Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
9, September 2024
TINJAUAN KEPASTIAN HUKUM
TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI UNIT LINK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
Wilbert Fernando Ansany1, Christine S.T. Kansil2
Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Karena adanya
praktik perjanjian baku dalam perjanjian asuransi, maka pemegang polis memerlukan
kepastian hukum. Dengan kata lain, setelah menandatangani polis, sebenarnya
tertanggung kurang mempunyai kepastian hukum karena perusahaan asuransi
menghasilkan lebih banyak uang dari isi atau format perjanjian. Tujuan dari
kepastian hukum bagi pemegang polis asuransi dipertanyakan karena posisi
perusahaan asuransi dan pemegang polis yang tidak seimbang terhadap perjanjian
baku. Penelitian ini mengkaji tentang kepastian hukum seputar kerugian pemegang
polis asuransi dalam skenario non-pembayaran yang dimaknai Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta tantangan kepastian hukum
seputar skenario non-pembayaran yang melibatkan kerugian pemegang polis
asuransi yang dimaknai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. . Penelitian ini menggunakan teknik yuridis normatif yang
penelitiannya melalui telaah pustaka dan analisis data sekunder. Dalam hal ini
pemegang polis asuransi adalah nasabah yang memanfaatkan jasa asuransi yang
dalam menjalankan usahanya berhak mendapat kepastian hukum dari segala sesuatu
yang dapat merugikan nasabah. Kepastian hukum yang ditawarkan bagi nasabah
pengguna jasa atau pemegang polis asuransi secara tegas tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya
dengan berupaya semaksimal mungkin untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang
polis.
Kata kunci: Pemegang Polis,
Polis, Unit Link
Abstract
Due to the practice of standard agreements in insurance contracts,
policyholders require legal certainty. In other words, after signing the
policy, the insured actually has less legal certainty because the insurance
company generates more revenue from the content or format of the agreement. The
aim of legal certainty for insurance policyholders is questioned because of the
unequal position between the insurance company and the policyholder regarding
the standard agreement. This study examines the legal certainty surrounding the
losses of insurance policyholders in non-payment scenarios as defined by Law
Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, as well as the challenges of
legal certainty regarding non-payment scenarios involving the losses of
insurance policyholders as defined by Law Number 8 of 1999 concerning Consumer
Protection. This study uses normative juridical techniques, with research
conducted through literature review and secondary data analysis. In this case,
insurance policyholders are customers who utilize insurance services and, in
running their business, are entitled to legal certainty from anything that can
harm them. The legal certainty offered to customers who use insurance services
or policyholders is explicitly stated in Law Number 8 of 1999 concerning
Consumer Protection, particularly by making maximum efforts to guarantee legal
certainty for policyholders.
Keywords: Policyholders, Policies, Unit Link
Pendahuluan
Perjanjian antara tertanggung dan penanggung merupakan
suatu polis asuransi. Pemegang polis adalah pihak tertanggung dalam hal ini,
dan perusahaan asuransi adalah penanggung
Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang, termasuk individu
dan badan usaha, rentan terhadap berbagai bahaya. Bagi para profesional dan
pelaku usaha yang memiliki keahlian dalam menjalankan usahanya, risiko yang
terkait dengan operasional sehari-hari biasanya dialihkan ke lembaga asuransi
dan bukan dikelola langsung oleh mereka
Keanekaragaman asuransi semakin meluas seiring dengan
kebutuhan masyarakat dan upaya perusahaan asuransi untuk mendongkrak
keuntungan. Masyarakat umum sudah mengenal sejumlah produk asuransi, antara
lain asuransi kesehatan, jiwa, pendidikan, dan kendaraan bermotor. Selain
tingginya antusiasme masyarakat dan perusahaan asuransi atas penjualan produk
unit link yang masif, terdapat pula risiko yang cukup besar karena banyak
perusahaan asuransi yang gagal membayar pemegang polis
Masyarakat Indonesia baru mulai memahami betapa pentingnya
asuransi. Produk kesehatan hadir dalam berbagai variasi, seperti halnya
asuransi pendidikan, dan frasa “unit link” itu sendiri. Unit link adalah jenis
polis asuransi jiwa perorangan yang menawarkan manfaat perlindungan asuransi
jiwa dan kesempatan untuk mengelola investasi secara aktif. Nilai polis
berfluktuasi berdasarkan nilai aset investasi
Produk unit link memberikan solusi bagi pemegang polis
sehingga mereka mendapatkan kepastian investasi selain keuntungan asuransi.
Biasanya, investasi jangka panjang dengan perlindungan asuransi minimal menjadi
tujuan memperoleh polis jenis ini. Anggota polis asuransi unit link membayar
premi secara rutin, biasanya bulanan, sama seperti asuransi biasa.
Fungsi Asuransi pada dasarnya sebagai alat untuk
mengalihkan risiko, mengalihkan risiko dari satu pihak—tertanggung—ke pihak
lain yang disebut penanggung
Sebagai imbalannya, tertanggung harus membayar premi yang
tidak terlalu besar mengingat kemungkinan kerugian yang mungkin mereka alami.
Meski demikian, saat ini banyak sekali oknum yang menyalahgunakan tujuan utama
asuransi dengan berpura-pura menjadi perusahaan sah dan memegang izin usaha
asuransi, padahal hal tersebut melanggar hukum. Akibatnya, uang yang
diasuransikan salah tempat dan diambil oleh entitas yang mengaku menawarkan
layanan asuransi.
Produk asuransi unit link ini tidak dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 yang mengatur tentang perusahaan asuransi,
karena tidak ada pasal yang jelas yang mengatur tentang jenis penjaminan bagi
tertanggung asuransi unit link
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk
menjamin kepastian hukum untuk memberikan kepastian kepada konsumen.”
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara spesifik
menyebutkan bahwa nasabah pengguna jasa atau pemegang polis asuransi diberikan
kepastian hukum
Asuransi jiwa diartikan sebagai perjanjian antara dua pihak
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Pasal 1 Angka 6. Dalam hal ini konsumen
sebagai tertanggung dan perusahaan asuransi jiwa sebagai penanggung. Polis
tersebut mengharuskan penanggung untuk memberikan kompensasi kepada tertanggung
apabila terjadi suatu risiko, dan tertanggung membayar premi kepada penanggung
selama masa asuransi.
Pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada pelanggan
atas kerugian, pencemaran, dan/atau kerugian yang timbul dari konsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau ditukarkan, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena
konsumen menghadapi biaya peluang, perusahaan asuransi diwajibkan oleh hukum
untuk memberikan kompensasi kepada pelanggan karena tidak menerima pembayaran
polis pada saat jatuh tempo. Paradoksnya, gugatan perusahaan asuransi sudah
masuk ke ranah politik dan bukan lagi sekadar ranah hukum.
Sayangnya, pemegang polis tidak selalu mendapat jaminan
kepastian hukum dengan perkembangan sektor asuransi saat ini. Karena banyaknya
jenis produk asuransi yang tersedia, seringkali pemegang polis merasa kesulitan
untuk mendapatkan pembayaran klaim ketika terjadi kecelakaan. Pemegang polis
merasa dirugikan karena imbal hasil asuransi unit link tidak sesuai dengan
persentase yang telah ditetapkan, hal ini menjadi salah satu permasalahannya.
Kenyataannya, perusahaan asuransi tidak mampu membayar kembali pengembalian
produk unit link kepada pemegang polis; dengan kata lain, mereka tidak mampu
membayar.
Asuransi Kresna Life merupakan salah satu situasi
keruntuhan asuransi yang terjadi pada pertengahan tahun 2020. Dalam hal ini
terdapat permasalahan likuiditas pada portofolio investasi Asuransi Kresna
Life. Kresna Link Investa (KLITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK), dua produk
asuransi Kresna Life Insurance, mengalami keterlambatan pembayaran akibat
ketentuan tersebut. Perusahaan Asuransi Jiwa Kresna sebelumnya menjanjikan
imbal hasil sekitar 9% atas dua kontrak asuransi unit link tersebut.
Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kejelasan bagi konsumen
mengenai kepastian. Sekalipun undang-undang adalah produk politik, politisi
tidak boleh membatalkannya dalam masyarakat yang berdasarkan supremasi hukum.
Pelanggan perusahaan asuransi akan lebih banyak mengalami kesalahan jika hal
ini terjadi. Karena konsumen adalah partisipan dalam perekonomian, mereka harus
dilindungi. Kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dapat melemah karena
pembayaran polis yang tidak dapat diprediksi. Perkembangan sektor asuransi
mendorong kemajuan perekonomian suatu bangsa. Ini tentu saja merupakan
keputusan yang menantang.
Karena adanya praktik perjanjian baku dalam perjanjian
asuransi, maka pemegang polis memerlukan kepastian hukum. Dengan kata lain,
setelah menandatangani polis, sebenarnya tertanggung kurang mempunyai kepastian
hukum karena perusahaan asuransi menghasilkan lebih banyak uang dari isi atau
format perjanjian. Tujuan dari kepastian hukum bagi pemegang polis asuransi
dipertanyakan karena posisi perusahaan asuransi dan pemegang polis yang tidak
seimbang terhadap perjanjian baku.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang
diambil adalah sebagai berikut: pertama, bagaimana kepastian hukum terhadap
pemegang polis asuransi unit link berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023
tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan? Kedua, bagaimana pengaturan
usaha perasuransian unit link menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: pertama, untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum
terhadap pemegang polis asuransi unit link berdasarkan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Kedua, untuk
mengetahui bagaimana pengaturan usaha perasuransian unit link menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan.
Metode Penelitian
Karena penelitian ini mengkaji permasalahan sosial dari
sudut pandang hukum, maka penelitian ini dianggap sebagai penelitian hukum.
Studi hukum hadir dalam dua bentuk: normatif dan empiris. Metodologi yuridis
normatif yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik yuridis normatif
diterapkan melalui tinjauan pustaka yang melihat data sekunder dari temuan
penelitian, hasil kajian, dan referensi lainnya, serta data sekunder dari
peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, perjanjian, kontrak, dan
dokumen hukum lainnya.
Literatur tentang
isu yang diteliti memberikan kepercayaan pada penyelidikan ini. Proses
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan untuk
menemukan bahan tertulis seperti dokumen dan tulisan dengan mencari
undang-undang, makalah, penelitian ahli, dan literatur ilmiah. Penelitian ini
memanfaatkan sumber pustaka atau data sekunder sebagai sumber utamanya. Sumber
primer, sekunder, dan tersier termasuk dalam kategori dokumen hukum sekunder.
Data sekunder kualitatif adalah jenis data yang digunakan dan diselidiki lebih
lanjut dengan menggunakan undang-undang yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti. Selanjutnya, pendekatan triangulasi digunakan untuk mengevaluasi data
yang dikumpulkan dan diteliti, dengan tujuan untuk menjamin keakuratan data
yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang.
Hasil dan Pembahasan
Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Unit link Berdasarkan
Undang-Undang nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan
Aspek mendasar dari keberadaan manusia di dunia adalah
ketidakpastian yang terus-menerus. Baik keuntungan atau kerugian mungkin timbul
dari situasi yang tidak terduga ini. Besarnya kerugian akan menyebabkan nilai
ekonomi hidupnya berkurang atau bahkan hilang. Risiko adalah komponen penting
dalam menjalani kehidupan normal. Resiko merupakan suatu hal yang akan selalu
ada bagi manusia. Definisi risiko sendiri menjelaskan hal ini: risiko adalah
hasil, bahaya, atau konsekuensi yang mungkin timbul dari prosedur, aktivitas,
atau kejadian di masa depan
Dalam perkembangan selanjutnya, dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 karena kini lebih banyak mengatur
aspek usaha perasuransian. Hal ini dilakukan untuk menyikapi berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dirinci pada
bab XIII dan 28 Pasal serta tidak membatalkan ketentuan asuransi yang terdapat
dalam KUHD. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian merupakan
undang-undang positif yang mengatur mengenai perasuransian di Indonesia, seiring
dengan perubahan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023
tentang Pembinaan dan Penguatan Sektor Keuangan
Karena polis merupakan satu-satunya catatan tertulis yang
membuktikan terjadinya suatu asuransi, maka kepastian hukum sangatlah penting
bagi pemegang polis asuransi. Polis asuransi berfungsi sebagai bukti keberadaan
perjanjian asuransi yang berkekuatan hukum dengan menunjukkan bahwa telah
terjadi pengalihan risiko, seperti asuransi kerugian atau jiwa, kepada
perusahaan asuransi. Menurut Abdul Kadir Muhammad, risiko suatu kejadian yang
dapat mengakibatkan kerugian yang membahayakan kepentingan tertanggung diserahkan
kepada perusahaan asuransi kerugian yang bertindak sebagai penjamin melalui
perjanjian asuransi.
Pemegang polis berada dalam situasi rentan ketika
perusahaan asuransi menggunakan unitlink secara tertutup. “Biaya yang harus
dibayar dan risiko berinvestasi di unitlink harus diketahui pemegang polis
dengan membaca proposal secara cermat.” Karena tenaga penjual asuransi bisa
sangat persuasif dan mungkin tidak selalu menghormati kepentingan dan kepastian
hukum pemegang polis, maka pemegang polis asuransilah yang memutuskan apakah
akan mengikuti program unit link atau tidak.
Dengan kata lain, klasifikasi menentukan bagaimana
perjanjian asuransi dilaksanakan. Misalnya, terdapat klausul khusus dalam polis
asuransi kesehatan yang menentukan apakah pengalihan risiko untuk semua kondisi
mencakup biaya operasi medis atau tidak. Kinerja diwujudkan dalam polis
asuransi yang seimbang berdasarkan nilai kinerja. Misalnya, manfaat yang
diharapkan dibandingkan dengan kebutuhan tertanggung atau peserta untuk
membayar pembayaran asuransi setiap bulan. Nilai risiko yang ditransmisikan
meningkat seiring dengan besarnya premi yang perlu dibayarkan secara berkala.
Sebagai jaminan dari suatu polis asuransi kesehatan,
misalnya, perusahaan asuransi tentu mengharapkan seseorang yang menjaga
kesehatannya dengan baik agar tidak sakit atau bahkan perlu dioperasi, karena
biayanya mahal. Operasi jantung, operasi kebidanan, dan penyakit serius lainnya
merupakan prosedur pembedahan yang memakan biaya mahal. Meskipun demikian,
meskipun rata-rata orang berusaha menjaga kesehatannya, tidak pernah sakit
selama bertahun-tahun, tidak pernah memerlukan operasi, dan tidak pernah sakit,
namun tertanggung tetap wajib membayar premi asuransi.
Mengingat tingkat persaingan dan banyaknya produk dan
layanan yang dapat diakses, yang menempatkan konsumen pada posisi tawar yang
buruk, kejelasan hukum sangatlah penting. Pelanggan berhak atas kejelasan
sebagai berikut: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa dan
memperolehnya sesuai dengan nilai tukar, syarat-syarat, dan jaminan yang
dijanjikan; hak atas penggantian atau kompensasi apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Hak pemegang polis
juga terdapat dalam Pasal 52 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023,
yaitu:
Pasal 52
1) Dalam
hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
atau Perusahaan Reasuransi Syariah dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka hak
Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, dan pihak lain yang berhak atas manfaat
asuransi akan dibagikan lebih banyak. daripada hak pihak lain.
2) Dalam
hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dinyatakan pailit atau
dilikuidasi, maka hasil pertanggungan wajib digunakan untuk memenuhi kewajiban
kepada pemegang polis, tertanggung, atau orang lain yang berhak menerima
manfaat.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 dengan jelas menguraikan
sanksi hukum atas pelanggaran bisnis asuransi. Otoritas Jasa Keuangan dapat
mengambil tindakan dengan memberikan peringatan, pembatasan operasional,
pelarangan pemasaran produk asuransi, pemberian sanksi pidana, atau bahkan
pembatalan izin usaha, apabila suatu usaha asuransi dalam pelaksanaannya
melanggar peraturan perundang-undangan.
Selain itu,
sejumlah pertimbangan lain mempersulit pemberian kepastian hukum kepada
pemegang polis asuransi, antara lain:
1) Tindakan
hukum yang tidak efisien dalam menyelesaikan perselisihan dalam industri
asuransi. Tertanggung menggunakan berbagai tindakan hukum untuk menyelesaikan
perselisihan dengan asuransinya. Namun demikian, masalah non-pembayaran tidak
diselesaikan dengan mencari solusi atas perselisihan tersebut. Keinginan
tertanggung untuk menerima uangnya kembali tidak terakomodasi oleh beberapa
upaya hukum yang ada. Kenyataan bahwa upaya hukum yang dituangkan dalam
undang-undang Indonesia tidak memihak tertanggung merupakan salah satu hal yang
menghambat penyelesaian perselisihan ini. Adanya bahan hukum yang tidak efektif
ini tentunya semakin mempersulit pihak tertanggung untuk menyelesaikan
perselisihan dengan pihak asuransi tersebut.
2) Ketidaktegasan
aparat penegak hukum dalam menyikapi permasalahan. Salah satu komponen sistem
hukum adalah masyarakat penegak hukum. Salah satu komponen kerangka hukum yang
mungkin berdampak pada efisiensi dan kelancaran sistem hukum yang dibangun atas
dasar kepastian hukum adalah aparatur hukum. Aparat penegak hukum ini harus
mendorong pembentukan sistem peradilan yang efisien dengan merespons secara
cepat dan tegas. Terkait dengan persoalan tidak dibayarnya, aparat penegak
hukum tentunya mempunyai peran penting dalam memastikan bahwa tertanggung
asuransi mendapatkan keadilan. Kurangnya ketegasan aparat penegak hukum dalam
menangani kasus gagal bayar perusahaan asuransi. Aparat penegak hukum harus
berada di bawah arahan Otoritas Jasa Keuangan, sebuah lembaga pemerintah. Peran
Otoritas Jasa Keuangan sebagai badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan
sangatlah penting. Salah satu strategi pencegahan dini mungkin adalah sikap
tegas Otoritas Jasa Keuangan terhadap aksi korporasi yang dilakukan perusahaan
asuransi.
Kepastian hukum yang mempunyai komponen hukum berkaitan
dengan kepastian tertanggung. Bukan hanya hak yang berwujud, tetapi juga hak
yang tidak berwujud atau imajiner termasuk di antara materi yang memperoleh
kepastian. Dengan kata lain, kepastian hukum yang diberikan terhadap hak-hak
konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
sebenarnya sama dengan jaminan yang dinikmati oleh tertanggung. Menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Pelanggan, tertanggung dalam
hal ini dapat dianggap sebagai pelanggan.
Pengaturan Usaha Perasuransian Unit link Menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan
Dalam upaya menarik minat calon tertanggung, perusahaan
asuransi kini memperkenalkan sejumlah inovasi dalam penawaran asuransinya. Hal
ini sesuai dengan ucapan Panji Adhisetiawan yang mengutip Reinhard Nainggolan,
Kepala Biro Riset Info Bank, yang mengatakan masih banyak masyarakat yang ragu
membeli produk asuransi karena yakin akan merugi jika harus membayar premi
asuransi.
Oleh karena itu, perusahaan asuransi membuat asuransi unit
link, atau asuransi yang memadukan unsur investasi dan asuransi
Karena asas indemnitas menjadi landasan mekanisme kerja perjanjian
asuransi dan memberikan arah pada tujuannya, maka produk asuransi unit link
cenderung lebih menekankan pada pemberian fasilitas ekonomi yang selaras dengan
prinsip dasar asuransi. Ringkasnya, industri asuransi juga mempunyai aktivitas
yang sangat unik dan beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung,
sangat terkait dengan kepentingan publik dalam beberapa situasi. Adanya rasa
aman karena pihak penyedia asuransi langsung menanggung setiap risiko dari
beberapa pihak. Mengingat besarnya ketergantungan masyarakat terhadap
perusahaan asuransi, layanan tersebut harus mampu memenuhi permintaan konsumen.
Sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, asuransi digunakan dalam pelaksanaan Kegiatan Asuransi Unit
link. Sebuah organisasi yang sengaja diciptakan dan dibentuk untuk menerima dan
mengambil risiko adalah perusahaan asuransi. Dalam hal ini, perusahaan asuransi
pada dasarnya memberikan layanan perlindungan sebagai barangnya kepada mereka
yang memerlukannya, dengan harapan bahwa orang-orang tersebut pada akhirnya
akan menjadi kliennya. Untuk mencapai tujuan khusus mereka, perusahaan asuransi
memiliki ciri dan tujuan operasional yang berbeda. Korporasi ingin kliennya
siap mengambil risiko apa pun. Oleh karena itu, bisnis asuransi diciptakan dan
dikelola sedemikian rupa sehingga memungkinkannya memenuhi perannya sebagai
organisasi yang menanggung dan menanggung risiko pihak ketiga.
Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2023 Pasal 1 menyebutkan asuransi adalah perjanjian antara pemegang
polis dan perusahaan asuransi. Perjanjian ini menjadi landasan bagi perusahaan
asuransi untuk menerima premi sebagai pembayarannya:
1) Membayar
kepada pemegang polis atau tertanggung atas setiap dan seluruh kerugian,
kerusakan, biaya, hilangnya keuntungan, atau tanggung jawab hukum pihak ketiga
yang mungkin timbul akibat terjadinya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga;
atau
2) Membayar
manfaat yang besarnya telah ditentukan pada saat tertanggung meninggal dunia
atau bertahan hidup, serta bergantung pada hasil pengelolaan dana.
3)
Sesuai dengan pedoman Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 32 /SEOJK.05/2016 tentang Saluran
Pemasaran Produk Asuransi Perlunya suatu produk asuransi bersifat unit link
jika dipromosikan melalui Kerjasama dengan Bank (Bancassurance) . Termasuk
dalam kategori Produk Asuransi Terkait Investasi (PAYDI), pelaku usaha wajib
memastikan bahwa sebelum menutup suatu produk asuransi, calon pemegang polis,
tertanggung, atau peserta telah mendapat informasi lengkap mengenai keuntungan,
biaya, dan risiko yang terkait. dengan produk asuransi yang ditawarkan bank.
Pemegang polis asuransi dengan sendirinya
menanggung akibat hukum karena melanggar perjanjian asuransi. Akibatnya, ia
kehilangan kesempatan untuk menggunakan haknya untuk menggunakan kebijakan
tersebut, dan terserah padanya untuk memutuskan bagaimana menyelesaikan situasi
tersebut sesuai dengan konsep penyelesaian sengketa yang relevan—melalui
penyelesaian sengketa eksternal atau pengadilan. pengadilan. Penulis
berpendapat jika mencermati aturan dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang
Kepastian Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Anda akan melihat bahwa kepastian
hukum pemegang polis lebih bermakna dibandingkan kepastian hukum perusahaan
asuransi.
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian
yakni: (1) Utang Tujuan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023
tentang Pembinaan dan Penguatan Sektor Keuangan perubahannya beserta Peraturan
Dunia Usaha yang terkandung di dalamnya adalah untuk menetapkan kebijakan
pengaturan dan pengawasan perasuransian. Hal ini akan memungkinkan asuransi
menjadi lebih maju di masa depan dan mampu bersaing dengan negara-negara maju
di pasar asuransi. Salah satu kebijakan tersebut adalah pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan penuh
untuk mengawasi dan melaksanakan tugas terkait perizinan usaha perasuransian,
tata kelola administrasi perasuransian, perubahan kepemilikan, merger dan
konsolidasi, serta pembubaran. Kebangkrutan dan likuidasi pada industri
asuransi Indonesia. Dan (2) Berkat
beberapa persyaratan undang-undang, pemegang polis asuransi yang mengikatkan
diri pada perusahaan asuransi melalui perjanjian asuransi dapat menikmati
kepastian hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dan
Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Mengingat pemegang polis asuransi
pada umumnya adalah individu dan sering kali mengalami situasi keuangan yang
tidak menentu ketika berinteraksi dengan perusahaan asuransi, banyak dari
undang-undang dan peraturan ini yang memberikan perhatian dan kepastian hukum
yang lebih besar kepada pemegang polis mengenai kemungkinan atau peluang bagi
perusahaan asuransi untuk melanggar hukum.
BIBLIOGRAFI
Afrita, I., & Arifalina, W. (2021). Tanggung Jawab
Hukum Perusahaan Asuransi Jiwa terhadap Tertanggung dalam Pembayaran Klaim
Asuransi. Jurnal Hukum Respublica, 20(2).
https://doi.org/10.31849/respublica.v20i2.7232
Chumaida, Z. V. (2013). Risiko dalam Perjanjian Asuransi Jiwa. In Repository Unair.
Agra, F. T., Erif, R., Nadiyah, H., Alifia, F. N., & Syti, S. M. (2022). Analisis Manajemen Risiko Bisnis (Studi pada Kedai Kopi & Rempah Trem). Jurnal Administrasi Kantor, 10(2).
Hasibuan, J., Matwar, H., Arif, M., Lubis, H., Mubarok, H., Ekonomi, F., & Islam, B. (2022). Urgensi Penerapan Good Corporate Governance pada Perusahaan Asuransi di Indonesia. JIKEM: Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan Manajemen, 2(2).
Ichsan, M., & Suriaatmadja, T. T. (2019). Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Polis Asuransi pada Perusahaan Asuransi Pailit karena dicabut Izin oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Prosiding Ilmu Hukum.
Iip Harnoto Prayogo. (2023). Perlindungan Hukum Pemegang Polis Asuransi Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Alhamra Jurnal Studi Islam, vol 4(1).
Inayah, W. N., & Marsitiningsih, M. (2021). Perlindungan Hukum atas Kerugian Nasabah Asuransi Terhadap Kasus Gagal Bayar Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kosmik Hukum, 21(2). https://doi.org/10.30595/kosmikhukum.v21i2.9995
Khasanah, L. A. U., Fitriani, A., & Febiana, C. (2021). Analisa Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Pegawai Unit Asuransi Jppk Di Rumah Sakit Kota Bandung. Jurnal Menara Medika, 4(1).
Parera, M. F., Indawati, L., Rumana, N. A., & Yulia, N. (2022). Manajemen Risiko Di Ruang Penyimpanan Rekam Medis (Literature Review). Journal of Innovation …, 1(10).
Parinduri, F. A., Firdaus, F., & Hasanah, U. (2022). Analisis Yuridis Kedudukan Nasabah Asuransi Dalam Mengajukan Permohonan Pkpu Dan Kepailitan Terhadap Perusahaan Asuransi Akibat Gagal Bayar Produk Asuransi Jiwa Kresna Link Investa (K-LITA) PT Asuransi Jiwa Kresna. SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Hukum, 1(2). https://doi.org/10.55681/seikat.v1i2.213
Pawitri, R. N. (2017). Kedudukan Dan Perlindungan Hukum Pemegang Polis Pada Perusahaan Asuransi Yang Pailit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Wacana Hukum, XXIII(April).
Pradana, Y. A., & Rikumahu, B. (2014). Penerapan Manajemen Risiko terhadap Perwujudan Good Corporate Governance pada Perusahaan Asuransi. TRIKONOMIKA, 13(2). https://doi.org/10.23969/trikonomika.v13i2.614
Ramdhani, L. S., Qomara, D., Mutiara, E., & Hudin, J. M. (2021). Analisis Pemilihan Rekomendasi Produk Asuransi Jiwasraya Berdasarkan Kebutuhan Nasabah Menggunakan Metode Simple Additive Weighting (SAW). Swabumi, 9(2). https://doi.org/10.31294/swabumi.v9i2.11371
Setiawati, N. S. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Dalam Menyelesaikan Sengketa Klaim Asuransi. Spektrum Hukum, 15(1). https://doi.org/10.35973/sh.v15i1.1115
Suisno, S. (2015). Tinjauan Yuridis Tindak Pelanggaran Usaha Perasuransian Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Jurnal Independent, 3(1). https://doi.org/10.30736/ji.v3i1.32
Susanto, M. H., Muizz, F. N., & Marwa, M. H. M. (2021). Penerapan alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi atas premi pemegang polis di PT. Asuransi Jasindo Yogyakarta. Borobudur Law Review, 3(2). https://doi.org/10.31603/burrev.5253
Syamsiar, R. (2015). Manfaat Dan Mekanisme Penyelesaian Klaim Asuransi Prudential. FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum, 7(1). https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no1.365
Copyright holder: Wilbert Fernando Ansany, Christine S.T. Kansil (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |