Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

CASE REPORT: PERIODIK PARALISIS HIPOKALEMIA

 

Greyta Suangga1, Cristina Tarigan2

Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Periodik Paralisis Hipokalemia adalah kondisi medis yang jarang terjadi namun serius, yang ditandai dengan episode kelemahan otot yang berkala akibat rendahnya kadar kalium dalam darah. Kondisi ini seringkali muncul pada masa remaja atau dewasa muda dan dapat menyebabkan kelumpuhan sementara yang bervariasi dalam intensitas dan durasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala klinis, komplikasi, serta tata laksana pralisis periodik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yakni dengan studi literatur. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dalam tiga tahapan yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala klinis Paralisis Periodik meliputi kelemahan otot yang terutama terjadi pada pagi hari setelah istirahat, sering dimulai pada ekstremitas bawah dan dapat disertai dengan hipokalemia. Komplikasi yang dapat terjadi selama serangan kelemahan otot meliputi aritmia jantung, kelemahan otot yang berlangsung lama di antara serangan, serta miopati proksimal progresif. Penanganan Paralisis Periodik meliputi manajemen serangan akut, pencegahan serangan dengan menghindari pemicu yang diketahui, dan penggunaan obat-obatan seperti kalium atau acetazolamide.

Kata kunci: Periodik Paralisis Hipokalemia, Flaksid, Kelemahan Otot

 

Abstract

Periodic Paralysis Hypokalemia is a rare but serious medical condition characterized by periodic episodes of muscle weakness due to low levels of potassium in the blood. This condition often appears in adolescence or young adulthood and can cause temporary paralysis that varies in intensity and duration. This study aims to determine clinical symptoms, complications, and management of periodic prelysis. This study used qualitative research methods. The data collection technique in this research is literature study. The data that has been collected is then analyzed in three stages, namely data reduction, data presentation and drawing conclusions. The results showed that clinical symptoms of Periodic Paralysis include muscle weakness which mainly occurs in the morning after rest, often starting in the lower extremities and can be accompanied by hypokalemia. Complications that can occur during attacks of muscle weakness include cardiac arrhythmias, prolonged muscle weakness between attacks, and progressive proximal myopathy. Treatment of Periodic Paralysis includes management of acute attacks, prevention of attacks by avoiding known triggers, and use of medications such as potassium or acetazolamide.

Keywords: Periodic Paralysis Hypokalemia, Flaccid, Muscle Weakness

 

Pendahuluan

Kelompok penyakit otot heterogen yang dikenal sebagai paralisis periodik (PP) ditandai dengan episode kelemahan otot (flaksid) yang terjadi pada interval yang tidak teratur. Pada umumnya kondisi ini terjadi secara herediter atau turun temurun, dan lebih banyak bersifat episodik daripada periodik (Saripathi, 2018). Paralisis periodik adalah kelemahan otot lurik yang diturunkan secara autosomal dominan, yang dikaitkan dengan kadar kalium dalam plasma darah terdapat 3 tipe: hipokalemi, hiperkalemi, dan normokalemi, bersifat periodik dan reversible (Kurniawan et al., 2016).

Periodik paralisis hipokalemi digambarkan sebagai suatu serangan berulang berupa kelemahan otot yang dihubungkan dengan penurunan kadar kalium darah. Tingkat kalium selama serangan biasanya rendah (<2–3mEq / L) dan jarang normal. Mutasi pada gen yang mengkode subunit alfa dari saluran natrium otot rangka (SCN4A) pada kromosom 17q35 telah diidentifikasi pada pasien dengan paralisis periodik hipokalemia. Periodik paralisis hipokalemi diperkirakan berhubungan dengan peningkatan aktivitas pompa Na/K ATPase, yang menyebabkan terjadinya kalium intraselluler shift. Terdapat suatu hipotesis dimana pasien tiroksikosis periodic paralisis hipokalemia mempunyai suatu predisposisi aktivasi Na/K ATPase akibat peningkatan hormone tiroid dan hiperinsulinisme.  Kelemahan otot biasanya terjadi pada keempat anggota gerak (Pardede & Fahriani, 2012).

Insidensi kejadian paralisis periodic khususnya jenis hipokalemi adalah 1:100.000 dari jumlah populasi.2 Onset biasanya terjadi pada remaja atau anak usia dini, namun tidak menutup kemungkinan pada orang dewassa. Paralisis periodiK hiperkalemia paling umum pada laki-laki (85%) keturunan Asia dengan frekuensi sekitar 2%.  Dengan onset pada dekade pertama, biasanya sebelum 16 tahun, dan jarang sesudah usia 25 tahun (Dissanayake & Padmaperuma, 2018).

Secara umum, kelumpuhan periodik hipokalemik adalah kelainan yang jarang terjadi dan memiliki perkiraan prevalensi 1 dari 100.000. Sebagian besar kasus familial memiliki pola pewarisan autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap. Kelainan ini memiliki ekspresi klinis yang lebih rendah pada wanita karena tingkat penetrasi dan serangan yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Dan juga wanita cenderung memiliki serangan kelemahan otot yang lebih sedikit daripada pria. Banyak kasus bersifat sporadis, yang merupakan mutasi baru.4 Sebagian besar kasus HypoKPP tirotoksik telah diidentifikasi sebagai kasus sporadis dan lebih banyak terjadi pada keturunan Asia dengan dominasi laki-laki 9 banding 1 (Fu et al., 2018).

Paralisis periodik dibedakan menjadi paralisis periodik primer dan sekunder. Paralisis periodik  primer memiliki karakteristik: bersifat herediter, sebagian besar berhubungan dengan perubahan kadar kalium dalam darah, kadang disertai miotonia, adanya gangguan pada ion channels. Paralisis periodik primer meliputi paralisis periodik hipokalemia, hiperkalemia dan paramiotonia. Paralisis periodik tirotoksikosis adalah paralisis periodik sekunder. Berdasarkan kadar kalium darah pada saat serangan, dibedakan 3 jenis paralisis periodik yaitu: paralisis periodik hipokalemia, paralisis periodik hiperkalemia, dan paralisis periodik normokalemia  (Kurniawan et al., 2016).

Kelemahan otot rangka episodik, dan hiporefleksia, dengan atau tanpa myotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran. Pada beberapa kasus, prognosis penyakit ini adalah baik. Namun, dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti kelemahan otot permanen dan kerusakan ginjal sehingga pengetahuan untuk diagnosis dan terapi pasien paralisis periodik sangat diperlukan  (Kurniawan et al., 2016). Pada referat ini, penelitian bertujuan untuk membahas lebih dalam terkait Periodik paralisis hipokalemia mulai dari definisi, gejala klinis, tatalaksana sampai prognosis pada penyakit ini.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah pendekatan penelitian yang bertujuan untuk memahami dan menggali makna, pengalaman, dan perspektif individu atau kelompok dalam konteks sosial atau budaya tertentu. Metode ini berfokus pada pengumpulan data yang bersifat deskriptif dan interpretatif, yang memungkinkan peneliti untuk memperoleh wawasan mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti (Hennink et al., 2020). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yakni dengan studi literatur. Studi literatur adalah metode pengumpulan data yang melibatkan pengidentifikasian, penelaahan, dan analisis terhadap sumber-sumber tertulis yang relevan dengan topik penelitian. Sumber penelitian ini berupa buku, artikel jurnal, laporan penelitian, makalah konferensi, dan dokumen-dokumen lain yang relevan. Data yang digunakan diperoleh dari Google Schoolar. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dalam tiga tahapan yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

 

Deskripsi Kasus

Kadar kalium selama serangan biasanya rendah (<2–3mEq / L). Terjadi pada usia dekade kedua. Serangan paling sering dimulai di pagi hari. Durasi serangan bisa berlangsung antara dua hingga dua belas jam, dengan faktor pemicu seperti konsumsi makanan tinggi karbohidrat, istirahat setelah latihan fisik berat, dan konsumsi alkohol. Kelemahan otot umumnya mempengaruhi keempat anggota gerak, dengan dominasi pada ekstremitas bawah jika kelainan belum komplit. Fungsi respirasi, menelan, dan motilitas okuler biasanya tetap normal, kecuali pada serangan yang sangat berat. Tidak ada gangguan sensoris, dan refleks tendon cenderung menurun selama serangan.

Kriteria diagnosis untuk periodik paralisis hipokalemia meliputi awitan akut dengan gejala kelumpuhan anggota gerak, tanpa gangguan sensoris dan jarang melibatkan otot respirasi serta otot menelan. Episode kelemahan ini sering kali diawali dengan nyeri otot dan terjadi setelah periode istirahat pasca latihan berat. Faktor presipitasi seperti konsumsi karbohidrat yang berlebihan, kelelahan, dan cuaca dingin dapat memicu serangan. Kadar kalium darah bisa bervariasi dari hiperkalemia, normokalemia, hingga hipokalemia, namun yang paling sering adalah hipokalemia. Diagnosis banding meliputi kondisi seperti kelumpuhan periodik hiperkalemik atau normokalemik, kelumpuhan periodik tirotoksik, Sindrom Andersen-Tawil, hipokalemia sekunder, miastenia gravis, dan paramyotonia kongenita, yang semuanya memiliki gejala kelemahan otot episodik dan harus dipertimbangkan oleh dokter yang merawat. Penanganan meliputi manajemen diet, suplementasi kalium, dan penghindaran faktor pemicu yang diketahui.

 

Hasil dan Pembahasan

Periodik paralisis adalah sekelompok gangguan neurologis yang ditandai oleh episode kelemahan otot atau kelumpuhan yang terjadi secara berkala. Kondisi ini disebabkan oleh mutasi genetik yang mempengaruhi saluran ion pada otot rangka, yang dapat mengganggu regulasi kalium dan natrium dalam sel otot (Dinata & Syafrita, 2018).

Beberapa jenis paralisis periodik meliputi Paralisis Periodik Hipokalemik (HypoKPP), yang disebabkan oleh mutasi genetik pada saluran ion otot rangka seperti gen CACNA1S dan SCN4A. Gejalanya mencakup kelemahan otot yang sering dipicu oleh faktor seperti konsumsi makanan tinggi karbohidrat, istirahat setelah aktivitas fisik berat, dan konsumsi alkohol, dengan kadar kalium darah rendah selama serangan (Mahardieni et al., 2024). Penanganannya melibatkan manajemen diet, suplementasi kalium, dan penghindaran pemicu yang diketahui. Sementara itu, Paralisis Periodik Hiperkalemik (HyperKPP) disebabkan oleh mutasi pada gen SCN4A yang mempengaruhi saluran natrium pada otot. Gejala HyperKPP meliputi kelemahan otot setelah periode istirahat atau konsumsi kalium tinggi, dengan peningkatan kadar kalium darah selama serangan (Winarno & Tooy, 2018). Pengobatan melibatkan penghindaran makanan tinggi kalium dan penggunaan obat-obatan untuk mengontrol kadar kalium. Selain itu, terdapat juga Paralisis Periodik Normokalemik, yang gejalanya mirip dengan HyperKPP namun dengan kadar kalium serum normal selama serangan. Penanganannya serupa dengan HyperKPP, dengan fokus pada manajemen kadar kalium dan penghindaran pemicu (Anantyo & Putra, 2022). Kondisi-kondisi lain seperti Sindrom Andersen-Tawil (ATS), Kelumpuhan Periodik Akibat Tirotoksik (TPP), Paramyotonia Congenital, dan lainnya juga memiliki gejala dan penanganan yang khas, dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat sangat penting untuk mengelola kondisi ini secara efektif.

Penyebab periodik paralisis hipokalemia adalah mutasi genetik yang mempengaruhi saluran ion pada otot rangka, yang mengganggu regulasi kalium dan fungsi otot. Mutasi ini sering terjadi pada gen yang mengkodekan saluran kalsium atau natrium, seperti gen CACNA1S dan SCN4A. Faktor-faktor pemicu yang dapat menyebabkan penurunan kadar kalium dalam darah dan memicu serangan termasuk konsumsi makanan tinggi karbohidrat, istirahat setelah aktivitas fisik berat, dan konsumsi alkohol. Selain itu, stres dan cuaca dingin juga dapat menjadi pemicu serangan kelemahan otot atau kelumpuhan pada pasien dengan kondisi ini (Yudhawati et al., 2022).

Tujuan utama pengobatan hipokalemia adalah untuk meringankan gejala serangan akut, mencegah dan menangani komplikasi langsung, serta mencegah komplikasi lanjut dan serangan di masa mendatang.

1.     Pengobatan Akut

Tujuan pengobatan akut adalah menormalkan kadar kalium serum. Kalium klorida oral diberikan dalam dosis bertahap, dimulai dari 0,5 hingga 1 mEq/kg (misalnya, 60 hingga 120 mEq kalium untuk individu dengan berat badan 60 kg). Jika pasien tidak merespons dosis awal, dosis tambahan sebesar 30% dari dosis awal (yaitu 0,3 mEq/kg) diulang setiap 30 menit (Asmar et al., 2016). Jika diperlukan lebih dari 100 mEq kalium oral, pemantauan ketat terhadap kadar kalium serum harus dilakukan, dengan batas total tidak melebihi 200 mEq dalam 24 jam. Pemantauan EKG dan kekuatan otot diperlukan selama pengobatan, serta pemantauan kadar kalium serum selama 24 jam untuk menghindari hiperkalemia. Kalium IV dicadangkan untuk kondisi aritmia atau kesulitan menelan, diberikan dengan manitol untuk menghindari kelumpuhan otot yang dipicu oleh karbohidrat atau garam. Terapi kalium IV memerlukan pemantauan EKG terus menerus dan rawat inap, dengan dosis tidak melebihi 200 mEq dalam 24 jam. Individu dengan serangan ringan dapat memperoleh manfaat dari latihan tingkat rendah (Nathania, 2019).

2.     Pengobatan Pencegahan

Intervensi pencegahan meliputi edukasi pasien tentang faktor pemicu dan modifikasi gaya hidup. Secara farmakologis, suplementasi kalium kronis, penghambat anhidrase karbonat (CAI) seperti acetazolamide, dan diuretik hemat kalium digunakan jika modifikasi gaya hidup tidak cukup. Penghambat anhidrase karbonat efektif mengurangi serangan kelemahan otot, meskipun respons bervariasi tergantung pada mutasi genetik (CACNA1S lebih responsif dibandingkan SCN4A (Colucci et al., 2022). Dosis acetazolamide yang efektif adalah 250 mg dua kali sehari. Diklorfenakida, yang baru-baru ini disetujui FDA, lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi kejadian, tingkat keparahan, dan durasi serangan. Beberapa pasien juga memanfaatkan diuretik hemat kalium seperti spironolakton atau triamterene, baik sebagai tambahan atau monoterapi. Pemantauan elektrolit diperlukan pada pasien yang menjalani terapi diuretik. Meskipun belum ada terapi definitif untuk miopati yang timbul, mengurangi serangan kelemahan otot dapat membantu mencegahnya. Penelitian juga menunjukkan topiramate mungkin efektif mengurangi serangan pada anak-anak dengan HypoKPP (Phuyal et al., 2024).

3.     Pertimbangan Khusus

Pada pasien HypoKPP dengan mutasi CACNA1S, ada risiko hipertermia ganas selama pembedahan. Dokter bedah dan ahli anestesi harus mewaspadai penggunaan anestesi inhalasi dan pelemas otot, serta mempersiapkan penanganannya. Lingkungan dingin dan penggunaan garam serta dekstrosa selama pembedahan dapat memicu kelemahan otot, sehingga pemantauan kalium penting. Selama kehamilan, manajemen kalium tidak berbeda, namun obat seperti acetazolamide dan dichlorphenamide merupakan kategori kehamilan FDA C, sehingga penggunaannya memerlukan pertimbangan risiko dan manfaat. Beberapa wanita hamil mungkin memilih untuk tidak mengonsumsi obat ini selama kehamilan (Ismy, 2020).

Kasus ini menggambarkan seorang pasien dengan periodik paralisis hipokalemia, yang ditandai oleh serangan kelemahan otot atau kelumpuhan yang terjadi secara berkala. Gejala serangan termasuk kelemahan otot yang mempengaruhi keempat anggota gerak, terutama pada ekstremitas bawah jika kelainan belum komplit, dengan durasi serangan berkisar antara dua hingga dua belas jam. Faktor pemicu seperti konsumsi makanan tinggi karbohidrat, istirahat setelah latihan fisik berat, dan konsumsi alkohol dapat memicu serangan. Kriteria diagnosis meliputi awitan akut dengan gejala kelumpuhan anggota gerak, tanpa gangguan sensoris, dan jarang melibatkan otot respirasi serta otot menelan. Diagnosis banding mencakup berbagai kondisi seperti kelumpuhan periodik hiperkalemik atau normokalemik, kelumpuhan periodik tirotoksik, Sindrom Andersen-Tawil, hipokalemia sekunder, miastenia gravis, dan paramyotonia kongenita. Penanganan yang direkomendasikan mencakup manajemen diet, suplementasi kalium, dan penghindaran faktor pemicu yang diketahui. Dengan memperhatikan karakteristik klinis dan temuan laboratorium, dokter yang merawat dapat membuat diagnosis yang tepat dan merencanakan pengelolaan yang sesuai untuk pasien ini.

Dalam menangani kasus periodik paralisis hipokalemia, pendekatan yang komprehensif dan terarah sangat penting. Langkah pertama adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap gejala pasien, termasuk riwayat medis keluarga, riwayat pengobatan, dan faktor pemicu yang memicu serangan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh dan pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa kadar kalium darah dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Diagnosis banding harus dipertimbangkan dengan cermat, mengingat kemiripan gejala dengan kondisi lain seperti kelumpuhan periodik hiperkalemik atau normokalemik, kelumpuhan periodik tirotoksik, dan lainnya.

Setelah diagnosis dikonfirmasi, penanganan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien. Ini bisa meliputi manajemen diet dengan menghindari makanan tinggi karbohidrat atau alkohol, serta suplementasi kalium untuk menjaga kadar kalium dalam rentang normal. Pengelolaan stres dan penghindaran faktor pemicu yang diketahui juga penting dalam mencegah serangan berulang. Selain itu, pendekatan farmakologis seperti penggunaan obat-obatan tertentu atau terapi penghambatan karbonat anhidrase juga dapat dipertimbangkan tergantung pada kebutuhan pasien.

Pemantauan rutin terhadap kondisi pasien, termasuk pemantauan kadar kalium darah dan evaluasi terhadap respons terhadap pengobatan, juga harus dilakukan secara berkala. Konseling genetik dapat diberikan kepada pasien dan keluarga untuk memahami risiko genetik serta implikasi penyakit ini terhadap kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan yang terkoordinasi dan terarah, pasien dengan periodik paralisis hipokalemia dapat mengelola kondisinya dengan lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Dengan demikian, kasus periodik paralisis hipokalemia melibatkan seorang pasien dengan serangan kelemahan otot yang terjadi secara berkala, dengan gejala meliputi kelemahan pada keempat anggota gerak, sering dimulai di pagi hari, dan dipicu oleh faktor seperti konsumsi makanan tinggi karbohidrat. Diagnosis banding harus dipertimbangkan, dan penanganannya melibatkan manajemen diet, suplementasi kalium, serta penghindaran faktor pemicu. Pendekatan terapi yang komprehensif, evaluasi rutin, dan konseling genetik penting untuk memastikan manajemen yang efektif dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

 

Kesimpulan

Paralisis Periodik adalah kondisi genetik yang ditandai oleh serangan kelemahan otot yang berulang, biasanya disebabkan oleh gangguan pada kanal ion yang mengontrol keseimbangan natrium dan kalium dalam sel otot rangka. Terdapat beberapa jenis Paralisis Periodik yang dapat terjadi, termasuk Hipokalemik Periodic Paralysis (HypoKPP) dan Hyperkalemik Periodic Paralysis (HyperKPP), yang masing-masing terkait dengan perubahan kadar kalium dalam darah. Gejala klinis Paralisis Periodik meliputi kelemahan otot yang terutama terjadi pada pagi hari setelah istirahat, seringkali dimulai pada ekstremitas bawah dan dapat disertai dengan hipokalemia. Diagnosis Paralisis Periodik dapat didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes DNA untuk mendeteksi mutasi gen yang terkait. Namun, tes DNA mungkin tidak selalu mampu mengidentifikasi semua mutasi yang terlibat, sehingga hasil negatif tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan diagnosis. Komplikasi yang dapat terjadi selama serangan kelemahan otot meliputi aritmia jantung akibat hipokalemia dan ketidakcukupan pernapasan akibat kelumpuhan otot pernapasan. Selain itu, beberapa pasien juga dapat mengalami kelemahan otot yang berlangsung lama di antara serangan, serta miopati proksimal progresif yang dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari. Tata laksana Paralisis Periodik meliputi manajemen serangan akut, pencegahan serangan dengan menghindari pemicu yang diketahui, dan penggunaan obat-obatan seperti kalium atau acetazolamide. Prognosis Paralisis Periodik bervariasi tergantung pada jenis dan keparahan kondisi, namun dengan manajemen yang tepat, banyak pasien dapat mengelola gejala mereka dengan baik.

 

BIBLIOGRAFI

 

Anantyo, D. T., & Putra, R. M. (2022). Seorang Anak 17 tahun dengan Hipokalemia Periodik Paralis. Medica Hospitalia: Journal of Clinical Medicine. 9(2), 251-255.

Asmar, A., Mohandas, R., & Wingo, C. (2016). A Physiologic-Based Approach to the Treatment of a Patient With Hypokalemia. Am J Kidney Dis. 60(3), 492-497.

Colucci, M. C., Triolo, M. F., Petrucci, S., Pugnaloni, F., et al. (2022). A dangerous food binge: a case report of hypokalemic periodic paralysis and review of current literature. Italian Journal of Pediatrics. 48(116).

Dinata, G. S., & Syafrita, Y. (2018). ​​Profil Pasien Periodik Paralisis Hipokalemia Di Bangsal Saraf RSUP DR M Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 7(2), 91-96.

Dissanayake, H. A., & Padmaperuma, P. A. C. D. (2018). Periodic paralysis: what clinician needs to know. Endocrinology and Metabolism international journal, 6(4), 284-289.

Fu, C., Wang, Z., Wang, L., Li, J., Sang, Q., Chen, J., ... & Liu, X. (2018). Familial normokalemic periodic paralysis associated with mutation in the SCN4A p. M1592V. Frontiers in Neurology, 9, 430.

Hennink, M., Hutter, I., & Bailey, A. (2020). Qualitative research methods. Sage.

Ismy, J. (2020). Periodik paralisis hipokalemia pada anak usia 15. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 20(2), 115-120.

Kurniawan, M., Suharjanti, I., & Pinzon, R. T. (2016). Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Mahardieni, K., Nazma, D., Soesilo, C., & Prasetyaningsih, N. (2024). Laporan Kasus: Hipokalemia Periodik Paralisis. Jurnal Akta Trimedika (JAT). 1(1), 116-123.

Nathania, M. (2019). Hipokalemia – Diagnosis dan Tatalaksana. CDK. 46(2), 103-108.

Pardede, S. O., & Fahriani, R. (2012). Paralisis periodik hipokalemik familial. Cermin Dunia Kedokteran, 39(10), 727-730.

Phuyal, P., Bhutta, B., & Nagalli, S. (2024). Hypokalemic Periodic Paralysis. StatPearls.

Sripathi, N. (2018). Periodic Paralysis. Medscape journal: Neuromuscular Clinic, Department of Neurology, Henry Ford Hospital.

Wijaya, J., & Naranjumi, N. (2022). Periodik Paralis Hipokalemia pada Pria 29 Tahun. Jurnal Penelitian Perawat Profesional. 4(1), 281-288.

Winarno, A. N. A., & Tooy, C. K. (2018). Paralisis Periodik Hipokalemik diduga Familial yang Dipicu Vomitus. CDK. 45(2), 120-123.

Yudhawati, N. M., Adnyani, N. M. D., Nugraha, I. B. A., & Gotera, W. (2022). Laporan Kasus: Seorang Penderita dengan Kecurigaan Thyrotoxic Periodic Paralysis. Journal of Medicine and Health. 4(1), 71-83.

 

Copyright holder:

Greyta Suangga, Cristina Tarigan (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: