Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 8, Agustus 2024
PROFIL URTIKARIA
KRONIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE
JANUARI 2018-DESEMBER 2021
Wibisono
Nugraha1, Alfina Rahma2,
Dita Eka Novriana3, Rieska Widyaswari4,
Muhammad Eko Irawanto5
Univesitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia1,2,3,4,5
Email: [email protected]1, [email protected]3, [email protected]4, [email protected]5
Abstrak
Urtikaria kronis merupakan urtikaria, angioedema, atau keduanya yang muncul selama lebih dari
6 minggu. Meskipun cukup jarang, urtikaria
kronis dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Patomekanisme
urtikaria kronis hingga kini belum
jelas, namun dikaitkan dengan baerbagai faktor imunologis yang dapat pula dikaitkan dengan berbagai komorbiditas.
Antihistamin-H1 generasi kedua merupakan tatalaksana utama urtikaria kronis. Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif yang melibatkan pasien urtikaria kronis dari Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018 sampai Desember 2021. Sebanyak 45 pasien urtikaria kronis diikutkan dalam penelitian ini. Sebagian besar sampel merupakan perempuan (73,33%). Kelompok usia dengan jumlah
pasien terbanyak adalah kelompok 51-60 tahun (26,67%). Sebanyak 53,33% pasien merupakan pekerja swasta. Hasil pemeriksaan skin prick test (SPT) positif pada 16 pasien. 16 belas pasien terbukti
memiliki alergi terhadap > 1 alergen makanan. Alergen makanan yang paling sering menyebabkan hasil positif adalah tomat, kacang tanah,
dan kuning telur. Sebanyak 12 pasien (26,67%) memiliki riwayat alergi, dimana alergi tersering adalah alergi dingin
(17,78%). Dari 45 pasien urtikaria
kronis, sebanyak 15 pasien (33,33%) memiliki penyakit penyerta/komorbid, dengan komorbid terbanyak gigi berlubang (15,56%). Sebagian
besar pasien (91,11%) menerima terapi oral
antihistamin-H1 generasi kedua (setirizin 10 mg) baik tunggal maupun
kombinasi dengan obat lain, sementara
4 pasien hanya menerima terapi topikal pelembab. Karakteristik pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta sesuai dengan karakteristik pasien urtikaria kronis secara globa.
Kata kunci: Angioedema, Antihistamin, Skin prick test, Urtikaria
kronis
Abstract
Chronic urticaria is wheals, angioedema, or both that lasts longer
than 6 weeks. Chronic urticaria, though uncommon, can have a negative impact on
a patient's quality of life. The pathomechanism of
chronic urticaria is unknown, but it is linked to a variety of immunological
factors, which can also be linked to a variety of comorbidities. Chronic
urticaria is treated primarily with second-generation H1
antihistamines. This was a retrospective descriptive study involving chronic
urticaria patients from the Dermatology and Venereology Polyclinic RSUD Dr. Moewardi Surakarta from January 2018 to December 2021. This
study included 45 chronic urticaria patients. The majority (73.33%) of the
sample is female, with 26,67% patients belonging to age group 51-60 years. Up
to 53.33% of patients are private employees. In 16 patients, the skin prick
test (SPT) was positive, all of whom were allergic to >1 food
allergens. Tomatoes, peanuts, and egg yolks are the food allergens that most
frequently produce positive results. Twelve patients (26.67%) had a history of
allergies, with cold allergy being the most common (17.78%). 15 (33.33%) of the
patients had co-morbidities, with cavities being the most common (15.56%). Up
to 91.11% patients received second-generation antihistamine-H1
(cetirizine 10 mg) alone or in combination with other drugs, while four
patients received only topical moisturizer. Characteristics of chronic
urticaria patients at the Dermatology and Venereology Polyclinic of RSUD Dr. Moewardi Surakarta are similar to globally.
Keywords: angioedema,
antihistamine, chronic urticaria, skin prick test
Pendahuluan
Urtikaria merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat aktivasi
dan degranulasi sel mast
yang diikuti produksi histamin dan mediator lain sehingga
memicu aktivasi saraf sensorik, vasodilatasi dan ekstravasasi
sel. Urtikaria umumnya hilang dalam 1-24 jam (Beck et al., 2017; Debora & Zuraida,
2020). Gejala utama
urtikaria adalah rasa gatal atau pruritus.(Sussman et al., 2015) Urtikaria
kronis didefinisikan sebagai urtika, angioedema atau keduanya yang muncul selama lebih dari
6 minggu (Powell et al., 2015; Zuberbier et
al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018).
Urtikaria kronis dapat bermanifestasi sebagai wheals dengan berbagai bentuk dan ukuran tanpa disertai
adanya perubahan pada
epidermis (skuama,krusta) atau angioedema pada membran mukosa proksimal (edema okular atau bibir)
atau edema perifer berat. The European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI) membagi urtikaria kronis menjadi chronic spontaneous urticaria (CSU) dan urtikaria yang dapat diinduksi oleh stimulus fisik (inducible urticaria) (Colgecen et al., 2015; Sussman et
al., 2015; Zuberbier et al., 2022). Beberapa pasien dapat pula mengalami lebih dari satu
subtipe urtikaria (Beck et al., 2017; Zuberbier et al.,
2022).
Sebanyak 5-20% kasus urtikaria merupakan urtikaria kronis (Colgecen et al., 2015). Urtikaria kronis mengenai 0,1-5% individu di seluruh dunia (Dionigi et al., 2016; Fine &
Bernstein, 2016; Fricke et al., 2020; Powell et al., 2015). Prevalensi urtikaria kronis berbeda-beda di tiap negara. Prevalensi urtikaria kronis di Amerika Utara
diperkirakan sebesar 0,1%, Eropa 0,5%, Amerika Latin 1,4% dan negara-negara Asia sebesar 1,5% (Gonçalo et al., 2021). Chronic
spontaneous urticaria (CSU) merupakan subtipe urtikaria kronis yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak dua pertiga kasus urtikaria (Balp et al., 2015; Beck et al.,
2017). Chronic spontaneous urticaria (CSU) paling sering ditemukan pada kelompok usia 20-45 tahun, meskipun semua kelompok usia memiliki risiko
untuk mengalami CSU.
Perempuan memiliki risiko
dua kali lipat lebih tinggi mengalami CSU dibandingkan laki-laki (Balp et al., 2015; Colgecen et al., 2015; Dionigi
et al., 2016; Fricke et al., 2020; Gonçalo et al.,
2021).
Komorbiditas yang paling sering ditemukan pada pasien dengan CSU adalah inducible
urticaria, penyakit autoimun,
alergi dan sindrom metabolik (Powell et al., 2015). Diagnosis penyakit
autoimun seringkali ditegakkan setelah pasien terdiagnosis urtikaria kronis (Darlenski et al., 2014; Dionigi et al., 2016). Etiologi
urtikaria kronis diduga berkaitan dengan infeksi, gangguan metabolik dan hormonal, keganasan serta faktor emosional, meskipun belum ditemukan bukti yang kuat terkait hubungan
tersebut (Colgecen et al., 2015; Criado et al., 2015). Infeksi
yang diduga memiliki kaitan dengan urtikaria
kronis adalah infeksi telinga-hidung-tenggorokan
(THT), gastrointestinal dan gigi (Criado et al., 2015; Darlenski et al., 2014). Studi
oleh Balp et al. (2015) melaporkan
bahwa CSU juga dikaitkan dengan munculnya gangguan mental seperti depresi, ansietas, disfungsi seksual dan gangguan tidur (Balp et al., 2015; Powell et al.,
2015).
Tujuan utama manajemen urtikaria kronis adalah untuk
mengontrol gejala dan remisi. Prinsip tatalaksana dari urtikaria kronis adalah menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan eksaserbasi CSU seperti stress dan non-steroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs). Tatalaksana medikamentosa
lini pertama untuk urtikaria kronis berdasarkan The
European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) adalah antihistamin-H1 non sedatif
generasi kedua dan apabila belum dapat
mencapai remisi gejala, maka dosis
dapat ditingkatkan hingga 2-4 kali lipat. Terapi alternatif pada kondisi urtikaria kronis yang rekalsitran dapat ditambahkan dalam regimen terapi adalah omalizumab dan siklosporin.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018-Desember 2021.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif yang dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan
data sekunder dari rekam medis pasien
urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta periode Januari
2018-Desember 2021.
Alur penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis dan kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu pasien
dengan diagnosis urtikaria kronis yang berkunjung pada periode Januari 2018-Desember
2021, usia 11 tahun sampai > 60 tahun dan jenis kelamin. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan
data rekam medis yang tidak lengkap.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian yang dilakukan dengan mengambil data sekunder di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan 45 pasien urtikaria kronis pada periode Januari 2018 - Desember 2021. Karakteristik demografi menunjukkan jenis kelamin pasien urtikaria kronis terbanyak adalah perempuan dengan jumlah 33 pasien (73,33%), kelompok usia terbanyak
adalah kelompok usia 51-60 tahun dengan jumlah 12 pasien (26,67%), serta jenis pekerjaan terbanyak adalah swasta dengan jumlah
24 pasien (53,33%), sedangkan
sebanyak 15 pasien (33,33%)
memiliki penyakit penyerta/komorbid, dengan komorbid terbanyak adalah gigi berlubang, yakni sebanyak 7 pasien (15,56%) (Tabel 1)
Terapi yang didapatkan pasien urtikaria kronis yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada periode Januari 2018-Desember 2021 meliputi
terapi antihistamin oral, terapi pelembab topikal atau kombinasi
terapi antihistamin oral
dan pelembab topikal. Jenis terapi antihistamin
oral yang diberikan adalah setirizin 10 mg/24 jam, setirizin
10 mg/12 jam, loratadin 10 mg/24 jam dan desloratadin 5 mg/24 jam. Jenis terapi topikal yang diberikan adalah pelembab atopiclair® losion atau Soft U Derm®. Sebanyak 32 pasien (71,1%) mendapatkan terapi antihistamin oral saja, 4 pasien (8,89%) mendapatkan terapi pelembab topikal saja dan 9 pasien (19,99%) mendapatkan terapi kombinasi oral dan topikal (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik demografi
subjek penelitian
Karakteristik
|
Jumlah (n=45)
|
Persentase (%)
|
Jenis Kelamin
Laki - laki
Perempuan
Usia
11-20 tahun
21-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
>60 tahun
Pekerjaan
PNS*
Swasta
Pelajar/Mahasiswa
Petani
IRT*
Pensiunan
Lain-lain
Jumlah pasien dengan
komorbid
Diabetes Mellitus
Hipertensi
Rinitis
Asma
Gastritis
Penyakit hepar
Gigi berlubang
Jenis terapi
Antihistamin oral
Pelembab topikal
tunggal
Kombinasi antihistamin oral + pelembab topikal
|
12
33
4
8
9
9
12
3
4
24
7
1
5
2
2
2
1
2
2
2
1
7
32
4
9
|
26,67
73,33
8,89
17,78
20,00
20,00
26,67
6,67
8,89
53,33
15,56
2,22
11,11
4,44
24,76
4,44
2,22
4,44
4,44
4,44
2,22
  15,56
71,1
8,89
19,99
|
*PNS
= Pegawai Negeri Sipil. IRT
= Ibu Rumah Tangga
Sebanyak 16 pasien (35,56%) menunjukkan hasil pemeriksaan Skin Prick
Test (SPT) positif terhadap
sejumlah alergen (Tabel 2). Berdasarkan hasil pemeriksaan SPT didapatkan 16 pasien dengan hasil pemeriksaan
SPT positif menunjukkan reaksi positif terhadap satu atau
lebih alergen makanan. Alergen tersering penyebab hasil pemeriksaan SPT positif adalah tomat, kacang tanah
dan kuning telur dengan persentase hasil positif untuk
alergen-alergen tersebut sebesar masing-masing 6 dari 16 pasien (37,50%). Dari 16 pasien dengan SPT positif, terdapat 8 pasien (50%) yang menunjukkan reaksi positif terhadap aeroalergen (debu rumah dan/atau bulu anjing), dimana
hanya 1 pasien yang menunjukkan hasil positif terhadap kedua aeroallergen tersebut (Tabel 3).
Tabel 2. Pemeriksaan
Skin Prick Test (SPT) pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Januari 2018-Desember 2021
Pemeriksaan
SPT
|
Jumlah
(n=45)
|
Persentase
(%)
|
Hasil positif
Belum diperiksa
|
16
29
|
35,56
64,44
|
 Â
Tabel 3 Hasil pemeriksaan
SPT
Alergen
|
Jumlah
(n=16)
|
Persentase
(%)
|
Debu rumah
Bulu anjing
Gandum
Cokelat
Kacang mete
Kopi
Teh
Tomat
Wortel
Nanas
Kacang tanah
Susu sapi
Putih telur
Kuning telur
Tongkol
Cumi-cumi
Bandeng
Udang
Kakap
Kepiting
Kerang
|
4
5
2
3
3
1
4
6
4
2
6
2
3
6
3
5
2
1
5
3
4
|
25,00
31,25
12,50
18,75
18,75
6,25
25,00
37,50
25,00
12,50
37,50
12,50
18,75
37,50
18,75
31,25
12,50
6,25
11,11
6,67
8,89
|
*SPT = Skin
Prick Test
Pembahasan
Urtikaria merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat aktivasi
dan degranulasi sel mast
yang diikuti produksi histamin dan mediator lain sehingga
memicu aktivasi saraf sensorik, vasodilatasi dan ekstravasasi
sel. Urtikaria ditandai
oleh adanya edema sentral superfisial dengan batas yang tegas dan dikelilingi oleh reflex
erythema, terasa gatal atau menyebabkan sensasi terbakar dan bersifat sementara dimana kulit akan
kembali normal dalam 30 menit hingga 24 jam (Powell et al., 2015; Zuberbier et
al., 2022). Urtikaria kronis
didefinisikan sebagai urtikaria (wheals), angioedema, atau
keduanya yang muncul selama lebih dari
6 minggu (Powell et al., 2015; Zuberbier et
al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018).
Urtikaria kronis bermanifestasi sebagai edema sentral pucat berbatas
tegas yang dikelilingi oleh
eritema dengan ukuran dan jumlah yang bervariasi.(Debora & Zuraida, 2020)
Urtikaria ini seringkali terasa sangat gatal, meskipun pada sejumlah kasus urtikaria dapat disertai rasa terbakar atau tertusuk dan dapat terjadi secara
intermittent/recurrent atapun muncul terus-menerus setiap hari.3,4,7,8
The European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI) membagi urtikaria kronis menjadi chronic
spontaneous urticaria (CSU) dan urtikaria yang dapat diinduksi oleh stimulus fisik (inducible urticaria) (Colgecen et al., 2015; Sussman et
al., 2015; Zuberbier et al., 2022). Chronic
spontaneous urticaria (CSU) didefinisikan sebagai munculnya wheals, angioedema,
atau keduanya selama >6 minggu secara spontan oleh karena penyebab yang diketahui ataupun tidak diketahui. Salah satu contoh penyebab
CSU adalah autoimunitas tipe 1 (autoalergi) dan autoimunitas tipe IIb yang disebabkan oleh autoantibodi yang
mengaktifkan sel mast. Sejumlah pasien mengalami CSU yang dapat dicetuskan oleh faktor-faktor tertentu, dimana keberadaan faktor pencetus ini tidak
selalu menginduksi tanda dan gejala urtikaria. Inducible urticaria ditandai
oleh adanya pemicu yang jelas dan spesifik, dimana urtikaria kronis hanya muncul
saat terdapat faktor penginduksi tersebut (Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Inducible
urticaria disebabkan oleh stimulasi
dingin, panas, tekanan, getaran, air, sinar ultraviolet (UV), maupun olahraga (Fine & Bernstein, 2016; Powell et al., 2015; Zuberbier et al., 2022).
Prevalensi urtikaria kronis global diperkirakan sebesar 0,1-5%.16 Prevalensi urtikaria kronis berbeda di setiap negara. Prevalensi urtikaria kronis di Amerika Utara diperkirakan
sebesar 0,1%, Eropa 0,5%,
Amerika Latin 1,4% dan negara-negara Asia 1,5% (Beck et al., 2017; Darlenski et
al., 2014; Gonçalo et al., 2021). Systematic
review dengan meta-analisis
oleh Fricke et al. (2019)
melaporkan bahwa prevalensi urtikaria kronis ditemukan tertinggi di Asia sebesar 1,4%.(Fricke et al., 2020) Penelitian
oleh Wardhana (2017) di Bali melaporkan
terdapat 48,1% pasien urtikaria kronis dari seluruh pasien
urtikaria.29 Pada penelitian ini didapatkan pasien urtikaria kronis sebanyak 45 orang selama 4 tahun di RSUD Moewardi Surakarta.
Chronic spontaneous urticaria (CSU) paling sering ditemukan pada kelompok usia 20-45 tahun, meskipun semua kelompok usia memiliki
risiko untuk mengalami CSU.(Balp et al., 2015; Colgecen et al., 2015; Dionigi
et al., 2016; Fine & Bernstein, 2016) Rata-rata usia yang mengalami inducible
urticaria adalah 40 tahun,
meskipun sebanyak 22% pasien urtikaria kronis anak diketahui
memiliki inducible
urticaria (Gonçalo et al., 2021). Studi epidemiologi oleh Seo et al. (2019) di Korea Selatan
menemukan prevalensi urtikaria kronis tertinggi pada usia 40-59 tahun (Seo & Kwon, 2019). Hasil serupa
juga ditemukan pada penelitian
oleh Wertenteil dkk (2019) di Amerika Serikat memperkirakan prevalensi urtikaria kronis tertinggi ditemukan pada kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun (Wertenteil et al., 2019). Prevalensi urtikaria kronis pada anak di bawah 18 tahun adalah sebesar 1,4% dan anak di bawah 14 tahun sebesar 1%. Sementara itu, pasien berusia > 65 tahun terdapat 10-21,7% kasus pada urtikaria kronis (Gonçalo et al., 2021). Hasil
pada penelitian ini menunjukkan prevalensi urtikaria kronis tertinggi berada pada kelompok usia yang lebih tua dibandingkan
penelitian-penelitian lain,
yakni kelompok usia 51-60 tahun (26,67%). Namun, apabila disesuaikan dengan rentang usia yang digunakan pada prevalensi global,
maka kelompok usia 20-40 tahun pada penelitian kami juga merupakan kelompok dengan prevalensi tertinggi, yakni 37,78% (17/45 pasien) (Tabel 1). Perempuan diketahui
memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki untuk mengalami CSU.9 Perbedaan prevalensi urtikaria pada laki-laki dan perempuan ini tidak begitu
signifikan pada anak di bawah 15 tahun, pasien lanjut usia
maupun populasi Asia (Fricke et al., 2020; Gonçalo et
al., 2021). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urtikaria kronis diderita lebih banyak oleh perempuan, yakni sebanyak 73,33% (33/45 pasien) (Tabel 1). Dari hasil
penelitian tersebut, mayoritas perempuan yang memiliki risiko terjadinya CSU dikarenakan adanya pengaruh faktor hormonal seperti pubertas, kehamilan dan penggunaan kontrasepsi kombinasi.
Chronic spontaneous urticaria (CSU) merupakan subtipe urtikaria kronis yang paling sering ditemukan, dimana sebanyak dua pertiga kasus urtikaria kronis merupakan CSU (Balp et al., 2015; Beck et al.,
2017). Meski demikian,
sebanyak 7-30% pasien CSU mengalami inducible urticaria konkomitan.
Pada pasien dengan inducible
urticaria, dermografisme simptompatik
merupakan tipe inducible
urticaria yang paling sering ditemukan,
diikuti dengan urtikaria akibat suhu dingin dan delayed
pressure urticaria (Gonçalo et al., 2021). Sebanyak 50% pasien urtikaria kronis dapat mengalami resolusi spontan dalam 1 tahun, sementara 80% mengalami resolusi setelah 5 tahun. Faktor-faktor yang dikaitkan dengan kecepatan resolusi urtikaria adalah adanya pencetus fisik, angioedema dan autoantibodi
(Shahzad Mustafa & Sánchez-Borges, 2018).
Urtikaria merupakan penyakit yang didominasi oleh aktivitas sel mast (Zuberbier et al., 2022). Urtikaria kronis disebabkan oleh pelepasan
mediator bioaktif seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin, platelet-activating factor (PAF) dan sitokin-sitokin
oleh sel mast dan basofil setelah aktivasi sistem imun adaptif
maupun didapat (Asero et al., 2017; Fine &
Bernstein, 2016; Sussman et al., 2015; Zuberbier et
al., 2022). Mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast di
kulit selanjutnya mengaktifkan saraf sensoris serta memicu vasodilatasi, ekstravasasi plasma dan menarik sel-sel inflamasi ke lokasi urtikaria
(Zuberbier et al., 2022).
Urtikaria dapat terjadi akibat aktivasi sel mast oleh antibodi immunoglobulin E (IgE),
IgM atau IgG spesifik yang mengaktifasi jalur komplemen klasik (Fine & Bernstein, 2016; Sussman et al., 2015). Mediator
lain seperti neuropeptida, senyawa P, calcitonin gene related peptide dan
neurokinin A juga dapat mengaktivasi
sel mast dan basofil secara langsung melalui reseptor spesifik. Obat-obatan seperti asam asetilsalisilat
dan NSAID juga dapat menginduksi
urtikaria melalui jalur yang tidak dimediasi IgE (Fine & Bernstein, 2016).
Secara histologis wheals tampak sebagai edema pada bagian dermis atas dan tengah yang disertai dilatasi serta peningkatan permeabilitas venula
dan vasa limfatik pada dermis atas.
Pada lokasi munculnya urtika ditemukan juga infiltrat perivaskular yang mengandung sel T, eosinophil dan basofil.
Pada kulit pasien CSU yang tanpa lesi, ditemukan
adanya peningkatan jumlah molekul adhesi, eosinofil dan gangguan ekspresi sitokin, serta peningkatan jumlah sel mast derajat ringan-sedang. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme yang kompleks terkait terjadinya urtikaria kronis (Sussman et al., 2015).
Skin prick test (SPT) merupakan pemeriksaan yang dapat mengkonfirmasi adanya hipersensitifitas tipe I atau sensitisasi terhadap alergen tertentu dengan cara mendeteksi IgE spesifik (Anggraeni et al., 2021; Antunes et
al., 2009; Kulthanan et al., 2008). Skin
prick test (SPT) pertama kali digunakan
oleh Sir Thomas Lewis di tahun 1924.(Antunes et al., 2009) Pemeriksaan
ini sering digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan rhinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, riwayat atopik dan alergi makanan atau obat
(Heinzerling et al., 2013).
Pemeriksaan ini dianggap sebagai alat diagnostik yang baik untuk penyakit
yang terkait alergi karena mudah digunakan,
aman, akurat dan relatif murah (Anggraeni et al., 2021).
Skin prick test (SPT) dilakukan pada area volar lengan, 2-3 cm dari pergelangan tangan dan lipat siku (fossa antecubiti). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan di punggung terutama pada bayi. Jarak antara dua tusukan > 2 cm untuk menghindari hasil positif palsu akibat
kontaminasi alergen atau refleks akson
(Heinzerling et al., 2013).
Alergen yang diinjeksikan secara subkutan pada prosedur SPT akan berikatan dengan pre-formed IgE yang berikatan pada high-affinity
receptor/Fc epsilon reseptor IgE
(FcERI)
pada sel mast. Hal ini akan menyebabkan transduksi sinyal intraseluler dan degranulasi sel mast dalam beberapa detik. Histamin yang dilepaskan oleh sel mast akan menyebabkan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas vaskular. Reaksi berupa wheal muncul dalam hitungan menit dan bertahan hingga 30 menit. Sel mast yang telah aktif juga menghasilkan dan melepaskan kemokin,
prostaglandin, leukotriene, platelet activating factor (PAF),
interleukin (IL)-4 dan IL-13 yang semakin meningkatkan response sel Th2. Interpretasi hasil SPT didasarkan pada ukuran urtikaria (wheal) yang terbentuk.
Hasil negatif dapat digunakan untuk mengeksklusi adanya hipersensitifitas tipe I, namun hasil positif
belum tentu dapat disimpulkan relevan secara klinis.(Antunes et al., 2009) Hasil SPT dapat
dipengaruhi oleh reaktivitas
kulit, dimana pasien yang terpolisensitisasi biasanya menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi. Selain itu, SPT juga rentan terhadap inter-observer variability, histamine
equivalent prick (HEP)-index
area yang dapat digunakan untuk mengkoreksi faktor-faktor yang mempengaruhi hasil SPT tersebut (van der Valk et al., 2016). Histamine
equivalent prick-index dilakukan dengan membagi area atau diameter urtikaria yang diinduksi alergen dengan area atau diameter pada urtikaria kontrol (yang diinduksi histamin) (van der Valk et al., 2016).
Banyak pasien urtikaria kronis mengaitkan eksaserbasi urtikaria pada makanan, meskipun reaksi tersebut tidak segera muncul dan tidak konsisten. Meski demikian, pasien seringkali merasa cemas jika
makanan tertentu dapat menginduksi urtikaria yang dialami, sehingga pemeriksaan SPT dapat digunakan untuk memberikan edukasi pasien terkait hubungan antara alergen dengan gejala urtikaria
yang dialami. Secara keseluruhan, prevalensi hasil SPT positif pada pasien dengan urtikaria
kronis berkisar antara 26-64% (Kulthanan et al., 2008). Pada
penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Kulthanan dkk, dimana sebanyak 35,56% pasien urtikaria kronis menunjukkan hasil SPT positif (Tabel 2).
Penelitian oleh Criado pada 838 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 1-3% pasien mengalami pseudo-alergi terhadap makanan (Criado et al., 2015). Studi oleh Mahesh et
al. (2004) di India menemukan sebanyak 78 (64%) subjek dengan urtikaria kronis menunjukkan hasil SPT positif terhadap debu rumah
(D. pteronyssinus dan D. farniae) (Mahesh et al., 2005). Liutu
et al. (1998) melaporkan 47 pasien (51%) urtikaria kronis yang diteliti menunjukkan hasil SPT positif terhadap makanan dan aeroalergen, dimana 10 orang bereaksi terhadap makanan (sereal, udang, ikan, rempah-rempah, sayur, buah, kacang-kacangan,
daging, susu dan telur), 14
orang terhadap serbuk tanaman, 11 terhadap epitel dari hewan,
9 terhadap debu rumah dan 5 terhadap mold
dan yeast (Liutu et al., 1998). Penelitian yang dilakukan Kulthanan et al.
(2008) di Thailand terhadap 88 pasien urtikaria kronis menemukan sebanyak 47,7% pasien menunjukkan hasil positif pada SPT, dimana sebanyak 30% pasien menunjukkan SPT positif terhadap alergen makanan, 41% positif terhadap aeroallergen, dan 22,7% positif
terhadap keduanya.(Kulthanan et al., 2008) Caliskaner pada tahun 2004 di
Turki melaporkan bahwa 259 pasien urtikaria kronis dan angioedema tanpa riwayat rhinitis dan/atau asma menunjukkan bahwa sebanyak 27,4% subyek memiliki hasil SPT positif, dimana alergen yang paling sering ditemukan adalah debu rumah
(24,7%). Hasil SPT positif pada penelitian
tersebut dikaitkan dengan aeroalergen serbuk tanaman (7,7%) dan kecoak (0,8%). Proporsi pasien urtikaria kronis dengan hasil
SPT positif terhadap debu rumah lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol yang sehat, namun masih
lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol atopi. Selain itu, reaktivitas
terhadap aeroalergen pada kelompok urtikaria kronis juga tidak signifikan secara statistik dengan kelompok sehat.(Caliskaner et al., 2004; Criado et al., 2015) Hasil penelitian
kami sejalan dengan penelitian oleh Liutu (1998) dan Kulthanan (2008) yang telah dilakukan sebelumnya, dimana penyebab hasil positif terbanyak
adalah makanan (tomat, kacang tanah
dan telur) dengan persentase 37,50%. Perbedaan yang
ditemukan pada penelitian
kami adalah lebih rendahnya persentase hasil positif akibat
aeroallergen yang kami gunakan (debu
rumah dan bulu anjing) dibandingkan akibat makanan. Terdapat 16 pasien yang menunjukkan hasil SPT positif menunjukkan reaksi terhadap alergen makanan, sementara hanya 8 pasien (50%) yang menunjukkan reaksi terhadap aeroalergen (debu rumah atau bulu
anjing) (Tabel 3).
Lebih sedikitnya reaksi positif akibat aeroalergen pada penelitian kami mungkin disebabkan oleh jumlah jenis aeroalergen yang digunakan jauh lebih sedikit dibandingkan
alergen makanan. Meskipun pasien urtikaria kronis dapat menunjukkan hasil SPT positif, namun berbagai studi menyimpulkan bahwa adanya hasil
positif SPT memiliki relevansi klinis yang rendah terhadap urtikaria kronis. Adanya hasil positif
menunjukkan keberadaan IgE spesifik, namun
reaksi terhadap alergen dapat pula disebabkan oleh reaksi yang tidak dimediasi oleh IgE (Kulthanan et al., 2008). Penelitian oleh Augey yang dilakukan pada tahun 2006-2008 di
Prancis terhadap 128 pasien dengan urtikaria
kronis menemukan adanya hubungan urtikaria kronis dengan sensitisasi IgE dan alergi, dimana urtikaria kronis lebih sering
ditemukan pada pasien dengan sensitisasi IgE (Augey et al., 2011).
Hubungan antara makanan dengan urtikaria kronis diduga diperantarai oleh histamin, meskipun hubungan antara keduanya hingga kini masih kontroversial
(Criado et al., 2015; Kulthanan et al., 2008). Pasien
urtikaria kronis diduga mengalami intoleransi histamin akibat tingginya kadar histamin dalam diet dan/atau akibat metabolisme histamin yang abnormal (defisiensi
diamine oxidase). Enzim ini
merupakan enzim utama pada proses degradasi histamin yang bekerja pada mukosa usus halus. Konsumsi alkohol (anggur, bir) dan sejumlah obat (imipenem, dobutamin, pancuronium, pentamidin, salazosulfapyridin, verapamil, isoniazid, asam klavulanat, dihydralazin, klorokuin, sikloserin, asetilsistein, metoklorpramid dan sefuroksim) diketahui dapat menurunkan aktivitas diamine
oxidase sehingga menyebabkan
pasien lebih sensitif terhadap makanan tinggi histamin. Beberapa contoh makanan tinggi histamin antara lain ikan (tuna, sarden, teri), keju (Emmenthal, Gouda),
salami, sosis dan tomat. Sejumlah aditif makanan seperti sodium
metabisulfite, sodium benzoate, monosodium glutamate (MSG), sodium nitrat, tartrazine, erythrosine, sorbic acid, dan butylated
hydroxyanisole juga dapat memicu
atau memperburuk urtikaria melalui mekanisme pseudoalergi yang independen IgE (Criado et al., 2015; Kulthanan et al., 2008). Penelitian
ini sesuai dengan penjelasan terkait hubungan histamin dengan urtikaria kronis, yakni tingginya hasil SPT positif (37,50%) akibat tomat yang merupakan salah satu makanan tinggi histamin (Tabel 3).
Komorbiditas yang paling sering ditemukan pada pasien urtikaria kronis adalah penyakit autoimun, sindrom metabolik, infeksi dan alergi (Darlenski et al., 2014; Dionigi et al., 2016; Gonçalo et
al., 2021; Powell et al., 2015). Sebuah studi kohort longitudinal oleh Dionigi et al. (2014) terhadap
100 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 29% pasien terdiagnosis penyakit infeksi dan 21% terdiagnosis penyakit autoimun (Dionigi et al., 2016). Autoimunitas terkait tiroid ditemukan pada 4-37,1% pasien dengan CSU (Gonçalo et al., 2021). Data
dari 13.000 pasien urtikaria kronis menunjukkan bahwa pasien perempuan memiliki insidensi yang secara signifikan lebih tinggi untuk
menderita rheumatoid arthritis (RA), sindrom Sjorgen, celiac
disease, diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan systemic
lupus erythematosus (SLE), dimana diagnosis penyakit autoimun tersebut sebagian besar ditegakkan 10 tahun setelah diagnosis urtikaria kronis (Darlenski et al., 2014).
Salah satu mekanisme patogenik urtikaria kronis adalah histamine-releasing autoantibody pada pasien urtikaria kronis yang menunjukkan adanya autoimunitas sebagai dasar dari
kondisi ini (Asero et al., 2017). Sebanyak 40-50% anak dan dewasa dengan urtikaria
kronis diketahui memiliki autoantibodi terhadap FcER1 alpha-subunit of the high-affinity IgE receptor. Sejumlah studi telah membuktikan
bahwa antibodi IgG dapat mengalami cross-link dengan high-affinity IgE FcER1
pada sel mast dan basofil. Pasien dengan urtikaria
kronis diketahui mengalami peningkatan risiko kondisi autoimun seperti penyakit tiroid (hipotiroidisme), DM tipe 1, SLE
dan RA.(Fine & Bernstein, 2016)
Beberapa studi membuktikan adanya ko-eksistensi urtikaria kronis dengan sindrom
metabolik seperti hipertensi dan obesitas, dimana pasien dengan
urtikaria kronis dan sindrom metabolik memiliki karakteristik berupa usia yang lebih tua, memiliki
derajat penyakit yang lebih berat, menunjukkan
kadar biomarker inflamasi
yang lebih tinggi (eosinophil
cationic protein [ECP], tumor necrosis factor [TNF]-α, dan komplemen), serta lebih sering menunjukkan
hasil negatif pada autologous
serum skin test (ASST) dibandingkan pasien urtikaria kronis tanpa sindrom
metabolik. Hal ini membuktikan adanya kaitan urtikaria kronis dengan kondisi
pro-inflamasi sistemik (Asero et al., 2017; Darlenski et al., 2014; Gonçalo
et al., 2021). Asero pada tahun 2017 melaporkan pada populasi Asia juga menemukan bahwa urtikaria kronis lebih sering
ditemukan pada pasien yang telah terdiagnosis hiperlipidemia sebelumnya. Urtikaria kronis juga dikaitkan dengan peningkatan kadar adipokin (lipocalin-2,
IL-6, IL-10 dan TNF-α) dan penurunan kadar adiponectin (Asero et al., 2017).
Infeksi juga diduga memiliki kaitan dengan urtikaria kronis, terutama infeksi pada telinga-hidung-tenggorokan
(THT), gastrointestinal, dan gigi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori, Streptococcus spp.,
Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, virus hepatitis B dan C, parasit serta Human Herpes
Virus-6 (Criado et al., 2015; Darlenski et al., 2014; Gonçalo
et al., 2021). Penyakit Infeksi
seperti infeksi saluran kemih (ISK) dan sinusitis
merupakan diagnosis yang paling sering
diasosiasikan dengan urtikaria kronis, meskipun beberapa penyakit lain seperti tiroiditis dan hepatitis juga pernah
dilaporkan berkaitan dengan urtikaria kronis (Fine & Bernstein, 2016). Studi
oleh Colgecen et
al. (2015) terhadap 500 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 18,8% subyek mengalami minimal satu infeksi yang mungkin dapat dikaitkan
dengan etiologi urtikaria kronis, dimana pada 5,3% kasus gejala urtikaria mengalami resolusi setelah diberikan terapi terhadap infeksi yang diderita (Colgecen et al., 2015). Urtikaria kronis menyebabkan penurunan kualitas hidup yang signifikan, dimana sebanyak 30% pasien menderita komorbiditas terkait kesehatan mental seperti ansietas, depresi dan gangguan somatoform (Gonçalo et al., 2021; Powell et
al., 2015). Pada penelitian ini menunjukkan infeksi (gigi berlubang)
sebagai komorbiditas tersering, yakni sebanyak 7 pasien (15,56%). Sindrom metabolik berupa hipertensi dan diabetes
mellitus hanya ditemukan
pada 3 pasien (6,67%) (Tabel
1).Â
Prinsip manajemen urtikaria kronis adalah untuk mencapai
kontrol terkait gejala dan mencapai remisi (Sussman et al., 2015). Tatalaksana
non-medikamentosa utama adalah menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan eksaserbasi atau memicu munculnya
urtikaria kronis (Sussman et al., 2015). Hal ini
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu penyebab yang mendasari munculnya urtikaria kronis untuk kemudian
berusaha mengeliminasi faktor-faktor tersebut. Meski demikian, mengeliminasi penyebab urtikaria kronis sangat sulit dilakukan mengingat penyebab urtikaria kronis seringkali tidak diketahui. Menghindari faktor pemicu yang sering menyebabkan eksaserbasi CSU seperti stress
dan NSAIDs, atau menghindari
faktor-faktor yang menginduksi
Inducible urticaria seperti dingin dan panas, dapat membantu
menurunkan frekuensi eksaserbasi (Sussman et al., 2015; Zuberbier et
al., 2022).
Untuk mencapai remisi spontan, terapi medikamentosa dengan antihistamin-H1 generasi
kedua dianjurkan untuk diberikan secara berkelanjutan hingga pasien mencapai
remisi (Antia et al., 2018; Zuberbier et
al., 2022). Sejumlah pasien
dengan Inducible
urticaria juga dapat diberikan
terapi profilaktik dengan antihistamin kerja pendek sebelum
terpapar faktor pencetus tertentu. Pedoman European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI) tahun 2018 tidak
lagi merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi
pertama karena efek sampingnya yang cukup serius. Antihistamin-H1
generasi pertama terbukti mengganggu fase tidur rapid eye movement (REM),
mengganggu kemampuan belajar dan aktivitas
sensorimotor kompleks, serta
dapat menyebabkan overdosis yang lethal (Zuberbier et al., 2022). Antihistamin-H1
generasi pertama juga memiliki efek antikolinergik
yang kuat dan memiliki interaksi dengan alkohol atau obat
yang berefek pada sistem saraf pusat seperti
analgesik, hipnotik dan sedatif. Pedoman dari United State Joint Task Force Chronic Urticaria
Practice Parameter (US JTF) tahun 2014 masih merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi
pertama untuk ditambahkan jika antihistamin-H1
generasi kedua tidak dapat mencapai
kontrol gejala.
Antihistamin-H1 generasi pertama disarankan untuk diminum sebelum
tidur guna meminimalisir efek samping akibat sedasi dan penurunan neurokognisi (Zuberbier & Bernstein, 2018).
Antihistamin-H1 generasi
kedua seperti setirizin, levosetirizin, desloratadin, loratadin, bilastin, ebastin, feksofenadin dan rupatadin telah terbukti efektif dan aman digunakan untuk terapi urtikaria. Pedoman EAACI merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi
kedua dosis standar sebagai terapi lini pertama
pada urtikaria, meskipun rekomendasi terkait obat yang sebaiknya digunakan hingga kini belum ditentukan
(Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Sebanyak lebih dari 50% pasien urtikaria kronis diketahui tidak berespon terhadap terapi standar, sehingga dosis obat dapat ditingkatkan
hingga 2-4 kali lipat dosis standar (Antia et al., 2018; Beck et al., 2017; Zuberbier
et al., 2022). Peningkatan dosis obat dapat
dilakukan apabila dalam 2-4 minggu tidak terjadi perbaikan
gejala atau apabila gejala tidak bisa ditoleransi
pasien (Fricke et al., 2020; Zuberbier et
al., 2022). Meningkatkan dosis
antihistamin-H1 generasi kedua lebih direkomendasikan
oleh EAACI dibandingkan mengkombinasikan
beberapa antihistamin-H1 generasi
kedua karena tidak ada bukti
adanya peningkatan efikasi dengan penggunaan lebih dari 1 jenis antihistamin-H1
generasi kedua (Zuberbier & Bernstein, 2018).
Pedoman dari US JTF merekomendasikan penambahan jenis antihistamin-H1 generasi
kedua, antagonis-H2, leukotriene
receptor antagonist (LTRA), atau antihistamin-H1
generasi pertama apabila dengan 1 jenis antihistamin-H1 generasi
kedua dengan dosis maksimal tidak dapat mencapai
kontrol gejala (Zuberbier et al., 2022). Sejumlah studi menunjukkan bahwa penambahan antagonis-H2 (simetidin)
dapat meningkatkan waktu paruh antihistamin-H1
generasi kedua. Keuntungan penambahan LTRA ke dalam regimen terapi urtikaria kronis hingga kini
masih kontroversial. Meski demikian, sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan LTRA pada pasien urtikaria kronis dengan intoleransi aspirin atau aditif makanan
atau pasien dengan positive autologous serum skin test menunjukkan respons yang baik (Antia et al., 2018; Beck et al., 2017).
Pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi antihistamin-H1
generasi kedua (urtikaria kronis refrakter) dengan dosis yang sudah ditingkatkan, maka omalizumab dapat ditambahkan dalam regimen terapi