Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 6, Juni 2024

 

KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN ANAK DI KABUPATEN JAYAPURA

 

Farid Yusuf

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Indonesia

Email: [email protected]

                         

Abstrak

Tujuan dari penerapan pelayanan kesehatan yang modern dan professional adalah dengan memperhatikan nilai-nilai budaya lokal dan mengadopsi nilai-nilai budaya tersebut sebagai upaya untuk beradaptasi dengan budaya masyarakat dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan yang modern. Terdapat dua metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti dalam lingkup ilmu sosial, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Proses ini memberikan gambaran mengenai upaya peneliti dalam mengolah data secara mendalam dan mengelaborasi basis data penelitian hingga peneliti berhasil membangun kumpulan data yang lengkap. Dalam proses ini, peneliti melibatkan responden secara interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan dilakukan dengan standar MTBS. Akses rujukan dari puskesmas ke rumah sakit cukup jauh, akibatnya pertolongan untuk pasien MTBS dengan kondisi berat sulit ditangani, dan hal ini menjadi penyumbang angka kematian bayi yang cukup besar. Variabel karakteristik petugas dan masyarakat serta, faktor lain dari luar penanganan anak sakit yang diteliti, perilaku ibu untuk melihat kualitas layanan

Kata Kunci: Layanan Kesehatan, Penyakit, Manajemen, kualitas, Indonesia, Anak, Jayapura

 

Abstract

The aim of implementing modern and professional health services is to pay attention to local cultural values ​​and adopt these cultural values ​​as an effort to adapt to community culture in achieving the goals of modern health services. There are two research methods used by researchers in the social sciences, namely quantitative methods and qualitative methods. This process provides an overview of the researcher's efforts in processing data in depth and elaborating on the research database until the researcher succeeds in building a complete data set. In this process, researchers involve respondents interactively. The research results show that health services are carried out according to IMCI standards. Access for referrals from the health center to the hospital is quite far, as a result, assistance for IMCI patients with serious conditions is difficult to handle, and this is a fairly large contributor to the infant mortality rate. Variable characteristics of officers and the community as well as other factors outside the handling of sick children studied, mother's behavior, to see the quality of service

Keywords: Health Services, Disease, Management, quality, Indonesia, Children, Jayapura

 

Pendahuluan

Pada tahun 1990 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) telah digunakan sebagai standar pelayanan sekaligus pedoman pelayanan bagi tenaga kesehatan terutama di fasilitas pelayanan Kesehatan dasar, namun pelaksanaannya belum optimal, angka kematian balita masih dalam kategori tinggi. Sebagian besar penyebab kematian balita adalah penyakit yang dapat dicegah, seperti pneumonia, diare, malaria, campak atau kombinasi dari penyakit-penyakit tersebut dan dilatarbelakangi oleh kekurangan gizi.

Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012, SDKI Tahun 2017, dan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2020, penyebab utama kematian bayi bawah lima tahun (balita) di Indonesia adalah masalah neonatus (asfiksia, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan sepsis) masalah pneumonia dan diare serta malaria daerah endemis (Ministry Health of Indonesia, 2008). BBLR menurut Proverawati dan Ismawati (2010), Berat Bayi Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia. Demikian pula menurut (FMOH, WHO, 2012) BBLR merupakan salah satu penyumbang terbesar Angka Kematian Balita. Adapun kasus Angka Kematian Neonatal (AKN) di Indonesia sebesar 19/1000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2012 dan AKN 15/1000 KH pada tahun 2017, Angka Kematian Bayi (AKB) 32/1000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2012 dan AKB 24 KH pada tahun 2017, serta Angka Kematian Balita (AKABa) dan 40/1000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2012 dan AKABa 24/1000 pada tahun 2017. Artinya pada tahun 2017 bahwa setiap 1000 kelahiran neonatal ada  15 kasus kematian yang terjadi, pada setiap 1000 kelahiran bayi  ada 24 kasus kematian yang terjadi, dan pada setiap 1000 kelahiran balita ada 32 kasus kematian yang terjadi.

Sejak tahun 1990, Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penurunan Angka Kematian Balita (AKABa) meskipun begitu tren penurunan ini terjadi perlambatan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu 40 kasus kematian per 1000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Balita 32 per 1000 KH pada tahun 2017.  SDKI Tahun 2012 dan SDKI 2017 mencatat provinsi di Indonesia yang mempunyai Angka Kematian Balita AKABa lebih tinggi dari angka rata-rata nasional, antara lain Kepulauan Riau 42 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012 dan 18 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2017, kemudian 115 per 1000 kelahiran hidup di Provinsi Papua pada tahun 2012 dan 109 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2017.

Kemudian pada Angka Kematian Bayi (AKB) diketahui Angka Kematian Bayi (AKB) nasional (SDKI 2012) sebesar 32 per 1000 KH dan (SDKI 2017) 24 per 1000 KH sedangkan untuk Provinsi Papua sebesar 54 per 1000 KH pada tahun 2012 dan 32 per 1000 KH pada tahun 2017.

Dalam Survey Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023 pada kebijakan Kemenkes untuk ibu hamil adalah mendapatkan minimal 6 kali pelayanan antenatal. Terdapat kesenjangan dalam kontinuitas pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu pada masa kehamilan (continuum of care), hal ini diketahui pada proporsi nasional kunjungan K1 Murni sebesar 87,1%, K4 sebesar 84%, dan K6 sebesar 17,6%. Dalam proporsi mengikuti kelas ibu hamil pada perempuan 10-54 tahun bahwa Provinsi Papua masuk dalam perhatian serius sebab sebanyak 88,5% tidak mengikuti dan sebanyak 1,0% pernah mengikuti. Dilihat dari alasan tidak mengikuti bahwa sebanyak 43,2% tidak tertarik, 29,4% belum tau informasi, dan 15,9% dengan alasan lainnya. Pada masa nifas, ibu rentan terhadap komplikasi, sehingga kunjungan masa nifas diharapkan dilakukan sebanyak 4 kali (KF lengkap). Seperti halnya kunjungan antenatal, kunjungan nifas mempunyai kesenjangan terhadap kontinuitas pemanfaatannya, hal ini diketahui dari proporsi nasional KF 1 sebanyak 83,9%, KF 2 sebanyak 71,9%, KF 3 sebanyak 44,3%, KF 4 sebanyak 32,8%, dan KF lengkap sebanyak 26,8 %. Dalam proporsi pelayanan masa nifas pada perempuan 10-54 tahun bahwa Provinsi Papua juga mengalami kesenjangan dengan KF 1 sebanyak 75,0%, K2 sebanyak 43,0%, KF3 sebanyak 28,1%, KF4 sebanyak 24,8%, dan KF lengkap sebanyak 18,0%. Semakin tinggi angka ibu melahirkan maka semakin memicu kemungkinan kenaikan angka kematian pada bayi maka dari it untuk menjaga jarak kehamilan, Ibu diharapkan memanfaatkan layanan Keluarga berencana (KB) namun dilihat dari proposi jenis alat/cara kontrasepsi modern yang digunakan setelah melahirkan anak Terakhir pada perempuan umur 10-54 bahwa sebanyak 51,5% tidak menggunakan KB di Provinsi Papua. Dilihat dari alasan tidak menggunakan alat kontrasepsi bahwa sebanyak 45,3% tidak diizinkan suami/keluarga (SKI, 2023).

Dalam Survey Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023 bertujuan memberi gambaran situasi kesehatan ibu dan anak, khususnya neonatus, terkini untuk mendukung upaya penurunan AKI, AKN, AKB, AKBa dengan strategi yang lebih tepat dan efektif. Pada kebijakan Kemenkes untuk pelayanan neonatal adalah Periode neonatal merujuk pada periode 28 hari pertama setelah kelahiran. Pada periode tersebut, neonatus diharapkan memperoleh pelayanan sebanyak 3 kali Kunjungan Neonatal. Kunjungan neonatal menurun seiring usia hal ini diketahui dari proporsi nasional kunjungan neonatal 1 (KN1) sebesar 87,6%, KN2 sebesar 67,9% dan KN3 sebesar 45%. Sama halnya di Provinsi Papua juga mengalami penurunan bahwa kunjungan neonatal 1 (KN1) sebesar 71,8%, KN2 sebesar 47,2%, dan KN3 sebesar 39,9%. Kunjungan neonatal yang menurun seiring usia neonatus, menggambarkan permasalahan pada continuum of care. BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) merupakan masalah serius pada periode neonatal yang harus ditangani secara tepat. Penanganan yang tepat pada BBLR dapat menurunkan angka kematian bayi. Proporsi BBLR pada SKI 2023 sebesar 6,1%, namun terdapat 23,6% bayi BBLR yang tidak mendapatkan perawatan secara khusus (SKI, 2023). Penanganan yang tepat pada BBLR dapat menurunkan angka kematian bayi. Maka dari itu MTBS menjadi suatu standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar.

(Puspitarini and Hendrati, 2013). Hal ini menunjukkan perbedaan yang besar secara nasional dan adanya tantangan besar untuk menjawab isu keadilan (equity issue), Indonesia, 2014. Dalam buku Penyelenggaraan Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat.

 

Tabel 1. Perkembangan Pelaksanaan MTBS di Indonesia Secara Global

No

Tahun

Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Bayi (AKB)

Sumber

1.

2003

10,6 juta

46/1000

35/1000

SDKI dalam penelitian (Nurhayati, Dasuki and Wibowo, 2010)

2.

2007

44/1000

34/1000

Laporan SDKI, (Kemenkes, 2011)

3.

2009

7,5 juta

49.3/1.000

27/1000

Dalam penelitian (Gera et al., 2016)

4.

2012

40/1000

32/1000

Laporan SDKI, (2014)

5

2017

32/1000

24/1000

Laporan SDKI, (2017)

Sumber: Disiapkan oleh penulis, (2024)

 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dasar, terutama untuk balita. WHO dan Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mengembangkan sebuah klasifikasi dan paket terapi yang komprehensif, yang menggabungkan intervensi-intervensi yang terpisah menjadi satu paket MTBS. Alasan memprioritaskan tatalaksana balita adalah karena pada usia ini angka kesakitan dan kematian sangat tinggi sedangkan penyebabnya terutama oleh lima jenis penyakit utama, yang sebenarnya sangat mungkin disembuhkan dengan tatalaksana yang baik. MTBS bukan merupakan program kesehatan, tetapi merupakan standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan dasar. WHO memperkenalkan konsep pendekatan MTBS yang merupakan strategi upaya pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita di negara berkembang.

Salah satu tujuan pembangunan SDG’S (Sustainable Development Goals) tahun 2030 dan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) adalah untuk menurunkan angka kematian bayi baru lahir, bayi dan anak balita. Dimana berdasarkan target SDG’S, pada tahun 2030 mampu mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan balita, yaitu kematian neonatal setidaknya menjadi kurang dari 12/1000 kelahiran dan kematian balita menjadi serendah 25/1000 kelahiran (Kemenkes RI, 2015). Arah dan tujuan pembangunan kesehatan tersebut juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.

Penerapan MTBS terhadap balita sakit menggunakan suatu bagan yang memperlihatkan langkah-langkah dan penjelasan cara pelaksanaannya, sehingga dapat mengklasifikasikan penyakit yang dialami oleh balita, melakukan rujukan secara cepat apabila di perlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, ibu balita juga di beri konseling tatacara memberi obat di rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan dan memberitahukan kapan harus kembali (kunjungan ulang) atau segera kembali untuk pelayanan tindak lanjut (Kemenkes RI, 2015). Dari adanya langkah prosedur yang ditetapkan untuk mengetahui proses pelayanan pertahap inilah yang dapat meningkat kualitas pelayanan kesehatan, hal ini dikarenakan apabila ada proses salah satu tahap yang tidak terlaksanakan bisa menjadi evaluasi bagi petugas kesehatan begitu juga ketika proses pelayanan pada salah satu tahap berlangsung kurang baik atau kurang optimal maka bisa dievaluasi apakah karena kurangnya pengetahuan petugas, apakah belum terlatihnya petugas, apakah kurangnya jumlah tenaga kesehatan sehingga pelayanan tidak maksimal dan bisa saja menjadi budaya cut compass akibat dari banyaknya pasien sehingga mengejar target penyelesaian pelayanan dari pada perhatian untuk kualitas pelayanan yang baik.

Beberapa penelitian mengenai implementasi pelaksanaan MTBS di puskesmas telah banyak dikaji. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Suparmi et al. (2018) dengan tujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan MTBS di 10 kabupaten/kota di regional timur (n=20 puskesmas). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 20 Puskesmas yang telah dilakukan observasi dan assessment menunjukkan sebagian besar (80%) Puskesmas regional wilayah timur telah melaksanakan MTBS, namun hanya 25% Puskesmas yang menjangkau seluruh balita. Secara keseluruhan kepatuhan petugas dalam pelaksanana MTBS masih rendah yaitu sebesar 50,9%. Begitu pula kepatuhan petugas dalam pengisian formulir scara keseluruhan menunjukkan hasil yang masih rendah yaitu 55%.

Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Jawa Barat menunjukan bahwa hanya 2/3 Puskesmas yang memberikan pelayanan MTBS pada seluruh balita yang datang ke Puskesmas. Masalah ini berkaitan dengan kekurangan Sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang terlatih MTBS, kurangnya sarana prasarana mendukung termasuk obat/peralatan/infrastruktur, pengawasan, program promosi dalam puskesmas dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang pelaksanaan MTBS (Titaley et al., 2014). Firdaus et al. (2013) menyatakan bahwa Implementasi MTBS di Puskesmas Kabupaten Pasuruan kurang berjalan karena tidak semua petugas MTBS mendapatkan pelatihan, jumlah petugas tidak sebanding dengan jumlah balita yang berkunjung, belum adanya alokasi dana yang cukup, supervisi masih bersifat umum serta tidak ada tindak lanjut.

Penelitian serupa juga ditemukan oleh Hasibuan, et al.,( 2019) terkait penerapan mutu MTBS di Puskesmas Labuhan Rasoki Kota Padang Sidempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan MTBS belum seperti yang diharapkan, alur pelaksanaan MTBS yang tidak sesuai dengan modul MTBS, penilaian dan klasifikasi balita sakit tidak dilakukan secara keselurahan, tindak lanjut untuk anak sakit sakit tidak terlaksana, masih kurangnya sarana, prasarana dan peralatan untuk pelaksanaan MTBS dan masih kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih sehingga tidak ada tim MTBS.

Selanjutnya, penelitian serupa yang dilakukan oleh Puspitarini dan Hendrati (2013) di Kabupaten Lumajang yang dilakukan dengan pengamatan langsung untuk mengetahui langsung alur pelayanan dan keterpaduan pelayanan. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa alur pelayanan di salah satu puskesmas belum sesuai dengan pola MTBS serta belum terintegrasinya pelayanan yang diberikan pada balita sakit. Sedangkan kepatuhan terhadap standar di salah satu puskesmas tercatat baik yaitu 85% sedangkan puskesmas yang lain tercatat kurang yaitu < 60%. Pelaksanaan MTBS kurang mendapat dukungan dari Dinas Kesehatan baik kecukupan sarana dan prasarannya maupun kegiatan supervisi yang masih harus ditingkatkan (Puspitarini & Hendrati, 2013).

Dari beberapa kumpulan hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan MTBS di Indonesia belum berjalan dengan baik walau sekalipun tatalaksanan pelayanan MTBS telah tersedia namun peran dari petugas untuk menjalankan pelayananan berpengaruh pada kualitas pelayanan dimana baik tidaknya kualitas dapat dipengaruhi dari pengetahuan, pelatihan, lama kerja, serta lingkungan di masyarakat dalam hal ini pada budaya. Karena hal inilah peneliti tertarik untuk melihat kualitas pelayanan MTBS yang berlangsung di wilayah pengembangan I, II, dan III Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.

Kondisi sosio demografi Papua yang sangat penuh dengan keterbatasan, baik fasilitas maupun SDM akan sangat tidak menguntungkan jika masih dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi dengan protokol tetap MTBS, sehingga hasil MTBS saat dilakukan penilaian keberhasilan/evaluasi MTBS hasilnya akan sangat buruk. Misal: pelayanan tidak sesuai dengan alur pelayanan, maka dapat dipastikan tahap pemeriksaan sudah dilewati, alur pencatatan data keluhan pasien dilanjutkan dengan pemeriksaan, jika alur pemeriksaan tidak dilewati, dari pencatatan langsung pemberian obat kepada pasien, maka dapat terjadi kesalahan dalam pemberian dosis obat. Dapat digambarkan bahwa hasilnya dapat salah diagnosa bahkan dapat terjadi malpraktik. Petugas pelayanan MTBS yang bertanggung jawab, terhadap pelayanan MTBS akibatnya sangat protektif terhadap penilaian karena merasa sudah melakukan secara maksimal sehingga faktor pertama ini yang peneliti dapatkan di awal observasi penelitian dan sudah mendapatkan point (membuka ketertutupan/proteksi petugas pelayanan) untuk perbaikan pelayanan MTBS, pasien dilayani sesuai alur protap MTBS yang sudah baku. Belum lagi diperparah dengan pandangan sebagian masyarakat Papua yang memiliki persepsi pelayanan kesehatan yang kurang tepat yaitu dalam pelayanan kesehatan "kalau tidak disuntik berarti belum berobat", hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem pelayanan berbasis bukti. Dalam hal ini sosio kultural masyarakat atau hanya bersifat insidentil, namun hal ini sangat tidak baik untuk pelayanan kesehatan yang sangat mendasar.

Di Papua, masyarakat sering menggunakan istilah potong kompas, protap (protap) yang sudah ditetapkan tidak dijalankan seluruhnya oleh petugas pelayanan, misalnya seperti tindakan yang sebenarnya dilakukan setelah pasien diperiksa suhu tubuh, dicatat di formulir MTBS, masuk ke ruang pelayanan MTBS, pemeriksaan laboratorium dan dilanjutkan dengan observasi dan terapi pasien, tahapan observasi dan terapi/tindakan pasien ditiadakan atau tidak diterapkan/dilaksanakan, Setelah hasil laboratorium keluar, obat langsung diberikan dan pasien diperbolehkan pulang. Karena budaya memaki-maki orang tua pasien kepada petugas, timbul pikiran negatif, daripada dimaki-maki dalam waktu yang lama, lebih baik diselesaikan secepatnya. Pola pikir budaya orang tua pasien sendiri yang masih sedikit primitif dengan tidak adanya kesabaran memunculkan paradigma baru di lingkungan petugas, dengan istilah potong kompas, dan pada akhirnya membentuk budaya pelayanan petugas yang tidak berempati, cuek, dan kehilangan jiwa sosial.

Fakta lain yang sering kami dapatkan yang mungkin juga dirasakan oleh tenaga kesehatan di tempat lain di Indonesia Timur adalah bagaimana persepsi orang tua melihat anaknya jika masih bisa bermain padahal anak ini demam, atau anak masih bisa makan dan minum padahal sudah masuk angin, tidak dianggap sakit, atau bahkan anak dimarahi jika tanpa sebab anak selalu menangis, hal ini merupakan batasan pemikiran masyarakat yang sangat tidak baik untuk anaknya sendiri, anak Papua yang sakit, yang sedang membutuhkan pertolongan tenaga kesehatan namun tidak dianggap mendesak, yang sangat memerlukan perhatian dan penanganan tenaga kesehatan.

MTBS di Kabupaten Jayapura telah dimulai sejak tahun 2002. Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten yang dipilih oleh UNICEF di Provinsi Papua untuk pelaksanaan MTBS. Kabupaten Jayapura memiliki luas wilayah 17.516,60 km2 yang terbagi dalam 19 distrik, 144 kampung, dan 5 kelurahan, berdasarkan karakteristik geografisnya. Wilayah administratif Kabupaten Jayapura dikelompokkan menjadi 4 (empat) Wilayah Pembangunan I merupakan wilayah geografis pedesaan di sekitar Danau Sentani. Merupakan wilayah pedesaan yang mengelilingi danau dan pedesaan di pulau-pulau kecil di tengah perairan Danau Sentani (Griapon & Ma'rif, 2016), Pada wilayah Pembangunan I terdapat 3 (tiga) Puskesmas Sentani, Harapan, Dosay. Wilayah Pengembangan II adalah wilayah geografis pedesaan di pesisir pantai Laut Utara. Kaupaten Jayapura. Merupakan wilayah pedesaan di sepanjang pantai utara yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik, wilayah ini terisolasi oleh Pegunungan Cycloop dan perbukitan yang landai membentang dari Kampung Muaif di sebelah barat sampai Kampung Ormu di sebelah timur. Wilayah Pengembangan II memiliki 6 (enam) Puskesmas, yaitu Puskesmas Depapre, Kanda, Demta, Ebungfau, Yokari, Ravenirara. Wilayah Pengembangan III merupakan wilayah geografis pedesaan perbukitan dan lembah Grime-Sekori-Muaif. Merupakan daerah pedesaan dengan dataran subur yang luas. Di wilayah Pengembangan III terdapat 6 (enam) Puskesmas, yaitu Puskesmas Kemtuk, Kemtuk Gresi/Sawoy, Nimboran, Nimbokrang, Namblong, Gresi Selatan/Seduyap. Wilayah Pengembangan IV merupakan wilayah geografis pedesaan yang berbukit-bukit dan hulu.

Wilayah Pengembangan I, termasuk dalam kategori perkotaan, perilaku dan budaya modernisasi masyarakat sudah terbentuk dan pelayanan kesehatan yang modern akan lebih sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan Wilayah Pengembangan II, III, IV. Namun demikian penyesuaian budaya masyarakat dengan budaya pelayanan oleh petugas, untuk wilayah pengembangan II, III, IV perlu membangun karakter masyarakat yang masih sedikit primitif/belum modern, petugas pelayanan juga perlu pembinaan yang dapat melihat kondisi realitas budaya masyarakat yang akan dilayani. Diharapkan tidak berbenturan dengan budaya masyarakat setempat, mendukung penelitian yang dilakukan, Isniati (2012) Pelayanan kesehatan yang profesional dapat dilakukan pada daerah atau budaya tertentu dengan mengadopsi budaya setempat dan memodifikasi dengan prosedur pelayanan kesehatan yang modern dan profesional, Isniati (2012). Dengan tetap berpegang pada standar MTBS seperti pernyataan, Depkes RI (2008) . Peneliti memadukan antara standar MTBS dan pengobatan modern dengan memperhatikan pola budaya setempat sebelum memberikan pelayanan kepada pasien yang ditangani dengan standar MTBS untuk dapat mencapai target pelayanan yang optimal pada setiap kasus penyakit balita yang ditangani dengan MTBS.

Kabupaten ini memiliki 20 Puskesmas yang terdiri dari 6 Puskesmas rawat inap (Sentani, Genyem, Demta, Lereh, Unurumguay, Yapsi) dan 14 Puskesmas rawat jalan (Depapre, Dosay, Sawoy, Harapan, Nimbokrang, Kanda, Ebungfau, Namblong, Yokari, Kemtuk, Ravenirara, Airu, Pagay, Gresi Selatan). Setiap Puskesmas berada di satu Distrik/Kecamatan, hanya Distrik Airu yang memiliki 2 (dua) Puskesmas yaitu Pagai dan Airu karena letak geografisnya yang sangat terpencil.

Jumlah petugas MTBS di 20 Puskesmas Kabupaten Jayapura sebanyak 492 orang yang terdiri dari 26 orang dokter umum, 206 orang perawat, 145 orang bidan, 26 orang mantri kesehatan masyarakat, 33 orang ahli gizi, 33 orang ahli laboratorium, 19 orang apoteker, 4 orang farmasi. Dari data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura (2018) menunjukkan bahwa praktik MTBS di Puskesmas Kabupaten Jayapura yang berjalan secara rutin hanya di puskesmas perkotaan yaitu Puskesmas Sentani dan Puskesmas Harapan.

Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 24/1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKBAL) sebesar 16/1000 kelahiran hidup yang tercatat dalam profil kesehatan Kabupaten Jayapura tahun 2018 (hal: 18). Angka ini jauh di atas rata-rata seluruh Indonesia 40 kematian per 1000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) 32 per 1000 KH pada tahun 2012 (SDKI 2012). Sebanyak 15 (lima belas) dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi di Indonesia memiliki AKABA yang lebih tinggi dari rata-rata nasional, berkisar antara 42 per 1000 kelahiran hidup di Provinsi Kepulauan Riau hingga 115 per 1000 kelahiran hidup di Provinsi Papua (SDKI 2012). Di Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil laporan tahun 2018, sebanyak 9.648 balita ditimbang (Dinas Kesehatan Jayapura, 2018). Adanya perbedaan yang sangat jauh pada hasil penelitian SDKI 2012 Indonesia (2014) dengan data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura tahun 2018, maka penulis ingin mengurai kebenaran dari data yang disajikan khususnya data MTBS Kabupaten Jayapura.

Terdapat 3 (tiga) komponen dalam penerapan strategi MTBS, yaitu: Komponen I: meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan) Komponen II: memperbaiki sistem kesehatan agar tatalaksana penyakit pada balita lebih efektif Komponen III: memperbaiki praktik keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan untuk kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat, yang dikenal dengan "Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat"), (2008, 2008)

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan sistem pelayanan kesehatan memungkinkan petugas kesehatan untuk menerapkan keterampilan MTBS di fasilitas pelayanan dasar dengan baik. Upaya tersebut adalah dengan mengembangkan dan menerapkan strategi baru untuk mencegah dan mengobati penyakit dengan MTBS (3, 2011). Strategi ini meliputi: 1) Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam penanganan kasus balita sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan). 2) Memperbaiki sistem kesehatan agar penatalaksanaan penyakit pada balita lebih efektif. 3) Meningkatkan praktik keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan untuk kasus balita.

MTBS merupakan intervensi yang efektif untuk mengatasi masalah kematian bayi yang disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare, campak, malaria, malnutrisi, yang sering kali merupakan kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut. Pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar (Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes), Edisi 2011.

Dari 3 (tiga) konsep dasar strategi MTBS yang telah penulis paparkan di halaman 11 (sebelas) pada poin pertama, menurut penulis perlu ditambahkan unsur budaya petugas. Budaya petugas yang dimaksud adalah budaya petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti empati dalam pelayanan, perhatian, kesabaran, tepo sliro. Praktek di lapangan banyak petugas yang tidak menerapkan budaya tersebut, sehingga banyak prosedur pemeriksaan yang terlewatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja, akibatnya penyakit tidak terdiagnosa. Demikian pula dengan beberapa terapi/tindakan yang seharusnya dilakukan terhadap pasien yang terabaikan, lebih parahnya lagi berpengaruh besar terhadap penulisan status kesehatan balita, dan penyumbang terbesar RDA yang tinggi. Budaya petugas yang kurang baik berdasarkan pendapat peneliti terbentuk karena lingkungan sosial budaya setempat.

Berdasarkan data angka kematian dan kesakitan yang tinggi pada balita, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan khususnya pelayanan MTBS. Seperti halnya penelitian yang dilakukan (Kiplagat et al., 2014). Hal-hal yang mempengaruhi kualitas pelayanan antara lain fasilitas, dana dan Sumber Daya Manusia (SDM) melakukan penelitian tentang dukungan fasilitas dan dana dalam pelaksanaan MTBS. Serta pengaruh penyuluhan seperti penelitian yang dilakukan (Darwati et al., 2016) di Kabupaten Jayapura yang merupakan salah satu daerah yang dipilih oleh UNICEF untuk pelaksanaan dan penerapannya. Untuk mengevaluasi layanan MTBS, perlu juga dilakukan evaluasi sumber daya manusia terkait kualitas terutama karakteristik petugas MTBS meliputi pendidikan, pengetahuan, usia, lama bekerja dan pelatihan, serta sosial budaya yang pernah dilakukan sebelumnya. Kualitas pelayanan MTBS dapat dinilai berdasarkan kepuasan, menggunakan formulir tatalaksana bayi dan balita serta melakukan observasi langsung. Alasan inilah yang mendasari peneliti melakukan penelitian tentang kualitas pelayanan balita oleh tenaga kesehatan dengan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Pelaksanaan MTBS di wilayah pengembangan I kategori wilayah perkotaan, salah satunya Puskesmas Kota Sentani yang berlokasi di Kelurahan Hinekombe, Kampung Kemiri, jumlah kunjungan pasien MTBS sebanyak 30 - 40 pasien balita, yang dilayani dengan protokol MTBS tetap sebanyak 10 pasien. Petugas pelayanan MTBS sebanyak 70 orang, kunjungan pasien selain MTBS setiap harinya kurang lebih 150 - 200 pengunjung. Petugas pelayanan MTBS juga melayani pasien umum lainnya, selain pasien MTBS. Hasil penelusuran penulis di Puskesmas Sentani, MTBS sudah berjalan, namun karena banyaknya kunjungan pasien, petugas mengabaikan protap MTBS, angka kematian bayi 0 (nol) karena sebagian besar pasien bayi yang tidak dapat ditangani di Puskesmas Sentani dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Yowari atau rumah sakit lain, berdasarkan informasi petugas, dan data rujukan bayi. Petugas pelayanan sudah tersentuh dengan pelatihan MTBS, hanya saja budaya sosial kepedulian terhadap pelayanan masyarakat perlu penguatan dari supervisi dalam hal ini Dinas Kesehatan.

Di Wilayah Kerja II yang termasuk dalam transisi geografis perkotaan Puskesmas Kanda, angka kematian bayi cukup tinggi yaitu 9 bayi selama satu tahun dari target jumlah bayi di Puskesmas Kanda yaitu 895 bayi, sedangkan petugas pelayanan sebanyak 28 petugas. Secara geografis, akses ke fasilitas rujukan tidak terlalu jauh antara Puskesmas dengan Rumah Sakit Perkotaan. Lebih parahnya lagi, tidak ada klinik MTBS, sehingga pasien MTBS dilayani seperti protokol tetap pasien dewasa. Petugas pelayanan menjalankan tugas hanya sekedar menjalankan tugas, jiwa sosial melayani dengan hati sudah tidak terlihat lagi.

Demikian pula dengan Puskesmas Demta yang terletak di wilayah Pengembangan III, yaitu wilayah pesisir. Angka kematian bayi adalah 12 bayi meninggal dalam satu tahun pada tahun 2018, sedangkan target bayi hidup adalah 506 bayi. MTBS tidak berjalan serta tidak tersedianya klinik MTBS. Jumlah petugas MTBS sebanyak 21 orang. Pasien MTBS dilayani sama dengan pasien dewasa, budaya melayani dengan standar MTBS belum menjiwai pada petugas pelayanan, meskipun klinik MTBS belum disiapkan. Secara geografis, untuk menuju akses rujukan sangat jauh dan medannya sulit.

Puskesmas Kemtuk dengan angka kematian bayi sebanyak 13 pasien pada tahun 2018, adapun target bayi Puskesmas Kemtuk hanya 335 bayi, petugas MTBS 26 orang, klinik pelayanan MTBS tidak beroperasi, seharusnya dengan jumlah pasien yang sedikit dan petugas yang memadai pelaksanaan MTBS dapat berjalan. Budaya melayani dengan protokol MTBS yang tetap belum terbentuk sama sekali, sementara 5 petugas pelayanan sudah mendapatkan pelayanan MTBS. Akses rujukan dari puskesmas ke rumah sakit cukup jauh, akibatnya pertolongan untuk pasien MTBS dengan kondisi berat sulit ditangani, hal ini menjadi penyumbang angka kematian bayi yang cukup besar.

Dari ketiga Puskesmas tersebut, sebagai penyumbang kematian bayi terbesar, pertama Puskesmas Kemtuk 13 bayi, kedua Puskesmas Demta 12 bayi, Puskesmas Kanda 9 bayi. Ketiganya belum berjalan sama sekali dan belum membudaya di petugas Puskesmas, dengan berbagai alasan, mulai dari alasan rumit, membutuhkan waktu lama, tidak ada dukungan dana, sulit. Semua pasien dilayani sama dengan pasien umum lainnya, sedangkan bayi wajib mendapatkan pelayanan MTBS.

Kebiasaan petugas pelayanan yang masih enggan menggunakan kemampuan dan keterampilannya untuk melayani dengan MTBS, perilaku cut compass/tidak menjalankan protap yang sudah ditetapkan secara keseluruhan, Riskesdas 20012 dan data profil Dinkes Kabupaten Jayapura tahun 2018 berdasarkan kajian dari 4 Puskesmas yang berkontribusi pada tingginya angka kematian bayi di tiga puskesmas (Kanda, Penulis mencoba mengurai masalah global budaya pelayanan dan melayani di Kabupaten Jayapura dengan dasar tiga Standar Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti kualitas pelayanan yang berpengaruh pada baiknya pelayananan kesehatan di Kabupaten Jayapura.

 

Metode Penelitian

Terdapat dua metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti dalam lingkup ilmu sosial, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif, Penelitian kuantitatif menurut Robert Donmoyer dalam Prajitno, (2015), adalah pendekatan-pendekatan pada studi empiris untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menampilkan data dalam bentuk angka dari narasi.

Sedangkan dalam Penelitian Kualitatif dan Desain Riset menurut, Creswell (2013) menyajikan lima pendekatan dalam penelitian kualitatif yang diuraikan secara komparatif untuk memberikan landasan teoritis dan aplikatif bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian kualitatif dengan salah satu dari kelima pendekatan tersebut. Kelima pendekatan tersebut adalah naratif, fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan pendekatan studi kasus. Berikut ini akan diuraikan sekilas mengenai kelima pendekatan tersebut baik dari segi definisi, jenis, prosedumya, dan analisis data dalam laporan penelitian kualitatif. Selanjutnya kelima pendekatan tersebut akan diaplikasikan untuk meneliti fenomena petugas di 3 puskesmas di wilayah Kabupaten Jayapura

Definisi penelitian kualitatif dapat ditemukan di banyak literatur. Metode kualitatif lebih menekankan pada pengamatan fenomena dan lebih menelaah substansi makna dari fenomena tersebut. Analisis dan ketajaman penelitian kualitatif sangat dipengaruhi oleh kekuatan kata dan kalimat yang digunakan.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Creswell (2014) Menjelaskan bahwa penelitian yang menggunakan metode pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri, peneliti turun langsung ke lapangan untuk menemui responden yang mengalami secara langsung yang mengalami permasalahan. Oleh karena itu, peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk menemui responden dan mencari data atau pokok permasalahan dengan cara berkomunikasi langsung dengan responden dan memperhatikan perilaku responden, sehingga terjadi percakapan secara langsung (tatap muka). Cara inilah yang menurut Creswell penelitian kualitatif dilakukan pada lingkungan yang alamiah.

Dalam konteks ini, penelitian kualitatif yang akan peneliti lakukan menggunakan instrumen: mengumpulkan data sendiri melalui studi dokumentasi, observasi perilaku, atau wawancara dengan responden, dari 3 (tiga) sampel puskesmas yang berbeda secara geografis di Kabupaten Jayapura yang berkaitan dengan sosial budaya di 3 (tiga) puskesmas di 3 (tiga) wilayah geografis yang berbeda dan wilayah adat yang berbeda di Kabupaten Jayapura.

Data kemudian dikumpulkan dari ketiga Puskesamas tersebut, kemudian peneliti menelaah seluruh data yang telah terkumpul dan menterjemahkan setiap data yang diperoleh, dan mengelolanya menjadi hasil pengumpulan data secara induktif dan deduktif dengan membangun kategori-kategori, dan hasilnya di evaluasi, dari penilaian yang paling rendah dan paling tinggi, kemudian dari data tersebut peneliti mengolah data tersebut menjadi sebuah rangkuman data yang lebih riil antara observasi awal dan penelitian mendalam melalui penelusuran secara mendalam baik melalui wawancara, dan peneliti langsung turun observasi langsung.

Proses ini memberikan gambaran tentang upaya peneliti dalam mengolah data secara mendalam dan mengelaborasi basis data penelitian hingga peneliti berhasil membangun kumpulan data yang lengkap. Dalam proses ini, peneliti melibatkan responden secara interaktif.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura, dengan sampel 3 (tiga) Puskesmas di tiga suku asli Papua yang merupakan masyarakat Kabupaten Jayapura, yaitu Puskesmas Sentani yang berada di Wilayah Kerja I (perkotaan), Puskesmas Kemtuk di Wilayah Kerja II (pegungunangan), Puskesmas Depapre yang berada di Wilayah Kerja III (pesisir pantai) terkait dengan pandangan kesehatan MTBS dengan sosiokultural, peneliti akan melakukan pengamatan kepada masyarakat OAP, non OAP di 3 (tiga) Puskesmas tersebut.

Ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian ini pada tiga Puskesmas di Kabupaten Jayapura, dikarenakan adanya perbedaan sosial budaya pada ketiga Puskesmas tersebut, Wilayah Binaan I telah mengalami percampuran budaya, Wilayah Binaan II daerah pegunungan yang secara geografis dekat dengan kota namun secara sosial budaya masyarakat asli Papua, Wilayah Binaan III secara geografis terpencil dari masyarakat asli Papua. Akibat dari dominasi masyarakat tersebut, disinyalir telah berdampak pada konsep pemahaman sosiokultural kesehatan MTBS masyarakat budaya asli Papua atau OAP (Orang Asli Papua) dan pandangan kesehatan MTBS terhadap budaya masyarakat Non OAP/pendatang serta masyarakat OAP yang telah dielaborasi oleh masyarakat Non OAP di tiga Puskesmas Distrik yang peneliti jadikan lokus.

Perbedaan sosial budaya antara masyarakat OAP dan Non OAP penting untuk disatukan, karena dengan adanya perubahan modern dan pembauran antara OAP dan Non OAP dapat membawa perubahan pola pikir. Oleh karena itu, pengamatan utama dalam penelitian ini adalah seluruh kelompok masyarakat OAP dan Non OAP di 3 (tiga) Puskesmas yang peneliti lakukan dengan analisis utama adalah perilaku kehidupan sosial masyarakat dan petugas kesehatan yang diamati baik OAP maupun Non OAP.

Teknik pengumpulan dan analisis data

Menurut Creswell (2013), dalam melakukan prosedur pengumpulan data, seorang peneliti dibatasi untuk mengumpulkan informasi melalui observasi, dan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur dalam hal melakukan studi dokumentasi, materi visual, dan upaya merancang protokol untuk merekam informasi dengan cara merekam.

Dalam melakukan langkah pengumpulan data, lokasi penelitian dan individu yang akan dilibatkan sebagai responden dipilih secara sengaja dan terencana. Oleh karena itu, Miles dan Huberman (1994) mengatakan bahwa dalam hal ini seorang peneliti perlu memperhatikan empat aspek: (1) setting (lokasi penelitian), (2) aktor (siapa yang akan diobservasi atau diwawancarai), (3) kejadian (kejadian apa yang dirasakan oleh aktor yang akan dijadikan topik wawancara dan observasi), dan (4) proses (hakikat kejadian yang dirasakan oleh aktor dalam setting penelitian).

Lebih lanjut, Creswell menjelaskan bahwa seorang peneliti dalam melakukan observasi kualitatif, berarti seorang peneliti akan terjun langsung ke lapangan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti akan turun menemui responden di delapan suku untuk mengamati setiap perilaku dan aktivitas di lokasi penelitian. Dalam melakukan kegiatan observasi, peneliti akan merekam, mencatat dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kemudian wawancara dilakukan dengan tatap muka secara langsung antara peneliti dan responden. Selain itu, selama proses penelitian

berlangsung, peneliti dapat mengumpulkan dokumen (studi dokumen) berupa surat kabar, makalah, dan laporan-laporan kantor. Selain itu, data dalam bentuk bahan audio dan visual.

Dari semua data yang telah dikumpulkan, peneliti kemudian menganalisis data-data tersebut. Creswell (2007), Rosman dan Rallis (1998) menjelaskan hal tersebut: Analisis data adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus menerus terhadap data, dimana seorang peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan-catatan singkat selama penelitian berlangsung. Maksudnya adalah ketika peneliti turun di lokasi penelitian untuk menemui responden dalam mengumpulkan data dengan cara mewawancarai responden, maka peneliti sudah dapat menganalisis data yang diperoleh.

Alat-alat penelitian

Seorang peneliti perlu mempersiapkan diri. Adapun alat bantu penelitian yang harus dipersiapkan oleh seorang peneliti, selain mempersiapkan jasmani dan rohani, juga perlu mempersiapkan sarana pendukung untuk sampai di lokasi penelitian seperti kendaraan dobel gardan dan bahan bakar yang cukup, karena jarak tempuh pulang pergi ke Puskesmas kurang lebih 9 jam perjalanan darat dengan medan yang cukup berat. Selain itu, seorang peneliti perlu memperhatikan karakteristik daerah penelitian termasuk masyarakatnya. Begitu juga dengan peralatan teknis yang harus dipersiapkan dari rumah, antara lain lembar instrumen, pulpen, buku untuk mencatat, kamera. Karena di Distrik Kemtuk jaringan listrik sangat terbatas, maka untuk instrumen yang berhubungan dengan mesin fotokopi harus dipersiapkan dari rumah. Selain itu, wilayah Puskesmas Kemtuk belum sepenuhnya terjangkau oleh sinyal telekomunikasi, sinyal telepon seluler tampak tenggelam/atau tidak stabil bahkan hilang sinyal.

Khusus untuk lokasi penelitian dominasi OAP, diperlukan pendekatan kepada tokoh adat. Selain itu, peneliti membutuhkan persiapan bahan kontak seperti kapur sirih pinang sebagai alat kontak dalam berkomunikasi. Dalam penelitian Pamungkas (2018), strategi membangun ketahanan sosial masyarakat Asmat secara khusus dan masyarakat Papua secara umum menjadi kata kunci untuk menyelamatkan masa depan masyarakat Papua.

 

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini di puskesmas sentani kualitas pelayanan kesehatan terhadap Balita telah dilaksanakan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan layanan telah menggunakan metode MTBS (Manajemen terpadu Balita sakit) yaitu urutan layanan mulai dari pendaftaran, kaji awal, pemeriksaan laboratorium, peracikan obat sampai dengan rujukan sudah sesuai dengan standart yang ditetapkan berdasarkan SOP (standart operasional prosedur )yang ada di Puskesmas,dan proses dilakukan secara utuh dan penilaian yang dilakukan tepat sesuai SOP.

Berbeda sedikit dengan hasil penelitian di puskesmas Depapre  yang masuk wilayah pembangunan II, kualitas  pelayanan kesehatan terhadap Balita telah dilaksanakan dengan baik, namun tidak sebaik proses di Puskesmas sentani hal ini dibuktikan dengan layanan telah menggunakan metode MTBS(Manajemen terpadu Balita sakit) yaitu urutan layanan mulai dari pendaftaran, kaji awal, pemeriksaan laboratorium, peracikan obat sampai dengan rujukan sudah sesuai dengan standart yang ditetapkan berdasarkan SOP(standart operasional prosedur )yang ada di Puskesmas, hal ini disebabkan karena tidak semua petugas dan masyarakat melaksanakan proses layanan MTBS  secara utuh melainkan hanya sebagian saja,begitu pula penilaiannya da yang sesuai ada yang belum sesuai dengan standart,atau penilaian pada setiap langkahnya masih ada yang salah atau kurang tepat.

Observasi Berbeda jauh dengan hasil penelitian di puskesmas sentani di wilayah pembangunan I  dan  II , Puskesmas Kemtuk  yang masuk wilayah pembangunan III, proses pelayanan kesehatan terhadap Balita telah dilaksanakan dengan kualitas yang kurang baik, dengan  hasilnya tidak sebaik sentani dan depapre hal ini dibuktikan dengan proses layanan belum menggunakan metode MTBS(Manajemen terpadu Balita sakit) yaitu urutan layanan mulai dari pendaftaran, kaji awal,pemeriksaan laboratorium, peracikan obat sampai dengan rujukan sudah sesuai dengan standart yang ditetapkan berdasarkan SOP(standart operasional prosedur )yang ada di Puskesmas, hal ini disebabkan karena tidak semua petugas dan masyarakat  atau belum adanya petugas yang melaksanakan proses layanan balita sakit dengan SOP yaitu menggunakan protap MTBS. sehingga hasilnya masih kualitas sangat jauh dari standart.

Salah satu indikator Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020-2024 terkait kesehatan balita yaitu jumlah Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan balita. Dan salah satu kriteria dari indikator kesehatan balita ini adalah seluruh puskesmas melaksanakan MTBS pada kunjungan balita sakit (Kemenkes, 2020). Saat ini kualitas pelayanan MTBS yang baik telah diterapkan pada puskesmas di wilayah pengembangan I, II, dan III.                          Pelaksanaan MTBS di wilayah pengembangan I kategori wilayah perkotaan, salah satunya Puskesmas Kota Sentani yang berlokasi di Kelurahan Hinekombe, Kampung Kemiri, bahwa hasil penelusuran penulis di Puskesmas Sentani, MTBS sudah berjalan, namun karena banyaknya kunjungan pasien, petugas mengabaikan protap MTBS, angka kematian bayi 0 (nol) karena sebagian besar pasien bayi yang tidak dapat ditangani di Puskesmas Sentani dirujuk ke

Rumah Sakit Umum Daerah Yowari atau rumah sakit lain, berdasarkan informasi petugas, dan data rujukan bayi. Hal ini sejalan dengan alur pelayanan terhadap baiknya kualitas pelayanan MTBS pada Puskesmas Haruyan (Puskesmas Haruyan, 2020) dan Puskesmas Kalibaru (Puskesmas Kalibaru, 2020) serta petugas pelayanan sudah tersentuh dengan pelatihan MTBS. Protap layanan MTBS yang diterapkan sejalan dengan penelitian oleh (Moertini & Harjono, 2023)

Di wilayah pengembangan I yang termasuk dalam transisi geografis perkotaan Puskesmas Kanda, angka kematian bayi cukup tinggi yaitu 9 bayi selama satu tahun dari target jumlah bayi di Puskesmas Kanda yaitu 895 bayi, sedangkan petugas pelayanan sebanyak 28 petugas. Secara geografis, akses ke fasilitas rujukan tidak terlalu jauh antara Puskesmas dengan Rumah Sakit Perkotaan. Alur pelayanan di puskesmas Kanda sama baiknya dengan di Harapan serta protap layanan MTBS yang diterapkan sejalan dengan penelitian oleh (Moertini & Harjono, 2023). Hanya saja letak puskesmas yang berada di wilayah transisi perkotaan ini jumlah masyarakat pendatang belum sepadan dengan jumlah masyarakat lokal yang sesuai dengan penelitian oleh Ondikeleuw dan Ma'rif (2015) terkait faktor budaya sosial sehingga modernisasi pengetahuan budaya sosial masyarakat belum sebaik di wilayah puskemas Harapan. Petugas pelayanan menjalankan tugas hanya sekedar menjalankan tugas, jiwa sosial melayani dengan hati sudah tidak terlihat lagi hal ini disebabkan faktor sosial budaya.

   Demikian pula di Puskesmas Demta yang terletak di wilayah Pengembangan II, yaitu wilayah pesisir. Angka kematian bayi adalah 12 bayi meninggal dalam satu tahun pada tahun 2018, sedangkan target bayi hidup adalah 506 bayi. MTBS tidak berjalan serta tidak tersedianya klinik MTBS. Jumlah petugas MTBS sebanyak 21 orang. Secara alur pelayanan terhadap baiknya kualitas pelayanan dan rujukan bayi telah berjalan sesuai dengan pelayanan di wilayah pengembangan II serta protap layanan MTBS yang diterapkan sejalan dengan penelitian oleh (Moertini & Harjono, 2023). Akibat faktor budaya di wilayah pengembangan II sehingga melayani dengan standar MTBS belum menjiwai pada petugas pelayanan.

Puskesmas Kemtuk di wilayah Pengembangan III dengan angka kematian bayi 13 pasien pada tahun 2018, adapun sasaran bayi Puskesmas Kemtuk hanya 335 bayi, petugas MTBS 26 orang, 5 petugas layanan  sudah mendapatkan pelayanan MTBS. Akses rujukan dari puskesmas ke Rumah Sakit  cukup jauh, akibatnya pertolongan untuk pasien MTBS dalam kondisi berat sulit ditangani, inilah penyumbang besarnya angka kematian bayi. Dalam kedua wilayah pengembangan tersebut (II, III), sebagai penyumbang kematian bayi terbesar, Puskesmas Kemtuk 13 bayi, Puskesmas Demta 12 bayi, Puskesmas Kanda 9 bayi.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, kualitas pelayanan kesehatan terhadap Balita telah dilaksanakan dengan baik di beberapa puskesmas, seperti Puskesmas Sentani dan Puskesmas Depapre, yang telah menggunakan metode Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dengan urutan layanan mulai dari pendaftaran, kaji awal, pemeriksaan laboratorium, peracikan obat, dan rujukan yang sesuai dengan standart yang ditetapkan berdasarkan SOP. Namun, di Puskesmas Kemtuk, proses pelayanan kesehatan terhadap Balita telah dilaksanakan dengan kualitas yang kurang baik karena tidak semua petugas dan masyarakat melaksanakan proses layanan MTBS secara utuh dan penilaian yang dilakukan tidak sesuai dengan standart. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan MTBS meliputi sumber daya manusia, sarana prasarana, dan anggaran. Puskesmas yang memiliki petugas yang telah dilatih MTBS dan sarana yang memadai serta anggaran yang cukup dapat melaksanakan pelayanan MTBS dengan baik.

 

BIBLIOGRAFI

 

Creswell, J. W. (2014). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Metode Campuran. SAGE.

Creswell, J. W. (2013). Penyelidikan Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan. SAGE.

Darwati, D., Mexitalia, M., Hadiyanto, S., Hartanto, F., & Nugraheni, S. A. (2016). Pengaruh Intervensi Konseling Feeding Rules dan Stimulasi Terhadap Status Gizi dan Perkembangan Anak di Posyandu Kabupaten Jayapura. Aksi Spenduyo, 15(6), 377. https://doi.org/10.14238/sp15.6.2014.377-84

Dasuki, N. D., & Wibowo, T. (2012). Evaluasi Pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit terhadap Kesembuhan Pneumonia pada Anak Balita. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (BKM), 26(4), 211. https://doi.org/10.22146/bkm.3461

Dewi, D. A. (2015). Pengaruh Konseling tentang Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) terhadap Perilaku Perawatan Anak Demam oleh Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Bantul. http://digilib.unisayogya.ac.id/30/

Dumatubun, A. E. (2002). Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua dalam Perspektif Antropologi Kesehatan. Jurnal Antropologi Pap.

Florentianus. (2021). Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar (PUSKESMAS) di Kabupaten Kupang. In Flobamora Nursing Jurnal (Vol. 1, Issue 1). Bulan Oktober Tahun.

Gera, T., Shah, D., Garner, P., & Sachdev, H. S. (2012). Strategi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) untuk anak balita: dampak terhadap kematian, pemanfaatan layanan dan kesakitan.                            Database Cochrane tentang Tinjauan Sistematis. https://doi.org/10.1002/14651858.cd010123

Griapon, K. V., & Ma’rif, S. (2016). Pola Penerapan Hukum Adat dalam Penyelenggaraan Pembangunan di Wilayah Pembangunan III Grime Kabupaten Jayapura-Papua. Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, 4(1), 13. https://doi.org/10.14710/jwl.4.1.13-28

Hardanti, R. D. (2015). Evaluasi Pengobatan Penyakit Pneumonia pada Pasien Balita dengan Pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit ( Mtbs ) di Puskesmas Kapuas Kabupaten Sanggau. Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN, 3(1), 193015.

Indonesia, K. K. (2014). Penyelenggaraan Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.

Irwan, M. (2018). Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit Dengan Pencapaian Target Penyakit Diare Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamboang Kabupa Ten Majene. Bina Generasi, 9(2), 23–34. https://doi.org/10.35907/jksbg.v9i2.42

Isniati, I. (2012). Kesehatan Modern  Dengan Nuansa Budaya.  Jurna Kesehatan Masyarakat Andalas, 7(1), 39–44. https://doi.org/10.24893/jkma.v7i1.106 Pamungkas

Kiplagat, A., Musto, R., Mwizamholya, D. L., & Morona, D. (2014). Factors influencing the implementation of integrated management of childhood illness (IMCI) by healthcare workers at public health centers & dispensaries in Mwanza, Tanzania. BMC Public Health,14(1). https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-277

 

Kemenkes. (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2020-2024. https://p2pm.kemkes.go.id/storage/informasipublik/content/laporan_1616942308.pdf

Kusbandiyah, J. (2014). Analisis Kinerja Bidan Puskesmas Dalam Pelayanan Mtbs Di Wilayah Dinas Kesehatan Kota Malang. Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada, 2(2). https://doi.org/10.33475/jikmh.v2i2.146

Ministry Health of Indonesia (2008). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Ministry Health of Indonesia.

Moertini, V., & Harjono, K. (2023). Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (Mtbs) Untuk Puskesmas. Sarwahita, 20(01), 97–117. https://doi.org/10.21009/sarwahita.201.10

Mustikaningsih, D., Rahmat, R., & Frastika, R. (2019). Beban Kerja Perawat Dalam Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. Jurnal Smart Keperawatan, 6(1), 13. https://doi.org/10.34310/jskp.v6i1.219

Ondikeleuw, H. M., & Ma’rif, S. (2015). Peran Kelembagaan Adat Dalam Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan di Kota Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota, 11(2), 182. https://doi.org/10.14710/pwk.v11i2.10847

Puskesmas Kalibaru. (2020). Pelayanan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) pada Puskesmas Kalibaru. https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/8097434/dinas-kesehatan/pelayanan-manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs

Puspitarini, D., & Hendrati, L. Y. (2013). Evaluasi Pelaksanaan MTBS Pneumonia di Puskesmas di Kabupaten Lumajang Tahun 2013. Jurnal Berkala Epidemiologi, 1(2),291– 301.

Wardani, A. T. A. (2016). Analisis Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (Mtbs) Terhadap Kejadian Pneumonia Balita Di Puskesmas Halmahera

 

Copyright holder:

Farid Yusuf (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: