Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

KEWENANGAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN SELAKU PENDAMPING KLIEN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM MEMPERCEPAT PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA

 

Dhonny Fatwa Ammarul Akbar1, Fajar Putra Prastina Rumelawanto2

Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia1

Kementrian Hukum dan HAM, Jakarta, Indonesia2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Penegakan hak asasi manusia, termasuk hak anak, adalah salah satu tuntutan reformasi di Indonesia. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Indonesia, yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), yang mengubah paradigma dari keadilan retributif ke restoratif. Penelitian ini menyoroti kewenangan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam mempercepat penyelesaian perkara pidana anak, dengan meneliti peran PK dari tahap pra-adjudikasi, adjudikasi, hingga pasca-adjudikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif deskriptif melalui studi kepustakaan dan empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PK memiliki kewenangan signifikan dalam mempercepat penyelesaian perkara pidana anak, namun terdapat beberapa faktor penghambat seperti budaya hukum, kesadaran masyarakat, keterbatasan fasilitas, koordinasi antar lembaga, dan perundang-undangan. Rekomendasi meliputi peningkatan sosialisasi kewenangan PK, mengubah budaya hukum masyarakat ke arah keadilan restoratif, pembangunan Balai Pemasyarakatan di setiap kabupaten/kota, serta revisi UU SPPA.

Kata Kunci: hak anak, sistem peradilan pidana anak, pembimbing kemasyarakatan, keadilan restoratif, UU SPPA

 

Abstract

Upholding human rights, including children's rights, is one of the demands for reform in Indonesia. Article 28B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia states children's rights to survival, growth, and development as well as protection from violence and discrimination. Indonesia, which has ratified the Convention on the Rights of the Child, issued Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System (UU SPPA), which changes the paradigm from retributive to restorative justice. This research highlights the authority of Community Counselors (PK) in accelerating the resolution of juvenile criminal cases, by examining the role of PK from the pre-adjudication, and adjudication, to post-adjudication stages. The research method used is descriptive normative through literature and empirical studies. The research results show that the PK has significant authority in accelerating the resolution of juvenile criminal cases. Still, several inhibiting factors exist, such as legal culture, public awareness, limited facilities, coordination between institutions, and legislation. Recommendations include increasing the socialization of PK authority, changing the legal culture of society towards restorative justice, building correctional centers in each district/city, and revising the SPPA Law.

Keywords: children's rights, juvenile criminal justice system, community counselors, restorative justice, SPPA Law

 

Pendahuluan

Salah satu tuntutan reformasi bangsa Indonesia ialah penegakan hak asasi manusia (Nasional, n.d.) hal tersebut termasuk pemajuan hak asasi manusia anak-anak. Pada ketentuan konstitusi Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakansetiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasiwajib ditanggapi agar menjaga harkat dan martabat anak sebagai mausia seutuhnya, anak berhak mendapatkan perlindungan yang berbeda dari orang dewasa, salah satunya perlindungan hukum dalam sistem peradilan.

Lebih jauh lagi, Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yakni pengaturan internasional berkenaan dengan prinsip perlindungan hukum terhadap anak memiliki keharusan dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seperti mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, memperhatikan hak mendapatkan perlakukan nondiskriminasi, memperhatikan tumbuh, kembang, kehidupan serta perhargaan terhadap pandangan anak. Selanjutnya lahirlah Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat disingkat menjadi UU SPPA yang merupakan hasil dari reformasi penegakan hukum dalam penanganan perkara anak. Dimana sebelum adanya UU 11/2012 paradigma keadilan pembalasan atau retributif lebih mewarnai para penyelenggara negara dengan semangat menghukumnya sebagai sarana balas dendam, telah berpindah menuju paradigma keadilan restoratif yang lebih mengutamakan upaya penyelesaian masalah dengan semangat pemulihan tanpa pembalasan. Pada UU SPPA ini kategori anak berkonflik dengan hukum ialah seseorang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun namun belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Bilamana ditinjau dari perkembangan manusia maka rentan usia 12 (dua belas) tahun hingga 18 (delapan belas) tahun diklasifikasikan dalam fase remaja yakni anak mulai memasuki masa pubertas (Lally & Valentine-French, 2019). Dapat dikatakan bahwa masa remaja ialah masa peralihan dari masa kanak-kanak kearah masa dewasa dimana pada diri anak terjadi perubahan yang signifikan dalam aspek psikososial, kognitif, dan fisik (Santrock, 2007). Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, terjadi instabilitas emosi dalam diri remaja hal ini adalah akibat dari usaha penyesuaian dirinya pada pola perilaku baru serta keinginan sosial yang baru (Pastorelli et al., 1997). Kondisi tersebut membuat remaja riskan untuk mengalami kesulitan dalam mengatasi emosi yang selanjutnya dapat memantik munculnya berbagai masalah seperti menunjukkan perilaku agresif kepada orang lain atau melakukan jenis kenakalan remaja bahkan kejahatan sebagaimana orang dewasa.

Sebagaimana orang dewasa yang melakukan tidak pidana, anak berkonflik dengan hukum memiliki kewajiban menjalani proses hukum. Proses hukum terhadap Anak terdiri atas tiga (3) tahap yakni tahap Pra Adjudikasi, Adjudikasi, dan Post Adjudikasi. Adapun jumlah anak berkonflik dengan hukum diperoleh data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai berikut (Hibatullah et al., 2024):

Screenshot 2024-05-29 004646Gambar 1. Jumlah Anak Berkonflik Dengan Hukum Rentan Tahun 2020-2023

 

Berdasarkan data yang dihadirkan diketahui jumlah anak berkonflik dengan hukum pada tahun 2020 berjumlah 1389, tahun 2021 berjumlah 1365, tahun 2022 berjumlah 1530, tahun 2023 berjumlah 1639 dari data ini menunjukan tren peningkatan dari tahun 2021 sampai dengan tahun 2023, padahal diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, prosedur, proses dan sistem penanganan terhadap anak berkonflik dengan hukum mengalami perubahan yang signifikan yakni pada setiap tahap proses hukum, Pembimbing Kemasyaratan memiliki kewenangan dalam mendampingi Anak yang berkonflik dengan hukum agar memastikan kebutuhan dan pemenuhan hak anak terpenuhi, mengupayakan penyelesaian perkara dengan diversi, melakukan penelitian kemasyarakatan, mendampingi, turut dalam sidang peradilan anak, membimbing, dan mengawasi anak hingga akhir dari proses hukum yang dijalani anak bahkan hingga bimbingan lanjutan yang dijalani oleh anak berkonflik dengan hukum.

Hal ini menjadi menarik bagi penulis oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian berjudul kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana. Sebagaimana latar belakang yang telah dijabarkan maka dapat diperoleh rumusan masalah: (1) Bagaimana kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana? (2) Apa faktor penghambat pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana?

 

Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan melihat kondisi yang ada di lingkungan masyarakat dengan menggunakan data yang bersumber dari studi empiris dan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan ialah proses kegiatan yang mengkaitkan bersamaan dengan metode pengumpulan data, pustaka, membaca serta mencatat dan mengolah bahan penelitian (Darmadi, 2011).

Disebabkan penulisan ini memiliki fungsi untuk mendapatkan jawaban tentang pertanyaan, tanggapan dan pendapat sesuai dengan beberapa literatur yang digunakan. Penulisan normatif deskriptif melalui pengkajian permasalahan  kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana serta menganalisis melalui segi hukumnya dan mengukur beberapa tipe sebagaimana studi literatur, survei, kajian serta yang lainnya. Penulisan ini menggunakan studi empiris dan studi kepustakaan yang memiliki visi guna menemukan model pendekatan pembimbing kemasyarakatan dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana yang dialami oleh anak berkonflik dengan hukum.

Sehingga diharapkan penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak berkonflik dengan hukum dapat diselesaikan dengan cepat. Penulisan ini dapat membawa manfaat melalui rekomendasi atau masukan untuk menyusun kebijakan mengenai penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak berkonflik dengan hukum.

 

Hasil dan Pembahasan

Pembimbing kemasyarakatan telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Zaman itu bernama pegawai negeri istimewa yang berarti pekerja sosial kewenangannya telah ditentukan pada Wetboek van Strafrecht yang pada 1917 dilakukan penerjemahan dan perubahan dengan judul KUHP yang diberlakukan mulai 1 Januari 1918.

Konsep pembimbing kemasyarakatan untuk selanjutnya dapat disingkat PK mulai marak dikemukakan pada tahun 1968 sesuai perkembangan konsep pemasyarakatan yang diuraikan oleh Saharjo. Penggunaan konsep pembimbing kemasyarakatan diatur secara normatif yuridis pada tataran Undang-undang ada dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyebutkan pembimbing kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Bapas melaksanakan bimbingan WBP. Selanjutnya pada UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyatakan pembimbing kemasyarakatan sebagai pejabat fungsional penegak hukum yang secara khusus melakukan bimbingan kemasyarakatan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana (Soekanto, 2007). Pembimbing Kemasyarakatan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) ialah pejabat fungsional. Berdasarkan Permenpan RB Nomor 22 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional Pembimbing Kemasyarakatan, Pejabat Pembimbing Kemasyarakatan adalah Pegawai yang diberikan tanggung jawab, tugas, hak dan wewenang agar melakukan kegiatan di bidang bimbingan kemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (23) UU 22 tahun 2022 menggunakan konsep PK sebagai Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan Litmas, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Klien, baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami kedudukan PK yakni:

  1. Pejabat Fungsional

Mempunyai kompetensi dan keterampilan khusus dalam melaksanakan tugas dan fungsi bimbingan kemasyarakatan. Oleh karena itu, untuk menduduki jabatan fungsional pembimbing kemasyarakatan harus memiliki kompetensi dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan;

  1. Petugas Pemasyarakatan

Memiliki peran untuk meweujudkan tujuan pemasyarakatan

  1. Pegawai Negeri Sipil dibidang Penegakan Hukum’

Sebagai APH memiliki tugas dan fungsi untuk ikut serta dalam setiap proses tahapan peradilan pidana anak. Kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti hakim, jaksa maupun polisi.

 

Kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana

Sistem peradilan pidana anak ialah segala sesuatu sub sistem yang tergabung dalam sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Hakim, polisi, jaksa, pembimbing pemasyarakatan, pengacara sebagai profesi yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak sampai dengan pada saaat anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan penghukuman dengan prinsip keadilan restoratif.

Berdasarkan Pasal 65 UU 11/2012, pembimbing kemasyarakatan memiliki kewenangan:

  1. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;
  2. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA;
  3. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;
  4. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan
  5. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Berdasarkan penjabaran ketentuan tersebut maka kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum memiliki proses yang panjang sebab sejak tahp pra-ajudikasi, ajudikasi hingga pos-ajudikasi sehingga sangat dimungkinkan dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana yang dialami oleh anak, seperti:

  1. Pra-ajudikasi

Pada proses penyidikan dan pentuntutan PK memiliki kewenangan membuat litmas dan pendampingan pada anak berkonflik dengan hukum berdsarkan pasal 27 dan pasal 28 UU SPPA memerintahkan penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari PK dalam menangani anak berkonflik dengan hukum dan PK wajib membuat litmas agar membantu proses penyidikan;

  1. Ajudikasi

Pada proses persidangan di pengadilan PK mendampingi klien anak, menyampaikan hasil litmas kepada hakim dan mendampingi sekaligus memfasilitasi keluarga Klien Anak dalam proses persidangan, berdasarkan pasal 57 UU SPPA yakni setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan PK membacakan hasil litmas tentang anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. Setelah PK membacakan laporan hasil litmas hakim wajib mempertimbangkannya sebelum menjatuhkan putusan perkara. Dalam proses pra-ajudikasi dan ajudikasi APH wajib mengupayakan diversi setiap tahapannya sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU SPPA;

  1. Pos-ajudikasi

Pada proses pos-ajudikasi PK memiliki kewenangan mendampingi, membimbing, dan mengawasi anak berkonflik dengan hukum atau klien anak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 65huruf d dan e yakni melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan dan melakukan pendampingan, pembimbingan; dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

 

Faktor penghambat pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana

Dalam pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana ditemukan faktor penghambat berupa faktor kebudayaan, faktor masyarakat, faktor fasilitas, faktor penegak hukum dan faktor perundang-undangan (substansi hukum) (Soekanto, 2011), sebagaimana hal ini:

  1. Faktor kebudayaan

Penyebab kebudayaan ialah dasar dalam berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) wajib menggambarkan norma-norma yang menjadi dasar hukum. Pada penegakan hukum, semakin tinggi penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat yang akan diatur, maka semakin mudahlah dalam menegakannya (Wiharma, 2019).

Budaya hukum di masyarakat Indonesia masih sangat melekat jika upaya melepaskan anak berkonflik dengan hukum dari proses hukum ialah diskriminasi hukum. Masyarakat akan melakukan penolakan terlebih jika ABH telah melakukan tindak pidana yang tergolong tabu di tengah masyarakat, seperti tindak pidana pelecehan seksual yang biasanya menyebabkan kerusakan fisik dan mental kepada korban yang sulit untuk diobati sepanjang hidupnya (Rifaldi & Susanti, 2023).

  1. Faktor masyarakat

masyarakat memiliki daya pengaruh yang tinggi kepada perwujudan penegakan hukum, karena penegakan hukum bersumber dari masyarakat dan bertujuan dalam masyarakat itu sendiri. Elemen terpenting untuk menentukan penegak hukum ialah kesadaran hukum didalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik (Budiono et al., 2015).

Paham retributif atau pembalasan yang berasal dari aliran klasik hukum pidana masih sangat mendominasi masyarakat Indonesia. Seolah-olah semua kasus hukum yang terjadi harus diselesaikan melalui jalur hukum pidana. Masyarakat secara umum pun masih memiliki pemikiran bahwa apabila seorang pelaku tindak pidana tidak dipidanakan dirasakurang mantep”.

  1. Faktor fasilitas

fasilitas yang menopang terdiri atas orang yang memiliki pendidikan dan terampil, organisasi yang baik, keuangan yang cukup dan peralatan yang memadai. Tanpa adanya fasilitas yang kompeten maka sangat dimungkinkan penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar serta penegak hukum tidak mungkin menjalankan kewenangan sebagaimana mestinya (Budiono et al., 2015).

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Bapas dibentuk semua kabupaten/kota namun demikian berdasarkan data dari Ditjen Pemasyarakatan ditemukan bahwa Bapas di Indonesia berjumlah 91 (Bakhtiar, 2019). Hal ini berimplikasi langsung terhadap efektifitas dan efisiensi pelaksanaan wewenang secara khusus mobilisasi PK terhadap tempat pelaksanaan wewenang.

  1. Faktor penegak hukum

integritas, kompetensi dan mentalitas dari aparat penegak hukum ialah salah satu kunci keberhasilan penegakan hukum. Agar penegakan hukum terwujud sehingga keadilan, kebermanfataan dan kepastian dirasakan oleh masyarakat secara luas maka aparat penegak hukum memiliki kewenangan yang signifikan dalam tercapainya tujuan hukum dan kelancaran proses penegakan hukum (Anggraini & Hartantien, 2024).

Masih kurang efektifnya koordinasi antar lembaga yang menangani ABH, dalam mempercepat penyelesaian pidana ABH memerlukan keterlibatan berbagai lembaga selain Balai Pemasyarakatan ada juga pengadilan, kejaksaan, kepolisian. Menjadi perhatian ialah efektifitas koordinasi antar lembaga ini masih kurang baik, pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan menjadi tidak efektif, sehingga berpotensi gagalnya mempercepat penyelesaian perkara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (Driandhola, 2018).

  1. Perundang-undangan (substansi hukum)

Pelaksanaan penegakan hukum di praktek acapkali terjadi pertentangan antara keadilan dengan kepastian hukum. Hal ini disebabkan konsepsi keadilan ialah suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum iaah prosedur yang telah ditentukan secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kusuma, 2019).

Dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak faktor terakhir ialah perundang-undangan yakni dengan mekanisme diversi penyelesaian perkara dapat diselesaikan dengan cepat namun demikian berdasarkan pasal 7 ayat (2) UU SPPA diperlukan syarat dan syarat tersebut tidak dipenuhi bilamana anak berkonflik dengan hukum terjerat pasal 114 UU 35/2009 Tentang Narkotika menyatakan ancaman pidana perantara jual beli narkotika paling lama 20 tahun, jadi tidak dapat diterapkan kepada pelaku anak, sehingga tidak dapat direkomendasikan diversi oleh PK. Seringkali anak berkonflik dengan hukum tidak benar-benar memahami apa yang dilakukannya, karena hanya dimanfaatkan oleh pelaku orang dewasa.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Kewenangan pembimbing kemasyarakatan dalam mempercepat penyelesaian perkara pidana anak berkonflik dengan hukum sangat dimungkinkan sebab pembimbing kemasyarakatan hadir dimulai pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi hingga pos-ajudikasi dengan kewenangannya tersebut pembimbing kemasyarakatan dapat mempercepat proses pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila diversi tidak dilaksanakan; membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA; menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya; melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. (2) Faktor penghambat kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana ialah faktor kebudayaan, bila mempercepat proses hukumABH maka dianggap diskriminasi hukum; faktor masyarakat, masyarakat masih berparadigma retributif; faktor fasilitas, tidak adanya Bapas disetiap Kabupaten atau kota; faktor penegak hukum, kurang efektifnya koordinasi antar lembaga penegak hukum; dan faktor perundang-undangan (substansi hukum) adanya ketentuan syarat agar dapat dilaksanakannya diversi dalam UUSPPA yang otomatis tidak dapat dilaksanakan bilamana ABH melanggar ketentuan Pasal 114 UU 35/2009 padahal ABH seringkali hanya dimanfaatkan pelaku orang dewasa.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anggraini, R. D., & Hartantien, S. K. (2024). Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Dalam Melakukan Transaksi Online. Judiciary (Jurnal Hukum Dan Keadilan), 104–112.

Bakhtiar, Y. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak pada Tingkat Penyidikan. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana Dan Politik Hukum, 8(1), 46–59.

Budiono, A. R., SH, M., Bellefroid, Z., Chand, H., Sidharta, B. A., & Mahmud, P. (2015). Ilmu Hukum Dan Penelitian Hukum*. Makalah Seminar Di Fak. Hukum UNIBRAW, Malang, 6.

Darmadi, H. (2011). Metode penelitian pendidikan. Bandung: alfabeta.

Driandhola, D. A. (2018). Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Proses Diversi Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian. Unes Journal of Swara Justisia, 2(3), 264–273.

Hibatullah, M. N., Rusmiati, E., & Takariawan, A. (2024). Akibat Hukum Penerapan Restorative Justice Oleh Kejaksaan Pada Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika. Yurispruden: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 7(1), 131–150.

Kusuma, A. M. (2019). Tinjauan hukum tentang hak ingkar notaris sebagai saksi di persidangan dalam jabatan notaris. UNS (Sebelas Maret University).

Lally, M., & Valentine-French, S. (2019). Lifespan development: A psychological perspective.

Nasional, P. P. P. H. (n.d.). Laporan Akhir Tim Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Kelompok Kerja (Pokja) Implikasi Amandemen Konstitusi Terhadap Sistem Hukum Nasional Dan Demokrasi Di Indonesia.

Pastorelli, C., Barbaranelli, C., Cermak, I., Rozsa, S., & Caprara, G. V. (1997). Measuring emotional instability, prosocial behavior and aggression in pre-adolescents: A cross-national study. Personality and Individual Differences, 23(4), 691–703.

Rifaldi, M., & Susanti, R. (2023). Pendampingan Oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas Ii Purwokerto Terhadap Anak Yang Melakukan Kekerasan Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Putusan Nomor: 3/PID. SUS-ANAK/2021/PN. PBG). Wijayakusuma Law Review, 5(1).

Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas. Jakarta: Erlangga.

Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

Soekanto, S. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

Wiharma, C. (2019). Perspektif Penegakan Hukum Terhadap Barang-Barang Ilegal di Pasar Bebas. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 2(1), 759–773.

 

Copyright holder:

Dhonny Fatwa Ammarul Akbar, Fajar Putra Prastina Rumelawanto (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: