Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PENGURUSAN PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI SATUAN RUMAH SUSUN

 

Daniel Atmario Butar Butar1, Abdul Salam2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun PPPSRS diberikan status sebagai badan hukum. Namun dalam undang-undang ini tidak ditemukan ketentuan mengenai Pengurus, apalagi pengaturan mengenai organ badan hukum lainnya. Padahal seharusnya karakteristik suatu badan hukum adalah memiliki pengaturan organ yang lengkap. Permasalahan ini praktis berlanjut pada sejauh mana tanggung jawab Pengurus terhadap Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh PPPSRS. Bahkan isu tidak adanya kejelasan tanggung jawab Pengurus ini muncul dalam kasus hukum antara pemilik atau penghuni Sarusun melawan Pengurus PPPSRS, dengan dalil bahwa Pengurus dimintakan pertanggungjawaban karena dituduh terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Oleh karena itu, topik ini menarik untuk diangkat dengan tujuan menghasilkan penjelasan yang sistematis mengenai Tanggung Jawab Perbuatan Hukum Pengurus PPPSRS dalam mewakili PPPSRS, berdasarkan keterbatasan peraturan yang ada dan sedikit teori hukum badan hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian adalah Pengurus tidak bertanggung jawab secara pribadi untuk perbuatan hukum beheren PPPSRS yang telah dilakukan sesuai dengan prinsip pengurusan PPPSRS, namun bertanggung jawab secara pribadi untuk perbuatan hukum beschikking yang diambil secara melawan hukum. Ditemukan juga bahwa majelis hakim sudah menerapkan prinsip tanggung jawab terbatas bagi Pengurus PPPSRS.

Keyword: badan hukum, organ badan hukum, Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun, Pengurus, daden van beschikking, daden van beheren, perbuatan melawan hukum.

 

Abstract

In Law Number 20 of 2011 concerning Flats, PPPSRS is given status as a legal entity. However, in this law there are no provisions regarding Management, let alone regulations regarding other legal entity organs. In fact, the characteristic of a legal entity should be that it has complete organ arrangements. This problem practically continues to the extent of the Management's responsibility for Legal Actions carried out by PPPSRS. In fact, the issue of the lack of clarity regarding the management's responsibilities arose in a legal case between the owner or occupant of the apartment building and the PPPSRS management, with the argument that the management was held accountable because they were accused of having committed an unlawful act as intended in Article 1365 of the Civil Code. Therefore, this topic is interesting to raise with the aim of producing a systematic explanation regarding the Responsibilities of Legal Actions of PPPSRS Management in representing PPPSRS, based on the limitations of existing regulations and a little legal theory of legal entities in Indonesia. This research uses a statutory approach and a case approach. The results of the research are that the Management is not personally responsible for any PPPSRS legal actions that have been carried out in accordance with the principles of PPPSRS management, but is personally responsible for beschikking legal actions that are taken against the law. It was also found that the panel of judges had applied the principle of limited responsibility for the PPPSRS management.

Keywords: legal entity, legal entity organ, Association of Owners and Tenants of Flats, Management, daden van beschikking, daden van beheren, unlawful acts.

 

Pendahuluan

Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun. Dulu badan hukum ini dikenal dengan Perhimpunan Penghuni. Baik PPPSRS maupun Perhimpunan Penghuni memiliki tujuan yang serupa. Perhimpunan Penghuni itu waijb mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya. Sedangkan PPPSRS juga wajib mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan penghunian. Dari segi keanggotaan, Perhimpunan Penghuni adalah perhimpunan yang anggotanya terdiri dari para penghuni. Pemilik Sarusun pada saat itu tidak masuk sebagai anggota Perhimpunan. Sedangkan saat ini yang menjadi anggota Perhimpunan ini adalah Pemilik atau Penghuni Sarusun. Baik PPPSRS maupun Penghuni Rumah Susun pada dasarnya adalah suatu badan hukum yang bertujuan untuk mengelola kepentingan bersama dari pemilik dan penghuni.

Sejak dulu hingga sekarang istilah PPPSRS dan Perhimpunan Penghuni diakui sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang Rumah Susun. Karena PPPSRS berkedudukan sebagai badan hukum, maka seharusnya PPPSRS dan Perhimpunan Penghuni memiliki karakteristik sebagai badan hukum. Menurut ahli, salah satu unsur yang ada dalam badan hukum adalah adanya pengurus di badan hukum (Ali, 2011). Badan hukum dianggap seperti manusia dalam sistem hukum. Namun karena badan hukum secara fisik tidak dapat dilihat, maka badan hukum ini hanya dapat menyalurkan kehendaknya melalui perantaranya, dalam hal ini adalah Pengurus. Badan hukum dianggap memiliki kehendak atau kemauan sendiri yang terbentuk melalui, seperti pengurus dan anggota, dan segala keputusan yang diambil dianggap sebagai keputusan badan hukum itu sendiri (Ali, 2011). Jadi ciri suatu badan hukum adalah adanya pengurus yang dalam konteks ini adalah Pengurus Perhimpunan.

Menelusuri Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut “UU 16/1985”), ditemukan satu ketentuan yang mengatur tentang Pengurus Perhimpunan Penghuni, yaitu pada penjelasan Pasal 19 ayat (2). Pasal 19 ayat (2) sendiri adalah ketentuan yang mengatur pemberian kedudukan sebagai badan hukum kepada Perhimpunan Penghuni berdasarkan undang-undang ini. Meski sudah tidak berlaku lagi, penjelasan Pasal 19 ayat (2), UU 16/1985 masih relevan dalam memahami Pengurus PPPSRS. Sebab penjelasan mengenai Pengurus Perhimpunan Penghuni memiliki keselarasan dengan penjelasan ahli mengenai Pengurus badan hukum. Keduanya sama-sama menjelaskan bahwa Pengurus badan hukum memiliki kewenangan mewakili badan hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

Tidak seperti UU 16/1985, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut “UU 20/2011”) tidak ditemukan satupun ketentuan yang mengatur Pengurus PPPSRS. Yang diatur hanyalah ketentuan bahwa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS mengatur tata cara mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan penghunian. Sehingga ketiadaan ketentuan ini bisa menimbulkan kebingungan bagi pembaca mengenai apa itu Pengurus PPPSRS.

Dalam badan hukum ada juga keberadaan ‘organ’ lain. Organ ini secara bersama-sama bekerja melakukan kegiatan usaha dari badan hukum itu (Harahap, 2021). Oleh karenanya, supaya PPPSRS mampu melakukan perbuatan hukum seharusnya ada organ lain dalam PPPSRS yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing sehingga PPPSRS bisa melakukan perbuatan hukumnya. Namun ternyata ketentuan mengenai organ dalam PPPSRS di UU 20/2011 juga sama sekali tidak diatur.

Bila kembali melihat Penjelasan Pasal 19 ayat (2), UU 16/1985, kita bisa menemukan pengakuan secara implisit salah satu organ PPPSRS dalam istilah Pengurus Perhimpunan Penghuni. Menurut penjelasan Pasal itu, Pengurus Perhimpunan Penghuni dapat mewakili para penghuni atau pemilik satuan rumah susun baik di dalam maupun di luar pengadilan. Artinya, secara implisit UU 16/1985 mengakui adanya eksistensi organ yang dinamakan Pengurus, yang tugasnya mewakili para penghuni atau pemilik satuan rumah susun di dalam maupun di luar pengadilan.

Organ PPPSRS seharusnya tidak hanya Pengurus saja. Mari kembali memperhatikan definisi mengenai PPPSRS, yaitu badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun. Kata ‘anggota’ disini mengisyaratkan bahwa pembuat undang-undang bermaksud PPPSRS itu terdiri dari keanggotaan, yang diisi dari para pemilik atau penghuni sarusun. Lantas tentu selain pengurus, ada organ lain dalam PPPSRS yang merupakan wadah untuk menyuarakan kepentingan para Anggota dari PPPSRS. Sayangnya organ-organ itu tidak dijelaskan dalam undang-undang ini. Hubungan antara organ-organ ini dan sejauh mana tanggung jawabnya, juga tidak diatur. Tidak adanya pengaturan akan hal ini menimbulkan kebingungan bagi pembaca undang-undang.

Dalam praktik pengelolaan PPPSRS, ternyata isu tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai organ PPPSRS tercermin juga dalam beberapa kasus hukum antara pemilik atau penghuninya melawan Pengurus PPPSRS, dengan dalil bahwa Pengurus dimintakan pertanggungjawaban karena dituduh terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana tanggung jawab dari Pengurus PPPSRS dalam melakukan perbuatan hukum yang mewakili PPPSRS. Perbuatan apa yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh PPPSRS dan faktor apa yang menyebabkan perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi dari Pengurus.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada permasalahan mengenai sejauh mana tanggung jawab perbuatan hukum Pengurus PPPSRS dalam mewakili PPPSRS. Untuk menjawab ini perlu dijelaskan mengenai perbuatan sehari-hari yang merupakan kewenangan murni dari Pengurus (daden van beheren), dan perbuatan kepemilikan dimana Pengurus wajib mendapat persetujuan dari organ lain untuk melaksanakannya (daden van beschikking). Penjelasan akan hal ini pada akhirnya akan memberikan gambaran bagaimana tanggung jawab dari Pengurus PPPSRS selaku organ yang menjalankan kepengurusan di dalam badan hukum.

 

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan doktrinal (Hutchinson, 2006; Marzuki, 2013) yaitu menganalisis berbagai aturan hukum demi menghasilkan penjelasan yang sistematis, dan menganalisis hubungan antara aturan-aturan hukum untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika ilmiah (Ibrahim, 2006).

Peneliti mengumpulkan aturan hukum yang mengatur mengenai PPPSRS, baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.  Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai badan hukum pada umumnya dan badan hukum PPPSRS diantaranya adalah:

1.     Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “KUH Perdata”),

2.     Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,

3.     Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun (selanjutnya disebut “PP 13/2021”),

4.     Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut “Permen PUPR 14/2021”),

5.     Putusan-putusan pengadilan, dan

6.     Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks dan artikel jurnal.

Peneliti mengumpulkan bahan hukum primer dengan teknik studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan, membaca, mengkaji, dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait.  Sedangkan bahan hukum sekunder dikumpulkan dari sumber yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.  Setelah bahan hukum terkumpul, Penulis melakukan penelusuran atas bahan-bahan hukum dimaksud guna mencari titik temu dan relevansi antara bahan hukum dengan permasalahan yang diangkat. Teknik analisis data yang akan dipergunakan dalam Penelitian nantinya adalah pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis, serta perilaku yang nyata (Mamudji et al., 2005).

 

Hasil dan Pembahasan

Pertanggung jawaban hukum dalam konteks perdata

Dalam kasus mengenai organ PPPSRS, gugatan yang banyak timbul adalah gugatan tuntutan pertanggung jawaban dengan dalih Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata (Siregar et al., 2023). Sebelum dibahas lebih lanjut bagaimana ketentuan organ PPPSRS dan pertanggung jawabannya, perlu dibahas pertanggung jawaban dalam hukum perdata. Dalam meminta pertanggung jawaban dalam konteks perdata, ada 2 (dua) dasar yang dapat diajukan ke pengadilan, yaitu wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

a.   Wanprestasi

Wanprestasi artinya adalah ingkar janji (Yahman, 2014). Jadi wanprestasi pasti didahului dengan adanya perjanjian, baik tertulis maupun tidak.  Perjanjian ini umumnya berupa tiga hal, yaitu untuk memberikan sesuatu, berbuatan sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Bentuk ingkar janjinya dapat berupa: (1) sama sekali tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan, (2) tidak memenuhi sebagian prestasi yang dijanjikan, (3) terlambat memenuhi prestasi yang dijanjikan, atau (4) melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan berdasarkan perjanjian.

Seseorang tidak dapat dinyatakan wanprestasi bila tidak terikat dalam suatu hubungan kontraktual (Simamora, 2008). Gugatan wanprestasi didasarkan pada adanya cidera janji dalam perjanjian sehingga salah satu pihak harus bertanggung jawab. Pihak yang dirugikan dari adanya wanprestasi dapat menuntut pihak yang ingkar janji untuk memberikan penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Wanprestasi pasti didahului dengan perjanjian. Akan tetapi, sesorang tidak dapat dikatakan telah wanprestasi bila yang bersangkutan belum dinyatakan telah lalai (somasi). Somasi diperlukan karena adanya alasan bahwa pada kebanyakan perikatan yang tidak menunjuk suatu jangka waktu tertentu, tanpa somasi debitur dianggap memenuhi prestasi tepat pada waktunya. Bahkan bilamana tidak ditetapkan waktu terakhir untuk memenuhi prestasinya, maka haruslah diterima, bahwa kreditur dapat menerima prestasinya setiap waktu dan waktu tersebut dapat diukur sampai kapan saja, tanpa adanya wanprestasi (Yahman, 2014).

 

b.  Perbuatan Melawan Hukum

Gugatan ganti rugi dengan dalih perbuatan melawan hukum dasar hukumnya adalah Pasal 1365 KUH Perdata. Pada awalnya perbuatan melawan hukum mengandung pengertian yang sempit, yaitu perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban menurut undang-undang (Agustina, 2003). Sejak adanya Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 Hoge Raad dalam perkara Lindebaum melawan Cohen, pemahaman Perbuatan Melawan Hukum saat ini adalah pengertian secara luas, sehingga tidak hanya terbatas pada berbuat sesuatu namun segi negatifnya atau kealpaannya juga termasuk dalam kategori ini. Perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (Djojodirdjo, 1979). Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan semua warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar (Agustina, 2003). Seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Pengadilan (Agustina, 2003).

Unsur dari Perbuatan melawan Hukum adalah sebagai berikut:

1.     Harus ada perbuatan, bisa perbuatan aktif ataupun tidak berbuat (negatif).

2.     Perbuatan itu melawan hukum

3.     Ada kerugian

4.     Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian

5.     Adanya kesalahan (schuld) (Badrulzaman, 2022).

Dalam konteks pertanggung jawaban, badan hukum dapat dimintakan pertanggung jawabannya berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata (Djojodirdjo, 1979), bukan berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata. Dalam hal organ badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, maka perbuatan itu tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum daripada badan hukumnya, bukan daripada organnya. Sepanjang, organ badan hukumnya telah melakukan perbuatannya dalam lingkungan formal daripada wewenangnya, yakni bila organ dalam kedudukannya sebagai organ itu telah melakukan perbuatannya demi menunaikan tugas yang diberikan padanya (Djojodirdjo, 1979).

 

Pengertian Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun

Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Sarusun adalah badan hukum yang terdiri dari para pemilik atau penghuni sarusun. Peraturan perundang-undangan saat ini hanya mengatur badan usaha, organisasi, perkumpulan, dan sejensinya yang ditetapkan sebagai badan hukum oleh undang-undang. Tidak ada peraturan yang mengatur definisi umum dari badan hukum. Oleh karena itu, harus melihat penjelasan ahli mengenai badan hukum di buku teks.

Badan hukum adalah entitas atau kelompok yang memiliki kekayaan pribadi, memiliki kekuatan hukum, dapat digugat, dan dapat menggugat di depan hakim. Dalam bahasa Inggris, badan hukum disebut sebagai legal person, dan dalam bahasa Belanda, badan hukum disebut rechtspersoon. “A legal person is any subject matter other than human being to which the law attributes personality,” kata Salmond (Marzuki, 2013; Paton, n.d.). Pendapat tersebut menyatakan bahwa badan hukum memiliki personalitas karena hukum.

Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun itu terdiri dari para pemilik atau penghuni Sarusun. Pemilik adalah setiap orang yang memiliki unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Tanda bukti kepemilikannya bisa berupa sertifikat hak milik sarusun (SHM Sarusun) atau sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun (SKBG Sarusun). Sedangkan yang dimaksud dengan Penghuni adalah orang yang menempati sarusun, baik sebagai pemilik maupun bukan pemilik.

 

Prinsip tanggung jawab terbatas bagi Pengurus Badan Hukum

Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun adalah badan hukum. Suatu organisasi yang menyandang status badan hukum mempunyai status persona standi in judicio. Maksudnya adalah badan hukum itu meski tidak memiliki wujud yang dapat dilihat dan diraba, ia secara hukum dipandang sama seperti manusia alamiah yang dapat mendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Badan hukum memiliki personalitas karena diberikan oleh hukum (Prasetya, 2011).

Meskipun demikian, kenyataannya badan hukum itu bukan manusia. Sehingga diperlukan adanya perangkat yang bekerja untuk atas nama badan hukum itu, atau yang dikenal dengan organ. Dalam badan hukum, organnya terdiri dari orang saling bekerja sama dan setiap perbuatan yang dilakukan oleh organ tersebut dianggap sebagai perbuatan hukum badan hukum itu. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada orang-orang di dalamnya. Ini dikenal sebagai "persona standi in judicio" (Supriyatin & Herlina, 2020). Badan hukum mandiri terlepas dari orang-perorangan yang ada dalam badan hukum tersebut.

Meski PPPSRS berstatus sebagai badan hukum, namun ada kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang ada yang tidak secara eksplisit mengakui bahwa organ di dalam PPPSRS memiliki tanggung jawab yang terbatas. Namun sebenarnya bukan berarti konsep ini tidak dikenal dalam PPPSRS. Pertanggungjawaban Pengurus badan hukum sebenarnya memiliki keselarasan dengan konsep pemberian kuasa dalam KUH Perdata.

Buku III mulai dari pasal 1792–1819 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur pemberian kuasa, sedangkan kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata atau perundang-undangan lainnya, tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa. Kuasa didasarkan pada machtiging, yang merupakan pernyataan sepihak dari pemberi kuasa bahwa ia ingin diwakili oleh penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa. Dari pernyataan ini timbul hak, bukan kewajiban, bagi penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa.

Lebih lanjut dalam Pasal 1792 KUH Perdata diatur bahwa ”Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Penerima kuasa tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali jika ia secara pribadi mengikatkan diri untuk itu. Artinya, yang bertanggung jawab atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah pemberi kuasa, sepanjang tindakannya sudah dilakukan sesuai dengan mandat yang diberikan (Erich et al., 2023).

Konsep ini bila dikaitkan dengan tanggung jawab Pengurus PPPSRS, Pengurus PPPSRS adalah pihak yang menerima mandat dari para pemilik Sarusun untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan penghunian. Jadi sepanjang Pengurus PPPSRS telah melakukan tindakan hukumnya sesuai dengan mandat yang diberikan, dalam hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan Rapat Umum Anggota, maka perbuatan itu merupakan perbuatan hukum PPPSRS yang tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya kepada Pengurus.

Meski terdapat tanggung jawab terbatas bagi organ badan hukum, namun bukan berarti Pengurus tidak bisa dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi. Organ badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi bila organ tersebut telah melakukan perbuatan dengan bertentangan dengan sikap kecermatan yang seharusnya dilakukannya terhadap si penderita kerugian (Djojodirdjo, 1979).

 

Organ PPPSRS

Meskipun PPPSRS adalah badan hukum, kenyataannya PPPSRS itu bukan manusia. Sehingga diperlukan adanya perangkat yang bekerja untuk atas nama badan hukum ini, atau yang dikenal dengan organ. Organ-organ tersebut adalah Rapat Umum Anggota, Pengurus, dan Pengawas.

Rapat Umum Anggota adalah kegiatan pertemuan anggota PPPSRS untuk mengambil keputusan yang terdiri atas rapat umum tahunan anggota atau rapat umum anggota luar biasa. Keanggotaan PPPSRS terdiri dari para Pemilik atau Penghuni Sarusun. Oleh karena itu, penting bagi para Pemilik atau Penghuni untuk dapat menyuarakan kepentingannya dalam PPPSRS. Melalui Rapat Umum Anggota inilah para Pemilik atau Penghuni dapat menyalurkan kepentingannya.

Organ berikutnya adalah Pengurus. Pengurus adalah Pemilik yang dipilih untuk mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan kepenghunian, kepemilikan, dan pengelolaan. Pengurus PPPSRS tidak hanya satu orang, melainkan paling sedikit 5 orang yang terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang sesuai dengan kebutuhan terkait pengelolaan dan penghunian. Susunan Pengurus dirumuskan dalam akta pendirian, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga serta disahkan dalam rapat umum PPPSRS. Sedangkan jangka waktu kepengurusannya adalah selama 3 (tiga) tahun. Ketua dan Sekretaris berwenang mewakili PPPSRS di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal, dan segala kejadian, sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjalankan segala tindakan, baik pengurusan maupun kepemilikan dalam lingkup pengelolaan Rumah Susun.

Organ berikutnya adalah Pengawas. Dalam penjelasan Pasal 92 ayat (1) huruf d PP 13/2021 ada penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “pengawas” adalah pemilik yang hadir dalam musyawarah dan bertempat tinggal di Rumah Susun.  Pasal 92 ayat (1) PP 13/2021 sendiri berbunyi demikian:

“(1) Musyawarah pembentukan PPPSRS dilakukan untuk:

a.    Pembentukan struktur organisasi;

b.    Penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;

c.    Pemilihan Pengurus; dan

d.    Pemilihan Pengawas.”

Ada 2 tugas utama Pengawas, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap Pengurus dan memberikan masukan kepada Pengurus.

 

Batasan Tanggung Jawab Pengurus PPPSRS

Salah satu ciri badan hukum adalah adanya organ yang bertugas melakukan pengurusan untuk dan atas nama badan hukum.  Dalam arti luas Rudhi Prasetya membedakan tindakan pengurusan suatu persekutuan menjadi dua macam, yaitu daden van beheren dan daden van beschikking. Yang dimaksud dengan Daden van Beheren adalah menjalankan perbuatan yang lazim dilakukan sehari-hari dalam hubungan dengan tujuan persekutuan bersangkutan. Perbuatan beheren dalam praktik diterjemahkan sebagai perbuatan pengurusan (dalam arti sempit). Sedangkan yang dimaksud dengan daden van beschikking atau dapat diartikan perbuatan kepemilikan adalah perbuatan yang tidak secara langsung menyangkut bidang usaha yang menjadi tujuan dari persekutuan (Prasetya, 2011).

Organ yang berwenang melakukan pengurusan beheren PPPSRS adalah Pengurus.  Untuk melakukan perbuatan beheren, Pengurus PPPSRS tidak memerlukan persetujuan Rapat Umum Anggota ataupun Pengawas. Namun Pengurus perlu memerhatikan prinsip pengurusan PPPSRS supaya perbuatan pengurusan itu sah. Prinsip ini menyatakan bahwa Pengurus PPPSRS bertugas mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian. Berdasarkan pasal ini, Pengurus wajib menjalankan tugas pengurusan PPPSRS itu untuk kepentingan para Pemilik dan Penghuni, bukan untuk diri sendiri. Sehingga, Pengurus tidak boleh memanfaatkan PPPSRS untuk kepentingan pribadi. Pengurus juga tidak boleh lalai atau melakukan perbuatan yang merugikan Para Pemilik dan Penghuni. Bila Pengurus terbukti melanggar hal ini, maka Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Pemilik dan Penghuni. Perbuatan itu dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi kepada Pengurus. Dalam pengaturan yang ada mengenai badan hukum, prinsip bahwa pengurus dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi itu diatur dengan jelas secara eksplisit (Panalaga, 2023). Namun sayangnya ketentuan ini tidak diatur secara eksplisit dalam regulasi mengenai PPPSRS, melainkan hanya secara implisit dapat dimaknai dari Pasal 86 ayat (5) PP 13/2021.

Selain prinsip tugas pengurusan oleh Pengurus, batasan tanggung jawab Pengurus juga dapat dilihat dari kewenangan Pengurus yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS diatur perbuatan apa saja yang merupakan kewenangan murni dari Pengurus yang tidak memerlukan persetujuan dari organ lain. Jadi untuk menentukan batasan tanggung jawab Pengurus PPPSRS, perlu melihat ketentuan tugas dan wewenang Pengurus yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS.

Bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS sudah dibakukan dalam peraturan. Jadi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS di masing-masing Rumah Susun memiliki bentuk yang sama. Sehingga batasan tanggung jawab Pengurus masing-masing PPPSRS juga sama. Akan tetapi perlu juga diperhatikan apakah di daerah wilayah PPPSRS itu sudah terbentuk peraturan mengenai PPPSRS. Bila ada peraturan di daerah yang mengatur juga bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS, maka bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS harus mengacu kepada peraturan yang berlaku di daerah wilayah PPPSRS itu. Peraturan memperbolehkan Pemerintah Daerah untuk membentuk peraturan di daerah dengan berpedoman pada Peraturan Menteri dalam hal diperlukan.

Perbuatan beheren yang menjadi kewenangan murni dari Pengurus PPPSRS adalah sebagai berikut:

1.     membuat dan mengubah tata tertib penghunian serta menentukan kebijakan PPPSRS sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

2.     memberikan teguran, peringatan, dan tindakan lain terhadap anggota PPPSRS yang melanggar atau tidak mematuhi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, aturan tata tertib penghunian, keputusan rapat umum, dan keputusan rapat pengurus;

3.     ketua dan sekretaris mewakili PPPSRS di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal, dan segala kejadian, sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjalankan segala tindakan, baik pengurusan maupun kepemilikan dalam lingkup pengelolaan Rumah Susun;

4.     dalam hal ketua dan sekretaris berhalangan dalam waktu yang lama dan pada waktu bersamaan terdapat hal penting yang perlu diputuskan maka keputusan dapat dilakukan oleh pengurus PPPSRS lainnya yang ditunjuk berdasarkan rapat pengurus;

5.     melakukan pendataan anggota PPPSRS secara berkala, lengkap, dan baik;

6.     memilih, membuat, dan memutuskan perjanjian dengan pihak ketiga dengan mempertimbangkan kepentingan anggota;

7.     mengawasi dan mengevaluasi pekerjaan pengelola dalam pengelolaan Rumah Susun;

8.     memberikan persetujuan perbaikan kerusakan bangunan Rumah Susun yang bersifat struktur dan/atau pekerjaan besar yang dilaksanakan oleh Pengelola;

9.     memberikan persetujuan kepada Penghuni yang memiliki, menyewa, dan menyewa-beli atau yang memanfaatkan Sarusun dengan cara lain untuk merubah bentuk Sarusun sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

10.  memberikan persetujuan kepada Penghuni yang memiliki, menyewa, dan menyewa-beli atau yang memanfaatkan Sarusun dengan cara lain untuk menjadikan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama baik sebagian atau seluruhnya untuk kepentingan pribadi;

11.  memberikan persetujuan kepada Penghuni yang memiliki, menyewa, dan menyewa-beli atau yang memanfaatkan Sarusun dengan cara lain untuk menambah bangunan di luar Sarusun, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama;

12.  menyetujui tata tertib penghunian yang diterbitkan oleh pengelola;

13.  mengubah atau mencabut dan/atau menentukan lain tata tertib penghunian yang selama ini telah berlaku di Rumah Susun sebagaimana yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pembangunan;

14.  mengajukan permohonan perpanjangan hak atas Tanah Bersama sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

15.  menyetujui permohonan perpanjangan hak milik atas Sarusun dan meneruskannya untuk proses perpanjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

16.  melakukan pendaftaran nama Pemilik baru sebagai anggota PPPSRS ke dalam buku daftar anggota paling lambat 5 (lima) hari kerja dalam hal terjadi pengalihan hak kepemilikan, seperti jual beli, hibah, waris atau pemasukan dalam perusahaan;

17.  melakukan pendaftaran nama pihak penerima pengalihan hak sebagai anggota Penghuni ke dalam buku daftar anggota paling lambat 5 (lima) hari kerja dalam hal terjadi pengalihan hak kepenghunian, seperti pinjam pakai, sewa menyewa, atau sewa beli;

18.  Membiayai operasional bulanan dengan dana sebesar 1/12 (satu per dua belas) anggaran operasional tahun buku sebelumnya bila periode anggaran telah habis dan Rapat Umum Tahunan belum diselenggarakan;

19.  Mempersiapkan anggaran operasional untuk periode mendatang menjelang Rapat Umum Tahunan dan mengajukannya pada Rapat Umum;

20.  Menentukan pembukaan rekening PPPSRS pada satu atau lebih bank di kabupaten/kota domisili Rumah Susun untuk seluruh penerimaan keuangan PPPSRS;

21.  Menetapkan pembagian tugas tiap anggota Pengurus dan Pengawas dalam peraturan organisasi dan/atau tata kerja yang disahkan oleh Rapat Pengurus dan Pengawas sesuai kewenangan;

22.  Menyimpan dan mengelola buku daftar anggota;

23.  Melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

24.  Mengawasi pelaksanaan penghunian dan pemanfaatan pada Benda Bersama, Bagian Bersama, dan Tanah Bersama;

25.  Menetapkan dan menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota PPPSRS berdasarkan ketentuan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, tata tertib, dan perjanjian dengan pengelola;

26.  Mengatur pelaksanaan kegiatan kemasyarakatan antar anggota PPPSRS maupun antara anggota PPPSRS dengan masyarakat;

27.  Memberikan pengarahan, masukan, dan saran atas berbagai permasalahan yang muncul dan menawarkan solusi yang terbaik;

Pengurus juga terikat dengan ketentuan prosedural dalam mengadakan Rapat Pengurus. Struktur Pengurus PPPSRS minimal terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan bidang yang terkait dengan pengelolaan dan penghunian. Jadi untuk mengambil keputusan, masing-masing orang di dalam Pengurus tidak dapat mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menyelenggarakan Rapat Pengurus. Agar tindakan beheren Pengurus dapat dianggap sebagai tindakan yang sah dilakukan oleh PPPSRS, harus memerhatikan dan mematuhi syarat sahnya Rapat Pengurus.

Syarat pertama sahnya Rapat Pengurus adalah mengenai undangan. Untuk menyelenggarakan Rapat Pengurus, undangan tertulis harus dikirim kepada seluruh Pengurus dalam waktu 5 (lima) hari kalender sebelum rapat, dan harus mencantumkan acara, tanggal, waktu, dan tempat rapat. Undangan untuk Rapat Pengurus harus dikirim secara tertulis dan tidak dapat disampaikan secara lisan. Namun, jika seluruh Pengurus hadir, undangan tidak diperlukan, dan rapat dapat membuat keputusan yang sah dan mengikat.

Syarat kedua mengacu pada lokasi Rapat Pengurus. Rapat Pengurus dapat diadakan di lokasi PPPSRS atau di lokasi lain yang termasuk dalam wilayah kabupaten/kota yang berdekatan dengan Rumah Susun. Karena ada kata "atau", Rapat Pengurus tidak harus diadakan di lokasi PPPSRS, namun dapat memilih lokasi lain yang termasuk dalam wilayah kabupaten/kota yang berdekatan dengan Rumah Susun.

Syarat ketiga adalah harus memenuhi ketentuan kuorum. Ketentuan kuorum diatur pada bab V bentuk baku Anggaran Rumah Tangga. Untuk dapat melangsungkan Rapat Pengurus, harus dihadiri oleh lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Pengurus. Anggaran Rumah Tangga tidak mengatur bagaimana bila ternyata Rapat Pengurus dihadiri Pengurus sejumlah kurang dari 50% (lima puluh persen). Apakah dapat diadakan Rapat Pengurus kedua dengan ketentuan kuorum yang lebih ringan? Karena tidak diatur, maka harus dimaknai bahwa keputusan Rapat Pengurus secara mutlak hanya bisa diambil dalam Rapat Pengurus yang dihadiri lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Pengurus. Selanjutnya, keputusan Rapat Pengurus diambil berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar.

Berdasarkan penjelasan di atas, perbuatan beheren yang sah adalah perbuatan Pengurus yang sesuai dengan prinsip mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian. Pengurus bekerja untuk kepentingan Para Pemilik dan Penghuni, bukan diri sendiri. Perbuatan apa saja yang menjadi kewenangan murni Pengurus ini juga telah diatur tegas dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. Untuk menjalankan perbuatan beheren ini, Pengurus tidak bisa melakukan perbuatannya sendiri-sendiri melainkan harus dengan keputusan Rapat Pengurus yang sah. Apabila perbuatan yang dilakukan Pengurus tidak sesuai dengan hal ini, maka perbuatan tersebut tidak sah. Perbuatan yang dilakukan Pengurus yang memanfaatkan PPPSRS untuk keperluan pribadi, atau melampaui kewenangannya yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, atau tidak diputuskan dalam Rapat Pengurus yang sah, tidak dapat dimintakan tanggungjawabnya kepada PPPSRS. Sehingga yang bertanggung jawab atas perbuatan hukum itu bukanlah PPPSRS, namun Pengurus secara pribadi yang bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. 

Selain perbuatan beheren, Pengurus juga dapat melakukan perbuatan beschikking.  Perbuatan beschikking adalah perbuatan yang tidak secara langsung menyangkut bidang usaha yang menjadi tujuan dari Persekutuan (Prasetya, 2011). Dalam hal PPPSRS perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak secara langsung berkaitan dengan mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian. Untuk melakukan perbuatan ini, syaratnya adalah Pengurus harus memeroleh persetujuan dari organ lainnya, yaitu dari Rapat Umum Anggota atau Pengawas, tergantung bagaimana Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga mengaturnya.

Perbuatan beschikking Pengurus PPPSRS yang memerlukan persetujuan dari Rapat Umum Anggota atau Pengawas diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. Secara a contrario, perbuatan yang tidak diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS dianggap sebagai perbuatan pengurusan, dan menjadi kewenangan muri Pengurus (beheren). Sehingga, untuk melakukan perbuatan tersebut Pengurus tidak memerlukan persetujuan Rapat Umum Anggota ataupun Pengawas.

Perbuatan Pengurus apa saja yang membutuhkan persetujuan Rapat Umum (beschikking) adalah sebagai berikut:

1.     Meminta pengesahan dari Rapat Umum atas perubahan anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga, perubahan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) dan/atau pemanfaatan dana cadangan;

2.     Menunjuk Pengelola dengan meminta pengesahan Rapat Umum;

3.     Menentukan penggunaan sistem informasi pelaporan pengelolaan yang dapat diakses oleh Anggota PPPSRS dengan meminta pengesahan Rapat Umum; dan

4.     Melaksanakan kewenangan lain yang diberikan dalam Rapat Umum maupun Rapat Umum Luar Biasa;

Karena perbuatan ini termasuk perbuatan kepemilikan (beschikking), maka untuk menjalankannya Pengurus memerlukan persetujuan atau pengesahan Rapat Umum. Persetujuan Rapat Umum itu harus memenuhi syarat sahnya suatu Rapat Umum agar perbuatan beschikking itu juga dianggap sah. Syarat pertama Rapat Umum adalah harus memenuhi ketentuan kuroum, sebagai berikut:

1.     Ketentuan kuorum adalah Rapat Umum dianggap sah dalam hal memenuhi kuorum dengan dihadiri lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Pemilik.

2.     Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam undangan, Pemilik yang hadir belum memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada poin (1), pembukaan rapat umum ditunda paling singkat paling singkat 30 (tiga puluh) menit dan paling lama 2x60 (dua kali enam puluh) menit;

3.     Dalam hal sampai dengan batas waktu penundaan pembukaan rapat umum sebagaimana dimaksud pada poin 2, Pemilik yang hadir belum memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada poin 1 maka rapat umum tidak dapat diselenggarakan sehingga rapat umum ditunda sampai dengan batas waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender dan paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender;

4.     Pada saat batas waktu sebagaimana dimaksud pada poin 3, panitia musyawarah mengundang anggota PPPSRS serta undangan rapat umumnya paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum penyelenggaraan rapat umum;

5.     Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam undangan sebagaimana dimaksud pada angka 4, anggota PPPSRS yang hadir belum memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka pembukaan rapat umum ditunda paling lama 2 (dua) jam dan paling singkat 30 (tiga puluh) menit; dan

6.     Dalam hal sampai dengan batas waktu penundaan pembukaan rapat umum sebagaimana dimaksud pada angka 5, anggota PPPSRS yang hadir belum memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka pimpinan rapat membuka rapat umum dan rapat umum dapat melakukan pengambilan keputusan secara sah.”

 

Khusus untuk agenda perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS, memiliki ketentuan kuroum yang berbeda. Ketentuan perubahan Anggaran Dasar adalah sebagai berikut:

1.     Perubahan atas ketentuan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga termasuk juga merubah nama PPPSRS (nama rumah susun) dapat terjadi melalui rapat umum maupun rapat umum luar biasa yang dihadiri langsung oleh Pemilik yang mewakili minimal 2/3 (dua pertiga) hak Pemilik dari total pemilik suara yang dinyatakan sah;

2.     Perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang dilakukan di dalam rapat umum tahunan maupun rapat umum luar biasa dinyatakan sah apabila didukung minimal 2/3 (dua pertiga) dari total hak suara pemilik yang dinyatakan sah;

3.     Jika rapat tidak mencapai kuorum yang ditentukan, maka usulan tersebut dinyatakan ditolak, dan pengurus dapat menyelenggarakan rapat berikutnya sesuai dengan anggaran dasar; dan

4.     Dalam hal perubahan ketentuan dalam anggaran dasar yang bersifat penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka persyaratan sebagaimana diatur diatas dikecualikan dan berlaku ketentuan kuorum dan pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar yang diagendakan khusus untuk itu.

Apabila Rapat Umum tidak diselenggarakan sesuai ketentuan di atas, maka perbuatan beschikking itu tidak sah. Yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Anggota akibat perubahan ini adalah Pengurus secara tanggung renteng.

 

Analisa Perkara

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata terhadap PPPSRS biasanya dilayangkan kepada Pengurusnya. Sering kali yang menjadi masalah adalah kapan perbuatan itu adalah perbuatan yang menjadi tanggung jawab dari PPPSRS secara badan hukum, dan kapan perbuatan itu adalah perbuatan yang menjadi tanggung jawab pribadi Pengurusnya. Ketiga kasus di bawah ini ada hubungannya dengan perbuatan Pengurus dalam mengurus PPPSRS yang merupakan daden van beschkking dan daden van beheren.

          i.     Kasus Posisi

Sebanyak 3 (tiga) orang Pemilik Sarusun Gading Resort Residences menggugat Pengurus PPPSRS Gading Resort Residence dengan dalil bahwa Pengurus PPPSRS telah Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Penggugat menyatakan bahwa Tergugat yaitu Pengurus PPPSRS ini tidak sah sebagai Pengurus PPPSRS Gading Resort Residence periode 2018-2021. Akan tetapi Tergugat tetap saja menjalankan kepengurusan PPPSRS.

         ii.     Putusan

Dalam Eksepsi: Menyatakan eksepsi Para Tergugat diterima

Dalam Pokok Perkara: Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)

 

       iii.     Pertimbangan Majelis Hakim

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan Para Penggugat terhadap Para Tergugat didasarkan adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan Para Penggugat yang dilakukan oleh kepengurusan PPPSRS Gading Resort Residence pada tahun 2015 – 2018. Dengan demikian majelis hakim berpendapat oleh karena gugatan perkara aquo awalnya terjadi karena adanya perselisihan (mengenai transparansi masalah keuangan dan pengelolaan) yang dilakukan oleh kepengurusan PPPSRS Gading Resort Residence periode tahun 2015 – 2018, maka seharusnya kepengurusan PPPSRS Gading Resort Residence periode tahun 2015 – 2018 tersebut ditarik menjadi pihak (incasu Tergugat), sehingga gugatan Para Penggugat kurang pihak (plurium litis consoetium).

        iv.    Analisa

Dalam perkara ini, majelis hakim menganggap orang-orang yang menduduki jabatan sebagai Pengurus PPPSRS Gading Resort Residence periode tahun 2015-2018 perlu diikutkan sebagai Tergugat. Yang dipersoalkan oleh Penggugat adalah keabsahan dari orang-orang yang menduduki jabatan sebagai Pengurus PPPSRS Gading Resort Residence periode 2018-2021. Bila memang terbukti bahwa orang dimaksud tidak sah sebagai Pengurus PPPSRS, maka tentu perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus PPPSRS itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada PPPSRS. Justru yang bertanggungjawab adalah Pengurus itu sendiri. Sehingga, majelis hakim menyatakan bahwa Pengurus periode sebelumnya harus dilibatkan sebagai Tergugat, karena ada kemungkinan bila gugatan ini dikabulkan maka yang bertanggung jawab adalah Pengurus, bukan badan hukum PPPSRS itu. Akan tetapi, majelis hakim perlu berhati-hati melihat perbuatan mana saja yang dituduh telah dilakukan secara melawan hukum oleh Pengurus.

Seandainya sengketa ini masuk ke dalam pembahasan pokok perkara, maka majelis hakim perlu mempertimbangkan untuk menembus prinsip tanggung jawab terbatas Pengurus PPPSRS Gading Resort Residence, bila ternyata Pengurus periode 2015-2018 terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga nya dalam melakukan pengurusan, khususnya perbuatan daden van beschkking. Sehingga yang bertanggung jawab atas pelanggaran itu bukan lagi PPPSRS, melainkan Pengurus secara pribadi.

 

c.   Perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 166/Pdt.G/2017/PN Jkt.Sel

                 i.     Kasus Posisi

Seorang Pemilik Sarusun Kebagusan City menggugat Ketua Dewan Pengurus PPPSRS Apartemen Kebagusan City Sdr. Honny Maitimu, dengan dalil Pengurus PPPSRS telah Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena telah melakukan pemutusan aliran listrik dan air yang dilakukan dengan sengaja pada unit 2 A 3 milik Penggugat, padahal Penggugat telah bayar iuran setiap bulan berturut-turut tiap waktu. Alasan Tergugat memutus aliran listrik dan air terhadap unit milik Penggugat adalah karena Penggugat telah terlambat membayar listrik dan air sejumlah Rp19 jutaan.

                ii.     Putusan

Dalam Pokok Perkara: Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima

              iii.     Pertimbangan Majelis Hakim

Majelis menilai bahwa Tergugat sebagai Ketua Dewan Pengurus PPPSRS Kebagusan City telah melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi dalam petitumnya Penggugat menuntut ganti rugi materiil dan imateriil terhadap Tergugat secara pribadi, terbukti Penggugat menuntut sita jaminan terhadap aset milik pribadi Tergugat yaitu unit lantai 20 A 7 A tower A yang ditempati Tergugat (Sdr. Honny Maitimu) saat ini, mobil merk Nissan, X-Trail, dan sepeda motor merk Kawasaki 250 cc.

Oleh karena itu majelis menilai bahwa gugatan Penggugat telah mencampur adukkan kapasitas Tergugat sebagai Ketua Dewan Pengurus PPPSRS Kebagusan City namun dalam petitumnya telah menuntut Tergugat secara pribadi.

              iv.     Analisa

Dalam perkara ini majelis tidak menerima gugatan Penggugat karena gugatannya kurang jelas atau kabur. Tidak jelas apakah Penggugat menguggat Tergugat sebagai yang berwenang mewakili PPPSRS Kebagusan City, atau sebagai diri pribadi. Adapun tindakan Tergugat yang memadamkan air dan listrik milik Tergugat, harus dibuktikan dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Pengurus dan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS Kebagusan City. Bila terbukti benar maka Pengurus tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Namun ternyata bila Pengurus melanggar ketentuan dalam Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga dalam pemadaman itu, maka yang bertanggung jawab adalah Pengurus secara pribadi.

Bila melihat bentuk baku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS, pemadaman air dan listrik merupakan penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota PPPSRS. Artinya perbuatan ini adalah perbuatan pengurusan sehari-hari (beheren) yang tidak membutuhkan persetujuan dari Rapat Umum Anggota atau Pengawas. Sehingga untuk melakukan perbuatan ini Pengurus tidak perlu mengadakan Rapat Umum Anggota. Bila ditemukan Perbuatan Melawan Hukum atas pemadaman ini, maka yang bertanggung jawab adalah PPPSRS, bukan Pengurus secara pribadi.

 

d.  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 238/Pdt.G/2014/PN.Jkt/Sel

               i.    Kasus Posisi

Seorang Pemilik unit M-1 Lantai Mezzanine Rumah Susun Hunian Apartemen Casablanca Mansion menggugat Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Hunian Apartemen Casablanca Mansion dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena melakukan penutupan pintu akses/jalan masuk dan keluar dari dan ke unit M-1 milik Penggugat tanpa izin dari Penggugat serta tidak mau membongkar dinding gypsum tersebut sehingga Penggugat tidak memiliki akses jalan dari dan ke unit M-1. Adapun alasan Tergugat menutup pintu dengan dinding gypsum di depan pintu akses/jalan masuk dan keluar dari dan ke unit M-1 Lantai Mezzanine tersebut hanya bertujuan untuk mengembalikan desain dan atau fungsi bangunan aslinya telah diubah Penggugat dan tidak sesuai dengan data gambar Pertelaan atau as built architecture yang telah disahkan oleh Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1058/2006 tanggal 6 Juli 2006.

             ii.    Putusan

Dalam Pokok Perkara:

1.   Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat.

2.   Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian kepada Penggugat sebesar Rp4.000.000,- (empat juta Rupiah).

3.   Menghukum Tergugat untuk membongkar dinding gypsum yang menutupi pintu akses/jalan masuk dan keluar pada unit M-1 Lantai Mezzanine milik Penggugat, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah) setiap hari keterlambatan dalam melakukan pembongkaran.

       iii.     Pertimbangan Majelis Hakim

Alasan Tergugat melakukan penutupan pintu akses keluar dan masuk dari dan ke unit M-1 Lantai Mezzanine menurut majelis hakim terlalu mengada-ada dan berlebihan. Perbuatan pintu akses keluar masuk dari dan menuju ke unit M-1 tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, dengan demikian tindakan Tergugat menutup pintu tersebut dengan dinding gypsum merupakan tindakan yang melanggar hak subyektif orang lain atau dengan kata lain perbuatan melawan hukum.

       iv.     Analisa

Dalam kasus ini majelis hakim mengabulkan gugatan Penggugat, karena Tergugat terbukti melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata dengan menutup pintu akses keluar masuk dari dan menuju ke unit M-1 tersebut dengan dinding gypsum. Oleh karena itu Tergugat dihukum untuk membayar kerugian sebesar Rp4.000.000,- (empat juta Rupiah) kepada Penggugat. Tergugat juga dihukum membongkar dinding gypsum yang menutupi pintu akses/jalan masuk dan keluar pada unit M-1 Lantai Mezzanine milik Penggugat, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah) setiap hari keterlambatan dalam melakukan pembongkaran. Namun karena adanya prinsip tanggung jawab terbatas Pengurus badan hukum, maka yang akan membayar ganti rugi kepada Penggugat serta biaya pembongkaran dinding gypsum ataupun uang paksa dimaksud, dibebankan kepada badan hukum PPPSRS atau bersumber dari rekeningnya, bukan dari Pengurus secara pribadi.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Pengurus tidak bertanggung jawab secara pribadi untuk perbuatan hukum beheren PPPSRS. Namun, Pengurus bertanggung jawab secara pribadi untuk perbuatan hukum beschikking yang diambil secara melawan hukum. Dalam hal ini, Pengurus dapat digugat secara pribadi dengan dalil perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata. (2) Majelis hakim dalam menangani beberapa perkara perbuatan melawan hukum yang dilayangkan terhadap PPPSRS, masih belum membedakan perbuatan apa saja yang merupakan perbuatan beschkking dan perbuatan beheren. Namun majelis hakim sudah menerapkan prinsip tanggung jawab terbatas bagi Pengurus PPPSRS.

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustina, R. (2003). Perbuatan melawan hukum. Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana.

Ali, C. (2011). Badan Hukum Alumni. Bandung.

Badrulzaman, M. D. (2022). Sistem hukum benda nasional. Penerbit Alumni.

Djojodirdjo, M. A. M. (1979). Perbuatan melawan hukum: tanggung gugat (aansprakelijkheid) untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum. Pradnya Paramita.

Erich, E., Maryano, M., & Martanti, Y. (2023). Perlindungan Hukum terhadap Itikad Baik Penerima Kuasa yang Bertindak di Luar Kuasa yang Dibuat Secara Autentik. Jurnal Hukum Indonesia, 2(1). https://doi.org/10.58344/jhi.v2i1.11

Harahap, Y. (2021). Hukum perseroan terbatas. Sinar Grafika (Bumi Aksara).

Hutchinson, T. (2006). Researching and writing in law. Thomas Lawbook Co.

Ibrahim, J. (2006). Teori dan metodologi penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 57(11).

Mamudji, S., Rahardjo, H., Supriyanto, A., Erni, D., & Simatupang, D. P. (2005). Metode penelitian dan penulisan hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 9–10.

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian hukum.

Panalaga, W. B. (2023). Penerapan Asas Fiduciary Duty dan Piercing the Corporate Veil Terhadap Tanggungjawab Terbatas Direksi Suatu Perseroan Terbatas di Indonesia dan Amerika. UNES Law Review, 6(1), 1967–1977.

Paton, G. W. (n.d.). 1072, A Textbook Of Jurisprudence, English Language Book Society. Oxford University Press. London.

Prasetya, R. (2011). Teori dan Praktik Perseroan Terbatas. Sinar Grafika Jakarta.

Simamora, Y. S. (2008). Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia.

Siregar, M., Kamello, T., Purba, H., & Sembiring, R. (2023). Pemisahan Gugatan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Perspektif Hukum Materiil dan Penerapan di Pengadilan. Locus Journal of Academic Literature Review, 532–548.

Supriyatin, U., & Herlina, N. (2020). Tanggung Jawab Perdata Perseroan Terbatas (PT) Sebagai Badan Hukum. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 8(1), 127–144.

Yahman, Y. (2014). Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan yang lahir dari hubungan kontraktual. 1(1). Prenada Media Group.

 

 

Copyright holder:

Daniel Atmario Butar Butar, Abdul Salam (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: