Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
KEWENANGAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN
SELAKU PENDAMPING KLIEN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM MEMPERCEPAT
PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
Dhonny Fatwa Ammarul
Akbar1, Fajar Putra Prastina Rumelawanto2
Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia1
Kementrian Hukum
dan HAM, Jakarta, Indonesia2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Penegakan hak asasi manusia,
termasuk hak anak, adalah salah satu tuntutan reformasi di
Indonesia. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan hak anak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Indonesia, yang telah meratifikasi
Konvensi Hak-Hak Anak, mengeluarkan
UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), yang mengubah
paradigma dari keadilan retributif ke restoratif. Penelitian ini menyoroti kewenangan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam mempercepat penyelesaian perkara pidana anak, dengan
meneliti peran PK dari tahap pra-adjudikasi,
adjudikasi, hingga pasca-adjudikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif deskriptif melalui studi kepustakaan dan empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PK memiliki kewenangan signifikan dalam mempercepat penyelesaian perkara pidana anak, namun terdapat
beberapa faktor penghambat seperti budaya hukum, kesadaran
masyarakat, keterbatasan fasilitas, koordinasi antar lembaga, dan perundang-undangan. Rekomendasi meliputi peningkatan sosialisasi kewenangan PK, mengubah budaya hukum masyarakat ke arah keadilan
restoratif, pembangunan
Balai Pemasyarakatan di setiap
kabupaten/kota, serta revisi UU SPPA.
Kata Kunci: hak anak, sistem
peradilan pidana anak, pembimbing kemasyarakatan, keadilan restoratif, UU SPPA
Abstract
Upholding
human rights, including children's rights, is one of the demands for reform in
Indonesia. Article 28B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic
of Indonesia states children's rights to survival, growth, and development as
well as protection from violence and discrimination. Indonesia, which has
ratified the Convention on the Rights of the Child, issued Law No. 11 of 2012
concerning the Juvenile Criminal Justice System (UU SPPA), which changes the
paradigm from retributive to restorative justice. This research highlights the
authority of Community Counselors (PK) in
accelerating the resolution of juvenile criminal cases, by examining the role
of PK from the pre-adjudication, and adjudication, to post-adjudication stages.
The research method used is descriptive normative through literature and
empirical studies. The research results show that the PK has significant
authority in accelerating the resolution of juvenile criminal cases. Still,
several inhibiting factors exist, such as legal culture, public awareness,
limited facilities, coordination between institutions, and legislation.
Recommendations include increasing the socialization of PK authority, changing
the legal culture of society towards restorative justice, building correctional
centers in each district/city, and revising the SPPA
Law.
Keywords:
children's rights, juvenile criminal justice system, community counselors, restorative justice, SPPA Law
Pendahuluan
Salah satu tuntutan reformasi bangsa Indonesia ialah penegakan hak asasi
manusia
Lebih jauh lagi, Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) yakni
pengaturan internasional berkenaan dengan prinsip perlindungan hukum terhadap anak memiliki keharusan
dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seperti mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak,
memperhatikan hak mendapatkan perlakukan nondiskriminasi, memperhatikan tumbuh, kembang, kehidupan serta perhargaan terhadap pandangan anak. Selanjutnya lahirlah Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat disingkat menjadi UU SPPA yang merupakan hasil dari reformasi penegakan hukum dalam penanganan
perkara anak. Dimana sebelum adanya UU 11/2012 paradigma keadilan pembalasan atau retributif lebih mewarnai para penyelenggara
negara dengan semangat menghukumnya sebagai sarana balas dendam,
telah berpindah menuju paradigma keadilan restoratif yang lebih mengutamakan upaya penyelesaian masalah dengan semangat pemulihan tanpa pembalasan. Pada UU SPPA ini kategori anak
berkonflik dengan hukum ialah seseorang
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun namun
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Bilamana ditinjau dari perkembangan
manusia maka rentan usia 12 (dua belas) tahun hingga
18 (delapan belas) tahun diklasifikasikan dalam fase remaja
yakni anak mulai memasuki masa pubertas
Sebagaimana orang dewasa yang melakukan tidak pidana, anak
berkonflik dengan hukum memiliki kewajiban menjalani proses hukum. Proses hukum terhadap Anak terdiri atas tiga (3) tahap
yakni tahap Pra Adjudikasi, Adjudikasi, dan Post Adjudikasi.
Adapun jumlah anak berkonflik dengan hukum diperoleh data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai berikut
Gambar 1. Jumlah
Anak Berkonflik Dengan
Hukum Rentan Tahun
2020-2023
Berdasarkan data yang dihadirkan diketahui jumlah anak berkonflik
dengan hukum pada tahun 2020 berjumlah 1389, tahun 2021 berjumlah 1365, tahun 2022 berjumlah 1530, tahun 2023 berjumlah 1639 dari data ini menunjukan
tren peningkatan dari tahun 2021 sampai dengan tahun
2023, padahal diberlakukannya
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, prosedur, proses dan
sistem penanganan terhadap anak berkonflik
dengan hukum mengalami perubahan yang signifikan yakni pada setiap tahap proses hukum, Pembimbing Kemasyaratan memiliki kewenangan dalam mendampingi Anak yang berkonflik dengan hukum agar memastikan kebutuhan dan pemenuhan hak anak
terpenuhi, mengupayakan penyelesaian perkara dengan diversi, melakukan penelitian kemasyarakatan, mendampingi, turut dalam sidang
peradilan anak, membimbing, dan mengawasi anak hingga akhir
dari proses hukum yang dijalani anak bahkan
hingga bimbingan lanjutan yang dijalani oleh anak berkonflik dengan hukum.
Hal ini menjadi menarik
bagi penulis oleh karena itu penulis
ingin melakukan penelitian berjudul kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam
mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana. Sebagaimana latar belakang yang telah dijabarkan maka dapat diperoleh
rumusan masalah: (1) Bagaimana kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik
dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana? (2) Apa faktor penghambat
pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik
dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana?
Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan melihat kondisi yang ada di lingkungan masyarakat dengan menggunakan data yang bersumber dari studi empiris
dan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan ialah proses kegiatan yang mengkaitkan bersamaan dengan metode pengumpulan
data, pustaka, membaca serta mencatat dan mengolah bahan penelitian
Disebabkan penulisan ini memiliki
fungsi untuk mendapatkan jawaban tentang pertanyaan, tanggapan dan pendapat sesuai dengan beberapa
literatur yang digunakan. Penulisan normatif deskriptif melalui pengkajian permasalahan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik
dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana serta
menganalisis melalui segi hukumnya dan mengukur beberapa tipe sebagaimana studi literatur, survei, kajian serta yang lainnya. Penulisan ini menggunakan
studi empiris dan studi kepustakaan yang memiliki visi guna
menemukan model pendekatan pembimbing kemasyarakatan dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana yang dialami oleh anak berkonflik dengan hukum.
Sehingga diharapkan penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak berkonflik dengan hukum dapat
diselesaikan dengan cepat. Penulisan ini dapat membawa
manfaat melalui rekomendasi atau masukan untuk menyusun
kebijakan mengenai penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak berkonflik dengan hukum.
Hasil dan Pembahasan
Pembimbing kemasyarakatan telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Zaman itu bernama pegawai negeri istimewa yang berarti pekerja sosial kewenangannya telah ditentukan pada Wetboek
van Strafrecht yang pada 1917 dilakukan
penerjemahan dan perubahan dengan judul KUHP yang diberlakukan mulai 1 Januari 1918.
Konsep pembimbing kemasyarakatan untuk selanjutnya dapat disingkat PK mulai marak dikemukakan
pada tahun 1968 sesuai perkembangan konsep pemasyarakatan yang diuraikan
oleh Saharjo. Penggunaan konsep pembimbing kemasyarakatan diatur secara normatif yuridis pada tataran Undang-undang ada dalam Undang Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyebutkan pembimbing kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Bapas melaksanakan bimbingan WBP. Selanjutnya pada
UU No 11/2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, menyatakan pembimbing kemasyarakatan sebagai pejabat fungsional penegak hukum yang secara khusus melakukan
bimbingan kemasyarakatan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana
Mempunyai kompetensi dan keterampilan khusus dalam melaksanakan
tugas dan fungsi bimbingan kemasyarakatan. Oleh karena itu, untuk
menduduki jabatan fungsional pembimbing kemasyarakatan harus memiliki kompetensi dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan;
Memiliki peran untuk meweujudkan
tujuan pemasyarakatan
Sebagai APH memiliki tugas dan fungsi untuk ikut
serta dalam setiap proses tahapan peradilan pidana anak. Kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti
hakim, jaksa maupun polisi.
Kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik
dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana
Sistem peradilan pidana anak ialah segala
sesuatu sub sistem yang tergabung dalam sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Hakim, polisi, jaksa, pembimbing pemasyarakatan, pengacara sebagai profesi yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan
dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan
anak sampai dengan pada saaat anak akan ditempatkan
dalam pilihan-pilihan penghukuman dengan prinsip keadilan restoratif.
Berdasarkan Pasal 65 UU
11/2012, pembimbing kemasyarakatan
memiliki kewenangan:
Berdasarkan penjabaran ketentuan tersebut maka kewenangan
pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik
dengan hukum memiliki proses yang panjang sebab sejak tahp
pra-ajudikasi, ajudikasi hingga pos-ajudikasi sehingga sangat dimungkinkan dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana yang dialami oleh anak, seperti:
Pada proses penyidikan dan pentuntutan PK memiliki kewenangan membuat litmas dan pendampingan pada anak berkonflik dengan hukum berdsarkan pasal 27 dan pasal 28 UU SPPA memerintahkan penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari PK dalam menangani anak berkonflik dengan hukum dan PK wajib membuat litmas
agar membantu proses penyidikan;
Pada proses persidangan di pengadilan PK mendampingi klien anak, menyampaikan hasil litmas kepada
hakim dan mendampingi sekaligus
memfasilitasi keluarga Klien Anak dalam proses persidangan, berdasarkan pasal 57 UU SPPA yakni setelah surat dakwaan
dibacakan, hakim memerintahkan
PK membacakan hasil litmas tentang anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. Setelah PK membacakan laporan hasil litmas
hakim wajib mempertimbangkannya
sebelum menjatuhkan putusan perkara. Dalam proses pra-ajudikasi dan ajudikasi APH wajib mengupayakan diversi setiap tahapannya sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU SPPA;
Pada proses pos-ajudikasi PK memiliki kewenangan mendampingi, membimbing, dan mengawasi anak berkonflik dengan hukum atau
klien anak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 65huruf d dan
e yakni melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai
tindakan dan melakukan pendampingan, pembimbingan; dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Faktor penghambat pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam
mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana
Dalam pelaksanaan kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik
dengan hukum dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana ditemukan
faktor penghambat berupa faktor kebudayaan,
faktor masyarakat, faktor fasilitas, faktor penegak hukum dan faktor perundang-undangan (substansi hukum)
Penyebab kebudayaan ialah dasar dalam berlakunya
hukum tertulis (perundang-undangan) wajib menggambarkan norma-norma yang menjadi
dasar hukum. Pada penegakan hukum, semakin tinggi penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat yang akan diatur, maka semakin
mudahlah dalam menegakannya
Budaya hukum di masyarakat Indonesia masih sangat melekat jika upaya melepaskan
anak berkonflik dengan hukum dari
proses hukum ialah diskriminasi hukum. Masyarakat akan melakukan penolakan terlebih jika ABH telah melakukan tindak pidana yang tergolong tabu di tengah masyarakat, seperti tindak pidana pelecehan seksual yang biasanya menyebabkan kerusakan fisik dan mental kepada korban
yang sulit untuk diobati sepanjang hidupnya
masyarakat memiliki daya pengaruh
yang tinggi kepada perwujudan penegakan hukum, karena penegakan
hukum bersumber dari masyarakat dan bertujuan dalam masyarakat itu sendiri. Elemen terpenting untuk menentukan penegak hukum ialah kesadaran
hukum didalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin
memungkinkan penegakan hukum yang baik
Paham retributif atau pembalasan yang berasal dari aliran klasik
hukum pidana masih sangat mendominasi masyarakat Indonesia. Seolah-olah
semua kasus hukum yang terjadi harus diselesaikan melalui jalur hukum
pidana. Masyarakat secara umum pun masih memiliki pemikiran bahwa apabila seorang
pelaku tindak pidana tidak dipidanakan
dirasa “kurang mantep”.
fasilitas yang menopang terdiri atas orang yang memiliki pendidikan dan terampil, organisasi yang baik, keuangan yang cukup dan peralatan yang memadai. Tanpa adanya fasilitas
yang kompeten maka sangat dimungkinkan penegakan hukum tidak dapat
berjalan dengan lancar serta penegak
hukum tidak mungkin menjalankan kewenangan sebagaimana mestinya
Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Bapas dibentuk semua kabupaten/kota namun demikian berdasarkan data dari Ditjen Pemasyarakatan ditemukan bahwa Bapas di Indonesia berjumlah 91
integritas, kompetensi dan mentalitas dari aparat penegak
hukum ialah salah satu kunci keberhasilan
penegakan hukum. Agar penegakan hukum terwujud sehingga keadilan, kebermanfataan dan kepastian dirasakan oleh masyarakat secara luas maka aparat
penegak hukum memiliki kewenangan yang signifikan dalam tercapainya tujuan hukum dan kelancaran proses penegakan hukum
Masih kurang efektifnya koordinasi antar lembaga yang menangani ABH, dalam mempercepat penyelesaian pidana ABH memerlukan keterlibatan berbagai lembaga selain Balai Pemasyarakatan ada juga pengadilan, kejaksaan, kepolisian. Menjadi perhatian ialah efektifitas koordinasi antar lembaga ini masih
kurang baik, pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan menjadi tidak efektif,
sehingga berpotensi gagalnya mempercepat penyelesaian perkara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
Pelaksanaan penegakan hukum di praktek acapkali terjadi pertentangan antara keadilan dengan kepastian hukum. Hal ini disebabkan konsepsi keadilan ialah suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum iaah prosedur
yang telah ditentukan secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dalam mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak faktor terakhir
ialah perundang-undangan yakni dengan mekanisme
diversi penyelesaian perkara dapat diselesaikan
dengan cepat namun demikian berdasarkan pasal 7 ayat (2) UU SPPA diperlukan syarat dan syarat tersebut tidak dipenuhi bilamana anak berkonflik dengan hukum terjerat
pasal 114 UU 35/2009 Tentang
Narkotika menyatakan ancaman pidana perantara jual beli narkotika paling lama 20 tahun, jadi tidak
dapat diterapkan kepada pelaku anak,
sehingga tidak dapat direkomendasikan diversi oleh PK. Seringkali anak berkonflik dengan hukum tidak
benar-benar memahami apa yang dilakukannya, karena hanya dimanfaatkan
oleh pelaku orang dewasa.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: (1) Kewenangan pembimbing kemasyarakatan dalam mempercepat penyelesaian perkara pidana anak berkonflik
dengan hukum sangat dimungkinkan sebab pembimbing kemasyarakatan hadir dimulai pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi hingga pos-ajudikasi dengan kewenangannya tersebut pembimbing kemasyarakatan dapat mempercepat proses pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila diversi tidak dilaksanakan;
membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk
di dalam LPAS dan LPKA; menentukan
program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya; melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan;
dan melakukan pendampingan,
pembimbingan, dan pengawasan
terhadap Anak yang memperoleh
asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. (2) Faktor penghambat kewenangan pembimbing kemasyarakatan selaku pendamping klien anak berkonflik dengan hukum dalam
mempercepat penyelesaian perkara tindak pidana ialah faktor
kebudayaan, bila mempercepat proses hukumABH maka dianggap diskriminasi
hukum; faktor masyarakat, masyarakat masih berparadigma retributif; faktor fasilitas, tidak adanya Bapas disetiap
Kabupaten atau kota; faktor penegak
hukum, kurang efektifnya koordinasi antar lembaga penegak
hukum; dan faktor perundang-undangan (substansi hukum) adanya ketentuan
syarat agar dapat dilaksanakannya diversi dalam UUSPPA yang otomatis tidak dapat dilaksanakan
bilamana ABH melanggar ketentuan Pasal 114 UU 35/2009 padahal
ABH seringkali hanya dimanfaatkan pelaku orang dewasa.
BIBLIOGRAFI
Anggraini, R. D., & Hartantien, S. K.
(2024). Perlindungan Konsumen
Atas Hak Informasi Dalam Melakukan Transaksi Online. Judiciary
(Jurnal Hukum Dan Keadilan),
104–112.
Bakhtiar, Y. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Tindak
Pidana Anak pada Tingkat Penyidikan.
Legitimasi: Jurnal
Hukum Pidana Dan Politik
Hukum, 8(1), 46–59.
Budiono, A. R., SH, M., Bellefroid, Z.,
Chand, H., Sidharta, B. A., & Mahmud, P. (2015).
Ilmu Hukum Dan Penelitian
Hukum*. Makalah Seminar Di Fak. Hukum
UNIBRAW, Malang, 6.
Darmadi, H. (2011). Metode penelitian pendidikan.
Bandung: alfabeta.
Driandhola, D. A. (2018). Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Proses
Diversi Terhadap Anak yang Melakukan
Tindak Pidana Pencurian. Unes
Journal of Swara Justisia,
2(3), 264–273.
Hibatullah, M. N., Rusmiati, E., & Takariawan, A. (2024). Akibat
Hukum Penerapan Restorative Justice Oleh Kejaksaan Pada Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika. Yurispruden: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 7(1),
131–150.
Kusuma, A. M. (2019). Tinjauan
hukum tentang hak ingkar notaris
sebagai saksi di persidangan dalam jabatan notaris. UNS (Sebelas Maret University).
Lally, M., & Valentine-French, S. (2019). Lifespan
development: A psychological perspective.
Nasional, P. P. P. H. (n.d.). Laporan
Akhir Tim Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Kelompok Kerja (Pokja) Implikasi Amandemen Konstitusi Terhadap Sistem Hukum Nasional
Dan Demokrasi Di Indonesia.
Pastorelli, C., Barbaranelli, C., Cermak,
I., Rozsa, S., & Caprara, G. V. (1997).
Measuring emotional instability, prosocial behavior
and aggression in pre-adolescents: A cross-national study. Personality and
Individual Differences, 23(4), 691–703.
Rifaldi, M., & Susanti, R. (2023). Pendampingan
Oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas)
Kelas Ii Purwokerto Terhadap Anak Yang Melakukan Kekerasan Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Putusan Nomor: 3/PID. SUS-ANAK/2021/PN. PBG). Wijayakusuma
Law Review, 5(1).
Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, S. (2007). Penelitian
hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Soekanto, S. (2011). Faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan
hukum.
Wiharma, C. (2019). Perspektif Penegakan Hukum Terhadap Barang-Barang Ilegal di Pasar Bebas. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 2(1), 759–773.
Copyright holder: Dhonny Fatwa Ammarul Akbar, Fajar Putra Prastina
Rumelawanto
(2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |