Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
8, Agustus 2024
CASE REPORT: MYASTHENIA GRAVIS
Metha
Rizky Ramadhani1*, Hening Tri Utami2
Universitas Tarumanagara,
Jakarta, Indonesia1
RSD
KRMT Wongsonegoro, Semarang, Indonesia2
Email:
[email protected]*
Abstrak
Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun langka yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang membran postsinaptik di persimpangan neuromuskuler. Antibodi ini menyebabkan
kelelahan dan kelemahan otot yang menjadi ciri khas dari
MG. Walaupun penyakit ini jarang, ada
peningkatan jumlah kasus dalam beberapa
tahun terakhir. Myasthenia
gravis dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien serta mempengaruhi
aspek keuangan dan kesehatan mental mereka, sehingga pengobatan yang tepat sangat diperlukan. Kami melaporkan kasus seorang pasien berusia 37 tahun yang datang ke IGD di RS Tipe B Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami patofisiologi Myasthenia Gravis (MG) serta
mengevaluasi efektivitas pengobatan MG pada pasien berusia 37 tahun dengan riwayat MG selama empat tahun.
Metode penelitian melibatkan pemeriksaan subjektif melalui anamnesis dan objektif melalui evaluasi fisik pasien, serta pemberian
terapi Piridostigmin dengan dosis 3x60 mg secara teratur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan subjektif dan objektif membantu dalam diagnosis dan pemberian terapi yang tepat. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa pengobatan yang tepat sangat diperlukan untuk meningkatkan prognosis pasien MG.
Implikasi dari penelitian ini adalah pentingnya pemeriksaan subjektif dan objektif dalam diagnosis dan pengobatan MG, serta perluasan penelitian lebih lanjut untuk
memahami lebih dalam patofisiologi dan pengobatan MG.
Kata Kunci:
Laporan kasus, Miastenia
Gravis, Penyakit autoimun, Kelemahan otot.
Abstract
Myasthenia
gravis is a rare autoimmune disease caused by antibodies that attack the
postsynaptic membrane at the neuromuscular junction. These antibodies cause the
fatigue and muscle weakness that characterize MG. Although the disease is rare,
there has been an increase in the number of cases in recent years. Myasthenia
gravis can interfere with patients' daily activities as well as affect their
finances and mental health, so proper treatment is necessary. We report the
case of a 37-year-old patient who presented to the emergency department of a
Type B hospital. This study aimed to identify and understand the
pathophysiology of Myasthenia Gravis (MG) and evaluate the effectiveness of MG
treatment in a 37-year-old patient with a four-year history of MG. The research
method involved subjective examination through history taking and objective
examination through physical evaluation of the patient, as well as the
administration of Piridostigmin therapy at a dose of
3x60 mg regularly. The results showed that both subjective and objective
examinations helped in the diagnosis and administration of appropriate therapy.
This conclusion suggests that appropriate treatment is necessary to improve the
prognosis of MG patients. The implication of this study is the importance of
subjective and objective examination in the diagnosis and treatment of MG, as
well as the expansion of further research to understand more deeply the
pathophysiology and treatment of MG.
Keywords: Case report, Myasthenia Gravis,
Autoimmune disease, Muscle weakness.
Pendahuluan
Myasthenia gravis (MG) termasuk penyakit autoimun yang terjadi karena adanya antibodi yang menyerang membran postsinaptik di persimpangan neuromuskuler. Antibodi ini menyebabkan kelelahan dan kelemahan otot yang khas pada MG. Mereka bekerja dengan cara mengikat
target mereka, yang memicu serangkaian proses termasuk pengikatan silang antigen, aktivasi komplemen, peningkatan degradasi, dan pemblokiran fungsi normal (Gilhus et al., 2015). Semua mekanisme ini bersama-sama
menyebabkan penurunan efektifitas komunikasi antara saraf dan otot, sehingga menghasilkan gejala utama MG yaitu kelemahan dan kelelahan otot yang memburuk dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat.
Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun langka, namun meskipun
langka MG bukanlah penyakit yang tidak pernah ditemukan oleh ahli saraf. Sebagian besar ahli saraf
mungkin akan menemui pasien dengan MG sekitar sekali setiap 3-4 tahun, dan pada satu waktu, mereka mungkin
merawat tidak lebih dari empat
pasien dengan MG secara bersamaan (Bubuioc et al., 2021). Epidemiologi
MG telah dipelajari secara global selama beberapa dekade, menunjukkan variasi yang cukup besar dalam
insiden dan prevalensi penyakit ini di berbagai penelitian. Studi terbaru melaporkan
bahwa insiden MG berkisar antara 1,7 hingga 28 kasus per juta orang-tahun dan angka prevalensi MG dilaporkan berkisar antara 15 hingga 329 kasus per juta orang (Ye et al.,
2024).
Meskipun MG masih dikategorikan
sebagai penyakit langka, dilaporkan terdapat kecenderungan peningkatan jumlah kasus selama beberapa
dekade terakhir. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah pasien dengan MG telah meningkat lebih dari dua kali lipat. Peningkatan ini terutama disebabkan
oleh tingginya insiden MG
pada orang tua, yang mungkin
terkait dengan perbaikan dalam diagnosis, pengobatan, dan peningkatan usia harapan hidup.
Selain itu, faktor lingkungan dan genetik juga telah dieksplorasi sebagai penyebab potensial (Bubuioc et al., 2021). Tren ini menunjukkan pentingnya meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap penyakit ini.
Penelitian Jackson et al. (2023) mengidentifikasi beberapa gejala
yang paling mengganggu penderita
MG. Gejala yang paling umum
dilaporkan termasuk penglihatan kabur atau ganda (43%), kesulitan bernapas (36%), kelelahan menyeluruh (36%), dan kesulitan menelan (29%). Selain itu, kelemahan
otot secara umum dan kelopak mata terkulai masing-masing dilaporkan oleh 21% peserta. Di antara mereka yang menyebut kelelahan menyeluruh sebagai salah satu dari tiga
gejala yang paling mengganggu,
satu peserta juga menyebutkan kelemahan otot sebagai gejala
yang paling parah.
Dampak MG pada penderita dapat sangat mengganggu kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti makan, mengemudi, mencuci, berjalan, atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Beberapa
pasien mungkin harus melakukan perubahan signifikan dalam pekerjaan mereka atau bahkan
berhenti bekerja sama sekali. Sekitar
sepertiga dari penderita MG memerlukan perawatan rutin dari pasangan mereka, yang dapat menambah beban finansial pada pasien dan keluarga mereka. Bahkan, MG sering kali menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan,
dan sekitar sepertiga dari pasien mengalami
depresi (Berrih-Aknin et
al., 2021).
Selain itu, terdapat
pula faktor risiko terkait komplikasi MG dan efek samping pengobatan
menambah mekanisme utama yang mempengaruhi kesehatan dan menambah penderitaan pasien MG. Pasien yang mengalami kemunduran yang tak terduga, kurangnya respons terhadap terapi, atau munculnya
gejala atau tanda baru harus
selalu diperiksa untuk kemungkinan adanya komorbiditas (Gilhus et al., 2015). Oleh karena
itu, pentingnya pengelolaan dan penanganan yang tepat terhadap penyakit ini tidak
bisa diabaikan, karena dapat berdampak
signifikan pada kehidupan pasien.
Metode Penelitian
Laporan Kasus
Seorang pasien perempuan
bernama Ny. J, berusia 37 tahun, datang ke
IGD RS Tipe B di Semarang dengan
keluhan sesak napas yang memburuk dan kelemahan pada kedua kaki dan tangan selama satu hari
terakhir, terutama setelah pulang dari tempat kerja.
Saat kedatangan ke IGD, tanda-tanda vital pasien adalah tekanan
darah 130/90 mmHg, suhu
36.5 derajat Celsius, denyut
nadi 90 kali per menit, pernapasan 28 kali per menit, dan
saturasi oksigen (SpO2)
92%. Tindakan awal yang dilakukan
adalah pemasangan oksigen nasal kanul dengan aliran 3 liter per menit.
Setelah satu hari
perawatan di rumah sakit, pasien melaporkan
penurunan gejala sesak napas, meskipun masih merasakan kelemahan. Dia diberikan terapi Piridostigmin 3 kali sehari dengan dosis
120 mg, Vitamin B kompleks sekali
sehari, dan oksigen nasal kanul dengan aliran
3 liter per menit. Dua hari
setelah perawatan, pasien melaporkan penurunan sesak napas yang signifikan dan berhasil melepaskan oksigen nasal kanul tanpa keluhan
tambahan. Saturasi oksigen pasien adalah 99% pada udara bebas. Tiga hari
setelah perawatan, keluhan sesak napas sudah tidak ada
dan pasien dapat keluar dari bantuan
oksigenasi. Pada hari keempat perawatan, pasien melaporkan tidak ada keluhan
dan dipulangkan dengan resep Piridostigmin 3 kali sehari dengan dosis
120 mg dan Vitamin B12 dengan dosis
50 mg dua kali sehari.
Dilakukan pemeriksaan berdasarkan
anamnesis subjektif medengarkan
keluhan dan cerita dari pasien. Pasien,
Ny. J, sering mengalami sesak napas dan kelemahan pada kedua kaki dan tangan. Dia mengakui memiliki riwayat miastenia gravis sejak empat tahun
yang lalu, namun kali ini sesak napasnya
lebih berat dari biasanya. Pasien juga melaporkan sering mengalami gejala ini sebelumnya,
disertai dengan mata pegal, penglihatan
kabur, dan kelopak mata turun, terutama
pada sisi kiri, namun kadang-kadang pada kedua mata. Selain
itu, dia juga mengalami bicara cadel dan kelemahan pada tangan dan kaki, terutama di sebelah kiri, yang lebih sering terjadi
pada sore hari setelah pulang bekerja. Namun, pada pagi hari setelah bangun
tidur, pasien merasa segar dan normal.
Pasien melaporkan bahwa
dia rutin kontrol ke poli saraf di RS Tipe A setiap bulan
dan telah mengonsumsi obat Piridostigmin dengan dosis 3x60 mg selama empat tahun
dengan teratur dan tidak pernah kehabisan.
Dalam kesehariannya, pasien bekerja sebagai buruh pabrik
rokok dengan tugas menggulung puntung rokok secara
berulang-ulang, dengan
target harian sebanyak 2500
batang. Aktivitas sehari-hari pasien dimulai dari pukul
6 pagi hingga 4.30 sore, dengan hanya dua hari libur dalam
sebulan. Pasien jarang berolahraga dan hanya melakukan peregangan. Pasien lebih suka mengonsumsi
makanan lembut seperti bubur dan nasi tim karena lebih mudah
dikunyah dan tidak membuatnya lelah. Faktor yang memperburuk kondisi pasien adalah aktivitas, sedangkan yang meringankaannya adalah istirahat. Laporan riwayat penyakit pasien melaporkan Miatenia gravis sejak 4 tahun yang lalu (+), DM (-), HT (-), Jantung
(-), RA(-), SLE (-).
Selain pemeriksaan subjektif,
dilakukan juga pemeriksaan objektif yang mencakup evaluasi fisik secara menyeluruh dengan berbagai tes. Pemeriksaan fisik ini meliputi
pemeriksaan status presens,
status internus (termasuk kepala,
mata, leher, jantung, paru-paru, abdomen, dan
genitalia), status psikis, dan status neurologis. Pada pemeriksaan neurologis, dilakukan analisis terhadap gerakan pasien, serta pemeriksaan tambahan dengan tes seperti tes
berhitung, tes Wartenberg, tes diplopia stres, dan ice pack test. Hasil dari
tes tambahan menunjukkan bahwa tes berhitung dan ice pack test positif (+), sementara tes diplopia stres dan tes Wartenberg positif (+) pada OS.
Tes
Wartenberg (+) OS
Gambar 1. Tes
Wartenberg
Tes
diplopia stress (+) OS
Gambar 2. Tes
diplopia stress
Ice pack test
Gambar
3. Tes Ice pack
Kemudian diperoleh hasil
pemeriksaan subjektif melalui anamnesis dan pemeriksaan
objektif melalui evaluasi fisik pasien, dengan kesimpulan sebagai berikut:
Tabel 1. Ringkasan
Pasien Berdasarkan Pemeriksaan Subjektif dan Objektif
Subjektif |
Objektif |
• Lemah pada lengan
dan tungkai bawah sisi kiri • Mata sering
terasa perih, buram dan menutup sendiri • Bicara cadel |
• Monoparese superior sinistra • Ptosis Unilateral sinistra • Paresis N.III unilateral tipe perifer • Disartria |
Setelah dilakukan pemeriksaan,
diagnosis dokter mencakup
diagnosis klinis seperti Monoparese superior sinistra, Ptosis unilateral sinistra,
Paresis N.III unilateral tipe perifer,
dan Disartria. Sedangkan,
diagnosis topical meliputi Neuromuscular junction dan
diagnosis etiologis Miastenia
Gravis (MG). Program lanjutan meliputi
tes elektromiografi untuk menilai fungsi
saraf dan otot, serta tes serologis
untuk mendeteksi antibodi yang relevan dengan miastenia gravis. Terapi yang dipilih dalam pengobatan pasien melibatkan pemberian Oksigenasi Nasal kanul 3 lpm, Inf Ringer lactat 20
tpm, dan PO Pyridostigmine BR 60mg 3x2 tab.
Monitoring yang dilakukan melibatkan
pemantauan tanda-tanda
vital dan tingkat sesak
napas pada pasien.
Selain perawatan, pasien
juga diberikan edukasi mengenai kondisi kesehatannya. Edukasi ini mencakup penjelasan
tentang penyakit myasthenia
gravis, pengobatan yang sedang
dijalani, dan prognosis atau
kemungkinan perkembangan penyakit di masa mendatang. Pasien diingatkan agar rutin mengonsumsi obat tanpa terputus dan pentingnya menjalani kontrol secara berkala ke dokter
spesialis saraf untuk memantau kondisi dan menyesuaikan pengobatan jika diperlukan. Prognosis pasien menunjukkan hasil sebagai berikut, prognosis untuk kelangsungan hidup pasien adalah
baik. Prognosis untuk kesembuhan penuh tidak pasti, namun
ada kemungkinan pasien dapat mencapai
kesembuhan yang baik.
Prognosis untuk pemulihan penuh fungsi tubuh
tidak pasti.
Hasil dan Pembahasan
Myasthenia gravis, sering disingkat MG, adalah penyakit autoimun yang menyerang membran pasca-sinaps, khususnya reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular otot rangka (Sari &
Kurniawan, 2023). Penyakit ini
menyebabkan gangguan neuromuskular yang ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot yang berulang. Gangguan ini muncul ketika
sistem kekebalan tubuh secara keliru
mengenali sel-sel saraf dan otot sebagai ancaman, lalu menyerangnya. Akibatnya, komunikasi antara saraf dan otot terganggu yang mengakibatkan kelemahan dan kelelahan otot (Koneczny & Herbst, 2019).
Penyebab pasti dari
myasthenia gravis belum diketahui.
Namun, yang terjadi adalah sistem kekebalan
tubuh secara keliru memproduksi antibodi yang menyerang reseptor asetilkolin di persimpangan neuromuskular, yaitu tempat sel
saraf bertemu dengan otot. Ketika sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang mengganggu reseptor otot, hal ini menyebabkan
myasthenia gravis (Berrih-Aknin & Le Panse, 2014). Artinya MG adalah penyakit yang disebabkan oleh produksi antibodi oleh sistem kekebalan tubuh yang secara keliru menyerang
atau menghancurkan banyak reseptor otot untuk neurotransmitter asetilkolin. Asetilkolin adalah neurotransmitter yang membawa
sinyal yang membantu merangsang kontraksi otot (Wilson et al., 2016).
Selain itu, antibodi
pada penderita myasthenia gravis juga dapat memblokir protein
muscle-specific tyrosine kinase (MuSK), yang berperan dalam pembentukan sambungan saraf-otot (nerve-muscle junction). Ketika reseptor asetilkolin diblokir atau dirusak
oleh antibodi, sinyal tidak diteruskan dengan baik ke
otot, sehingga menyebabkan kelemahan. Gangguan ini mengganggu
aliran impuls kimia dari ujung
saraf ke reseptor otot. Dalam kondisi normal, otot memerlukan koneksi impuls ini untuk berfungsi
dengan baik. Jika hubungan impuls saraf pada reseptor asetilkolin terganggu, otot akan menjadi
lemah, terutama otot yang paling sering berkontraksi seperti otot mata (okular).
Oleh karena itu, pengurangan sintesis reseptor, peningkatan kerusakan reseptor, serta pemblokiran respons reseptor terhadap asetilkolin adalah penyebab utama myasthenia gravis (Sari & Kurniawan, 2023).
Myasthenia gravis sering kali dimulai dengan gejala yang relatif ringan, di mana penderita merasa lelah setelah
melakukan aktivitas fisik, tetapi merasa
lebih baik setelah beristirahat. Kelemahan otot yang terjadi cenderung lebih parah di sore hari dan memiliki pola fluktuatif, artinya bisa muncul
dan menghilang. Pada tahap awal, gejala ini
mungkin tidak terlalu mengganggu, namun penyakit ini bersifat progresif.
Namun, seiring berjalannya waktu kelemahan otot dapat menjadi lebih
serius dan persisten, sehingga mengganggu kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti bergerak, berbicara, dan bernapas dengan normal (Gilhus et al.,
2021).
Gejala myasthenia
gravis bisa bervariasi tergantung pada otot yang terkena. Otot yang paling sering terkena meliputi otot mata,
otot ekstremitas, otot bulbar, dan otot pernapasan. Gejala khasnya adalah kelemahan otot rangka yang cepat lelah. Pada awalnya, kelemahan seringkali hanya mempengaruhi otot mata, yang bisa menyebabkan ptosis (kelopak mata menggantung)
atau diplopia (penglihatan ganda). Kebanyakan pasien kemudian mengalami kelemahan umum pada otot ekstremitas dalam dua tahun pertama setelah
timbulnya penyakit. Otot bulbar, yang diperlukan untuk berbicara, mengunyah, dan menelan, juga bisa terlibat menyebabkan
disartria (kesulitan berbicara) dan disfagia (kesulitan menelan). Pada hingga 20% kasus myasthenia
gravis yang melibatkan reseptor
asetilkolin (AChR MG), otot pernapasan dapat terpengaruh, menyebabkan krisis miastenia yang memerlukan ventilasi buatan (Koneczny & Herbst, 2019). Berdasarkan
hal tersebut, dapat dijabarkan beberapa gejala yang menyertai kondisi myasthenia
gravis meliputi:
1)
Kesulitan menelan dan mengunyah
makanan, sehingga penderita sering tersedak.
2)
Gangguan penglihatan, seperti
penglihatan ganda.
3)
Kesulitan berbicara.
4)
Kelelahan otot setelah
beraktivitas.
5)
Kepala cenderung terkulai.
6)
Suara berubah menjadi
serak.
7)
Kesulitan mengangkat barang,
naik turun tangga, menyikat gigi, dan aktivitas sejenis.
8)
Kesulitan bangun dari
posisi duduk.
9)
Kesulitan mempertahankan tatapan mata.
10)
Kelopak mata menutup
tanpa kendali (ptosis).
11)
Kelemahan otot wajah
yang bisa menyebabkan kelumpuhan wajah.
12)
Kesulitan bernapas karena
otot-otot di dinding dada melemah.
13)
Kesulitan berjalan.
Gejala myasthenia
gravis menunjukkan variasi gejala yang berbeda pada setiap individu, tetapi faktor risiko
tertentu dapat meningkatkan kemungkinan terkena penyakit ini. Secara statistik,
wanita lebih rentan terhadap myasthenia gravis
dibandingkan pria. Untuk jenis myasthenia gravis
yang melibatkan reseptor asetilkolin (AChR MG), rasio wanita terhadap
pria adalah 3:1. Sedangkan untuk jenis yang melibatkan protein
muscle-specific tyrosine kinase (MuSK MG), rasio ini meningkat
menjadi 9:1 (Koneczny &
Herbst, 2019). Pada orang dewasa muda,
insiden penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita, sementara pada kasus onset lambat, myasthenia gravis sedikit
lebih sering terjadi pada pria (Souto et al., 2019).
Sementara berdasarkan
faktor usia, MG dapat dialami oleh individu di berbagai rentang usia, namun
dua kelompok usia tertentu lebih sering terkena yaitu orang dewasa muda dan orang yang lebih tua. Untuk jenis
myasthenia gravis yang melibatkan reseptor
asetilkolin (AChR-MG), terdapat dua puncak insiden, yang dikenal sebagai pola bimodal. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda, sekitar usia
30 tahun. Setelah itu, insiden penyakit
terus meningkat secara konsisten seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 50 tahun (Souto et al., 2019).
Namun, meski
terdapat faktor risiko tersebut penyebab pasti dari gangguan ini
belum diketahui secara pasti, tetapi
beberapa dugaan menunjukkan bahwa kelainan pada kelenjar timus mungkin menjadi
faktor yang meningkatkan risiko perkembangan MG (Tireli et al., 2020). Kelenjar timus adalah organ kecil yang terletak di dada bagian atas, tepat
di belakang tulang dada. Kelenjar timus memainkan peran penting dalam sistem
kekebalan tubuh, terutama pada masa pertumbuhan
dan perkembangan anak-anak.
Kelenjar ini berfungsi dalam produksi dan pematangan sel-sel T (limfosit T), yang penting untuk respon
kekebalan adaptif. Pada pasien dengan MG, kelenjar timus diduga berperan dalam menghasilkan antibodi yang tidak normal. Antibodi ini dapat
menyerang reseptor asetilkolin sehingga mengganggu komunikasi neuromuskular dan menyebabkan gejala MG.
Untuk mendiagnosis
myasthenia gravis, dokter spesialis
saraf akan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik pada pasien atau keluarganya. Diagnosis MG ditegakkan berdasarkan kombinasi gejala, pemeriksaan fisik, dan tes penunjang. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai kekuatan otot dan mencari tanda-tanda kelemahan. Beberapa pemeriksaan fisik sederhana yang dapat dilakukan meliputi tes Wartenberg,
tes hitung, dan ice pack
eye test (Salsabila et al., 2023). Tes Wartenberg dilakukan dengan meminta pasien untuk melihat ke
atas bidang datar dengan sudut
sekitar 30 derajat selama 60 detik. Tes ini positif
jika terjadi ptosis (kelopak mata turun).
Sementara tes hitung dilakukan dengan meminta pasien menghitung dari 1 sampai 100. Tes ini positif
jika suara pasien menjadi sengau (suara nasal) atau suara menghilang.
Terakhir, tes Ice Pack Eye dilakukan dengan cara mengukur celah
antara kedua kelopak mata yang mengalami ptosis sebelumnya. Kemudian, sepotong es yang dibalut kain ditempelkan
ke kelopak mata pasien. Setelah
es ditempelkan selama dua menit, ukuran celah
antara kedua kelopak mata yang melebar dianggap sebagai hasil positif.
Selain pemeriksaan
fisik, dokter juga menggunakan berbagai tes diagnostik untuk membantu dalam diagnosis myasthenia gravis (MG) (Aziizah
et al., 2021). Seperti tes antikolinesterase dilakukan untuk mengevaluasi respons otot terhadap
obat antikolinesterase seperti pyridostigmine, yang dapat
membantu mengkonfirmasi keberadaan MG. Kedua, elektromiografi (EMG) dan tes konduksi saraf digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf dan otot. Tes EMG membantu dokter untuk dapat
menilai komunikasi antara saraf dan otot serta menentukan
sejauh mana perkembangan kelemahan otot terjadi. Pemeriksaan serologi untuk antibodi AchR dilakukan
untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR), yang merupakan ciri khas MG. Kemudian, pemeriksaan pencitraan seperti CT scan atau MRI thoraks dilakukan untuk melihat adanya
timoma, yang bisa menjadi penyebab kelemahan otot. Pemeriksaan rontgen dada juga dilakukan untuk mendeteksi pembesaran pada kelenjar timus atau tumor. Tes-tes ini membantu dokter
dalam mengonfirmasi
diagnosis MG, mengevaluasi tingkat
keparahan penyakit, serta menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab lain dari gejala yang dialami oleh pasien sehingga dapat memberikan pengobatan yang tepat.
Dalam
segi pengobatan, tidak ada obat
yang dapat menyembuhkan
myasthenia gravis, tetapi ada
beberapa terapi yang dapat membantu mengendalikan gejalanya. Pertama, jenis obat yang sering diberikan oleh dokter untuk mengurangi gejala myasthenia gravis adalah kortikosteroid seperti
prednisone. Kortikosteroid digunakan
untuk menekan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi produksi antibodi. Pengobatan kortikosteroid adalah terapi imunosupresif
pertama yang secara luas digunakan pada MG. Laporan awal menunjukkan
bahwa prednison dosis tinggi (100 mg/hari atau setiap
hari) memberikan respons yang menguntungkan, dengan lebih dari
80% pasien menunjukkan remisi medis atau
peningkatan yang signifikan
(Farmakidis et al., 2018).
Mekanisme kerja kortikosteroid
pada MG mencakup pengurangan
adhesi leukosit ke endotel dan penurunan produksi sitokin inflamasi, meskipun mekanisme pastinya belum sepenuhnya dipahami. Studi tentang pengaruh
kortikosteroid terhadap antibodi reseptor asetilkolin menunjukkan hasil yang bervariasi. Efek klinis kortikosteroid
biasanya mulai terlihat dalam beberapa hari, dengan manfaat awal muncul dalam
dua minggu pertama dan hasil maksimal tercapai dalam enam bulan pertama,
meskipun beberapa pasien mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk melihat manfaat penuh (Farmakidis et al., 2018).
Pengobatan kedua untuk
myasthenia gravis untuk menghambat
kolinesterase yaitu
pyridostigmine, yang membantu meningkatkan
atau mengembalikan kekuatan serta pergerakan otot yang melemah. Pyridostigmine adalah
inhibitor asetilkolinesterase sintetis
yang menghambat hidrolisis
neurotransmitter asetilkolin di celah
sinaps. Adanya penghambatan enzim ini, pyridostigmine meningkatkan jumlah interaksi antara asetilkolin dan reseptor asetilkolin di persimpangan neuromuskuler. Dosis harian pyridostigmine bromida biasanya tidak melebihi 600 mg, kecuali dalam keadaan
luar biasa. Obat ini cocok
sebagai pengobatan jangka panjang bagi pasien dengan
gejala yang sangat ringan, penyakit yang tidak progresif, dan sebagai terapi tambahan bagi pasien dengan
gejala berat yang juga menjalani imunoterapi. Namun, pyridostigmine umumnya hanya memberikan manfaat terbatas pada pasien dengan gejala
yang parah (Sieb, 2014). Formulasi pyridostigmine dapat diminum sebelum tidur, tetapi karena
penyerapan yang tidak merata dan efek yang tidak dapat diprediksi,
penggunaannya dibatasi. Efek samping yang paling umum adalah masalah
gastrointestinal seperti kram
perut, diare, dan perut kembung. Efek samping lainnya
termasuk peningkatan keringat, kedutan, dan kram otot (Farmakidis
et al., 2018).
Selanjutnya, pengobatan myasthenia gravis
juga dapat melibatkan penggunaan imunosupresan seperti azathioprine dan methotrexate untuk
menekan sistem kekebalan tubuh dan mengontrol produksi antibodi. Pengobatan azathioprine
dikonversi dalam tubuh menjadi merkaptopurin,
yang merupakan analog purin
dan menghambat sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Pengurangan
tersebut akibat dari obat ini
membantu menurunkan jumlah antibodi autoimun yang menyerang reseptor asetilkolin di sambungan neuromuskular.
Azathioprine adalah obat
yang umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki efek samping yang relatif sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Obat ini
biasanya digunakan pada pasien myasthenia gravis yang gejalanya
relatif terkontrol tetapi memerlukan dosis tinggi kortikosteroid.
Dosis awal azathioprine
yang umum adalah 50 mg setiap hari selama
satu minggu dan kemudian ditingkatkan 50 mg/hari setiap minggu
hingga dosis 2-3 mg/kg setiap hari atau
dibagi menjadi dua dosis. Setelah remisi tercapai, sangat ideal untuk melanjutkan terapi setidaknya selama dua hingga tiga tahun sebelum
mencoba mengurangi atau menghentikan azatioprin dengan tindak lanjut yang ketat untuk memantau
tanda-tanda kekambuhan (Alhaidar et al., 2022).
Sementara itu, pengobatan
methotrexate adalah antimetabolit
folat yang menghambat dihidrofolat reduktase.
Methotrexate bekerja dengan
menghambat enzim dihidrofolat reduktase, yang penting untuk sintesis
DNA. Pengurangan proliferasi
sel-sel kekebalan yang aktif karena methotrexate membantu mengurangi produksi antibodi autoimun yang menyerang reseptor asetilkolin. Sebagai agen lini
ketiga, methotrexate dimulai
dengan dosis 10 mg/minggu dan ditingkatkan hingga 20 mg/minggu selama dua bulan. Selain itu, asam
folat 1 mg/hari diberikan untuk mencegah stomatitis, dan pasien dipantau untuk kemungkinan penekanan sumsum tulang dan toksisitas hati. Methotrexate
sangat dilarang untuk digunakan pada wanita yang mungkin hamil dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan masalah
paru-paru karena jarang dapat menyebabkan
fibrosis paru (Farmakidis
et al., 2018).
Pengobatan untuk myasthenia gravis (MG) tersebut, dapat menjadi pilihan alternatif yang efektif dalam mengendalikan gejala MG. Pemberian pengobatan yang tepat bagi kebanyakan pasien dapat mencapai
kualitas hidup yang baik. Prognosis MG bervariasi tergantung pada keparahan penyakit dan respons terhadap pengobatan. Oleh karena itu, penting
untuk melakukan kontrol rutin ke dokter untuk memantau
kondisi dan menyesuaikan pengobatan sesuai kebutuhan. Jika tidak ditangani dengan baik, komplikasi paling serius yang dapat terjadi akibat myasthenia gravis adalah myasthenic crisis. Myasthenic crisis adalah kondisi di mana otot-otot yang mendukung pernapasan melemah atau bahkan lumpuh,
sehingga menyebabkan penderita mengalami kesulitan bernapas yang parah (Sari & Kurniawan, 2023). Selain
itu, myasthenia gravis juga dapat
meningkatkan risiko terkena penyakit autoimun lainnya seperti lupus, rheumatoid arthritis, dan tirotoksikosis (Gilhus et al.,
2021). Hal ini menekankan pentingnya pengelolaan dan pemantauan medis yang berkelanjutan bagi penderita MG untuk mencegah dan mengatasi kemungkinan buruk yang terjadi.
Kesimpulan
Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang membran pasca-sinaps, terutama reseptor asetilkolin di sambungan neuromuskular otot rangka. Kondisi
ini mengakibatkan gangguan neuromuskular yang ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot yang terjadi berulang kali. Gejala-gejalanya dapat bervariasi tergantung pada otot yang terdampak. Misalnya, jika otot-otot yang digunakan untuk berbicara, mengunyah, dan menelan terkena, pasien mungkin mengalami disartria (kesulitan berbicara) dan disfagia (kesulitan menelan). Selain itu, myasthenia gravis juga dapat
mempengaruhi otot-otot pernapasan, sehingga menyebabkan kesulitan bernapas. Dampak penyakit ini terhadap
pasien sangat signifikan, baik dalam hal
aktivitas sehari-hari maupun dalam aspek
keuangan dan kesehatan
mental. Oleh karena itu, penting untuk memahami
faktor risiko, melakukan diagnosis yang tepat,
dan memberikan perawatan multidisiplin kepada pasien. Jika tidak ditangani dengan baik, komplikasi yang paling serius dapat mencakup
kelemahan atau kelumpuhan otot pernapasan. Selain itu, pasien dengan
myasthenia gravis juga berisiko lebih
tinggi mengalami penyakit autoimun lainnya seperti lupus, rheumatoid
arthritis, dan tirotoksikosis.
BIBLIOGRAFI
Alhaidar,
M. K., Abumurad, S., Soliven, B., & Rezania, K. (2022). Current treatment
of myasthenia gravis. Journal of Clinical Medicine, 11(6), 1597.
Aziizah,
F., Sinta, M., & Dwi, K. (2021). Tantangan Diagnosis Dan Terapi Myasthenia
Gravis.
Berrih-Aknin,
S., & Le Panse, R. (2014). Myasthenia gravis: a comprehensive review of
immune dysregulation and etiological mechanisms. Journal of autoimmunity,
52, 90-100.
Berrih-Aknin,
S., Claeys, K. G., Law, N., Mantegazza, R., Murai, H., Saccà, F., ... &
Paci, S. (2021). Patient-reported impact of myasthenia gravis in the real
world: protocol for a digital observational study (MyRealWorld MG). BMJ open, 11(7), e048198.
Bubuioc,
A. M., Kudebayeva, A., Turuspekova, S., Lisnic, V., & Leone, M. A. (2021).
The epidemiology of myasthenia gravis. Journal
of medicine and life, 14(1), 7.
Farmakidis,
C., Pasnoor, M., Dimachkie, M. M., & Barohn, R. J. (2018). Treatment of
myasthenia gravis. Neurologic clinics, 36(2), 311-337.
Gilhus,
N. E., Nacu, A., Andersen, J. B., & Owe, J. F. (2015). Myasthenia gravis
and risks for comorbidity. European journal of neurology, 22(1), 17-23.
Gilhus,
N. E., Verschuuren, J. J., Hovland, S. I. B., Simmonds, H., Groot, F., &
Palace, J. (2021). Myasthenia gravis: do not forget the patient perspective. Neuromuscular Disorders,
31(12), 1287-1295.
Jackson,
K., Parthan, A., Lauher-Charest, M., Broderick, L., Law, N., & Barnett, C.
(2023). Understanding the symptom burden and impact of myasthenia gravis from
the patient’s perspective: a qualitative study. Neurology
and Therapy, 12(1), 107-128.
Koneczny,
I., & Herbst, R. (2019). Myasthenia gravis: pathogenic effects of
autoantibodies on neuromuscular architecture. Cells, 8(7), 671.
Salsabila, K.,
Mutiara, H., & Hanriko, R. (2023). Miastenia Gravis: Etiologi,
Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penegakkan Diagnosis dan Tatalaksana. Medical Profession
Journal of Lampung,
13(1), 115-121.
Sari
D.P., & Kurniawan S., N. (2023). Myasthenia gravis. Journal of Pain,
Headache and Vertigo; 2023.4:16-19 DOI:10.21776/ub.jphv.2023.004.01.4.
Sieb,
J. P. (2014). Myasthenia gravis: an update for the clinician. Clinical &
Experimental Immunology, 175(3), 408-418.
Souto,
E. B., Lima, B., Campos, J. R., Martins-Gomes, C., Souto, S. B., & Silva,
A. M. (2019). Myasthenia gravis: State of the art and new therapeutic
strategies. Journal of Neuroimmunology, 337, 577080.
Tireli,
H., Yuksel, G., Okay, T., & Tutkavul, K. (2020). Role of thymus on
prognosis of myasthenia gravis in Turkish population. Northern clinics of Istanbul,
7(5).
Wilson,
C., Lee, M. D., & McCarron, J. G. (2016). Acetylcholine released by
endothelial cells facilitates flow‐mediated dilatation. The Journal of
physiology, 594(24), 7267-7307.
Ye,
Y., Murdock, D. J., Chen, C., Liedtke, W., & Knox, C. A. (2024).
Epidemiology of myasthenia gravis in the United States. Frontiers in Neurology,
15, 1339167.
Copyright
holder: Metha Rizky Ramadhani, Hening Tri Utami (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |