Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 6, Juni 2024

 

PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME DI TINGKAT KORPORASI

 

Bhernedetha Nindya Kusumastuti1, A Josias Simon Runturambi2, Ahwil Luthan3

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1

 

Abstrak

Paham radikalisme tidak dapat dipungkiri telah menyebar secara masif di lingkungan masyarakat. Di era modern, penyebaran paham radikalisme ini menjadi lebih masif seiring kelompok atau sel teror menggunakan media sosial sebagai sarana penyebaran paham mereka. Situasi ini pun menempatkan kelompok masyarakat dalam posisi yang sangat rentan. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki penyebaran paham radikalisme di kalangan pekerja dan dampak potensialnya terhadap stabilitas ekonomi nasional. Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif terhadap kondisi penyebaran radikalisme melalui media sosial dan efeknya pada tenaga kerja. Temuan menunjukkan bahwa pekerja, karena rutinitas yang monoton, sangat rentan terhadap indoktrinasi radikal, yang menyebabkan kerentanan signifikan dalam lingkungan kerja dan ekonomi yang lebih luas. Jika tidak ditangani, hal ini dapat mengakibatkan pengurangan tenaga kerja produktif, sehingga memicu krisis ekonomi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa langkah-langkah proaktif untuk mencegah penyebaran ideologi radikal sangat penting untuk menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional. Implikasinya menunjukkan bahwa intervensi yang ditargetkan diperlukan untuk melindungi tenaga kerja dan mempertahankan pembangunan ekonomi.

Kata Kunci: Radikalisme, Terorisme, Pekerja, dan Korporasi

 

Abstract

Radicalism has undeniably spread massively in society. In the modern era, the spread of radicalism has become more extensive as terror groups or cells use social media as a means of disseminating their ideology. This situation places certain groups within society in a highly vulnerable position. This study aims to investigate the spread of radicalism among workers and its potential impact on national economic stability. The method used is qualitative analysis of the conditions of radicalism dissemination through social media and its effects on the workforce. Findings indicate that workers, due to monotonous routines, are highly susceptible to radical indoctrination, leading to significant vulnerabilities in the work environment and the broader economy. If not addressed, this could result in a reduction of the productive workforce, triggering an economic crisis. The study concludes that proactive measures to prevent the spread of radical ideology are crucial to maintaining national economic growth and stability. The implications suggest that targeted interventions are necessary to protect the workforce and sustain economic development.

Keyword: Radicalism, Terrorism, Workers and

 

Pendahuluan

Paham radikalisme tidak dapat dipungkiri telah menyebar secara masif di lingkungan masyarakat. Situasi ini berkorelasi dengan jumlah aksi terorisme yang terjadi di Indonesia pada periode 2000 s/d 2021. Dalam kurun waktu tersebut, sebanyak 552 aksi teror tercatat telah terjadi di Indonesia (Gindarsah & Widjajanto, 2021). Di era modern, penyebaran paham radikalisme ini menjadi lebih masif seiring kelompok atau sel teror menggunakan media sosial sebagai sarana penyebaran paham mereka. Penggunaan media sosial sebagai sarana penyebaran paham radikal ini memberikan efektivitas dan efisiensi yang signifikan sebab: (1) kelompok teror tidak perlu bertatap muka dengan orang yang berpotensi diradikalisasi; (2) kelompok teror hanya perlu memasang materi propaganda radikal mereka di platform media sosial untuk dibaca khalayak umum; dan (3) media sosial dapat menjangkau banyak figur dengan biaya yang rendah sehingga potensi kelompok teror untuk meradikalisasi banyak orang menjadi jauh lebih besar (Hossain, 2018).

Situasi ini pun menempatkan kelompok masyarakat dalam posisi yang sangat rentan. Salah satu kelompok yang sangat rentan terpapar paham radikal adalah kelompok pekerja. Kelompok pekerja sangat rentan terpapar paham radikalisasi sebab mereka mengalami kekosongan akibat rutinitas yang dilakukan sehari-hari sehingga mereka menjadi sangat rentan untuk mengalami pencucian otak oleh kelompok teror (Widyaningsih, 2019; Mubarokah & Wadrianto, 2023). Dampaknya adalah perusahaan menjadi rentan mengalami gangguan keamanan baik secara fisik maupun non-fisik seiring para pekerja rentan menjadi agen radikalisme yang akan menimbulkan gangguan keamanan. Maka, pekerja yang menjadi agen radikal ini tidak hanya merugikan perusahaan akibat serangan fisik melainkan juga mencemarkan nama baik perusahaan. Pencemaran nama baik perusahaan dalam situasi tertentu berdampak lebih besar dan luas dibandingkan dengan serangan fisik. Bahkan, pencemaran nama baik berpotensi lebih merugikan dibandingkan dengan serangan fisik sebab pencemaran nama baik dapat meruntuhkan image dan reputasi perusahaan sehingga menimbulkan kerugian secara moneter (Shodiq, 2018).

Pola penyebaran paham radikal yang menyasar kelompok pekerja pernah terjadi dalam perusahaan negara yang bergerak di bidang transportasi. Mirisnya, perusahaan tersebut merupakan perusahaan negara yang seharusnya memiliki concern lebih besar terhadap pencegahan paham radikalisme. Terkait insiden ini, hasil penyelidikan oleh pihak kepolisian menunjukkan bahwa tersangka berinisial DE diketahui telah berbaiat terhadap salah satu kelompok teror global, yaitu ISIS, sebelum bergabung dengan perusahaan negara di mana dia bekerja (BBC News Indonesia, 2023). Temuan ini pun mengindikasikan adanya pola pergeseran di mana kelompok teror mulai memperbolehkan anggota atau simpatisan mereka untuk mengeruk sumber daya negara. Di sisi lain, penyebaran paham radikal juga dapat menyasar tidak hanya karyawan perusahaan negara melainkan karyawan perusahaan swasta. Hal ini ditegaskan oleh temuan dalam pengungkapan kasus di Solo. Dalam kasus ini, pihak kepolisian menemukan bahwa karyawan perusahaan otomotif ternama di kota tersebut diketahui telah berbaiat kepada salah satu kelompok teror. Hal ini dibuktikan dengan temuan sejumlah barang bukti dari penggeledahan yang dilakukan di rumahnya. Adapun barang bukti tersebut terdiri dari salinan buku kursus peledakan, kertas berisi daftar nama ikhwan dan akhwat (baik yang ada di penjara maupun yang ada di Suriah), berbagai identitas diri atas nama karyawan bersangkutan, dan kartu ATM (Arnaz, 2015).

Intelijen pada dasarnya merupakan kegiatan mengumpulkan informasi dalam rentang waktu tertentu untuk diserahkan kepada para pemangku kepentingan atau stakeholder sebagai dasar pengambilan keputusan (Bartes, 2013). Jadi, intelijen pada dasarnya hanya berfungsi untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan memiliki landasan yang lebih kuat dan dengan demikian dampak berdampak lebih luas. Secara umum, kegiatan intelijen terdiri dari lima siklus yaitu: (1) planning and direction; (2) information collection; (3) information sorting, capturing, and storing; (4) information analysis; dan (5) intelligence dissemination. Dengan menggunakan kelima siklus ini, informasi yang diperoleh akan sangat kuat sehingga dapat dijadikan sebagai landasan yang kokoh dalam pengambilan keputusan.

Radikalisasi merujuk pada proses sosialisasi secara ideologis terhadap generasi muda agar mereka mau dan mampu mengubah status politik secara mendasar dengan menggunakan konflik dan kekerasan terhadap musuh politik mereka dan para pengikutnya (Moghaddam, 2005). Proses radikalisasi yang dialami seorang digambarkan menurut model Staircase to Terrorism oleh Moghaddam. Model ini terdiri dari enam tahapan yang dapat diuraikan sebagai berikut: (1) tangga pertama (first floor); (2) tangga kedua (second floor); (3) tangga ketiga (third floord); (4) tangga keempat (fourth floor); (5) tangga kelima (fifth floor); dan (6) tangga keenam (sixth floor) (Moghaddam, 2005). Ground floor adalah kondisi dimana individu menyaksikan ketidakadilan serta merasa frustrasi sehubungan dengan situasi masyarakat setempat yang dihadapinya. Kemudian, pada first floor, orang yang menunjukkan ketidakadilan dan sakit hati serta frustasi mulai mencari solusi dari problematikanya. Selanjutnya, pada second floor, individu telah siap melaksanakan agresi seiring dia mencari kesempatan supaya dapat bergerak ke tahapan berikutnya. Dalam kurun waktu tersebut, individu ini semakin memahami moralitas yang akan mendorongnya melakukan aksi terorisme.

Lalu, pada third floor, individu mendapatkan semacam pencerahan sehubungan dengan aksi yang dilakukan kelompok teror dan mmembenarkan “perjuangan” mereka untuk mewujudkan masyarakat yang “ideal.” Dalam dunia “paralel” tersebut, individu ini memiliki pemahaman terbalik di mana kelompok transnasional merupakan pahlawan sedangkan pemerintah dan aparat penegak hukum merupakan penjahat. Memasuki fourth floor, individu yang sudah bergabung dengan kelompok transnasional akan bergerak maju. Pascaperekrutan, individu ini akan dikirim ke dalam sel yang ditugaskan untuk melancarkan terorisme. Di fifth floor, atau tahapan puncak, secara psikologis individu ini sudah siap dan berkomitmen terhadap aksi terorisme meskipun harus kehilangan nyawa.

Terorisme pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di tengah-tengah masyarakat demi menunjukkan intensi politik atau mewujudkan tujuan politik. Dalam kaitannya dengan pernyataan tersebut, sejumlah pihak telah menguraikan definisinya masing-masing. Misalnya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa terorisme merupakan kekerasan terencana dengan muatan politik yang ditujukan terhadap target tidak bersenjata oleh kelompok pecahan atau agen bawah tanah guna mempengaruhi khalayak umum (Hudson & Majeska, 1999). Sebagai alternatif, terorisme juga dapat didefinisikan sebagai: (1) kegiatan politik yang memiliki motif dan sasaran yang tidak terelakkan; atau (2) tindak kekerasan atau kekerasan yang mengancam yang dirancang untuk memiliki dampak psikologi secara luas yang melampaui target atau korban langsung yang dilakukan baik oleh sebuah organisasi dengan rangkaian perintah atau struktur sel komplotan yang dapat teridentifikasi, atau oleh individu atau sekelompok kecil orang yang secara langsung terpengaruh, termotivasi, atau terinspirasi oleh tujuan ideologis, atau contoh dari beberapa gerakan teroris yang sudah ada dan atau oleh pemimpin kelompok teror dan dilakukan oleh kelompok sub-nasional atau badan non-negara (Hoffman, 2006).

Melihat dinamika dan kompleksitas terorisme tersebut, tampak jelas bahwa tidak ada solusi jangka pendek yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi isu terorisme. Hal ini terjadi lantaran sekali seorang individu berada dalam lingkup tekanan kelompok teroris, maka sangat sulit untuk mempengaruhi individu tersebut agar kembali ke jalan pemikiran yang benar. Maka, kebijakan anti teroris yang paling efektif dalam jangka panjang adalah kebijakan yang melarang perekrutan anggota baru sedini mungkin (Post, 2003). Kebijakan ini memiliki peran yang signifikan sehingga implementasinya memiliki peran yang sangat penting terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, terutama yang terjadi di Indonesia dan Filipina, mengingat aksi terorisme ini berhubungan dengan agama Islam; dengan kata lain, diperlukan suatu upaya untuk membedakan antara para pelaku aksi terorisme dari para penganut agama Islam yang sangat toleran sehingga kerukunan antarumat beragama dapat dijaga (Tellidis, 2016).

Fenomena ini tak pelak menimbulkan kerentanan bagi lingkungan kerja secara khusus dan bagi perekonomian nasional secara umum. Apabila isu ini tidak dapat tertangani dengan baik, maka dikhawatirkan bahwa krisis ekonomi akan terjadi karena penyebaran paham radikal ini dapat mengurangi jumlah tenaga kerja produktif sehingga menimbulkan krisis. Maka, upaya pencegahan terhadap penyebaran paham radikal menjadi penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan krisis ekonomi sehingga pembangunan ekonomi nasional, beserta dengan pertumbuhan ekonomi, dapat terjaga dengan baik. Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan yang hendak diajukan adalah sebagai berikut; (1) bagaimana ancaman aksi terorisme di perusahaan?, (2) bagaimana bentuk pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan?, dan (3) bagaimana hambatan dan tantangan yang berpotensi terjadi dalam pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan?

 

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Melalui penelitian ini, peneliti menggunakan beragam metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna masalah sosial atau kemanusiaan dari sudut pandang sekelompok orang (Creswell, 2002). Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena pendekatan kualitatif, sesuai dengan sifatnya yang mendasar, dapat digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami fenomena terorisme yang telah terjadi di tengah-tengah masyarakat beberapa tahun terakhir. Selanjutnya, ragam penelitian yang dipilih untuk melaksanakan penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah eksplorasi terhadap “suatu sistem terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus” dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang “kaya” dalam suatu konteks (Wahyuningsih, 2013). Melalui studi kasus ini, peneliti berharap untuk dapat menggambarkan proses penunjukan anggota Bhabinkamtibmas dan bagaimana memaksimalkan perannya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme.

Terkait dengan pendekatan yang diambil pada penelitian ini, metode penelitian yang hendak digunakan adalah studi kasus. Secara umum, studi kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan menginvestigasi lebih lanjut penyebab dari aspek sosial tertentu melalui kegiatan pengumpulan data dan pembuktian guna menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian terkait (Leavy, 2017). Melalui metode ini, peneliti berupaya untuk mendapatkan gambaran mengenai ancaman radikalisasi pada tingkat perusahaan sehingga perkembangan radikalisasi pada lingkup perusahaan dapat dicegah secara efektif dan efisien. Dengan demikian, potensi radikalisasi untuk mengganggu kegiatan operasional perusahaan dan menimbulkan kerugian dapat dihindari sedini mungkin seiring solusi bagi pencegahan perkembangan radikalisasi dapat ditemukan dalam hasil dari penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Pada bagian ini, ketiga isu yang diangkat dalam pertanyaan penelitian akan dibahas secara komprehensif. Adapun pembahasan ini dibagi menjadi tiga sub-judul sebagai berikut: (1) ancaman aksi terorisme di perusahaan; (2) bentuk pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan; dan (3) tantangan dan hambatan yang berpotensi terjadi dalam pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan.

Ancaman Aksi Terorisme di Perusahaan

Ancaman aksi terorisme di perusahaan merupakan ancaman yang sangat nyata. Hal ini telah digambarkan dengan lugas dalam penahanan DE yang hendak melakukan aksi teror sedangkan DE diketahui terdaftar sebagai anggota salah satu perusahaan milik negara. Situasi serupa juga pernah tercatat terjadi di salah satu korporasi swasta. Dalam kasus ini, karyawan salah satu korporasi swasta diketahui menjadi dalam atau mastermind dalam insiden Bom Thamrin beberapa waktu lalu. Dari catatan keputusan inkracht yang menjadi sumber utama dalam penelitian ini, data yang ada menunjukkan bahwa karyawa berinisial AH diketahui menyimpan sejumlah bahan bacaan berhaluan radikal dan sejumlah bahan kimia yang dijadikan sebagai racikan bahan peledak. Hal ini terkonfirmasi melalui keputusan inkracht atas dakwaan terhadap AH yang menguraikan bahan peledak tersebut sebagai berikut (Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur, 2016):

1.      9 (sembilan) botol plastik berisi cairan bening (satu botol kosong)

2.      4 (empat ) gelas ukur berbahan kaca

3.      1 (satu)gelas ukur berbahan plastik

4.      15 (lima belas) kantong berisi gotri

5.      2 (dua) buah kantong berisi paku

6.      3 (tiga) plastik berisi butiran warna pink

7.      1 (satu) roll aluminium foil

8.      1 (satu) plastik bubuk warna putih bertulis BP

9.      1 (satu) bungkus plastik kresek berisi sitrik acid cap gajah

10.   2 (dua) pak lilin

11.   1 (satu) plastik hitam isi serbuk putih

12.   1 (satu) gulung lampu hias

13.   1 (satu) buah timbangan

Di samping sejumlah bukti di atas, hasil pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) juga menunjukkan bahwa AH memiliki satu salinan buku terkait kursus peledakan dan juga terbukti melakukan ujicoba peledakan bersama dengan ketiga tersangka lainnya. Hal ini tertuang dalam petikan keputusan sebagai berikut (Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur, 2016):

1.      Terdakwa membeli bahan-bahan untuk membuat Bom/peledak bersama dengan NURROHMAN als. MAS NUR dan ANDIKA als. TOLHAH di toko kimia di Jl. Raya Bekasi pertigaan Harapan Indah Bekasi antara lain : H2O2 (Hidrogn Peroksida) 5 Liter dan ACETON 2 Liter. Kemudian NURROHMAN als. MAS NUR membeli Parafin di daerah Pekayon sebanyak 10 bungkus (10 Kg). Urea di cari oleh NURROHMAN als. MAS NUR

2.      Bahwa terdakwa juga membeli alat-alat untuk membuat Bom/peledak antara lain: panci kecil, ember besar, sendok, timbangan plastik, gelas beaker 4 pcs ukuran sedang.

3.      Bahwa Terdakwa ARIF HIDAYATULL0H, NURROHMAN als. MAS NUR dan ANDIKA als. TOLHAH, berusaha membuat Bahan Peledak tipe RDX dan HMTD berdasarkan panduan membuat bahan peledak dari Website BAHRUN NAIM dan dari telegram yang dikirim ke Terdakwa (ABU MUSHA’B) dan MAS NUR.

4.      Unsur Yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan , atau mengeluarkan ke dan/ atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi,atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme:

Secara keseluruhan, data-data yang diperoleh dari keputusan inkracht terpidana AH menunjukkan bahwa korporasi sangat rentan terhadap aksi terorisme sebagaimana ditunjukkan oleh keterlibatan karyawan dalam satu satu sel teror yang berafiliasi dengan jaringan transnasional tertentu. Situasi ini tentunya perlu disikapi oleh perusahaan melalui sejumlah langkah strategis. Terkait hal ini, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah menemukan bentuk pencegahan yang sesuai dengan sifat dasar penyebaran paham yang mendukung aksi terorisme di masyarakat, terutama di lingkungan karyawan. Pendekatan yang tepat tentunya akan menjadi kunci dalam mewujudkan pencegahan yang efekif dan efisien.

 

Bentuk Pencegahan Paham Radikalisme di Tingkat Perusahaan

Merujuk kepada kasus AH, dapat dipahami dengan jelas bahwa radikalisasi menjadi pendorong utama penyebaran paham radikalisme di kalangan karyawan seiring paham ini dapat berujung pada aksi teror di masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah temuan barang bukti yang disita dari AH. Barang bukti ini menunjukkan dengan jelas orientasi paham radikal yang dianut oleh AH. Adapun barang bukti ini dapat diuraikan sebagai berikut (Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur, 2016):

1.      1 (satu) buah buku berjudul seri Materi Tauhid.

2.      1 (satu) lembar kertas bertuliskan Sketsa Sejarah Kepemimpinan Kaum Muslimin sejak Masa Rasulullah hingga saat ini.

3.      1 (satu) buah buku tulis ukuran besar merk mirage.

4.      1 (satu) buah buku berjudul Sunnah Ightiyal.

5.      1 (satu) buah buku berjudul Misteri Pasukan Panji Hitam.

6.      1 (satu) buah buku berjudul Kalau bukan Tauhid apalagi.

7.      1 (satu) buah buku berjudul Studi Kritis Kesesatan Manhaj.

8.      1 (satu) buah buku berjudul Tarbiyah Jihadiyah.

9.      1 (satu) buah buku berjudul Ahkamud Dima Bagian 1-12.

10.   1 (satu) buah buku berjudul CIA Amerika Serikat & CSIS Khatolik Jesuit Menghancurkan Umat Islam Indonesia.

11.   1 (satu) buah buku fotocopy berjudul KURSUS PELEDAKAN.

Sebagaimana telah dipaparkan oleh Moghaddam, proses radikalisme menurut model Staircase to Terrorisme terdiri dari: (1) tangga pertama (first floor); (2) tangga kedua (second floor); (3) tangga ketiga (third floord); (4) tangga keempat (fourth floor); (5) tangga kelima (fifth floor); dan (6) tangga keenam (sixth floor) (Moghaddam, 2005). Dalam konteks dari kasus AH, proses radikalisasi yang dialami oleh AH dapat dikatakan sudah mencapai pada tangga keempat. Hal ini ditunjukkan dengan jelas oleh temuan dalam keputusan inkracht terpidana terkait yang menyatakan kepemilikan materi kursus peledakan dan sejumlah bahan kimia yang digunakan sebagai racikan bahan peledak. Selain itu, keputusan ini juga menunjukkan catatan kronologis yang menunjukkan keterlibatan AH dengan jaringan sel yang memberikan materi pelatihan terkait peledakan sebagai berikut (Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur, 2016):

1.      Bahwa awalnya pada bulan Juni tahun 2015 pemilik akun telegram android dengan nama Admin Akun JDK (Jaisul Daulah Khilafah) mengundang Terdakwa ARIF HIDAYATULLOH BIN SOEKARNO alias ABU MUSHA’B, untuk bergabung ke group aplikasi Telegram android dengan nama group devisi peledakan dan elektro kimia. Setelah Terdakwa bergabung, Terdakwa melihat terdapat sekitar tujuh orang yang telah bergabung adapun yang telah Terdakwa kenal sebelumnya adalah BAHRUN NAIM alias ABU AISYAH (belum tertangkap) sedangkan yang belum Terdakwa kenal Admin Akun JDK, ABU TUROP, dan dua orang lagi yang namanya sudah Terdakwa lupa. Pada saat itu Terdakwa melihat komunikasi antara orang-orang yang berada di group tersebut yang membahas tentang cara pembuatan bom. Bahwa saat Terdakwa bergabung, BACHRUM NAIM mengirimkan daftar tugas untuk memenuhi kegiatan amaliah peledakan bom yang waktu dan sasarannya belum dibicarakan. Adapun isi daftar kegiatan tersebut terdiri dari lima point yaitu :

a.       Membuat bom;

b.       Mengambil mobil yang sudah disediakan untuk amaliah;

c.       Pencucian uang;

d.       Membeli barang melalui internet dengan menggunakan nomor kartu kredit milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik kartu kredit; dan

e.       Eksekutor bom mobil.

2.      Bahwa terdakwa juga membeli alat-alat untuk membuat Bom/peledak antara lain: panci kecil, ember besar, sendok, timbangan plastik, gelas beaker 4 pcs ukuran sedang.

3.      Bahwa Terdakwa (ABU MUSH’AB), NURROHMAN als. MAS NUR dan ANDIKA als. TOLHAH, berusaha membuat Bahan Peledak tipe RDX dan HMTD berdasarkan panduan membuat bahan peledak dari Website BAHRUN NAIM dan dari telegram yang dikirim ke Terdakwa (ABU MUSHA’B) dan MAS NUR.

Memperhatikan data-data yang telah dikumpulkan melalui tahapan information collecting, dan juga dengan memperhatikan tahapan pada Staircase to Terrorism, maka bentuk pencegahan yang paling sesuai bagi penyebaran paham radikalisme di tingkat korporasi adalah penegakan hukum secara tegas dan terukur. Pendekatan ini merupakan bentuk yang paling sesuai dengan pencegahan paham radikalisme di tingkat perusahaan atau korporasi. Pendekatan ini dinilai tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi penyebaran paham radikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan jelas oleh proses pendakwaan terhadap AH sebagaimana dipaparkan pada putusan inkracht Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur. Dalam kesempatan yang sama, penegakan hukum secara tegas dan terukur ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku teror lainnya, terutama di lingkup perusahaan, sehingga mereka akan berpikir dua kali sebelum melaksanakan aksinya. Selain itu, penegakan hukum secara tegas dan terukur juga mengirimkan pesan bahwa perusahaan tidak berkompromi terhadap aksi teror dalam bentuk apapun seiring aksi teror ini justru merugikan perusahaan itu sendiri. Secara keseluruhan, penegakan hukum secara tegas dan terukur ini diharapkan dapat mencegah penyebaran paham radikalisme sebagai pemicu aksi teror di lingkup perusahaan secara efektif dan efisien.

 

Hambatan dan Tantangan Dalam Pencegahan Paham Radikalisme di Tingkat Perusahaan

Dinamika pergerakan paham radikalisme di lingkup perusahaan tak dapat dipungkiri telah menimbulkan sejumlah hambatan dan tantangan terkait pencegahan paham tersebut. Salah satu tantangan utama yang perlu diperhatikan adalah potensi penggunaan teknologi, terutama di bidang informasi dan komunikasi, untuk menyebarkan paham teror serta melancarkan aksi teror di masyarakat. Hal ini terkonfirmasi dalam temuan dari keputusan inkracht yang menyatakan bahwa (Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur, 2016):

1.      Bahwa awalnya pada bulan Juni tahun 2015 pemilik akun telegram android dengan nama Admin Akun JDK (Jaisul Daulah Khilafah) mengundang Terdakwa ARIF HIDAYATULLOH BIN SOEKARNO alias ABU MUSHA’B, untuk bergabung ke group aplikasi Telegram android dengan nama group devisi peledakan dan elektro kimia. Setelah Terdakwa bergabung, Terdakwa melihat terdapat sekitar tujuh orang yang telah bergabung adapun yang telah Terdakwa kenal sebelumnya adalah BAHRUN NAIM alias ABU AISYAH (belum tertangkap) sedangkan yang belum Terdakwa kenal Admin Akun JDK, ABU TUROP, dan dua orang lagi yang namanya sudah Terdakwa lupa. Pada saat itu Terdakwa melihat komunikasi antara orang-orang yang berada di group tersebut yang membahas tentang cara pembuatan bom. Bahwa saat Terdakwa bergabung, BACHRUM NAIM mengirimkan daftar tugas untuk memenuhi kegiatan amaliah peledakan bom yang waktu dan sasarannya belum dibicarakan. Adapun isi daftar kegiatan tersebut terdiri dari lima point yaitu :

f.        Membuat bom;

g.       Mengambil mobil yang sudah disediakan untuk amaliah;

h.       Pencucian uang;

i.        Membeli barang melalui internet dengan menggunakan nomor kartu kredit milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik kartu kredit; dan

j.        Eksekutor bom mobil.

2.      Bahwa tidak lama kemudian Terdakwa dikeluarkan dari group tersebut oleh pemegang kunci group yaitu IBAD. Dengan dikeluarkannya dari group tersebut tanpa Terdakwa ketahui penyebabnya maka Terdakwa menanyakan kepada ABU AISYAH als BAHRUN NAIM menggunakan aplikasi telegram tentang penyebab Terdakwa dikeluarkan kemudian ABU AISYAH als BAHRUN NAIM menjawab bahwa Terdakwa dikeluarkan dari group akibat dicurigai sebagai Jasus atau mata-mata. Karena nama akun telegram Terdakwa pada saat itu LITIUM ION, dengan adanya jawaban tersebut kemudian Terdakwa memperkenalkan diri kepada ABU AISYAH als.BAHRUN NAIM bahwasannya Terdakwa adalah ARIF HIDAYATULLOH yang merupakan adik kelas ABU AISYAH als.BAHRUN NAIM ketika di SMA Al-ISLAM 1 Solo. Mendengar demikian ABU AISYAH hanya menjawab “ARIF yang mana Terdakwa tidak kenal” Terdakwa menjawab “yang ganteng itu”.Lalu ABU AISYAH als.BAHRUN NAIM meminta kepada Terdakwa untuk mengirimkan foto.Karena Terdakwa merasa tidak aman apabila mengirim foto via telegram, maka Terdakwa tidak mengirimkan foto.

3.      Bahwa sekitar awal bulan Agustus 2015 Terdakwa mengecek group devisi peledakan dan elektro kimia yang sudah tidak memilik admin. Terdakwa mulai curiga bahwa orang-orang yang berada di group tersebut akan melaksanakan aksi pengeboman.

4.      Bahwa pada pertengahan bulan Agustus 2015 Terdakwa membaca surat kabar yang memberitakan tentang penangkapan terdakwa terorisme pada tanggal 13 Agustus 2015 dengan nama IBADDURRAHMAN sebagai pelaku pembuatan bom di daerah Solo. Setelah membaca koran tersebut Terdakwa menghubungi ABU AISYAH melalui aplikasi telegram untuk menanyakan apakah IBAD adalah admin group. ABU AISYAH menjawab “Iya.”

5.      Bahwa sekitar awal tahun bulan September 2015 ABU AISYAH melalui aplikasi telegram mengirimkan kepada Terdakwa sittus pembuatan bom www.bahrunnaim.xyz-tehnik pembuatan Bom /peledak.Dengan alamat tersebut Terdakwa membuka internet dan membaca artikel pembuatan bahan peledak HMTD. Karena Terdakwa tidak mengetahui nama yang umum dari bahan-bahan yang berada di artikel tersebut seperti aceton dan menggunakan apa maka Terdakwa menghubungi BAHRUN NAIM ANGGIH TAMTOMO alias ABU AISYAH menggunakan aplikasi telegram. BAHRUN NAIM ANGGIH TAMTOMO alias ABU AISYAH membalas aseton adalah pembersih kuku dan chasing menggunakan termos kecil.

Situasi ini pun memerlukan kemampuan berpikir yang kritis terhadap informasi yang beredar sehingga warga masyarakat selaku penerima informasi tidak mudah termakan isu yang dihembuskan sebagai bagian dari propaganda paham radikalisme. Tak pelak, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi, bersama-sama dengan kepemilikan dan pengembangan kemampuan kritis menjadi kunci dalam menghadapi gempuran paham radikalisme. Dengan pengetahuan dan kemampuan yang memadai, penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan pun dapat dicegah secara efektif dan efisien.

Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi serta kemampuan berpikir kritis tak pelak menjadi kunci utama bagi pencegahan penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan. Pencegahan ini tentunya akan menjadi maksimal apabila disertai dengan edukasi yang memadai terkait bahaya dan dampak penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan. Namun, edukasi ini justru menjadi tantangan tersendiri mengingat belum semua karyawan memiliki pemahaman yang memadai terkait bahaya dan dampak radikalisme tersebut. Bahkan, tidak dapat dipungkiri pula bahwa para karyawan ini sama sekali belum memiliki pemahaman yang kuat terkait definisi radikalisme. Wawasan dan pengetahuan para karyawan terkait radikalisme dan terorisme ini pun perlu dikuatkan sehingga para karyawan pada gilirannya dapat mengantisipasi bahaya dan dampak dari penyebaran paham radikalisme dengan baik di waktu mendatang.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan di atas terkait pencegahan penyebaran paham radikalisme di lingkup perusahaan, sejumlah kesimpulan dapat diambil agar upaya pencegahan yang dimaksud dapat memberikan hasil yang optimal. Pertama, ancaman aksi terorisme di perusahaan merupakan ancaman yang nyata. Hal ini telah dibuktikan dalam keputusan inkracht terhadap terdakwa AH terkait keterlibatannya dalam aksi teror di Bom Thamrin. Kedua, bentuk pencegahan paham radikalisme di lingkup perusahaan adalah penegakan hukum secara tegas dan terukur. Pencegahan ini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku teror di lingkup perusahaan dan, di saat yang sama, mengirimkan pesan yang kuat bahwa perusahaan tidak berkompromi dengan pelaku teror. Ketiga, atau terakhir, hambatan dan tantangan pencegahan paham radikalisme di lingkup perusahaan terletak pada kemajuan teknologi, terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi, serta upaya edukasi bagi karyawan. Kedua hal ini perlu diperhatikan seiring karyawan belum memiliki pengalaman yang memadai terkait tentang radikalisme dan terorisme serta bahaya dan dampak yang dapat ditimbulkan.

 

BIBLIOGRAFI

 

Arnaz, F. (24. Desember 2015). Ini Kronologi Penangkapan Abu Muzab dan Ali, Dua Teroris di Bekasi. Von BERITASATU: https://www.beritasatu.com/news/335346/ini-kronologi-penangkapan-abu-muzab-dan-ali-dua-teroris-di-bekasi abgerufen

Bartes, F. (2013). Five-Phase Model Of The Intelligence Cycle Of Competitive Intelligence. Acta Universitatis Agriculturae Et Silviculturae Mendelianae Brunensis, 283-288.

BBC News Indonesia. (16. Agustus 2023). Karyawan PT KAI Jadi Tersangka Teroris: Strategi Baru Kelompok Pro-ISIS Manfaatkan Institusi Negara. Von BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cx0w2nl23z9o abgerufen

Creswell, J. R. (2002). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gindarsah, I., & Widjajanto, A. (29. Maret 2021). Tilik Data "Aksi Teror 552" di Mabes Polri. Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia.

Hoffman, B. (2006). Inside Terrorism: Revised and Expanded Edition. New York: Columbia University Press.

Hossain, M. (2018). Social Media and Terrorism: Threats and Challenges to the Modern Era. South Asian Survey, 136-155.

Hudson, R. A., & Majeska, M. L. (1999). The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why? Washington, D.C.: Federal Research Division Library of Congress. Von Federal Research Division, Library of Congres, Washington: http://www.loc.gov/rr/frd/pdf-files/Soc_Psych_of_Terrorism.pdf abgerufen

Leavy, P. (2017). Research Design: Quantitative, Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-Based Participatory Research Approaches. New York: The Guilford Press.

Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur. (3. Oktober 2016). Putusan Nomor: 548/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Tim. Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia.

Moghaddam, F. M. (2005). The Staircase to Terrorism: A Psychological Explanation. American Psychologist, 161-169.

Mubarokah, M., & Wadrianto, G. (20. November 2023). Pekerja Migran Indonesia Rentan Terpapar Radikalisme, BP2MI Gandeng BNPT. Von kompas.com: https://bandung.kompas.com/read/2023/11/20/093945578/pekerja-migran-indonesia-rentan-terpapar-radikalisme-bp2mi-gandeng-bnpt?page=all abgerufen

Post, J. M. (2003). Psiko-Logika Teroris: Perilaku Teroris Sebagai Hasil Tekanan Psikologis. In W. Reich, Origin of Terrorism (S. 27-47). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Shodiq, M. (2018). Paradigma Deradikalisasi dalam Hukum. Jakarta Selatan: Pustaka Harakatuna.

Tellidis, I. (2016). Religion and Terrorism. In R. Jackson, Routledge Handbook of Critical Terrorism Studies (S. 291-312). New York: Routledge.

Wahyuningsih, S. (2013). Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori Pendekatan Psikologi Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya). Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura.

Widyaningsih, R. (2019). Deteksi Dini Radikalisme. Semarang: Universitas Jenderal Soedirman.

 

Copyright holder:

Bhernedetha Nindya Kusumastuti, A Josias Simon Runturambi, Ahwil Luthan (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: