiran dari para leluhur KH. Mustanjid pada zaman sekarang
khawatir disalahgunakan, maka dari itu tidak sembarangan orang mudah untuk
dibaiat dalam tarekat ini, karena zaman sekarang sama zaman dahulu itu sangat
berbeda, pada zaman dahulu memiliki ilmu debus ini digunakan untuk melawan
penjajahan dan menjaga diri dari segala bentuk kejahatan maka sangat
dipentingkan untuk mempunyai penjagaan ilmu, salah satunya ilmu Tarekat
Syatariyyah ini
Dan amalan atau wiridan untuk debus ini masih sangat di rahasiakan. Menurut
Van Bruinessen mengatakan “sang raja mengajarkan tentara sebagai doa dan teknik
yang dengan berkah Syekh Ahmad Rifa’i dan wali lainnya akan membuat mereka
kebal terhadap besi, api, dan racun”
Karena hal ini pula menurut Rohman, Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh yusuf
mengajarkan ilmu debus sehingga mendongkrak semangat untuk melawan para
penjajah, sebelum para perajurit menggunakan bela diri debus, para prajurit
diharuskan berpuasa, membaca doa-doa tertentu, zikir, wirid, serta jika telah
sampai tingkat fana, barulah mereka siap untuk melawan para penjajah dan
pantang mundur.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas,
bisa ditarik benang merahnya bahwa pada abad ke-15 menandai lahirnya tarekat
Syattariyah di India, yang kemudian memperluas jangkauannya hingga ke Pulau
Jawa dan tersebar luas di Nusantara termasuk Banten. Nama tarekat ini diambil
dari nama pendirinya, Abdullah asy-Syattar. Pengaruh Abd Al-Qahhar terhadap
penyebaran tarekat syattariyah di Banten.
Tarekat Syattariyah adalah
terekat yang memiliki banyak keistimewaan dan kelebihan yang sangat unik
dibandingkan dengan terekat lainnya. Terutama di daerah Banten. Hanya di
Bantenlah terakat Syattariyah ini bisa disatukan dengan tarekat Rifa’iyah.
Sehingga keistimewaan dan fadilahnyapun semakin dahsyat. Tarekat Syattariyah
dan Rifa’iyah merupakan Tarekat yang selain pengamalan dalam mendekatkan diri
kepada Allah SWT, tarekat ini juga bisa menambah kewibawaan dan disegani oleh
banyak orang, dengan catatan diamalkan dengan sungguh-sungguh dan dalam
bimbingan guru yang berhak dan bersanad kepapada Rasullah SAW. Namun demikian,
pada masa ini terekat Syattariyah sangat popular sekali di kalangan masyarakat
Banten, namun pada masa kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak populer lagi
karena di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu Abdul Qahhar
Al-Syatari al- Bantani karena beranggapan tarekat ini berlawanan dengan
politik.
BIBLIOGRAFI
Ahmad,
C. (2019). Dinamika Perkembangan Tarekat Syattariyah Dan Tarekat
Naqsyabandiyah Di Minangkabau. Hadharah Jurnal Kesilaman Dan Peradaban,
13(2).
Awaludin,
M. (2016a). Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Nusantara. El-Afkar: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 5(2).
Awaludin,
M. (2016b). Sejarah Dan Perkembangan Tarekat Di Nusantara. El-Afkar: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 5(2), 125–134.
Azhari,
A., Musthofa, M., & Wahidin, K. (2021). Sejarah dan Ajaran Tarekat
Syattariyyah di Keraton Keprabonan. Jurnal Sosial Dan Sains, 1(5),
359–367.
Azra,
A. (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah. Prenada Media.
Bahri,
S. (2004a). Tasawuf Syaikh Abd al-Rauf Singkel dan paham wujudiyyah dalam
karyanya kitab tanbih al-masyi.
Bahri,
S. (2004b). Tasawuf Syaikh Abd al-Rauf Singkel dan paham wujudiyyah dalam
karyanya kitab tanbih al-masyi.
Faslah,
R., Syaikh Burhanuddin, S., Tengah, P., Pariaman, K., Khoirul Fata, A., &
Sultan Amai Gorontalo, I. (2020). Islam, Adat, Dan Tarekat Syattariyah Di
Minangkabau. Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, 6(2).
Fathurrahman,
O. (2008). Tarekat Syattariyyah di Minangkabau. Prenada Media Group.
Khotib,
A. A. (n.d.). Tarekat Syattariyyah Di Tanara Banten. Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Komariah,
S., Dzawafi, A. A., & Rosyadi, S. (2024). Perkembangan dan Nilai-Nilai
Ajaran Thoriqoh Syattariyyah di Banten. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 9(8), 4203–4217.
Kurdi,
M. (2023). Abdurrauf As-Singkili: Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat
Syattariah di Dunia Melayu. Naskah Aceh.
Kurniawan,
A. F. (2011). Konsep’Awalim’Abd Allah Bin’Abd Al-qahhar Al-bantani dalam
Diskursus Wujudiyyah di Nusantara. Al Qalam, 28(3), 419–448.
Nasution,
H. (1978). Islam Ditinjau dari Berbagai aspek, jilid I, II, III. Jakarta:
UI Press, Tahun.
Ni’am,
M. (2024). MUI Tetapkan 10 Indikator Aliran Sesat.
Https://Www.Nu.or.Id/Warta/Mui-Tetapkan-10-Indikator-Aliran-Sesat-Cli2e.
Shoheh,
M. (2015). Naskah Al-Jawahir Al-Khamsah Sebagai Sumber Rujukan Ajaran Tareka
Tsyattariyah Dan Persebaran Salinannya. Alqalam, 32(1).
https://doi.org/10.32678/alqalam.v32i1.563
Shoheh,
M. (2021). Futuh al-Asrar fi Fadhail al-Tahlil wa al-adzkar Karya Syekh
Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani.
Sugiyono.
(2017). Metode penelitian bisnis: pendekatan kuantitatif, kualitatif,
kombinasi, dan R&D. Penerbit CV. Alfabeta: Bandung, 225(87),
48–61.
Sunyoto,
A. (2017). Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai
Fakta Sejarah.
Tajudin,
M. (2024a). Di Wawancarai Oleh Penulis pada Kamis 15 Agustus 2024 di Tanara
Banten.
Tajudin,
M. (2024b). Di Wawancarai Oleh Penulis pada minggu 14 Juli 2024 di Tanara
Banten.
Tim
Penyusun JATMAN. (2005). Mengenal Thariqah (Pekalongan: Lajnah Ta‟alif wa
Nasr JATMAN).
Ubaidillah.
(2024). Di Wawancarai Oleh Penulis pada Jum’at 5 Juli 2024 di Tanara Banten.
Wahyuni,
Y. S. (2018). Nazam Qusyasyi (Tarekat Syattariyah Ulakan): Suntingan Teks dan
Analisis Isi. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Sains Dan Teknologi, XII(3).
Wati,
R., Khairulyadi, & Ikramatoun, S. (2019). Ritual dan Solidaritas Sosial
dalam Perspektif Interaksi Ritual Randal Collins (Studi Kasus Tarekat
Syattariyah Abu Habib Muda Seunangan). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP
Unsyiah, 4(3).
Zed,
M. (2008). Metode penelitian kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Copyright
holder: Nurhayanah, Agus Ali Dzawafi, Hafidz Taqiyuddin (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |