Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

DINAMIKA EKSPOR SARANG BURUNG WALET INDONESIA DALAM BAYANG-BAYANG KEBIJAKAN TIONGKOK

 

Agung Krisdiyanto

Universitas Paramadina, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Sarang burung walet (SBW) merupakan produk ekspor pangan Indonesia terbesar pada kategori ekspor pangan hewani. Indonesia juga merupakan produsen SBW terbesar di dunia, dan mayoritas dari produksi SBW global diproduksi oleh Indonesia. Kedua hal tersebut memberikan keuntungan ekonomi dari sisi perdagangan dan politik dari sisi ketersediaan. Namun, kedua hal tersebut belum terealisasikan secara penuh karena adanya upaya kontrol berupa hambatan non-tarif dari Tiongkok. Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk mengungkap teknik-teknik penguasaan yang dipakai Tiongkok untuk mengontrol perdagangan SBW Indonesia dimulai dari hilir sampai ke hulu sehingga hambatan ekspor SBW dapat diselesaikan. Konsep governmentality Michel Foucault akan digunakan untuk mengungkap teknik kekuasaan tersebut. Hasil temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya konsep technology of power, rationalities of government, dan governmentalization of subject dalam institusi, mekanisme, dan tata cara ekspor SBW sehingga Indonesia kehilangan posisi strategisnya sebagai pemain terpenting dalam keseluruhan rantai pasok SBW global. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kata ‘pintu’ untuk sebagai metafora bagaimana Tiongkok mengontrol laju SBW Indonesia. Pintu pertama dibuat dengan menetapkan adanya negara lain sebagai jalur ketiga. Lalu, Pintu kedua dibuat dengan menyinergiskan kepentingan Tiongkok lewat peraturan ekspor-impornya ke peraturan nasional Indonesia berupa sertifikasi segala aspek produksi SBW. Dari temuan itu, penelitian ini juga memberikan rekomendasi kebijakan ditinjau dari teknik kekuasaan tersebut dijalankan.

Kata Kunci: Sarang Burung Walet, Ekspor-impor Indonesia-Tiongkok, hambatan non-tariff, governmentality Badan Karantina Pertanian

 

Abstract

Swallow's nest (SBW) is Indonesia's largest food export product in the animal food export category. Indonesia is also the largest SBW producer in the world, and the majority of global SBW production is produced by Indonesia. Both of these provide economic benefits from the trade side and political benefits from the availability side. However, these two things have not been fully realized due to control efforts in the form of non-tariff barriers from China. The aim of this research was to reveal the control techniques used by China to control Indonesia's SBW trade, starting from downstream to upstream so that obstacles to SBW exports could be resolved. Michel Foucault's concept of governmentality will be used to reveal these power techniques. The findings from this research show that there are concepts of technology of power, rationalities of government, and governmentalization of subject in the institutions, mechanisms, and procedures for SBW exports so that Indonesia loses its strategic position as the most important player in the entire global SBW supply chain. In this research, researchers use the word 'door' as a metaphor for how China controls Indonesia's SBW rate. The first door is created by determining the existence of another country as the third path. Then, the second door was created by synergizing China's interests through its export-import regulations with Indonesian national regulations in the form of certification of all aspects of SBW production. From these findings, this research also provides policy recommendations in terms of the techniques that power is exercised.

Keywords: Swallow's Nest, Indonesia-China Export-Import, non-tariff barriers, governmentality of the Agricultural Quarantine Agency

 

Pendahuluan

Perdagangan Sarang Burung Walet (SBW) Indonesia mengalami pasang surut. Pasang surut tersebut tidak terbatas dalam volume perdagangan, tetapi juga dalam regulasi. Beberapa regulasi dianggap tidak menguntungkan Indonesia karena Tiongkok tidak menerapkan prinsip dagang adil tanpa diskriminasi. Pada tahun 2010 Tiongkok menghentikan impor SBW dari Indonesia karena merebaknya kasus flu burung dan tingginya kandungan nitrit di dalamnya. Kondisi tersebut lazim dalam perdagangan karena faktor kontaminasi dan kandungan zat berbahaya merupakan salah satu kewajaran untuk menolak suatu produk masuk ke dalam negara atas dasar keamanan nasional (Chen et al., 2015). Pasca 2015 setelah adanya negosiasi dengan pihak Tiongkok, Indonesia dapat memulai perdagangannya kembali, namun dengan rangkaian regulasi baru, yaitu pengetatan pada sisi kualitas yang berpusat pada tingkat cemaran SBW. Hal ini membuat Indonesia harus mengekspor SBW melewati Hongkong dengan harga jauh di bawah rata-rata dibanding ekspor langsung. Tentunya laju perdagangan seperti ini membuat Indonesia dalam posisi tidak menguntungkan (Oktiari, 2022).

Indonesia sendiri merupakan produsen SBW terbesar di dunia, dan telah menjadi eksportir terbesar ke Tiongkok. 90% dari peredaran SBW di dunia berasal dari Indonesia dan sisanya berasal dari negara lain. Sedangkan 80% dari peredaran SBW diserap Tiongkok (Halkam et al., 2024). Di Tiongkok sendiri konsumsi SBW masih menjadi tren karena khasiat dalam kandungannya; selaras dengan gaya pengobatan tradisional Tiongkok. SBW juga dipakai dalam pengembangan produk herbal dan kosmetik Tiongkok (Verot, 2020). Selain itu, praktik konsumsi atau mencampur SBW pada masakan telah menjadi budaya kuliner di Tiongkok sendiri. Faktor keempat adalah konsumsi SBW selain manfaatnya juga menunjukkan status sosial di masyarakat Tiongkok (Kuo, 2022). Faktor-faktor tersebut terbilang meyakinkan bahwa Tiongkok harusnya tergantung pada ekspor Indonesia, dan menganggap Indonesia sebagai mitra strategis untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Namun realisasi ekspor SBW ke Tiongkok masih jauh dari harapan. Tabel di bawah ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kapasitas dan realisasi ekspor SBW ke Tiongkok.

 

Gambar 1. Perbandingan Kapasitas Dan Realisasi SBW Indonesia ke China

Sumber: Gambar diadaptasi dari pemaparan Badan Karantina Indonesia pada webinar yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani tahun 2024.

 

Meskipun terdapat peningkatan jumlah realisasi per tahun, angka tersebut masih jauh untuk memaksimalkan pendapatan dari komoditas SBW, angkanya masih terpaut berbeda 119,341,36 kilogram. Yang menarik dari grafik di atas menunjukkan adanya surplus realisasi sebesar 50,935,94 kilogram pada tahun 2020 di mana Covid-19 berada pada puncaknya. Hal tersebut wajar melihat adanya korelasi antara SBW yang berkontribusi pada penguatan imun tubuh (Chua et al., 2021). Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa peraturan non-tariff barrier yang berlaku pada konteks tertentu dapat direlaksasi.

Selain konteks Covid-19, dari volume perdagangan tahun 2020 juga potensi keuntungan yang bisa didapatkan dari realisasi ekspor sebesar Rp. 13,722 triliun (US$ 980 juta). Jumlah tersebut mengalami kenaikan signifikan bernilai Rp. 4,8 triliun dibanding tahun 2019 dengan nilai Rp. 8.865 triliun. Namun kenaikan Rp. 4,8 triliun dari kenaikan realisasi ekspor tersebut sebenarnya dapat dimaksimalkan jika barang tidak transit di Hongkong dan negara-negara lain. Jika SBW diekspor langsung ke Tiongkok, maka harga rata-rata per kilogram mencapai Rp. 39.000.000, tetapi karena harus transit di Hongkong membuat harga tersebut terjun bebas menyentuh angka Rp. 3.900.000 per kilogram untuk SBW raw dan 15.000.000-20.000.000 untuk kualitas SBW terbaik (Nugraha, 2024). Dengan kata lain, jika Indonesia pada tahun 2020 mengekspor langsung ke Tiongkok, maka nilai seharusnya dapat mencapai Rp. 45 triliun (US$ 3,2 miliar). Berarti ada potensi kerugian sekitar Rp. 31 triliun akibat kebijakan tersebut. Bahkan nilai Rp. 31 triliun tersebut disinyalir mengalir ke negara transit. Tentu kerugian tersebut berdampak pada perkembangan industri dan penyerapan tenaga kerja SBW di Indonesia (KlikFakta.com, 2024).

Kerugian tersebut disebabkan oleh pengaturan perdagangan yang diterapkan oleh Tiongkok ke Indonesia mengenai ekspor SBW. Pengaturannya bermuara dari kerja sama Protocol of Inspection, Quarantine and Hygiene Requirements for the Importation of Bird Nest Products from Indonesia to China pada tahun 2012 antara Kementerian Pertanian Republik Indonesia dengan Administrasi Umum Pengawasan Mutu, Inspeksi, dan Karantina Republik Rakyat Tiongkok. Kerja sama tersebut menempatkan Badan Karantina Pertanian (Barantan) menjadi tempat uji kelayakan ekspor SBW (Kementerian Perdagangan, 2012). Dua hal yang dapat dicermati dari muara ini, kerja sama tersebut lahir pada saat flu burung (H5N1) merebak sehingga perlu adanya kontrol khusus di Indonesia sebelum masuk ke Tiongkok. Kedua berubahnya orientasi Badan Karantina Indonesia (Barantin) yang terkesan menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan perdagangan Tiongkok jika kerja sama tersebut tetap diberlakukan karena kerja sama tersebut seolah-olah menjadikan Barantin institusi yang terintegrasi dengan General Administration of China Costum (GACC).

 Kerja sama tersebut disinyalir berkembang lebih jauh sampai pada pengaturan regulasi nasional yang sebenarnya adalah bagian dari kedaulatan Indonesia. Kerja sama tersebut mengintegrasikan proses registrasi perusahaan SBW Indonesia beserta proses dokumentasinya, pembangunan kandang SBW, sampai pada perijinan penambahan kuota ekspor. Tidak terbatas pada pembangunan kandang, tempat pemrosesan SBW juga harus menunggu persetujuan Tiongkok. Terintegrasinya standar Tiongkok sampai pada sektor hulu produksi Indonesia didorong oleh keinginan Tiongkok mengenai sisi ketelusuran produk. Alhasil aspek ketelusuran menjadi jalan mulus untuk mengintegrasikan institusi pemerintahan Indonesia yaitu Badan Karantina menjadi perpanjangan tangan GACC. Tentunya hal ini merugikan kemandirian dan kedaulatan pengusaha SBW Indonesia. Jika Tiongkok dapat berperan dalam meloloskan proses registrasi perusahaan, tidak menutup kemungkinan hal tersebut berpengaruh pada sisi competitiveness di antara perusahaan-perusahaan Indonesia yang berimbas pada ekosistem persaingan dalam negeri (Saputra et al., 2022).

Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan asosiasi-asosiasi pengusaha komoditas tersebut untuk melobi Tiongkok agar mempermudah peraturan ekspornya. Menteri Perdagangan menyatakan bahwa kementerian sudah menyiapkan kemudahan terhadap penerbitan perizinan berusaha di Kementerian Perdagangan dengan pemrosesan melalui sistem yang semakin cepat, mudah, dan tetap akuntabel. Secara subtansi, pembahasan perubahan Peraturan Menteri Perdagangan tentang kebijakan dan pengaturan ekspor, khususnya terkait Sarang Burung Walet. Modifikasi tersebut akan mencakup penyederhanaan standar yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin Eksportir Terbatas atau ET SBW, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (Catriana, 2023).

Konsep governmentality Foucault menyediakan kerangka analisis yang berguna untuk menjelaskan bagaimana hambatan terbentuk lewat peraturan, rasionalitas, dan teknologi. Konsep tersebut melihat peraturan sebagai praktik-praktik penguasaan, serta bagaimana praktik tersebut diaplikasikan dan diterapkan dalam konteks tertentu. Sedangkan aspek rasionalitas pada konsep ini melihat bagaimana suatu himpunan dari landasan praktik kenegaraan negara, seperti peraturan, perundang-undangan, dan proses-proses birokrasi. Lalu, aspek teknologi dalam konsep ini merupakan himpunan dari satuan mekanisme penguasaan yang dipakai untuk melegitimasi rasionalitas seperti kebijakan, teknik perencanaan, proses analisis, dan pengetahuan. Ketiga aspek ini digunakan untuk melacak bagaimana kekuasaan beroperasi membentuk apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan (Boer, 2013).

Namun penjelasan di atas masih terlalu abstrak untuk digunakan sebagai kerangka analisis, untuk itu ada empat aspek yang dapat dijadikan konsep untuk membedah bagaimana kekuasaan beroperasi untuk membentuk dan sekaligus membatasi obyek bentukannya. Foucault memberikan empat konsep yaitu Biopower, technologies of power, rationalities of government, dan governmentalization of subject. Biopower merupakan teknik yang digunakan kekuasaan untuk meregulasi populasi dan fungsi tubuh dari masyarakat. Technologies of power merupakan implementasi dari metode yang digunakan untuk menyediakan jalan. Hal tersebut dapat berbentuk institusi, praktik, atau diskursus. Rationalities of Government adalah dasar dari hukum, regulasi, ataupun dalil untuk menjustifikasi kekuasaan. Lalu governmentalities of the subject berguna untuk menjelaskan bagaimana ketiga modus tersebut dapat diterima dan dijalankan secara mandiri oleh subyek (Boer, 2013).

 Meskipun konsep governmentality yang dijelaskan di atas umumnya diterapkan untuk menganalisis bagaimana negara atau kekuasaaan mengontrol masyarakat (productive power), namun konsep tersebut dapat diterapkan dalam analisis ini. Beberapa konsep seperti perdagangan bebas, non-tariff measures, diskursus keamanan pangan, dan diskursus keberlanjutan pangan tidak lepas dari kepentingan dari kekuasaan untuk mengatur. Beberapa penelitian yang menggunakan governmentality untuk menganalisis hambatan non-tarif dan diskriminasi dalam perdagangan bebas telah banyak dilakukan. Kebanyakan konsep tersebut diarahkan untuk mengritik bagaimana empat konsep tersebut dipakai semata-mata untuk mendiskriminasi mitra dagang, menerapkan kuota, atau menggunakan dalil tertentu untuk mengontrol pasar dengan mengontrol barang dan kualitas barang (Gilson, 2023; Harrington, 2023; Trew, 2021).

 Pada penelitian ini keempat dari konsep tersebut akan dipakai untuk menjelaskan adanya pengontrolan oleh pihak Tiongkok pada SBW Indonesia lewat hambatan non-tariff yang sudah dijelaskan di bagian latar belakang. Konsep Technologies of power digunakan untuk menjelaskan bagaimana Tiongkok menggunakan hambatan non-tarif untuk menghambat laju ekspor. Hambatan seperti kuota, sertifikasi, kuota, Sanitary and phytosanitary, dan sistem ketelusuran. Lalu, rationalities of government digunakan untuk menjelaskan adanya justifikasi penerapan hambatan non-tariff berupa keamanan nasional, keamanan dan kesehatan pangan, serta diskursus ketelusuran pangan. Terakhir, governmentalities of the subject dipakai untuk menjelaskan bagaimana keterkaitan tiga hal sebelumnya mengatur dan menjadikan Badan Karantina Indonesia seolah-olah menjadi perpanjangan tangan Tiongkok. Perlu ditekankan di awal, diskursus keamanan dan ketelusuran pangan mutlak penting untuk menjamin kualitas pangan untuk dikonsumsi manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah bukan untuk menghapus atau berusaha untuk meniadakan kedua hal tersebut, tetapi bagaimana dua diskursus tersebut dimainkan untuk mengontrol volume ekspor dan harga.

 

Metode Penelitian

 Metode penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif berdasarkan studi kasus (Yin, 2009). Fenomena ekspor sarang burung walet Indonesia dijadikan contoh kasus karena keunikan dari fenomena tersebut, yaitu Indonesia merupakan produsen terbesar di skala global namun terlihat kurang memiliki daya tawar dibanding Tiongkok sebagai negara pengimpor. Kasus ini sangat representatif untuk melacak bagaimana kekuasaan dan tekniknya mengatur laju ekspor sarang burung walet dari hilir sampai ke hulu, lewat pelacakan pemetaan jalur perdagangan lewat negara mitra dan hambatan non-tarif yang diterapkan. Data yang digunakan pada penelitian ini kebanyakan diambil dari data sekunder, yaitu laporan, peraturan dan regulasi, presentasi lembaga terkait, jurnal ilmiah, dan berita dari media daring. Hasil dari pembacaan tersebut akan dikodifikasi secara tematik seturut dengan konsep-konsep yang dipakai dalam penelitian ini (Elliott, 2018).

 

Hasil dan Pembahasan

Penerapan Governmentality Ekspor SBW ke Tiongkok

Sebelum tahun 2010 yang ditandai dengan maraknya kasus flu burung, perdagangan sarang walet ke negara-negara seperti Tiongkok dan Hongkong tidak memiliki regulasi yang ketat. Namun, pada tahun 2010, Tiongkok menerapkan kebijakan baru yang ketat terhadap pengiriman SBW dari Indonesia sehingga mengharuskan ekspor sarang walet Indonesia dilakukan melalui negara ketiga, hal ini mengakibatkan keuntungan perdagangan banyak diambil oleh negara perantara tersebut. Menanggapi kendala ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hambatan dan kerugian yang dialami dalam perdagangan sarang walet. Sebenarnya ketentuan restriksi ekspor ini dipicu oleh peraturan Tiongkok tentang registrasi oleh Certification and Accreditation Administration of the People's Republic of China (CNCA) untuk produk makanan dan minuman impor. Permasalahan semakin kompleks dengan munculnya isu nitrit pada sarang walet ekspor, yang berujung pada larangan impor sarang walet dari Indonesia dan Malaysia oleh Tiongkok. Hal ini menyebabkan harga sarang walet anjlok (Oktiari, 2022).

Larangan impor tahun 2010 tersebut menjadi titik awal bagaimana Indonesia dan Tiongkok saling berinteraksi untuk menerapkan peraturan perdagangan SBW. Tiongkok dengan daya serap SBW yang tinggi membuat posisinya lebih tinggi dari pada Indonesia. Seharusnya jika mengacu pada logika permintaan dan ketersediaan, Indonesia mendapatkan posisi tawar lebih tinggi karena 90% SBW Indonesia diserap Tiongkok, dengan kata lain Tiongkok yang memerlukan SBW Indonesia. Konsep Technologies of power dapat menjelaskan ketimpangan tersebut karena data kuantitatif perdagangan nyatanya tidak mencerminkan relasi kekuatan antar keduanya seturut dengan logika perdagangan.

Setelah lima tahun berhentinya ekspor SBW ke Tiongkok, pada tahun 2015 Tiongkok membuka keran ekspor Indonesia tanpa harus melewati negara ketiga. Tiongkok juga bersedia untuk membeli SBW yang sesuai dengan standar dengan harga tinggi. Di fase 5 tahun menunggu ini adalah momen-momen krusial bagaimana Tiongkok menjalankan pengaruhnya membentuk mekanisme perdagangan SBW. Tiongkok menerapkan standar Sanitary and phytosanitary (SPS) untuk mencegah SBW yang di bawah standar kesehatan dan keamanan pangan. Penerapan standar tersebut sebenarnya lazim digunakan dalam perdagangan internasional, juga untuk melindungi kepentingan negara Tiongkok, yaitu kesehatan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) (Esty, 1994). Namun kekuasaan tidak selalu bersifat represif, tetapi juga produktif sembari menerapkan batasan. Standar SPS tersebut positif karena dibangun guna melindungi populasi, sedangkan sisi produktifnya adalah standar tersebut menyeret Indonesia dalam kungkungan logika perdagangan yang dibuat Tiongkok. Logikanya beroperasi layaknya “Indonesia dapat kembali mengekspor SBW, bahkan dengan harga tinggi jika dapat memenuhi standar Tiongkok”.

Tanpa ditilik lebih mendalam, tentunya momen keputusan Tiongkok tersebut menjadi kabar gembira untuk pengusaha SBW, namun sebenarnya upaya tersebut dapat ditelaah sebagai langkah untuk menegaskan kembali skema perdagangan jalur ketiga yang dibuat oleh Tiongkok karena untuk SBW yang tidak memenuhi standar Tiongkok akan tetap dikirim ke Hongkong atau negara ketiga lainnya. Di sini Tiongkok berhasil membentuk ‘pintu pertama’. Pintu pertama yang dimaksud adalah Tiongkok membuat sebuah alur perdagangan untuk mendisiplinkan aliran ekspor SBW dengan menentukan nilai kualitas dan harga dari SBW yang diekspor Indonesia. Logika penerapan tersebut sangat dimungkinkan terjadi apabila Tiongkok memahami struktur produsen yang ada di Indonesia, lalu menerapkan logika tersebut.

Teknik technologies of power juga dapat ditemukan pada mekanisme ketelusuran. Ketelusuran pangan merupakan hal yang positif untuk memastikan kepastian mengenai profil SBW di sepanjang laju rantai pasok SBW. Guna ketelusuran pada keamanan pangan untuk memastikan keamanan pangan dengan mempermudah identifikasi dan penyelesaian masalah terkait kontaminasi dan keamanan. Misalnya, jika penarikan makanan diperlukan, kemampuan penelusuran memungkinkan produsen dengan cepat melacak semua produk yang terkontaminasi untuk meminimalkan jumlah konsumen yang terpapar. Ketelusuran juga memastikan adanya transparansi informasi mengenai SBW yang akan dikonsumsi. Hal ini berdampak pada nama baik pengekspor dan kepercayaan konsumen atas barang tersebut. Aspek ketelusuran pangan biasanya selaras dengan aspek SPS karena ketelusuran pangan dapat membantu bagaimana kualitas dan keamanan pangan dipastikan.

Namun sistem ketelusuran pangan yang terjadi pada pola perdagangan SBW antara Tiongkok dan Indonesia sangat berbeda dengan praktik-praktik ketelusuran yang lazim dilakukan di perdagangan bebas (Yeo et al., 2021). Dari negara-negara pengimpor SBW, penerapan sistem ketelusuran umumnya hanya berupa profil dan sertifikasi dari SBW yang diimpor seperti identitas produsen, metode produksi dan pembersihan, serta pengemasan. Hal tersebut merupakan standar yang harus dilakukan untuk menjamin kualitas dan ketelusuran Jika dibandingkan, terdapat kontrol berlebihan yang diberikan Tiongkok. Aspek berlebihannya terletak pada surat penetapan registrasi rumah walet, surat Keputusan tempat pemrosesan.

Gambar 2. Alur teknis penerapan ketelusuran dan SPS Protokol RI-Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

Sumber: Gambar diadaptasi dari pemaparan Badan Karantina Nasional pada seminar yang mengenai ketelusuran SBW di Serpong, tahun 2024.

 

Jika ditelaah lebih jauh, Tiongkok menerapkan standar ketelusuran berbeda dengan negara-negara importir lainnya. Yang menarik adalah bagaimana Tiongkok dapat mengatur dan memanjangkan kontrolnya melalui Barantin. Meskipun pada dasarnya Barantin hanya menjalankan tugas sesuai perundangan-undangan yang mengaturnya, namun secara politik peraturan tersebut membuat Barantin seolah-olah menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan perdagangan Tiongkok mengenai ekspor SBW. Hal ini didasarkan pada bagaimana berbanding lurusnya sistem ketelusuran dan keamanan pangan GACC dan Barantin. Mekanisme yang diinginkan GACC lewat ketelusuran tidak sepenuhnya mengganti mekanisme yang ada pada Barantin, dalam pengertian tidak sepenuhnya mengganti fungsi dari Barantin sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan keamanan dan kesehatan pangan hewani yang berasal dari Indonesia. Namun teknik berbanding lurus yang dipakai GACC adalah menambal kekurangan yang dianggap perlu diubah agar aspek ketelusuran dan SPS menjadi lebih baik. Tentunya nada positif tersebut tidak bebas dari nilai karena Tiongkok dapat mengontrol laju ekspor SBW semenjak pada proses produksi dengan memberlakukan sertifikasi dari hampir semua sektor produksi, yaitu rumah walet, tempat pemrosesan, sampai dengan kontrol pengusaha SBW Indonesia. Dengan begitu, Tiongkok dapat dengan leluasa memberikan sertifikasi sembari menimbang ‘pintu pertama’ yang telah dibuatnya untuk mengontrol harga dan volume ekspor antara ekspor langsung ke Tiongkok atau melewati negara ketiga. Kontrol tersebut tercermin dari ungkapan Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia, Boedi Mranata mengatakan:

Bahwa Dari sekitar 1.400 ton itu (dari 1.500 ton produksi Indonesia), sebenarnya ujung-ujungnya semua dikonsumsi oleh China. Namun, hanya 5% diantaranya yang tercatat di Indonesia sebagai produk ekspor langsung ke China. Sisanya  dijual secara mentah atau diselundupkan ke Vietnam dan Hong Kong (Andri, 2019)

Jika merujuk pada sejarah terjadinya relasi antara GACC dan Barantan pada tahun 2012 (sebutan sebelum diubah menjadi Barantin), konteks pada saat itu ekspor SBW Indonesia mengalami keterpurukan akibat diberlakukannya larangan ekspor langsung ke Tiongkok karena kasus flu burung, namun Tiongkok tidak menutup pintu masuk melalui Hongkong sebagai tempat tindakan karantina untuk menjamin keamanan SBWasal Indonesia. Kebijakan tersebut diterapkan Tiongkok karena Indonesia masuk daftar negara yang belum bebas dengan kasus flu burung. Pada saat yang sama, Tiongkok tidak memberlakukan hal demikian pada eksportir lainnya. Pada tahun 2011, sekitar 70-80% dari total produksi sarang burung walet dunia dipasok oleh Indonesia. Karena kebijakan negara transit tersebut. Harga sarang burung Walet yang dijual ke Malaysia hanya berkisar Rp. 5 juta per kg, sedangkan harga sarang burung walet di China mencapai Rp.37 juta per kg (Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, 2012). Setelah negosiasi yang panjang dengan Tiongkok, Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk membahas masalah ini dengan membentuk Mutual Recognition Agreement (MRA) yang isinya adalah pertukaran komoditas SBW dengan bawang putih Tiongkok. Hasil dari MRA tersebut melahirkan Permendag No. 51 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Sarang Burung Walet ke RRT (Pazli & Elvi, 2014).

Namun, setelah wabah flu burung lenyap dari Indonesia peraturan tersebut tidak turut hilang, tetapi terkristalisasi lewat Barantin. Pemboikotan SBW Indonesia oleh Tiongkok didasarkan pada dua argumen pada waktu yang bersamaan, yaitu kadar nitrat yang tinggi dan wabah flu burung. Dua diskursus tentang keamanan pangan tetapi berbeda penyebab menyebabkan ‘residu’ boikot tahun 2011 masih tersisa, namun tetap dijalankan menimbang faktor defisit perdagangan jika tidak segera mengekspor SBW. Posisi Barantin juga terjepit oleh pemboikotan pada tahun 2011. Barantin pada saat itu merupakan satu-satu nya lembaga yang berwenang perihal kontrol terhadap ekspor impor barang perdagangan yang berisiko menjadi media pembawa hal yang dihindari dalam mekanisme SPS (Panggabean et al., 2016). Sedangkan pasca 2011 dengan adanya peraturan turunan dari WTO mengenai SPS, serta berbagai macam peraturan dalam negeri mengenai keamanan dan kualitas barang ekspor impor, menjadikan Barantin sebagai ‘pintu kedua’ dalam laju ekspor impor SBW. Secara tidak langsung Barantin mempunyai tanggung jawab untuk bertindak adil tanpa diskriminasi karena adanya mandat-mandat tersebut, termasuk ke komisi SPS di WTO (Cahyono, 2019). Sehingga hal tersebut membuat Barantin seolah-olah menjadi competent authority yang ditunjuk Tiongkok untuk menjalankan regulasi kebijakan perdagangan SBW.

Argumen lain juga dapat dilancarkan melihat volume ekspor SBW Indonesia pada tahun 2019-2022 saat Covid-19 merebak di Tiongkok, begitu juga dengan Malaysia dengan lonjakan permintaan sebesar 50% di tahun yang sama (Koe, 2020). Jika dilihat dari angka pada Gambar 1 penelitian ini, jumlah volume di tiga tahun tersebut mengalami peningkatan yang signifikan, padahal Tiongkok pada saat Covid-19 cukup gencar melarang kegiatan impor bahan pangan dari negara lain, khususnya kategori makanan hasil olahan (Khaliq, 2020; Raghu, 2020; Song et al., 2024). Tiongkok melarang masuknya produk-produk tersebut karena dugaan adanya kontaminasi virus Covid-19 atau dari daerah yang terjangkit. Untuk itu, Tiongkok memberlakukan tes asam nukleat pada barang yang akan masuk ke Tiongkok. Namun tidak demikian untuk komoditas SBW. Tentunya ada kegamangan mengenai penerapan SPS dan standar mutu tambahan ketika kondisi tidak lagi normal. Kenaikan volume ekspor tersebut tidak lepas dari faktor kepercayaan masyarakat Tiongkok tentang SBW yang dianggap sebagai bahan makanan penguat imun tubuh (Ningrum et al., 2023) sehingga sangat besar kemungkinan Tiongkok tidak menerapkan larangan impor layaknya tahun 2011 atau pemeriksaan asam nukleat pada barang impor lainnya.

 

Kesimpulan

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kekuasaan dapat beroperasi secara produktif melalui mekanisme yang diterima dan dipraktikkan umum. Pada kasus ini penerapan hambatan non-tarif menjadi landasan untuk mengontrol laju atau volume barang dan harga SBW Indonesia. Dari konsep governmentality yang sudah dijelaskan di atas juga menunjukkan bahwa terdapat upaya-upaya untuk membuat, dan memodifikasi ulang tatanan agar teknik untuk menguasai dapat dijalankan. Kekuasaan dapat beroperasi secara produktif melalui mekanisme yang diterima secara umum, seperti penerapan hambatan non-tarif untuk mengontrol volume dan harga SBW Indonesia. Meskipun Indonesia merupakan pemain terbesar dalam komoditas ini, kontrol Tiongkok terhadap ekspor SBW Indonesia sangat signifikan, mulai dari produksi hingga pengiriman, yang melemahkan posisi tawar Indonesia di pasar global. Tiongkok berhasil menciptakan mekanisme perdagangan yang sesuai dengan kriterianya, sehingga memengaruhi regulasi dan kebijakan ekspor-impor SBW Indonesia. Barantin, meskipun terlibat dalam relasi dengan Tiongkok melalui mekanisme ketelusuran dan SPS, berada di posisi sulit antara kepentingan nasional Indonesia dan Tiongkok, serta aturan WTO. Dalam menghadapi kontrol Tiongkok yang kuat, kebijakan dan mekanisme terkait ekspor SBW perlu ditinjau agar tidak memberatkan pihak eksportir Indonesia.

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Andri, Y. (2019). Ekspor sarang walet ke China sulit ditingkatkan, apa sebabnya? Ekonomi Bisnis. https://ekonomi.bisnis.com/read/20190715/12/1124265/ekspor-sarang-walet-ke-china-sulit-ditingkatkan-apa-sebabnya

Boer, H. (2013). Governing ecosystem carbon. Global Environmental Politics, 13(4), 123–143.

Cahyono. (2019). Implementasi aturan hukum terkait Sanitary and Phytosanitary di Badan Karantina Pertanian [Tesis Magister, Universitas Medan Area]. https://repositori.uma.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13638/2/171803022%20-%20Cahyono%20-%20Fulltext.pdf

Catriana, E. (2023). Dongkrak ekspor sarang burung walet, pemerintah akan permudah regulasi. Kemendag.go.id. https://www.kemendag.go.id/berita/pojok-media/dongkrak-ekspor-sarang-burung-walet-pemerintah-akan-permudah-regulasi

Chen, C., Yang, S., & Lin, L. (2015). Comparative study of domestic and foreign quality standards for edible bird’s nest. Journal of Food Safety and Quality, 6(7).

Chua, K. H., Mohamed, I. N., Mohd Yunus, M. H., Shafinaz Md Nor, N., Kamil, K., Ugusman, A., & Kumar, J. (2021). The anti-viral and anti-inflammatory properties of edible bird’s nest in influenza and coronavirus infections: From pre-clinical to potential clinical application. Frontiers in Pharmacology, 12, 633292.

Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional. (2012). Edible products of animal origin. https://ditjenpen.kemendag.go.id/storage/publikasi/941-9171390369521.pdf

Elliott, V. (2018). Thinking about the coding process in qualitative data analysis. The Qualitative Report, 23(11).

Esty, D. C. (1994). Greening the GATT: Trade, environment, and the future. Peterson Institute.

Gilson, J. (2023). Sustainable development and the environment in EU and Japanese free trade agreements: Embedding anthropocentric narratives. Environmental Politics, 1–22.

Halkam, H., Demmallino, E. B., Ali, M. S. S., & Suhab, S. (2024). Edible bird’s nest as a trade commodity between Indonesia and China in 2017-2021. Proceeding of the International Conference on Multidisciplinary Research for Sustainable Innovation, 1(1), 576–584.

Harrington, J. (2023). Between nation and empire: How the state matters in global health. Legal Studies, 43(3), 461–479.

Kementerian Perdagangan. (2012). Ketentuan ekspor sarang burung walet - Republik Rakyat China - ketentuan. https://jdih.kemendag.go.id/peraturan/stream/76/1

Khaliq, R. U. (2020). China bars seafood imports from India over COVID-19. Anadolu Agency. https://www.aa.com.tr/en/asia-pacific/china-bars-seafood-imports-from-india-over-covid-19/2042485

KlikFakta.com. (2024). Pos Gibran dorong hilirisasi sarang walet diwujudkan. KlikFakta.com.

Koe, T. (2020). Bird’s nest immunity boom? Malaysian industry cooperative sees rebound in Chinese demand. NutraIngredients-Asia. https://www.nutraingredients-asia.com/Article/2020/09/02/Bird-s-nest-immunity-boom-Malaysian-industry-cooperative-sees-rebound-in-Chinese-demand#

Kuo, Y. R. S. (2022). Salivating sales: Ethnic Chinese Malaysians and the bird’s nest industry. TaiwanInsight. https://taiwaninsight.org/2022/03/10/salivating-sales-ethnic-chinese-malaysians-and-the-edible-birds-nest-industry/

Ningrum, S. G., Sasmita, R., & Kharisma, V. D. (2023). Edible bird’s nest as potential food with anti-viral and anti-inflammatory properties against COVID-19: An in silico study. Acta Veterinaria Indonesiana, 11(1), 43–50.

Nugraha, B. (2024). Pos Gibran dorong hilirisasi sarang walet diwujudkan. Suara Merdeka.

Oktiari, R. (2022). Dampak protokol persyaratan higienitas, karantina dan pemeriksaan Indonesia-Tiongkok terhadap ekspor sarang burung walet Indonesia tahun 2018-2020. JOM FISIP, 9(11).

Panggabean, F. L., Fardiaz, D., & Purnomo, E. H. (2016). Regulasi pengawasan impor pangan segar di Indonesia dan kesenjangannya dengan kriteria pengawasan impor pangan ASEAN. Jurnal Mutu Pangan: Indonesian Journal of Food Quality, 3(2), 145–152.

Pazli, P., & Elvi, E. (2014). Re-orientasi kebijakan ekspor sarang burung walet Indonesia ke Cina tahun 2012-2014 [Doctoral dissertation, Riau University].

Raghu, A. (2020). Beijing restricts frozen food import from high-risk COVID places. Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-09-28/beijing-restricts-frozen-food-import-from-high-risk-covid-places

Saputra, D., Asihatka, P. F., & Sutanto, E. P. (2022). Analysis of swallow nest export strategies from Indonesia to China with export restriction regulations. Proceedings of the International Conference on Industrial Engineering and Operations Management, 2658–2665.

Song, A. Y., Fabinyi, M., & Barclay, K. (2024). China and seafood trade after coronavirus: The role of state actors. Marine Policy, 160, 105992. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2023.105992

Trew, S. J. (2021). International regulatory cooperation and the making of “good” regulators: A case study of the Canada–U.S. Regulatory Cooperation Council [Master’s thesis, Carleton University].

Verot, O. (2020). What does bird’s nest mean in China? Marketing to China. https://marketingtochina.com/why-is-china-the-most-attractive-country-to-sell-birds-nest/

Yeo, B.-H., Tang, T.-K., Wong, S.-F., Tan, C.-P., Wang, Y., Cheong, L.-Z., & Lai, O.-M. (2021). Potential residual contaminants in edible bird’s nest. Frontiers in Pharmacology, 12, 631136.

Yin, R. K. (2009). Case study research: Design and methods (5th ed.). Sage.

 

Copyright holder:

Agung Krisdiyanto (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: