Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 9, September 2024

 

POLITIK DINASTI DALAM SELEKSI KANDIDAT CALON ANGGOTA LEGISLATIF: STUDI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN DI DPRD DKI JAKARTA PADA PEMILU 2024

 

Amriyono Prakoso1, Meidi Kosandi2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Politik dinasti adalah fenomena dalam sistem demokrasi di mana kekuasaan politik diwariskan dalam keluarga. Fenomena ini terlihat di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Filipina, Bangladesh, dan Indonesia. Politik dinasti adalah kekuasaan yang menguntungkan keluarga tertentu dalam memperoleh suara pemilihan, bisa juga disebut sebagai strategi pewarisan kekuasaan. Faktor yang mempengaruhi munculnya politik dinasti meliputi kualitas kepemimpinan, kelemahan partai politik, celah regulasi, dan penguasaan oleh oligarki. Di Indonesia, politik dinasti berkembang pesat di tingkat lokal dan nasional, didukung oleh desentralisasi dan reformasi politik. Partai politik memiliki peran dominan dalam mendukung politik dinasti melalui proses rekrutmen dan pencalonan. Meskipun politik dinasti sering dianggap merusak makna demokrasi dan mendorong korupsi, penelitian menunjukkan bahwa ada kepuasan terhadap kinerja dinasti politik di daerah tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses seleksi calon legislatif dari keluarga dinasti di partai politik, dengan fokus pada Pemilu 2024 dan pola seleksi yang diterapkan oleh PDI Perjuangan. Penelitian ini menggunakan data dari hasil wawancara dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini yaitu masih ditemuinya calon anggota legislatif yang berasal dari partai politik yang terafiliasi dengan keluarga pengurus partai dan pejabat publik, menjadi fenomena yang tidak dapat terpisahkan dari pemilu ke pemilu.

Kata kunci: Politik dinasti, Seleksi kandidat, Partai politik, Pemilu

 

Abstract

Dynastic politics is a phenomenon in democratic systems where political power is inherited in the family. This phenomenon is seen in various countries such as the United States, the Philippines, Bangladesh, and Indonesia. Dynastic politics is power that benefits certain families in obtaining electoral votes, it can also be referred to as a strategy for inheriting power. Factors that affect the emergence of dynastic politics include the quality of leadership, the weakness of political parties, regulatory loopholes, and control by oligarchs. In Indonesia, dynastic politics is thriving at the local and national levels, supported by decentralization and political reforms. Political parties have a dominant role in supporting dynastic politics through the recruitment and candidacy process. Although dynastic politics is often seen as undermining the meaning of democracy and encouraging corruption, research shows that there is satisfaction with the performance of political dynasties in certain areas. This study aims to analyze the selection process of legislative candidates from dynastic families in political parties, with a focus on the 2024 election and the selection pattern applied by PDI Perjuangan. This study uses data from interviews and documentation. The result of this research is that there are still candidates for legislative members from political parties affiliated with the families of party administrators and public officials, which is an inseparable phenomenon from election to election.

Keywords: Dynasty politics, Candidate selection, Political parties, Elections

 

Pendahuluan

Politik dinasti merupakan fenomena yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi, di mana kekuasaan politik cenderung diwariskan dalam keluarga. Di Amerika Serikat, studi oleh Hess (Spitzer & Endicott, 2018) mencatat bahwa sejak 1774, terdapat 44 keluarga yang menduduki kursi di Kongres. Di Filipina, politik dinasti telah berkembang sejak 1946, dengan keluarga-keluarga bersaing untuk posisi baik di tingkat nasional maupun daerah (Covarrubias Apablaza & Mendoza Lira, 2016). Di Bangladesh, politik dinasti sudah terlihat sejak negara tersebut merdeka dari Pakistan (Ruud & Islam, 2016).

(Loperfido et al., 2009) mendefinisikan politik dinasti sebagai bentuk kekuasaan yang menguntungkan bagi keluarga tertentu untuk memperoleh suara dalam pemilihan. (Querubin & Snyder, 2011)  menyatakan bahwa pertalian keluarga yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki nama keluarga yang sama dengan pemimpin sebelumnya. (Sukri, 2020) menambahkan bahwa politik dinasti merupakan strategi untuk mempertahankan kekuasaan melalui pewarisan kepada sanak saudara. Secara keseluruhan, politik dinasti dapat diartikan sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga tertentu yang memberi keuntungan bagi garis keturunannya.

Beberapa faktor yang mendorong munculnya politik dinasti termasuk kualitas kepemimpinan (Besley & Reynal-Querol, 2013), kelemahan partai politik (Pureklolon, 2016), celah regulasi (Suharto, 2017), dan penguasaan oleh oligarki (Syauket et al., 2022). (Purwaningsih & Widodo, 2020) menunjukkan bahwa politik dinasti merupakan akar dari korupsi di tingkat lokal, sementara (Gunanto & Sudarmilah, 2020) menegaskan bahwa politik dinasti merusak makna demokrasi sejati, yaitu kekuasaan politik dari, oleh, dan untuk rakyat.

Di Indonesia, politik dinasti tumbuh subur di tingkat lokal. Penelitian oleh (Suharto, 2017) menggambarkan bahwa pertumbuhan politik dinasti tidak terlepas dari tuntutan reformasi dan desentralisasi, yang diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Koswara, 2000). Namun, pelaksanaan desentralisasi yang tidak sesuai dengan harapan menghasilkan free riders yang melahirkan elit politik lokal baru (Agustino & Yusoff, 2010).

Desentralisasi juga memicu pertarungan kekuatan politik baru di ranah lokal (Nordholt & van Klinken, 2007), sehingga elit lokal memanfaatkan kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan pengaruh politik. Nama-nama seperti Zulkifli Nurdin di Jambi, Nur Alam di Sulawesi, dan Ratu Atut di Banten menjadi contoh bagaimana politik dinasti berjalan di tingkat lokal, menguasai pemerintahan dan hampir seluruh aspek di wilayahnya (Bandiyah, 2010; Husein & Eko Budi, 2022; Rashid et al., 2012).

Di tingkat nasional, keluarga Soekarno, Soesilo Bambang Yudhoyono, Abdurrahman Wahid, dan Joko Widodo menghiasi perpolitikan Indonesia, mengisi kursi jabatan publik dan posisi ketua umum partai politik. Menurut (Syauket et al., 2022), tokoh-tokoh ini merupakan bagian dari oligarki yang memiliki kekuasaan, pengaruh, dan akses untuk mengontrol pemerintahan, membangun dinasti politik dengan mendorong keluarga mereka dalam kontestasi politik.

Peran partai politik dalam politik dinasti sangat dominan. Pemilihan kepala daerah melibatkan partai politik dalam rekrutmen dan pencalonan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Harris (2006) menyatakan bahwa partai politik di negara demokrasi baru lebih merupakan masalah daripada solusi bagi rakyat. Permasalahan internal partai seperti faksi, personalisasi, dan korupsi menunjukkan bahwa partai tidak menjalankan fungsinya sebagai lembaga modern dalam negara demokrasi (Romli et al., 2017)

Survei oleh LSI (2021) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hanya mencapai 47 persen. Matera (2011) menekankan bahwa partai politik memiliki peran besar dalam membangun dan menjaga stabilitas demokrasi sebagai salah satu pilar demokrasi. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa praktik politik dinasti sangat berkaitan dengan partai politik, terutama ketika partai dikuasai oleh oligarki yang membentuk dinasti. Permasalahan utama terletak pada partai politik dan ketidakmampuannya untuk membenahi kelembagaan, sehingga keputusan-keputusan yang diambil justru memperkuat sentimen negatif terhadap partai politik.

Penelitian (Gunanto & Sudarmilah, 2020) menegaskan bahwa politik dinasti ditentang karena tidak dibangun berdasar sistem meritokrasi yang cocok dengan iklim politik di Indonesia. Kajian dari Susanti (2017) juga menyampaikan hal serupa. Bahwa dinasti akan memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan temuan Haliim dan Hakim (2020) yang menjelaskan ada kepuasan terhadap kinerja dinasti politik di daerah sehingga kepercayaan menunjukkan tren positif. 

Penelitian mengenai politik dinasti yang menguasai partai politik di sebuah negara demokrasi, sudah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Harjanto (2011), Amundsen (2016), dan Nurchasim dan Budiatri (dalam Budiatri et al, 2018). Ketiganya beranggapan bahwa politik dinasti di partai politik tidak dapat ditampik keberadaannya. Sosok dari keluarga yang memimpin, memiliki pengaruh signifikan terhadap keterpilihan di pemilu. Kajian Harjanto, memfokuskan kepada kaderisasi kepemimpinan di partai politik Indonesia, dinilai dapat menjadi prioritas karena menjadi saluran utama rekrutmen kepemimpinan di daerah dan nasional. Penelitian Amundsen di Bangladesh, menjelaskan dua partai besar di Bangladesh, yakni Awami League dan Bangladesh National Party tidak dapat merepresentasikan kepentingan partai karena dikuasai oleh dinasti. Kajian dari Nurchasim dan Budiatri dapat memberikan keuntungan bagi partai.

Sejumlah penelitian yang mengangkat mengenai isu politik dinasti dengan rekrutmen partai politik dilakukan oleh Fitriyah (2020), Aprilia (2019), serta Prianto (2016). Keempatnya menerangkan mengenai sejarah perkembangan politik dinasti di daerah hingga masuk ke dalam internal partai politik di Indonesia sampai pada pengaruhnya untuk lolos menjadi calon legislatif maupun kepala daerah yang diusung oleh partai.

Berdasar penjelasan yang sudah dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa ada penerimaan yang berbeda dalam memandang politik dinasti. Akibat-akibat negatif yang ditimbulkan dalam kuasa politik dinasti dalam partai politik, menjadi penghambat proses demokrasi dalam partai politik yang seharusnya menjadi lembaga paling demokratis. Proses rekrutmen dan seleksi yang menguntungkan bagi anggota dinasti di dalam partai politik, khususnya di penentuan calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta oleh partai PDI Perjuangan dilakukan oleh peneliti untuk mengisi gap tersebut.

Berdasar pada hal tersebut, penelitian ini akan menganalisis anggota dinasti menjalani proses seleksi yang ada di dalam aturan partai. Guna menganalisis persoalan tersebut, maka teori dinasti dari Dal Bo et al (2009) dan Kenawas (2015) akan memperlihatkan kepentingan dan cara-cara yang dilakukan oleh kelompok dinasti melanggengkan kekuasaannya. Serta mendeskripsikan pola seleksi yang diterapkan oleh PDI Perjuangan di Pemilu 2024 dengan metode yang dijabarkan oleh Rahat dan Hazan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan memahami keterlibatan anggota dinasti dari keluarga petinggi partai maupun pejabat negara mempengaruhi pola rekrutmen dan seleksi untuk menjadi calon anggota legislatif.  Hal ini menjadi poin penting karena sebagian besar partai politik mendorong suatu keluarga untuk ikut dalam kompetisi politik sehingga demokrasi di dalam partai politik tidak berjalan dengan baik.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian oleh Azwar (1998) merupakan suatu kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Fungsinya adalah mencari penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta memberikan alternatif yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif oleh Creswell (2008) diartikan sebagai proses penelitian dan pemahaman berdasarkan pada metodologi yang menyelediki fenomena sosial dan masalah manusia. Sementara jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Jenis penelitian ini digunakan untuk menelaah kasus tertentu dalam konteks kehidupan yang menggunakan berbagai sumber informasi, diantaranya; wawancara, laporan dan dokumen (Creswell, 2008). Penelitian akan dilakukan di Jakarta yang menjadi pusat dari aktivitas kegiatan politik PDI Perjuangan dan Partai Demokrat.

Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara purposive yang menurut Suyanto (2005) dalam penentuan informan, peneliti harus melihat pada kualitas informan yang akan diteliti. Pemilihan informan akan dilakukan secara sengaja berdasar pada kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan kebutuhan penelitian. Adapun kualitas dan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti adalah informan memiliki jabatan fungsionaris di dalam partai politik, informan mempunyai akses dan pengetahuan mengenai proses pengambilan keputusan di internal partai, informan memiliki pengetahuan mengenai administrasi formal maupun informal mengenai proses seleksi pemimpin maupun calon anggota legislatif sebagai perwakilan partai.

Creswell (2008,166), menyebut langkah-langkah pengumpulan data meliputi usaha membatasi penelitian, mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara, baik yang sudah direncanakan sebelumnya maupun tidak, dokumentasi dan materi lainnya.

Dalam penelitian ini, guna mendapatkan data dan informasi yang komprehensif, peneliti akan melakukan wawancara secara tatap muka dengan mengajukan pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya maupun pertanyaan yang muncul di tengah penelitian. Beberapa informan yang akan menjadi narasumber, yaitu ;

1)  Ketua DPP PDIP Bidang Organisasi : Djarot Syaiful Hidayat

2)  Wakil Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Bidang Organisasi : Hendra Gunawan

3)  Calon Anggota Legislatif DPRD DKI Jakarta : Wibi Wibawanto

4)  Calon Anggota Legislatif DPRD DKI Jakarta : Adiyoga Nusyirwan

5)  Peneliti Formappi : Lucius Karus

6)  Manager Divisi Program Perludem : Fadli Ramadhanil

7)  Koordinator Nasional JPPR : Nurlia Dian

Dokumentasi dalam penelitian ini, dimaksudkan menjadi bahan panduan dan memperkaya data dalam melakukan perbandingan dan penyelarasan temuan di lapangan.  Dokumen juga bertujuan untuk memperkuat analisis data penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

Miles dan Hubermen (dalam Sugiyono, 2011)  menjelaskan model analisis data terdiri dari tiga hal utama, yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang muncul di lapangan. Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasan, memberi kode, menelusur tema dan menulis memo hingga laporan tersusun secara lengkap. Penyajian data digunakan dalam jenis deskriptif, kutipan hasil wawancara dan tabel-tabel yang dibutuhkan. Hal ini dirancang guna menggabungkan informasi agar tersusun dalam bentuk yang padu, mudah difahami dan berguna untuk penarikan kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

Dinasti di PDIP

Personalisasi dalam partai politik erat kaitannya dengan pembentukan dinasti partai. Kebutuhan akan sosok kuat sebagai vote getter dalam pemilihan menjadi aspek yang tidak terpisahkan. PDI Perjuangan adalah contoh partai yang mempersonalisasi kepemimpinannya di bawah Megawati Soekarnoputri, yang telah menjadi simbol utama sejak masa Orde Baru hingga era reformasi. Kepemimpinan panjang Megawati melanggengkan “Klan Soekarno” sebagai elit partai dan membentuk dinasti politik untuk mempertahankan posisinya. Fenomena ini menunjukkan pengaruh besar mereka dalam internal partai serta kemampuan mereka menentukan siapa yang akan mengisi jabatan publik.

Sejarah PDI Perjuangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terbentuk dari perjalanan panjang Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang pecah pada 1999. Fusi partai yang dilakukan pemerintahan Orde Baru pada 1973 menjadi dasar penting dalam menjelaskan dinamika partai saat itu. PDI dan partai lain tidak memiliki kesempatan yang sama dengan Golongan Karya (Golkar) dalam kebijakan kenegaraan dan tidak dapat menjalankan fungsi partai di bawah Orde Baru (Hidayat, 2018).

(Satoto et al., 2024) menggambarkan partai politik pada masa itu hanya sebagai citra demokrasi di bawah Soeharto, tanpa kendali atas nasib partainya. Keluarga Soekarno pun mulai bergerak menandingi kekuasaan Soeharto yang semakin mengakar. Sudibyo (1998) menyatakan bahwa sejak 1970-an, pemerintah melaksanakan program De-Soekarnoisasi, mendiskreditkan Soekarno dan keluarganya, serta membatasi diskusi dan publikasi terkait Soekarno.

Pada 1993, Megawati Soekarnoputri berhasil merebut kursi ketua umum PDI secara de facto melalui Kongres Luar Biasa di Surabaya, meski pemerintah Orde Baru tidak mengakui hasil kongres tersebut. Megawati memperkuat dukungan internal dan mengembalikan fungsi partai sebagai rekrutmen dan basis massa untuk demokrasi (Labolo & Ilham, 2015). Namun, pemerintah Orde Baru terus melakukan intimidasi dan upaya perebutan kekuasaan hingga puncaknya pada peristiwa 27 Juli 1996. Konflik internal partai PDI memuncak dengan bentrokan antara massa pro-Megawati dan pro-Soerjadi, menyebabkan korban tewas, terluka, dan hilang (Komnas HAM, 2023).

Setelah peristiwa Kudatuli, Megawati semakin menjadi sosok politisi berpengaruh. Ia memisahkan diri dari PDI Soerjadi dan membentuk PDI Perjuangan yang memenangi Pemilu 1999 dengan 33,74 persen suara, mengalahkan PDI Soerjadi yang hanya mendapat suara di bawah 1 persen (KPU, 1999).

Megawati “Simbol Perlawanan”

Megawati juga dianggap sebagai simbol perlawanan melawan pemerintahan Orde Baru. Kepemimpinannya hampir bersamaan dengan politisi wanita di Asia seperti Qory Aquino di Filipina dan Bhenazir Bhutto di Pakistan, yang juga melawan pemerintahan tidak demokratis. Lay (1999) menyebut Megawati sebagai 'Ratu Adil' dan simbol perlawanan di masyarakat, sebuah peran yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Soekarno dan pengikutnya.

Kepemimpinan Megawati di PDIP tetap stabil sejak 1998 hingga saat ini. Stabilitasnya tidak terlepas dari simbol yang sudah tersemat pada dirinya sebagai pemimpin. Presiden kelima RI ini memperoleh "Reputasi," "Status," dan "Prestise" yang memenuhi fungsi seorang pemimpin (Safitri, 2014).

Masa kecil dan dewasa Megawati penuh dengan tantangan. Sebagai anak presiden, ia mengalami perpindahan tempat tinggal untuk menghindari konflik. Kehidupan dewasa setelah Soekarno lengser juga tidak lebih baik. Ia dikeluarkan dari kampus karena tekanan dari penguasa dan menghadapi berbagai intimidasi. Megawati juga menghadapi tantangan dalam kehidupan pribadi, termasuk pernikahannya yang penuh lika-liku.

Kehidupan sulit yang dialami Megawati membuatnya relevan sebagai pemimpin yang mampu mengubah keadaan. Dukungan dari loyalis Soekarno dan elemen masyarakat membantu menekan pemerintah yang sewenang-wenang. Budaya masyarakat yang masih kental dengan cerita masa lalu memperkuat penyematan simbol perlawanan pada Megawati.

Dinasti di PDIP

Personalitas politik dalam partai di Indonesia sering menghadapi masalah dengan adanya sosok figur yang terlalu kuat, menghambat demokrasi internal. Menurut Budiatri (2018), hal ini diperburuk oleh lamanya jabatan yang dipegang elit partai. Michels (2001) menjelaskan kecenderungan ini sebagai bentuk oligarki, di mana partai politik digunakan oleh elitnya untuk terus berkuasa, sering melalui hubungan patron-client atau kekerabatan.

Megawati Soekarnoputri merupakan contoh utama dalam PDIP. Namanya tidak terlepas dari politik dinasti yang terbentuk di partai ini. Anak-anak Megawati, Puan Maharani dan Prananda Prabowo, memiliki peran penting dalam partai. Puan menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Bidang Pemerintahan Pertahanan dan Keamanan DPP PDIP, sementara Prananda adalah Ketua Bidang UMKM, Ekonomi Kreatif dan Digital DPP PDIP. Keduanya menjadi kepala tim pemenangan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Pilpres 2024. Putri Puan, Pinka, juga maju dalam pemilihan calon legislatif DPR RI. Keponakan Megawati, Puti Guntur Soekarno, menjabat sebagai anggota DPR RI di Komisi X.

Selain keluarga Megawati, keluarga Dondokambey di Sulawesi Utara juga memiliki posisi strategis di PDIP. Adriana Charlotte Dondokambey, adik dari Olly Dondokambey, menduduki kursi DPR RI. Putera Olly, Kevin Lotulong, pernah menjadi wakil bupati Minahasa Utara. Kakak Olly, Aaltje Dondokambey, adalah Ketua DPRD Kota Manado, dan Robby Dondokambey, pernah menjadi wakil bupati Minahasa. Anaknya, Sarah Dondokambey, adalah calon anggota legislatif DPRD Minahasa.

Keluarga Nababan juga berpengaruh di PDIP. Panda Nababan adalah tokoh senior PDIP, dan anaknya, Putra Nababan, adalah anggota DPR RI Komisi X. Ayah mertua Panda, Sabam Sirait, adalah politisi senior di PDI dan PDIP. Maruarar Sirait, penerus Sabam, juga pernah menjadi anggota DPR dan pengurus DPP PDIP sebelum keluar dari partai.

Presiden Joko Widodo, sebagai kader PDIP, juga melibatkan anak dan menantunya dalam politik melalui PDIP. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi wali kota Solo, dan menantunya, Bobby Nasution, memenangkan Pilkada Kota Medan. Yasonna Laoly, pengurus DPP PDIP, juga diikuti jejaknya oleh anaknya, Yamitema Laoly, di DPD PDIP Sumatera Utara.

Menurut Dal Bo et al (2009), dinasti politik adalah upaya seorang politisi untuk memperpanjang eksistensi diri melalui penerusnya, dan keberhasilan menempatkan anggota keluarga dalam pemilihan. PDIP memenuhi kriteria ini, dengan Megawati membangun dinastinya saat menjabat sebagai ketua umum dan melibatkan keluarganya dalam partai. Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey, juga melantik dua anggota keluarganya selama masa jabatannya sebagai Gubernur Sulawesi Utara, serta Presiden Joko Widodo yang melantik anak dan menantunya di masa jabatannya.

 

Gambar 1. Bagan Keluarga Soekarno di PDIP

 

Rekrutmen dan Seleksi Caleg di PDI Perjuangan DKI Jakarta

Undang-undang mengamanatkan partai politik untuk menyiapkan pemimpin bangsa, yang dilakukan melalui rekrutmen dan seleksi kader partai. Kader PDI Perjuangan, misalnya, harus melalui berbagai tahapan untuk menjadi bakal calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta.

Profil PDIP di Jakarta

Berdasarkan Surat Keputusan DPP PDIP Nomor: 22-B/KPTS-DPD/DPP/VII/2022, terdapat 23 pengurus DPD PDIP DKI Jakarta di bawah Ady Widjaja. DKI Jakarta adalah salah satu lumbung suara terbesar PDIP, selain Jawa Tengah dan Bali. PDIP konsisten memperoleh setidaknya 10 kursi di DPRD DKI Jakarta dalam beberapa pemilu terakhir, dengan Prasetyo Edi Marsudi sebagai ketua DPRD pada dua pemilu terakhir.

 

Tabel 1. Pengurus DPD PDIP DKI Jakarta 2019-2024

Ketua

Ady Widjaja

Wakil Ketua Bidang Kehormatan Partai

Pantas Nainggolan

Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu

Ida Mahmudah

Wakil Ketua Bidang Ideologi

Jhonny Simanjuntak

Wakil Ketua Bidang Organisasi

Hendra Gunawan

Wakil Ketua Bidang Politik

Mahdiah

Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM

Ronny Talapessy

Wakil Ketua Bidang Ekonomi

Mahtumi Syah

Wakil Ketua Bidang Budaya

Kirana Larasati

Wakil Ketua Bidang Penanggulangan Bencana

Panji Virgianto

Wakil Ketua Bidang Industri

Ridar Handoko

Wakil Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan

Mirza Riadiani Kesuma

Wakil Ketua Bidang Pariwisata

Wolfgang Amadeus William

Wakil Ketua Bidang Koperasi

Pandapotan Sinaga

Wakil Ketua Bidang Agama

Rasyidi H Y

Wakil Ketua Bidang UMKM

Findri Puspitasari

Wakil Ketua Bidang Pangan, Pertanian

Dyah Primastuti

Wakil Ketua Bidang Kelautan

Adiyoga

Sekretaris

Gembong Warsono

Wakil Sekretaris Internal

Bambang Mujiono

Wakil Sekretaris Program

Chairul Ichsan

Bendahara

Widowati

Wakil Bendahara

Pierre Senjaya

 

Persebaran Suara PDIP di Pemilu 2019

PDIP menguasai sebagian besar wilayah Jakarta pada Pemilu 2019, memperoleh 25 kursi di DPRD, diikuti Gerindra (19 kursi) dan PKS (16 kursi). Di beberapa dapil, PDIP mendominasi perolehan suara: Dapil 1 (49 ribu suara, 3 kursi), Dapil 3 (40 ribu suara, 3 kursi), Dapil 9 (55 ribu suara, 3 kursi), dan Dapil 10 (95 ribu suara, 4 kursi).

Pengaruh Pilkada Terhadap Pemilu

PDIP DKI Jakarta merupakan penyumbang suara keempat terbanyak secara nasional pada Pemilu 2014 dan 2019. Di Pemilu 2014, PDIP memperoleh 1,6 juta suara, meningkat pada Pemilu 2019 menjadi 1,6 juta suara. Kemenangan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta pada 2012-2017, serta Joko Widodo sebagai Presiden RI pada 2014-2019, turut berkontribusi pada keberhasilan PDIP di DKI Jakarta.

Strategi Rekrutmen dan Seleksi Caleg

Menurut riset Charta Politika, kemenangan PDIP di Pilkada 2012 dan 2017 berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara pada Pemilu 2014 dan 2019. Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, menekankan bahwa kemenangan PDIP bukan hanya efek dari Joko Widodo, melainkan hasil kerja akar rumput.

Pentingnya Rekrutmen dan Seleksi yang Tepat

Survei LSI Denny JA menunjukkan bahwa caleg yang dikenal masyarakat memiliki peluang lebih besar untuk menang, mencapai 60 persen. Oleh karena itu, rekrutmen dan seleksi caleg yang tepat sangat penting untuk keberhasilan partai dan kebijakan publik yang diambil oleh para pemegang jabatan.

Resume Proses Rekrutmen dan Seleksi Caleg di PDI Perjuangan DKI Jakarta

Proses Rekrutmen

Rekrutmen partai politik untuk calon anggota legislatif mencakup dua aspek: inklusif dan eksklusif. Aspek inklusif memungkinkan setiap warga negara untuk mendaftar, sementara aspek eksklusif hanya untuk kader partai sebelum seleksi. Hal ini menunjukkan seberapa demokratis partai dalam menentukan calon legislatif dan potensi warga negara yang bukan anggota partai untuk terpilih.

Gambar 2. Pola Rekrutmen dan Seleksi Kandidat

 

Menurut Rahat dan Hazan, anggota penjaringan dan lokasi seleksi sangat penting. Anggota penjaringan berasal dari berbagai latar belakang, termasuk kader partai dan pengurus harian partai. Prosedur berbeda dijalankan bergantung pada siapa yang bertanggung jawab dalam proses seleksi.

Desentralisasi kekuasaan dalam partai ditunjukkan ketika seleksi dilakukan di tingkatan daerah, sementara pola sentralistik ditunjukkan dengan penunjukan langsung oleh pengurus pusat. Pasal 29 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mengatur rekrutmen harus dilakukan secara demokratis, sementara Pasal 243 UU No 7 Tahun 2023 tentang Pemilu mengatur penyusunan daftar bakal calon legislatif.

Di PDI Perjuangan, rekrutmen dan seleksi caleg diatur dalam AD/ART Partai dan Peraturan Partai No 25A Tahun 2018. DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta mengikuti mekanisme ini dengan ketat. Menurut Hendra Gunawan, Ketua Bidang Organisasi dan anggota seleksi caleg DPD PDIP DKI Jakarta, kader yang ingin menjadi anggota legislatif harus melalui sekolah kader partai yang terdiri dari tiga tahap: Pratama, Madya, dan Utama.

Sekolah kader ini merupakan pendidikan politik yang dijalankan oleh partai untuk menjaring kader. Pasal 84 dan Pasal 85 AD/ART Partai mengatur pendidikan kader di berbagai tingkatan, termasuk Sekolah Partai yang menyelenggarakan pendidikan politik dan kebangsaan. Warga negara yang bukan kader juga dapat mencalonkan diri, asalkan mengikuti minimal satu jenjang sekolah kader.

Proses Seleksi

Setelah pendaftaran, tahapan seleksi dilakukan oleh pengurus partai di setiap tingkatan. Proses seleksi melibatkan pemberkasan, pelaporan kegiatan, wawancara, pengecekan latar belakang, dan mendapatkan laporan dari pengurus ranting. Integritas calon menjadi faktor utama dalam seleksi, diikuti dengan pengecekan kapabilitas yang dapat dibentuk oleh DPP dan DPD.

Jumlah pendaftar akan diseleksi hingga memenuhi kuota yang ditetapkan, misalnya untuk DPRD DKI Jakarta sebanyak 106 calon dari 10 daerah pemilihan. Proses seleksi ini mencakup pengecekan latar belakang tanpa sepengetahuan calon, untuk memastikan kinerja dan integritas mereka.

Setelah seleksi, calon wajib mengikuti program pembekalan selama dua hari yang diselenggarakan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Program ini memberikan pemahaman mengenai ideologi, visi misi, dan program partai. Nama-nama yang lolos seleksi kemudian disahkan oleh DPP Partai dan mendapatkan penugasan dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

Pengurus DPD mengikuti Peraturan Partai No 25A Tahun 2018 Pasal 16, yang mengatur penyelenggaraan tahapan penjaringan di daerah pemilihan dengan memastikan keterwakilan 30 persen perempuan. Nama-nama yang sudah disahkan oleh DPP kemudian didaftarkan ke KPU hingga ditetapkan menjadi daftar calon tetap (DCT).

Sistem Kuota dan Penominasian di PDI Perjuangan

Penentuan Penominasian

Kandidat tidak dapat memilih nomor urut dan daerah pemilihan secara bebas. Keputusan ini diambil oleh tim penjaringan bersama pimpinan partai di daerah dan disahkan oleh pengurus pusat partai. Pasal 28 PP No 25A tahun 2018 mengatur penentuan nomor urut sebagai berikut:

1)    Ketua, Sekretaris, dan Bendahara DPD Partai mendapatkan prioritas nomor urut 1.

2)    Jika Ketua, Sekretaris, dan Bendahara berada dalam satu daerah pemilihan, urutan nomor 1, 2, dan 3 harus diisi salah satunya oleh perempuan.

3)    Calon anggota DPRD Provinsi dengan skor lebih tinggi berhak berada di bawah Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.

4)    Hak prioritas tidak dapat dilimpahkan jika tidak digunakan oleh yang bersangkutan.

Kuota Penominasian

Jumlah kuota yang diterapkan dalam menyerahkan nama calon anggota legislatif dijelaskan dalam Pasal 16 PP No 25A tahun 2018. Dari total 100 persen kandidat di daerah pemilihan tingkat provinsi:

1)    10 persen adalah rekomendasi DPP.

2)    60 persen hasil rapat DPD.

3)    30 persen rekomendasi DPC.

DPD juga mengusulkan nama untuk pencalonan di DPR RI dan merekomendasi calon untuk DPRD kabupaten/kota.

Kuota di DKI Jakarta

Di DKI Jakarta, persentase kuota berbeda dari aturan PP No 25A tahun 2018. Hendra mengungkapkan besaran persentase kuota sebagai berikut:

1)    DPR RI: DPD 15 persen, DPP 80 persen.

2)    DPRD Provinsi: DPP 15 persen, DPC 5 persen.

Jika ada satu dapil dengan 10 orang, DPP berhak mengisi 1,5 orang, dan DPC setengah orang. Hak DPD untuk mengisi 8 orang tidak dapat diganggu. Jika kuota DPP atau DPC tidak dipakai, DPD dapat mengisinya.

Pengajuan Nama Kandidat

Pengurus DPD Provinsi menyerahkan nama-nama kandidat sebanyak 110 persen ke pengurus pusat. Misalnya, jika ada 10 kandidat di dapil, maka diserahkan 11 nama. Hal ini mengantisipasi halangan atau pembatalan oleh kandidat, serta memberi DPP opsi tambahan untuk seleksi.

Pengurus pusat dapat melakukan pengecekan ulang, termasuk track record dan background check. Meskipun ada kemungkinan perubahan nomor urut, orang, atau penempatan dapil, perubahan jarang terjadi setelah masuk ke DPP. DPD Jakarta hampir tidak mengalami perubahan setelah pengajuan ke DPP, meski tetap dilakukan pengecekan latar belakang kandidat.

Hendra menegaskan bahwa sistem kuota dan penominasian ini bersifat absolut. Kuota yang dimiliki DPP dan DPC tidak bisa diganggu jika tidak dipakai, sehingga DPD bisa mengisi dengan orangnya. Pengajuan nama sebanyak 110 persen ke DPP juga dimaksudkan untuk memberi ruang seleksi tambahan oleh DPP, dengan tanggung jawab tetap di DPD.

Paradoks Rekrutmen dan Seleksi Partai di PDIP

Kesuksesan Kaderisasi PDIP

Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, PDIP memiliki kaderisasi paling sukses dibandingkan partai lain. Kader PDIP umumnya berkualitas tinggi, dibuktikan dengan perolehan suara merata dan pendukung loyal di seluruh Indonesia. PDIP telah melampaui kebutuhan akan sosok vote getter yang populis (Sindonews, 2023).

Ketidakmampuan Menerapkan Aturan secara Konsisten

Lucius Karus dari Formappi berpendapat bahwa meskipun PDIP memiliki aturan partai yang baik, tidak semuanya bisa diterapkan secara konsisten. Banyak kader PDIP yang maju sebagai caleg adalah orang yang sama atau anggota keluarga yang sudah ada di parlemen sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada ukuran jelas dalam kaderisasi partai politik saat ini.

Pengaruh Kedekatan dengan Elit Partai

Fadli Ramadhanil dari Perludem menyoroti bahwa keuntungan dalam proses kandidasi sering kali didapat oleh kader yang memiliki kedekatan dengan elit partai. Kader yang telah lama membangun karir politik bisa tersingkir oleh figur yang memiliki hubungan dengan elit partai. Masalah ini umum terjadi di hampir semua partai politik di Indonesia.

Harapan Masyarakat Terhadap Keterbukaan Rekrutmen

Dua jajak pendapat oleh Litbang Kompas mengungkapkan pandangan masyarakat mengenai rekrutmen partai. Hasil jajak pendapat pertama menunjukkan 86,9 persen masyarakat berharap partai membuka pendaftaran caleg secara terbuka. Sebanyak 66,7 persen responden percaya bahwa keterbukaan ini akan meningkatkan kualitas caleg (Litbang Kompas, 2023).

Peran Penting Partai dalam Seleksi Caleg

Jajak pendapat kedua menegaskan pentingnya peran partai dalam seleksi calon legislatif. Sebanyak 55 persen responden memilih caleg dan partai politik secara bersamaan, menunjukkan bahwa antara caleg dan partai tidak dapat dipisahkan dalam pemilihan legislatif. Meskipun begitu, pemilih yang mencoblos partai politik lebih sedikit dibandingkan yang memilih caleg, dengan angka 13,8 persen berbanding 30,9 persen (Litbang Kompas, 2023).

PDIP menunjukkan kesuksesan dalam kaderisasi, namun masih terdapat paradoks dalam penerapan aturan dan pengaruh kedekatan dengan elit partai. Masyarakat mengharapkan keterbukaan dalam rekrutmen untuk meningkatkan kualitas caleg, dan partai politik memegang peran penting dalam proses seleksi ini.

 

Pengaruh Dinasti dalam Rekrutmen dan Seleksi Pileg

Pandangan Prabowo Subianto tentang Dinasti Politik

Calon Presiden Prabowo Subianto pernah menyatakan bahwa partai politik di Indonesia, termasuk PDI Perjuangan (PDIP), dikuasai oleh dinasti politik (Republika, 2023). Pernyataan ini dianggap wajar, namun sulit diterima oleh pengurus PDIP. PDIP menegaskan bahwa setiap kader, termasuk yang berasal dari keluarga pengurus atau pejabat publik, harus mengikuti mekanisme dan proses yang berjenjang dalam karir politik mereka.

Pengaruh Dinasti dalam Rekrutmen dan Seleksi di PDIP

Pada bab-bab sebelumnya, ditemukan bahwa sebagian besar elit PDIP membangun dinastinya, baik di dalam partai maupun di daerah. Analisis menunjukkan adanya celah dalam pasal yang dapat dimanfaatkan oleh dinasti untuk mempengaruhi proses rekrutmen dan seleksi dalam konteks pemilihan legislatif di Jakarta.

Menolak Anggapan Dinasti

Para petinggi dan kader PDIP menolak anggapan adanya dinasti politik dalam partai mereka. Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Syaiful Hidayat, menegaskan bahwa semua kader, termasuk keluarga Soekarno, harus melalui mekanisme partai. Djarot menyatakan bahwa Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, meskipun anak dan cucu Bung Karno, telah melalui proses politik dari bawah.

Pernyataan Kader tentang Mekanisme Partai

Dua calon anggota legislatif PDIP di DKI Jakarta, Ahmad Wibi Wibawanto dan Adiyoga Nusyirwan, membantah tuduhan praktik dinasti politik. Mereka menyatakan telah mengikuti mekanisme dan proses panjang di partai. Kedua caleg ini, bersama dua caleg lainnya, Yuke Yurike dan Stephanie Octavia, yang juga memiliki hubungan kerabat dengan pengurus PDIP, terpilih menjadi calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta.

PDIP menolak tuduhan adanya dinasti politik, meskipun terdapat analisis yang menunjukkan pengaruh dinasti dalam rekrutmen dan seleksi caleg. Kader PDIP menegaskan bahwa semua proses dilakukan sesuai mekanisme partai, meskipun ada pandangan berbeda tentang penerapan ini.

 

Pengaruh Dinasti dalam Rekrutmen dan Seleksi Pileg

Tabel 2. Calon Anggota Legislatif PDIP DPRD DKI Jakarta Terafiliasi Keluarga Pengurus Partai

Nama Caleg

Status

Kerabat

Jabatan

Yuke Yurike

Anak

Adang Ruchiatna

Mantan Ketua DPP PDIP

Stephanie Octavia

Anak

Rudianto Chen

Wabendum DPP PDIP

Ahmad Wibi

Anak

Prasetyo E Marsudi

Ketua DPRD DKI Jakarta

Adiyoga Nusyirwan

Anak

Nusyirwan Soejono

Wabendum DPP PDIP

Diolah peneliti

 

Ahmad Wibi Wibawanto aktif sebagai simpatisan PDIP sejak 2009, tahun di mana ayahnya, Prasetyo Edi Marsudi, pertama kali mencalonkan diri untuk DPRD DKI Jakarta. Wibi mulai aktif di Komunitas Banteng Muda yang berafiliasi dengan PDIP pada 2013, dan baru tertarik menjadi kader PDIP pada 2018. Wibi kemudian terpilih menjadi pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Jakarta Pusat sebagai wakil ketua bidang politik.

Pada 2021, Wibi memutuskan untuk maju sebagai calon anggota legislatif di DPRD DKI Jakarta untuk pemilu 2024, tanpa paksaan dari ayahnya. Ia menyatakan bahwa motivasinya berasal dari dirinya sendiri, dan proses pencalonannya melalui mekanisme partai, meskipun ia mengakui pengaruh nama besar ayahnya. Wibi menyadari bahwa meskipun ia mendapat keuntungan dari nama besar ayahnya, ia tetap harus membuktikan dirinya di hadapan partai.

Adiyoga Nusyirwan, calon anggota legislatif dari dapil 8 Jakarta, adalah anak dari anggota DPR RI dan Wakil Bendahara Umum DPP PDIP, Nusyirwan Soejono. Adiyoga memulai karir politiknya di Jawa Tengah pada 2007 dan aktif dalam tim Badan Pendidikan dan Pelatihan DPD PDIP Jawa Tengah pada 2012. Pada pemilu 2014, Adiyoga mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Jawa Tengah namun tidak berhasil. Ia kemudian dilantik menjadi pengurus DPD PDIP DKI Jakarta pada 2019.

Adiyoga membantah adanya keterlibatan orang tuanya dalam pencalonannya, dan menyatakan bahwa keputusannya untuk maju berasal dari dirinya sendiri. Ia mengikuti semua proses pendaftaran dan seleksi yang ditetapkan oleh partai, termasuk wawancara, psikotest, dan pendidikan kader.

 

Pandangan Partai tentang Kaderisasi dan Dinasti

Menurut anggota tim penjaringan di DPD DKI Jakarta, Hendra Gunawan, tidak ada masalah jika anggota keluarga dari pengurus PDIP mencalonkan diri selama mereka mengikuti mekanisme seleksi partai. Hendra menegaskan bahwa meskipun jaringan keluarga memberikan kemudahan, mekanisme seleksi harus tetap diikuti dan keputusan akhir ada di tangan partai.

Ahmad Wibi Wibawanto dan Adiyoga Nusyirwan menunjukkan bahwa meskipun ada keuntungan dari nama besar keluarga mereka, proses kaderisasi di PDIP tetap diikuti. Mereka lebih memilih menyebut diri mereka sebagai "keluarga politisi" dibandingkan "dinasti politik," menekankan bahwa mereka telah melalui mekanisme partai yang ketat. Kaderisasi yang berjenjang di PDIP dianggap penting untuk memastikan kualitas dan kapabilitas kader yang terpilih.

Aturan Penominasian Satu Keluarga

PDIP adalah satu-satunya partai politik yang mengatur penominasian calon anggota legislatif berdasarkan keikutsertaan anggota keluarga. Djarot Syaiful Hidayat dari PDIP menyatakan bahwa aturan ini bertujuan untuk mencegah praktik dinasti politik. Aturan ini tercantum dalam Pasal 41 Peraturan Partai No 25A tahun 2018 tentang larangan pencalegan.

Aturan tersebut melarang anggota atau kader partai yang memiliki suami/istri, orang tua, dan/atau anak yang menjadi anggota atau pengurus partai politik lain, untuk mendaftar sebagai bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Seorang anggota atau kader partai dalam satu keluarga hanya diperbolehkan mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif paling banyak 2 orang, termasuk dirinya sendiri.

Fadli Ramadhanil dari Perludem menganggap aturan ini hanya bersifat teknis dan tidak mencerminkan pencegahan praktik dinasti politik. Baginya, prinsip pencegahan dinasti seharusnya terlihat dalam proses rekrutmen dan seleksi kader. Nurlia Dian Paramita dari JPPR menilai positif kebijakan ini sebagai upaya pembatasan dalam pencalonan anggota legislatif. Menurutnya, kebijakan ini setidaknya membatasi jumlah anggota keluarga inti yang dapat mencalonkan diri di daerah pemilihan dan tingkatan yang sama.

Aturan penominasian satu keluarga yang diterapkan oleh PDIP bertujuan untuk mencegah praktik dinasti politik. Meskipun beberapa pihak menganggap aturan ini hanya bersifat teknis dan tidak mencerminkan pencegahan dinasti politik secara menyeluruh, kebijakan ini dianggap positif sebagai upaya pembatasan dalam pencalonan anggota legislatif.

Rekrutmen dan Seleksi Sentralistik

Peraturan Partai PDI Perjuangan No 25 A Tahun 2018 tentang Rekrutmen dan Seleksi Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menunjukkan adanya wewenang sentralistik dari DPP dalam pengambilan keputusan terkait proses rekrutmen dan seleksi calon anggota legislatif. Meskipun dalam beberapa derajat, kewenangan tersebut juga diberikan kepada DPD dan DPC partai.

Pasal 5 dari peraturan tersebut mengatur tentang penugasan kembali anggota DPR dan DPRD Provinsi yang telah menjabat selama tiga periode atau lebih, yang memerlukan persetujuan DPP Partai. Pasal 9 juga mengisyaratkan adanya wewenang lebih dari DPP, terutama dalam mengoreksi usulan bakal calon anggota legislatif di tingkat bawah.

Detail lebih lanjut tentang koreksi yang dilakukan oleh DPP tercantum dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Partai. Pasal 25 mengatur mengenai penyaringan dan pengkoreksian bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sementara Pasal 26 menegaskan bahwa DPP berwenang mengoreksi daftar calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diusulkan oleh DPD dan DPC partai.

Meskipun aturan ini bertujuan untuk mengendalikan praktik dinasti politik, beberapa pihak seperti Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Fromappi) Lucius Karus menilai bahwa selalu ada cara untuk memanipulasi aturan ini demi kepentingan dinasti politik. Menurutnya, meskipun aturan telah diatur, tetap ada celah untuk mengakali sistem ini.

Aturan rekrutmen dan seleksi calon anggota legislatif PDI Perjuangan menunjukkan adanya wewenang sentralistik dari DPP, terutama dalam pengambilan keputusan terkait penugasan kembali anggota legislatif yang telah menjabat selama tiga periode atau lebih, serta dalam mengoreksi usulan bakal calon anggota legislatif di tingkat bawah. Meskipun bertujuan untuk mencegah praktik dinasti politik, beberapa pihak menilai bahwa aturan ini masih memiliki celah untuk dimanipulasi demi kepentingan dinasti politik.

Demokrasi Internal Partai dan Praktik Dinasti Politik

Ketiadaan demokratisasi di internal partai politik menjadi salah satu faktor yang menyuburkan praktik dinasti politik. Partai PDI Perjuangan, misalnya, masih sangat terpersonifikasi dengan sosok atau figur kuat di dalam partai, seperti Megawati Soekarnoputri. Hal ini menghambat proses demokratisasi di dalam partai, termasuk dalam mekanisme seleksi dan rekrutmen calon anggota legislatif.

Manager Divisi Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyoroti bahwa PDIP memiliki masalah dalam kandidasi dan kepemimpinan yang tidak berganti. Megawati Soekarnoputri hampir tidak tergantikan dalam partai tersebut. Hal ini juga terlihat dalam keikutsertaan anggota keluarga di daftar calon anggota legislatif, yang menunjukkan pragmatisme partai dalam mencari keuntungan elektoral dan material.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Nurlita Dian Paramita, menilai bahwa ketidakmampuan partai untuk melakukan demokratisasi internal menunjukkan bahwa fungsi partai pasca-reformasi tidak berjalan dengan baik. Ketergantungan pada segelintir elit partai menghasilkan keputusan yang tidak demokratis, yang pada akhirnya akan mengarah pada penguatan dinasti politik.

Namun, Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Fromappi) berpendapat bahwa kehadiran anggota keluarga dalam pencalonan legislatif tidak akan berdampak banyak terhadap kebijakan yang mereka buat. Menurutnya, anggota keluarga dinasti cenderung membawa kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan konstituen.

Meskipun demikian, Hendra Gunawan dari DPD PDIP Jakarta menegaskan bahwa pola rekrutmen dan seleksi partai memiliki pola bottom-up yang dimulai dari masukan dari tingkatan bawah partai. Meskipun pengurus pusat memiliki wewenang dalam menentukan nama-nama calon anggota legislatif, hal ini dianggap sebagai hal yang biasa dilakukan di seluruh partai karena adanya hak prerogatif yang diberikan kepada Ketua Umum Megawati.

Ketidakdemokratisan di internal partai politik, terutama terlihat dalam ketidakgantian kepemimpinan dan dominasi figur kuat, menjadi pemicu utama praktik dinasti politik. Meskipun ada upaya untuk menghasilkan demokrasi internal, seperti pola rekrutmen dan seleksi partai yang bottom-up, masih ada penilaian bahwa keputusan akhir banyak bergantung pada prerogatif elite partai. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada aturan yang mengatur seleksi dan rekrutmen calon anggota legislatif, praktik dinasti politik masih memiliki ruang untuk berkembang.

Dinasti Politik dalam Sistem Demokrasi

Dinasti politik terus menjadi fenomena dalam sistem demokrasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme seleksi yang lebih menguntungkan aktor dinasti, keterbukaan demokrasi yang dimanfaatkan oleh aktor dinasti, dan politik dinasti dianggap sebagai "zona nyaman" bagi elit politik. Dalam setiap agenda pemilihan, aktor dinasti cenderung memanfaatkan celah dalam sistem dan aturan yang ada untuk menyertakan keluarganya dalam kompetisi politik.

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menyoroti bahwa dalam partai politik seperti PDIP, kader yang bukan bagian dari dinasti cenderung tertunda kesempatannya untuk maju sebagai calon legislatif. Partai cenderung memilih kader dari dinasti meski kualitas dan karir politik keduanya sama. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan dalam rekrutmen dan seleksi partai masih dipertanyakan, yang berpotensi memperkuat praktik dinasti politik.

Meskipun demikian, terdapat upaya untuk menjaga keberlangsungan dinasti politik, seperti melalui rekrutmen dan kaderisasi yang diatur sedemikian rupa. Namun, pengaruh elit dalam partai yang dominan seringkali merusak sistem kaderisasi yang seharusnya menjadi jaminan bagi kemajuan demokrasi internal partai.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Nurlita Dian Paramita, melihat bahwa partai politik saat ini sudah tidak lagi dikelola oleh orang-orang yang memiliki cita-cita seperti pada saat berdirinya partai. Kader diharapkan tunduk pada keputusan elit, yang mengakibatkan sistem kaderisasi yang seharusnya lebih baik menjadi terganggu.

Dinasti politik tetap menjadi fenomena dalam sistem demokrasi di Indonesia karena adanya mekanisme seleksi yang menguntungkan aktor dinasti, keterbukaan demokrasi yang dimanfaatkan oleh aktor dinasti, dan politik dinasti dianggap sebagai "zona nyaman" bagi elit politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kualitas demokrasi internal partai politik, yang seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kader untuk maju tanpa diskriminasi berdasarkan hubungan keluarga.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa PDI Perjuangan sebagai partai yang sudah terpesonalisasi dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri memiliki hambatan dalam konteks demokratisasi internal partai. Kewenangan dan kekuasaan Megawati dalam mengambil keputusan membuat dirinya tidak tergantikan sejak 1999.  Dengan begitu, ia membangun dinastinya dengan cara memberikan posisi strategis kepada anak-anaknya di internal dan eksternal partai. Kondisi tersebut yang membuat peraturan dan kebijakan yang diundangkan oleh partai menjadi leluasa untuk dimanfaatkan oleh kader-kader yang memiliki kedekatan dengan elit partai. Keluarga dinasti Olly Dondokambey dan dinasti Joko Widodo misalnya di Sulawesi Utara dan Solo, mendapatkan ruang lebih dari besar untuk membesarkan kepentingannya karena kedekatan dengan elit.    

Dalam konteks pemilihan calon legislatif, pemanfaatan dilakukan karena tidak adanya keterbukaan informasi dari partai politik pada saat seleksi dan rekrutmen berlangsung. Masyarakat secara luas tidak dapat berpartisipasi untuk menentukan calon yang akan diusung oleh partai, karena pada akhirnya keputusan partai berdasar pada “pandangan elit” semata. Kendati begitu, perlu memberikan poin positif terhadap PDI Perjuangan yang dalam pelaksanaan aturan, memenuhi syarat ideal dalam melakukan pencalonan Seperti halnya, setiap tingkatan kepengurusan dapat membuka pendaftaran bagi kader dan non kader, tiap tingkatan memiliki tim penjaringannya sendiri, dan setiap tingkat diperbolehkan untuk melakukan seleksi sesuai dengan daerahnya masing-masing. Aturan yang ada, dalam derajat tertentu diimplementasikan secara baik, sampai pada titik penetapan akhir di DPP. Secara sederhana, setidaknya terdapat peran penting di daerah untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada DPP dalam melakukan penyaringan dan koreksi lanjutan.

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustino, L., & Yusoff, M. A. (2010). Politik lokal di Indonesia: dari otokratik ke reformasi politik. Jurnal Ilmu Politik, Edisi, 21(2010), 5–30.

Bandiyah, B. (2010). Evolusi Jawara di Banten (Studi Evolusi dari Bandit Menjadi Pejabat). Interaktif, 1(2), 243022.

Besley, T., & Reynal-Querol, M. (2013). Selection via dynasties: Theory and evidence. Manuscript in Preparation, October, 24.

Covarrubias Apablaza, C. G., & Mendoza Lira, M. C. (2016). Adaptación y validación del cuestionario sentimiento de autoeficacia en una muestra de profesores chilenos. Universitas Psychologica, 15(2), 97–107.

Gunanto, A., & Sudarmilah, E. (2020). Pengembangan Website E-Arsip di Kantor Kelurahan Pabelan. Jurnal Teknik Elektro, 20(02).

Hidayat, A. (2018). Perkembangan Partai Politik Pada Masa Orde Baru (1966-1998). Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 17(2), 155–164.

Husein, A., & Eko Budi, W. (2022). Pengaruh Beban Puncak Terhadap Efisiensi Trafo Daya. Jurnal Sains & Teknologi Fakultas Teknik, 12(2), 34–40.

Labolo, M., & Ilham, T. (2015). Partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia. Rajawali Pers.

Loperfido, S., Baldo, V., Piovesana, E., Bellina, L., Rossi, K., Groppo, M., Caroli, A., Dal Bò, N., Monica, F., & Fabris, L. (2009). Changing trends in acute upper-GI bleeding: a population-based study. Gastrointestinal Endoscopy, 70(2), 212–224.

Nordholt, H. S., & van Klinken, G. (2007). Abbreviations and acronyms. In Renegotiating Boundaries (pp. 487–491). Brill.

Pureklolon, T. P. (2016). Komunikasi politik. Gramedia Pustaka Utama.

Purwaningsih, T., & Widodo, B. E. C. (2020). The interplay of incumbency, political dynasty and corruption in Indonesia: Are political dynasties the cause of corruption in Indonesia? Revista UNISCI, 53.

Querubin, P., & Snyder, J. M. (2011). The control of politicians in normal times and times of crisis: Wealth accumulation by US congressmen, 1850-1880. National Bureau of Economic Research.

Rashid, M. F. F., Hutabarat, W., & Tiwari, A. (2012). A review on assembly sequence planning and assembly line balancing optimisation using soft computing approaches. The International Journal of Advanced Manufacturing Technology, 59, 335–349.

Romli, M. H., Tan, M. P., Mackenzie, L., Lovarini, M., Suttanon, P., & Clemson, L. (2017). Falls amongst older people in Southeast Asia: a scoping review. Public Health, 145, 96–112.

Ruud, A. E., & Islam, M. M. (2016). Political dynasty formation in Bangladesh. South Asia: Journal of South Asian Studies, 39(2), 401–414.

Safitri, D. (2014). Woman and Political Communication: Megawati dan Pemimpin Simbolik. Jurnal Komunikasi, 9(1), 49–58.

Satoto, S., Ardilafiza, A., & Musriza, R. (2024). Implications Of Filling The Position Of Attorney General By The President On The Independence Of The Prosecutor’s Office In Carrying Out The Functions Of Judicial Power. Ipso Jure, 1(5), 12–36.

Spitzer, R. L., & Endicott, J. (2018). Medical and mental disorder: Proposed definition and criteria. Annales Médico-Psychologiques, Revue Psychiatrique, 176(7), 656–665.

Suharto, T. (2017). Indonesianisasi islam: Penguatan islam moderat dalam lembaga pendidikan islam di indonesia. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 17(1), 155–178.

Sukri, M. A. (2020). Dinasti Politik di Banten: Familisme, Strategi Politik dan Rendahnya Partisipasi Politik Masyarakat. JISPO Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 10(2), 169–190.

Syauket, A., Karsono, B., & Atmoko, D. (2022). Kebijakan Telemudik Bentuk Perlindungan Negara Pada Masyarakat Menuju New Normal Ditengah Pendemi Corona. Jurnal Kajian Ilmiah, 22(1), 1–10.

 

Copyright holder:

Amriyono Prakoso, Meidi Kosandi (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: