Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TANI: PROSES PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI HUTAN KIBUK DALAM TATA KELOLA PERHUTANAN SOSIAL DI KOTA PAGARALAM

 

Agus1*, Dadang Hikmah Purnama2, Diana Dewi Sartika3

Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1*, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah proses pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk telah mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan tata kelola kelembagaan dan pembangunan perhutanan sosial secara baik. Metode penelitian ini kualitatif verifikatif dengan strategi studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dalam kondisi belum memenuhi syarat menjalankan tata kelola perhutanan sosial secara baik. Kelemahan kapasitas kelembagaan terdapat pada belum terbentuknya struktur kelompok usaha perhutanan sosial di masing-masing kelompok kerja dan masih minimnya gagasan mengenai pembangunan kawasan perhutanan sosial Kibuk. Anggota kelompok tani hutan Kibuk belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri. Kelompok tani hutan Kibuk belum menguasai manajemen, sehingga belum mampu mewujudkan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan kelembagaan. Proses pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk masih mengabaikan penilaian kebutuhan aktual, tidak semua rencana dan strategi aksi dapat dilaksanakan, pelaksanaan program yang terbatas, monitoring dan evaluasi tidak dilaksanakan secara kredibel.

Kata kunci : perhutanan sosial, pengembangan kapasitas kelembagaan, kelompok tani hutan, tata kelola hutan yang baik.

 

Abstract

The aim of this research is to find out whether the process of developing the institutional capacity of the Kibuk forest farmer group has been able to increase the institutional capacity of the Kibuk forest farmer group in carrying out good institutional governance and social forestry development. This research method is qualitative verification with a case study strategy. The research results show that the institutional capacity of the Kibuk forest farmer group does not yet meet the requirements for implementing good social forestry governance. Weaknesses in institutional capacity are found in the lack of a social forestry business group structure in each working group and the lack of ideas regarding the development of the Kibuk social forestry area. Members of the Kibuk forest farmer group have not been able to assume their own responsibilities. The Kibuk forest farmer group has not yet mastered management, so it has not been able to realize transparency and accountability in institutional management. The process of developing the institutional capacity of the Kibuk forest farmer group still ignores the assessment of actual needs, not all action plans and strategies can be implemented, program implementation is limited, monitoring and evaluation are not carried out credibly.

Key words: social forestry, institutional capacity development, forest farmer groups, good forest governance.

Pendahuluan

Pada tahun 2005 hingga 2010 hutan di Indonesia mengalami deforestasi rata-rata sebesar 0,7 juta hektar pertahun sedangkan periode tahun 2013 hingga 2020 total deforestasi mencapai 3,6 juta hektar atau rata-rata 0,5 juta hektar pertahun (Pujo et al., 2018). Penyebab terbesar terjadinya deforestasi dikarenakan adanya penebangan liar, kebakaran hutan dan peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit atau lahan pertanian (Miteva et al., 2015). Selain itu tingginya angka masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan, pada tahun 2014 di seluruh wilayah Indonesia angkanya mencapai 32,5 juta jiwa dan mayoritas masyarakat tersebut menggantungkan mata pencahariannya (livelihood) pada hutan, ketergantungan masyarakat terhadap hutan tersebut dikhawatirkan akan menambah potensi atau mempercepat proses laju deforestasi (Mulyana & Moeis, 2022). Untuk mengendalikan deforestasi dan memperbaiki tata kelola hutan, serta memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, maka pemerintah menyusun konsep dan regulasi tentang penyelenggaraan perhutanan sosial.

Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat, pelaku utama adalah masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat, tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menjaga keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan (Firdaus, 2018). Regulasi tentang penyelenggaraan perhutanan sosial tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen) Nomor 9 tahun 2021. Pemerintah telah menyiapkan lahan perhutanan sosial sebesar 12,7 juta hektar untuk dikelola oleh masyarakat (Fisher et al., 2018). Perhutanan sosial bentuknya skema pemberian hak izin pengelolaan atau izin usaha pemanfaatan (IUP), bukan pembagian lahan pertanian sebagai hak milik kepada masyarakat (Asmin et al., 2019), dalam ketentuan perhutanan sosial tidak merubah status hutan tersebut dan tetap sebagai hutan negara (Suharjito, 2003), peruntukannya diawasi dan dibina oleh pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sistem tata kelola perhutanan sosial bersifat inklusif artinya perhutanan sosial dikelola berdasarkan prinsip good forest governance sedangkan prinsip good forest governance yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan koordinasi dalam pengambilan keputusan, serta kapasitas dalam pengelolaan administrasi hutan (Brito et al., 2009).

Salah satu kota yang telah menjalankan program perhutanan sosial adalah kota Pagaralam, provinsi Sumatera Selatan, sebanyak sembilan Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 2.923 hektar dan satu Hutan Adat (HA) seluas 336 hektar sudah diserah kelolakan kepada 1.346 kepala keluarga atau masyarakat dan salah satu kawasan perhutanan sosial yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perhutanan sosial Kibuk, perhutanan sosial Kibuk saat ini dikelola oleh masyarakat tani atau kelompok tani hutan dari dusun Gunung Agung Pauh, kelurahan Agung Lawangan, kota Pagaralam. Kelompok tani hutan merupakan lembaga atau institusi lokal di tingkat petani yang dibentuk untuk mengorganisasi kepentingan para petani dalam pengelolaan perhutanan sosial.

Dinamika kelompok tani hutan dalam pengelolaan perhutanan sosial sangat beragam, ada yang telah dianggap berhasil, tetapi masih banyak juga yang mengalami kendala atau hambatan (Nugraheni et al., n.d.; Purnama & Sartika, 2024). Hermanto dan Swastika (2016), Yumantoko (2022) mengungkapkan kendala atau hambatan yang dihadapi kebanyakan kelompok tani hutan dalam mengelola perhutanan sosial adalah tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, baik secara individu maupun kelembagaan. Kondisi petani dalam posisi tidak berdaya atau powerless, ini disebabkan oleh minimnya kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) yang dimiliki petani (Nugraheni et al., n.d.; Purnama & Sartika, 2024). Terlebih dalam tata kelola perhutanan sosial, kelompok tani hutan bukan hanya dituntut untuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan mengembangkan produk hasil pertanian (hilirisasi produk) tetapi dituntut juga untuk mampu menerapkan tata kelola kelembagaan dan pembangunan perhutanan secara baik. Untuk meningkatkan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelompok tani hutan, maka diperlukan proses pengembangan kapasitas (capacity building). Proses pengembangan kapasitas (capacity building) sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan individu, kelembagaan maupun sistem agar berfungsi, efektif, efisien serta berkelanjutan (sustainability), dan menghubungkan kapasitas dengan kinerja agar tujuan strategis lembaga tercapai (WHO, 2001). Definisi pengembangan kapasitas (capacity building) menekankan pada proses pengembangan kemampuan yang berkelanjutan mencakup pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan kelembagaan.

Kebutuhan pengembangan kapasitas (capacity building) kelompok tani hutan idealnya meningkatkan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelembagaan seperti peningkatan kapasitas adaptif, kepemimpinan, manajemen, dan teknis (Connolly & York, 2012), dengan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelembagaan ini diharapkan kelompok tani hutan dapat mengelola kelembagaan dengan baik, sehingga mampu menyusun rencana kerja, melaksanakan program kerja, kapasitas pelaporan kegiatan yang lebih baik dan pada akhirnya akan mampu menjalankan pembangunan perhutanan sosial secara baik. Namun permasalahannya, pendampingan atau pengembangan kapasitas (capacity building) yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, dinilai belum sepenuhnya menyentuh kepada dinamika perkembangan atau belum meningkatnya efektivitas kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan tata kelola kelembagaan dan pembangunan perhutanan sosial Kibuk, sehingga berdampak pada kegagalan implementasi peran dan fungsi dalam menjalankan prinsip tata kelola perhutanan sosial yang baik. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah proses pengembangan kapasitas (capacity building) telah mampu meningkatkan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan tata kelola kelembagaan dan pembangunan perhutanan sosial Kibuk secara baik.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif verifikatif, metode kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya pendekatan induktif (Bungin, 2012), pemilihan metode ini dikarenakan memiliki keunggulan dalam mengungkap atau mengeksplorasi makna atas fenomena utama dari suatu objek penelitian (Creswell, 2021) bukan sekedar menyajikan data. Penelitian ini mengunakan pendekatan studi kasus, riset studi kasus dipilih karena mampu menganalisis secara mendalam atas suatu aktivitas, proses atau peristiwa dengan tempat dan jangka waktu tertentu “sistem terikat” serta studi kasus juga dapat mengindentifikasi satu kasus secara spesifik (Creswell, 2021). Fokus penelitian ini membahas proses pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan perhutanan sosial Kibuk di Dusun Gunung Agung Pauh, Kelurahan Agung Lawangan, Kota Pagaralam. Teknik pengumpulan data primer dan data sekunder dalam penelitian ini. Data primer diperoleh secara langsung melalui observasi dan wawancara kepada objek penelitian, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh melalui penelusuran dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

Saat ini kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelompok tani hutan Kibuk  dalam kondisi belum memenuhi syarat (a condition of bequalified) menjalankan tata kelola kelembagaan dan pembangunan perhutanan sosial Kibuk secara baik. Proses pengembangan kapasitas yang telah dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo terhadap kelompok tani hutan Kibuk belum menunjukan meningkatknya peran dan fungsi tata kelola kelembagaan yang baik, seperti terwujudnya transparansi dan akuntabiltas, tumbuhnya partisipasi atau kerja sama (koordinasi) antar masyarakat petani Kibuk.

            Bentuk penilaian terhadap kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability)  kelompok tani hutan Kibuk, yaitu penilaian kapasitas adaptif, kepemimpinan, manajemen dan teknis. Adapun keempat kapasitas inti kelembagaan yang dimiliki kelompok tani hutan Kibuk adalah sebagai berikut.

Pertama, kapasitas adaptif, penilaian terhadap kapasitas adaptif kelompok tani hutan Kibuk dapat dilakukan melalui Pertama, perkembangan kelembagaan. Perkembangan kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dari awal terbentuknya pada tahun 2013 sampai saat ini masih mengalami kendala, dan kendala pengembangan kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk adalah lambatnya pembentukan struktur kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk. Untuk mengelola lahan perhutanan sosial Kibuk kelompok tani hutan Kibuk membutuhkan empat kelompok kerja (pokja) dan idealnya setiap kelompok kerja (pokja) memiliki satu atau dua kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), tetapi saat ini kelompok tani hutan Kibuk hanya memiliki satu kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang bergerak dibidang agrowisata camping ground Kibuk 94. Kelompok usaha pertanian sosial (KUPS) menjadi penting bagi kelompok tani hutan Kibuk karena bantuan dari pemerintah hanya bisa diusulkan dan diterima oleh kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), jika kelompok kerja (pokja) tidak membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) maka kelompok tani hutan Kibuk akan kesulitan mengajukan proposal bantuan maupun kegiatan. Percepatan pembentukan kelengkapan struktur kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk selalu didorong oleh pengurus inti, khususnya ketua kelompok tani hutan Kibuk yang selalu menghimbau kepada masing-masing ketua dan anggota kelompok kerja (pokja) untuk segera melengkapi pembentukan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Namun demikian, arahan ketua kelompok tani hutan Kibuk belum dilaksanakan oleh ketiga kelompok kerja (pokja). Kedua, penilaian kapasitas adaptif kelembagaan yaitu dari pengembangkan ide atau gagasan mengenai keberlangsungan kelembagaan maupun pembangunan perhutanan sosial  Kibuk. Kelompok tani hutan Kibuk dengan 132 anggota seharusnya dapat lebih banyak menciptakan ide atau gagasan dan menyusun beragam kebijakan mengenai keberlangsungan kelembagaan dan pembangunan perhutanan sosial Kibuk, tetapi saat ini banyak anggota kelompok tani hutan Kibuk belum mampu berperan secara positif terhadap keberlangsungan kelembagaan maupun pembangunan di perhutanan sosial Kibuk, disampaikan oleh sekretaris kelompok tani hutan Kibuk bahwa “...kalau ada pertemuan atau rapat anggota, hanya pengurus yang menyampaikan ide, anggota lain hanya ikut menyetujui”.

            Kapasitas adaptif merupakan kemampuan organisasi untuk memantau, menilai dan menanggapi perubahan baik di internal maupun eksternal organisasi (Connolly & York, 2012). Dalam kapasitas adaptif needs assessment dan organizational assessment merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki organisasi (WHO, 2001), dengan kapasitas adaptif kelompok tani hutan Kibuk mampu menciptakan budaya organisasi, budaya organisasi adalah kemampuan setiap anggota kelompok tani hutan Kibuk dalam merespon dan mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, dan budaya organisasi merupakan gerakan bersama anggota, bukan gerakan individu maupun gerakan pengurus semata (Tewal et al., 2017). Saat ini kapasitas adaptif kelompok tani hutan Kibuk belum mampu merespon kebutuhan internal dan eksternal kelembagaan tersebut.

            Kedua, kapasitas kepemimpinan, kepemimpinan dalam kelompok tani hutan Kibuk dipilih berdasarkan musyawarah anggota dan ditetapkan dalam periodesasi lima tahunan. Pola kepemimpinan kelompok tani hutan Kibuk tidak di tangan satu orang, tanggung jawab telah didistribusikan ke masing-masing pimpinan unit terkecil di bawahnya, seperti pimpinan kelompok kerja (ketua pokja) dan pimpinan kelompok usaha perhutanan sosial (ketua KUPS). Namun saat ini tingkat ketergantungan terhadap kepengurusan atau kepemimpinan inti (ketua KTH Kibuk) kelompok tani hutan Kibuk masih menjadi budaya organisasi yang sulit dirubah. Ketua kelompok tani hutan Kibuk sedang membangun regenerasi kepemimpinan dengan melibatkan pemuda tujuannya untuk mengajarkan tanggung jawab “...sekarang pengurus KUPS itu yang muda-muda biar regenerasi”.

            Kelemahan pola kepemimpinan dalam kelembagaan masyarakat seperti kelompok tani hutan Kibuk adalah tingginya ketergantungan anggota terhadap sosok pemimpin. Anggota kelompok tani hutan Kibuk masih menjadikan sosok pemimpin sebagai orang yang harus melakukan semua pekerjaan kelembagaan sedangkan anggota hanya akan mengikuti dan menyetujui setiap bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh pemimpin. Pola kepemimpinan kelompok tani hutan Kibuk dapat berdampak positif dan juga negatif, dampak positifnya peran kepemimpinan akan membuat kelembagaan aktif dan kelembagaan dapat menjalankan fungsinya tetapi sisi negatifnya yaitu ketergantungan anggota kelompok terhadap pemimpin membuat anggota pasif dan hanya menerima setiap kebijakan yang dikeluarkan pemimpin. Idealnya pola kepemimpinan dalam kelembagaan masyarakat adalah kepemimpinan yang bersifat demokratis dan tanggung jawab yang kolektif. kepemimpinan ini ditandai oleh adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif, ada kerja sama antara ketua dengan anggota.

            Ketiga, kapasitas manajemen, menguasai manajemen sangat penting bagi kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk, karena dengan memiliki kapasitas manajemen kelembagaan kelompok tani hutan akan mampu menyusunan rencana (planning) kerja tahunan atau rencana kerja jangka panjang, kelompok tani hutan dapat mengorganisir (organizing) kepentingan terkait penggunaan sumber daya atau mengatur kerja petani, sehingga para petani memiliki kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) dalam menjalankan tata kelola perhutanan sosial secara baik. Selanjutnya dengan kapasitas manajemen kelembagaan yang baik dapat memobilisasi (actuating) atau menggerakan semua anggota kelompok tani hutan agar mereka bersedia bekerja sama dalam mencapai tujuan, serta dapat melakukan pengawasan (controlling) terhadap semua aktivitas anggota kelompok tani hutan dalam menjalankan peran dan fungsinya di kelembagaan kelompok tani hutan maupun di lahan perhutanan sosial. Kapasitas manajemen bagi kelembagaan juga berfungsi untuk memastikan penggunaan sumber daya organisasi yang efektif serta efisien, dan saat ini penguasaan kapasitas manajemen oleh kelompok tani hutan Kibuk masih rendah. 

            Minimnya kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) menguasai kapasitas manajemen membuat kelompok tani hutan Kibuk kesulitan dalam mengorganisir (organizing) kepentingan terkait penggunaan sumber daya atau mengatur kerja petani terutama dalam menjalankan kelembagaan, contohnya pengurus kelompok tani hutan Kibuk masih kesulitan untuk mendorong anggota kelompok kerja (pokja) membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) dan permasalahan ini dapat memengaruhi penggunaan sumber daya seperti bantuan modal dan penyusunan program kegiatan, rendahnya kemampuan memobilisasi (actuating) atau kesulitan menggerakan anggota kelompok tani hutan Kibuk untuk menjalankan semua rencana kerja atau peraturan dalam AD/ART kelembagaan pun masih dirasakan, masih banyak petani hanya berusaha tani di lahan Kibuk dan tidak mau terlibat menjalankan kelembagaan kelompok tani hutan. Terbatasnya pengawasan (controlling) terhadap semua aktivitas anggota kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan peran dan fungsinya di kelembagaan kelompok tani hutan maupun di lahan perhutanan sosial  juga masih dirasakan. Contoh lain minimnya kapasitas manajemen kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dapat memengaruhi pelaporan keuangan, pelaporan keuangan kelembagaan belum ada standar baku, pelaporan keuangan oleh bendahara hanya menggunakan cacatan manual sederhana di buku, sebatas mencatat pemasukan dan pengeluaran tanpa adanya rincian kebutuhan sehingga akan sulit mempertanggungjawabkan transparansi serta akuntabilitasnya. Pendamping kelompok tani hutan Kibuk mengakui bahwa kelompok tani hutan Kibuk belum memiliki kapasitas manajemen untuk mengatur dan mengontrol keuangan...kalau laporan keuangan masih baru akan diperbaiki karena selama ini sudah cukup banyak terutama seperti Haki masuk disitu, pelaporan di merekanya belum seterbuka itu”.

Minimnya kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) menguasai kapasitas manajemen dirasakan hampir semua kelompok tani hutan, termasuk kelompok tani hutan Kibuk, dan saat ini kelemahan kapasitas manajemen tidak dapat menunjang kinerja kelembagaan, lemahnya kapasitas manajemen ini diakui oleh pengurus kelompok tani hutan Kibuk yang mengatakan “...untuk menyusun keperluan administrasi seperti rencana kerja tahunan itu dibantu oleh pendamping, petani ini bisanya hanya cangkul, buta akan barang-barang elektronik maju sekarang seperti laptop dan lain-lain”.

Keempat, kapasitas teknik, kapasitas teknik kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk berfungsi mengatur, mengarahkan, dan membagi tugas kepada anggotanya agar kelompok tani hutan Kibuk dapat berjalan dan dapat menjalankan semua program utama kelembagaan. Penilaian terhadap kapasitas teknik kelompok tani hutan Kibuk adalah ketika kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk mampu mengatur dan mengarahkan masyarakat petani mempersiapkan semua kebutuhan administasi dalam kesiapan mendaftarkan lahan hutan lindung negara Bukit Dingin menjadi perhutanan sosial Kibuk. Dengan struktur kelembangaan yang masih sangat sederhana kelompok tani hutan Kibuk telah mampu mempersiapkan dan menyusun data adminstrasi anggota maupun data pendukung lainnya seperti menyusun AD/ART, menyusun struktur kelembagaan, menyusun rencana program kerja dan menyusun data pemetaan areal kerja atau tapal batas lahan kerja. Kapasitas teknik ini diakui pendamping dari KPH Wilayah X Dempo yang mengatakan “...kalau KTH Kibuk ini syarat-syarat organisasi kelembagaan itu hampir semua sudah ada, sudah lengkap dari mulai anggaran dasar, SK, anggaran rumah tangga, kemudian SK kepengurusan itu semua istilahnya sudah lengkap lah, perizinan sudah lengkap termasuk sudah dapat SK dari menteri kehutanan untuk pengelolaan perhutanan sosial, yang artinya semua syarat-syarat kan sudah terpenuhi semua, setelah SK menteri keluar kemudian sudah ada rencana karya tahunan, rencana karya pengelolaan jangka panjang,  kemudian laporan-laporan pun dia sudah ada lah”.

Selain itu dengan kapasitas teknik kelompok tani hutan Kibuk dapat menjalankan semua program utama kelembagaan, seperti membentuk kelompok kerja (pokja) dan membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Kelompok kerja (pokja) dan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) telah berperan aktif melakukan atau menjalankan program pembangunan perhutanan sosial Kibuk. Disampaikan oleh pendamping dari KPH Wilayah X Dempo bahwa “...kemudian ada lagi namanya KTH itu kan istilahnya organisasi dasarnya, organisasi anak, kelompok usaha perhutanan sosial itu sudah terbentuk, sk-nya sudah ada dan sekarang sudah jalan, struktur kelembagaan sudah terbentuk”. Walaupun kapasitas teknik yang dimiliki kelompok tani hutan Kibuk masih sangat terbatas, tetapi kelompok tani hutan Kibuk telah mampu menjalankan peran kelembagaannya.

 

Proses Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Kibuk

         Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo telah mendampingi kelompok tani hutan Kibuk sejak tahun 2016. Pendampingan atau pembinaan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo terhadap kelompok tani hutan Kibuk lebih fokus kepada pengembangan kapasitas kelembagaan. Pengembangan kapasitas kelembagaan bertujuan meningkatkan kapasitas kelompok tani hutan Kibuk agar dapat mewujudkan tata kelola kelembagaan yang baik, setidaknya ada dua bentuk pendampingan atau pembinaan yang menjadi prioritas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo terhadap kelompok tani hutan Kibuk yaitu, Pertama, Pendampingan pembentukan kelompok tani hutan Kibuk. Kedua, Pedampingan pengembangan usaha atau peningkatan kemampuan kelembagaan unit usaha perhutanan sosial (KUPS) seperti kemampuan manajemen.

         Dasar hukum pemerintah melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap kelompok tani hutan tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial, dalam peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa pendampingan dan pembinaan terhadap kelompok tani hutan dilakukan oleh Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-PPS) dan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH). Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) merupakan salah satu anggota Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-PPS).

Pemerintah menggunakan istilah pendampingan, pembinaan atau pemberdayaan untuk menjelaskan kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk. Pendampingan, pembinaan atau pemberdayaan adalah kegiatan yang dilakukan kepada masyarakat petani atau kelompok tani hutan untuk pengelolaan hutan lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan pendamping adalah pihak yang memiliki kompetensi dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, secara perorangan, kelompok atau lembaga.    

Proses pengembangan kapasitas (capacity building) kelompok tani hutan Kibuk bertujuan meningkatkan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) tata kelola kelembagaan, sehingga kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk memiliki kepekaan terhadap masalah (sense of crisis) dan solusi terhadap krisis. Proses pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk sebaiknya dilakukan atau berdasarkan fase-fase pengembangan kapasitas, fase dalam pengembangan kapasitas merupakan serangkaian gerakan yang sengaja disusun agar dijadikan kerangka bertindak. Indikator meningkatnya atau menurunya kapasitas kelompok tani hutan Kibuk juga ditentukan oleh rangkaian proses ini.

Adapun fase-fase dalam pengembangan kapasitas (capacity building) Pertama, berdasarkan penilaian (assessment) yang tepat. Kedua, memiliki rencana dan strategi yang baik. Ketiga, pelaksanaan yang didukung oleh semua pihak yang terlibat dan Keempat, monitoring serta evaluasi yang kredibel, dan prosesnya dilakukan secara sistematis dan memiliki waktu yang terukur.

         Pertama, berdasarkan penilaian kebutuhan (assessment), pemerintah dalam fase ini melakukan penilaian kebutuhan (assessment) pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk berdasarkan kebutuhan yang bersifat umum atau inventarisasi penilaian kebutuhan (assessment) secara umum, bukan berdasarkan hasil penilaian kebutuhan (assessment) aktual dilapangan (on the spot). Pemerintah menggunakan top down approach, dengan perangkat dan struktur birokrasi yang lebih lengkap pemerintah dapat membagi tugas kerjanya. Pendampingan dan pembinaan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo sedangkan penyusunan program mulai dari bentuk kegiatan, isi kegiatan, materi kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building) dilakukan oleh Badan Penyuluhan dan Pengembagan SDM (BPPS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Badan Penyuluhan dan Pengembagan SDM (BPPS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berperan untuk melakukan penilaian kebutuhan (assessment) pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan termasuk kelompok tani hutan Kibuk.

         Semua rangkaian pendampingan mulai dari sosialisasi sampai dengan pelaksanaan kegiatan atau program pendampingan terhadap kelompok tani hutan Kibuk dilakukan berdasarkan pedoman atau petunjuk teknis dari Dinas Kehutanan maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo hanya berperan sebagai pelaksana kegiatan. Pendamping dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo mengatakan bahwa pendamping atau pembinaan hanya bersifat teknis, melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk atau surat keputusan (SK) kerja dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera. “... kalau kita berdasarkan surat keputusan (SK), di dalam SK itu ada penjabaran tugas yang diberikan, pendampingan dalam tata kelola kelembagaan, pengembangan usaha dan kemitraan, pendampingan supaya menyelesaikan konflik, ada itu, tapi umum bukan khusus tugas untuk Kibuk saja”.

         Fase atau langkah awal dalam proses pengembangan kapasitas (capacity building) yaitu penilaian kebutuhan (assessment) telah terlaksana tetapi bersifat umum atau inventarisasi penilaian kebutuhan (assessment) secara umum. Penilaian kebutuhan (assessment) yang dilakukan pemerintah memiliki keunggulan dalam efisiensi waktu, sedangkan kekurangan penilaian kebutuhan (assessment) yang dilakukan oleh pemerintah tidak berdasarkan kebutuhan aktual masing-masing kelompok tani hutan sehingga banyak kebutuhan aktual kelompok tani hutan yang tidak terakomodir dengan baik, contohnya dalam pengembangan kapasitas (capacity building) kelompok tani hutan Kibuk, pemerintah sejuah ini telah berhasil memfasilitasi pembentukkan kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk tetapi penilaian kebutuhan (assessment) belum menyentuh kebutuhan aktual masyarakat petani Kibuk dalam menjalankan tata kelola lembaga kelompok tani hutan Kibuk, seperti belum menyentuh pengembangan kapasitas adaptif, kepemimpinan dan manajemen kelembagaan. 

         Kedua, berdasarkan rencana dan strategi, pengembangan kapasitas (capacity building) adalah proses belajar yang terukur maka rencana dan strategi tentu saja menjadi fase penting selanjutnya. Proses pendampingan atau pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk juga telah direncanakan dan memiliki strategi tertentu dalam mencapai keberhasilannya. Pemerintah setiap tahunnya telah menyusun rencana aksi (action plan), rencana aksi (action plan) adalah pedoman pelaksanaan kegiatan, rencana aksi (action plan) bertujuan untuk memahami setiap permasalahan dan menentukan strategi untuk mengatasinya. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo selalu menyusun rencana aksi (action plan) tahunan dan melaksanakan kegiatan pendampingan berdasarkan rencana aksi (action plan) yang telah disusun sebelumnya. Ada lima identifikasi  rencana aksi (action plan) yang telah disusun oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo. Pertama, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Kedua, pemanfaatan hutan. Ketiga, penggunaan kawasan hutan. Keempat, rehabilitasi hutan dan reklamasi. Kelima, perlindungan hutan dan konservasi alam. Kelima identifikasi rencana aksi (action plan) ini disusun kedalam rencana aksi skala prioritas.

         Rencana aksi (action plan) skala prioritas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo adalah penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, bentuk pendampingan yang dilakukan adalah memperkuat kapasitas kelembagaan dengan melaksanakan kegiatan sosialisasi mengenai perhutanan sosial kepada masyarakat dan kegiatan ini rutin dilakukan, pendamping dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo mengatakan bahwa. “… Penyuluhan tidak langsung ngobrol itu kan berlanjut namanya anjangsana lah, kalau kelembagaan kadang-kadang, Kibuknya sendiri ada undangan kegiatan lain kan ada seminar di Pemkot kita ikutkan atau ada pelatihan-pelatihan kita libatkan kemudian dia ikut, kita undang ke KPH Dempo kita berikan pengarahan, ada peraturan baru segala macem, penguatan-penguatan, misalnya ada usulan-usulan kita bantu”.  

         Selanjutnya kegiatan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan dan kelompok kerja (pokja) beserta kelompok unit-unit usaha seperti kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) dan rencana aksi (action plan) ini telah dilaksanakan dan saat ini kelompok tani hutan Kibuk telah memiliki empat kelompok kerja (pokja) dan satu kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) di bidang agrowisata. Proses pendampingan atau pengembangan kapasitas (capacity building) yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo telah memiliki rencana dan strategi, semua rencana dan strategi telah disusun setiap tahunnya dalam rencana aksi (action plan) tahunan dan menjadi pedoman pendamping ketika melakukan pendampingan atau pun pembinaan.

Ketiga,   pelaksanaan (implementation) pendampingan pertama masyarakat petani Kibuk dilakukan oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) dan Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada tahun 2013 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo belum terbentuk, kewenangan kehutanan masih di bawah Dinas Kehutanan kabupaten/kota, pada tahun 2016 kewenangan kehutanan dipindahkan dari Dinas Kehutanan kabupaten/kota ke Dinas Kehutanan provinsi, kemudian dibentuk Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo sebagai unit pelaksana teknis daerah (UPTD). “...dulu awal sosialisasi kita tim, tapi saya masih petugas dinas kehutanan kota, 2016 baru dipindah ke dinas kehutanan provinsi dan ditugaskan di KPH”.       

         Pelaksanaan (implementation) pendampingan pertama yang dilaksanakan terhadap masyarakat petani Kibuk dan para pihak terkait adalah pendampingan sosialisasi mengenai rencana pembangunan perhutanan sosial, bentuk kegiatan adalah mengenalkan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) kepada masyarakat, sosialisasi yang disampaikan mengenai ketentuan dan peraturan serta sosialisasi mengenai hak dan kewajibannya masyarakat ketika mengelola perhutanan sosial. Ketua kelompok tani hutan Kibuk menjelaskan awal sosialisasi dan pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pada tahun 2013. “...awal dulu ada utusan dari BPSKL yang datang namanya pak Riady, kalau tidak salah bulan juni 2013, menyampaikan bakal ada rencana pembangunan Hutan Kemasyarakatan di lahan Kibuk, Masyarakat dikumpulkan mereka sosialisasi, ini awal masyarakat tahu bahwa lahan Kibuk akan dikeluarkan izin pengelolaannya”. Setelah kegiatan sosialisasi dilaksanakan kemudian pemerintah melaksanakan kegiatan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan, pembentukan kelompok tani hutan Kibuk dilaksanakan pada bulan september 2013. Pendamping memfasilitasi masyarakat petani membentuk kelompok tani hutan, kemudian membentuk kelompok kerja (pokja) serta pembentukan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Kegiatan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan dan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) merupakan bentuk pengembangan institusi, sedangkan bentuk kegiatan dimulai dari memfasilitasi musyawarah masyarakat, memfasilitasi penyusunan formasi dan pembentukan kelompok tani hutan, menfasilitasi penyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), memfasilitasi penyusun proposal pendaftaran Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan memfasilitasi pemetaan areal kerja Hutan Kemasyarakat (HKm), kemudian membantu menyusun rencana kerja tahunan dan membantu menyusun kelengkapan data administrasi dan teknis yang diperlukan untuk pendaftaran Hutan Kemasyarakatan (HKm) ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

            Pelaksanaan pendampingan terhadap kelompok tani hutan Kibuk masih sangat terbatas, atau tidak semua rencana aksi (action plan) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo yang telah disusun sebelumnya dapat terlaksana. Pelaksanaan (implementation) pengembangan kapasitas (capacity building) juga memiliki keterbatasan seperti tidak adanya program pengembangan kapasitas (capacity building) yang sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat petani seperti pelatihan kepemimpinan dan manajemen, waktu pelaksanaan kegiatan tidak menentu hanya berdasarkan undangan kegiatan dari pihak luar. serta partisipasi anggota kelompok tani hutan Kibuk yang masih sangat terbatas. Pendamping dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo mengatakan kesulitan yang dihadapi pendamping apabila melakukan sosialisasi atau pengarahan.“...petani lebih banyak di kebun, kalau sudah di kebun susah untuk dikumpulkan, paling hari jumat biasanya petani balek ke dusun, jika ada kegiatan kita nunggu petani habis sholat jumat, setelah sholat jumat kita minta izin akan menyampaikan informasi atau pengarahan. Kalau pelatihan itu biasanya KPH bekerjasama dengan pemerintah kota atau dinas di provinsi, pengurus petani kita undang untuk ikut, tidak semua petani cuma perwakilan”.

         Saat ini pendampingan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo hanya sebatas sosialisasi dan pengawasan. Ketua kelompok tani hutan Kibuk mengatakan “...tugas KPH itu sekarang melakukan pengawasan, lebih banyak penegakan hukum dari  pada membantu, padahal kebutuhan di lahan Kibuk itu banyak seperti infrastruktur jalan terutama”. Harapan kelompok tani hutan Kibuk pendampingan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo tidak hanya bersifat sosialisasi dan pengawasan tetapi melaksanakan pelatihan keterampilan yang dibutuhkan petani dan kelompok tani hutan Kibuk serta juga memperhatikan kebutuhan sarana dan prasarana dalam mengelola perhutanan sosial 

Keempat, fase monitoring dan evaluasi, untuk fase monitoring dan evaluasi proses pengembangan kapasitas (capacity building) belum pernah dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo, penilaian terhadap kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelompok tani hutan Kibuk lebih kepada kemampuan kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan program pembangunan perhutanan sosial Kibuk, evaluasi atau penilaian yang disampaikan pengawas kelompok tani hutan Kibuk yang mengatakan bahwa ”...kalau kibuk sudah bagus, walau sedikit lambat, kita tidak tahu apa kepentingannya, masih banyak orang bertanam sayur, apa sayur masih menjanjikan dibandingkan hasil kopi dengan buah, tapi secara umum sudah bagus, berjalan.

Monitoring dan evaluasi terhadap proses pengembangan kapasitas (capacity building) tidak dapat hanya disandarkan kepada keberhasilan kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan program kerja. Walaupun monitoring dan evaluasi dapat dilakukan berdasarkan atas penilaian terhadap dampak (impact) yang memengaruhi kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan program kerja, tetapi harus ada korelasi yang benar-benar memengaruhi kelompok tani hutan Kibuk setelah menjalankan proses pengembangan kapasitas (capacity building).

 

Kesimpulan

         Proses pengembangan kapasitas (capacity building) kelompok tani hutan Kibuk masih terdapat keterbatasan dan bentuk keterbatasannya antara lain, proses pengembangan kapasitas (capacity building) yang dilakukan pemerintah belum berdasarkan penilaian (assessment) kebutuhan aktual masyarakat petani Kibuk, sehingga kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk belum menunjukan peningkatan kemampuan dalam mengelola kelembagaan kelompok tani hutan maupun pembangunan perhutanan sosial. Program pengembangan kapasitas (capacity building) pemerintah tidak memiliki rencana atau desain yang baik, sehingga tidak terukur dan capaiannya tidak dapat diprediksi, dan banyak rencana aksi (action plan) yang belum terealisasi serta proses pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk belum memiliki strategi yang menyeluruh dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan (implementation) pengembangan kapasitas (capacity building) yang dilakukan pemerintah masih sangat terbatas, pelaksanaan (implementation) pengembangan kapasitas (capacity building) hanya bersifat memfasilitasi kebutuhan teknis, belum mengarah kepada peningkatan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability), terutama yang berhubungan dengan pembangunan karakteristik (kepemimpinan) atau perilaku kerja yang baik dan peningkatan kemampuan kinerja (manajemen) kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk. selanjutnya monitoring dan evaluasi yang dilakukan baru menilai capaian kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam pembangunan perhutanan sosial Kibuk, sedangkan monitoring dan evaluasi terhadap proses pengembangan kapasitas (capacity building) belum dilaksanakan.

         Proses pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk, sebaiknya memiliki konsep atau desain model pengembangan kapasitas (capacity building), sehingga pemerintah memiliki kerangka kerja atau standar pelaksanaan yang baku, dengan demikian program pengembangan kapasitas (capacity buidling) pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik dan dampak (impact) dari program pengembangan kapasitas (capacity building) yang dilaksanakan dapat tercapai.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Asmin, F., Darusman, D., Ichwandi, I., & Suharjito, D. (2019). Mainstreaming community-based forest management in west sumatra: Social forestry arguments, support, and implementation. Forest and Society, 3(1). https://doi.org/10.24259/fs.v3i1.4047

Brito, B., Davis, C., Daviet, F., Micol, L., Nakhooda, S., & Thuault, A. (2009). The Governance of forests Toolkit (Version 1): A draft framework of indicators for assessing governance of the forest sector. World Resources Institute, Washington, DC.

Bungin, B. (2012). Penelitina Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Connolly, P., & York, P. (2012). Building the Capacity of Capacity Builders. A Study of Management Support and Field-Building Organizations in the Nonprofit Sector, The Conservation Company.

Creswell, J., W. (2021). Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan campuran (V). Pustaka Pelajar.

Firdaus, A. Y. (2018). Panduan praktis penerapan kebijakan perhutanan sosial: Kerangka pencepatan reformasi tenurial hutan. CIFOR.

Fisher, M. R., Moeliono, M., Mulyana, A., Yuliani, E. L., Adriadi, A., Kamaluddin, Judda, J., & Sahide, M. A. K. (2018). Assessing the New Social Forestry Project in Indonesia: Recognition, Livelihood and Conservation? International Forestry Review, 20(3). https://doi.org/10.1505/146554818824063014

Hermanto, N., & Swastika, D. K. S. (2016). Penguatan Kelompok Tani: Langkah Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian, 9(4). https://doi.org/10.21082/akp.v9n4.2011.371-390

Miteva, D. A., Loucks, C. J., & Pattanayak, S. K. (2015). Social and environmental impacts of forest management certification in Indonesia. PLoS ONE, 10(7). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0129675

Mulyana, M., & Moeis, J. P. (2022). Dampak program perhutanan sosial terhadap pertumbuhan usaha dan deforestasi: bukti empiris dari Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan, 11(1). https://doi.org/10.22437/jels.v11i1.18124

Nugraheni, B. L. Y., Khuriyati, S. F., Awang, S. A., Nugroho, R. S. A., Chrismastuti, A. A., Nugrahedi, R., Purnamasari, S., Teresia, A., & Putranti, C. (n.d.). Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial di Jawa. UNIKA Soegijapranata.

WHO. (2001). What do we know about capacity building?: an overview of existing knowledge and good practice.

Pujo, Sofhani, T. F., Gunawan, B., & Syamsudin, T. S. (2018). Community capacity building in social forestry development: A review. In Journal of Regional and City Planning. 29(2). https://doi.org/10.5614/jrcp.2018.29.2.3

Purnama, D. H., & Sartika, D. D. (2024). Pengembangan Kapasitas Kelompok Tani Hutan Kibuk Dalam Tata Kelola Perhutanan Sosial Yang Baik (Good Forest Governance) Di Kota Pagaralam. Epigram, 21(01), 1–11.

Tewal, B. (2017). Perilaku Organisasi. CV Patra Media Grafindo.

Yumantoko. (2022). Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan: Proses Penguatan Masyarakat Melalui Perhutanan Sosial di Kawasan Hutan Sesaot, Nusa Tenggara Barat. Sosio Konsepsia, 11(2).

 

 

Copyright holder:

Agus, Dadang Hikmah Purnama, Diana Dewi Sartika (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: