Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

PENGARUH ‘ABD AL-QAHHAR TERHADAP PERKEMBANGAN TAREKAT SYATTARIYAH DI BANTEN

 

Nurhayanah1, Devi Rahmawati2, Hafidz Taqiyuddin3

UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Banten, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Karya ilmiah ini akan membahas pengaruh ‘Abd al-Qahhar terhadap Tarekat Syattariyah di Banten. Tarekat adalah cara, jalan untuk mengamalkan zikir tertentu kepada Allah SWT. Berdasarkan ulama ulama besar tertentu. Tarekat Syattariyah adalah ajaran yang pertama kali muncul di negara India pada abad ke-15. Tarekat ini diajarkan oleh tokoh yang telah mengembangkan dan mempopulerkannya yaitu Abdullah Asyattar yang kemudian disebarluaskan oleh para mursyid dan murid-muridnya, sampai dengan ke tanah Banten. Tujuan penelitian ini yaitu: untuk mengetahui pengaruh Abd Qahhar terhadap perkembangan Tarekat Syatariyyah di tanah Banten. Metode penelitian yang digunakan yaitu analisis kualitiatif dengan jenis penelitian lapangan (field research), yakni pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti guna mendapatkan data yang relevan di Tanara Banten. Data primer penelitian ini  yaitu mewawancarai Kyai Mustanjid Tajudin sebagai penyambung sanad (mursyid) dari Tarekat Syatariyyah di Tanara Banten. Data sekunder yang diperoleh atau dikumpulkan melalui buku-buku, brosur, dan artikel yang didapat dari website yang berkaitan dengan penelitian. Hasil dari penelitian ini bahwa terekat Syattariyah sangat popular sekali di kalangan masyarakat Banten, namun pada masa kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak populer lagi karena di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu Abdul Qahhar Al-Syatari al- Bantani karena beranggapan tarekat ini berlawanan dengan politik.

Kata Kunci: Tarekat Syattariyah, ‘Abd al-Qahhar.

 

Abstract

This scientific work will discuss the influence of ‘Abd al-Qahhar on the Syattariyah Tarekat in Banten. Tarekat is a way, a way to practice certain dhikr to Allah SWT. Based on certain great Islamic scholars. The Syattariyah Order is a teaching that first appeared in India in the 15th century. This order was taught by the figure who developed and popularized it, namely Abdullah Asyattar, who was then spread by his murshids and students, all the way to the land of Banten. The aim of this research is: to determine the influence of Abd Qahhar on the development of the Syatariyyah Order in Banten. The research method used is qualitative analysis with a type of field research, namely direct observation of the object being studied in order to obtain relevant data in Tanara Banten. The primary data for this research is interviewing Kyai Mustanjid Tajudin as the connecting sanad (mursyid) of the Syatariyyah Tarekat in Tanara Banten. Secondary data obtained or collected through books, brochures and articles obtained from websites related to research. The results of this research are that Tarekat Syattariyah is very popular among the people of Banten, but during the Ageng Tirtayasa Sultanate it was no longer popular because it was developed by Sultan Haji or Shaykh Abdullah Ibnu Abdul Qahhar Al-Syatari al-Bantani because he thought this tarekat was against politics.

Keywords: Tarekat Syattariyah, ‘Abd al-Qahhar.

Pendahuluan

Dalam konteks Islam, salah satu pendekatan pendidikan adalah membentuk seseorang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus cakap, berilmu, sehat, dan kreatif. Salah satu metode yang mengedepankan kemandirian dan tanggung jawab adalah metode tarekat, yang mempunyai reputasi yang sudah lama ada. Metode ini tidak hanya memberikan pengetahuan dan wawasan, tetapi juga menanamkan kerangka hidup dan prinsip-prinsip pedoman bagi siswa atau mereka yang terlibat di dalamnya. Saat ini, terdapat kesalahpahaman yang umum bahwa tarekat ini hanya berfungsi sebagai entitas organisasi, aliran pemikiran, atau sarana penyucian spiritual (Nasution, 1978).

Tarekat merupakan konsep baru yang muncul pada penghujung abad kelima awal abad ke 6 H, pada tataran konseptual tarekat merupakan jalan atau metode sufi yang mengantarkan hamba kepada Allah SWT (Wati et al., 2019). Pengaruh Islam di nusantara jelas terlihat pada abad ke 15-16 M, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya ajaran Islam serta beberapa tradisi Arab yang mempengaruhi Islam di nusantara salah satunya adalah ajaran tarekat (Wahyuni, 2018). Syattariyah mulai dikenalkan ke nusantara oleh Syekh Abd al-Rauf al-Singkili di Aceh yang telah belajar kepada Syekh Ahmad Qusyasyi di Mekkah (Azhari et al., 2021). Terekat bisa di kategorikan sebagai budaya. Agama dan budaya memilikihubungan cukup rumit. Disatu sisi agama merupakan unsur penting bagi pembentukan budaya itu sendiri, namun di saat bersamaan budaya juga memberikan pengaruh penting bagi ekspresi beragama (Faslah et al., 2020).

Tarekat adalah cara, jalan untuk mengamalkan zikir tertentu kepada Allah SWT. Berdasarkan ulama ulama besar tertentu (Azhari et al., 2021). Tarekat juga dapat menjelaskan mata rantai intelektual yang menghubungkan masyarakat muslim nusantara dengan masyarakat muslim internasional. Persaudaraan tarekat di Nusantara menunjukkan apa yang disebut Azyumardi Azra sebagai “Jaringan UlamaNusantara Mizan dalam. Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal Singkil yang bernama Abdurrauf As Singkili (Azhari et al., 2021). Kajian khusus tentang tarekat Syattariyah, meski telah banyak dilakukan, namun tetap memiliki daya tarik tersendiri.

Tarekat adalah suatu jalan, cara, madzhab, aliran dan tempat berteduh. Tarekat dibangun di atas hubungan yang erat antara seorang guru (mursyid) dengan muridnya. Hubungan mursyid dan murid ini dapat dianggap sebagai pilar penting dalam organisasi tarekat. Hubungan tersebut diawali dengan pernyataan kesetiaan (bai'at) dari seseorang yang hendak menjadi murid tarekat kepada syekh tertentu sebagai mursyid (Ahmad, 2019). Teknis dan tatacara untuk melakukan Bai'at bisa sangat bervariasi. Setelah baiat, siswa diharapkan untuk mematuhi ajaran dan permintaan mursyid, yang dipandang sebagai wakil Nabi. Lebih jauh lagi, Bai'at dipandang sebagai perjanjian antara murid sebagai murid dan Al-Haqq sebagai tuhannya. Mursyid memiliki metode unik untuk mengevaluasi kompetensi dan kemajuan setiap siswa, dan mungkin memiliki pendekatan penilaian yang berbeda untuk masing-masing siswa (Bahri, 2004a).

Dalam ilmu tasawwuf seringkali dikenal istilah Tariqah, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridha Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Atthuruq bil adadil anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan macamnya. Orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima (Mu’tabarah Wa ghairu Mu’tabarah) (Awaludin, 2016a). Hal ini dikeluarkannya Fatwa MUI yang tujuannya agar tidak ikut terserat dan bisa berhati-hati jika mendengar atau menerima tawaran untuk mengikuti aliran yang tidak diterima. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi panduan untuk mengidentifikasi sebuah aliran tersebut sesat atau tidak. 10 indikator sebagai cirri-ciri aliran sesat yang disampaikan dalam penutupan rakernas MUI di Hotel Sari Pan Pacific, Jl MH Thamrin, Jakarta, Selasa (6/11/2007) adalah: 1) Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam, 2) Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan Sunnah, 3) Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an, 4)  Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an, 5) Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, 6) Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam, 7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul, 8) Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir, 9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu, dan 10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Meskipun sudah memenuhi sebagian indikator, Sekretaris Umum MUI Ichwan Syam mengatakan fihaknya akan mengkaji terlebih dahulu, tidak secara langsung sebuah kelompok dikatakan sesat. "Butuh waktu dan pengkajian mendalam untuk mengeluarkan fatwa sesat (Ni’am, 2024).

Ajaran tarekat Syattariyah yang lebih dominan menggunakan akal dibandingkan amalan lain, yang mana menjadi sebuah ciri khas dalam tarekat ini. Waktu penyebarannya di Jawa, tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar, terutama pada kebudayaan, agama atau ajaran kejawen, yang sekarang dinamakan kepercayaan terhadap tuhan yang Maha Esa (Azhari et al., 2021). Tarekat Syattariyah merupakan suatu ajaran  keagamaan yang ajarannya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Inti pada pentingnya tauhid, Al-Qur’an, Hadits, yurisprudensi, tafsir, zikir spiritual, dan penyucian jiwa. Syekh Abdurrauf as-Sinkili memaparkan konsep tersebut dalam karya sastra terkenalnya yaitu “Umdah al-Muhtajin”. Tarekat Syattariyah memiliki kesamaan dengan tarekat lain dalam hal kesetiaan, ajaran doktrinal, dan ketaatan adatnya, sekaligus menunjukkan ciri-ciri khas tertentu yang membedakannya dari tarekat agama lain (Bahri, 2004b).

Melihat penelitian terdahulu jurnal yang berjudul Perkembangan Dan Nilai - Nilai Ajaran Thoriqoh Syattariyyah Di Banten” (Komariah et al., 2024) dan dari sebuah buku yang berjudul “Futuh al-Asrar fi Fadhail al-Tahlil wa al-adzkar : Karya Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani” (Shoheh, 2015), dalam penelitian terdahulu tersebut, menyatakan Abdul Qahhar memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan Tarekat Syattariyah di Banten, akan tetapi dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara rinci bagaimana dan langkah Abdul Qahhar dalam menyebarkan Tarekat Syattariyah di Banten. Adapun tujuan penelitian ini, peneliti bermaksud untuk meneliti pengaruh Abd Qahhar terhadap perkembangan Tarekat Syatariyyah di tanah Banten. Tarekat secara signifikan mempengaruhi struktur hubungan sosial, aktivitas masyarakat, praktik keagamaan, pilihan gaya hidup, dan prinsip etika dalam suatu komunitas. Adapun manfaat penelitian ini yaitu mengetahui lebih dalam tentang ajaran Tarekat Syattariyah, karena tarekat itu sendiri adalah untuk mencapai marifat, yakni mengenali Tuhan dengan sebenar-benarnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan pernyataan bahwa tarekat merupakan pelaksanaan dari syariat yang merupakan uraian dari ajaran Islam. Sedangkan hakekat ialah keadaan hati, dan marifat adalah tujuan pokoknya. Syariat diibaratkan sebagai perahu, tarekat sebagai lautan, dan hakekat sebagai mutiara dan marifat sebagai keindahan mutiaranya. Orang tidak bisa mendapatkan keindahan dari mutiara tanpa berlayar dengan perahu dan menyelam ke dalam lautan.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yakni pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti guna mendapatkan data yang relevan (Sugiyono, 2017). Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian analisis kualitatif. Dengan lokasi penelitian adalah di Tanara Banten. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data; pertama sumber data primer, kedua sumber data sekunder. Data primer adalah data yang di dapat dari sumber utama baik individu ataupun perseorangan, seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti (Sugiyono, 2017). Dalam penelitian ini yang menjadi data primer yaitu mewawancarai Kyai Mustanjid Tajudin sebagai penyambung sanad dari Tarekat Syatariyyah di Tanara Banten. Sedangkan Data sekunder merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan melalui buku-buku, brosur, dan artikel yang didapat dari website yang berkaitan dengan penelitian. Data ini mendukung pembahasan dan penelitian, untuk itu beberapa sumber buku atau data yang diperoleh akan membantu dan mengkaji secara kritis penelitian yang sesuai dengan tema penelitian (Zed, 2008).

Dalam pengumpulan data baik itu yang berupa segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi. Dalam usaha pengumpulan data, peneliti gunakan dalam penlitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi yang membantu peneliti untuk mencari atau mendapatan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Adapun analisis data yang peneliti gunakan untuk menghasilkan data yang relevan yaitu melalui tiga tahap : Observasi lapangan, observasi ini di lakukan di Tanara banten pada tanggal 5 Juli 2024 sampai 14 Juli 2024. Wawancara, wewawancarai dengan tiga narasumber; pertama, Kyai Mustanjid Tajudin sebagai penyambung sanad dari Tarekat Syatariyyah di Tanara Banten, kedua Ubaedillah, dan Muhamad Shoheh. Tahap yang terakhir yaitu dokumentasi , Ayah kyiai Mustanjid bernama KH.Syekh Ma'mun Bin Syekh Muhhamad Ali Al madinah Wafat pada  20 Ramadhan Tahun 1996 yang di maqomkan di Cakung Sakujang Serang Banten. Dokumentasi yang tujuannya sebagai bukti dalam proses pencarian data.

 

Hasil dan Pembahasan

Pengertian Tarekat

Secara etimologis istilah tarekat berasal dari bahasa Arab taraqa, bentuk jamaknya tara'iq yang berarti suatu tujuan, keadaan, aliran, atau garis dalam konteks tertentu. Al-Qur'an, sebagai sumber utama, sering kali menyinggung konsep-konsep tarekat, yang kesemuanya pada akhirnya menyatu pada gagasan mendasar tentang suatu jalan atau metodologi (Fathurrahman, 2008).

Secara etimologi berarti : (1) jalan, cara (al-kaifiyyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab) ;Menurut istilah tarekat berarti perjalanan seorang saleh (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Kata “tarekat” mempunyai tantangan dalam rumusan yang tepat karena maknanya yang terus berkembang seiring dengan perluasan jangkauan dan pengaruhnya. Akibatnya, terdapat banyak penafsiran mengenai konsep "tarekat" baik dalam konteks agama maupun sekuler (Azra, 2013). Salah satu definisi tersebut, sebagaimana diutarakan oleh Syekh al-Jurjani, mencirikan "tarekat" sebagai jalan dan perilaku yang ditentukan bagi individu yang berbakti kepada Allah, maju melalui berbagai tahap perkembangan spiritual menuju tingkat pencerahan dan pencapaian yang lebih tinggi. Kedua, menurut Fuad Sa'id, tarekat dapat dipahami sebagai sarana atau jalan untuk mencapai kedekatan dengan Allah melalui pengamalan ilmu tasawuf, tauhid, dan fiqh. Ketiga, menurut Harun Nasution, tarekat merupakan jalan yang harus dilalui oleh seorang sufi guna mencapai hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Dalam konteks ini, tarekat dianggap sebagai lembaga terorganisir di mana setiap jemaah dipimpin oleh seorang syekh dan terlibat dalam ritual seremonial dan peringatan khusus. Keempat, Hamka menegaskan bahwa ada perjalanan antara seorang hamba dengan Penciptanya yang harus berhasil dijalani, yang biasa disebut dengan Terekat (Azra, 2013).

 

Munculnya Tarekat

Pada hakekatnya tarekat bukanlah sesuatu yang terpisah dari syari'at, sebab tarekat adalah pengejawantahan dari syariat itu sendiri. Sebagaimana lazim dikatakan orang, ”syariat tanpa tarekat adalah kosong, sedangkan tarekat tanpa syariat adalah bohong.” Terkait hal ini Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas menyatakan bahwa tarekat merupakan bagian terpenting dari pada pelaksanaan tasawuf. Mempelajari tasawuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawuf diterangkan, bahwa syariat itu hanya peraturan belaka, tarekat lah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu, apabila syariat dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan atau ahwal, sedangkan tujuan yang terakhir ialah makrifat yaitu mengenal dan mencintai Tuhan dengan sebaik-baiknya (Awaludin, 2016b).

Habib Muhammad Lutfi bin Yahya, Pemimpin Jamiyyah Ahlit Tarekat Al- Mu’tabarah An-Nahdliyyah, membagi Tarekat dua: Tarekat Syariah dan Tarekat Wushul. Tarekat Syariah adalah seperangkat aturan-aturan fiqih yang disebutkan dalam berbagai kitab-kitab para fukaha yang mu’tabar, para muhadistin, mutakalimin dan mufassirin yang mu’tabar. Sedangkan tarekat wushul adalah upaya memetik natijah (hasil) dari pelaksanaan tarekat Syariah dengan mengikuti bimbingan seorang Syekh dengan penuh khidmah (pengapdian), muaffaqoh (mengangap benar) dan menghindar buruk sangka, serta berupaya membersihkan hatinya dari berbagai sifat tercela, menghiasinya dengan sifat mulia, dan memperbanyak zikir, menyebut nama Allah. Karena pembersihan hati dari berbagai hal negatif tersebut hukumnya wajib, maka wajib pula hukum memasuki tarikat (Tim Penyusun JATMAN, 2005).

 

Masuknya Tarekat Ke Nusantara

Sejarah tarekat di Indonesia diyakini sama dengan sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Para sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak Sufidtik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarikat yang dibawa para wali. Sehingga perubahan besar itu pun berlangsung nyaris tanpa meneteskan darah sedikitpun. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di india yang dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan, bahkan konon sedikit pemaksaan dengan senjata. Oleh para raja Muslim seperti Sultan Mahmud Ghadzna, Auranzeb, Haidar Aly, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India terlebih setelah terbagi tiga dengan Pakistan dengan Banglades dan muslim, Islam tetap tidak berhasil secara massip menggeser Hindu sebagai Agama mayoritas masyarakat (Sunyoto, 2017).

Besarnya pengaruh tarekat dalam islamisasi juga didukung dengan dari temuan sejarah bahwa sebenarnya Islam sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7, dan di Jawa sejak abad 11 M, namun sejauh itu tidak cukup signifikan mengubah agama masyarakat nusantara. Islam saat ini hanya menjadi agama para pendatang yang berkumpul dalam komuniatas-komunitas kecil di beberapa kota di pesisir Jawa, seperti di Leran (Gresik), Idramanyu dan Semarang. Sementara penduduk asli diceritakan masih hidup dengan agamanya, bahkan digambarkan dengan pola hidup yang “kotor” (Sunyoto, 2017).

Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhalaki yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran tarekat di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur Ahklak, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima sacara terbuka oleh kaum fukaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Dilanjutkan dengan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf yang dipimpin oleh para sufi terkemuka seperti Syekh Abdul Qadir Al- Jailani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqoh Qodiriyyah. Ada juga Syekh Najmudin Kubro (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqoh Kubrawiyyah; Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqoh Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Arfa’iyyah. Belakangan, pada awal abad keempat belas juga lahir Tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandy (wafat 1389) di Khurasan dan Tarekat Syathariyyah yang di dirikan Syekh Abdullah Asy-Syatthari (wafat 1428 M) (Tim Penyusun JATMAN, 2005).

Tarekat-tarekat ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara, melalui para penyebar agama Islam. Mencapai puncaknya pada abad 17-18, bersamaan dengan orang-orang Jawa yang naik haji. Hingga saat ini tak kurang dari 44 tarekat yang telah ada dan tersebar di seluruh Indonesia (Tim Penyusun JATMAN, 2005).

a.   Era Wali Songo (Wali Sembilan)

Para sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spritualitas itu dianggap lebihdekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarikat yang dibawa oleh para wali. Sayang nya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa cacatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana raja-raja Muslim (Tim Penyusun JATMAN, 2005).

Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia tarekat adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno, dalam karya sastra yang ditulis diawal berdirinya kesultaanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syehk Najmuddin Kubra dan Syekh Abu Hasan Asyadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh Izazah kemursyidan Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah (Tim Penyusun JATMAN, 2005). Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati dengan yang hidup diabad 16 dengan Syekh Abul Hasan asy- Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syekh Abu Najmuddin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidak lah munkin,

Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri tarekat dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultaanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa (Awaludin, 2016b).

Selain Sunan Gunung Jati, anggota wali songgo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang alias Raden Makhdum Ibrahim. Dalam babat Tanah Jawi, Sunan Ampel disebut-sebut mengajarkan Suluk Tarekat Naqsabandiyah. Sementara Sunan Bonang, diceritakan oleh Caita Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah dikediri, karena menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, lalu pindah ke Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak. Tak lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang membangun zawiyyah dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani suluk itu lah Raden Makhdum Ibrahim yang kemudian bergelar Sunan Bonang itu melanjutkan dakwahnya. Adapun pendekatan-pendekatan baru ini terbukti dengan beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat (Sunyoto, 2017).

b.   Pada Abad Ke 17-18

Tarekat lain yang tercatat masuk ke Nusantara pada periode awal adalah Tarekat Qodiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga tarekat tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.

Tarekat Qadiriyyah yang di bawa oleh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski banyak meninggalkan karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana kenegeri-negeri di Asia selatan dan tenggara itu diyakini tidak menyebarkan tarekat nya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin al-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Tarekat Syadthariyyah izazah kemursidan Syathariyyahnya di peroleh dari sufi asal Hujarat, Syeh Muhammad Bin Fadhlullah Burhanpuri (Awaludin, 2016b).

Meskipun berbeda tarekat, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan faham Wahdatul wujud, yang kemudian memicu konflik tajam dengan Sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syekh Nuruddin Al-Raniri. Usaha kelompok Al-Raniri dalam memeranggi ajaran pantaisme ala-Syamsuddin itu tidak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zauwiyyah-zauwiyyahnya, al-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsuddin serta para pengikutnya.

Sepeninggal al-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syekh Abdul Rau’f al- Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama 19 tahun itu membawa Tarikat Syadthariyyah yang lebih bercorak ahklaki. Ijazah kemursyidan Syehk Abdul Rau’f Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syehk Ahmad al-Qusasy (wafat 1660 M) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syadthariyyah la Syamsudin yang kontrofersial dan Syekh Nuruddin al-Raniri, Abdul Rau’f di utus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan Tarekat Syadthariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaaan (Awaludin, 2016b).

Syekh Abdul Rauf Singkel memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam dan Tarekat Syaddthariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, yang berdakwah, berjuang melawan VOC dan wafat priaman sumatra barat. Melalui ulama sufi dan juga pernah berguru kepada Syekh Ahmad al-Kusasi di Mekah, Tarekat Syadthariyyah kemudian menyebar di Sumatra Barat. Tokoh lain yang hidup semasa Syekh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syekh Ibrahim al-Kurnia serta ulam sufi lainnya di Timur Tenggah adalah Syekh Yusuf al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syekh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi izazah kemursyidan tarikat Naqsabandiyah, Qadariyyah, Syathariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah (Awaludin, 2016b).

Tarekat Syatariyah masuk ke daerah Banten dan kemudian di popularkan di banten yang di bawa oleh Hamzah fansuri yang pernah mengembara di banten khusunya di istana kesultanan Banten dan mengenalkan tarekat Syattariyah kepada Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Pada masa ini terekat Syattariyah sangat popular sekali di kalangan masyarakat Banten, namun pada masa kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak populer lagi karena di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu Abdul Qahhar Al-Syatari al- Bantani karena beranggapan tarekat ini berlawanan dengan politik (Khotib, n.d.).

Berbeda dengan orang lain, ‘Abd al-Qahhar yang menyebarkan tarekat sattariyah di Banten. ‘Abd al-Qahhar merupakan keturunan Arab-Banten, ayahnya adalah ulama dari Arab, yakni ‘Abd al-Qahhar , dan ibunya adalah orang Banten cucu Sultan Ageng Tirtayasa, Ratu 'Aisyah. ia berguru kepada al-Imam Muhammad bin 'Ali ath-Thabari, putera 'Ali ath-Thabari yang juga guru para ulama Nusantara pada abad sebelumnya semisal 'Abd ar-Ra'üf Singkel (Khotib, n.d.). Guru penting keduanya ini pernah berguru kepada 'Abd Allah bin Sälim al- Bashri al-Makki yang juga guru beberapa ulama kenamaan asal Nusantara di abad ke-17. Darinya ‘Abd al-Qahhar menerima ajaran tarekat Syattariyah yang kemudian ia sebarkan di daerah Banten dan sekitarnya. Dia juga memperoleh ijazah secara langsung pengajaran kitab hadis karangan Muhammad Ali ath-Thabari berjudul Faydh al Abad fi 'lim bi Uluwwi al-Isnád.

 

'Abdul  al-Qahhar dan Pengaruh Perkembangan Tariqah Syattariyah di Banten

Nama 'Abd Allah bin 'Abd al-Qahhar al-Bantanī diabadikan dalam tulisan Martin van Bruinessen meski tidak tuntas (hanya disebutkan dalam dua paragraph). Martin menyebutnya sebagai Guru Besar (tarekat) di kesultanan Banten selain Syeikh Yusuf al-Maqassari, artinya, Martin menganggapnya sebagau ulama yang memiliki pengaruh besar kesultanan Banten.

Menurut pendapat Halwany Michrob (alm), sebagaimana yang dicatat oleh Minal Aidin, bahwa yang dimaksud dengan tokoh Abdullah bin 'Abdul Qahhar al-Bantani adalah Abdullan putra 'Abdul Qahhar alias Sultan Haji Abu Nasr. Karena 'Abdullah bukanlah orang yang akan menjadi sultan, maka dalam tulisannya ia selalu memakai nama ayah di belakang namanya, sehingga namanya menjadi Abdullah bin 'Abdul Qahhar, sedangkan 'Abdul Qahhar yang dimaksud adalah Sultan Haji Abu Nasr yang memerintah tahun 1672. Namun, jika diteliti secara seksama, ternyata di antara 10 orang putra-putri sultan Haji udak terdapat seorangpun yang bernama Abdullah (Shoheh, 2021).

Sedangkan berdasarkan silsilah "Sedjarah Tjikoendoel” sebagaimana yang dikutip Minal 'Aidin- terdapat nama Abdullah Rifa'i putra Syekh Abdul Qahhar, yakni seorang ulama Banten yang kemudian menikah dengan Ratu 'Aisyah cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayah dari Ratu 'Aisyah adalah Syekh H. Ilyas Maulana Mansur Abdul Qahhar yang dimakamkan di Cikadueun, Pandeglang. Syekh Abdullah Rifa'i disebutkan juga menikah dengan janda R. Modjanagara, putri dari R. Wiraredja Regent (Bupati) Sukaraja, Bogor. Dari pernikahan ini kemudian lahir R.A. Mangkupradja yang kemudian menjadi Patih Cianjur, dan selanjutnya menurunkan silsilah Bupati Cianjur (Shoheh, 2021).

Nama lengkap Sang Guru Besar itu, sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber, adalah 'Abd Allah bin 'Abd al-Qahhar al- Bantani. Informasi mengenai ulama ini terbilang sangat minim sekalipun namanya cukup popular karena tercatat dalam beberapa karya biografi bermutu semisal Geischichte der Arabischen Literatur (GAL) karya Carl Brockelmann. Namun data-data yang disajikan dalam GAL ini hanya memuat perkiraan tahun wafat dan dua karya monumentalnya yang paling dikenal dunia yakni Risalah Syurut al-Hajj yang ia tulis selama ia berada di Makkah pada tahun 1748 dan Kitab al-Masa'il. Karena itu, pengungkapan lebih jauh mengenai jati diri tokoh ini masih menjadi pekerjaan lebih lanjut, dan peneliti seringkali harus mencari-carinya dalam beberapa biografi peneliti naskah maupun menelusuri naskah-naskah yang ia tulis.

Dalam jurnal Ade Fakih Kurniawan, menyatakan bahwa 'Abd Allah bin 'Abd al-Qahhar al-Bantani adalah cucu dari Sultan Ageng Tirtayasa." Jika yang ia maksud adalah cucu Sultan Ageng Tirtayasa melalui jalur Sultan Haji (putera Sultan Ageng Tirtayasa yang bergelar Sultan Abū an-Nasr ‘Abd al-Qahhar ), maka menurut saya itu adalah kesimpulan yang terburu-buru. Pasalnya, tidak ada satu keterangan pun yang menyatakan bahwa Sultan Haji memiliki putera bernama 'Abd Allah dalam silsilah keturunannya (Kurniawan, 2011).

Dalam silsilah Sejarah Cianjur, ditemukan nama 'Abd Allah dengan tambahan nama Rifa'i di belakangnya. 'Abd Allah Rifa'i ini adalah putera Syeikh ‘Abd al-Qahhar , seorang ulama Banten yang menikah dengan Ratu 'Aisyah cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayahanda Ratu 'Aisyah itu sendiri adalah Awliya Syeikh H. Ilyas Maulana Mansur yang dimakamkan di Cikadueun, Pandeglang, Banten. Selanjutnya dinyatakan bahwa Syeikh 'Abd Allah Rifa'i ini menikah dengan Ny. R. Modjanagara, puteri Raden Adipati Wira Tanu Datar IV (Raden Sabirudin), seorang Adipati Cianjur. Adipati ini dikenal dengan seorang penguasa yang alım, luas pengetahuan agamanya dan sangat sholeh (Kurniawan, 2011).

Dari perkawinan 'Abd Allah Rifa'i dengan Ny. R Modjanagara ini lahirlah beberapa putera dan puteri, yakni 1) Raden Aria Mangkupradja yang kemudian menjadi Patih Cianjur dan selanjutnya menurunkan silsilah Bupati Cianjur, 2) Raden Muhamad Husen yang kemudian menjadi Pangbulu Gede Cianjur, 3) Nyi Bodedar yang menjadi orang terkaya di zamannya dan telah mewakafkan berhektar-hektar tanah untuk keperluan kepengbuluan, salah satu wakafnya yang hingga kini masih ada dikelola oleh Badan Wakaf Masjid Agung Cianjur.

Jika kita membaca keterangan yang ada dalam teks Masyahid an-Nasik fi Magamat as-Salik, ‘Abd al-Qahhar sendiri menyatakan diri pernah tinggal di Cianjur, maka pernyataan dalam Sejarah Cianjur adalah masuk akal dan dapat diterima. Berdasarkan pernyataan dari Sejarah Cianjur di atas, maka keraguan Martin van Bruinessen mengenai apakah ayah atau ibunya yang memiliki darah Banten dapat segera terjawab. ‘Abd al-Qahhar merupakan keturunan Arab-Banten, ayahnya adalah ulama dari Arab, yakni ‘Abd al-Qahhar , dan ibunya adalah orang Banten cucu Sultan Ageng Tirtayasa, Ratu 'Aisyah (Kurdi, 2023).

Abd  al-Qahhar merupakan anak didik Sultan Abū an-Nasr Muhammad 'Arif Zain al-Asyıqin (berkuasa 1753-1777) dan disebut- sebut sebagai ulama yang produktif menyalin dan menulis karya-karya berbahasa Arab maupun Jawa yang menjadi koleksi perpustakaan Kesultanan Banten sebelum dirampas oleh Belanda pada tahun 1830 pasca likuidasi kesultanan." Sepeninggalnya, terdapat tiga nama yang menjadi khalifah dari tarekat yang dikembangkannya, seperti qadi Muhammad Tahir dari Bogor, Haji Muhammad Ali dari Cianjur, dan Haji Muhammad Ibrahim Harun al-Jalis dari Cianjur." Perihal kedekatannya dengan Sang Sultan adalah sebuah fakta, karena beberapa karyanya seringkali merupakan permintaan Sang Sultan, sehingga membawa saya untuk berasumsi bahwa ulama ini meski tidak tinggal di keraton ia tetap mendapat dukungan dan perlindungan dari Sang Sultan (Shoheh, 2021).

Dalam karya yang ia tulis, ia mengaku bermazhab Syafi'i dalam soal fikih, pengikut tarekat Syattarıyah dan Qadiriyyah, mengikuti mazhab al-Maturidi dalam soal akidah, dan mendapatkan kematangan intelektualnya dari Makkah Musyarrafah. Selebihnya, tidak terdapat sumber yang memberikan informasi mengenai kehidupannya secara utuh. Namun yang jelas, ia dikenal dekat dengan Sultan Abū an-Nasr Muhammad 'Arif Zain al-'Asyiqin yang kemudian banyak memintanya untuk menyalın atau menulis buku-buku keagamaan untuk dipergunakan di Banten.

Berdasar kutipan di atas, ‘Abd al-Qahhar pernah tinggal di Makkah pada tahun 1159 H/1746 M dan sempat menyalin kitab berjudul Masa karya Muhammad bin Syaikh al-Baqī al-Maliki. Sementara itu, dalam kumpulan naskah A. 131 halaman 68 juga dijumpai keterangan bahwa ‘Abd al-Qahhar ini pada tahun 1161 H/1748 sempat mengarang naskah berjudul Risalab Syurut al-Hajj di Makkah (Shoheh, 2021).

Ketika di Makkah, ia berguru kepada al-Imam Muhammad bin 'Ali ath-Thabari, putera 'Ali ath-Thabari yang juga guru para ulama Nusantara pada abad sebelumnya semisal 'Abd ar-Ra'üf Singkel. Guru penting keduanya ini pernah berguru kepada 'Abd Allah bin Sälim al- Bashri al-Makki yang juga guru beberapa ulama kenamaan asal Nusantara di abad ke-17. Darinya ‘Abd al-Qahhar menerima ajaran tarekat Syattariyah yang kemudian ia sebarkan di daerah Banten dan sekitarnya. Dia juga memperoleh ijazah secara langsung pengajaran kitab hadis karangan Muhammad Ali ath-Thabari berjudul Faydh al Abad fi 'lim bi "Uluwwi al-Isnád (Kurniawan, 2011).

Beberapa nama gurunya yang lain semasa di Makkah adalah Imam 'Abd al-Wahhab asy-Syafi'i, Sa'id asy-Syibli, "Ali al-Yamani, Ahmad al-Astabawi, 'Ata' al-Mishri, Ahmad al-Mahalli, Sa'id al- Magribi, Sälım al-Ganuqi al-Hadhrami, Sayyid 'Umar ad-Därir, Sayyid Muhammad al-Mafazi, dan 'Abd al-Wahhab ath-Thanthawi al-Azhari, kepada nama yang disebut terakhir ‘Abd al-Qahhar belajar ilmu fikih, tafsir al Baidhawi dan hadis di Masjid al-Harara. Sementara satu nama gurunya yang paling memebrikan pengaruh besar terhadap pemikiran ‘Abd al-Qahhar adalah Sayyid Ibrahim al-Madani dan al-Imam Muhammad bin 'Ali ath-Thabari. Hal ini terlihat dari tingginya pujian yang ia berikan kepada kedua ulama besar itu yang ia sebut sebagai al- Alim al-'Allamah (penghulu para ularna).

Sedangkan selama di Madinah ‘Abd al-Qahhar antara lain berguru kepada Sayyid Ibrahim al-Madani bin Muhammad Thahir al- Madani yang memberinya ijazah pengajaran kitab as-Simt al-Majid karya Ahmad al-Qusyäsyi. Hal ini terbilang wajar karena Sayyid Ibrahim al- Madani merupakan putera dari Muhammad Thahir al-Madani yang disebut-sebut sebagai anak sekaligus pengganti dari Ibrahim al-Kurani. Dengan demikian, guru 'Abd al-Qahhar adalah cucu ulama kenamaan abad ke-17 yang sangat berpengaruh dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara pada abad sebelumnya. ‘Abd al-Qahhar juga menerima tarekat Naqsyabandiyyah dari Ibrahim al-Madani (Shoheh, 2021).

Ketika Syaikh Yusuf al-Maqassari memperkenalkan tarekat Naqsyabandıyyah di Banten, bukanlah merupakan tarekat dalam arti organisasi yang dibawanya melainkan hanya teknik-tekniknya, terutama zikirnya dan metodenya dalam mengatur nafas. Pasalnya, jika benar ia telah mengajarkannya pastilah akan ditemui beberapa orang khalifahnya di daerah Banten. Kasus ‘Abd al-Qahhar mungkin berbeda. Syaikh Abd  al-Qahhar ini telah mengangkat beberapa khalifah di daerah-daerah sekitar Banten, yang tampaknya semacam permulaan bagi organisasi yang sebenarnya, suatu jaringan yang pelan- pelan mengembang Namun, tidak ada petunjuk sama sekali bahwa sesuatu yang menyerupai gerakan massa telah timbul (bandingkan dengan pemberontakan petani Banten pada abad ke-19). Dengan demikian, perkembangan tarekat syattariyah di Banten tidak lain atas pengaruh dari ‘Abd al-Qahhar , akan tetapi tarekat ini perlahan pudar karena datangnya tarekat Qadiriyah dan Naqasabandiyah.

Kesaktian dan ilmu kekebalan dibanten yang membuat masyarakat sangat tertarik belajar Tarekat Syattariyah Rifa’iyah, Martin Van Bruinessn dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, mencatat bahwa Tarekat Rifaiyah yang paling berpengaruh dalam debus banten, menurut Ubadillah, dosen Fakultas Dakwah UIN Sultan maulana Hasanuddin Banten, menambahkan bahwa unsur utama dalam debus, yaitu permainan dengan senjata tajam yang ditikam ke tubuh, jelas berasal dari Tarekat Rifa’iya, yang seiring dengan waktu Tarekat Syattariyah bergabung dengan Rifa’iyah (Ubaidillah, 2024).

Pada dasarnya ilmu kebal harus ada yang melatih dan selalu latihan dengan alat-alat tajam, dan sungguh disayangkan sekarang tidak ada latihan debus lagi setelah kakeknya meninggal karena alat-alatnya sudah tidak ada lagi. Tarekat syattariyyah ini yang sangat langka karena adanya penggabungan dengan ilmu debus, karena kekhwatiran dari para leluhur KH. Mustanjid pada zaman sekrang khwatir disalahgunakan, maka dari itu tidak sembarangan orang mudah untuk dibaiat dalam tarekat ini, karena zaman sekarang sama zaman dahulu itu sangat berbeda, pada zaman dahulu memiliki ilmu debus ini digunakan untuk melawan penjajahan dan menjaga diri dari segala bentuk kejahatan maka sangat dipentingkan untuk mempunyai penjagaan ilmu, salah satunya ilmu Tarekat Syatariyyah ini (Tajudin, 2024b).

 

Karya ‘Abd al-Qahhar

Berdasarkan pelacakan yang telah peneliti lakukan hingga saat ini, setidaknya ditemukan 21 buah karya yang masih dalam bentuk karya tulis tangan (manuscript) dan tersimpan di berbagai tempat terutama di PNRI. Data berikut ini tentu saja masih tidak menutup kemungkinan adanya karya lain yang belum terdeteksi secara lengkap. Karya-karya berikut ini tentu saja ada yang berbentuk saduran, salinan, maupun terjemahan dari karya ulama lain yang ia lakukan untuk kebutuhan pribadi maupun untuk kebutuhan sultan. Nomor urut 1-3 merupakan tiga karya orisinil beliau, sedangkan selanjutnya adalah karya salinan/saduran dari ulama terkenal saat itu. Ke-21 karya tersebut adalah: 1) Fath al-Mulk li Yasila ilā Malik al-Mulk 'Ala Qã dah Ahli Sulük, 2) Masyāhid al-Nasik fi Maqam al-Salik, 3) Risalah fi Syurüt al-Hajj; (teks ke-4 dalam naskah), 4) Al-Mawahib al-Rabbaniyyah 'an Asilati al-Jawiyyah, 5) Al-Kafi fi 'ilm al-'Arüdh wa al-Qawafi, 6) Manāhij al-Salik ila Asyraf al-Masalık, 7) Ikhtilaf al-Madzāhib, 8) Kitab al-Marsima, 9) Rahmat al-Umah fi Ikhtilaf al-Aimah, 10) Kitāb al-Bustan, 11) Kitab al-Masail Majmű at al-Kutub, 12) Al-Fathiyah fi 'ilm al-Hisābiyyah dan Ma'rifat Istikhrāj A'mal al-Lail wa al-Nahär min Rubi Dairah (rub'ul mujib),  13) Futūh al-Asrar fi Fadha il at-Tahlil wa al-Adzkir 14) Kitab al-Hajibiyyah (salah satu teks dalam naskah desa Pontang), 15) Washiyat al-Tullah (teks pertama dalam naskah desa Pontang), 16) Risalah Syattāriyah (Tuhfah al-Mursalah) (teks terakhir dalam naskah desa Pontang) 17) Kitāb fi Risalat al-Asānid wa al-Ijāra, 18) Ushül al-Hadīts, 19) Matn al-Tahiyyah fi Ushül al-Hadīts, 20) Kitāb al-Niqāyah fi Arba'a Asyar Ilman,  21) Ilm al-Farā'ide (Shoheh, 2021).

 

Sekilas Pemikiran ‘Abd al-Qahhar

Pemikiran tasawuf tokoh ulama Banten ini terangkum dalam karya monumentalnya yang hingga kini masih dalam bentuk manuscript yang berjudul “Fath al-Mulk liyasila ila Malik al-Mulk dan Masyahid al-Nasik ila Maqamat al-Salik.” Sebagaimana corak pemikiran tasawuf Melayu Nusantara abad ke-17 dan ke-18 yang berkembang saat itu, pemikiran Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar sangat terpengaruh doktrin mistisisme-filosofis terutama mengenai paham wujudiyah (Martabat Tujuh) sebagaimana terekam dalam kedua naskah di atas, meski ia juga tetap cenderung mempertahankan kesetiaan pada sisi-sisi syariat dalam melakukan praktek-praktek keagamaan, terutama praktek ala mazhab Syafi'i dalam hukum fiqh dan mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam hal teologi (aqidah) (Shoheh, 2021).

Jejak kecenderungan pandangannya dalam hal ibadah dan mu'amalah dapat dilihat dalam naskah yang ia salin sendiri seperti dalam Kitab al-Masa il, Risalah fi Syurut al-Haj, dan naskah lainnya. Selain cenderung kepada kajian filosofis-mistis yang memang hingga saat itu masih sangat terasa pengaruhnya dalam wacana dunia Islam yang sadah mulai meredup, pada sejumlah karyanya ia juga kerap membahas masalah keutamaan ilmu, zikir dan tahlil, moralitas sosial, masalah-masalah hukum fiqh (terutama sisi peribadatan dan hubungan sosial), serta manajemen hati. Hal ini dapat dibaca pada teks lain dalam karyanya yang berjudul “Fath al-Mulk dan juga pada beberapa teks dari naskah Majmu'at al-Kutub” (Shoheh, 2021).

Amalan dan Ajaran tarekat Syattariyah tiada lain adalah mengamalankan kalimat-kalimat toyyibah untuk mendekatkan diri kepada Allah sampai mencapai kehakikatan dengan tujuan mendaptkan ridho dan kebahagian dari Allah swt. Dan bacaan dzikir tarekat syatthariyah dalam mengingat Allah tiada lain adalah kalimat tauhid yang bertujuan untuk mentauhidkan Allah dengan menanamkannya didalam hati guna mengesakan Tuhan Allah, bahwa tiada tuhan selain Allah. Dengan mengingat dan mengamalkan kalimat tauhid inilah semua ilmu akan mudah masuk kedalam hati (Tajudin, 2024a).

Tarekat Syattariyah memiliki Keistimewaan terutama tarekat Syattariyah wa Rifa’iyah di Banten, berikut merupakan keistimewaan Tarekat Syattariyah wa Rifa’iyah. Tarekat Syattariyah termasuk dalam Tarekat Muktabarok, yaitu yang bersanad sampai ke Nabi Muhammad SAW. Tarekat Syathariah lahir di benua Arabia, sebagaimana kita ketahui jika Naksyabandi, Qodariyah dan lainnya lahir di benua Arabia sedangkan Tarekat Syattariyah lahir atau berkembang Di Negara India.

Tarekat Syattariyah merupakan tarekat tertua kedua setelah Tarekat Qodariyah yang berdiri pada abad 13 sedangkan Tarekat Syattariyah abad ke 15 Hanya tarekat Syattariyah yang bisa bergabung dengan Rifa’iyah di Banten. Jika Tarekat Maulawiyah Jalaluddin Rumi memiliki tarian Sufi, maka Tarekat Syattariyah di banten ada Rifa’iyah dengan debusnya. Jika Tarekat yang lain Umat Muslim diharuskan bergabung dan terbuka untuk umum maka tarekat Syattariyah hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terpilih. Tarekat Syattariyah diamalkan dikalangan kerajaan Kesultanan Banten (Tajudin, 2024b).

Pada dasarnya ilmu kebal harus ada yang melatih dan selalu latihan dengan alat-alat tajam, dan sungguh disayangkan sekarang tidak ada latihan debus lagi setelah kakeknya meninggal karena alat-alatnya sudah tidak ada lagi. Tarekat syattariyyah ini yang sangat langka karena adanya penggabungan dengan ilmu debus, karena kekhwatiran dari para leluhur KH. Mustanjid pada zaman sekarang khawatir disalahgunakan, maka dari itu tidak sembarangan orang mudah untuk dibaiat dalam tarekat ini, karena zaman sekarang sama zaman dahulu itu sangat berbeda, pada zaman dahulu memiliki ilmu debus ini digunakan untuk melawan penjajahan dan menjaga diri dari segala bentuk kejahatan maka sangat dipentingkan untuk mempunyai penjagaan ilmu, salah satunya ilmu Tarekat Syatariyyah ini (Tajudin, 2024b).

Dan amalan atau wiridan untuk debus ini masih sangat di rahasiakan. Menurut Van Bruinessen mengatakan “sang raja mengajarkan tentara sebagai doa dan teknik yang dengan berkah Syekh Ahmad Rifa’i dan wali lainnya akan membuat mereka kebal terhadap besi, api, dan racun” (Tajudin, 2024b).

Karena hal ini pula menurut Rohman, Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh yusuf mengajarkan ilmu debus sehingga mendongkrak semangat untuk melawan para penjajah, sebelum para perajurit menggunakan bela diri debus, para prajurit diharuskan berpuasa, membaca doa-doa tertentu, zikir, wirid, serta jika telah sampai tingkat fana, barulah mereka siap untuk melawan para penjajah dan pantang mundur.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, bisa ditarik benang merahnya bahwa pada abad ke-15 menandai lahirnya tarekat Syattariyah di India, yang kemudian memperluas jangkauannya hingga ke Pulau Jawa dan tersebar luas di Nusantara termasuk Banten. Nama tarekat ini diambil dari nama pendirinya, Abdullah asy-Syattar. Pengaruh Abd Al-Qahhar terhadap penyebaran tarekat syattariyah di Banten.

Tarekat Syattariyah adalah terekat yang memiliki banyak keistimewaan dan kelebihan yang sangat unik dibandingkan dengan terekat lainnya. Terutama di daerah Banten. Hanya di Bantenlah terakat Syattariyah ini bisa disatukan dengan tarekat Rifa’iyah. Sehingga keistimewaan dan fadilahnyapun semakin dahsyat. Tarekat Syattariyah dan Rifa’iyah merupakan Tarekat yang selain pengamalan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, tarekat ini juga bisa menambah kewibawaan dan disegani oleh banyak orang, dengan catatan diamalkan dengan sungguh-sungguh dan dalam bimbingan guru yang berhak dan bersanad kepapada Rasullah SAW. Namun demikian, pada masa ini terekat Syattariyah sangat popular sekali di kalangan masyarakat Banten, namun pada masa kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak populer lagi karena di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu Abdul Qahhar Al-Syatari al- Bantani karena beranggapan tarekat ini berlawanan dengan politik.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ahmad, C. (2019). Dinamika Perkembangan Tarekat Syattariyah Dan Tarekat Naqsyabandiyah Di Minangkabau. Hadharah Jurnal Kesilaman Dan Peradaban, 13(2).

Awaludin, M. (2016a). Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Nusantara. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 5(2).

Awaludin, M. (2016b). Sejarah Dan Perkembangan Tarekat Di Nusantara. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 5(2), 125–134.

Azhari, A., Musthofa, M., & Wahidin, K. (2021). Sejarah dan Ajaran Tarekat Syattariyyah di Keraton Keprabonan. Jurnal Sosial Dan Sains, 1(5), 359–367.

Azra, A. (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah. Prenada Media.

Bahri, S. (2004a). Tasawuf Syaikh Abd al-Rauf Singkel dan paham wujudiyyah dalam karyanya kitab tanbih al-masyi.

Bahri, S. (2004b). Tasawuf Syaikh Abd al-Rauf Singkel dan paham wujudiyyah dalam karyanya kitab tanbih al-masyi.

Faslah, R., Syaikh Burhanuddin, S., Tengah, P., Pariaman, K., Khoirul Fata, A., & Sultan Amai Gorontalo, I. (2020). Islam, Adat, Dan Tarekat Syattariyah Di Minangkabau. Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, 6(2).

Fathurrahman, O. (2008). Tarekat Syattariyyah di Minangkabau. Prenada Media Group.

Khotib, A. A. (n.d.). Tarekat Syattariyyah Di Tanara Banten. Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Komariah, S., Dzawafi, A. A., & Rosyadi, S. (2024). Perkembangan dan Nilai-Nilai Ajaran Thoriqoh Syattariyyah di Banten. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 9(8), 4203–4217.

Kurdi, M. (2023). Abdurrauf As-Singkili: Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat Syattariah di Dunia Melayu. Naskah Aceh.

Kurniawan, A. F. (2011). Konsep’Awalim’Abd Allah Bin’Abd Al-qahhar Al-bantani dalam Diskursus Wujudiyyah di Nusantara. Al Qalam, 28(3), 419–448.

Nasution, H. (1978). Islam Ditinjau dari Berbagai aspek, jilid I, II, III. Jakarta: UI Press, Tahun.

Ni’am, M. (2024). MUI Tetapkan 10 Indikator Aliran Sesat. Https://Www.Nu.or.Id/Warta/Mui-Tetapkan-10-Indikator-Aliran-Sesat-Cli2e.

Shoheh, M. (2015). Naskah Al-Jawahir Al-Khamsah Sebagai Sumber Rujukan Ajaran Tareka Tsyattariyah Dan Persebaran Salinannya. Alqalam, 32(1). https://doi.org/10.32678/alqalam.v32i1.563

Shoheh, M. (2021). Futuh al-Asrar fi Fadhail al-Tahlil wa al-adzkar Karya Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani.

Sugiyono. (2017). Metode penelitian bisnis: pendekatan kuantitatif, kualitatif, kombinasi, dan R&D. Penerbit CV. Alfabeta: Bandung, 225(87), 48–61.

Sunyoto, A. (2017). Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah.

Tajudin, M. (2024a). Di Wawancarai Oleh Penulis pada Kamis 15 Agustus 2024 di Tanara Banten.

Tajudin, M. (2024b). Di Wawancarai Oleh Penulis pada minggu 14 Juli 2024 di Tanara Banten.

Tim Penyusun JATMAN. (2005). Mengenal Thariqah (Pekalongan: Lajnah Ta‟alif wa Nasr JATMAN).

Ubaidillah. (2024). Di Wawancarai Oleh Penulis pada Jum’at 5 Juli 2024 di Tanara Banten.

Wahyuni, Y. S. (2018). Nazam Qusyasyi (Tarekat Syattariyah Ulakan): Suntingan Teks dan Analisis Isi. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Sains Dan Teknologi, XII(3).

Wati, R., Khairulyadi, & Ikramatoun, S. (2019). Ritual dan Solidaritas Sosial dalam Perspektif Interaksi Ritual Randal Collins (Studi Kasus Tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunangan). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, 4(3).

Zed, M. (2008). Metode penelitian kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

 

 

Copyright holder:

Nurhayanah, Agus Ali Dzawafi, Hafidz Taqiyuddin (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: