Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TANI: PROSES
PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI HUTAN KIBUK DALAM TATA KELOLA
PERHUTANAN SOSIAL DI KOTA PAGARALAM
Agus1*, Dadang Hikmah Purnama2,
Diana Dewi Sartika3
Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1*, [email protected]2, [email protected]3
Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui apakah proses pengembangan kapasitas kelembagaan
kelompok tani hutan Kibuk telah mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan
kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan tata kelola kelembagaan dan
pembangunan perhutanan sosial secara baik. Metode
penelitian ini kualitatif verifikatif dengan strategi studi kasus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk dalam kondisi belum memenuhi syarat menjalankan tata kelola perhutanan sosial
secara baik. Kelemahan kapasitas kelembagaan terdapat pada belum terbentuknya
struktur kelompok usaha perhutanan sosial di masing-masing kelompok kerja dan
masih minimnya gagasan mengenai pembangunan kawasan perhutanan sosial Kibuk.
Anggota kelompok tani hutan Kibuk belum dapat memikul tanggung jawabnya
sendiri. Kelompok tani hutan Kibuk belum menguasai manajemen, sehingga belum
mampu mewujudkan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan
kelembagaan. Proses pengembangan
kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk masih mengabaikan penilaian kebutuhan aktual, tidak semua rencana dan
strategi aksi dapat dilaksanakan, pelaksanaan program yang terbatas, monitoring
dan evaluasi tidak dilaksanakan secara kredibel.
Kata kunci : perhutanan sosial, pengembangan kapasitas kelembagaan, kelompok tani hutan, tata kelola hutan yang baik.
Abstract
The
aim of this research is to find out whether the process of developing the
institutional capacity of the Kibuk forest farmer group has been able to
increase the institutional capacity of the Kibuk forest farmer group in
carrying out good institutional governance and social forestry development.
This research method is qualitative verification with a case study strategy.
The research results show that the institutional capacity of the Kibuk forest
farmer group does not yet meet the requirements for implementing good social
forestry governance. Weaknesses in institutional capacity are found in the lack
of a social forestry business group structure in each working group and the
lack of ideas regarding the development of the Kibuk social forestry area. Members
of the Kibuk forest farmer group have not been able to assume their own
responsibilities. The Kibuk forest farmer group has not yet mastered
management, so it has not been able to realize transparency and accountability
in institutional management. The process of developing the institutional
capacity of the Kibuk forest farmer group still ignores the assessment of
actual needs, not all action plans and strategies can be implemented, program
implementation is limited, monitoring and evaluation are not carried out
credibly.
Key words: social
forestry, institutional capacity development, forest farmer groups, good forest
governance.
Pendahuluan
Pada tahun 2005 hingga 2010 hutan di Indonesia mengalami deforestasi rata-rata sebesar 0,7 juta hektar pertahun
sedangkan periode tahun 2013 hingga 2020 total deforestasi mencapai 3,6 juta hektar atau rata-rata 0,5 juta hektar pertahun
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan
dalam kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat, pelaku utama adalah masyarakat setempat atau
masyarakat hukum adat, tujuannya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, serta menjaga keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk
Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan
Salah satu kota yang telah menjalankan program perhutanan sosial adalah
kota Pagaralam, provinsi Sumatera Selatan, sebanyak
sembilan Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 2.923 hektar dan satu Hutan Adat (HA) seluas 336 hektar sudah diserah kelolakan kepada 1.346 kepala keluarga atau masyarakat dan salah satu kawasan
perhutanan sosial yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perhutanan sosial Kibuk, perhutanan sosial Kibuk saat ini dikelola oleh masyarakat
tani atau kelompok tani hutan dari dusun Gunung Agung Pauh, kelurahan Agung Lawangan, kota Pagaralam. Kelompok tani hutan merupakan lembaga
atau institusi lokal di tingkat petani yang dibentuk untuk mengorganisasi
kepentingan para petani dalam pengelolaan perhutanan sosial.
Dinamika kelompok tani hutan dalam pengelolaan perhutanan sosial sangat
beragam, ada yang telah dianggap berhasil, tetapi masih banyak juga yang mengalami
kendala atau hambatan
Kebutuhan pengembangan kapasitas (capacity
building) kelompok tani hutan idealnya meningkatkan kapasitas (capacity)
dan kemampuan (capability) kelembagaan seperti peningkatan kapasitas
adaptif, kepemimpinan, manajemen, dan teknis
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif verifikatif, metode kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya pendekatan induktif (Bungin, 2012), pemilihan metode ini dikarenakan memiliki keunggulan dalam mengungkap atau mengeksplorasi makna atas fenomena utama dari suatu objek penelitian (Creswell, 2021) bukan sekedar menyajikan data. Penelitian ini mengunakan pendekatan studi kasus, riset studi kasus dipilih karena mampu menganalisis secara mendalam atas suatu aktivitas, proses atau peristiwa dengan tempat dan jangka waktu tertentu “sistem terikat” serta studi kasus juga dapat mengindentifikasi satu kasus secara spesifik (Creswell, 2021). Fokus penelitian ini membahas proses pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan perhutanan sosial Kibuk di Dusun Gunung Agung Pauh, Kelurahan Agung Lawangan, Kota Pagaralam. Teknik pengumpulan data primer dan data sekunder dalam penelitian ini. Data primer diperoleh secara langsung melalui observasi dan wawancara kepada objek penelitian, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh melalui penelusuran dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Saat ini kapasitas (capacity) dan kemampuan
(capability) kelompok tani hutan Kibuk dalam
kondisi belum memenuhi syarat (a condition of bequalified) menjalankan tata
kelola kelembagaan dan pembangunan perhutanan sosial Kibuk secara baik. Proses
pengembangan kapasitas yang telah dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo terhadap kelompok tani hutan Kibuk
belum menunjukan meningkatknya peran dan fungsi tata kelola kelembagaan yang baik, seperti terwujudnya transparansi dan akuntabiltas, tumbuhnya
partisipasi atau kerja sama (koordinasi) antar masyarakat petani Kibuk.
Bentuk
penilaian terhadap kapasitas
(capacity) dan kemampuan (capability)
kelompok tani hutan Kibuk, yaitu penilaian kapasitas adaptif,
kepemimpinan, manajemen dan teknis. Adapun keempat kapasitas inti kelembagaan
yang dimiliki kelompok tani hutan Kibuk adalah sebagai berikut.
Pertama, kapasitas
adaptif, penilaian terhadap
kapasitas adaptif kelompok tani hutan Kibuk dapat dilakukan melalui Pertama,
perkembangan kelembagaan. Perkembangan kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk
dari awal terbentuknya pada tahun 2013 sampai saat ini masih mengalami kendala,
dan kendala pengembangan kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk adalah lambatnya
pembentukan struktur kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk. Untuk mengelola
lahan perhutanan sosial Kibuk kelompok tani hutan Kibuk membutuhkan empat
kelompok kerja (pokja) dan idealnya setiap kelompok kerja (pokja) memiliki satu
atau dua kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), tetapi saat ini kelompok tani
hutan Kibuk hanya memiliki satu kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang
bergerak dibidang agrowisata camping ground Kibuk
94. Kelompok usaha
pertanian sosial (KUPS) menjadi penting bagi kelompok tani hutan Kibuk karena
bantuan dari pemerintah hanya bisa diusulkan dan diterima oleh kelompok usaha
perhutanan sosial (KUPS), jika kelompok kerja (pokja) tidak membentuk kelompok
usaha perhutanan sosial (KUPS) maka kelompok tani hutan Kibuk akan kesulitan
mengajukan proposal bantuan maupun kegiatan. Percepatan pembentukan kelengkapan
struktur kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk selalu didorong oleh pengurus
inti, khususnya ketua kelompok tani hutan Kibuk yang selalu menghimbau kepada
masing-masing ketua dan anggota kelompok kerja (pokja) untuk segera melengkapi
pembentukan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Namun demikian, arahan
ketua kelompok tani hutan Kibuk belum dilaksanakan oleh ketiga kelompok kerja
(pokja). Kedua, penilaian kapasitas adaptif kelembagaan yaitu dari pengembangkan ide atau
gagasan mengenai keberlangsungan kelembagaan maupun pembangunan perhutanan
sosial Kibuk. Kelompok tani hutan Kibuk
dengan 132 anggota seharusnya dapat lebih banyak menciptakan ide atau gagasan
dan menyusun beragam kebijakan mengenai keberlangsungan kelembagaan dan
pembangunan perhutanan sosial Kibuk, tetapi saat ini banyak anggota kelompok
tani hutan Kibuk belum mampu berperan secara positif terhadap keberlangsungan
kelembagaan maupun pembangunan di perhutanan sosial Kibuk, disampaikan oleh
sekretaris kelompok tani hutan Kibuk bahwa “...kalau ada pertemuan atau rapat
anggota, hanya pengurus yang menyampaikan ide, anggota lain hanya ikut
menyetujui”.
Kapasitas adaptif merupakan kemampuan organisasi untuk memantau,
menilai dan menanggapi perubahan baik di internal maupun eksternal organisasi
Kedua,
kapasitas kepemimpinan, kepemimpinan dalam kelompok tani hutan Kibuk dipilih
berdasarkan musyawarah anggota dan ditetapkan dalam periodesasi lima tahunan.
Pola kepemimpinan kelompok tani hutan Kibuk tidak di tangan satu orang,
tanggung jawab telah didistribusikan ke masing-masing pimpinan unit terkecil di
bawahnya, seperti pimpinan kelompok kerja (ketua pokja) dan pimpinan kelompok
usaha perhutanan sosial (ketua KUPS). Namun saat ini tingkat ketergantungan
terhadap kepengurusan atau kepemimpinan inti (ketua KTH Kibuk) kelompok tani
hutan Kibuk masih menjadi budaya organisasi yang sulit dirubah. Ketua kelompok
tani hutan Kibuk sedang membangun regenerasi kepemimpinan dengan melibatkan
pemuda tujuannya untuk mengajarkan tanggung jawab “...sekarang pengurus KUPS
itu yang muda-muda biar regenerasi”.
Kelemahan pola kepemimpinan dalam kelembagaan masyarakat seperti kelompok tani hutan Kibuk adalah tingginya ketergantungan anggota terhadap sosok pemimpin. Anggota kelompok tani hutan Kibuk masih menjadikan sosok pemimpin sebagai orang yang harus melakukan semua pekerjaan kelembagaan sedangkan anggota hanya akan mengikuti dan menyetujui setiap bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh pemimpin. Pola kepemimpinan kelompok tani hutan Kibuk dapat berdampak positif dan juga negatif, dampak positifnya peran kepemimpinan akan membuat kelembagaan aktif dan kelembagaan dapat menjalankan fungsinya tetapi sisi negatifnya yaitu ketergantungan anggota kelompok terhadap pemimpin membuat anggota pasif dan hanya menerima setiap kebijakan yang dikeluarkan pemimpin. Idealnya pola kepemimpinan dalam kelembagaan masyarakat adalah kepemimpinan yang bersifat demokratis dan tanggung jawab yang kolektif. kepemimpinan ini ditandai oleh adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif, ada kerja sama antara ketua dengan anggota.
Ketiga, kapasitas manajemen, menguasai
manajemen sangat penting bagi kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk, karena
dengan memiliki kapasitas manajemen kelembagaan kelompok tani hutan akan mampu
menyusunan rencana (planning) kerja tahunan atau rencana kerja jangka
panjang, kelompok tani hutan dapat mengorganisir (organizing)
kepentingan terkait
penggunaan sumber daya
atau mengatur kerja petani, sehingga para petani memiliki kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) dalam
menjalankan tata kelola perhutanan sosial secara baik. Selanjutnya dengan
kapasitas manajemen kelembagaan yang baik dapat memobilisasi
(actuating) atau menggerakan semua anggota kelompok tani hutan agar mereka bersedia bekerja sama dalam
mencapai tujuan, serta dapat melakukan pengawasan (controlling) terhadap semua aktivitas anggota kelompok
tani hutan dalam menjalankan peran dan fungsinya di kelembagaan kelompok tani
hutan maupun di lahan perhutanan sosial. Kapasitas manajemen bagi kelembagaan juga berfungsi untuk memastikan penggunaan sumber daya
organisasi yang efektif serta efisien, dan saat ini penguasaan kapasitas
manajemen oleh kelompok tani hutan Kibuk masih rendah.
Minimnya
kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability) menguasai
kapasitas manajemen membuat kelompok tani hutan Kibuk kesulitan dalam
mengorganisir (organizing) kepentingan terkait penggunaan sumber daya atau mengatur kerja petani terutama
dalam menjalankan kelembagaan, contohnya pengurus kelompok tani hutan Kibuk
masih kesulitan untuk mendorong anggota kelompok kerja (pokja) membentuk
kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) dan permasalahan ini dapat memengaruhi
penggunaan sumber daya seperti bantuan modal dan penyusunan program kegiatan,
rendahnya kemampuan memobilisasi (actuating) atau
kesulitan menggerakan anggota
kelompok tani hutan
Kibuk untuk menjalankan semua rencana kerja atau peraturan dalam AD/ART
kelembagaan pun masih dirasakan, masih banyak petani hanya berusaha tani di
lahan Kibuk dan tidak mau terlibat menjalankan kelembagaan kelompok tani hutan.
Terbatasnya pengawasan (controlling)
terhadap semua aktivitas anggota kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan
peran dan fungsinya di kelembagaan kelompok tani hutan maupun di lahan
perhutanan sosial juga masih dirasakan.
Contoh lain minimnya kapasitas manajemen kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk
dapat memengaruhi pelaporan keuangan, pelaporan keuangan kelembagaan belum ada standar
baku, pelaporan keuangan oleh bendahara hanya menggunakan cacatan manual
sederhana di buku, sebatas mencatat pemasukan dan pengeluaran tanpa adanya
rincian kebutuhan sehingga akan sulit mempertanggungjawabkan transparansi serta
akuntabilitasnya. Pendamping kelompok tani hutan Kibuk mengakui bahwa kelompok
tani hutan Kibuk belum memiliki kapasitas manajemen untuk mengatur dan
mengontrol keuangan”...kalau
laporan keuangan masih baru akan diperbaiki karena selama ini sudah cukup
banyak terutama seperti Haki masuk disitu, pelaporan di merekanya belum
seterbuka itu”.
Minimnya kapasitas (capacity)
dan kemampuan (capability) menguasai kapasitas manajemen dirasakan
hampir semua kelompok tani hutan, termasuk kelompok tani hutan Kibuk, dan saat ini kelemahan kapasitas manajemen
tidak dapat menunjang kinerja kelembagaan, lemahnya kapasitas manajemen ini
diakui oleh pengurus kelompok tani hutan Kibuk yang mengatakan “...untuk
menyusun keperluan administrasi seperti rencana kerja tahunan itu dibantu oleh
pendamping, petani ini bisanya hanya cangkul, buta akan barang-barang elektronik
maju sekarang seperti laptop dan lain-lain”.
Keempat,
kapasitas teknik, kapasitas teknik kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk berfungsi
mengatur, mengarahkan, dan membagi tugas kepada anggotanya agar kelompok tani
hutan Kibuk dapat berjalan
dan dapat menjalankan semua program utama kelembagaan. Penilaian terhadap
kapasitas teknik kelompok tani hutan Kibuk adalah ketika kelembagaan kelompok
tani hutan Kibuk mampu mengatur dan mengarahkan masyarakat petani mempersiapkan
semua kebutuhan administasi dalam kesiapan mendaftarkan lahan hutan lindung
negara Bukit Dingin menjadi perhutanan sosial Kibuk. Dengan struktur
kelembangaan yang masih sangat sederhana kelompok tani hutan Kibuk telah mampu
mempersiapkan dan menyusun data adminstrasi anggota maupun data pendukung
lainnya seperti menyusun AD/ART, menyusun struktur kelembagaan, menyusun
rencana program kerja dan menyusun data pemetaan areal kerja atau tapal batas
lahan kerja. Kapasitas teknik ini diakui pendamping dari KPH Wilayah X Dempo
yang mengatakan “...kalau KTH Kibuk ini syarat-syarat organisasi kelembagaan itu
hampir semua sudah ada, sudah lengkap
dari mulai anggaran dasar, SK, anggaran rumah tangga, kemudian SK kepengurusan itu semua istilahnya sudah lengkap lah, perizinan sudah lengkap termasuk sudah dapat SK dari menteri kehutanan untuk pengelolaan perhutanan sosial, yang artinya semua syarat-syarat kan sudah
terpenuhi semua, setelah SK menteri keluar kemudian sudah ada rencana karya tahunan, rencana karya pengelolaan jangka panjang, kemudian
laporan-laporan pun dia sudah ada lah”.
Selain itu dengan kapasitas teknik
kelompok tani hutan Kibuk dapat menjalankan semua program utama kelembagaan, seperti membentuk
kelompok kerja (pokja) dan membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).
Kelompok kerja (pokja) dan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) telah
berperan aktif melakukan atau menjalankan program pembangunan perhutanan sosial
Kibuk. Disampaikan oleh pendamping dari KPH Wilayah X Dempo bahwa “...kemudian ada lagi namanya KTH itu kan istilahnya organisasi dasarnya, organisasi anak, kelompok usaha perhutanan sosial itu sudah terbentuk, sk-nya sudah ada dan sekarang sudah jalan, struktur kelembagaan sudah terbentuk”. Walaupun kapasitas teknik yang
dimiliki kelompok tani hutan Kibuk masih sangat terbatas, tetapi kelompok tani hutan Kibuk telah mampu
menjalankan peran kelembagaannya.
Proses Pengembangan Kapasitas Kelembagaan
Kelompok Tani Hutan Kibuk
Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo
telah mendampingi kelompok tani hutan Kibuk sejak tahun 2016. Pendampingan atau pembinaan yang
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan
(KPH) Wilayah X Dempo terhadap kelompok tani hutan Kibuk lebih fokus kepada
pengembangan kapasitas kelembagaan. Pengembangan kapasitas kelembagaan
bertujuan meningkatkan kapasitas kelompok tani hutan Kibuk agar dapat
mewujudkan tata kelola kelembagaan yang baik, setidaknya ada dua bentuk
pendampingan atau pembinaan yang menjadi prioritas Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo
terhadap kelompok tani hutan Kibuk yaitu, Pertama, Pendampingan pembentukan
kelompok tani hutan Kibuk. Kedua, Pedampingan pengembangan usaha atau peningkatan kemampuan kelembagaan unit usaha perhutanan sosial (KUPS) seperti kemampuan manajemen.
Dasar
hukum pemerintah melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap kelompok tani
hutan tertuang dalam
Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9
Tahun 2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial, dalam peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa pendampingan dan pembinaan terhadap kelompok tani hutan dilakukan oleh
Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-PPS) dan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH). Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) merupakan salah satu anggota
Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-PPS).
Pemerintah menggunakan istilah
pendampingan, pembinaan atau pemberdayaan untuk menjelaskan kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building)
terhadap kelompok tani hutan Kibuk. Pendampingan,
pembinaan atau pemberdayaan adalah kegiatan yang dilakukan kepada masyarakat petani atau kelompok tani hutan untuk pengelolaan hutan
lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan pendamping adalah pihak yang memiliki
kompetensi dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, secara
perorangan, kelompok atau lembaga.
Proses pengembangan kapasitas (capacity
building) kelompok
tani hutan Kibuk bertujuan
meningkatkan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability)
tata kelola kelembagaan, sehingga kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk memiliki kepekaan terhadap masalah (sense
of crisis) dan solusi terhadap krisis. Proses pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk sebaiknya
dilakukan atau berdasarkan fase-fase pengembangan kapasitas,
fase dalam pengembangan kapasitas merupakan serangkaian gerakan yang sengaja
disusun agar dijadikan kerangka bertindak. Indikator meningkatnya atau
menurunya kapasitas kelompok tani hutan Kibuk juga ditentukan oleh rangkaian
proses ini.
Adapun fase-fase dalam pengembangan kapasitas (capacity
building) Pertama, berdasarkan penilaian (assessment) yang tepat. Kedua, memiliki rencana dan strategi yang baik. Ketiga, pelaksanaan yang didukung oleh semua
pihak yang terlibat dan Keempat, monitoring serta evaluasi yang kredibel, dan prosesnya dilakukan secara sistematis dan
memiliki waktu yang terukur.
Pertama,
berdasarkan penilaian
kebutuhan (assessment), pemerintah dalam fase ini melakukan penilaian kebutuhan (assessment) pengembangan kapasitas (capacity
building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk berdasarkan kebutuhan yang
bersifat umum atau inventarisasi penilaian kebutuhan (assessment) secara umum, bukan berdasarkan hasil penilaian kebutuhan (assessment) aktual dilapangan (on the spot).
Pemerintah menggunakan top down approach, dengan perangkat dan struktur
birokrasi yang lebih lengkap pemerintah dapat membagi tugas kerjanya.
Pendampingan dan pembinaan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan
Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo sedangkan penyusunan program mulai
dari bentuk kegiatan, isi kegiatan, materi kegiatan pengembangan kapasitas (capacity
building) dilakukan oleh
Badan Penyuluhan dan Pengembagan SDM (BPPS) Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Badan Penyuluhan dan Pengembagan SDM (BPPS) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang berperan untuk melakukan penilaian kebutuhan (assessment) pengembangan kapasitas (capacity
building) terhadap kelompok tani hutan termasuk kelompok tani hutan Kibuk.
Semua
rangkaian pendampingan mulai dari sosialisasi sampai dengan pelaksanaan
kegiatan atau program pendampingan terhadap kelompok tani hutan Kibuk dilakukan
berdasarkan pedoman atau petunjuk teknis dari Dinas Kehutanan maupun
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo hanya berperan sebagai pelaksana kegiatan.
Pendamping dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo mengatakan bahwa pendamping atau pembinaan
hanya bersifat teknis, melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk atau surat
keputusan (SK) kerja dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Wilayah Sumatera. “... kalau kita berdasarkan surat keputusan (SK),
di dalam SK itu ada penjabaran tugas yang diberikan, pendampingan dalam tata
kelola kelembagaan, pengembangan usaha dan kemitraan, pendampingan supaya
menyelesaikan konflik, ada itu, tapi umum bukan khusus tugas untuk Kibuk saja”.
Fase
atau langkah awal dalam proses pengembangan kapasitas (capacity building)
yaitu penilaian kebutuhan (assessment) telah terlaksana tetapi bersifat
umum atau inventarisasi penilaian kebutuhan (assessment) secara umum. Penilaian kebutuhan (assessment) yang dilakukan pemerintah memiliki
keunggulan dalam efisiensi waktu, sedangkan kekurangan penilaian kebutuhan (assessment) yang dilakukan oleh pemerintah
tidak berdasarkan kebutuhan aktual masing-masing kelompok tani hutan sehingga
banyak kebutuhan aktual kelompok tani hutan yang tidak terakomodir dengan baik,
contohnya dalam pengembangan kapasitas (capacity building) kelompok tani
hutan Kibuk, pemerintah sejuah ini telah berhasil memfasilitasi pembentukkan
kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk tetapi penilaian kebutuhan (assessment) belum menyentuh kebutuhan aktual
masyarakat petani Kibuk dalam menjalankan tata kelola lembaga kelompok tani
hutan Kibuk, seperti belum menyentuh pengembangan kapasitas adaptif,
kepemimpinan dan manajemen kelembagaan.
Kedua,
berdasarkan rencana dan
strategi, pengembangan
kapasitas (capacity building) adalah proses belajar yang terukur maka
rencana dan strategi tentu saja menjadi fase penting selanjutnya. Proses
pendampingan atau pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap
kelompok tani hutan Kibuk juga telah direncanakan dan memiliki strategi
tertentu dalam mencapai keberhasilannya. Pemerintah setiap tahunnya telah
menyusun rencana aksi (action plan), rencana aksi (action plan)
adalah pedoman pelaksanaan kegiatan, rencana aksi (action plan) bertujuan untuk
memahami setiap permasalahan dan menentukan strategi untuk mengatasinya. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo selalu menyusun rencana aksi (action plan)
tahunan dan melaksanakan kegiatan pendampingan berdasarkan rencana aksi (action
plan) yang telah disusun sebelumnya. Ada lima identifikasi rencana aksi (action plan) yang telah
disusun oleh Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo. Pertama, tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan. Kedua, pemanfaatan hutan. Ketiga,
penggunaan kawasan hutan. Keempat, rehabilitasi hutan dan reklamasi. Kelima,
perlindungan hutan dan konservasi alam. Kelima identifikasi rencana aksi (action
plan) ini disusun kedalam rencana aksi skala prioritas.
Rencana aksi (action plan) skala prioritas Unit Pelaksana Teknis
Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X
Dempo adalah penyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, bentuk pendampingan yang
dilakukan adalah memperkuat kapasitas kelembagaan dengan melaksanakan kegiatan sosialisasi
mengenai perhutanan sosial kepada masyarakat dan kegiatan ini rutin dilakukan, pendamping dari Kesatuan Pengelola Hutan
(KPH) Wilayah X Dempo mengatakan bahwa. “… Penyuluhan tidak langsung ngobrol
itu kan berlanjut namanya anjangsana lah, kalau kelembagaan kadang-kadang,
Kibuknya sendiri ada undangan kegiatan lain kan ada seminar di Pemkot kita
ikutkan atau ada pelatihan-pelatihan kita libatkan kemudian dia ikut, kita
undang ke KPH Dempo kita berikan pengarahan, ada peraturan baru segala macem,
penguatan-penguatan, misalnya ada usulan-usulan kita bantu”.
Selanjutnya
kegiatan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan dan kelompok kerja (pokja)
beserta kelompok unit-unit usaha seperti kelompok usaha perhutanan sosial
(KUPS) dan rencana aksi (action plan) ini telah dilaksanakan dan saat
ini kelompok tani hutan Kibuk telah memiliki empat kelompok kerja (pokja) dan
satu kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) di bidang agrowisata. Proses
pendampingan atau pengembangan kapasitas (capacity building) yang
dilakukan oleh Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo telah memiliki rencana dan
strategi, semua rencana dan strategi telah disusun setiap tahunnya dalam
rencana aksi (action plan) tahunan dan menjadi pedoman pendamping ketika
melakukan pendampingan atau pun pembinaan.
Ketiga, pelaksanaan
(implementation) pendampingan pertama masyarakat petani Kibuk dilakukan
oleh Balai Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan
(BPSKL) dan Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Pada tahun 2013 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah
X Dempo belum
terbentuk, kewenangan kehutanan masih di bawah Dinas Kehutanan kabupaten/kota,
pada tahun 2016 kewenangan kehutanan dipindahkan dari Dinas Kehutanan
kabupaten/kota ke Dinas Kehutanan provinsi, kemudian dibentuk Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X
Dempo sebagai unit
pelaksana teknis daerah (UPTD). “...dulu awal sosialisasi kita tim, tapi
saya masih petugas dinas kehutanan kota, 2016 baru dipindah ke dinas kehutanan
provinsi dan ditugaskan di KPH”.
Pelaksanaan
(implementation) pendampingan pertama yang dilaksanakan terhadap
masyarakat petani Kibuk dan
para pihak terkait
adalah pendampingan sosialisasi mengenai rencana pembangunan perhutanan sosial, bentuk
kegiatan adalah mengenalkan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) kepada
masyarakat, sosialisasi yang disampaikan mengenai ketentuan dan peraturan serta
sosialisasi mengenai hak dan kewajibannya masyarakat ketika mengelola
perhutanan sosial. Ketua kelompok tani hutan Kibuk menjelaskan awal sosialisasi
dan pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pada tahun 2013. “...awal
dulu ada utusan dari BPSKL yang datang namanya pak Riady, kalau tidak salah
bulan juni 2013, menyampaikan bakal ada rencana pembangunan Hutan
Kemasyarakatan di lahan Kibuk, Masyarakat dikumpulkan mereka sosialisasi, ini
awal masyarakat tahu bahwa lahan Kibuk akan dikeluarkan izin pengelolaannya”.
Setelah kegiatan sosialisasi dilaksanakan kemudian pemerintah melaksanakan
kegiatan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan, pembentukan kelompok tani
hutan Kibuk dilaksanakan pada bulan september 2013. Pendamping memfasilitasi
masyarakat petani membentuk kelompok tani hutan, kemudian membentuk kelompok
kerja (pokja) serta pembentukan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).
Kegiatan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan dan kelompok usaha
perhutanan sosial (KUPS) merupakan bentuk pengembangan institusi, sedangkan
bentuk kegiatan dimulai dari memfasilitasi musyawarah masyarakat, memfasilitasi
penyusunan formasi dan pembentukan kelompok tani hutan, menfasilitasi penyusun
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), memfasilitasi penyusun
proposal pendaftaran Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan memfasilitasi pemetaan
areal kerja Hutan Kemasyarakat (HKm), kemudian membantu menyusun rencana kerja
tahunan dan membantu menyusun kelengkapan data administrasi dan teknis yang
diperlukan untuk pendaftaran Hutan Kemasyarakatan (HKm) ke Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pelaksanaan pendampingan terhadap
kelompok tani hutan Kibuk masih sangat terbatas, atau tidak semua rencana aksi
(action plan) Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo yang telah disusun
sebelumnya dapat terlaksana. Pelaksanaan (implementation) pengembangan
kapasitas (capacity building) juga memiliki keterbatasan seperti tidak
adanya program pengembangan kapasitas (capacity building) yang sesuai
dengan kebutuhan aktual masyarakat petani seperti pelatihan kepemimpinan dan
manajemen, waktu pelaksanaan kegiatan tidak menentu hanya berdasarkan undangan
kegiatan dari pihak luar. serta partisipasi anggota kelompok tani hutan Kibuk
yang masih sangat terbatas. Pendamping dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo mengatakan kesulitan yang dihadapi
pendamping apabila melakukan sosialisasi atau pengarahan.“...petani lebih
banyak di kebun, kalau sudah di kebun susah untuk dikumpulkan, paling hari
jumat biasanya petani balek ke dusun, jika ada kegiatan kita nunggu petani
habis sholat jumat, setelah sholat jumat kita minta izin akan menyampaikan
informasi atau pengarahan. Kalau pelatihan itu biasanya KPH bekerjasama dengan pemerintah
kota atau dinas di provinsi, pengurus petani kita undang untuk ikut, tidak
semua petani cuma perwakilan”.
Saat
ini pendampingan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah
X Dempo hanya sebatas
sosialisasi dan pengawasan. Ketua kelompok tani hutan Kibuk mengatakan “...tugas
KPH itu sekarang melakukan pengawasan, lebih banyak penegakan hukum dari pada membantu, padahal kebutuhan di lahan
Kibuk itu banyak seperti infrastruktur jalan terutama”. Harapan kelompok
tani hutan Kibuk pendampingan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan
Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo tidak hanya bersifat sosialisasi dan pengawasan tetapi melaksanakan
pelatihan keterampilan yang dibutuhkan petani dan kelompok tani hutan Kibuk
serta juga memperhatikan kebutuhan sarana dan prasarana dalam mengelola
perhutanan sosial
Keempat, fase monitoring dan
evaluasi, untuk fase monitoring dan evaluasi proses pengembangan kapasitas
(capacity building) belum pernah dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan
Pengelola Hutan (KPH) Wilayah X Dempo, penilaian terhadap kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability)
kelompok tani hutan Kibuk lebih kepada kemampuan kelompok tani hutan Kibuk
dalam menjalankan program pembangunan perhutanan sosial Kibuk, evaluasi atau
penilaian yang disampaikan pengawas kelompok tani hutan Kibuk yang mengatakan
bahwa ”...kalau kibuk sudah bagus, walau sedikit lambat, kita tidak tahu apa
kepentingannya, masih banyak orang bertanam sayur, apa sayur masih menjanjikan
dibandingkan hasil kopi dengan buah, tapi secara umum sudah bagus, berjalan”.
Monitoring dan evaluasi terhadap
proses pengembangan kapasitas (capacity building) tidak dapat hanya
disandarkan kepada keberhasilan kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan
program kerja. Walaupun monitoring dan evaluasi dapat dilakukan berdasarkan
atas penilaian terhadap dampak (impact) yang memengaruhi kapasitas (capacity)
dan kemampuan (capability) kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan
program kerja, tetapi harus ada korelasi yang benar-benar memengaruhi kelompok
tani hutan Kibuk setelah menjalankan proses pengembangan kapasitas (capacity
building).
Kesimpulan
Proses pengembangan kapasitas (capacity
building) kelompok tani hutan Kibuk masih terdapat keterbatasan dan bentuk
keterbatasannya antara lain, proses pengembangan kapasitas (capacity
building) yang dilakukan pemerintah belum berdasarkan penilaian (assessment) kebutuhan aktual masyarakat petani
Kibuk, sehingga kapasitas kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk belum
menunjukan peningkatan kemampuan dalam mengelola kelembagaan kelompok tani
hutan maupun pembangunan perhutanan sosial. Program pengembangan kapasitas (capacity
building) pemerintah tidak memiliki rencana atau desain yang baik, sehingga
tidak terukur dan capaiannya tidak dapat diprediksi, dan banyak rencana aksi (action
plan) yang belum terealisasi serta proses pengembangan kapasitas (capacity
building) terhadap kelompok tani hutan Kibuk belum memiliki strategi yang
menyeluruh dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan (implementation) pengembangan kapasitas (capacity
building) yang dilakukan pemerintah masih sangat terbatas, pelaksanaan (implementation) pengembangan kapasitas (capacity building)
hanya bersifat memfasilitasi kebutuhan teknis, belum mengarah kepada
peningkatan kapasitas (capacity) dan kemampuan (capability),
terutama yang berhubungan dengan pembangunan karakteristik (kepemimpinan) atau
perilaku kerja yang baik dan peningkatan kemampuan kinerja (manajemen)
kelembagaan kelompok tani hutan Kibuk. selanjutnya monitoring dan evaluasi yang
dilakukan baru menilai capaian kelompok tani hutan Kibuk dalam menjalankan
peran dan fungsinya dalam pembangunan perhutanan sosial Kibuk, sedangkan
monitoring dan evaluasi terhadap proses pengembangan kapasitas (capacity
building) belum dilaksanakan.
Proses
pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap kelompok tani hutan
Kibuk, sebaiknya memiliki konsep atau desain model pengembangan kapasitas (capacity
building), sehingga pemerintah memiliki kerangka kerja atau standar pelaksanaan yang baku, dengan
demikian program pengembangan kapasitas (capacity buidling) pemerintah
dapat dilaksanakan dengan baik dan dampak (impact) dari program
pengembangan kapasitas (capacity building) yang dilaksanakan dapat
tercapai.
BIBLIOGRAFI
Asmin, F., Darusman, D., Ichwandi, I., & Suharjito, D.
(2019). Mainstreaming community-based forest management in west sumatra:
Social forestry arguments, support, and implementation. Forest and Society,
3(1). https://doi.org/10.24259/fs.v3i1.4047
Brito, B., Davis, C., Daviet, F., Micol, L., Nakhooda, S.,
& Thuault, A. (2009). The Governance of forests Toolkit (Version 1): A
draft framework of indicators for assessing governance of the forest sector. World
Resources Institute, Washington, DC.
Bungin, B. (2012). Penelitina Kualitatif. Jakarta:
Kencana.
Connolly, P., & York, P. (2012). Building the
Capacity of Capacity Builders. A Study of Management Support and Field-Building
Organizations in the Nonprofit Sector, The Conservation Company.
Creswell, J., W. (2021). Research Design
Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan campuran (V). Pustaka
Pelajar.
Firdaus, A. Y. (2018). Panduan praktis penerapan kebijakan
perhutanan sosial: Kerangka pencepatan reformasi tenurial hutan. CIFOR.
Fisher, M. R., Moeliono, M., Mulyana, A., Yuliani, E. L.,
Adriadi, A., Kamaluddin, Judda, J., & Sahide, M. A. K. (2018). Assessing
the New Social Forestry Project in Indonesia: Recognition, Livelihood and
Conservation? International Forestry Review, 20(3).
https://doi.org/10.1505/146554818824063014
Hermanto, N., & Swastika, D. K. S. (2016). Penguatan
Kelompok Tani: Langkah Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Analisis
Kebijakan Pertanian, 9(4).
https://doi.org/10.21082/akp.v9n4.2011.371-390
Miteva, D. A., Loucks, C. J., & Pattanayak, S. K.
(2015). Social and environmental impacts of forest management certification in
Indonesia. PLoS ONE, 10(7).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0129675
Mulyana, M., & Moeis, J. P. (2022). Dampak program
perhutanan sosial terhadap pertumbuhan usaha dan deforestasi: bukti empiris
dari Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan, 11(1).
https://doi.org/10.22437/jels.v11i1.18124
Nugraheni, B. L. Y., Khuriyati, S. F., Awang, S. A.,
Nugroho, R. S. A., Chrismastuti, A. A., Nugrahedi, R., Purnamasari, S.,
Teresia, A., & Putranti, C. (n.d.). Gerakan Masyarakat Perhutanan
Sosial di Jawa. UNIKA Soegijapranata.
WHO. (2001). What do we know about capacity building?:
an overview of existing knowledge and good practice.
Pujo, Sofhani, T. F., Gunawan, B., & Syamsudin, T. S.
(2018). Community capacity building in social forestry development: A review.
In Journal of Regional and City Planning. 29(2).
https://doi.org/10.5614/jrcp.2018.29.2.3
Purnama, D. H., & Sartika, D. D. (2024). Pengembangan
Kapasitas Kelompok Tani Hutan Kibuk Dalam Tata Kelola Perhutanan Sosial Yang
Baik (Good Forest Governance) Di Kota Pagaralam. Epigram, 21(01),
1–11.
Tewal, B. (2017). Perilaku
Organisasi. CV Patra Media Grafindo.
Yumantoko. (2022). Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan:
Proses Penguatan Masyarakat Melalui Perhutanan Sosial di Kawasan Hutan Sesaot,
Nusa Tenggara Barat. Sosio Konsepsia, 11(2).
Copyright holder: Agus, Dadang Hikmah Purnama, Diana Dewi Sartika (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |