Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
10, Oktober 2024
DINAMIKA EKSPOR SARANG BURUNG WALET INDONESIA DALAM BAYANG-BAYANG
KEBIJAKAN TIONGKOK
Agung
Krisdiyanto
Universitas Paramadina, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Sarang burung walet (SBW)
merupakan produk ekspor pangan Indonesia terbesar pada kategori ekspor pangan
hewani. Indonesia juga merupakan produsen SBW terbesar di dunia, dan mayoritas
dari produksi SBW global diproduksi oleh Indonesia. Kedua hal tersebut
memberikan keuntungan ekonomi dari sisi perdagangan dan politik dari sisi
ketersediaan. Namun, kedua hal tersebut belum terealisasikan secara penuh
karena adanya upaya kontrol berupa hambatan non-tarif dari Tiongkok. Tujuan
dari penelitian ini dilakukan untuk mengungkap teknik-teknik penguasaan yang
dipakai Tiongkok untuk mengontrol perdagangan SBW Indonesia dimulai dari hilir
sampai ke hulu sehingga hambatan ekspor SBW dapat diselesaikan. Konsep governmentality Michel Foucault akan
digunakan untuk mengungkap teknik kekuasaan tersebut. Hasil temuan dari
penelitian ini menunjukkan adanya konsep technology
of power, rationalities of government, dan governmentalization of subject dalam institusi, mekanisme, dan
tata cara ekspor SBW sehingga Indonesia kehilangan posisi strategisnya sebagai
pemain terpenting dalam keseluruhan rantai pasok SBW global. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan kata ‘pintu’ untuk sebagai metafora bagaimana
Tiongkok mengontrol laju SBW Indonesia. Pintu pertama dibuat dengan menetapkan
adanya negara lain sebagai jalur ketiga. Lalu, Pintu kedua dibuat dengan
menyinergiskan kepentingan Tiongkok lewat peraturan ekspor-impornya ke
peraturan nasional Indonesia berupa sertifikasi segala aspek produksi SBW. Dari
temuan itu, penelitian ini juga memberikan rekomendasi kebijakan ditinjau dari
teknik kekuasaan tersebut dijalankan.
Kata Kunci: Sarang Burung Walet,
Ekspor-impor Indonesia-Tiongkok, hambatan non-tariff, governmentality Badan Karantina Pertanian
Perdagangan Sarang Burung Walet (SBW) Indonesia
mengalami pasang surut. Pasang surut tersebut tidak terbatas dalam volume
perdagangan, tetapi juga dalam regulasi. Beberapa regulasi dianggap tidak
menguntungkan Indonesia karena Tiongkok tidak menerapkan prinsip dagang adil
tanpa diskriminasi. Pada tahun 2010 Tiongkok menghentikan impor SBW dari
Indonesia karena merebaknya kasus flu burung dan tingginya kandungan nitrit di
dalamnya. Kondisi tersebut lazim dalam perdagangan karena faktor kontaminasi
dan kandungan zat berbahaya merupakan salah satu kewajaran untuk menolak suatu
produk masuk ke dalam negara atas dasar keamanan nasional
Indonesia sendiri merupakan produsen SBW terbesar di dunia, dan telah menjadi eksportir terbesar ke Tiongkok. 90% dari peredaran SBW di dunia berasal dari Indonesia dan sisanya berasal dari negara lain. Sedangkan 80% dari peredaran SBW diserap Tiongkok (Halkam et al., 2024). Di Tiongkok sendiri konsumsi SBW masih menjadi tren karena khasiat dalam kandungannya; selaras dengan gaya pengobatan tradisional Tiongkok. SBW juga dipakai dalam pengembangan produk herbal dan kosmetik Tiongkok (Verot, 2020). Selain itu, praktik konsumsi atau mencampur SBW pada masakan telah menjadi budaya kuliner di Tiongkok sendiri. Faktor keempat adalah konsumsi SBW selain manfaatnya juga menunjukkan status sosial di masyarakat Tiongkok (Kuo, 2022). Faktor-faktor tersebut terbilang meyakinkan bahwa Tiongkok harusnya tergantung pada ekspor Indonesia, dan menganggap Indonesia sebagai mitra strategis untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Namun realisasi ekspor SBW ke Tiongkok masih jauh dari harapan. Tabel di bawah ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kapasitas dan realisasi ekspor SBW ke Tiongkok.
Gambar 1. Perbandingan Kapasitas Dan Realisasi SBW
Indonesia ke China
Sumber: Gambar
diadaptasi dari pemaparan Badan Karantina Indonesia pada webinar yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani tahun 2024.
Meskipun terdapat peningkatan jumlah realisasi per tahun, angka tersebut masih jauh untuk memaksimalkan pendapatan dari komoditas SBW, angkanya masih terpaut berbeda 119,341,36 kilogram. Yang menarik dari grafik di atas menunjukkan adanya surplus realisasi sebesar 50,935,94 kilogram pada tahun 2020 di mana Covid-19 berada pada puncaknya. Hal tersebut wajar melihat adanya korelasi antara SBW yang berkontribusi pada penguatan imun tubuh (Chua et al., 2021). Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa peraturan non-tariff barrier yang berlaku pada konteks tertentu dapat direlaksasi.
Selain konteks Covid-19, dari volume perdagangan tahun 2020 juga potensi keuntungan yang bisa didapatkan dari realisasi ekspor sebesar Rp. 13,722 triliun (US$ 980 juta). Jumlah tersebut mengalami kenaikan signifikan bernilai Rp. 4,8 triliun dibanding tahun 2019 dengan nilai Rp. 8.865 triliun. Namun kenaikan Rp. 4,8 triliun dari kenaikan realisasi ekspor tersebut sebenarnya dapat dimaksimalkan jika barang tidak transit di Hongkong dan negara-negara lain. Jika SBW diekspor langsung ke Tiongkok, maka harga rata-rata per kilogram mencapai Rp. 39.000.000, tetapi karena harus transit di Hongkong membuat harga tersebut terjun bebas menyentuh angka Rp. 3.900.000 per kilogram untuk SBW raw dan 15.000.000-20.000.000 untuk kualitas SBW terbaik (Nugraha, 2024). Dengan kata lain, jika Indonesia pada tahun 2020 mengekspor langsung ke Tiongkok, maka nilai seharusnya dapat mencapai Rp. 45 triliun (US$ 3,2 miliar). Berarti ada potensi kerugian sekitar Rp. 31 triliun akibat kebijakan tersebut. Bahkan nilai Rp. 31 triliun tersebut disinyalir mengalir ke negara transit. Tentu kerugian tersebut berdampak pada perkembangan industri dan penyerapan tenaga kerja SBW di Indonesia (KlikFakta.com, 2024).
Kerugian tersebut disebabkan oleh pengaturan
perdagangan yang diterapkan oleh Tiongkok ke Indonesia mengenai ekspor SBW.
Pengaturannya bermuara dari kerja sama Protocol
of Inspection, Quarantine and Hygiene Requirements for the Importation of Bird
Nest Products from Indonesia to China pada tahun 2012 antara Kementerian
Pertanian Republik Indonesia dengan Administrasi Umum Pengawasan Mutu,
Inspeksi, dan Karantina Republik Rakyat Tiongkok. Kerja sama tersebut
menempatkan Badan Karantina Pertanian (Barantan) menjadi tempat uji kelayakan
ekspor SBW (Kementerian Perdagangan, 2012).
Dua hal yang dapat dicermati dari muara ini, kerja sama tersebut lahir pada
saat flu burung (H5N1) merebak sehingga perlu adanya kontrol khusus di
Indonesia sebelum masuk ke Tiongkok. Kedua berubahnya orientasi Badan Karantina
Indonesia (Barantin) yang terkesan menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan
perdagangan Tiongkok jika kerja sama tersebut tetap diberlakukan karena kerja
sama tersebut seolah-olah menjadikan Barantin institusi yang
terintegrasi dengan General
Administration of China Costum (GACC).
Kerja sama tersebut disinyalir berkembang lebih jauh sampai pada pengaturan regulasi nasional yang sebenarnya adalah bagian dari kedaulatan Indonesia. Kerja sama tersebut mengintegrasikan proses registrasi perusahaan SBW Indonesia beserta proses dokumentasinya, pembangunan kandang SBW, sampai pada perijinan penambahan kuota ekspor. Tidak terbatas pada pembangunan kandang, tempat pemrosesan SBW juga harus menunggu persetujuan Tiongkok. Terintegrasinya standar Tiongkok sampai pada sektor hulu produksi Indonesia didorong oleh keinginan Tiongkok mengenai sisi ketelusuran produk. Alhasil aspek ketelusuran menjadi jalan mulus untuk mengintegrasikan institusi pemerintahan Indonesia yaitu Badan Karantina menjadi perpanjangan tangan GACC. Tentunya hal ini merugikan kemandirian dan kedaulatan pengusaha SBW Indonesia. Jika Tiongkok dapat berperan dalam meloloskan proses registrasi perusahaan, tidak menutup kemungkinan hal tersebut berpengaruh pada sisi competitiveness di antara perusahaan-perusahaan Indonesia yang berimbas pada ekosistem persaingan dalam negeri (Saputra et al., 2022).
Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan asosiasi-asosiasi pengusaha komoditas tersebut untuk melobi Tiongkok agar mempermudah peraturan ekspornya. Menteri Perdagangan menyatakan bahwa kementerian sudah menyiapkan kemudahan terhadap penerbitan perizinan berusaha di Kementerian Perdagangan dengan pemrosesan melalui sistem yang semakin cepat, mudah, dan tetap akuntabel. Secara subtansi, pembahasan perubahan Peraturan Menteri Perdagangan tentang kebijakan dan pengaturan ekspor, khususnya terkait Sarang Burung Walet. Modifikasi tersebut akan mencakup penyederhanaan standar yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin Eksportir Terbatas atau ET SBW, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (Catriana, 2023).
Konsep governmentality Foucault menyediakan kerangka analisis yang berguna untuk menjelaskan bagaimana hambatan terbentuk lewat peraturan, rasionalitas, dan teknologi. Konsep tersebut melihat peraturan sebagai praktik-praktik penguasaan, serta bagaimana praktik tersebut diaplikasikan dan diterapkan dalam konteks tertentu. Sedangkan aspek rasionalitas pada konsep ini melihat bagaimana suatu himpunan dari landasan praktik kenegaraan negara, seperti peraturan, perundang-undangan, dan proses-proses birokrasi. Lalu, aspek teknologi dalam konsep ini merupakan himpunan dari satuan mekanisme penguasaan yang dipakai untuk melegitimasi rasionalitas seperti kebijakan, teknik perencanaan, proses analisis, dan pengetahuan. Ketiga aspek ini digunakan untuk melacak bagaimana kekuasaan beroperasi membentuk apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan (Boer, 2013).
Namun penjelasan di atas masih terlalu abstrak untuk digunakan sebagai kerangka analisis, untuk itu ada empat aspek yang dapat dijadikan konsep untuk membedah bagaimana kekuasaan beroperasi untuk membentuk dan sekaligus membatasi obyek bentukannya. Foucault memberikan empat konsep yaitu Biopower, technologies of power, rationalities of government, dan governmentalization of subject. Biopower merupakan teknik yang digunakan kekuasaan untuk meregulasi populasi dan fungsi tubuh dari masyarakat. Technologies of power merupakan implementasi dari metode yang digunakan untuk menyediakan jalan. Hal tersebut dapat berbentuk institusi, praktik, atau diskursus. Rationalities of Government adalah dasar dari hukum, regulasi, ataupun dalil untuk menjustifikasi kekuasaan. Lalu governmentalities of the subject berguna untuk menjelaskan bagaimana ketiga modus tersebut dapat diterima dan dijalankan secara mandiri oleh subyek (Boer, 2013).
Meskipun konsep governmentality yang dijelaskan di atas umumnya diterapkan untuk menganalisis bagaimana negara atau kekuasaaan mengontrol masyarakat (productive power), namun konsep tersebut dapat diterapkan dalam analisis ini. Beberapa konsep seperti perdagangan bebas, non-tariff measures, diskursus keamanan pangan, dan diskursus keberlanjutan pangan tidak lepas dari kepentingan dari kekuasaan untuk mengatur. Beberapa penelitian yang menggunakan governmentality untuk menganalisis hambatan non-tarif dan diskriminasi dalam perdagangan bebas telah banyak dilakukan. Kebanyakan konsep tersebut diarahkan untuk mengritik bagaimana empat konsep tersebut dipakai semata-mata untuk mendiskriminasi mitra dagang, menerapkan kuota, atau menggunakan dalil tertentu untuk mengontrol pasar dengan mengontrol barang dan kualitas barang (Gilson, 2023; Harrington, 2023; Trew, 2021).
Pada penelitian ini keempat dari konsep tersebut akan dipakai untuk menjelaskan adanya pengontrolan oleh pihak Tiongkok pada SBW Indonesia lewat hambatan non-tariff yang sudah dijelaskan di bagian latar belakang. Konsep Technologies of power digunakan untuk menjelaskan bagaimana Tiongkok menggunakan hambatan non-tarif untuk menghambat laju ekspor. Hambatan seperti kuota, sertifikasi, kuota, Sanitary and phytosanitary, dan sistem ketelusuran. Lalu, rationalities of government digunakan untuk menjelaskan adanya justifikasi penerapan hambatan non-tariff berupa keamanan nasional, keamanan dan kesehatan pangan, serta diskursus ketelusuran pangan. Terakhir, governmentalities of the subject dipakai untuk menjelaskan bagaimana keterkaitan tiga hal sebelumnya mengatur dan menjadikan Badan Karantina Indonesia seolah-olah menjadi perpanjangan tangan Tiongkok. Perlu ditekankan di awal, diskursus keamanan dan ketelusuran pangan mutlak penting untuk menjamin kualitas pangan untuk dikonsumsi manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah bukan untuk menghapus atau berusaha untuk meniadakan kedua hal tersebut, tetapi bagaimana dua diskursus tersebut dimainkan untuk mengontrol volume ekspor dan harga.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif berdasarkan studi kasus (Yin, 2009). Fenomena ekspor sarang burung walet Indonesia dijadikan contoh kasus karena keunikan dari fenomena tersebut, yaitu Indonesia merupakan produsen terbesar di skala global namun terlihat kurang memiliki daya tawar dibanding Tiongkok sebagai negara pengimpor. Kasus ini sangat representatif untuk melacak bagaimana kekuasaan dan tekniknya mengatur laju ekspor sarang burung walet dari hilir sampai ke hulu, lewat pelacakan pemetaan jalur perdagangan lewat negara mitra dan hambatan non-tarif yang diterapkan. Data yang digunakan pada penelitian ini kebanyakan diambil dari data sekunder, yaitu laporan, peraturan dan regulasi, presentasi lembaga terkait, jurnal ilmiah, dan berita dari media daring. Hasil dari pembacaan tersebut akan dikodifikasi secara tematik seturut dengan konsep-konsep yang dipakai dalam penelitian ini (Elliott, 2018).
Sebelum tahun 2010 yang ditandai dengan maraknya
kasus flu burung, perdagangan sarang walet ke negara-negara seperti Tiongkok
dan Hongkong tidak memiliki regulasi yang ketat. Namun, pada tahun 2010,
Tiongkok menerapkan kebijakan baru yang ketat terhadap pengiriman SBW dari
Indonesia sehingga mengharuskan ekspor sarang walet Indonesia dilakukan melalui
negara ketiga, hal ini mengakibatkan keuntungan perdagangan banyak diambil oleh
negara perantara tersebut. Menanggapi kendala ini, pemerintah Indonesia mengambil
langkah-langkah untuk mengatasi hambatan dan kerugian yang dialami dalam
perdagangan sarang walet. Sebenarnya ketentuan restriksi ekspor ini dipicu oleh
peraturan Tiongkok tentang registrasi oleh Certification
and Accreditation Administration of the People's Republic of China (CNCA)
untuk produk makanan dan minuman impor. Permasalahan semakin kompleks dengan
munculnya isu nitrit pada sarang walet ekspor, yang berujung pada larangan
impor sarang walet dari Indonesia dan Malaysia oleh Tiongkok. Hal ini menyebabkan
harga sarang walet anjlok (Oktiari, 2022).
Larangan impor tahun 2010 tersebut menjadi titik
awal bagaimana Indonesia dan Tiongkok saling berinteraksi untuk menerapkan
peraturan perdagangan SBW. Tiongkok dengan daya serap SBW yang tinggi membuat
posisinya lebih tinggi dari pada Indonesia. Seharusnya jika mengacu pada logika
permintaan dan ketersediaan, Indonesia mendapatkan posisi tawar lebih tinggi
karena 90% SBW Indonesia diserap Tiongkok, dengan kata lain Tiongkok yang
memerlukan SBW Indonesia. Konsep Technologies
of power dapat menjelaskan ketimpangan tersebut karena data kuantitatif
perdagangan nyatanya tidak mencerminkan relasi kekuatan antar keduanya seturut
dengan logika perdagangan.
Setelah lima tahun berhentinya ekspor SBW ke
Tiongkok, pada tahun 2015 Tiongkok membuka keran ekspor Indonesia tanpa harus
melewati negara ketiga. Tiongkok juga bersedia untuk membeli SBW yang sesuai
dengan standar dengan harga tinggi. Di fase 5 tahun menunggu ini adalah
momen-momen krusial bagaimana Tiongkok menjalankan pengaruhnya membentuk
mekanisme perdagangan SBW. Tiongkok menerapkan standar Sanitary and phytosanitary (SPS) untuk mencegah SBW yang di bawah
standar kesehatan dan keamanan pangan. Penerapan standar tersebut sebenarnya
lazim digunakan dalam perdagangan internasional, juga untuk melindungi
kepentingan negara Tiongkok, yaitu kesehatan masyarakat sebagaimana yang
diamanatkan General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) (Esty, 1994). Namun kekuasaan tidak selalu bersifat
represif, tetapi juga produktif sembari menerapkan batasan. Standar SPS
tersebut positif karena dibangun guna melindungi populasi, sedangkan sisi
produktifnya adalah standar tersebut menyeret Indonesia dalam kungkungan logika
perdagangan yang dibuat Tiongkok. Logikanya beroperasi layaknya “Indonesia
dapat kembali mengekspor SBW, bahkan dengan harga tinggi jika dapat memenuhi
standar Tiongkok”.
Tanpa ditilik lebih mendalam, tentunya momen
keputusan Tiongkok tersebut menjadi kabar gembira untuk pengusaha SBW, namun
sebenarnya upaya tersebut dapat ditelaah sebagai langkah untuk menegaskan
kembali skema perdagangan jalur ketiga yang dibuat oleh Tiongkok karena untuk
SBW yang tidak memenuhi standar Tiongkok akan tetap dikirim ke Hongkong atau
negara ketiga lainnya. Di sini Tiongkok berhasil membentuk ‘pintu pertama’.
Pintu pertama yang dimaksud adalah Tiongkok membuat sebuah alur perdagangan
untuk mendisiplinkan aliran ekspor SBW dengan menentukan nilai kualitas dan
harga dari SBW yang diekspor Indonesia. Logika penerapan tersebut sangat
dimungkinkan terjadi apabila Tiongkok memahami struktur produsen yang ada di
Indonesia, lalu menerapkan logika tersebut.
Teknik technologies
of power juga dapat ditemukan pada mekanisme ketelusuran. Ketelusuran
pangan merupakan hal yang positif untuk memastikan kepastian mengenai profil
SBW di sepanjang laju rantai pasok SBW. Guna ketelusuran pada keamanan pangan
untuk memastikan keamanan pangan dengan mempermudah identifikasi dan
penyelesaian masalah terkait kontaminasi dan keamanan. Misalnya, jika penarikan
makanan diperlukan, kemampuan penelusuran memungkinkan produsen dengan cepat
melacak semua produk yang terkontaminasi untuk meminimalkan jumlah konsumen
yang terpapar. Ketelusuran juga memastikan adanya transparansi informasi
mengenai SBW yang akan dikonsumsi. Hal ini berdampak pada nama baik pengekspor
dan kepercayaan konsumen atas barang tersebut. Aspek ketelusuran pangan
biasanya selaras dengan aspek SPS karena ketelusuran pangan dapat membantu
bagaimana kualitas dan keamanan pangan dipastikan.
Namun sistem ketelusuran pangan yang terjadi
pada pola perdagangan SBW antara Tiongkok dan Indonesia sangat berbeda dengan
praktik-praktik ketelusuran yang lazim dilakukan di perdagangan bebas (Yeo et
al., 2021). Dari negara-negara pengimpor SBW, penerapan sistem ketelusuran
umumnya hanya berupa profil dan sertifikasi dari SBW yang diimpor seperti
identitas produsen, metode produksi dan pembersihan, serta pengemasan. Hal
tersebut merupakan standar yang harus dilakukan untuk menjamin kualitas dan
ketelusuran Jika dibandingkan, terdapat kontrol berlebihan yang diberikan
Tiongkok. Aspek berlebihannya terletak pada surat penetapan registrasi rumah
walet, surat Keputusan tempat pemrosesan.
Gambar 2. Alur teknis penerapan
ketelusuran dan SPS Protokol RI-Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
Sumber: Gambar diadaptasi dari pemaparan Badan Karantina Nasional pada
seminar yang mengenai ketelusuran SBW di Serpong, tahun 2024.
Jika ditelaah lebih jauh, Tiongkok menerapkan
standar ketelusuran berbeda dengan negara-negara importir lainnya. Yang menarik
adalah bagaimana Tiongkok dapat mengatur dan memanjangkan kontrolnya melalui
Barantin. Meskipun pada dasarnya Barantin hanya menjalankan tugas sesuai
perundangan-undangan yang mengaturnya, namun secara politik peraturan tersebut
membuat Barantin seolah-olah menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan
perdagangan Tiongkok mengenai ekspor SBW. Hal ini didasarkan pada bagaimana
berbanding lurusnya sistem ketelusuran dan keamanan pangan GACC dan Barantin.
Mekanisme yang diinginkan GACC lewat ketelusuran tidak sepenuhnya mengganti
mekanisme yang ada pada Barantin, dalam pengertian tidak sepenuhnya mengganti
fungsi dari Barantin sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan
keamanan dan kesehatan pangan hewani yang berasal dari Indonesia. Namun teknik
berbanding lurus yang dipakai GACC adalah menambal kekurangan yang dianggap
perlu diubah agar aspek ketelusuran dan SPS menjadi lebih baik. Tentunya nada
positif tersebut tidak bebas dari nilai karena Tiongkok dapat mengontrol laju
ekspor SBW semenjak pada proses produksi dengan memberlakukan sertifikasi dari
hampir semua sektor produksi, yaitu rumah walet, tempat pemrosesan, sampai dengan
kontrol pengusaha SBW Indonesia. Dengan begitu, Tiongkok dapat dengan leluasa
memberikan sertifikasi sembari menimbang ‘pintu pertama’ yang telah dibuatnya
untuk mengontrol harga dan volume ekspor antara ekspor langsung ke Tiongkok
atau melewati negara ketiga. Kontrol tersebut tercermin dari ungkapan Ketua
Umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia, Boedi Mranata mengatakan:
Bahwa Dari sekitar
1.400 ton itu (dari 1.500 ton produksi Indonesia), sebenarnya ujung-ujungnya
semua dikonsumsi oleh China. Namun, hanya 5% diantaranya yang tercatat di
Indonesia sebagai produk ekspor langsung ke China. Sisanya dijual secara mentah atau diselundupkan ke
Vietnam dan Hong Kong (Andri, 2019)
Jika merujuk pada sejarah terjadinya relasi
antara GACC dan Barantan pada tahun 2012 (sebutan sebelum diubah menjadi
Barantin), konteks pada saat itu ekspor SBW Indonesia mengalami keterpurukan
akibat diberlakukannya larangan ekspor langsung ke Tiongkok karena kasus flu
burung, namun Tiongkok tidak menutup pintu masuk melalui Hongkong sebagai
tempat tindakan karantina untuk menjamin keamanan SBWasal Indonesia. Kebijakan
tersebut diterapkan Tiongkok karena Indonesia masuk daftar negara yang belum
bebas dengan kasus flu burung. Pada saat yang sama, Tiongkok tidak
memberlakukan hal demikian pada eksportir lainnya. Pada tahun 2011, sekitar
70-80% dari total produksi sarang burung walet dunia dipasok oleh Indonesia.
Karena kebijakan negara transit tersebut. Harga sarang burung Walet yang dijual
ke Malaysia hanya berkisar Rp. 5 juta per kg, sedangkan harga sarang burung
walet di China mencapai Rp.37 juta per kg (Direktorat Jenderal Pengembangan
Ekspor Nasional, 2012). Setelah negosiasi yang panjang dengan Tiongkok,
Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk membahas masalah ini dengan membentuk
Mutual Recognition Agreement (MRA) yang isinya adalah pertukaran komoditas SBW
dengan bawang putih Tiongkok. Hasil dari MRA tersebut melahirkan Permendag No.
51 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Sarang Burung Walet ke RRT (Pazli & Elvi,
2014).
Namun, setelah wabah flu burung lenyap dari
Indonesia peraturan tersebut tidak turut hilang, tetapi terkristalisasi lewat
Barantin. Pemboikotan SBW Indonesia oleh Tiongkok didasarkan pada dua argumen
pada waktu yang bersamaan, yaitu kadar nitrat yang tinggi dan wabah flu burung.
Dua diskursus tentang keamanan pangan tetapi berbeda penyebab menyebabkan
‘residu’ boikot tahun 2011 masih tersisa, namun tetap dijalankan menimbang
faktor defisit perdagangan jika tidak segera mengekspor SBW. Posisi Barantin juga
terjepit oleh pemboikotan pada tahun 2011. Barantin pada saat itu merupakan
satu-satu nya lembaga yang berwenang perihal kontrol terhadap ekspor impor
barang perdagangan yang berisiko menjadi media pembawa hal yang dihindari dalam
mekanisme SPS (Panggabean et al., 2016). Sedangkan pasca 2011 dengan adanya
peraturan turunan dari WTO mengenai SPS, serta berbagai macam peraturan dalam
negeri mengenai keamanan dan kualitas barang ekspor impor, menjadikan Barantin
sebagai ‘pintu kedua’ dalam laju ekspor impor SBW. Secara tidak langsung
Barantin mempunyai tanggung jawab untuk bertindak adil tanpa diskriminasi
karena adanya mandat-mandat tersebut, termasuk ke komisi SPS di WTO (Cahyono,
2019). Sehingga hal tersebut membuat Barantin seolah-olah menjadi competent authority yang ditunjuk
Tiongkok untuk menjalankan regulasi kebijakan perdagangan SBW.
Argumen lain juga dapat dilancarkan melihat
volume ekspor SBW Indonesia pada tahun 2019-2022 saat Covid-19 merebak di
Tiongkok, begitu juga dengan Malaysia dengan lonjakan permintaan sebesar 50% di
tahun yang sama (Koe, 2020). Jika dilihat dari angka pada Gambar 1 penelitian
ini, jumlah volume di tiga tahun tersebut mengalami peningkatan yang
signifikan, padahal Tiongkok pada saat Covid-19 cukup gencar melarang kegiatan
impor bahan pangan dari negara lain, khususnya kategori makanan hasil olahan
(Khaliq, 2020; Raghu, 2020; Song et al., 2024). Tiongkok melarang masuknya
produk-produk tersebut karena dugaan adanya kontaminasi virus Covid-19 atau
dari daerah yang terjangkit. Untuk itu, Tiongkok memberlakukan tes asam nukleat
pada barang yang akan masuk ke Tiongkok. Namun tidak demikian untuk komoditas
SBW. Tentunya ada kegamangan mengenai penerapan SPS dan standar mutu tambahan
ketika kondisi tidak lagi normal. Kenaikan volume ekspor tersebut tidak lepas
dari faktor kepercayaan masyarakat Tiongkok tentang SBW yang dianggap sebagai
bahan makanan penguat imun tubuh (Ningrum et al., 2023) sehingga sangat besar
kemungkinan Tiongkok tidak menerapkan larangan impor layaknya tahun 2011 atau
pemeriksaan asam nukleat pada barang impor lainnya.
Andri, Y.
(2019). Ekspor sarang walet ke China sulit ditingkatkan, apa sebabnya? Ekonomi
Bisnis. https://ekonomi.bisnis.com/read/20190715/12/1124265/ekspor-sarang-walet-ke-china-sulit-ditingkatkan-apa-sebabnya
Boer, H.
(2013). Governing ecosystem carbon. Global Environmental Politics, 13(4),
123–143.
Cahyono.
(2019). Implementasi aturan hukum terkait Sanitary and Phytosanitary di
Badan Karantina Pertanian [Tesis Magister, Universitas Medan Area]. https://repositori.uma.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13638/2/171803022%20-%20Cahyono%20-%20Fulltext.pdf
Catriana, E.
(2023). Dongkrak ekspor sarang burung walet, pemerintah akan permudah
regulasi. Kemendag.go.id. https://www.kemendag.go.id/berita/pojok-media/dongkrak-ekspor-sarang-burung-walet-pemerintah-akan-permudah-regulasi
Chen, C., Yang, S., &
Lin, L. (2015). Comparative study of domestic and foreign quality standards
for edible bird’s nest. Journal of Food Safety and Quality, 6(7).
Chua, K. H.,
Mohamed, I. N., Mohd Yunus, M. H., Shafinaz Md Nor, N., Kamil, K., Ugusman,
A., & Kumar, J. (2021). The anti-viral and anti-inflammatory properties of
edible bird’s nest in influenza and coronavirus infections: From pre-clinical
to potential clinical application. Frontiers in Pharmacology, 12,
633292.
Direktorat
Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional. (2012). Edible products of animal
origin. https://ditjenpen.kemendag.go.id/storage/publikasi/941-9171390369521.pdf
Elliott, V.
(2018). Thinking about the coding process in qualitative data analysis. The
Qualitative Report, 23(11).
Esty, D. C.
(1994). Greening the GATT: Trade, environment, and the future. Peterson
Institute.
Gilson, J.
(2023). Sustainable development and the environment in EU and Japanese free
trade agreements: Embedding anthropocentric narratives. Environmental
Politics, 1–22.
Halkam, H.,
Demmallino, E. B., Ali, M. S. S., & Suhab, S. (2024). Edible bird’s nest
as a trade commodity between Indonesia and China in 2017-2021. Proceeding
of the International Conference on Multidisciplinary Research for Sustainable
Innovation, 1(1), 576–584.
Harrington,
J. (2023). Between nation and empire: How the state matters in global health. Legal
Studies, 43(3), 461–479.
Kementerian
Perdagangan. (2012). Ketentuan ekspor sarang burung walet - Republik Rakyat
China - ketentuan. https://jdih.kemendag.go.id/peraturan/stream/76/1
Khaliq, R. U.
(2020). China bars seafood imports from India over COVID-19. Anadolu
Agency. https://www.aa.com.tr/en/asia-pacific/china-bars-seafood-imports-from-india-over-covid-19/2042485
KlikFakta.com.
(2024). Pos Gibran dorong hilirisasi sarang walet diwujudkan. KlikFakta.com.
Koe, T.
(2020). Bird’s nest immunity boom? Malaysian industry cooperative sees rebound
in Chinese demand. NutraIngredients-Asia. https://www.nutraingredients-asia.com/Article/2020/09/02/Bird-s-nest-immunity-boom-Malaysian-industry-cooperative-sees-rebound-in-Chinese-demand#
Kuo, Y. R. S.
(2022). Salivating sales: Ethnic Chinese Malaysians and the bird’s nest
industry. TaiwanInsight. https://taiwaninsight.org/2022/03/10/salivating-sales-ethnic-chinese-malaysians-and-the-edible-birds-nest-industry/
Ningrum, S.
G., Sasmita, R., & Kharisma, V. D. (2023). Edible bird’s nest as potential
food with anti-viral and anti-inflammatory properties against COVID-19: An in
silico study. Acta Veterinaria Indonesiana, 11(1), 43–50.
Nugraha, B.
(2024). Pos Gibran dorong hilirisasi sarang walet diwujudkan. Suara
Merdeka.
Oktiari, R.
(2022). Dampak protokol persyaratan higienitas, karantina dan pemeriksaan
Indonesia-Tiongkok terhadap ekspor sarang burung walet Indonesia tahun
2018-2020. JOM FISIP, 9(11).
Panggabean,
F. L., Fardiaz, D., & Purnomo, E. H. (2016). Regulasi pengawasan impor
pangan segar di Indonesia dan kesenjangannya dengan kriteria pengawasan impor
pangan ASEAN. Jurnal Mutu Pangan: Indonesian Journal of Food Quality, 3(2),
145–152.
Pazli, P.,
& Elvi, E. (2014). Re-orientasi kebijakan ekspor sarang burung walet
Indonesia ke Cina tahun 2012-2014 [Doctoral dissertation, Riau University].
Raghu, A.
(2020). Beijing restricts frozen food import from high-risk COVID places. Bloomberg.
https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-09-28/beijing-restricts-frozen-food-import-from-high-risk-covid-places
Saputra, D.,
Asihatka, P. F., & Sutanto, E. P. (2022). Analysis of swallow nest export
strategies from Indonesia to China with export restriction regulations. Proceedings
of the International Conference on Industrial Engineering and Operations
Management, 2658–2665.
Song, A. Y.,
Fabinyi, M., & Barclay, K. (2024). China and seafood trade after
coronavirus: The role of state actors. Marine Policy, 160, 105992. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2023.105992
Trew, S. J.
(2021). International regulatory cooperation and the making of “good”
regulators: A case study of the Canada–U.S. Regulatory Cooperation Council
[Master’s thesis, Carleton University].
Verot, O.
(2020). What does bird’s nest mean in China? Marketing to China. https://marketingtochina.com/why-is-china-the-most-attractive-country-to-sell-birds-nest/
Yeo, B.-H.,
Tang, T.-K., Wong, S.-F., Tan, C.-P., Wang, Y., Cheong, L.-Z., & Lai,
O.-M. (2021). Potential residual contaminants in edible bird’s nest. Frontiers
in Pharmacology, 12, 631136.
Yin, R. K.
(2009). Case study research: Design and methods (5th ed.). Sage.
Copyright holder: Agung Krisdiyanto (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |