Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 9, September 2024
POLITIK DINASTI DALAM SELEKSI KANDIDAT CALON ANGGOTA LEGISLATIF: STUDI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN DI DPRD DKI JAKARTA PADA PEMILU 2024
Amriyono
Prakoso1, Meidi Kosandi2
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Kata kunci: Politik dinasti, Seleksi kandidat, Partai politik,
Pemilu
Abstract
Dynastic politics is a phenomenon in democratic systems where political
power is inherited in the family. This phenomenon is seen in various countries
such as the United States, the Philippines, Bangladesh, and Indonesia. Dynastic
politics is power that benefits certain families in obtaining electoral votes,
it can also be referred to as a strategy for inheriting power. Factors that
affect the emergence of dynastic politics include the quality of leadership,
the weakness of political parties, regulatory loopholes, and control by
oligarchs. In Indonesia, dynastic politics is thriving at the local and
national levels, supported by decentralization and political reforms. Political
parties have a dominant role in supporting dynastic politics through the
recruitment and candidacy process. Although dynastic politics is often seen as
undermining the meaning of democracy and encouraging corruption, research shows
that there is satisfaction with the performance of political dynasties in
certain areas. This study aims to analyze the selection process of legislative
candidates from dynastic families in political parties, with a focus on the
2024 election and the selection pattern applied by PDI Perjuangan. This study
uses data from interviews and documentation. The result of this research is
that there are still candidates for legislative members from political parties
affiliated with the families of party administrators and public officials,
which is an inseparable phenomenon from election to election.
Keywords: Dynasty politics, Candidate selection, Political parties,
Elections
Pendahuluan
Politik dinasti merupakan fenomena yang tak
terpisahkan dari sistem demokrasi, di mana kekuasaan politik cenderung
diwariskan dalam keluarga. Di Amerika Serikat, studi oleh Hess
Beberapa faktor yang mendorong munculnya politik
dinasti termasuk kualitas kepemimpinan
Di Indonesia, politik dinasti tumbuh subur di
tingkat lokal. Penelitian oleh
Desentralisasi juga memicu pertarungan kekuatan
politik baru di ranah lokal
Di tingkat nasional, keluarga Soekarno, Soesilo
Bambang Yudhoyono, Abdurrahman Wahid, dan Joko Widodo menghiasi perpolitikan
Indonesia, mengisi kursi jabatan publik dan posisi ketua umum partai politik.
Menurut
Peran partai politik dalam politik dinasti
sangat dominan. Pemilihan kepala daerah melibatkan partai politik dalam
rekrutmen dan pencalonan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Harris (2006) menyatakan bahwa partai
politik di negara demokrasi baru lebih merupakan masalah daripada solusi bagi
rakyat. Permasalahan internal partai seperti faksi, personalisasi, dan korupsi
menunjukkan bahwa partai tidak menjalankan fungsinya sebagai lembaga modern
dalam negara demokrasi
Survei oleh LSI (2021) menunjukkan bahwa tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hanya mencapai 47 persen. Matera
(2011) menekankan bahwa partai politik memiliki peran besar dalam membangun dan
menjaga stabilitas demokrasi sebagai salah satu pilar demokrasi. Dengan
demikian, terlihat jelas bahwa praktik politik dinasti sangat berkaitan dengan
partai politik, terutama ketika partai dikuasai oleh oligarki yang membentuk
dinasti. Permasalahan utama terletak pada partai politik dan ketidakmampuannya
untuk membenahi kelembagaan, sehingga keputusan-keputusan yang diambil justru
memperkuat sentimen negatif terhadap partai politik.
Penelitian
Penelitian mengenai politik dinasti yang menguasai partai politik di sebuah negara demokrasi, sudah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Harjanto (2011), Amundsen (2016), dan Nurchasim dan Budiatri (dalam Budiatri et al, 2018). Ketiganya beranggapan bahwa politik dinasti di partai politik tidak dapat ditampik keberadaannya. Sosok dari keluarga yang memimpin, memiliki pengaruh signifikan terhadap keterpilihan di pemilu. Kajian Harjanto, memfokuskan kepada kaderisasi kepemimpinan di partai politik Indonesia, dinilai dapat menjadi prioritas karena menjadi saluran utama rekrutmen kepemimpinan di daerah dan nasional. Penelitian Amundsen di Bangladesh, menjelaskan dua partai besar di Bangladesh, yakni Awami League dan Bangladesh National Party tidak dapat merepresentasikan kepentingan partai karena dikuasai oleh dinasti. Kajian dari Nurchasim dan Budiatri dapat memberikan keuntungan bagi partai.
Sejumlah penelitian yang mengangkat mengenai isu politik dinasti dengan rekrutmen partai politik dilakukan oleh Fitriyah (2020), Aprilia (2019), serta Prianto (2016). Keempatnya menerangkan mengenai sejarah perkembangan politik dinasti di daerah hingga masuk ke dalam internal partai politik di Indonesia sampai pada pengaruhnya untuk lolos menjadi calon legislatif maupun kepala daerah yang diusung oleh partai.
Berdasar penjelasan yang sudah dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa ada penerimaan yang berbeda dalam memandang politik dinasti. Akibat-akibat negatif yang ditimbulkan dalam kuasa politik dinasti dalam partai politik, menjadi penghambat proses demokrasi dalam partai politik yang seharusnya menjadi lembaga paling demokratis. Proses rekrutmen dan seleksi yang menguntungkan bagi anggota dinasti di dalam partai politik, khususnya di penentuan calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta oleh partai PDI Perjuangan dilakukan oleh peneliti untuk mengisi gap tersebut.
Berdasar pada hal tersebut,
penelitian ini akan menganalisis anggota dinasti menjalani proses seleksi yang
ada di dalam aturan partai. Guna menganalisis persoalan tersebut, maka teori
dinasti dari Dal Bo et al (2009) dan Kenawas (2015) akan memperlihatkan
kepentingan dan cara-cara yang dilakukan oleh kelompok dinasti melanggengkan
kekuasaannya. Serta mendeskripsikan pola seleksi yang diterapkan oleh PDI
Perjuangan di Pemilu 2024 dengan metode yang dijabarkan oleh Rahat dan Hazan.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa dan memahami keterlibatan anggota dinasti dari keluarga petinggi
partai maupun pejabat negara mempengaruhi pola rekrutmen dan seleksi untuk
menjadi calon anggota legislatif. Hal
ini menjadi poin penting karena sebagian besar partai politik mendorong suatu
keluarga untuk ikut dalam kompetisi politik sehingga demokrasi di dalam partai
politik tidak berjalan dengan baik.
Metode Penelitian
Metode penelitian oleh Azwar (1998)
merupakan suatu kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan.
Fungsinya adalah mencari penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta
memberikan alternatif yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif oleh Creswell (2008) diartikan sebagai proses penelitian dan
pemahaman berdasarkan pada metodologi yang menyelediki fenomena sosial dan
masalah manusia. Sementara jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
Jenis penelitian ini digunakan untuk menelaah kasus tertentu dalam konteks
kehidupan yang menggunakan berbagai sumber informasi, diantaranya; wawancara,
laporan dan dokumen (Creswell, 2008). Penelitian akan dilakukan di Jakarta yang
menjadi pusat dari aktivitas kegiatan politik PDI Perjuangan dan Partai
Demokrat.
Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara purposive yang menurut Suyanto (2005) dalam penentuan informan, peneliti harus melihat pada kualitas informan yang akan diteliti. Pemilihan informan akan dilakukan secara sengaja berdasar pada kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan kebutuhan penelitian. Adapun kualitas dan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti adalah informan memiliki jabatan fungsionaris di dalam partai politik, informan mempunyai akses dan pengetahuan mengenai proses pengambilan keputusan di internal partai, informan memiliki pengetahuan mengenai administrasi formal maupun informal mengenai proses seleksi pemimpin maupun calon anggota legislatif sebagai perwakilan partai.
Creswell (2008,166), menyebut langkah-langkah pengumpulan data meliputi usaha membatasi penelitian, mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara, baik yang sudah direncanakan sebelumnya maupun tidak, dokumentasi dan materi lainnya.
Dalam penelitian ini, guna mendapatkan data dan informasi yang komprehensif, peneliti akan melakukan wawancara secara tatap muka dengan mengajukan pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya maupun pertanyaan yang muncul di tengah penelitian. Beberapa informan yang akan menjadi narasumber, yaitu ;
1) Ketua
DPP PDIP Bidang Organisasi : Djarot Syaiful Hidayat
2) Wakil
Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Bidang Organisasi : Hendra Gunawan
3) Calon
Anggota Legislatif DPRD DKI Jakarta : Wibi Wibawanto
4) Calon
Anggota Legislatif DPRD DKI Jakarta : Adiyoga Nusyirwan
5) Peneliti
Formappi : Lucius Karus
6) Manager Divisi Program Perludem : Fadli Ramadhanil
7) Koordinator
Nasional JPPR : Nurlia Dian
Dokumentasi dalam
penelitian ini, dimaksudkan menjadi bahan panduan dan memperkaya data dalam
melakukan perbandingan dan penyelarasan temuan di lapangan. Dokumen juga bertujuan untuk memperkuat
analisis data penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
Miles dan Hubermen
(dalam Sugiyono, 2011) menjelaskan model
analisis data terdiri dari tiga hal utama, yaitu : reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data
yang muncul di lapangan. Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasan,
memberi kode, menelusur tema dan menulis memo hingga laporan tersusun secara
lengkap. Penyajian data digunakan dalam jenis deskriptif, kutipan hasil
wawancara dan tabel-tabel yang dibutuhkan. Hal ini dirancang guna menggabungkan
informasi agar tersusun dalam bentuk yang padu, mudah difahami dan berguna
untuk penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Dinasti di
PDIP
Personalisasi dalam partai politik erat
kaitannya dengan pembentukan dinasti partai. Kebutuhan akan sosok kuat sebagai vote
getter dalam pemilihan menjadi aspek yang tidak terpisahkan. PDI Perjuangan
adalah contoh partai yang mempersonalisasi kepemimpinannya di bawah Megawati
Soekarnoputri, yang telah menjadi simbol utama sejak masa Orde Baru hingga era
reformasi. Kepemimpinan panjang Megawati melanggengkan “Klan Soekarno” sebagai
elit partai dan membentuk dinasti politik untuk mempertahankan posisinya. Fenomena
ini menunjukkan pengaruh besar mereka dalam internal partai serta kemampuan
mereka menentukan siapa yang akan mengisi jabatan publik.
Sejarah PDI
Perjuangan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
terbentuk dari perjalanan panjang Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang pecah
pada 1999. Fusi partai yang dilakukan pemerintahan Orde Baru pada 1973 menjadi
dasar penting dalam menjelaskan dinamika partai saat itu. PDI dan partai lain
tidak memiliki kesempatan yang sama dengan Golongan Karya (Golkar) dalam
kebijakan kenegaraan dan tidak dapat menjalankan fungsi partai di bawah Orde
Baru
Pada 1993, Megawati Soekarnoputri berhasil
merebut kursi ketua umum PDI secara de facto melalui Kongres Luar Biasa di
Surabaya, meski pemerintah Orde Baru tidak mengakui hasil kongres tersebut.
Megawati memperkuat dukungan internal dan mengembalikan fungsi partai sebagai
rekrutmen dan basis massa untuk demokrasi
Setelah peristiwa Kudatuli, Megawati semakin
menjadi sosok politisi berpengaruh. Ia memisahkan diri dari PDI Soerjadi dan
membentuk PDI Perjuangan yang memenangi Pemilu 1999 dengan 33,74 persen suara,
mengalahkan PDI Soerjadi yang hanya mendapat suara di bawah 1 persen (KPU,
1999).
Megawati
“Simbol Perlawanan”
Megawati juga dianggap sebagai simbol perlawanan
melawan pemerintahan Orde Baru. Kepemimpinannya hampir bersamaan dengan
politisi wanita di Asia seperti Qory Aquino di Filipina dan Bhenazir Bhutto di
Pakistan, yang juga melawan pemerintahan tidak demokratis. Lay (1999) menyebut
Megawati sebagai 'Ratu Adil' dan simbol perlawanan di masyarakat, sebuah peran
yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Soekarno dan pengikutnya.
Kepemimpinan Megawati di PDIP tetap stabil sejak
1998 hingga saat ini. Stabilitasnya tidak terlepas dari simbol yang sudah tersemat pada
dirinya sebagai pemimpin. Presiden
kelima RI ini memperoleh "Reputasi," "Status," dan
"Prestise" yang memenuhi fungsi seorang pemimpin
Masa kecil dan dewasa Megawati penuh dengan
tantangan. Sebagai anak presiden, ia mengalami perpindahan tempat tinggal untuk
menghindari konflik. Kehidupan dewasa setelah Soekarno lengser juga tidak lebih
baik. Ia dikeluarkan dari kampus karena tekanan dari penguasa dan menghadapi
berbagai intimidasi. Megawati juga menghadapi tantangan dalam kehidupan
pribadi, termasuk pernikahannya yang penuh lika-liku.
Kehidupan sulit yang dialami Megawati membuatnya
relevan sebagai pemimpin yang mampu mengubah keadaan. Dukungan dari loyalis
Soekarno dan elemen masyarakat membantu menekan pemerintah yang
sewenang-wenang. Budaya masyarakat yang masih kental dengan cerita masa lalu
memperkuat penyematan simbol perlawanan pada Megawati.
Dinasti di
PDIP
Personalitas politik dalam partai di Indonesia
sering menghadapi masalah dengan adanya sosok figur yang terlalu kuat,
menghambat demokrasi internal. Menurut Budiatri (2018), hal ini diperburuk oleh
lamanya jabatan yang dipegang elit partai. Michels (2001) menjelaskan
kecenderungan ini sebagai bentuk oligarki, di mana partai politik digunakan
oleh elitnya untuk terus berkuasa, sering melalui hubungan patron-client atau
kekerabatan.
Megawati Soekarnoputri
merupakan contoh utama dalam PDIP. Namanya tidak terlepas dari politik dinasti
yang terbentuk di partai ini. Anak-anak Megawati, Puan Maharani dan Prananda
Prabowo, memiliki peran penting dalam partai. Puan menjabat sebagai Ketua DPR
RI dan Ketua Bidang Pemerintahan Pertahanan dan Keamanan DPP PDIP, sementara
Prananda adalah Ketua Bidang UMKM, Ekonomi Kreatif dan Digital DPP PDIP.
Keduanya menjadi kepala tim pemenangan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di
Pilpres 2024. Putri Puan, Pinka, juga maju dalam pemilihan calon legislatif DPR
RI. Keponakan Megawati, Puti Guntur Soekarno, menjabat sebagai anggota DPR RI
di Komisi X.
Selain keluarga
Megawati, keluarga Dondokambey di Sulawesi Utara juga memiliki posisi strategis
di PDIP. Adriana Charlotte
Dondokambey, adik dari Olly Dondokambey, menduduki kursi DPR RI. Putera Olly,
Kevin Lotulong, pernah menjadi wakil bupati Minahasa Utara. Kakak Olly, Aaltje
Dondokambey, adalah Ketua DPRD Kota Manado, dan Robby Dondokambey, pernah menjadi
wakil bupati Minahasa. Anaknya, Sarah Dondokambey, adalah calon anggota
legislatif DPRD Minahasa.
Keluarga Nababan juga berpengaruh di PDIP. Panda
Nababan adalah tokoh senior PDIP, dan anaknya, Putra Nababan, adalah anggota
DPR RI Komisi X. Ayah mertua Panda, Sabam Sirait, adalah politisi senior di PDI
dan PDIP. Maruarar
Sirait, penerus Sabam, juga pernah menjadi anggota DPR dan pengurus DPP PDIP
sebelum keluar dari partai.
Presiden Joko Widodo,
sebagai kader PDIP, juga melibatkan anak dan menantunya dalam politik melalui
PDIP. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi wali kota Solo, dan
menantunya, Bobby Nasution, memenangkan Pilkada Kota Medan. Yasonna Laoly,
pengurus DPP PDIP, juga diikuti jejaknya oleh anaknya, Yamitema Laoly, di DPD
PDIP Sumatera Utara.
Menurut Dal Bo et al
(2009), dinasti politik adalah upaya seorang politisi untuk memperpanjang
eksistensi diri melalui penerusnya, dan keberhasilan menempatkan anggota
keluarga dalam pemilihan. PDIP memenuhi kriteria ini, dengan Megawati membangun
dinastinya saat menjabat sebagai ketua umum dan melibatkan keluarganya dalam
partai. Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey, juga melantik dua anggota
keluarganya selama masa jabatannya sebagai Gubernur Sulawesi Utara, serta
Presiden Joko Widodo yang melantik anak dan menantunya di masa jabatannya.
Gambar 1. Bagan Keluarga Soekarno di PDIP
Rekrutmen dan
Seleksi Caleg di PDI Perjuangan DKI Jakarta
Undang-undang mengamanatkan partai politik untuk
menyiapkan pemimpin bangsa, yang dilakukan melalui rekrutmen dan seleksi kader
partai. Kader PDI Perjuangan, misalnya, harus melalui berbagai tahapan untuk
menjadi bakal calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta.
Profil PDIP
di Jakarta
Berdasarkan Surat Keputusan DPP PDIP Nomor:
22-B/KPTS-DPD/DPP/VII/2022, terdapat 23 pengurus DPD PDIP DKI Jakarta di bawah
Ady Widjaja. DKI Jakarta adalah salah satu lumbung suara terbesar PDIP, selain
Jawa Tengah dan Bali. PDIP konsisten memperoleh setidaknya 10 kursi di DPRD DKI
Jakarta dalam beberapa pemilu terakhir, dengan Prasetyo Edi Marsudi sebagai
ketua DPRD pada dua pemilu terakhir.
Tabel 1. Pengurus DPD PDIP DKI Jakarta 2019-2024
Ketua |
Ady Widjaja |
Wakil Ketua Bidang Kehormatan Partai |
Pantas Nainggolan |
Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu |
Ida Mahmudah |
Wakil Ketua Bidang Ideologi |
Jhonny Simanjuntak |
Wakil Ketua Bidang Organisasi |
Hendra Gunawan |
Wakil Ketua Bidang Politik |
Mahdiah |
Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM |
Ronny Talapessy |
Wakil Ketua Bidang Ekonomi |
Mahtumi Syah |
Wakil Ketua Bidang Budaya |
Kirana Larasati |
Wakil Ketua Bidang Penanggulangan Bencana |
Panji Virgianto |
Wakil Ketua Bidang Industri |
Ridar Handoko |
Wakil Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan |
Mirza Riadiani Kesuma |
Wakil Ketua Bidang Pariwisata |
Wolfgang Amadeus William |
Wakil Ketua Bidang Koperasi |
Pandapotan Sinaga |
Wakil Ketua Bidang Agama |
Rasyidi H Y |
Wakil Ketua Bidang UMKM |
Findri Puspitasari |
Wakil Ketua Bidang Pangan, Pertanian |
Dyah Primastuti |
Wakil Ketua Bidang Kelautan |
Adiyoga |
Sekretaris |
Gembong Warsono |
Wakil Sekretaris Internal |
Bambang Mujiono |
Wakil Sekretaris Program |
Chairul Ichsan |
Bendahara |
Widowati |
Wakil Bendahara |
Pierre Senjaya |
Persebaran Suara PDIP di Pemilu 2019
PDIP menguasai sebagian
besar wilayah Jakarta pada Pemilu 2019, memperoleh 25 kursi di DPRD, diikuti
Gerindra (19 kursi) dan PKS (16 kursi). Di beberapa dapil, PDIP mendominasi perolehan
suara: Dapil 1 (49 ribu suara, 3 kursi), Dapil 3 (40 ribu suara, 3 kursi),
Dapil 9 (55 ribu suara, 3 kursi), dan Dapil 10 (95 ribu suara, 4 kursi).
Pengaruh Pilkada Terhadap Pemilu
PDIP DKI Jakarta
merupakan penyumbang suara keempat terbanyak secara nasional pada Pemilu 2014
dan 2019. Di Pemilu 2014, PDIP memperoleh 1,6 juta suara, meningkat pada Pemilu
2019 menjadi 1,6 juta suara. Kemenangan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta pada 2012-2017, serta Joko
Widodo sebagai Presiden RI pada 2014-2019, turut berkontribusi pada
keberhasilan PDIP di DKI Jakarta.
Strategi Rekrutmen dan Seleksi Caleg
Menurut riset Charta
Politika, kemenangan PDIP di Pilkada 2012 dan 2017 berpengaruh signifikan
terhadap perolehan suara pada Pemilu 2014 dan 2019. Hasto Kristiyanto, Sekjen
PDIP, menekankan bahwa kemenangan PDIP bukan hanya efek dari Joko Widodo,
melainkan hasil kerja akar rumput.
Pentingnya
Rekrutmen dan Seleksi yang Tepat
Survei LSI Denny JA menunjukkan bahwa caleg yang
dikenal masyarakat memiliki peluang lebih besar untuk menang, mencapai 60
persen. Oleh karena itu, rekrutmen dan seleksi caleg yang tepat sangat penting
untuk keberhasilan partai dan kebijakan publik yang diambil oleh para pemegang
jabatan.
Resume Proses
Rekrutmen dan Seleksi Caleg di PDI Perjuangan DKI Jakarta
Proses Rekrutmen
Rekrutmen partai politik untuk calon anggota
legislatif mencakup dua aspek: inklusif dan eksklusif. Aspek inklusif
memungkinkan setiap warga negara untuk mendaftar, sementara aspek eksklusif
hanya untuk kader partai sebelum seleksi. Hal ini menunjukkan seberapa
demokratis partai dalam menentukan calon legislatif dan potensi warga negara
yang bukan anggota partai untuk terpilih.
Gambar
2. Pola Rekrutmen dan Seleksi Kandidat
Menurut Rahat dan Hazan, anggota penjaringan dan
lokasi seleksi sangat penting. Anggota penjaringan berasal dari berbagai latar
belakang, termasuk kader partai dan pengurus harian partai. Prosedur berbeda
dijalankan bergantung pada siapa yang bertanggung jawab dalam proses seleksi.
Desentralisasi kekuasaan
dalam partai ditunjukkan ketika seleksi dilakukan di tingkatan daerah,
sementara pola sentralistik ditunjukkan dengan penunjukan langsung oleh
pengurus pusat. Pasal 29 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mengatur
rekrutmen harus dilakukan secara demokratis, sementara Pasal 243 UU No 7 Tahun
2023 tentang Pemilu mengatur penyusunan daftar bakal calon legislatif.
Di PDI Perjuangan, rekrutmen dan seleksi caleg
diatur dalam AD/ART Partai dan Peraturan Partai No 25A Tahun 2018. DPD PDI
Perjuangan DKI Jakarta mengikuti mekanisme ini dengan ketat. Menurut Hendra
Gunawan, Ketua Bidang Organisasi dan anggota seleksi caleg DPD PDIP DKI
Jakarta, kader yang ingin menjadi anggota legislatif harus melalui sekolah
kader partai yang terdiri dari tiga tahap: Pratama, Madya, dan Utama.
Sekolah kader ini merupakan pendidikan politik
yang dijalankan oleh partai untuk menjaring kader. Pasal 84 dan Pasal 85 AD/ART
Partai mengatur pendidikan kader di berbagai tingkatan, termasuk Sekolah Partai
yang menyelenggarakan pendidikan politik dan kebangsaan. Warga negara yang
bukan kader juga dapat mencalonkan diri, asalkan mengikuti minimal satu jenjang
sekolah kader.
Proses
Seleksi
Setelah pendaftaran, tahapan seleksi dilakukan
oleh pengurus partai di setiap tingkatan. Proses seleksi melibatkan
pemberkasan, pelaporan kegiatan, wawancara, pengecekan latar belakang, dan
mendapatkan laporan dari pengurus ranting. Integritas calon menjadi faktor
utama dalam seleksi, diikuti dengan pengecekan kapabilitas yang dapat dibentuk
oleh DPP dan DPD.
Jumlah pendaftar akan diseleksi hingga memenuhi
kuota yang ditetapkan, misalnya untuk DPRD DKI Jakarta sebanyak 106 calon dari
10 daerah pemilihan. Proses seleksi ini mencakup pengecekan latar belakang
tanpa sepengetahuan calon, untuk memastikan kinerja dan integritas mereka.
Setelah seleksi, calon wajib mengikuti program
pembekalan selama dua hari yang diselenggarakan di Lenteng Agung, Jakarta
Selatan. Program ini memberikan pemahaman mengenai ideologi, visi misi, dan
program partai. Nama-nama yang lolos seleksi kemudian disahkan oleh DPP Partai
dan mendapatkan penugasan dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Pengurus DPD mengikuti Peraturan Partai No 25A
Tahun 2018 Pasal 16, yang mengatur penyelenggaraan tahapan penjaringan di
daerah pemilihan dengan memastikan keterwakilan 30 persen perempuan. Nama-nama
yang sudah disahkan oleh DPP kemudian didaftarkan ke KPU hingga ditetapkan
menjadi daftar calon tetap (DCT).
Sistem Kuota dan
Penominasian di PDI Perjuangan
Penentuan
Penominasian
Kandidat tidak dapat memilih nomor urut dan
daerah pemilihan secara bebas. Keputusan ini diambil oleh tim penjaringan
bersama pimpinan partai di daerah dan disahkan oleh pengurus pusat partai.
Pasal 28 PP No 25A tahun 2018 mengatur penentuan nomor urut sebagai berikut:
1)
Ketua, Sekretaris, dan
Bendahara DPD Partai mendapatkan prioritas nomor urut 1.
2)
Jika Ketua, Sekretaris, dan
Bendahara berada dalam satu daerah pemilihan, urutan nomor 1, 2, dan 3 harus
diisi salah satunya oleh perempuan.
3)
Calon anggota DPRD Provinsi
dengan skor lebih tinggi berhak berada di bawah Ketua, Sekretaris, dan
Bendahara.
4)
Hak prioritas tidak dapat
dilimpahkan jika tidak digunakan oleh yang bersangkutan.
Kuota Penominasian
Jumlah kuota yang diterapkan
dalam menyerahkan nama calon anggota legislatif dijelaskan dalam Pasal 16 PP No
25A tahun 2018. Dari total 100
persen kandidat di daerah pemilihan tingkat provinsi:
1)
10 persen adalah rekomendasi
DPP.
2)
60 persen hasil rapat DPD.
3)
30 persen rekomendasi DPC.
DPD juga mengusulkan nama
untuk pencalonan di DPR RI dan merekomendasi calon untuk DPRD kabupaten/kota.
Kuota di DKI Jakarta
Di DKI Jakarta,
persentase kuota berbeda dari aturan PP No 25A tahun 2018. Hendra mengungkapkan besaran persentase kuota
sebagai berikut:
1)
DPR RI: DPD 15 persen, DPP 80
persen.
2)
DPRD Provinsi: DPP 15 persen,
DPC 5 persen.
Jika ada satu dapil dengan 10
orang, DPP berhak mengisi 1,5 orang, dan DPC setengah orang. Hak DPD untuk
mengisi 8 orang tidak dapat diganggu. Jika kuota DPP atau DPC tidak dipakai,
DPD dapat mengisinya.
Pengajuan
Nama Kandidat
Pengurus DPD Provinsi menyerahkan nama-nama
kandidat sebanyak 110 persen ke pengurus pusat. Misalnya, jika ada 10 kandidat
di dapil, maka diserahkan 11 nama. Hal ini mengantisipasi halangan atau
pembatalan oleh kandidat, serta memberi DPP opsi tambahan untuk seleksi.
Pengurus pusat dapat melakukan pengecekan ulang,
termasuk track record dan background check. Meskipun ada kemungkinan perubahan
nomor urut, orang, atau penempatan dapil, perubahan jarang terjadi setelah
masuk ke DPP. DPD Jakarta hampir tidak mengalami perubahan setelah pengajuan ke
DPP, meski tetap dilakukan pengecekan latar belakang kandidat.
Hendra menegaskan bahwa sistem kuota dan penominasian
ini bersifat absolut. Kuota yang dimiliki DPP dan DPC tidak bisa diganggu jika
tidak dipakai, sehingga DPD bisa mengisi dengan orangnya. Pengajuan nama
sebanyak 110 persen ke DPP juga dimaksudkan untuk memberi ruang seleksi
tambahan oleh DPP, dengan tanggung jawab tetap di DPD.
Paradoks
Rekrutmen dan Seleksi Partai di PDIP
Kesuksesan
Kaderisasi PDIP
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi
Syarwi Chaniago, PDIP memiliki kaderisasi paling sukses dibandingkan partai
lain. Kader PDIP umumnya berkualitas tinggi, dibuktikan dengan perolehan suara
merata dan pendukung loyal di seluruh Indonesia. PDIP telah melampaui kebutuhan
akan sosok vote getter yang populis (Sindonews, 2023).
Ketidakmampuan
Menerapkan Aturan secara Konsisten
Lucius Karus dari Formappi berpendapat bahwa
meskipun PDIP memiliki aturan partai yang baik, tidak semuanya bisa diterapkan
secara konsisten. Banyak kader PDIP yang maju sebagai caleg adalah orang yang
sama atau anggota keluarga yang sudah ada di parlemen sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada ukuran jelas dalam kaderisasi partai politik saat
ini.
Pengaruh
Kedekatan dengan Elit Partai
Fadli Ramadhanil dari Perludem menyoroti bahwa
keuntungan dalam proses kandidasi sering kali didapat oleh kader yang memiliki
kedekatan dengan elit partai. Kader yang telah lama membangun karir politik
bisa tersingkir oleh figur yang memiliki hubungan dengan elit partai. Masalah ini umum terjadi
di hampir semua partai politik di Indonesia.
Harapan Masyarakat Terhadap Keterbukaan Rekrutmen
Dua jajak pendapat oleh
Litbang Kompas mengungkapkan pandangan masyarakat mengenai rekrutmen partai.
Hasil jajak pendapat pertama menunjukkan 86,9 persen masyarakat berharap partai
membuka pendaftaran caleg secara terbuka. Sebanyak 66,7 persen responden percaya bahwa keterbukaan
ini akan meningkatkan kualitas caleg (Litbang Kompas, 2023).
Peran Penting
Partai dalam Seleksi Caleg
Jajak pendapat kedua menegaskan pentingnya peran
partai dalam seleksi calon legislatif. Sebanyak 55 persen responden memilih
caleg dan partai politik secara bersamaan, menunjukkan bahwa antara caleg dan
partai tidak dapat dipisahkan dalam pemilihan legislatif. Meskipun begitu,
pemilih yang mencoblos partai politik lebih sedikit dibandingkan yang memilih
caleg, dengan angka 13,8 persen berbanding 30,9 persen (Litbang Kompas, 2023).
PDIP menunjukkan kesuksesan dalam kaderisasi,
namun masih terdapat paradoks dalam penerapan aturan dan pengaruh kedekatan
dengan elit partai. Masyarakat mengharapkan keterbukaan dalam rekrutmen untuk
meningkatkan kualitas caleg, dan partai politik memegang peran penting dalam
proses seleksi ini.
Pengaruh Dinasti
dalam Rekrutmen dan Seleksi Pileg
Pandangan
Prabowo Subianto tentang Dinasti Politik
Calon Presiden Prabowo Subianto pernah menyatakan
bahwa partai politik di Indonesia, termasuk PDI Perjuangan (PDIP), dikuasai
oleh dinasti politik (Republika,
2023). Pernyataan ini dianggap wajar, namun sulit diterima oleh pengurus PDIP.
PDIP menegaskan bahwa setiap kader, termasuk yang berasal dari keluarga
pengurus atau pejabat publik, harus mengikuti mekanisme dan proses yang
berjenjang dalam karir politik mereka.
Pengaruh
Dinasti dalam Rekrutmen dan Seleksi di PDIP
Pada bab-bab sebelumnya, ditemukan bahwa
sebagian besar elit PDIP membangun dinastinya, baik di dalam partai maupun di
daerah. Analisis menunjukkan adanya celah dalam pasal yang dapat dimanfaatkan
oleh dinasti untuk mempengaruhi proses rekrutmen dan seleksi dalam konteks
pemilihan legislatif di Jakarta.
Menolak
Anggapan Dinasti
Para petinggi dan kader PDIP menolak anggapan
adanya dinasti politik dalam partai mereka. Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan
Kaderisasi, Djarot Syaiful Hidayat, menegaskan bahwa semua kader, termasuk
keluarga Soekarno, harus melalui mekanisme partai. Djarot menyatakan bahwa
Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, meskipun anak dan cucu Bung Karno,
telah melalui proses politik dari bawah.
Pernyataan
Kader tentang Mekanisme Partai
Dua calon anggota legislatif PDIP di DKI
Jakarta, Ahmad Wibi Wibawanto dan Adiyoga Nusyirwan, membantah tuduhan praktik
dinasti politik. Mereka menyatakan telah mengikuti mekanisme dan proses panjang
di partai. Kedua caleg ini, bersama dua caleg lainnya, Yuke Yurike dan
Stephanie Octavia, yang juga memiliki hubungan kerabat dengan pengurus PDIP,
terpilih menjadi calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta.
PDIP menolak tuduhan adanya dinasti politik,
meskipun terdapat analisis yang menunjukkan pengaruh dinasti dalam rekrutmen
dan seleksi caleg. Kader PDIP menegaskan bahwa semua proses dilakukan sesuai
mekanisme partai, meskipun ada pandangan berbeda tentang penerapan ini.
Pengaruh
Dinasti dalam Rekrutmen dan Seleksi Pileg
Tabel
2. Calon Anggota Legislatif PDIP DPRD DKI Jakarta Terafiliasi Keluarga Pengurus
Partai
Nama Caleg |
Status |
Kerabat |
Jabatan |
Yuke
Yurike |
Anak |
Adang
Ruchiatna |
Mantan
Ketua DPP PDIP |
Stephanie
Octavia |
Anak |
Rudianto
Chen |
Wabendum
DPP PDIP |
Ahmad
Wibi |
Anak |
Prasetyo
E Marsudi |
Ketua
DPRD DKI Jakarta |
Adiyoga
Nusyirwan |
Anak |
Nusyirwan
Soejono |
Wabendum
DPP PDIP |
Diolah peneliti
Ahmad Wibi Wibawanto aktif sebagai simpatisan
PDIP sejak 2009, tahun di mana ayahnya, Prasetyo Edi Marsudi, pertama kali mencalonkan
diri untuk DPRD DKI Jakarta. Wibi mulai aktif di Komunitas Banteng Muda yang
berafiliasi dengan PDIP pada 2013, dan baru tertarik menjadi kader PDIP pada
2018. Wibi kemudian terpilih menjadi pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP
Jakarta Pusat sebagai wakil ketua bidang politik.
Pada 2021, Wibi memutuskan untuk maju sebagai
calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta untuk pemilu 2024, tanpa paksaan
dari ayahnya. Ia menyatakan bahwa motivasinya berasal dari dirinya sendiri, dan proses
pencalonannya melalui mekanisme partai, meskipun ia mengakui pengaruh nama
besar ayahnya. Wibi menyadari bahwa meskipun ia mendapat keuntungan dari nama
besar ayahnya, ia tetap harus membuktikan dirinya di hadapan partai.
Adiyoga Nusyirwan, calon
anggota legislatif dari dapil 8 Jakarta, adalah anak dari anggota DPR RI dan
Wakil Bendahara Umum DPP PDIP, Nusyirwan Soejono. Adiyoga memulai karir
politiknya di Jawa Tengah pada 2007 dan aktif dalam tim Badan Pendidikan dan
Pelatihan DPD PDIP Jawa Tengah pada 2012. Pada pemilu 2014, Adiyoga mencalonkan
diri sebagai anggota DPRD Jawa Tengah namun tidak berhasil. Ia kemudian
dilantik menjadi pengurus DPD PDIP DKI Jakarta pada 2019.
Adiyoga membantah adanya
keterlibatan orang tuanya dalam pencalonannya, dan menyatakan bahwa
keputusannya untuk maju berasal dari dirinya sendiri. Ia mengikuti semua proses
pendaftaran dan seleksi yang ditetapkan oleh partai, termasuk wawancara,
psikotest, dan pendidikan kader.
Pandangan Partai tentang Kaderisasi dan Dinasti
Menurut anggota tim
penjaringan di DPD DKI Jakarta, Hendra Gunawan, tidak ada masalah jika anggota
keluarga dari pengurus PDIP mencalonkan diri selama mereka mengikuti mekanisme
seleksi partai. Hendra menegaskan bahwa meskipun jaringan keluarga memberikan
kemudahan, mekanisme seleksi harus tetap diikuti dan keputusan akhir ada di
tangan partai.
Ahmad Wibi Wibawanto dan
Adiyoga Nusyirwan menunjukkan bahwa meskipun ada keuntungan dari nama besar
keluarga mereka, proses kaderisasi di PDIP tetap diikuti. Mereka lebih memilih
menyebut diri mereka sebagai "keluarga politisi" dibandingkan "dinasti
politik," menekankan bahwa mereka telah melalui mekanisme partai yang
ketat. Kaderisasi yang berjenjang
di PDIP dianggap penting untuk memastikan kualitas dan kapabilitas kader yang
terpilih.
Aturan
Penominasian Satu Keluarga
PDIP adalah satu-satunya partai politik yang
mengatur penominasian calon anggota legislatif berdasarkan keikutsertaan
anggota keluarga. Djarot Syaiful Hidayat dari PDIP menyatakan bahwa aturan ini
bertujuan untuk mencegah praktik dinasti politik. Aturan ini tercantum dalam Pasal 41
Peraturan Partai No 25A tahun 2018 tentang larangan pencalegan.
Aturan tersebut melarang
anggota atau kader partai yang memiliki suami/istri, orang tua, dan/atau anak
yang menjadi anggota atau pengurus partai politik lain, untuk mendaftar sebagai
bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Seorang
anggota atau kader partai dalam satu keluarga hanya diperbolehkan mendaftar
sebagai bakal calon anggota legislatif paling banyak 2 orang, termasuk dirinya
sendiri.
Fadli Ramadhanil dari
Perludem menganggap aturan ini hanya bersifat teknis dan tidak mencerminkan
pencegahan praktik dinasti politik. Baginya,
prinsip pencegahan dinasti seharusnya terlihat dalam proses rekrutmen dan
seleksi kader. Nurlia Dian Paramita dari JPPR menilai positif kebijakan ini sebagai
upaya pembatasan dalam pencalonan anggota legislatif. Menurutnya, kebijakan ini
setidaknya membatasi jumlah anggota keluarga inti yang dapat mencalonkan diri
di daerah pemilihan dan tingkatan yang sama.
Aturan penominasian satu keluarga yang
diterapkan oleh PDIP bertujuan untuk mencegah praktik dinasti politik. Meskipun
beberapa pihak menganggap aturan ini hanya bersifat teknis dan tidak
mencerminkan pencegahan dinasti politik secara menyeluruh, kebijakan ini
dianggap positif sebagai upaya pembatasan dalam pencalonan anggota legislatif.
Rekrutmen dan
Seleksi Sentralistik
Peraturan Partai PDI Perjuangan No 25 A Tahun
2018 tentang Rekrutmen dan Seleksi Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota menunjukkan adanya wewenang sentralistik dari DPP dalam
pengambilan keputusan terkait proses rekrutmen dan seleksi calon anggota
legislatif. Meskipun dalam beberapa derajat, kewenangan tersebut juga diberikan
kepada DPD dan DPC partai.
Pasal 5 dari peraturan tersebut mengatur tentang
penugasan kembali anggota DPR dan DPRD Provinsi yang telah menjabat selama tiga
periode atau lebih, yang memerlukan persetujuan DPP Partai. Pasal 9 juga
mengisyaratkan adanya wewenang lebih dari DPP, terutama dalam mengoreksi usulan
bakal calon anggota legislatif di tingkat bawah.
Detail lebih lanjut tentang koreksi yang
dilakukan oleh DPP tercantum dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Partai.
Pasal 25 mengatur mengenai penyaringan dan pengkoreksian bakal calon anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sementara Pasal 26 menegaskan
bahwa DPP berwenang mengoreksi daftar calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang diusulkan oleh DPD dan DPC partai.
Meskipun aturan ini bertujuan untuk
mengendalikan praktik dinasti politik, beberapa pihak seperti Peneliti Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Fromappi) Lucius Karus menilai bahwa
selalu ada cara untuk memanipulasi aturan ini demi kepentingan dinasti politik.
Menurutnya, meskipun aturan telah diatur, tetap ada celah untuk mengakali
sistem ini.
Aturan rekrutmen dan seleksi calon anggota
legislatif PDI Perjuangan menunjukkan adanya wewenang sentralistik dari DPP,
terutama dalam pengambilan keputusan terkait penugasan kembali anggota
legislatif yang telah menjabat selama tiga periode atau lebih, serta dalam
mengoreksi usulan bakal calon anggota legislatif di tingkat bawah. Meskipun
bertujuan untuk mencegah praktik dinasti politik, beberapa pihak menilai bahwa
aturan ini masih memiliki celah untuk dimanipulasi demi kepentingan dinasti
politik.
Demokrasi Internal Partai dan Praktik Dinasti Politik
Ketiadaan demokratisasi
di internal partai politik menjadi salah satu faktor yang menyuburkan praktik
dinasti politik. Partai PDI Perjuangan, misalnya, masih sangat terpersonifikasi
dengan sosok atau figur kuat di dalam partai, seperti Megawati Soekarnoputri.
Hal ini menghambat proses demokratisasi di dalam partai, termasuk dalam
mekanisme seleksi dan rekrutmen calon anggota legislatif.
Manager Divisi Program
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyoroti
bahwa PDIP memiliki masalah dalam kandidasi dan kepemimpinan yang tidak
berganti. Megawati Soekarnoputri hampir tidak tergantikan dalam partai
tersebut. Hal ini juga terlihat dalam keikutsertaan anggota keluarga di daftar
calon anggota legislatif, yang menunjukkan pragmatisme partai dalam mencari
keuntungan elektoral dan material.
Koordinator Nasional
Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Nurlita Dian Paramita, menilai
bahwa ketidakmampuan partai untuk melakukan demokratisasi internal menunjukkan
bahwa fungsi partai pasca-reformasi tidak berjalan dengan baik. Ketergantungan
pada segelintir elit partai menghasilkan keputusan yang tidak demokratis, yang
pada akhirnya akan mengarah pada penguatan dinasti politik.
Namun, Lucius Karus dari
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Fromappi) berpendapat bahwa
kehadiran anggota keluarga dalam pencalonan legislatif tidak akan berdampak
banyak terhadap kebijakan yang mereka buat. Menurutnya, anggota keluarga
dinasti cenderung membawa kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan
konstituen.
Meskipun demikian,
Hendra Gunawan dari DPD PDIP Jakarta menegaskan bahwa pola rekrutmen dan
seleksi partai memiliki pola bottom-up yang dimulai dari masukan dari tingkatan
bawah partai. Meskipun pengurus pusat memiliki wewenang dalam menentukan
nama-nama calon anggota legislatif, hal ini dianggap sebagai hal yang biasa
dilakukan di seluruh partai karena adanya hak prerogatif yang diberikan kepada
Ketua Umum Megawati.
Ketidakdemokratisan di
internal partai politik, terutama terlihat dalam ketidakgantian kepemimpinan
dan dominasi figur kuat, menjadi pemicu utama praktik dinasti politik. Meskipun
ada upaya untuk menghasilkan demokrasi internal, seperti pola rekrutmen dan
seleksi partai yang bottom-up, masih ada penilaian bahwa keputusan akhir banyak
bergantung pada prerogatif elite partai. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada
aturan yang mengatur seleksi dan rekrutmen calon anggota legislatif, praktik
dinasti politik masih memiliki ruang untuk berkembang.
Dinasti Politik dalam Sistem Demokrasi
Dinasti politik terus
menjadi fenomena dalam sistem demokrasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena
adanya mekanisme seleksi yang lebih menguntungkan aktor dinasti, keterbukaan
demokrasi yang dimanfaatkan oleh aktor dinasti, dan politik dinasti dianggap sebagai
"zona nyaman" bagi elit politik. Dalam setiap agenda pemilihan, aktor
dinasti cenderung memanfaatkan celah dalam sistem dan aturan yang ada untuk
menyertakan keluarganya dalam kompetisi politik.
Peneliti Formappi,
Lucius Karus, menyoroti bahwa dalam partai politik seperti PDIP, kader yang
bukan bagian dari dinasti cenderung tertunda kesempatannya untuk maju sebagai
calon legislatif. Partai cenderung memilih kader dari dinasti meski kualitas
dan karir politik keduanya sama. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan dalam
rekrutmen dan seleksi partai masih dipertanyakan, yang berpotensi memperkuat
praktik dinasti politik.
Meskipun demikian,
terdapat upaya untuk menjaga keberlangsungan dinasti politik, seperti melalui
rekrutmen dan kaderisasi yang diatur sedemikian rupa. Namun, pengaruh elit
dalam partai yang dominan seringkali merusak sistem kaderisasi yang seharusnya
menjadi jaminan bagi kemajuan demokrasi internal partai.
Koordinator Nasional
Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Nurlita Dian Paramita, melihat
bahwa partai politik saat ini sudah tidak lagi dikelola oleh orang-orang yang
memiliki cita-cita seperti pada saat berdirinya partai. Kader diharapkan tunduk
pada keputusan elit, yang mengakibatkan sistem kaderisasi yang seharusnya lebih
baik menjadi terganggu.
Dinasti politik tetap
menjadi fenomena dalam sistem demokrasi di Indonesia karena adanya mekanisme
seleksi yang menguntungkan aktor dinasti, keterbukaan demokrasi yang
dimanfaatkan oleh aktor dinasti, dan politik dinasti dianggap sebagai
"zona nyaman" bagi elit politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan
tentang kualitas demokrasi internal partai politik, yang seharusnya memberikan
kesempatan yang sama bagi setiap kader untuk maju tanpa diskriminasi
berdasarkan hubungan keluarga.
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa
PDI Perjuangan sebagai partai yang sudah terpesonalisasi dengan Ketua Umum
Megawati Soekarnoputri memiliki hambatan dalam konteks demokratisasi internal
partai. Kewenangan dan kekuasaan Megawati dalam mengambil keputusan membuat
dirinya tidak tergantikan sejak 1999.
Dengan begitu, ia membangun dinastinya dengan cara memberikan posisi
strategis kepada anak-anaknya di internal dan eksternal partai. Kondisi
tersebut yang membuat peraturan dan kebijakan yang diundangkan oleh partai
menjadi leluasa untuk dimanfaatkan oleh kader-kader yang memiliki kedekatan
dengan elit partai. Keluarga dinasti Olly Dondokambey dan dinasti Joko Widodo
misalnya di Sulawesi Utara dan Solo, mendapatkan ruang lebih dari besar untuk
membesarkan kepentingannya karena kedekatan dengan elit.
Dalam konteks pemilihan calon
legislatif, pemanfaatan dilakukan karena tidak adanya keterbukaan informasi
dari partai politik pada saat seleksi dan rekrutmen berlangsung. Masyarakat
secara luas tidak dapat berpartisipasi untuk menentukan calon yang akan diusung
oleh partai, karena pada akhirnya keputusan partai berdasar pada “pandangan
elit” semata. Kendati begitu, perlu memberikan poin positif terhadap PDI
Perjuangan yang dalam pelaksanaan aturan, memenuhi syarat ideal dalam melakukan
pencalonan Seperti halnya, setiap tingkatan kepengurusan dapat membuka
pendaftaran bagi kader dan non kader, tiap tingkatan memiliki tim
penjaringannya sendiri, dan setiap tingkat diperbolehkan untuk melakukan
seleksi sesuai dengan daerahnya masing-masing. Aturan yang ada, dalam derajat
tertentu diimplementasikan secara baik, sampai pada titik penetapan akhir di
DPP. Secara sederhana, setidaknya terdapat peran penting di daerah untuk
memberikan masukan dan pertimbangan kepada DPP dalam melakukan penyaringan dan
koreksi lanjutan.
BIBLIOGRAFI
Agustino, L., & Yusoff, M. A. (2010). Politik lokal
di Indonesia: dari otokratik ke reformasi politik. Jurnal Ilmu Politik,
Edisi, 21(2010), 5–30.
Bandiyah, B. (2010). Evolusi Jawara di Banten (Studi Evolusi dari Bandit Menjadi Pejabat). Interaktif, 1(2), 243022.
Besley, T., & Reynal-Querol, M. (2013). Selection via dynasties: Theory and evidence. Manuscript in Preparation, October, 24.
Covarrubias Apablaza, C. G., & Mendoza Lira, M. C. (2016). Adaptación y validación del cuestionario sentimiento de autoeficacia en una muestra de profesores chilenos. Universitas Psychologica, 15(2), 97–107.
Gunanto, A., & Sudarmilah, E. (2020). Pengembangan Website E-Arsip di Kantor Kelurahan Pabelan. Jurnal Teknik Elektro, 20(02).
Hidayat, A. (2018). Perkembangan Partai Politik Pada Masa Orde Baru (1966-1998). Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 17(2), 155–164.
Husein, A., & Eko Budi, W. (2022). Pengaruh Beban Puncak Terhadap Efisiensi Trafo Daya. Jurnal Sains & Teknologi Fakultas Teknik, 12(2), 34–40.
Labolo, M., & Ilham, T. (2015). Partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia. Rajawali Pers.
Loperfido, S., Baldo, V., Piovesana, E., Bellina, L., Rossi, K., Groppo, M., Caroli, A., Dal Bò, N., Monica, F., & Fabris, L. (2009). Changing trends in acute upper-GI bleeding: a population-based study. Gastrointestinal Endoscopy, 70(2), 212–224.
Nordholt, H. S., & van Klinken, G. (2007). Abbreviations and acronyms. In Renegotiating Boundaries (pp. 487–491). Brill.
Pureklolon, T. P. (2016). Komunikasi politik. Gramedia Pustaka Utama.
Purwaningsih, T., & Widodo, B. E. C. (2020). The interplay of incumbency, political dynasty and corruption in Indonesia: Are political dynasties the cause of corruption in Indonesia? Revista UNISCI, 53.
Querubin, P., & Snyder, J. M. (2011). The control of politicians in normal times and times of crisis: Wealth accumulation by US congressmen, 1850-1880. National Bureau of Economic Research.
Rashid, M. F. F., Hutabarat, W., & Tiwari, A. (2012). A review on assembly sequence planning and assembly line balancing optimisation using soft computing approaches. The International Journal of Advanced Manufacturing Technology, 59, 335–349.
Romli, M. H., Tan, M. P., Mackenzie, L., Lovarini, M., Suttanon, P., & Clemson, L. (2017). Falls amongst older people in Southeast Asia: a scoping review. Public Health, 145, 96–112.
Ruud, A. E., & Islam, M. M. (2016). Political dynasty formation in Bangladesh. South Asia: Journal of South Asian Studies, 39(2), 401–414.
Safitri, D. (2014). Woman and Political Communication: Megawati dan Pemimpin Simbolik. Jurnal Komunikasi, 9(1), 49–58.
Satoto, S., Ardilafiza, A., & Musriza, R. (2024). Implications Of Filling The Position Of Attorney General By The President On The Independence Of The Prosecutor’s Office In Carrying Out The Functions Of Judicial Power. Ipso Jure, 1(5), 12–36.
Spitzer, R. L., & Endicott, J. (2018). Medical and mental disorder: Proposed definition and criteria. Annales Médico-Psychologiques, Revue Psychiatrique, 176(7), 656–665.
Suharto, T. (2017). Indonesianisasi islam: Penguatan islam moderat dalam lembaga pendidikan islam di indonesia. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 17(1), 155–178.
Sukri, M. A. (2020). Dinasti Politik di Banten: Familisme, Strategi Politik dan Rendahnya Partisipasi Politik Masyarakat. JISPO Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 10(2), 169–190.
Syauket, A., Karsono, B., & Atmoko, D. (2022). Kebijakan Telemudik Bentuk Perlindungan Negara Pada Masyarakat Menuju New Normal Ditengah Pendemi Corona. Jurnal Kajian Ilmiah, 22(1), 1–10.
Copyright holder: Amriyono Prakoso, Meidi Kosandi (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |