Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 9, September 2024

 

TINJAUAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI UNIT LINK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

 

Wilbert Fernando Ansany1, Christine S.T. Kansil2

Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Karena adanya praktik perjanjian baku dalam perjanjian asuransi, maka pemegang polis memerlukan kepastian hukum. Dengan kata lain, setelah menandatangani polis, sebenarnya tertanggung kurang mempunyai kepastian hukum karena perusahaan asuransi menghasilkan lebih banyak uang dari isi atau format perjanjian. Tujuan dari kepastian hukum bagi pemegang polis asuransi dipertanyakan karena posisi perusahaan asuransi dan pemegang polis yang tidak seimbang terhadap perjanjian baku. Penelitian ini mengkaji tentang kepastian hukum seputar kerugian pemegang polis asuransi dalam skenario non-pembayaran yang dimaknai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta tantangan kepastian hukum seputar skenario non-pembayaran yang melibatkan kerugian pemegang polis asuransi yang dimaknai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. . Penelitian ini menggunakan teknik yuridis normatif yang penelitiannya melalui telaah pustaka dan analisis data sekunder. Dalam hal ini pemegang polis asuransi adalah nasabah yang memanfaatkan jasa asuransi yang dalam menjalankan usahanya berhak mendapat kepastian hukum dari segala sesuatu yang dapat merugikan nasabah. Kepastian hukum yang ditawarkan bagi nasabah pengguna jasa atau pemegang polis asuransi secara tegas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dengan berupaya semaksimal mungkin untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang polis.

Kata kunci: Pemegang Polis, Polis, Unit Link

 

Abstract

Due to the practice of standard agreements in insurance contracts, policyholders require legal certainty. In other words, after signing the policy, the insured actually has less legal certainty because the insurance company generates more revenue from the content or format of the agreement. The aim of legal certainty for insurance policyholders is questioned because of the unequal position between the insurance company and the policyholder regarding the standard agreement. This study examines the legal certainty surrounding the losses of insurance policyholders in non-payment scenarios as defined by Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, as well as the challenges of legal certainty regarding non-payment scenarios involving the losses of insurance policyholders as defined by Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. This study uses normative juridical techniques, with research conducted through literature review and secondary data analysis. In this case, insurance policyholders are customers who utilize insurance services and, in running their business, are entitled to legal certainty from anything that can harm them. The legal certainty offered to customers who use insurance services or policyholders is explicitly stated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, particularly by making maximum efforts to guarantee legal certainty for policyholders.

Keywords: Policyholders, Policies, Unit Link

 

Pendahuluan

Perjanjian antara tertanggung dan penanggung merupakan suatu polis asuransi. Pemegang polis adalah pihak tertanggung dalam hal ini, dan perusahaan asuransi adalah penanggung (Afrita & Arifalina, 2021; Setiawati, 2018). Ini adalah perjanjian pengalihan risiko yang dialami tertanggung; risikonya dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi dengan membayar premi. Tergantung pada tujuan perjanjian, risiko seperti kecelakaan, bencana alam, dan bahkan kematian dapat dialihkan (Parera et al., 2022).  

Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang, termasuk individu dan badan usaha, rentan terhadap berbagai bahaya. Bagi para profesional dan pelaku usaha yang memiliki keahlian dalam menjalankan usahanya, risiko yang terkait dengan operasional sehari-hari biasanya dialihkan ke lembaga asuransi dan bukan dikelola langsung oleh mereka (Hasibuan et al., 2022; Pradana & Rikumahu, 2014).

Keanekaragaman asuransi semakin meluas seiring dengan kebutuhan masyarakat dan upaya perusahaan asuransi untuk mendongkrak keuntungan. Masyarakat umum sudah mengenal sejumlah produk asuransi, antara lain asuransi kesehatan, jiwa, pendidikan, dan kendaraan bermotor. Selain tingginya antusiasme masyarakat dan perusahaan asuransi atas penjualan produk unit link yang masif, terdapat pula risiko yang cukup besar karena banyak perusahaan asuransi yang gagal membayar pemegang polis (Suisno, 2015; Susanto et al., 2021).

Masyarakat Indonesia baru mulai memahami betapa pentingnya asuransi. Produk kesehatan hadir dalam berbagai variasi, seperti halnya asuransi pendidikan, dan frasa “unit link” itu sendiri. Unit link adalah jenis polis asuransi jiwa perorangan yang menawarkan manfaat perlindungan asuransi jiwa dan kesempatan untuk mengelola investasi secara aktif. Nilai polis berfluktuasi berdasarkan nilai aset investasi (Chumaida, 2013; Parinduri et al., 2022).

Produk unit link memberikan solusi bagi pemegang polis sehingga mereka mendapatkan kepastian investasi selain keuntungan asuransi. Biasanya, investasi jangka panjang dengan perlindungan asuransi minimal menjadi tujuan memperoleh polis jenis ini. Anggota polis asuransi unit link membayar premi secara rutin, biasanya bulanan, sama seperti asuransi biasa.

Fungsi Asuransi pada dasarnya sebagai alat untuk mengalihkan risiko, mengalihkan risiko dari satu pihak—tertanggung—ke pihak lain yang disebut penanggung (Khasanah et al., 2021; Syamsiar, 2015). Pengalihan risiko ini tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan terjadinya nasib buruk; sebaliknya, perusahaan asuransi menawarkan ketenangan pikiran dan stabilitas keuangan kepada tertanggung.

Sebagai imbalannya, tertanggung harus membayar premi yang tidak terlalu besar mengingat kemungkinan kerugian yang mungkin mereka alami. Meski demikian, saat ini banyak sekali oknum yang menyalahgunakan tujuan utama asuransi dengan berpura-pura menjadi perusahaan sah dan memegang izin usaha asuransi, padahal hal tersebut melanggar hukum. Akibatnya, uang yang diasuransikan salah tempat dan diambil oleh entitas yang mengaku menawarkan layanan asuransi.

Produk asuransi unit link ini tidak dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 yang mengatur tentang perusahaan asuransi, karena tidak ada pasal yang jelas yang mengatur tentang jenis penjaminan bagi tertanggung asuransi unit link (Iip Harnoto Prayogo, 2023; Pawitri, 2017). Kinerja pengelolaan dana investasi atau produk unit-link masih belum diketahui banyak orang, padahal banyak perusahaan asuransi yang memperkenalkan produk asuransi unit-link karena potensi masa depan asuransi unit-link di Indonesia. Penjelasan yang efektif dan ringkas mengenai keuntungan dan bahaya berinvestasi oleh karyawan atau agen perusahaan asuransi sangat penting untuk tujuan pemasaran, karena menghilangkan kemungkinan salah tafsir dan kesalahpahaman oleh tenaga penjualan atau agen. serta calon pemegang kebijakan.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk menjamin kepastian hukum untuk memberikan kepastian kepada konsumen.” Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara spesifik menyebutkan bahwa nasabah pengguna jasa atau pemegang polis asuransi diberikan kepastian hukum (Inayah & Marsitiningsih, 2021). Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum pada khususnya kepada pemegang polis. Peraturan yang melindungi kepentingan konsumen dinilai sangat tepat jika dilihat dari landasan hukumnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang kepastian konsumen. Secara khusus, OJK telah menerbitkan POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Kepastian Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan POJK No. 18/POJK.07/2018 tentang Pelayanan Pengaduan Konsumen Sektor Jasa Keuangan tentang perlindungan konsumen di bidang keuangan. sektor jasa..

Asuransi jiwa diartikan sebagai perjanjian antara dua pihak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Pasal 1 Angka 6. Dalam hal ini konsumen sebagai tertanggung dan perusahaan asuransi jiwa sebagai penanggung. Polis tersebut mengharuskan penanggung untuk memberikan kompensasi kepada tertanggung apabila terjadi suatu risiko, dan tertanggung membayar premi kepada penanggung selama masa asuransi.

Pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada pelanggan atas kerugian, pencemaran, dan/atau kerugian yang timbul dari konsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau ditukarkan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena konsumen menghadapi biaya peluang, perusahaan asuransi diwajibkan oleh hukum untuk memberikan kompensasi kepada pelanggan karena tidak menerima pembayaran polis pada saat jatuh tempo. Paradoksnya, gugatan perusahaan asuransi sudah masuk ke ranah politik dan bukan lagi sekadar ranah hukum.

Sayangnya, pemegang polis tidak selalu mendapat jaminan kepastian hukum dengan perkembangan sektor asuransi saat ini. Karena banyaknya jenis produk asuransi yang tersedia, seringkali pemegang polis merasa kesulitan untuk mendapatkan pembayaran klaim ketika terjadi kecelakaan. Pemegang polis merasa dirugikan karena imbal hasil asuransi unit link tidak sesuai dengan persentase yang telah ditetapkan, hal ini menjadi salah satu permasalahannya. Kenyataannya, perusahaan asuransi tidak mampu membayar kembali pengembalian produk unit link kepada pemegang polis; dengan kata lain, mereka tidak mampu membayar.

Asuransi Kresna Life merupakan salah satu situasi keruntuhan asuransi yang terjadi pada pertengahan tahun 2020. Dalam hal ini terdapat permasalahan likuiditas pada portofolio investasi Asuransi Kresna Life. Kresna Link Investa (KLITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK), dua produk asuransi Kresna Life Insurance, mengalami keterlambatan pembayaran akibat ketentuan tersebut. Perusahaan Asuransi Jiwa Kresna sebelumnya menjanjikan imbal hasil sekitar 9% atas dua kontrak asuransi unit link tersebut.

Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kejelasan bagi konsumen mengenai kepastian. Sekalipun undang-undang adalah produk politik, politisi tidak boleh membatalkannya dalam masyarakat yang berdasarkan supremasi hukum. Pelanggan perusahaan asuransi akan lebih banyak mengalami kesalahan jika hal ini terjadi. Karena konsumen adalah partisipan dalam perekonomian, mereka harus dilindungi. Kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dapat melemah karena pembayaran polis yang tidak dapat diprediksi. Perkembangan sektor asuransi mendorong kemajuan perekonomian suatu bangsa. Ini tentu saja merupakan keputusan yang menantang.

Karena adanya praktik perjanjian baku dalam perjanjian asuransi, maka pemegang polis memerlukan kepastian hukum. Dengan kata lain, setelah menandatangani polis, sebenarnya tertanggung kurang mempunyai kepastian hukum karena perusahaan asuransi menghasilkan lebih banyak uang dari isi atau format perjanjian. Tujuan dari kepastian hukum bagi pemegang polis asuransi dipertanyakan karena posisi perusahaan asuransi dan pemegang polis yang tidak seimbang terhadap perjanjian baku.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut: pertama, bagaimana kepastian hukum terhadap pemegang polis asuransi unit link berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan? Kedua, bagaimana pengaturan usaha perasuransian unit link menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: pertama, untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum terhadap pemegang polis asuransi unit link berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Kedua, untuk mengetahui bagaimana pengaturan usaha perasuransian unit link menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

 

Metode Penelitian

Karena penelitian ini mengkaji permasalahan sosial dari sudut pandang hukum, maka penelitian ini dianggap sebagai penelitian hukum. Studi hukum hadir dalam dua bentuk: normatif dan empiris. Metodologi yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik yuridis normatif diterapkan melalui tinjauan pustaka yang melihat data sekunder dari temuan penelitian, hasil kajian, dan referensi lainnya, serta data sekunder dari peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, perjanjian, kontrak, dan dokumen hukum lainnya.

 Literatur tentang isu yang diteliti memberikan kepercayaan pada penyelidikan ini. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan untuk menemukan bahan tertulis seperti dokumen dan tulisan dengan mencari undang-undang, makalah, penelitian ahli, dan literatur ilmiah. Penelitian ini memanfaatkan sumber pustaka atau data sekunder sebagai sumber utamanya. Sumber primer, sekunder, dan tersier termasuk dalam kategori dokumen hukum sekunder. Data sekunder kualitatif adalah jenis data yang digunakan dan diselidiki lebih lanjut dengan menggunakan undang-undang yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Selanjutnya, pendekatan triangulasi digunakan untuk mengevaluasi data yang dikumpulkan dan diteliti, dengan tujuan untuk menjamin keakuratan data yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang.

 

 

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Unit link Berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan

Aspek mendasar dari keberadaan manusia di dunia adalah ketidakpastian yang terus-menerus. Baik keuntungan atau kerugian mungkin timbul dari situasi yang tidak terduga ini. Besarnya kerugian akan menyebabkan nilai ekonomi hidupnya berkurang atau bahkan hilang. Risiko adalah komponen penting dalam menjalani kehidupan normal. Resiko merupakan suatu hal yang akan selalu ada bagi manusia. Definisi risiko sendiri menjelaskan hal ini: risiko adalah hasil, bahaya, atau konsekuensi yang mungkin timbul dari prosedur, aktivitas, atau kejadian di masa depan (Agra et al., 2022). Salah satu proses atau kegiatan yang mempunyai risiko atau akibat adalah yang berhubungan dengan asuransi. Salah satu layanan yang dapat membantu mengurangi atau menghilangkan potensi bahaya adalah asuransi. Artinya segala potensi kerugian di masa depan ditanggung oleh perusahaan asuransi.

Dalam perkembangan selanjutnya, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 karena kini lebih banyak mengatur aspek usaha perasuransian. Hal ini dilakukan untuk menyikapi berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dirinci pada bab XIII dan 28 Pasal serta tidak membatalkan ketentuan asuransi yang terdapat dalam KUHD. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian merupakan undang-undang positif yang mengatur mengenai perasuransian di Indonesia, seiring dengan perubahan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembinaan dan Penguatan Sektor Keuangan (Ichsan & Suriaatmadja, 2019). Hal itu berdasarkan undang-undang yang dirinci dalam Bab XVIII dan 92 Pasal.

Karena polis merupakan satu-satunya catatan tertulis yang membuktikan terjadinya suatu asuransi, maka kepastian hukum sangatlah penting bagi pemegang polis asuransi. Polis asuransi berfungsi sebagai bukti keberadaan perjanjian asuransi yang berkekuatan hukum dengan menunjukkan bahwa telah terjadi pengalihan risiko, seperti asuransi kerugian atau jiwa, kepada perusahaan asuransi. Menurut Abdul Kadir Muhammad, risiko suatu kejadian yang dapat mengakibatkan kerugian yang membahayakan kepentingan tertanggung diserahkan kepada perusahaan asuransi kerugian yang bertindak sebagai penjamin melalui perjanjian asuransi.

Pemegang polis berada dalam situasi rentan ketika perusahaan asuransi menggunakan unitlink secara tertutup. “Biaya yang harus dibayar dan risiko berinvestasi di unitlink harus diketahui pemegang polis dengan membaca proposal secara cermat.” Karena tenaga penjual asuransi bisa sangat persuasif dan mungkin tidak selalu menghormati kepentingan dan kepastian hukum pemegang polis, maka pemegang polis asuransilah yang memutuskan apakah akan mengikuti program unit link atau tidak.

Dengan kata lain, klasifikasi menentukan bagaimana perjanjian asuransi dilaksanakan. Misalnya, terdapat klausul khusus dalam polis asuransi kesehatan yang menentukan apakah pengalihan risiko untuk semua kondisi mencakup biaya operasi medis atau tidak. Kinerja diwujudkan dalam polis asuransi yang seimbang berdasarkan nilai kinerja. Misalnya, manfaat yang diharapkan dibandingkan dengan kebutuhan tertanggung atau peserta untuk membayar pembayaran asuransi setiap bulan. Nilai risiko yang ditransmisikan meningkat seiring dengan besarnya premi yang perlu dibayarkan secara berkala.

Sebagai jaminan dari suatu polis asuransi kesehatan, misalnya, perusahaan asuransi tentu mengharapkan seseorang yang menjaga kesehatannya dengan baik agar tidak sakit atau bahkan perlu dioperasi, karena biayanya mahal. Operasi jantung, operasi kebidanan, dan penyakit serius lainnya merupakan prosedur pembedahan yang memakan biaya mahal. Meskipun demikian, meskipun rata-rata orang berusaha menjaga kesehatannya, tidak pernah sakit selama bertahun-tahun, tidak pernah memerlukan operasi, dan tidak pernah sakit, namun tertanggung tetap wajib membayar premi asuransi.

Mengingat tingkat persaingan dan banyaknya produk dan layanan yang dapat diakses, yang menempatkan konsumen pada posisi tawar yang buruk, kejelasan hukum sangatlah penting. Pelanggan berhak atas kejelasan sebagai berikut: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa dan memperolehnya sesuai dengan nilai tukar, syarat-syarat, dan jaminan yang dijanjikan; hak atas penggantian atau kompensasi apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

Hak pemegang polis juga terdapat dalam Pasal 52 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023, yaitu:

Pasal 52

1)    Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka hak Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, dan pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi akan dibagikan lebih banyak. daripada hak pihak lain.

2)    Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka hasil pertanggungan wajib digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis, tertanggung, atau orang lain yang berhak menerima manfaat.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 dengan jelas menguraikan sanksi hukum atas pelanggaran bisnis asuransi. Otoritas Jasa Keuangan dapat mengambil tindakan dengan memberikan peringatan, pembatasan operasional, pelarangan pemasaran produk asuransi, pemberian sanksi pidana, atau bahkan pembatalan izin usaha, apabila suatu usaha asuransi dalam pelaksanaannya melanggar peraturan perundang-undangan.

Selain itu, sejumlah pertimbangan lain mempersulit pemberian kepastian hukum kepada pemegang polis asuransi, antara lain:

1)    Tindakan hukum yang tidak efisien dalam menyelesaikan perselisihan dalam industri asuransi. Tertanggung menggunakan berbagai tindakan hukum untuk menyelesaikan perselisihan dengan asuransinya. Namun demikian, masalah non-pembayaran tidak diselesaikan dengan mencari solusi atas perselisihan tersebut. Keinginan tertanggung untuk menerima uangnya kembali tidak terakomodasi oleh beberapa upaya hukum yang ada. Kenyataan bahwa upaya hukum yang dituangkan dalam undang-undang Indonesia tidak memihak tertanggung merupakan salah satu hal yang menghambat penyelesaian perselisihan ini. Adanya bahan hukum yang tidak efektif ini tentunya semakin mempersulit pihak tertanggung untuk menyelesaikan perselisihan dengan pihak asuransi tersebut.

2)    Ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam menyikapi permasalahan. Salah satu komponen sistem hukum adalah masyarakat penegak hukum. Salah satu komponen kerangka hukum yang mungkin berdampak pada efisiensi dan kelancaran sistem hukum yang dibangun atas dasar kepastian hukum adalah aparatur hukum. Aparat penegak hukum ini harus mendorong pembentukan sistem peradilan yang efisien dengan merespons secara cepat dan tegas. Terkait dengan persoalan tidak dibayarnya, aparat penegak hukum tentunya mempunyai peran penting dalam memastikan bahwa tertanggung asuransi mendapatkan keadilan. Kurangnya ketegasan aparat penegak hukum dalam menangani kasus gagal bayar perusahaan asuransi. Aparat penegak hukum harus berada di bawah arahan Otoritas Jasa Keuangan, sebuah lembaga pemerintah. Peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan sangatlah penting. Salah satu strategi pencegahan dini mungkin adalah sikap tegas Otoritas Jasa Keuangan terhadap aksi korporasi yang dilakukan perusahaan asuransi.

Kepastian hukum yang mempunyai komponen hukum berkaitan dengan kepastian tertanggung. Bukan hanya hak yang berwujud, tetapi juga hak yang tidak berwujud atau imajiner termasuk di antara materi yang memperoleh kepastian. Dengan kata lain, kepastian hukum yang diberikan terhadap hak-hak konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 sebenarnya sama dengan jaminan yang dinikmati oleh tertanggung. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Pelanggan, tertanggung dalam hal ini dapat dianggap sebagai pelanggan.

 

Pengaturan Usaha Perasuransian Unit link Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan

Dalam upaya menarik minat calon tertanggung, perusahaan asuransi kini memperkenalkan sejumlah inovasi dalam penawaran asuransinya. Hal ini sesuai dengan ucapan Panji Adhisetiawan yang mengutip Reinhard Nainggolan, Kepala Biro Riset Info Bank, yang mengatakan masih banyak masyarakat yang ragu membeli produk asuransi karena yakin akan merugi jika harus membayar premi asuransi.

Oleh karena itu, perusahaan asuransi membuat asuransi unit link, atau asuransi yang memadukan unsur investasi dan asuransi (Ramdhani et al., 2021). Karena produk asuransi unit link dapat memberikan keuntungan investasi bagi pemegang polis selain perlindungan, sehingga dapat meningkatkan minat konsumen dalam membayar premi asuransi. Penemuan ini mempunyai kekuatan untuk mengubah opini masyarakat dengan menunjukkan bahwa meskipun tidak ada bahaya yang dihadapi pemegang polis asuransi, membayar premi asuransi untuk produk asuransi unit link tidak akan sia-sia.

Karena asas indemnitas menjadi landasan mekanisme kerja perjanjian asuransi dan memberikan arah pada tujuannya, maka produk asuransi unit link cenderung lebih menekankan pada pemberian fasilitas ekonomi yang selaras dengan prinsip dasar asuransi. Ringkasnya, industri asuransi juga mempunyai aktivitas yang sangat unik dan beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat terkait dengan kepentingan publik dalam beberapa situasi. Adanya rasa aman karena pihak penyedia asuransi langsung menanggung setiap risiko dari beberapa pihak. Mengingat besarnya ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, layanan tersebut harus mampu memenuhi permintaan konsumen.

Sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi digunakan dalam pelaksanaan Kegiatan Asuransi Unit link. Sebuah organisasi yang sengaja diciptakan dan dibentuk untuk menerima dan mengambil risiko adalah perusahaan asuransi. Dalam hal ini, perusahaan asuransi pada dasarnya memberikan layanan perlindungan sebagai barangnya kepada mereka yang memerlukannya, dengan harapan bahwa orang-orang tersebut pada akhirnya akan menjadi kliennya. Untuk mencapai tujuan khusus mereka, perusahaan asuransi memiliki ciri dan tujuan operasional yang berbeda. Korporasi ingin kliennya siap mengambil risiko apa pun. Oleh karena itu, bisnis asuransi diciptakan dan dikelola sedemikian rupa sehingga memungkinkannya memenuhi perannya sebagai organisasi yang menanggung dan menanggung risiko pihak ketiga.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Pasal 1 menyebutkan asuransi adalah perjanjian antara pemegang polis dan perusahaan asuransi. Perjanjian ini menjadi landasan bagi perusahaan asuransi untuk menerima premi sebagai pembayarannya:

1)  Membayar kepada pemegang polis atau tertanggung atas setiap dan seluruh kerugian, kerusakan, biaya, hilangnya keuntungan, atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin timbul akibat terjadinya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga; atau

2)  Membayar manfaat yang besarnya telah ditentukan pada saat tertanggung meninggal dunia atau bertahan hidup, serta bergantung pada hasil pengelolaan dana.

3)  Sesuai dengan pedoman Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 32 /SEOJK.05/2016 tentang Saluran Pemasaran Produk Asuransi Perlunya suatu produk asuransi bersifat unit link jika dipromosikan melalui Kerjasama dengan Bank (Bancassurance) . Termasuk dalam kategori Produk Asuransi Terkait Investasi (PAYDI), pelaku usaha wajib memastikan bahwa sebelum menutup suatu produk asuransi, calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta telah mendapat informasi lengkap mengenai keuntungan, biaya, dan risiko yang terkait. dengan produk asuransi yang ditawarkan bank.

Pemegang polis asuransi dengan sendirinya menanggung akibat hukum karena melanggar perjanjian asuransi. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan untuk menggunakan haknya untuk menggunakan kebijakan tersebut, dan terserah padanya untuk memutuskan bagaimana menyelesaikan situasi tersebut sesuai dengan konsep penyelesaian sengketa yang relevan—melalui penyelesaian sengketa eksternal atau pengadilan. pengadilan. Penulis berpendapat jika mencermati aturan dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Kepastian Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Anda akan melihat bahwa kepastian hukum pemegang polis lebih bermakna dibandingkan kepastian hukum perusahaan asuransi.

 

Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian yakni: (1) Utang Tujuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembinaan dan Penguatan Sektor Keuangan perubahannya beserta Peraturan Dunia Usaha yang terkandung di dalamnya adalah untuk menetapkan kebijakan pengaturan dan pengawasan perasuransian. Hal ini akan memungkinkan asuransi menjadi lebih maju di masa depan dan mampu bersaing dengan negara-negara maju di pasar asuransi. Salah satu kebijakan tersebut adalah pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengawasi dan melaksanakan tugas terkait perizinan usaha perasuransian, tata kelola administrasi perasuransian, perubahan kepemilikan, merger dan konsolidasi, serta pembubaran. Kebangkrutan dan likuidasi pada industri asuransi Indonesia. Dan (2) Berkat beberapa persyaratan undang-undang, pemegang polis asuransi yang mengikatkan diri pada perusahaan asuransi melalui perjanjian asuransi dapat menikmati kepastian hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dan Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Mengingat pemegang polis asuransi pada umumnya adalah individu dan sering kali mengalami situasi keuangan yang tidak menentu ketika berinteraksi dengan perusahaan asuransi, banyak dari undang-undang dan peraturan ini yang memberikan perhatian dan kepastian hukum yang lebih besar kepada pemegang polis mengenai kemungkinan atau peluang bagi perusahaan asuransi untuk melanggar hukum.

 

BIBLIOGRAFI

 

Afrita, I., & Arifalina, W. (2021). Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Asuransi Jiwa terhadap Tertanggung dalam Pembayaran Klaim Asuransi. Jurnal Hukum Respublica, 20(2). https://doi.org/10.31849/respublica.v20i2.7232

Chumaida, Z. V. (2013). Risiko dalam Perjanjian Asuransi Jiwa. In Repository Unair.

Agra, F. T., Erif, R., Nadiyah, H., Alifia, F. N., & Syti, S. M. (2022). Analisis Manajemen Risiko Bisnis (Studi pada Kedai Kopi & Rempah Trem). Jurnal Administrasi Kantor, 10(2).

Hasibuan, J., Matwar, H., Arif, M., Lubis, H., Mubarok, H., Ekonomi, F., & Islam, B. (2022). Urgensi Penerapan Good Corporate Governance pada Perusahaan Asuransi di Indonesia. JIKEM: Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan Manajemen, 2(2).

Ichsan, M., & Suriaatmadja, T. T. (2019). Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Polis Asuransi pada Perusahaan Asuransi Pailit karena dicabut Izin oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Prosiding Ilmu Hukum.

Iip Harnoto Prayogo. (2023). Perlindungan Hukum Pemegang Polis Asuransi Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Alhamra  Jurnal Studi Islam, vol 4(1).

Inayah, W. N., & Marsitiningsih, M. (2021). Perlindungan Hukum atas Kerugian Nasabah Asuransi Terhadap Kasus Gagal Bayar Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kosmik Hukum, 21(2). https://doi.org/10.30595/kosmikhukum.v21i2.9995

Khasanah, L. A. U., Fitriani, A., & Febiana, C. (2021). Analisa Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Pegawai Unit Asuransi Jppk Di Rumah Sakit Kota Bandung. Jurnal Menara Medika, 4(1).

Parera, M. F., Indawati, L., Rumana, N. A., & Yulia, N. (2022). Manajemen Risiko Di Ruang Penyimpanan Rekam Medis (Literature Review). Journal of Innovation …, 1(10).

Parinduri, F. A., Firdaus, F., & Hasanah, U. (2022). Analisis Yuridis Kedudukan Nasabah Asuransi Dalam Mengajukan Permohonan Pkpu Dan Kepailitan Terhadap Perusahaan Asuransi Akibat Gagal Bayar Produk Asuransi Jiwa Kresna Link Investa (K-LITA) PT Asuransi Jiwa Kresna. SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Hukum, 1(2). https://doi.org/10.55681/seikat.v1i2.213

Pawitri, R. N. (2017). Kedudukan Dan Perlindungan Hukum Pemegang Polis Pada Perusahaan Asuransi Yang Pailit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Wacana Hukum, XXIII(April).

Pradana, Y. A., & Rikumahu, B. (2014). Penerapan Manajemen Risiko terhadap Perwujudan Good Corporate Governance pada Perusahaan Asuransi. TRIKONOMIKA, 13(2). https://doi.org/10.23969/trikonomika.v13i2.614

Ramdhani, L. S., Qomara, D., Mutiara, E., & Hudin, J. M. (2021). Analisis Pemilihan Rekomendasi Produk Asuransi Jiwasraya Berdasarkan Kebutuhan Nasabah Menggunakan Metode Simple Additive Weighting (SAW). Swabumi, 9(2). https://doi.org/10.31294/swabumi.v9i2.11371

Setiawati, N. S. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Dalam Menyelesaikan Sengketa Klaim Asuransi. Spektrum Hukum, 15(1). https://doi.org/10.35973/sh.v15i1.1115

Suisno, S. (2015). Tinjauan Yuridis Tindak Pelanggaran Usaha Perasuransian Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Jurnal Independent, 3(1). https://doi.org/10.30736/ji.v3i1.32

Susanto, M. H., Muizz, F. N., & Marwa, M. H. M. (2021). Penerapan alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi atas premi pemegang polis di PT. Asuransi Jasindo Yogyakarta. Borobudur Law Review, 3(2). https://doi.org/10.31603/burrev.5253

Syamsiar, R. (2015). Manfaat Dan Mekanisme Penyelesaian Klaim Asuransi Prudential. FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum, 7(1). https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no1.365

 

 

Copyright holder:

Wilbert Fernando Ansany, Christine S.T. Kansil (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: