Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
10, Oktober 2024
PERBANDINGAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN PERBANKAN DI
ERA DIGITAL DI NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG
Setyo
Bimo Anggoro, M. Arief Amrullah, Fanny Tanuwijaya, Bayu Dwi
Anggono
Universitas Jember, Jember,
Indonesia
Email:
[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam
industri perbankan. Kemajuan teknologi mempermudah berbagai transaksi keuangan,
namun juga meningkatkan risiko kejahatan perbankan seperti pencurian identitas,
peretasan akun, dan penipuan online. Kejahatan perbankan ini memerlukan sistem
penegakan hukum yang efektif untuk melindungi nasabah dan integritas sistem
keuangan. Tujuan penelitian ini membandingkan sistem penegakan hukum kejahatan
perbankan di era digital di negara maju dan berkembang. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian Systematic Literature Review (SLR). Data yang
telah terkumpul kemudian dianalisis dalam tiga tahapan yakni reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
sistem penegakan hukum kejahatan perbankan di era digital di negara maju dan
negara berkembang memiliki perbedaan dan persamaan. Negara maju umumnya
memiliki sistem hukum yang lebih kuat, sumber daya yang lebih memadai, dan
teknologi yang lebih canggih untuk memerangi kejahatan perbankan. Namun, negara
berkembang juga memiliki beberapa keunggulan, seperti budaya hukum yang lebih
fleksibel dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dengan lebih cepat.
Sehingga untuk memperkuat sistem penegakan hukum kejahatan perbankan di era
digital, negara berkembang perlu meningkatkan kerjasama internasional,
memperkuat kapasitas penegak hukum, dan meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang kejahatan perbankan.
Kata Kunci: Sistem, Hukum Kejahatan, Bank,
Negara Maju, Negara Berkembang
Abstract
The digital era has brought
significant changes to the banking industry. Technological advances make
various financial transactions easier, but also increase the risk of banking
crimes such as identity theft, account hacking and online fraud. These banking
crimes require an effective law enforcement system to protect customers and the
integrity of the financial system. The aim of this research is to compare
banking crime law enforcement systems in the digital era in developed and
developing countries. This research uses the Systematic Literature Review (SLR)
research method. The data that has been collected is then analyzed in three
stages, namely data reduction, data presentation and drawing conclusions. The
research results show that the banking crime law enforcement system in the
digital era in developed and developing countries has differences and
similarities. Developed countries generally have stronger legal systems, more
adequate resources, and more sophisticated technology to combat banking crime.
However, developing countries also have several advantages, such as a more
flexible legal culture and the ability to adapt to change more quickly. So, to
strengthen the law enforcement system for banking crimes in the digital era, developing
countries need to increase international cooperation, strengthen law
enforcement capacity, and increase public awareness about banking crimes.
Keywords: System, Criminal Law, Banks, Developed Countries,
Developing Countries
Pendahuluan
Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam
industri perbankan. Bank adalah lembaga keuangan yang berfungsi untuk
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali dalam bentuk kredit kepada pihak yang membutuhkan. Selain itu, bank
juga memberikan berbagai layanan keuangan lainnya seperti transfer dana,
pembayaran, penyimpanan barang berharga, dan lain sebagainya. Bank bertindak
sebagai perantara antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang
membutuhkan dana, serta memiliki peran penting dalam perekonomian untuk
mendukung pertumbuhan dan aktivitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan
Kemajuan teknologi telah mempermudah berbagai transaksi
keuangan, memungkinkan akses yang lebih cepat dan lebih mudah bagi nasabah.
Sistem perbankan online dan mobile banking memungkinkan pengguna untuk
melakukan transfer dana, pembayaran tagihan, dan berbagai transaksi lainnya
dengan hanya beberapa kali klik. Menurut statistik yang dirilis oleh Bank
Indonesia (BI) pada Jumat (17/11/2023), transaksi melalui kartu ATM semakin
berkurang seiring dengan meningkatnya transaksi digital perbankan. Pada kuartal
III/2023, BI melaporkan bahwa nilai transaksi perbankan digital mencapai
Rp15.148,71 triliun, mengalami pertumbuhan sebesar 12,83% dibandingkan tahun
sebelumnya. Selain itu, transaksi menggunakan uang elektronik juga meningkat
10,34% year-on-year, mencapai Rp116,54 triliun
Namun, di balik kemudahan tersebut, era digital juga membawa
tantangan baru, terutama terkait keamanan siber. Kejahatan perbankan digital,
seperti pencurian identitas, peretasan akun, dan penipuan online, menjadi
semakin umum dan kompleks. Menurut data
di e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri, sejak 1 Januari hingga 22 Desember 2022,
kepolisian telah menangani 8.831 kasus kejahatan siber. Seluruh satuan kerja di
Bareskrim Polri dan polda di seluruh Indonesia terlibat dalam penindakan
kasus-kasus tersebut. Polda Metro Jaya tercatat sebagai satuan kerja dengan
jumlah penindakan terbanyak, menangani 3.709 perkara kejahatan siber
Kejahatan terhadap bank dapat diklasifikasikan sebagai
bagian dari kejahatan bisnis, yang merupakan tindakan kriminal yang timbul dari
praktik-praktik bisnis yang sering kali terkait dengan ekonomi dan uang.
Kejahatan bisnis dianggap serius karena berpotensi menghilangkan hak milik
seseorang atas harta mereka. Bank sebagai bagian dari ekosistem industri
memiliki fungsi penting dalam mengumpulkan dana, memberikan pinjaman, serta
menyediakan berbagai layanan keuangan lainnya yang bergantung pada kepercayaan
konsumennya. Karena itu, kejahatan terhadap industri perbankan tidak hanya
berdampak pada lembaga perbankan itu sendiri, tetapi juga pada subjek hukum
lain yang bergantung pada keberlangsungan industri ini, seperti nasabah dan
pihak terkait lainnya
Oleh karena itu, sistem penegakan hukum yang efektif dan
adaptif sangat diperlukan untuk melindungi integritas sistem perbankan dan
memastikan keamanan nasabah di era digital ini. Penegakan hukum merupakan
sebuah sistem yang berkaitan dengan harmonisasi nilai, standar, dan perilaku
nyata dalam masyarakat. Aturan-aturan ini kemudian berfungsi sebagai pedoman
atau standar untuk perilaku atau tindakan yang dianggap tepat dan sesuai
Penelitian ini dapat memperkaya literatur tentang teori
penegakan hukum digital dengan memberikan wawasan baru mengenai efektivitas
berbagai pendekatan yang diterapkan di negara maju dan berkembang. Hasil
penelitian ini dapat digunakan oleh pembuat kebijakan di negara berkembang
untuk merumuskan dan memperbaiki regulasi terkait kejahatan perbankan digital,
dengan mengadopsi praktik terbaik dari negara maju yang terbukti lebih efektif.
Tujuan penelitian ini membandingkan sistem penegakan hukum kejahatan perbankan
di era digital di negara maju dan berkembang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Systematic
Literature Review (SLR). SLR adalah metode penelitian yang digunakan untuk
mengidentifikasi, menilai, dan menginterpretasi semua penelitian yang relevan
dengan pertanyaan penelitian, topik area tertentu, atau fenomena yang diminati.
SLR dilakukan dengan cara yang sistematis dan transparan untuk memastikan bahwa
penelitian yang dirangkum adalah lengkap dan dapat diandalkan
Gambar 1. diagram PRISMA
Data yang
telah terkumpul kemudian dianalisis dalam tiga tahapan yakni reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Hasil Penelitian
No |
Peneliti dan tahun Penelitian |
Hasil Penelitian |
1. |
Shahrullah, R. S.,
& Kiweikhang, D. (2014). |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam konsepsi tindak pidana siber
di sektor perbankan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Namun secara umum,
ketentuan di Amerika Serikat dianggap lebih unggul dibandingkan dengan di
Indonesia, terutama dalam hal cara dan strategi penanggulangan serta
pencegahan tindak pidana siber. |
2. |
Nur, F. (2023). |
Penelitian menemukan bahwa
penegakan hukum terhadap kejahatan digital di sektor perbankan di Indonesia
dapat dilakukan melalui mekanisme peradilan pidana yang mengedepankan
keadilan. Artinya, penjatuhan hukuman kepada pelaku tidak hanya
mempertimbangkan hukuman itu sendiri, tetapi juga kerugian yang dialami oleh
korban. Selain itu, upaya non-penal juga dapat dilakukan sebagai langkah
preventif untuk menanggulangi kejahatan. Tantangan dalam penegakan hukum di
tengah kompleksitas kejahatan digital perbankan meliputi substansi hukum yang
belum optimal dalam memberikan perlindungan kepada nasabah, keterbatasan
sumber daya penegak hukum baik dari segi jumlah maupun kualitas, serta
perlunya meningkatkan kesadaran hukum di kalangan masyarakat sebagai bagian
dari budaya hukum. |
3. |
Saunders, J. (2017). |
Penegakan hukum di Inggris telah
mengembangkan strategi “4P” yaitu
Kejar, Cegah, Lindungi, dan Persiapkan untuk mengatasi kejahatan siber yang
berkembang dengan cepat. Penegakan hukum di Inggris telah mengembangkan strategi
ini dan bekerja sama dengan pemerintah, mitra internasional, dan industri.
Hasilnya, telah mencapai beberapa hasil operasional yang signifikan. Meskipun
demikian, masih banyak yang harus dilakukan untuk sepenuhnya mengatasi
tantangan dan memberikan dampak jangka panjang terhadap ancaman kejahatan
siber. |
4. |
Vitvitskiy, S. S.,
Kurakin, O. N., Pokataev, P. S., Skriabin, O. M., & Sanakoiev, D. B.
(2021). |
Penelitian menunjukkan bahwa
kondisi penegakan keamanan siber di sektor perbankan Ukraina saat ini tidak
memenuhi standar kontemporer. Diperlukan langkah-langkah efektif dan kerja
sama yang terkoordinasi antara sektor swasta dan sektor publik untuk memerangi
kejahatan siber secara efektif. Langkah-langkah ini meliputi: mengabadikan
klasifikasi kejahatan siber dalam peraturan perundang-undangan Ukraina;
memperkenalkan konsep "hukum pidana perbankan" dalam bidang ilmiah
dan hukum; serta menciptakan Pasukan Siber Ukraina, yang kegiatannya akan
difokuskan pada pencegahan dan penanggulangan kejahatan siber. |
5. |
Lemieux, M. (2015). |
Temuan penelitian menunjukkan
bahwa inisiatif keamanan siber dari PSC, Bank of Canada, dan OSFI menunjukkan
upaya besar yang diinvestasikan untuk melindungi infrastruktur keuangan
Kanada dari ancaman kejahatan siber. Prakarsa-prakarsa ini sangat penting karena
dalam penegakan hukum, keamanan sistem merupakan elemen kunci untuk
mempertahankan kepercayaan publik terhadap transaksi online dan mendukung
transisi kolektif menuju ekonomi yang lebih digital dan efisien. Namun, tata
kelola industri perbankan dan pembayaran terkait kejahatan siber masih
terlihat tidak seragam dan belum lengkap. |
6. |
Orji, U. J. (2019). |
Penelitian menunjukkan bahwa upaya
penegakan hukum melalui Undang-Undang Kejahatan Siber Nigeria yang bertujuan
untuk melindungi konsumen dari kejahatan siber di sektor perbankan dan
keuangan. Ditemukan bahwa rezim ini tidak memadai karena tidak menetapkan
kewajiban yang cukup bagi bank dan lembaga keuangan untuk melindungi
informasi pribadi pelanggan dari akses yang tidak sah. Selain itu, temuan
mengungkapkan bahwa tidak ada rezim eksplisit yang menentukan tanggung jawab
atas transaksi pembayaran yang tidak sah ketika informasi perbankan
elektronik atau pembayaran konsumen dikompromikan. |
7. |
Agrawal, S. (2016). |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sektor perbankan India tidak dapat menghindari aktivitas perbankan melalui
media elektronik, karena studi ini mengindikasikan peningkatan jumlah
pembayaran melalui e-banking. Namun, perubahan dalam industri perbankan harus
sesuai dengan pasar India serta aturan, peraturan, pemberitahuan, dan
perintah terkait transaksi bank dan standar hukum yang berkembang mengenai
tanda tangan digital, tanda tangan elektronik, data, pemotongan cek, transfer
dana elektronik, dan lainnya sebagai bagian dari keseluruhan proses manajemen
risiko operasional. Saat ini, diperlukan peningkatan kerja sama antar negara
dalam hal alat dan teknik untuk secara efektif melawan kejahatan elektronik
global. Di negara berkembang seperti India, kejahatan siber dan elektronik
menimbulkan masalah serius karena kurangnya pelatihan dalam investigasi
kejahatan siber dan elektronik. |
8. |
Goel, S. (2016). |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penegakan hukum terhadap kejahatan perbankan dengan metode tradisional
terbukti tidak memadai untuk menghadapi kejahatan siber yang terus
berkembang. Undang-Undang IT India telah mengalami banyak perubahan, dan pada
13 April 2015, diumumkan bahwa Kementerian Dalam Negeri akan membentuk sebuah
komite yang terdiri dari Biro Intelijen, Biro Investigasi Pusat, Badan
Investigasi Nasional, Kepolisian Delhi, dan kementerian itu sendiri untuk
mengembangkan kerangka hukum yang baru. Kemudian karena dampak dari kejahatan
siber, disadari bahwa lembaga penegak hukum lokal kekurangan keterampilan dan
sumber daya yang diperlukan untuk menyelidiki insiden ini. Selain itu, di
tingkat nasional, ada kebutuhan mendesak untuk membangun kemampuan memeriksa
infrastruktur penting di sektor industri sebelum digunakan dalam produksi
untuk menghindari penyusupan oleh perangkat keras atau perangkat lunak yang
tidak tepercaya. |
9. |
Putra, R., &
Lubis, S. D. (2024). |
Penelitian menunjukkan bahwa
penegakan hukum terhadap kejahatan siber di sektor perbankan di Indonesia
diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang dapat digunakan untuk menangani tindak
pidana penipuan online. Untuk memperkuat dasar hukumnya, dapat juga mengikuti
Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Hukum pidana Islam, yang didasarkan pada hadits dan
Al-Quran, tidak memberikan panduan yang spesifik tentang cara menangani
penipuan internet yang melibatkan bank. Hukum Islam mencakup prinsip-prinsip
umum yang harus diikuti, dan penerapannya tergantung pada interpretasi para
ulama atau otoritas agama setempat. Dalam kasus penipuan online yang
melibatkan bank, yang termasuk dalam tindak pidana penipuan, pelaku dapat
dikenakan hukuman ta'zir seperti teguran keras, denda materi yang jumlahnya
disesuaikan dengan kerugian korban, penjara, cambuk, atau pengasingan
sementara dari masyarakat. |
10. |
Bossler, A. M.
(2020). |
Temuan penelitian menunjukkan
bahwa Amerika Serikat telah mengimplementasikan undang-undang yang bertujuan
untuk mengatasi berbagai jenis kejahatan dunia maya baik di tingkat negara
bagian maupun federal selama 30 tahun terakhir. Undang-undang AS juga telah diubah atau
diberlakukan selama periode tersebut. Kejahatan siber seperti peretasan
komputer dan perangkat lunak berbahaya, penipuan online dan pencurian
identitas, pembajakan digital dan pencurian kekayaan intelektual, serta
isu-isu lain seperti pornografi, eksploitasi seksual anak, sexting,
perundungan siber, penguntitan siber, SPAM, dan terorisme siber. |
Di era digital saat ini, layanan perbankan semakin
mengandalkan teknologi seperti electronic banking (e-banking) untuk
memfasilitasi operasional perbankan dan mempermudah nasabah dalam melakukan
transaksi. Meskipun memberikan berbagai kemudahan, penggunaan teknologi ini
juga membawa risiko tinggi terkait dengan keamanan dan kejahatan digital di
sektorperbankan.
Kejahatan digital di sektor perbankan menimbulkan dampak
serius yang dapat mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan. Tindakan
kriminal ini bertujuan untuk meretas atau mengakses informasi keuangan dari
bank, termasuk data nasabah. Keberhasilan para pelaku kejahatan digital dapat
mengancam tidak hanya keamanan lembaga perbankan tetapi juga keamanan finansial
nasabah
Secara definisi, negara maju adalah negara yang memiliki
tingkat standar hidup yang tinggi dengan ekonomi yang merata, teknologi tinggi,
dan telah mencapai kesuksesan dalam berbagai bidang. Di sisi lain, negara
berkembang adalah negara dengan pendapatan rata-rata rendah, infrastruktur yang
masih dalam tahap perkembangan, dan indeks perkembangan manusia di bawah
standar global
Negara maju umumnya memiliki sistem penegakan hukum yang
lebih kuat dalam memerangi kejahatan perbankan digital dibandingkan negara
berkembang, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti faktor yang
pertama adalah adanya kerangka hukum yang lebih lengkap dan detail. Misalnya,
di Amerika Serikat, sudah ada beberapa peraturan federal yang secara jelas
mengatur kejahatan cyber seperti penipuan yang terkait dengan komputer (Title
18 U.S. Code §1030), penipuan bank (Title 18 U.S. Code §1344), dan penggunaan
nama domain yang menyesatkan di internet (Title 18 U.S. Code §2252B)
(Shahrullah & Kiweikhang, 2014). Pengelompokan hukum yang khusus ini
membantu memudahkan proses penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran
tersebut. Regulasi yang jelas dan spesifik ini membantu para penegak hukum
untuk mengidentifikasi, menyelidiki, dan menuntut pelaku kejahatan dengan lebih
efektif. Selain itu, negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan
Inggris merupakan anggota dari Convention on Cyber Crime (Budapest Convention
2001), sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan cyber di tingkat global. Organisasi ini membuat
kemudahan untuk memantau dan menindak pelanggaran yang terjadi di berbagai
negara anggota.
Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara berkembang
seringkali belum ada undang-undang yang spesifik untuk mengatasi kejahatan
perbankan digital, atau undang-undang yang ada belum memadai. Regulasi yang ada
terkadang cenderung tumpang tindih dan tidak cukup jelas. Misalnya, di
Indonesia, hukum yang dapat digunakan untuk menuntut pelaku kejahatan cyber
masih terbatas pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan lainnya
tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dan seringkali tidak cukup
spesifik dalam konteks kejahatan perbankan digital (Shahrullah &
Kiweikhang, 2014). Sejalan dengan yang terjadi di India, kebijakan, standar,
dan metode tradisional dalam penegakan hukum telah terbukti tidak cukup efektif
menghadapi kejahatan siber yang terus berkembang. Undang-undang IT India telah
mengalami beberapa kali perubahan untuk mengatasi tantangan ini. Pada tahun
2015, pemerintah India mengumumkan pembentukan sebuah komite yang melibatkan
berbagai badan penegak hukum untuk mengembangkan kerangka hukum baru yang lebih
adaptif terhadap kejahatan siber
Di Nigeria, Undang-Undang Kejahatan Siber ditemukan kurang
memadai karena tidak menetapkan kewajiban yang cukup tegas bagi bank dan
lembaga keuangan untuk melindungi informasi pribadi pelanggan dari akses yang
tidak sah
Faktor kedua yang membedakan kemampuan penegakan hukum
antara negara maju dan negara berkembang dalam memerangi kejahatan perbankan
digital adalah adanya lembaga penegak hukum khusus yang didedikasikan untuk
menangani kejahatan siber di negara maju. Lembaga-lembaga ini dilengkapi dengan
sumber daya manusia yang terlatih dan teknologi canggih yang memadai untuk
melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan perbankan digital yang
kompleks. Di sisi lain, di negara berkembang memiliki lembaga penegak hukum
yang menangani kejahatan siber umumnya masih dalam tahap pengembangan. Mereka
sering menghadapi keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dan teknologi
yang memadai untuk mengatasi kejahatan perbankan digital dengan efektif.
Keahlian dalam menyelidiki dan menuntut kasus-kasus kejahatan perbankan digital
juga sering kali masih terbatas
Di India, dengan meningkatnya dampak dari ancaman kejahatan
siber, lembaga penegak hukum lokal telah menyadari bahwa mereka sering kali
tidak memiliki keterampilan dan sumber daya yang cukup untuk menyelidiki
insiden kejahatan siber dengan efektif. Seperti yang diperkirakan oleh National
Association of Software and Service Companies (NASSCOM) memperkirakan bahwa
India akan membutuhkan 1 juta profesional keamanan siber terlatih pada tahun
2025. Organisasi keuangan khususnya kini membutuhkan tim keamanan siber yang
kuat dengan kepemimpinan digital yang terampil. Survey PricewaterhouseCoopers
(PwC) tentang kejahatan ekonomi global pada tahun 2016 menunjukkan bahwa
terlalu banyak organisasi yang mengandalkan tim IT mereka tanpa dukungan yang
memadai dari manajemen senior dan pemangku kepentingan kunci
Di tingkat nasional,
Berdasarkan hal tersebut, maka artinya negara berkembang
memiliki potensi yang lebih baik dalam meningkatkan penegakan hukum terhadap
kejahatan di sektor perbankan digital, tetapi upaya pencegahan kejahatan perlu
diperkuat secara signifikan. Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk dengan
memperkuat kerangka hukum untuk merumuskan undang-undang dan regulasi yang
spesifik serta komprehensif untuk mengatasi kejahatan perbankan digital. Selain
itu, peningkatan kapasitas penegak hukum dengan melalui pelatihan dan
pengembangan sumber daya manusia dan teknologi menjadi krusial
Negara berkembang juga dapat meningkatkan efektivitas dalam
memerangi kejahatan perbankan digital dengan meningkatkan kerjasama
internasional
Kesimpulan
Sistem penegakan hukum terhadap kejahatan perbankan di era
digital menunjukkan perbedaan dan persamaan antara negara maju dan negara
berkembang. Negara maju cenderung memiliki sistem hukum yang lebih kuat, sumber
daya yang lebih memadai, dan teknologi yang lebih canggih untuk melawan
kejahatan perbankan. Di sisi lain, negara berkembang juga memiliki keunggulan
tertentu, seperti fleksibilitas dalam budaya hukum dan kemampuan untuk
beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Upaya untuk memperkuat sistem penegakan
hukum terhadap kejahatan perbankan di era digital, negara berkembang perlu
meningkatkan kerjasama internasional, memperkuat kapasitas penegak hukum lokal,
dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ancaman kejahatan perbankan
digital. Sehingga dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat menciptakan
lingkungan yang lebih aman dan terpercaya dalam ekosistem perbankan global.
BIBLIOGRAFI
Amaru,
S., & Chhetri, N. B. (2013). Climate adaptation: Institutional response to
environmental constraints, and the need for increased flexibility,
participation, and integration of approaches. Applied Geography, 39,
128–139.
Christopher,
M. S., Hunsinger, M., Goerling, L. R. J., Bowen, S., Rogers, B. S., Gross, C.
R., Dapolonia, E., & Pruessner, J. C. (2018). Mindfulness-based resilience
training to reduce health risk, stress reactivity, and aggression among law
enforcement officers: A feasibility and preliminary efficacy trial. Psychiatry
Research, 264, 104–115.
Gani,
U. A., Salasi, R., Bambang, R. M., & Umam, K. (2018). Analisis diskriminan
untuk mengelompokkan negara maju dan negara berkembang dengan metode Fishers. Jurnal
Geuthèë: Penelitian Multidisiplin, 1(1), 1–12.
Goel,
S. (2016). Cyber-Crime: A growing threat to Indian banking sector. International
Journal of Science Technology and Management, 5(12), 552–559.
Kuncoro,
T. (2013). Penegakan Hukum Terhadap Cyber Crime di Bidang Perbankan Sebagai
Kejahatan Transnasional. Jurnal Magister Hukum Udayana, 2(3),
44081.
Lagazio,
M., Sherif, N., & Cushman, M. (2014). A multi-level approach to
understanding the impact of cyber crime on the financial sector. Computers
& Security, 45, 58–74.
Laras,
A. (2023). Jumlah Pengguna Mobile Banking Mandiri, BRI, BCA, dan BNI Jumbo,
Siapa Teratas. Bisnis. Com. https://finansial. bisnis.
com/read/20231123/90/1717069/jumlah ….
Moho,
H. (2019). Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum,
Keadilan dan Kemanfaatan. Warta Dharmawangsa, 13(1).
Nur,
F. (2023). Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Digital Perbankan. Innovative:
Journal Of Social Science Research, 3(6), 3234–3249.
Orji,
U. J. (2019). Protecting consumers from cybercrime in the banking and
financial sector: an analysis of the legal response in Nigeria. Tilburg Law
Review, 24(1), 105–124.
Polri,
P. B. (2022). Kejahatan Siber di Indonesia Naik Berkali-kali Lipat. Pusiknas.
Polri. Go. Id. Https://Pusiknas. Polri. Go.
Id/Detail_artikel/Kejahatan_siber_di_indonesia_naik_berkali-Kali_lipat.
Shahrullah,
R. S., & Kiweikhang, D. (2014). Tinjauan yuridis penanganan kejahatan
siber (Cybercrime) di sektor perbankan Indonesia dan Amerika. Journal of
Judicial Review, 16(2), 115–132.
Turmudi,
M. (2017). Pembiayaan Mikro BRI Syariah: Upaya Pemberdayaan dan Peningkatan
UMKM oleh BRI Syariah Cabang Kendari. Li Falah: Jurnal Studi Ekonomi Dan
Bisnis Islam, 2(2), 20–38.
Van
Dinter, R., Tekinerdogan, B., & Catal, C. (2021). Automation of systematic
literature reviews: A systematic literature review. Information and
Software Technology, 136, 106589.
Yip,
R., & Ramakrishnan, U. (2002). Experiences and challenges in developing
countries. The Journal of Nutrition, 132(4), 827S-830S.
Copyright holder: Setyo Bimo
Anggoro, M. Arief Amrullah, Fanny
Tanuwijaya, Bayu Dwi Anggono (2024) |
First publication
right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is
licensed under: |