Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
9, No. 6, Juni 2024
PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME DI TINGKAT KORPORASI
Bhernedetha
Nindya Kusumastuti1, A Josias Simon Runturambi2, Ahwil
Luthan3
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1
Paham radikalisme tidak dapat
dipungkiri telah menyebar secara masif di lingkungan masyarakat. Di era modern,
penyebaran paham radikalisme ini menjadi lebih masif seiring kelompok atau sel
teror menggunakan media sosial sebagai sarana penyebaran paham mereka. Situasi
ini pun menempatkan kelompok masyarakat dalam posisi yang sangat rentan. Penelitian
ini bertujuan untuk menyelidiki penyebaran paham radikalisme di kalangan
pekerja dan dampak potensialnya terhadap stabilitas ekonomi nasional. Metode
yang digunakan adalah analisis kualitatif terhadap kondisi penyebaran
radikalisme melalui media sosial dan efeknya pada tenaga kerja. Temuan
menunjukkan bahwa pekerja, karena rutinitas yang monoton, sangat rentan
terhadap indoktrinasi radikal, yang menyebabkan kerentanan signifikan dalam
lingkungan kerja dan ekonomi yang lebih luas. Jika tidak ditangani, hal ini
dapat mengakibatkan pengurangan tenaga kerja produktif, sehingga memicu krisis
ekonomi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa langkah-langkah proaktif untuk
mencegah penyebaran ideologi radikal sangat penting untuk menjaga pertumbuhan
dan stabilitas ekonomi nasional. Implikasinya menunjukkan bahwa intervensi yang
ditargetkan diperlukan untuk melindungi tenaga kerja dan mempertahankan
pembangunan ekonomi.
Kata
Kunci: Radikalisme, Terorisme, Pekerja, dan
Korporasi
Radicalism
has undeniably spread massively in society. In the modern era, the spread of
radicalism has become more extensive as terror groups or cells use social media
as a means of disseminating their ideology. This situation places certain
groups within society in a highly vulnerable position. This study aims to
investigate the spread of radicalism among workers and its potential impact on
national economic stability. The method used is qualitative analysis of the
conditions of radicalism dissemination through social media and its effects on
the workforce. Findings indicate that workers, due to monotonous routines, are
highly susceptible to radical indoctrination, leading to significant
vulnerabilities in the work environment and the broader economy. If not
addressed, this could result in a reduction of the productive workforce,
triggering an economic crisis. The study concludes that proactive measures to
prevent the spread of radical ideology are crucial to maintaining national economic
growth and stability. The implications suggest that targeted interventions are
necessary to protect the workforce and sustain economic development.
Keyword:
Radicalism, Terrorism, Workers and
Pendahuluan
Paham
radikalisme tidak dapat dipungkiri telah menyebar secara masif di lingkungan
masyarakat. Situasi ini berkorelasi dengan jumlah aksi terorisme yang terjadi
di Indonesia pada periode 2000 s/d 2021. Dalam kurun waktu tersebut, sebanyak
552 aksi teror tercatat telah terjadi di Indonesia
Situasi
ini pun menempatkan kelompok masyarakat dalam posisi yang sangat rentan. Salah
satu kelompok yang sangat rentan terpapar paham radikal adalah kelompok
pekerja. Kelompok pekerja sangat rentan terpapar paham radikalisasi sebab
mereka mengalami kekosongan akibat rutinitas yang dilakukan sehari-hari
sehingga mereka menjadi sangat rentan untuk mengalami pencucian otak oleh
kelompok teror
Pola
penyebaran paham radikal yang menyasar kelompok pekerja pernah terjadi dalam perusahaan
negara yang bergerak di bidang transportasi. Mirisnya, perusahaan tersebut
merupakan perusahaan negara yang seharusnya memiliki concern lebih besar
terhadap pencegahan paham radikalisme. Terkait insiden ini, hasil penyelidikan
oleh pihak kepolisian menunjukkan bahwa tersangka berinisial DE diketahui telah
berbaiat terhadap salah satu kelompok teror global, yaitu ISIS, sebelum
bergabung dengan perusahaan negara di mana dia bekerja
Intelijen pada dasarnya merupakan kegiatan
mengumpulkan informasi dalam rentang waktu tertentu untuk diserahkan kepada
para pemangku kepentingan atau stakeholder sebagai dasar pengambilan keputusan
Radikalisasi merujuk pada proses sosialisasi secara ideologis
terhadap generasi muda agar mereka mau dan mampu mengubah status politik secara
mendasar dengan menggunakan konflik dan kekerasan terhadap musuh politik mereka
dan para pengikutnya
Lalu, pada third
floor, individu mendapatkan semacam pencerahan sehubungan dengan aksi yang
dilakukan kelompok teror dan mmembenarkan “perjuangan” mereka untuk mewujudkan
masyarakat yang “ideal.” Dalam dunia “paralel” tersebut, individu ini memiliki
pemahaman terbalik di mana kelompok transnasional merupakan pahlawan sedangkan
pemerintah dan aparat penegak hukum merupakan penjahat. Memasuki fourth floor, individu yang sudah
bergabung dengan kelompok transnasional akan bergerak maju. Pascaperekrutan,
individu ini akan dikirim ke dalam sel yang ditugaskan untuk melancarkan
terorisme. Di fifth floor, atau tahapan puncak, secara psikologis
individu ini sudah siap dan berkomitmen terhadap aksi terorisme meskipun harus
kehilangan nyawa.
Terorisme pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di tengah-tengah masyarakat
demi menunjukkan intensi politik atau mewujudkan tujuan politik. Dalam
kaitannya dengan pernyataan tersebut, sejumlah pihak telah menguraikan
definisinya masing-masing. Misalnya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
menyatakan bahwa terorisme merupakan kekerasan terencana dengan muatan politik
yang ditujukan terhadap target tidak bersenjata oleh kelompok pecahan atau agen
bawah tanah guna mempengaruhi khalayak umum
Melihat dinamika dan kompleksitas terorisme tersebut,
tampak jelas bahwa tidak ada solusi jangka pendek yang dapat diimplementasikan
untuk mengatasi isu terorisme. Hal ini terjadi lantaran sekali seorang individu
berada dalam lingkup tekanan kelompok teroris, maka sangat sulit untuk
mempengaruhi individu tersebut agar kembali ke jalan pemikiran yang benar.
Maka, kebijakan anti teroris yang paling efektif dalam jangka panjang adalah
kebijakan yang melarang perekrutan anggota baru sedini mungkin
Fenomena ini tak pelak menimbulkan
kerentanan bagi lingkungan kerja secara khusus dan bagi perekonomian nasional
secara umum. Apabila isu ini tidak dapat tertangani dengan baik, maka
dikhawatirkan bahwa krisis ekonomi akan terjadi karena penyebaran paham radikal
ini dapat mengurangi jumlah tenaga kerja produktif sehingga menimbulkan krisis.
Maka, upaya pencegahan terhadap penyebaran paham radikal menjadi penting untuk
dilakukan agar tidak menimbulkan krisis ekonomi sehingga pembangunan ekonomi
nasional, beserta dengan pertumbuhan ekonomi, dapat terjaga dengan baik.
Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan
yang hendak diajukan adalah sebagai berikut; (1) bagaimana ancaman aksi terorisme di perusahaan?, (2) bagaimana bentuk pencegahan paham radikalisme di tingkat
perusahaan?, dan (3) bagaimana hambatan dan tantangan yang berpotensi terjadi
dalam pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan?
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif. Melalui penelitian ini, peneliti menggunakan beragam metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna masalah sosial atau kemanusiaan dari sudut
pandang sekelompok orang
Terkait dengan pendekatan yang diambil pada penelitian
ini, metode penelitian yang hendak digunakan adalah studi kasus. Secara umum,
studi kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan menginvestigasi lebih
lanjut penyebab dari aspek sosial tertentu melalui kegiatan pengumpulan data
dan pembuktian guna menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian
terkait
Pada bagian ini, ketiga isu yang diangkat dalam
pertanyaan penelitian akan dibahas secara komprehensif. Adapun pembahasan ini
dibagi menjadi tiga sub-judul sebagai berikut: (1) ancaman aksi terorisme di
perusahaan; (2) bentuk pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan; dan
(3) tantangan dan hambatan yang berpotensi terjadi dalam pencegahan paham
radikalisme di tingkat perusahaan.
Ancaman aksi terorisme di perusahaan merupakan ancaman
yang sangat nyata. Hal ini telah digambarkan dengan lugas dalam penahanan DE
yang hendak melakukan aksi teror sedangkan DE diketahui terdaftar sebagai
anggota salah satu perusahaan milik negara. Situasi serupa juga pernah tercatat
terjadi di salah satu korporasi swasta. Dalam kasus ini, karyawan salah satu
korporasi swasta diketahui menjadi dalam atau mastermind dalam insiden
Bom Thamrin beberapa waktu lalu. Dari catatan keputusan inkracht yang
menjadi sumber utama dalam penelitian ini, data yang ada menunjukkan bahwa
karyawa berinisial AH diketahui menyimpan sejumlah bahan bacaan berhaluan
radikal dan sejumlah bahan kimia yang dijadikan sebagai racikan bahan peledak.
Hal ini terkonfirmasi melalui keputusan inkracht atas dakwaan terhadap
AH yang menguraikan bahan peledak tersebut sebagai berikut
1.
9 (sembilan) botol
plastik berisi cairan bening (satu botol kosong)
2.
4 (empat ) gelas
ukur berbahan kaca
3.
1 (satu)gelas ukur
berbahan plastik
4.
15 (lima belas)
kantong berisi gotri
5.
2 (dua) buah
kantong berisi paku
6.
3 (tiga) plastik
berisi butiran warna pink
7.
1 (satu) roll
aluminium foil
8.
1 (satu) plastik
bubuk warna putih bertulis BP
9.
1 (satu) bungkus
plastik kresek berisi sitrik acid cap gajah
10.
2 (dua) pak lilin
11.
1 (satu) plastik
hitam isi serbuk putih
12.
1 (satu) gulung
lampu hias
13.
1 (satu) buah
timbangan
Di samping sejumlah bukti di atas, hasil pengumpulan
bahan keterangan (pulbaket) juga menunjukkan bahwa AH memiliki satu salinan
buku terkait kursus peledakan dan juga terbukti melakukan ujicoba peledakan
bersama dengan ketiga tersangka lainnya. Hal ini tertuang dalam petikan
keputusan sebagai berikut
1.
Terdakwa membeli
bahan-bahan untuk membuat Bom/peledak bersama dengan NURROHMAN als. MAS NUR dan
ANDIKA als. TOLHAH di toko kimia di Jl. Raya Bekasi pertigaan Harapan Indah
Bekasi antara lain : H2O2 (Hidrogn Peroksida) 5 Liter dan ACETON 2 Liter.
Kemudian NURROHMAN als. MAS NUR membeli Parafin di daerah Pekayon sebanyak 10
bungkus (10 Kg). Urea di cari oleh NURROHMAN als. MAS NUR
2.
Bahwa terdakwa
juga membeli alat-alat untuk membuat Bom/peledak antara lain: panci kecil,
ember besar, sendok, timbangan plastik, gelas beaker 4 pcs ukuran sedang.
3.
Bahwa Terdakwa
ARIF HIDAYATULL0H, NURROHMAN als. MAS NUR dan ANDIKA als. TOLHAH, berusaha
membuat Bahan Peledak tipe RDX dan HMTD berdasarkan panduan membuat bahan
peledak dari Website BAHRUN NAIM dan dari telegram yang dikirim ke Terdakwa
(ABU MUSHA’B) dan MAS NUR.
4.
Unsur Yang secara
melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan
padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan , atau mengeluarkan ke dan/ atau dari Indonesia sesuatu senjata
api, amunisi,atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya
dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme:
Secara keseluruhan, data-data yang diperoleh dari keputusan
inkracht terpidana AH menunjukkan bahwa korporasi sangat rentan terhadap
aksi terorisme sebagaimana ditunjukkan oleh keterlibatan karyawan dalam satu
satu sel teror yang berafiliasi dengan jaringan transnasional tertentu. Situasi
ini tentunya perlu disikapi oleh perusahaan melalui sejumlah langkah strategis.
Terkait hal ini, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah
menemukan bentuk pencegahan yang sesuai dengan sifat dasar penyebaran paham
yang mendukung aksi terorisme di masyarakat, terutama di lingkungan karyawan.
Pendekatan yang tepat tentunya akan menjadi kunci dalam mewujudkan pencegahan
yang efekif dan efisien.
Merujuk kepada kasus AH, dapat dipahami dengan jelas
bahwa radikalisasi menjadi pendorong utama penyebaran paham radikalisme di
kalangan karyawan seiring paham ini dapat berujung pada aksi teror di
masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah temuan barang bukti yang disita
dari AH. Barang bukti ini menunjukkan dengan jelas orientasi paham radikal yang
dianut oleh AH. Adapun barang bukti ini dapat diuraikan sebagai berikut
1.
1 (satu) buah buku
berjudul seri Materi Tauhid.
2.
1 (satu) lembar
kertas bertuliskan Sketsa Sejarah Kepemimpinan Kaum Muslimin sejak Masa
Rasulullah hingga saat ini.
3.
1 (satu) buah buku
tulis ukuran besar merk mirage.
4.
1 (satu) buah buku
berjudul Sunnah Ightiyal.
5.
1 (satu) buah buku
berjudul Misteri Pasukan Panji Hitam.
6.
1 (satu) buah buku
berjudul Kalau bukan Tauhid apalagi.
7.
1 (satu) buah buku
berjudul Studi Kritis Kesesatan Manhaj.
8.
1 (satu) buah buku
berjudul Tarbiyah Jihadiyah.
9.
1 (satu) buah buku
berjudul Ahkamud Dima Bagian 1-12.
10.
1 (satu) buah buku
berjudul CIA Amerika Serikat & CSIS Khatolik Jesuit Menghancurkan Umat
Islam Indonesia.
11.
1 (satu) buah buku
fotocopy berjudul KURSUS PELEDAKAN.
Sebagaimana telah dipaparkan oleh Moghaddam, proses
radikalisme menurut model Staircase to Terrorisme terdiri dari: (1) tangga pertama (first floor); (2) tangga kedua
(second floor); (3) tangga ketiga (third floord); (4) tangga
keempat (fourth floor); (5) tangga kelima (fifth floor); dan (6)
tangga keenam (sixth floor)
1.
Bahwa awalnya pada
bulan Juni tahun 2015 pemilik akun telegram android dengan nama Admin Akun JDK
(Jaisul Daulah Khilafah) mengundang Terdakwa ARIF HIDAYATULLOH BIN SOEKARNO
alias ABU MUSHA’B, untuk bergabung ke group aplikasi Telegram android dengan
nama group devisi peledakan dan elektro kimia. Setelah Terdakwa bergabung,
Terdakwa melihat terdapat sekitar tujuh orang yang telah bergabung adapun yang
telah Terdakwa kenal sebelumnya adalah BAHRUN NAIM alias ABU AISYAH (belum
tertangkap) sedangkan yang belum Terdakwa kenal Admin Akun JDK, ABU TUROP, dan
dua orang lagi yang namanya sudah Terdakwa lupa. Pada saat itu Terdakwa melihat
komunikasi antara orang-orang yang berada di group tersebut yang membahas
tentang cara pembuatan bom. Bahwa saat Terdakwa bergabung, BACHRUM NAIM
mengirimkan daftar tugas untuk memenuhi kegiatan amaliah peledakan bom yang
waktu dan sasarannya belum dibicarakan. Adapun isi daftar kegiatan tersebut
terdiri dari lima point yaitu :
a.
Membuat bom;
b.
Mengambil mobil
yang sudah disediakan untuk amaliah;
c.
Pencucian uang;
d.
Membeli barang
melalui internet dengan menggunakan nomor kartu kredit milik orang lain tanpa
sepengetahuan pemilik kartu kredit; dan
e.
Eksekutor bom
mobil.
2.
Bahwa terdakwa juga
membeli alat-alat untuk membuat Bom/peledak antara lain: panci kecil, ember
besar, sendok, timbangan plastik, gelas beaker 4 pcs ukuran sedang.
3.
Bahwa Terdakwa
(ABU MUSH’AB), NURROHMAN als. MAS NUR dan ANDIKA als. TOLHAH, berusaha membuat
Bahan Peledak tipe RDX dan HMTD berdasarkan panduan membuat bahan peledak dari
Website BAHRUN NAIM dan dari telegram yang dikirim ke Terdakwa (ABU MUSHA’B)
dan MAS NUR.
Memperhatikan data-data yang telah dikumpulkan melalui
tahapan information collecting, dan juga dengan memperhatikan tahapan
pada Staircase to Terrorism, maka bentuk pencegahan yang paling sesuai
bagi penyebaran paham radikalisme di tingkat korporasi adalah penegakan hukum
secara tegas dan terukur. Pendekatan ini merupakan bentuk yang paling sesuai
dengan pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan atau korporasi.
Pendekatan ini dinilai tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi
penyebaran paham radikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan jelas oleh proses
pendakwaan terhadap AH sebagaimana dipaparkan pada putusan inkracht
Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur. Dalam kesempatan yang sama, penegakan
hukum secara tegas dan terukur ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku
teror lainnya, terutama di lingkup perusahaan, sehingga mereka akan berpikir
dua kali sebelum melaksanakan aksinya. Selain itu, penegakan hukum secara tegas
dan terukur juga mengirimkan pesan bahwa perusahaan tidak berkompromi terhadap
aksi teror dalam bentuk apapun seiring aksi teror ini justru merugikan
perusahaan itu sendiri. Secara keseluruhan, penegakan hukum secara tegas dan
terukur ini diharapkan dapat mencegah penyebaran paham radikalisme sebagai
pemicu aksi teror di lingkup perusahaan secara efektif dan efisien.
Dinamika pergerakan paham radikalisme di lingkup
perusahaan tak dapat dipungkiri telah menimbulkan sejumlah hambatan dan
tantangan terkait pencegahan paham tersebut. Salah satu tantangan utama yang
perlu diperhatikan adalah potensi penggunaan teknologi, terutama di bidang
informasi dan komunikasi, untuk menyebarkan paham teror serta melancarkan aksi
teror di masyarakat. Hal ini terkonfirmasi dalam temuan dari keputusan inkracht
yang menyatakan bahwa
1.
Bahwa awalnya pada
bulan Juni tahun 2015 pemilik akun telegram android dengan nama Admin Akun JDK
(Jaisul Daulah Khilafah) mengundang Terdakwa ARIF HIDAYATULLOH BIN SOEKARNO
alias ABU MUSHA’B, untuk bergabung ke group aplikasi Telegram android dengan
nama group devisi peledakan dan elektro kimia. Setelah Terdakwa bergabung,
Terdakwa melihat terdapat sekitar tujuh orang yang telah bergabung adapun yang
telah Terdakwa kenal sebelumnya adalah BAHRUN NAIM alias ABU AISYAH (belum
tertangkap) sedangkan yang belum Terdakwa kenal Admin Akun JDK, ABU TUROP, dan
dua orang lagi yang namanya sudah Terdakwa lupa. Pada saat itu Terdakwa melihat
komunikasi antara orang-orang yang berada di group tersebut yang membahas
tentang cara pembuatan bom. Bahwa saat Terdakwa bergabung, BACHRUM NAIM mengirimkan
daftar tugas untuk memenuhi kegiatan amaliah peledakan bom yang waktu dan
sasarannya belum dibicarakan. Adapun isi daftar kegiatan tersebut terdiri dari
lima point yaitu :
f.
Membuat bom;
g.
Mengambil mobil
yang sudah disediakan untuk amaliah;
h.
Pencucian uang;
i.
Membeli barang
melalui internet dengan menggunakan nomor kartu kredit milik orang lain tanpa
sepengetahuan pemilik kartu kredit; dan
j.
Eksekutor bom
mobil.
2.
Bahwa tidak lama
kemudian Terdakwa dikeluarkan dari group tersebut oleh pemegang kunci group
yaitu IBAD. Dengan dikeluarkannya dari group tersebut tanpa Terdakwa ketahui
penyebabnya maka Terdakwa menanyakan kepada ABU AISYAH als BAHRUN NAIM
menggunakan aplikasi telegram tentang penyebab Terdakwa dikeluarkan kemudian
ABU AISYAH als BAHRUN NAIM menjawab bahwa Terdakwa dikeluarkan dari group
akibat dicurigai sebagai Jasus atau mata-mata. Karena nama akun telegram
Terdakwa pada saat itu LITIUM ION, dengan adanya jawaban tersebut kemudian
Terdakwa memperkenalkan diri kepada ABU AISYAH als.BAHRUN NAIM bahwasannya
Terdakwa adalah ARIF HIDAYATULLOH yang merupakan adik kelas ABU AISYAH
als.BAHRUN NAIM ketika di SMA Al-ISLAM 1 Solo. Mendengar demikian ABU AISYAH
hanya menjawab “ARIF yang mana Terdakwa tidak kenal” Terdakwa menjawab “yang
ganteng itu”.Lalu ABU AISYAH als.BAHRUN NAIM meminta kepada Terdakwa untuk
mengirimkan foto.Karena Terdakwa merasa tidak aman apabila mengirim foto via
telegram, maka Terdakwa tidak mengirimkan foto.
3.
Bahwa sekitar awal
bulan Agustus 2015 Terdakwa mengecek group devisi peledakan dan elektro kimia
yang sudah tidak memilik admin. Terdakwa mulai curiga bahwa orang-orang yang
berada di group tersebut akan melaksanakan aksi pengeboman.
4.
Bahwa pada
pertengahan bulan Agustus 2015 Terdakwa membaca surat kabar yang memberitakan
tentang penangkapan terdakwa terorisme pada tanggal 13 Agustus 2015 dengan nama
IBADDURRAHMAN sebagai pelaku pembuatan bom di daerah Solo. Setelah membaca
koran tersebut Terdakwa menghubungi ABU AISYAH melalui aplikasi telegram untuk
menanyakan apakah IBAD adalah admin group. ABU AISYAH menjawab “Iya.”
5.
Bahwa sekitar awal
tahun bulan September 2015 ABU AISYAH melalui aplikasi telegram mengirimkan
kepada Terdakwa sittus pembuatan bom www.bahrunnaim.xyz-tehnik pembuatan Bom
/peledak.Dengan alamat tersebut Terdakwa membuka internet dan membaca artikel
pembuatan bahan peledak HMTD. Karena Terdakwa tidak mengetahui nama yang umum
dari bahan-bahan yang berada di artikel tersebut seperti aceton dan menggunakan
apa maka Terdakwa menghubungi BAHRUN NAIM ANGGIH TAMTOMO alias ABU AISYAH
menggunakan aplikasi telegram. BAHRUN NAIM ANGGIH TAMTOMO alias ABU AISYAH
membalas aseton adalah pembersih kuku dan chasing menggunakan termos kecil.
Situasi ini pun memerlukan kemampuan berpikir yang kritis
terhadap informasi yang beredar sehingga warga masyarakat selaku penerima
informasi tidak mudah termakan isu yang dihembuskan sebagai bagian dari
propaganda paham radikalisme. Tak pelak, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi, bersama-sama
dengan kepemilikan dan pengembangan kemampuan kritis menjadi kunci dalam
menghadapi gempuran paham radikalisme. Dengan pengetahuan dan kemampuan yang
memadai, penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan pun dapat dicegah
secara efektif dan efisien.
Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi serta
kemampuan berpikir kritis tak pelak menjadi kunci utama bagi pencegahan
penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan. Pencegahan ini tentunya
akan menjadi maksimal apabila disertai dengan edukasi yang memadai terkait
bahaya dan dampak penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan. Namun,
edukasi ini justru menjadi tantangan tersendiri mengingat belum semua karyawan
memiliki pemahaman yang memadai terkait bahaya dan dampak radikalisme tersebut.
Bahkan, tidak dapat dipungkiri pula bahwa para karyawan ini sama sekali belum
memiliki pemahaman yang kuat terkait definisi radikalisme. Wawasan dan
pengetahuan para karyawan terkait radikalisme dan terorisme ini pun perlu
dikuatkan sehingga para karyawan pada gilirannya dapat mengantisipasi bahaya
dan dampak dari penyebaran paham radikalisme dengan baik di waktu mendatang.
Berdasarkan pada pembahasan di atas terkait pencegahan
penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan, sejumlah kesimpulan dapat
diambil agar upaya pencegahan yang dimaksud dapat memberikan hasil yang
optimal. Pertama, ancaman aksi terorisme di perusahaan merupakan ancaman yang
nyata. Hal ini telah dibuktikan dalam keputusan inkracht terhadap
terdakwa AH terkait keterlibatannya dalam aksi teror di Bom Thamrin. Kedua,
bentuk pencegahan paham radikalisme di lingkup perusahaan adalah penegakan
hukum secara tegas dan terukur. Pencegahan ini dapat memberikan efek jera
terhadap pelaku teror di lingkup perusahaan dan, di saat yang sama, mengirimkan
pesan yang kuat bahwa perusahaan tidak berkompromi dengan pelaku teror. Ketiga,
atau terakhir, hambatan dan tantangan pencegahan paham radikalisme di lingkup
perusahaan terletak pada kemajuan teknologi, terutama di bidang teknologi
informasi dan komunikasi, serta upaya edukasi bagi karyawan. Kedua hal ini
perlu diperhatikan seiring karyawan belum memiliki pengalaman yang memadai
terkait tentang radikalisme dan terorisme serta bahaya dan dampak yang dapat
ditimbulkan.
Arnaz, F. (24. Desember 2015). Ini
Kronologi Penangkapan Abu Muzab dan Ali, Dua Teroris di Bekasi. Von
BERITASATU: https://www.beritasatu.com/news/335346/ini-kronologi-penangkapan-abu-muzab-dan-ali-dua-teroris-di-bekasi
abgerufen
Bartes, F. (2013). Five-Phase Model Of The Intelligence
Cycle Of Competitive Intelligence. Acta Universitatis Agriculturae Et
Silviculturae Mendelianae Brunensis, 283-288.
BBC News Indonesia. (16. Agustus 2023). Karyawan PT KAI
Jadi Tersangka Teroris: Strategi Baru Kelompok Pro-ISIS Manfaatkan Institusi
Negara. Von BBC News Indonesia:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx0w2nl23z9o abgerufen
Creswell, J. R. (2002). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gindarsah, I., & Widjajanto, A. (29. Maret 2021). Tilik
Data "Aksi Teror 552" di Mabes Polri. Jakarta Timur, DKI Jakarta,
Indonesia.
Hoffman, B. (2006). Inside Terrorism: Revised and
Expanded Edition. New York: Columbia University Press.
Hossain, M. (2018). Social Media and Terrorism: Threats and
Challenges to the Modern Era. South Asian Survey, 136-155.
Hudson, R. A., & Majeska, M. L. (1999). The
Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why?
Washington, D.C.: Federal Research Division Library of Congress. Von Federal
Research Division, Library of Congres, Washington:
http://www.loc.gov/rr/frd/pdf-files/Soc_Psych_of_Terrorism.pdf abgerufen
Leavy, P. (2017). Research Design: Quantitative,
Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-Based Participatory
Research Approaches. New York: The Guilford Press.
Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur. (3. Oktober 2016).
Putusan Nomor: 548/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Tim. Jakarta Timur, DKI Jakarta,
Indonesia.
Moghaddam, F. M. (2005). The Staircase to Terrorism: A
Psychological Explanation. American Psychologist, 161-169.
Mubarokah, M., & Wadrianto, G. (20. November 2023). Pekerja
Migran Indonesia Rentan Terpapar Radikalisme, BP2MI Gandeng BNPT. Von
kompas.com:
https://bandung.kompas.com/read/2023/11/20/093945578/pekerja-migran-indonesia-rentan-terpapar-radikalisme-bp2mi-gandeng-bnpt?page=all
abgerufen
Post, J. M. (2003). Psiko-Logika Teroris: Perilaku Teroris
Sebagai Hasil Tekanan Psikologis. In W. Reich, Origin of Terrorism (S.
27-47). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shodiq, M. (2018). Paradigma Deradikalisasi dalam Hukum.
Jakarta Selatan: Pustaka Harakatuna.
Tellidis, I. (2016). Religion and Terrorism. In R. Jackson,
Routledge Handbook of Critical Terrorism Studies (S. 291-312). New
York: Routledge.
Wahyuningsih, S. (2013). Metode Penelitian Studi Kasus
(Konsep, Teori Pendekatan Psikologi Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya).
Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura.
Widyaningsih, R. (2019). Deteksi Dini Radikalisme.
Semarang: Universitas Jenderal Soedirman.
Copyright holder: Bhernedetha
Nindya Kusumastuti, A Josias Simon Runturambi, Ahwil Luthan (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |