Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

CASE REPORT: ARTRITIS GOUT KRONIS BERTOFUS

 

Aydhing Nathasya Jap1, Cristina Tarigan2

Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia1,2

Email: [email protected]1

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi strategi manajemen pengobatan pada pasien gout kronis dengan riwayat hiperurisemia, hipertensi, dislipidemia, TB paru, AKI, dan CHF, serta mempertimbangkan peran terapi penurun kadar asam urat dalam mengurangi gejala dan mencegah serangan akut. Metode penelitian dilakukan melalui studi kasus dengan pendekatan deskriptif analitik yang mengkaji kondisi klinis pasien, riwayat medis, dan respons terhadap berbagai intervensi terapeutik, termasuk penggunaan inhibitor xantin oksidase (alopurinol, febuxostat) dan urikosurik (probenecid). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pengobatan menggunakan inhibitor xantin oksidase efektif dalam menurunkan kadar asam urat serum dan mencegah serangan gout akut, sementara terapi profilaksis tambahan diperlukan untuk meminimalkan peradangan sendi yang parah. Pemilihan terapi penurun kadar asam urat harus disesuaikan dengan kondisi komorbiditas pasien, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal dan kardiovaskular, di mana pemantauan ketat diperlukan untuk menghindari komplikasi. Pendekatan individualistik penting dalam pengelolaan gout kronis, dengan mempertimbangkan riwayat penyakit dan respons terhadap terapi, serta perlunya edukasi pasien mengenai perubahan gaya hidup untuk mengurangi risiko serangan di masa mendatang.

Kata Kunci: Gout, Artritis Gout Kronik, Tofus

 

Abstract

This study aims to evaluate treatment management strategies in chronic gout patients with a history of hyperuricemia, hypertension, dyslipidemia, pulmonary TB, AKI, and CHF, and consider the role of uric acid-lowering therapy in reducing symptoms and preventing acute attacks. The research method was conducted through a case study with an analytic descriptive approach that examined the patient's clinical condition, medical history, and response to various therapeutic interventions, including the use of xanthine oxidase inhibitors (alopurinol, febuxostat) and uricosurics (probenecid). Results from studies have shown that treatment using xanthine oxidase inhibitors is effective in lowering serum uric acid levels and preventing acute gout attacks, while additional prophylactic therapy is needed to minimize severe joint inflammation. The selection of uric acid-lowering therapy should be tailored to the patient's comorbid conditions, especially in patients with renal and cardiovascular disorders, where close monitoring is required to avoid complications. An individualistic approach is important in the management of chronic gout, taking into account the disease history and response to therapy, as well as the need for patient education regarding lifestyle changes to reduce the risk of future attacks.

Keywords: Gout, Chronic Gouty Arthritis, Tofus

 

Pendahuluan

Gout adalah penyakit progresif yang disebabkan oleh deposisi kristal monosodium urat (MSU) di persendian, ginjal, dan jaringan ikat lainnya akibat hiperurisemia kronis. Tanpa penanganan yang tepat, kondisi ini dapat berkembang menjadi gout kronis, pembentukan tofus, gangguan fungsi ginjal yang serius, dan penurunan kualitas hidup (Sharma et al., 2021).

Gout mempengaruhi 1-2% populasi dewasa dan merupakan jenis artritis inflamasi yang paling umum pada pria. Prevalensi gout diperkirakan mencapai 13,6 per 1000 pria dan 6,4 per 1000 wanita, dengan peningkatan prevalensi seiring bertambahnya usia, rata-rata 7% pada pria di atas 75 tahun dan 3% pada wanita di atas 85 tahun (Kencana & Mayasari, 2023). Penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi hiperurisemia di Bali sebesar 14,5% (Kambayana, 2010), sementara penelitian pada etnis Sangihe di Pulau Minahasa Utara menunjukkan prevalensi gout sebesar 29,2% (Algifari et al., 2020). Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga fase (Maharani & Utama, 2024):

1)  Hiperurisemia tanpa gejala klinis ditandai dengan kadar asam urat serum lebih dari 6,8 mg/dl, yang menunjukkan bahwa kadar asam urat telah melampaui batas kelarutannya di serum. Fase ini bisa berlangsung lama dan sebagian kasus dapat berkembang menjadi artritis gout.

2)  Fase interkritikal adalah periode bebas gejala antara dua serangan gout akut atau periode asimptomatik. Pada fase ini, tidak ada tanda-tanda peradangan akut yang terlihat. Namun, kristal monosodium urat dapat ditemukan pada aspirasi sendi. Periode ini bisa berlangsung dari beberapa bulan hingga beberapa tahun.

3)  Artritis gout kronis ditandai dengan serangan artritis gout akut yang berulang, tanpa gejala di antara dua serangan akut. Interval antara serangan akut semakin pendek, durasi serangan semakin panjang, dan jumlah sendi yang terkena semakin banyak.

Gejala gout biasanya muncul sebagai serangan artritis gout akut pertama yang paling sering menyerang sendi metatarsophalangeal (MTP) 1, yang terjadi pada sekitar 80-90% kasus dan dikenal dengan sebutan podagra (Nawoor, 2022). Serangan ini terjadi secara tiba-tiba, dengan sendi yang terkena menjadi merah, hangat, bengkak, dan nyeri. Serangan akut kedua biasanya terjadi dalam 6 bulan hingga 2 tahun setelah serangan pertama. Serangan berikutnya bisa melibatkan lebih dari satu sendi, termasuk tungkai atas, dengan durasi serangan yang lebih lama, interval antar serangan yang lebih pendek, dan gejala yang lebih parah (Hajar et al., 2022).

Jika serangan artritis akut tidak diobati dengan baik, hal ini bisa berkembang menjadi artritis gout kronis yang ditandai dengan peradangan ringan pada sendi dan kerusakan kronis pada sendi yang sering diserang (Zahra, 2023). Pada pemeriksaan fisik, sering ditemukan deformitas sendi dan tofus (kristal MSU yang dikelilingi oleh sel mononuklear dan sel raksasa). Artritis gout kronis dapat berkembang dalam waktu 5 tahun dari serangan pertama pada sekitar 30% pasien yang tidak mendapatkan pengobatan yang memadai (Widyanto, 2014).

Faktor risiko yang dapat menyebabkan atau memicu gout termasuk faktor genetik, kelebihan berat badan (overweight), penggunaan obat-obatan tertentu (misalnya diuretik), gangguan fungsi ginjal, dan gaya hidup tidak sehat seperti konsumsi alkohol dan minuman berpemanis. Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita gout meliputi tophi, deformitas sendi, osteoarthritis, bone loss, nefropati urat, dan nefrolitiasis. Komplikasi gout juga dapat mempengaruhi mata, seperti konjungtivitis, uveitis, atau skleritis akibat pengendapan kristal urat (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi strategi manajemen pengobatan pada pasien gout kronis dengan riwayat hiperurisemia, hipertensi, dislipidemia, TB paru, AKI, dan CHF, serta mempertimbangkan peran terapi penurun kadar asam urat dalam mengurangi gejala dan mencegah serangan akut.

 

Metode Penelitian

Laporan Kasus

Pasien dirawat di bangsal Pangrango, terdapat keluhan nyeri pada kedua kaki dan tangan disertai dengan bengkak, kemerahan, dan muncul benjolan seperti bisul pada kaki. Keluhan sudah dirasakan ± 3 bulan. Keluhan pertama kali muncul pada jari kaki kemudian ke lutut, jari tangan, dan siku. Jika keluhan sedang memberat, pasien merasa nyeri hingga sulit berjalan, demam tinggi, dan sulit tidur. Pasien pernah berobat ke klinik dokter umum dan diberikan piroxicam, allopurinol, dan metilprednisolon. Diketahui bahwa pasien tidak rutin meminum obat sehingga keluhan tidak kunjung membaik. Pasien memiliki riwayat hiperurisemia sejak 20 tahun yang lalu. Selain itu, terdapat juga riwayat hipertensi, dislipidemia, alergi OAT, CHF yang tidak rutin kontrol, TB paru pengobatan tidak tuntas karena alergi obat OAT (hanya berlangsung 3-4 bulan), dan AKI. Pasien memiliki riwayat hiperurisemia sejak 20 tahun yang lalu. Selain itu, terdapat juga riwayat hipertensi, dislipidemia, alergi OAT, CHF yang tidak rutin kontrol, TB paru pengobatan tidak tuntas karena alergi obat OAT (hanya berlangsung 3-4 bulan), dan AKI. Ayah pasien memiliki riwayat asam urat dan ibu pasien memiliki riwayat hipertensi serta diabetes. Pasien gemar mengonsumsi gorengan, kacang-kacangan, jeroan, sayur hijau, dan daging (makanan tinggi purin).

 

Gambar 1. Pemeriksaan Fisik Pasien

 

Hasil dan Pembahasan

Gout adalah jenis artritis yang sering terjadi dan disebabkan oleh peradangan (Vargas-Santos et al., 2016). Untuk mendiagnosis gout, digunakan kriteria diagnosis yang disusun oleh American College of Rheumatology (ACR) dan European League against Rheumatism (EULAR). Sebuah algoritma diagnostik dan klasifikasi yang berguna diagnosis untuk asam urat. Algoritma ini menggunakan temuan klinis, laboratorium, dan pencitraan (Weaver et al., 2021). Kriteria ini dituangkan dalam bentuk tabel, seperti berikut:

Tabel 1. Kriteria Gout menurut ACR/ EULAR 2015

Kriteria

Kategori

Skor

Klinis

 

 

Pola keterlibatan sendi/bursa selama episode simptomatik

Pergelangan kaki atau telapak kaki (monoartikular atau oligoartikular tanpa keterlibatan sendi MTP-1)

1

 

Sendi MTP-1 terlibat dalam episode simptomatik, dapat monoartikular maupun oligoartikular

2

Karakteristik episode simptomatik

 

 

·  Eritema

1 karakteristik

1

·  Tidak dapat menahan nyeri akibat sentuhan atau penekanan pada sendi yang terlibat

2 karakteristik

2

·  Kesulitan berjalan atau tidak dapat mempergunakan sendi yang terlibat

3 karakteristik

3

Terdapat ≥ 2 tanda episode simptomatik tipikal dengan atau tanpa terapi

 

 

·  Nyeri < 24 jam

1 episode tipikal

1

·  Resolusi gejala ≤ 14 hari

Episode tipikal rekuren

2

· Resolusi komplit di antara episode simptomatik

 

 

Bukti klinis adanya tofus

 

 

Nodul subkutan yang tampak seperti kapur di bawah kulit yang transparan, seringkali dilapisi jaringan vaskuler, lokasi tipikal: sendi, telinga, bursa olekranon, bantalan jari, tendon (contohnya achilles)

Ditemukan tofus

4

Laboratoris

 

 

Asam urat serum dinilai dengan metode urikase Idealnya dilakukan saat pasien tidak sedang menerima terapi penurun asam urat dan sudah > 4 minggu sejak timbul episode simptomatik (atau selama fase interkritikal)

<4 mg/dL (<0.24 mmol/L)

6−8 mg/dL (<0.36− <0.48 mmol/L)

8−<10 mg/dL (0.48− <0.60 mmol/L)

≥10 mg/dL (≥0.60 mmol/L

 

-4

2

3

4

Analisis cairan sinovial pada sendi atau bursa yang terlibat

MSU negatif

-2

Pencitraan

 

 

Bukti pencitraan deposisi urat pada sendi atau bursa simptomatik: ditemukan double-contour sign positif pada ultrasound atau DECT menunjukkan adanya deposisi urat.

Terdapat tanda deposisi urat

4

Bukti pencitraan kerusakan sendi akibat gout: radiograϐi konvensional pada tangan dan/atau kaki menunjukkan minimal 1 erosi.

Terdapat bukti kerusakan sendi

4

Sumber: Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018)

 

Langkah-langkah penggunaan kriteria ACR/EULAR tahun 2015 untuk diagnosis gout dapat diuraikan sebagai berikut, pertama dokter akan menilai apakah pasien telah mengalami minimal satu episode bengkak dan nyeri pada sendi perifer atau bursa (misalnya, jempol kaki atau pergelangan kaki). Gejala ini adalah indikasi awal yang dapat mengarahkan pada diagnosis gout. Langkah kedua, jika dalam pemeriksaan cairan sinovial atau bursa terdapat kristal monosodium urate (MSU), diagnosis gout bisa ditegakkan langsung tanpa memerlukan aplikasi kriteria klasifikasi lebih lanjut dari tabel 1. Prinsipnya, temuan kristal MSU secara langsung adalah bukti yang sangat kuat untuk gout. Langkah ketiga, jika tidak ada temuan kristal MSU langsung, maka dokter akan menggunakan tabel 1 yang menggambarkan kriteria klasifikasi dari ACR/EULAR. Langkah ini diperlukan untuk mengumpulkan skor berdasarkan kriteria tertentu yang mencakup gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan temuan radiologis. Pasien dapat diklasifikasikan sebagai menderita gout jika skor yang dihitung dari kriteria klasifikasi tabel 1 mencapai atau melebihi 8 poin. Berikut merupakan rekomendasi klinis yang dapat membantu dalam mendiagnosis gout:

1)    Hiperurisemia tanpa gejala adalah kondisi di mana kadar asam urat dalam serum melebihi 6,8 mg/dL tanpa adanya gejala klinis.

2)    Serangan artritis gout akut dicirikan oleh rasa sakit yang intens, sensitivitas terhadap tekanan atau sentuhan, timbul secara tiba-tiba, serta pembengkakan dengan atau tanpa kemerahan yang mencapai puncaknya dalam waktu 6−12 jam pada satu sendi (monoartritis akut). Gejala klinis khas dari gout termasuk seringnya terjadinya podagra bersama dengan kondisi hiperurisemia.

3)    Diagnosis pasti gout dibuat jika kristal monosodium urat (MSU) terdeteksi dalam cairan sendi atau aspirasi tofi.

4)    Pada fase interkritikal, keberadaan kristal MSU dari sendi yang tidak meradang dapat menjadi diagnosis pasti gout pada periode ini.

5)    Pemeriksaan rutin terhadap kristal MSU, disarankan pada semua sampel cairan sendi yang berasal dari sendi yang mengalami peradangan, terutama pada kasus yang belum terdiagnosis.

6)    Menurut kriteria ACR/EULAR 2015, diagnosis gout akut, gout pada fase interkritikal, dan gout kronis dapat dikonfirmasi dengan menggunakan kriteria tersebut.

7)    Penilaian faktor risiko gout dan kondisi komorbid, termasuk sindrom metabolik seperti kelebihan berat badan, kadar gula darah tinggi, tingkat lemak darah yang tinggi, dan tekanan darah tinggi.

8)    Artritis septik gout dan artritis septik dapat timbul secara bersamaan. Jika dicurigai adanya artritis septik, disarankan untuk melakukan pemeriksaan Gram stain dan kultur cairan sendi, meskipun telah terdeteksi kristal MSU.

9)    Meskipun kadar asam urat serum merupakan faktor risiko penting untuk gout, nilainya tidak dapat dengan pasti mengonfirmasi atau mengecualikan gout karena banyak individu dengan hiperurisemia tidak mengalami gout, dan kadar serum dapat normal selama serangan gout akut.

10) Pengukuran ekskresi asam urat ginjal disarankan untuk pasien gout dengan kondisi khusus, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat keluarga, mengalami onset gout pada usia muda (di bawah 25 tahun), atau memiliki riwayat batu ginjal.

11) Pemeriksaan radiografi dapat memberikan gambaran khas pada gout kronis dan bermanfaat untuk diagnosis banding. Namun, pemeriksaan ini kurang efektif untuk mengonfirmasi diagnosis pada fase awal atau serangan gout akut.

Pendekatan ini dapat bermanfaat dalam membantu dokter mendiagnosis gout yang lebih akurat, didasarkan pada bukti-bukti klinis yang tersedia (Vargas-Santos et al., 2016). Hal ini sangat penting untuk mengarahkan pengelolaan yang tepat guna mengurangi gejala dan mencegah kemungkinan komplikasi yang dapat timbul dari kondisi ini.

Pada kondisi pasien dengan hiperurisemia tanpa gejala klinis, dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018), penanganan dapat dilaksanakan dengan mengubah pola kehidupan, termasuk pola makan sesuai dengan prinsip umum penatalaksanaan hiperurisemia dan gout. Sedangkan pemakaian terapi untuk mengurangi kadar asam urat pada hiperurisemia tanpa gejala masih menjadi perdebatan. Menurut panduan dari European League Against Rheumatism (EULAR), American College of Rheumatology (ACR), dan National Kidney Foundation (NKF), pemakaian terapi untuk menurunkan asam urat tidak direkomendasikan karena aspek keselamatan dan efektivitas penanganan tersebut. Di sisi lain, Japan Society for Nucleic Acid Metabolism merekomendasikan memberikan obat untuk menurunkan asam urat kepada pasien hiperurisemia tanpa gejala jika tingkat asam urat dalam serum mereka lebih dari 9 atau tingkat asam urat dalam serum lebih dari 8, terutama jika pasien memiliki faktor risiko kardiovaskular seperti gangguan ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit jantung iskemik. Jenis-jenis obat penurun kadar asam urat tersebut meliputi:

 

Tabel 2. Macam-macam obat untuk menurunkan tingkat asam urat dalam serum

Golongan Obat

Nama Generik Obat

Dosis

Pertimbangkan

Penghambat Xantin Oksidase

Alopurinol

Mulai 100 mg/hari, dosis ditingkatkan 100 mg @ 2-5 minggu hingga tercapai target kadar serum urat, dosis maksimum 900 mg/hari

Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal mulai dengan dosis 50 mg/hari.

Hati-hati reaksi hipersensitiϐitas. Pada kelompok risiko tinggi bisa dilakukan tes pendahuluan

 

Febuxostat

Dosis awal mulai 40 mg/hari, titrasi @2 minggu setelah kadar serum urat belum mencapai target, dosis maksimum 80 mg/hari

Bisa meningkatkan enzim liver, artralgia rash.

Lakukan pemeriksaan fungsi liver bila terjadi fatique, anoreksia, jaundice, perubahan warna urin makin pekat

Urikosurik

Probenecid

Dosis awal 250 mg 2x/ hari selama 1 minggu, selanjutnya 500 mg 2x/hari, titrasi dosis bila kadar serum urat belum mencapai target hingga dosis maksimum 2 g/hari

Hindari bila pasien dengan riwayat urolitiasis dan gangguan fungsi ginjal terutama bila bersihan kreatinin < 50 ml/menit

 

Losartan

Tidak ada dosis anjuran

Digunakan pada pasien dengan komorbid hipertensi

 

Fenofibrat

Tidak ada dosis anjuran

Digunakan pada pasien dengan komorbid hipertrigliseridemia

Enzim urat oksidase

Pegloticase (belum ada di Indonesia)

8 mg IV @ 2 minggu, pemberian >120 menit

Hati-hati reaksi alergi, eksaserbasi penyakit jantung kongesti, sangat mahal

Sumber: Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018)

 

Berbeda pada pasien dengan gout akut, erangan gout akut umumnya mempunyai sifat monoartritis yang mencapai puncaknya dalam beberapa jam hingga mempengaruhi sendi mengalami peradangan parah dengan gejala utama peradangan seperti kemerahan, panas, dan nyeri saat disentuh, bengkak, dan hilangnya fungsi. Pada sendi besar seperti lutut dan pergelangan kaki, gejala kulit jarang terjadi, namun pembengkakan dan nyeri bisa sangat hebat (Ragab et al., 2017). Serangan pada gout akut memerlukan penanganan segera dan pasien perlu diberi edukasi untuk mengenali gejala awal serta penanganan awal yang tepat. Pilihan obat untuk penanganan awal harus mempertimbangkan kontraindikasi obat dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Kolkisin dengan dosis awal 1 mg, diikuti 0.5 mg setelah 1 jam, merupakan terapi pilihan untuk serangan gout akut dengan onset kurang dari 12 jam. Alternatif lain meliputi OAINS, kortikosteroid oral, dan jika perlu, aspirasi sendi diikuti dengan injeksi kortikosteroid. Namun, kolkisin dan OAINS tidak boleh diberikan kepada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat atau yang sedang menggunakan penghambat P-glikoprotein atau CYP3A4 seperti siklosporin atau klaritromisin. Berikut ini adalah alur atau tata cara untuk memilih terapi bagi pasien dengan serangan gout akut, yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

 

Gambar 2. Algoritme rekomendasi pengelolaan Gout akut

Sumber: Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018)

 

Serangan pada gout akut dapat dipicu oleh perubahan mendadak kadar asam urat, baik peningkatan maupun penurunan. Peningkatan tiba-tiba bisa terjadi dari dampak mengonsumsi makanan atau minuman yang kaya purin bisa menyebabkan peningkatan tiba-tiba dalam kadar asam urat, sedangkan penurunan mendadak dapat terjadi pada awal pengobatan dengan obat penurun asam urat. seperti diuretik thiazide dan loop, heparin intravena, serta siklosporin dapat meningkatkan tingkat asam urat dalam darah dan menjadi pemicu serangan gout akut. Selain itu, kondisi seperti trauma, operasi, dehidrasi, infeksi, dan pajanan kontras radiografi juga bisa memicu serangan.

Tidak disarankan untuk memulai penggunaan alopurinol selama serangan gout akut, tetapi bagi pasien yang telah menjalani terapi rutin, penggunaannya dapat diteruskan. Terapi penurun asam urat sebaiknya dimulai setelah serangan akut mereda, biasanya sekitar 2 minggu setelah serangan. Meskipun ada studi yang menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan kekambuhan dengan pemberian alopurinol selama serangan akut, hasil ini perlu dikonfirmasi lebih lanjut karena studi tersebut memiliki sampel yang kecil dan hanya memfokuskan pada alopurinol. Tanda untuk memulai pengobatan penurun asam urat pada pasien gout mencakup riwayat mengalami serangan gout lebih dari dua kali, serangan pertama dengan kadar asam urat dalam serum mencapai atau melebihi 8 mg/dL, atau usia di bawah 40 tahun (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).

Sementara itu, pada pasien dengan fase interkritikal dan gout kronis membutuhkan penanganan agar dapat mencegah serangan kambuh dan mengurangi risiko gout kronis. Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018), pasien dengan gout fase interkritikal dan gout kronis membutuhkan terapi untuk menurunkan kadar asam urat serta terapi pencegahan untuk mencegah serangan akut. Terapi untuk mengurangi kadar asam urat dapat dibagi menjadi dua jenis utama. Pertama, kelompok inhibitor xantin oksidase seperti alopurinol dan febuxostat, yang bertujuan untuk mengurangi produksi asam urat. Alopurinol memiliki dosis awal 100 mg/hari dan dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 900 mg/hari jika fungsi ginjal normal. Jika dosis melebihi 300 mg/hari, pemberian obat harus dibagi. Febuxostat, dengan dosis 80-120 mg/hari, adalah pilihan lain dalam kelompok ini.

Kedua, kelompok urikosurik seperti probenecid, meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin. Probenecid dapat diberikan dalam dosis 1-2 gram per hari, tapi harus dihindari untuk pasien yang mengalami urolitiasis atau ekskresi asam urat urin ≥800 mg/24 jam, jika terjadi toksisitas akibat alopurinol, salah satu pilihan adalah beralih ke terapi urikosurik dengan probenecid. Selanjutnya, pada pasien dengan gout kronis yang memiliki tofi yang banyak atau kualitas hidup yang buruk dan tidak mencapai target kadar asam urat dengan dosis tunggal obat penurun asam urat, pertimbangkan untuk menggunakan kombinasi inhibitor xantin oksidase dan urikosurik, atau mempertimbangkan penggunaan peglotikase.

Target penurunan kadar asam urat dalam pengobatan gout adalah mencapai kadar asam urat serum di bawah 6 mg/dL, dengan monitoring rutin kadar asam urat. Pada pasien dengan gout yang lebih parah, seperti yang ditandai dengan tofi, artropati kronis, dan seringnya serangan gout, target penurunan kadar asam urat serum lebih dalam, yaitu di bawah 5 mg/dL. Tujuannya adalah untuk menghancurkan kristal monosodium urat (MSU) sepenuhnya dan mencapai resolusi gout. Namun, menjaga kadar asam urat serum di bawah 3 mg/dL tidak dianjurkan dalam jangka panjang. Semua pengobatan untuk menurunkan kadar asam urat dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai target terapi yang diinginkan, yang kemudian dipertahankan sepanjang hidup pasien. Misalnya, alopurinol dimulai dengan dosis 100 mg/hari dan dapat ditingkatkan jika target belum tercapai setelah pemeriksaan kadar asam urat pada 4 minggu pertama.

Pasien yang menerima pengobatan penurun asam urat memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan gout akut, terutama pada awal pengobatan. Risiko ini meningkat seiring dengan kekuatan dan dosis obat penurun asam urat yang digunakan. Oleh karena itu, disarankan untuk memberikan perlindungan selama enam bulan pertama dari terapi penurun asam urat untuk mencegah serangan gout akut. Kolkisin dengan dosis 0.5–1 mg per hari direkomendasikan sebagai pilihan profilaksis, dengan penyesuaian dosis yang sesuai untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Jika pasien tidak dapat menggunakan kolkisin karena intoleransi atau kontraindikasi, alternatifnya adalah memberikan dosis rendah OAINS sebagai profilaksis, dengan syarat tidak ada kontraindikasi lain yang relevan.

Selanjutnya, dalam manajemen gout pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, perhatikan bahwa dosis obat penurun kadar asam urat seperti probenecid dan alopurinol harus disesuaikan dengan nilai klirens kreatinin pasien. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat yang mengalami serangan gout akut dapat diberikan kortikosteroid secara oral atau melalui injeksi intraartikular. Jika nyeri tetap tidak terkontrol, pertimbangkan untuk menambahkan analgesia opioid. Alopurinol dan metabolitnya memiliki waktu paruh yang panjang., sehingga dosisnya harus disesuaikan tergantung pada tingkat bersihan kreatinin pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Seperti yang terlihat dalam algoritme yang direkomendasikan untuk pengelolaan hiperurisemia pada pasien gout berikut.

Gambar 3. alogaritme rekomendasi pengelolaan hiperurisemia pada pasien gout

Sumber: Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018)

 

Febuxostat bisa diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal tanpa perlu menyesuaikan dosis asalkan nilai klirens kreatinin >30 ml/menit. Pemberian kolkisin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang memiliki nilai klirens kreatinin >60 ml/min/1.73 m². Namun, pada pasien dengan nilai klirens kreatinin 30-60 ml/min/1.73 m², dosis kolkisin dibatasi hingga 0.5 mg. Untuk pasien dengan nilai klirens kreatinin 10-30 ml/min/1.73 m², dosis kolkisin harus dibatasi hingga 0.5 mg setiap 2-3 hari. Pemberian kolkisin perlu dihindari pada pasien dengan nilai klirens kreatinin <10 ml/min/1.73 m². Manajemen gout pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal memerlukan penyesuaian dosis obat-obatan tertentu untuk mencegah toksisitas dan memaksimalkan manfaat terapi, serta memperhatikan toleransi pasien terhadap terapi yang diberikan (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018).

Oleh karena itu, manajemen pengobatan gout yang efektif diperlukan untuk mencegah kemungkinan memperburuk kondisi penderita dan menekankan pentingnya kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat yang diresepkan. Namun, selain dari pendekatan farmakologis tersebut, gout juga dapat dikelola melalui metode non-farmakologi. Pendekatan ini melibatkan strategi-strategi yang dapat dilakukan sendiri oleh penderita untuk mengelola kondisi gout mereka, di samping pengobatan yang diberikan oleh dokter.

1)    Diet

Pasien disarankan untuk menghindari makanan tinggi purin seperti hati, ampela, ginjal, jeroan, dan ragi. Daging sapi, domba, babi, serta makanan laut seperti sardine, lobster, tiram, kerang, udang, kepiting, dan skalop juga sebaiknya dibatasi. Konsumsi alkohol seperti bir, wiski, dan wine yang diperkaya meningkatkan risiko serangan gout, begitu pula dengan fruktosa dalam corn syrup dan pemanis pada minuman ringan dan jus buah (Weaver et al., 2021).

Sebaliknya, mengonsumsi vitamin C, produk susu rendah lemak seperti susu dan yogurt, serta buah cherry dan kopi dapat mengurangi risiko serangan gout (Yusantari, 2022). Pengaturan diet juga penting untuk menjaga berat badan ideal, dengan menghindari diet ketat tinggi protein. Selain itu, asupan air yang cukup juga dapat mengurangi risiko serangan gout (Kakutani-Hatayama et al., 2017). Disarankan minum lebih dari 2 liter air per hari, terutama pada penderita gout dengan masalah batu ginjal. Saat mengalami serangan gout, dianjurkan meningkatkan asupan air minimal 8-16 gelas per hari untuk mencegah dehidrasi yang dapat memicu serangan gout akut.

2)    Latihan fisik

Aktivitas fisik seperti latihan atau gerakan tubuh akan mengurangi pengeluaran asam urat dan meningkatkan produksi asam laktat dalam tubuh (Yusantari, 2022). Latihan fisik yang teratur dilakukan 3-5 kali per minggu selama 30-60 menit meliputi latihan kekuatan otot, fleksibilitas otot dan sendi, serta ketahanan kardiovaskular. Hal ini bertujuan untuk menjaga berat badan ideal dan mencegah gangguan metabolism yang sering terjadi bersamaan dengan gout. Namun, penting untuk menghindari latihan yang berlebihan yang dapat menyebabkan cedera pada sendi.

3)    Lain-lain

Disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok, karena merokok dapat memperburuk kondisi gout (Tambunan & Nasution, 2021).

Pendekatan non farmakologi ini penting, dengan penerapannya diharapkan penderita gout dapat mengurangi frekuensi dan keparahan serangan, serta mengurangi risiko komplikasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita gout seperti tophi (penumpukan kristal urat di jaringan), deformitas sendi, osteoarthritis, kehilangan tulang, nefropati urat, dan nefrolitiasis (batu ginjal) (Yusantari, 2022). Komplikasi juga dapat mempengaruhi mata akibat dari pengendapan kristal urat (Lin et al., 2013). Menghindari komplikasi ini penting untuk meningkatkan prognosis pasien.

Prognosis penyakit asam urat bergantung pada komorbiditas masing-masing individu. Mortalitas lebih tinggi pada individu dengan komorbid kardiovaskular. Jika asam urat ditangani dengan tepat, sebagian besar pasien dapat hidup normal dengan gejala sisa yang ringan. Namun, pasien yang mengalami gejala pada usia muda cenderung memiliki penyakit yang lebih parah saat dewasa. Bagi mereka yang tidak mengubah gaya hidupnya, kambuhnya penyakit secara berulang sering terjadi.

 

 

 

Kesimpulan

Seorang pasien laki-laki berusia 42 tahun telah diperiksa dengan keluhan utama nyeri pada kedua kaki dan tangan yang disertai bengkak, kemerahan, dan munculnya benjolan seperti bisul pada kaki. Keluhan ini telah berlangsung selama sekitar 3 bulan, dengan gejala awal muncul pada jari kaki dan kemudian menyebar ke lutut, jari tangan, dan siku. Ketika keluhan semakin parah, pasien mengalami nyeri yang membuatnya sulit berjalan, demam tinggi, dan kesulitan tidur. Riwayat medis menunjukkan bahwa pasien telah menderita hiperurisemia selama 20 tahun, serta memiliki riwayat hipertensi, dislipidemia, TB paru yang pengobatannya tidak tuntas, gagal ginjal akut (AKI), dan gagal jantung kongestif (CHF). Pasien juga diketahui mengonsumsi makanan tinggi purin. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya deformitas pada sendi, dengan tofus yang terlihat pada jari-jari tangan dan kaki, lutut, serta siku. Pada pasien gout fase interkritikal dan gout kronis, diperlukan terapi penurun kadar asam urat dan terapi profilaksis untuk mencegah serangan akut. Terapi penurun kadar asam urat terbagi dalam dua kelompok utama: inhibitor xantin oksidase (seperti alopurinol dan febuxostat) dan agen urikosurik (seperti probenecid). Prognosis penyakit asam urat sangat dipengaruhi oleh adanya komorbiditas individu. Mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan komorbiditas kardiovaskular. Dengan pengobatan yang tepat, sebagian besar pasien dapat hidup normal dengan gejala sisa yang ringan. Namun, pasien yang mengalami gejala gout pada usia muda cenderung memiliki penyakit yang lebih parah. Bagi mereka yang tidak mengubah gaya hidup, kambuhnya penyakit secara berulang sering terjadi.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Algifari, M. R. N., Darma, S., & Reagan, M. (2020). Pengetahuan Penyakit Gout Arthritis Pada Pasien Di Poliklinik Reumatologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Sriwijaya Journal of Medicine, 3(1). https://doi.org/10.32539/sjm.v3i1.65

Hajar, U., Triwibowo, H., & Hidayati, R. N. (2022). Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Nyeri Kronis Pada Kasus Gout Arthritis Di Lingkungan Mentikan Rt 03 Rw 01 Kecamatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto (Doctoral dissertation, Perpustakaan Universitas Bina Sehat).

Kakutani-Hatayama, M., Kadoya, M., Okazaki, H., Kurajoh, M., Shoji, T., Koyama, H., ... & Yamamoto, T. (2017). Nonpharmacological management of gout and hyperuricemia: hints for better lifestyle. American journal of lifestyle medicine, 11(4), 321-329.

Kambayana, R. P. (2010). Hyperurcemia and Factors Relating in the Community of Balinese Population. An epidemiological survey. Press.

Kencana, B. W., & Mayasari, D. (2023). Penatalaksanaan Holistik Penyakit Gout Artritis Pada Pasien Dewasa dengan Tingkat Pengetahuan yang Minimal Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga di Puskesmas Pasar Ambon. Medical Profession Journal of Lampung, 13(3), 407-415.

Lin, J., Zhao, G. Q., Che, C. Y., Yang, S. S., Wang, Q., & Li, C. G. (2013). Characteristics of ocular abnormalities in gout patients. International Journal of Ophthalmology, 6(3), 307.

Maharani, R. S., & Utama, W. T. (2024). Penatalaksanaan Holistik Pada Pasien Wanita Penjual Jajanan Pasar Usia 67 Tahun Dengan Gout Arthritis Melalui Pendekatan Keodkteran Keluarga. Medical Profession Journal of Lampung, 14(2), 410-418.

Nawoor, A. D. (2022). Development of the High Resolution Melt (HRM) method to detect the HLA-B* 58: 01 allele in order to prevent allopurinol-associated drug hypersensitivity (Doctoral dissertation, University of Nottingham).

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (PRI). (2018). Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. https://reumatologi.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Rekomendasi_GOUT_final.pdf. Diakses pada 18 Juni 2024.

Ragab, G., Elshahaly, M., & Bardin, T. (2017). Gout: An old disease in new perspective–A review. Journal of advanced research, 8(5), 495-511.

Sharma, P., Singh, P., & Bhinda, A. (2021). Hyperuricemia: a systemic review. World J Pharm Res, 10(01), 911-922.

Tambunan, N. A., & Nasution, M. R. (2021). Pengaruh Merokok terhadap Kadar Asam Urat pada Pria Dewasa yang Mengonsumsi Tuak di Kelurahan Sigulang-gulang Kecamatan Siantar Utara. SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, 2(2), 90-6.

Vargas-Santos, A. B., Taylor, W. J., & Neogi, T. (2016). Gout classification criteria: update and implications. Current rheumatology reports, 18, 1-10.

Weaver, J. S., Vina, E. R., Munk, P. L., Klauser, A. S., Elifritz, J. M., & Taljanovic, M. S. (2021). Gouty arthropathy: review of clinical manifestations and treatment, with emphasis on imaging. Journal of Clinical Medicine, 11(1), 166.

Widyanto, F. W. (2014). Artritis gout dan perkembangannya. Saintika Medika, 10(2), 145-152.

Yusantari, N. K. D. (2022). Gambaran Aktivitas Fisik Pada Lansia Dengan Gout Arthritis Di Wilayah Kerja Puskesmas.

Zahra, T. T. (2023). Studi Kasus Penurunan Kadar Asam Urat Pada Pasien Gout Arthritis Dengan Pemberian Jus Sirsak Ditatanan Keluarga. Repository Universitas Muhammadiyah Kendal Batang.

 

Copyright holder:

Aydhing Nathasya Jap, Cristina Tarigan (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: