Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 8, Agustus 2024
PROFIL URTIKARIA
KRONIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE
JANUARI 2018-DESEMBER 2021
Wibisono Nugraha1, Alfina Rahma2, Dita Eka Novriana3, Rieska Widyaswari4, Muhammad Eko Irawanto5
Univesitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia1,2,3,4,5
Email: [email protected]1, [email protected]3, [email protected]4, [email protected]5
Abstrak
Urtikaria kronis merupakan urtikaria, angioedema, atau keduanya yang muncul selama lebih dari
6 minggu. Meskipun cukup jarang, urtikaria
kronis dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Patomekanisme
urtikaria kronis hingga kini belum
jelas, namun dikaitkan dengan baerbagai faktor imunologis yang dapat pula dikaitkan dengan berbagai komorbiditas.
Antihistamin-H1 generasi kedua merupakan tatalaksana utama urtikaria kronis. Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif yang melibatkan pasien urtikaria kronis dari Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018 sampai Desember 2021. Sebanyak 45 pasien urtikaria kronis diikutkan dalam penelitian ini. Sebagian besar sampel merupakan perempuan (73,33%). Kelompok usia dengan jumlah
pasien terbanyak adalah kelompok 51-60 tahun (26,67%). Sebanyak 53,33% pasien merupakan pekerja swasta. Hasil pemeriksaan skin prick test (SPT) positif pada 16 pasien. 16 belas pasien terbukti
memiliki alergi terhadap > 1 alergen makanan. Alergen makanan yang paling sering menyebabkan hasil positif adalah tomat, kacang tanah,
dan kuning telur. Sebanyak 12 pasien (26,67%) memiliki riwayat alergi, dimana alergi tersering adalah alergi dingin
(17,78%). Dari 45 pasien urtikaria
kronis, sebanyak 15 pasien (33,33%) memiliki penyakit penyerta/komorbid, dengan komorbid terbanyak gigi berlubang (15,56%). Sebagian
besar pasien (91,11%) menerima terapi oral
antihistamin-H1 generasi kedua (setirizin 10 mg) baik tunggal maupun
kombinasi dengan obat lain, sementara
4 pasien hanya menerima terapi topikal pelembab. Karakteristik pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta sesuai dengan karakteristik pasien urtikaria kronis secara globa.
Kata kunci: Angioedema, Antihistamin, Skin prick test, Urtikaria
kronis
Abstract
Chronic urticaria is wheals, angioedema, or both that lasts longer
than 6 weeks. Chronic urticaria, though uncommon, can have a negative impact on
a patient's quality of life. The pathomechanism of
chronic urticaria is unknown, but it is linked to a variety of immunological
factors, which can also be linked to a variety of comorbidities. Chronic
urticaria is treated primarily with second-generation H1
antihistamines. This was a retrospective descriptive study involving chronic
urticaria patients from the Dermatology and Venereology Polyclinic RSUD Dr. Moewardi Surakarta from January 2018 to December 2021. This
study included 45 chronic urticaria patients. The majority (73.33%) of the
sample is female, with 26,67% patients belonging to age group 51-60 years. Up
to 53.33% of patients are private employees. In 16 patients, the skin prick
test (SPT) was positive, all of whom were allergic to >1 food
allergens. Tomatoes, peanuts, and egg yolks are the food allergens that most
frequently produce positive results. Twelve patients (26.67%) had a history of
allergies, with cold allergy being the most common (17.78%). 15 (33.33%) of the
patients had co-morbidities, with cavities being the most common (15.56%). Up
to 91.11% patients received second-generation antihistamine-H1
(cetirizine 10 mg) alone or in combination with other drugs, while four
patients received only topical moisturizer. Characteristics of chronic
urticaria patients at the Dermatology and Venereology Polyclinic of RSUD Dr. Moewardi Surakarta are similar to globally.
Keywords: angioedema,
antihistamine, chronic urticaria, skin prick test
Pendahuluan
Urtikaria merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat aktivasi
dan degranulasi sel mast
yang diikuti produksi histamin dan mediator lain sehingga
memicu aktivasi saraf sensorik, vasodilatasi dan ekstravasasi
sel. Urtikaria umumnya hilang dalam 1-24 jam
Sebanyak 5-20% kasus urtikaria merupakan urtikaria kronis
Komorbiditas yang paling sering ditemukan pada pasien dengan CSU adalah inducible
urticaria, penyakit autoimun,
alergi dan sindrom metabolik
Tujuan utama manajemen urtikaria kronis adalah untuk
mengontrol gejala dan remisi. Prinsip tatalaksana dari urtikaria kronis adalah menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan eksaserbasi CSU seperti stress dan non-steroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs). Tatalaksana medikamentosa
lini pertama untuk urtikaria kronis berdasarkan The
European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) adalah antihistamin-H1 non sedatif
generasi kedua dan apabila belum dapat
mencapai remisi gejala, maka dosis
dapat ditingkatkan hingga 2-4 kali lipat. Terapi alternatif pada kondisi urtikaria kronis yang rekalsitran dapat ditambahkan dalam regimen terapi adalah omalizumab dan siklosporin.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018-Desember 2021.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif yang dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan
data sekunder dari rekam medis pasien
urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta periode Januari
2018-Desember 2021.
Alur penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis dan kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu pasien
dengan diagnosis urtikaria kronis yang berkunjung pada periode Januari 2018-Desember
2021, usia 11 tahun sampai > 60 tahun dan jenis kelamin. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan
data rekam medis yang tidak lengkap.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian yang dilakukan dengan mengambil data sekunder di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan 45 pasien urtikaria kronis pada periode Januari 2018 - Desember 2021. Karakteristik demografi menunjukkan jenis kelamin pasien urtikaria kronis terbanyak adalah perempuan dengan jumlah 33 pasien (73,33%), kelompok usia terbanyak
adalah kelompok usia 51-60 tahun dengan jumlah 12 pasien (26,67%), serta jenis pekerjaan terbanyak adalah swasta dengan jumlah
24 pasien (53,33%), sedangkan
sebanyak 15 pasien (33,33%)
memiliki penyakit penyerta/komorbid, dengan komorbid terbanyak adalah gigi berlubang, yakni sebanyak 7 pasien (15,56%) (Tabel 1)
Terapi yang didapatkan pasien urtikaria kronis yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada periode Januari 2018-Desember 2021 meliputi
terapi antihistamin oral, terapi pelembab topikal atau kombinasi
terapi antihistamin oral
dan pelembab topikal. Jenis terapi antihistamin
oral yang diberikan adalah setirizin 10 mg/24 jam, setirizin
10 mg/12 jam, loratadin 10 mg/24 jam dan desloratadin 5 mg/24 jam. Jenis terapi topikal yang diberikan adalah pelembab atopiclair® losion atau Soft U Derm®. Sebanyak 32 pasien (71,1%) mendapatkan terapi antihistamin oral saja, 4 pasien (8,89%) mendapatkan terapi pelembab topikal saja dan 9 pasien (19,99%) mendapatkan terapi kombinasi oral dan topikal (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik demografi
subjek penelitian
Karakteristik |
Jumlah (n=45) |
Persentase (%) |
Jenis Kelamin Laki - laki Perempuan Usia 11-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun >60 tahun Pekerjaan PNS* Swasta Pelajar/Mahasiswa Petani IRT* Pensiunan Lain-lain Jumlah pasien dengan
komorbid Diabetes Mellitus Hipertensi Rinitis Asma Gastritis Penyakit hepar Gigi berlubang Jenis terapi Antihistamin oral Pelembab topikal
tunggal Kombinasi antihistamin oral + pelembab topikal |
12 33 4 8 9 9 12 3 4 24 7 1 5 2 2 2 1 2 2 2 1 7 32 4 9 |
26,67 73,33 8,89 17,78 20,00 20,00 26,67 6,67 8,89 53,33 15,56 2,22 11,11 4,44 24,76 4,44 2,22 4,44 4,44 4,44 2,22 15,56 71,1 8,89 19,99 |
*PNS
= Pegawai Negeri Sipil. IRT
= Ibu Rumah Tangga
Sebanyak 16 pasien (35,56%) menunjukkan hasil pemeriksaan Skin Prick
Test (SPT) positif terhadap
sejumlah alergen (Tabel 2). Berdasarkan hasil pemeriksaan SPT didapatkan 16 pasien dengan hasil pemeriksaan
SPT positif menunjukkan reaksi positif terhadap satu atau
lebih alergen makanan. Alergen tersering penyebab hasil pemeriksaan SPT positif adalah tomat, kacang tanah
dan kuning telur dengan persentase hasil positif untuk
alergen-alergen tersebut sebesar masing-masing 6 dari 16 pasien (37,50%). Dari 16 pasien dengan SPT positif, terdapat 8 pasien (50%) yang menunjukkan reaksi positif terhadap aeroalergen (debu rumah dan/atau bulu anjing), dimana
hanya 1 pasien yang menunjukkan hasil positif terhadap kedua aeroallergen tersebut (Tabel 3).
Tabel 2. Pemeriksaan
Skin Prick Test (SPT) pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Januari 2018-Desember 2021
Pemeriksaan
SPT |
Jumlah
(n=45) |
Persentase
(%) |
Hasil positif Belum diperiksa |
16 29 |
35,56 64,44 |
Tabel 3 Hasil pemeriksaan
SPT
Alergen |
Jumlah
(n=16) |
Persentase
(%) |
Debu rumah Bulu anjing Gandum Cokelat Kacang mete Kopi Teh Tomat Wortel Nanas Kacang tanah Susu sapi Putih telur Kuning telur Tongkol Cumi-cumi Bandeng Udang Kakap Kepiting Kerang |
4 5 2 3 3 1 4 6 4 2 6 2 3 6 3 5 2 1 5 3 4 |
25,00 31,25 12,50 18,75 18,75 6,25 25,00 37,50 25,00 12,50 37,50 12,50 18,75 37,50 18,75 31,25 12,50 6,25 11,11 6,67 8,89 |
*SPT = Skin
Prick Test
Pembahasan
Urtikaria merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat aktivasi
dan degranulasi sel mast
yang diikuti produksi histamin dan mediator lain sehingga
memicu aktivasi saraf sensorik, vasodilatasi dan ekstravasasi
sel. Urtikaria ditandai
oleh adanya edema sentral superfisial dengan batas yang tegas dan dikelilingi oleh reflex
erythema, terasa gatal atau menyebabkan sensasi terbakar dan bersifat sementara dimana kulit akan
kembali normal dalam 30 menit hingga 24 jam
The European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI) membagi urtikaria kronis menjadi chronic
spontaneous urticaria (CSU) dan urtikaria yang dapat diinduksi oleh stimulus fisik (inducible urticaria)
Prevalensi urtikaria kronis global diperkirakan sebesar 0,1-5%.
Chronic spontaneous urticaria (CSU) paling sering ditemukan pada kelompok usia 20-45 tahun, meskipun semua kelompok usia memiliki
risiko untuk mengalami CSU.
Chronic spontaneous urticaria (CSU) merupakan subtipe urtikaria kronis yang paling sering ditemukan, dimana sebanyak dua pertiga kasus urtikaria kronis merupakan CSU
Urtikaria merupakan penyakit yang didominasi oleh aktivitas sel mast
Secara histologis wheals tampak sebagai edema pada bagian dermis atas dan tengah yang disertai dilatasi serta peningkatan permeabilitas venula
dan vasa limfatik pada dermis atas.
Pada lokasi munculnya urtika ditemukan juga infiltrat perivaskular yang mengandung sel T, eosinophil dan basofil.
Pada kulit pasien CSU yang tanpa lesi, ditemukan
adanya peningkatan jumlah molekul adhesi, eosinofil dan gangguan ekspresi sitokin, serta peningkatan jumlah sel mast derajat ringan-sedang. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme yang kompleks terkait terjadinya urtikaria kronis
Skin prick test (SPT) merupakan pemeriksaan yang dapat mengkonfirmasi adanya hipersensitifitas tipe I atau sensitisasi terhadap alergen tertentu dengan cara mendeteksi IgE spesifik
Skin prick test (SPT) dilakukan pada area volar lengan, 2-3 cm dari pergelangan tangan dan lipat siku (fossa antecubiti). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan di punggung terutama pada bayi. Jarak antara dua tusukan > 2 cm untuk menghindari hasil positif palsu akibat
kontaminasi alergen atau refleks akson
Banyak pasien urtikaria kronis mengaitkan eksaserbasi urtikaria pada makanan, meskipun reaksi tersebut tidak segera muncul dan tidak konsisten. Meski demikian, pasien seringkali merasa cemas jika
makanan tertentu dapat menginduksi urtikaria yang dialami, sehingga pemeriksaan SPT dapat digunakan untuk memberikan edukasi pasien terkait hubungan antara alergen dengan gejala urtikaria
yang dialami. Secara keseluruhan, prevalensi hasil SPT positif pada pasien dengan urtikaria
kronis berkisar antara 26-64%
Penelitian oleh Criado pada 838 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 1-3% pasien mengalami pseudo-alergi terhadap makanan
Hubungan antara makanan dengan urtikaria kronis diduga diperantarai oleh histamin, meskipun hubungan antara keduanya hingga kini masih kontroversial
Komorbiditas yang paling sering ditemukan pada pasien urtikaria kronis adalah penyakit autoimun, sindrom metabolik, infeksi dan alergi
Salah satu mekanisme patogenik urtikaria kronis adalah histamine-releasing autoantibody pada pasien urtikaria kronis yang menunjukkan adanya autoimunitas sebagai dasar dari
kondisi ini
Beberapa studi membuktikan adanya ko-eksistensi urtikaria kronis dengan sindrom
metabolik seperti hipertensi dan obesitas, dimana pasien dengan
urtikaria kronis dan sindrom metabolik memiliki karakteristik berupa usia yang lebih tua, memiliki
derajat penyakit yang lebih berat, menunjukkan
kadar biomarker inflamasi
yang lebih tinggi (eosinophil
cationic protein [ECP], tumor necrosis factor [TNF]-α, dan komplemen), serta lebih sering menunjukkan
hasil negatif pada autologous
serum skin test (ASST) dibandingkan pasien urtikaria kronis tanpa sindrom
metabolik. Hal ini membuktikan adanya kaitan urtikaria kronis dengan kondisi
pro-inflamasi sistemik
Infeksi juga diduga memiliki kaitan dengan urtikaria kronis, terutama infeksi pada telinga-hidung-tenggorokan
(THT), gastrointestinal, dan gigi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori, Streptococcus spp.,
Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, virus hepatitis B dan C, parasit serta Human Herpes
Virus-6
Prinsip manajemen urtikaria kronis adalah untuk mencapai
kontrol terkait gejala dan mencapai remisi
Untuk mencapai remisi spontan, terapi medikamentosa dengan antihistamin-H1 generasi
kedua dianjurkan untuk diberikan secara berkelanjutan hingga pasien mencapai
remisi
Antihistamin-H1 generasi
kedua seperti setirizin, levosetirizin, desloratadin, loratadin, bilastin, ebastin, feksofenadin dan rupatadin telah terbukti efektif dan aman digunakan untuk terapi urtikaria. Pedoman EAACI merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi
kedua dosis standar sebagai terapi lini pertama
pada urtikaria, meskipun rekomendasi terkait obat yang sebaiknya digunakan hingga kini belum ditentukan
Pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi antihistamin-H1
generasi kedua (urtikaria kronis refrakter) dengan dosis yang sudah ditingkatkan, maka omalizumab dapat ditambahkan dalam regimen terapi
Pasien yang tidak berespon secara adekuat terhadap terapi kombinasi omalizumab dan antihistamin dapat diberikan siklosporin 3,5-5 mg/kgBB/hari selama
4 minggu. Siklosporin merupakan agen immunosupresif yang memiliki efek langsung terhadap
pelepasan mediator inflamasi
oleh sel mast. Hingga kini, siklosporin masih merupakan terapi off-label untuk urtikaria, meskipun sejumlah placebo-controlled trial dan open-label
controlled trial telah membuktikan
efikasi ciclosporin yang dikombinasikan
dengan antihistamin-H1 generasi
kedua
Steroid sistemik merupakan terapi tambahan yang dapat diberikan pada pasien urtikaria kronis, utamanya pada pasien yang refrakter terhadap terapi antihistamin
Sebagian besar pasien pada penelitian ini mendapatkan terapi oral, baik tunggal maupun kombinasi, yakni sebanyak 41 pasien, sementara 4 pasien (8,89%) hanya mendapatkan terapi topikal. Dari 41 pasien terdapat 32 pasien menerima terapi antihistamin oral tunggal. Dengan demikian, regimen terapi yang digunakan pada penelitian kami telah mengikuti rekomendasi terapi baik dari EAACI maupun US JTF.
Kesimpulan
Pada penelitian ini ditemukan 45 pasien urtikaria kronis selama periode
Januari 2018 hingga Desember 2021 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jumlah pasien perempuan lebih banyak dibandingkan
laki-laki, dengan rentang usia terbanyak
berada pada kelompok usia 51-60 tahun. Sebanyak kurang dari 50% pasien urtikaria kronis yang kami teliti menunjukkan hasil SPT positif, yakni hanya 16 dari 45 pasien (35,56%). Keenambelas pasien menunjukkan hasil SPT positif terhadap alergen makanan dan tomat merupakan salah satu yang banyak ditemukan pada pemeriksaan SPT sebesar 37,5%. Sebagian besar pasien telah menerima
terapi berupa
antihistamin-H1 generasi kedua
sesuai dengan rekomendasi pedoman-pedoman internasional. Secara kesuluruhan, hasil penelitian kami sesuai dengan penelitian-penelitian lain
yang pernah dilakukan sebelumnya, meskipun penelitian di Asia dan Indonesia masih
sangat terbatas.
Anggraeni, S., Ayu Umborowati, M., Endaryanto, A., & Rosita Sigit
Prakoeswa, C. (2021). The Accuracy of Indonesian New
Local Skin Prick Test (SPT) Allergen Extracts as Diagnostic Tool of IgE-mediated Atopic Dermatitis. Indian Journal of
Forensic Medicine & Toxicology, 15(3).
Antia, C., Baquerizo, K., Korman, A., Alikhan, A., & Bernstein, J. A. (2018). Urticaria: A comprehensive review: Treatment of chronic urticaria, special populations, and disease outcomes. In Journal of the American Academy of Dermatology (Vol. 79, Issue 4, pp. 617–633). Mosby Inc. https://doi.org/10.1016/j.jaad.2018.01.023
Antunes, J., Borrego, L., Romeira, A., & Pinto, P. (2009). Skin prick tests and allergy diagnosis. In Allergologia et Immunopathologia (Vol. 37, Issue 3, pp. 155–164). https://doi.org/10.1016/S0301-0546(09)71728-8
Asero, R., Tedeschi, A., Marzano, A. V., & Cugno, M. (2017). Chronic urticaria: A focus on pathogenesis. In F1000Research (Vol. 6). Faculty of 1000 Ltd. https://doi.org/10.12688/f1000research.11546.1
Augey, F., Gunera-Saad, N., Bensaid, B., Nosbaum, A., Berard, F., & Nicolas, J. F. (2011). Chronic spontaneous urticaria is not an allergic disease. European Journal of Dermatology, 21(3), 349–353. https://doi.org/10.1684/ejd.2011.1285
Balp, M. M., Vietri, J., Tian, H., & Isherwood, G. (2015). The Impact of Chronic Urticaria from the Patient’s Perspective: A Survey in Five European Countries. Patient, 8(6), 551–558. https://doi.org/10.1007/s40271-015-0145-9
Beck, L. A., Bernstein, J. A., & Maurer, M. (2017). A review of international recommendations for the diagnosis and management of chronic urticaria. In Acta Dermato-Venereologica (Vol. 97, Issue 2, pp. 149–158). Medical Journals/Acta D-V. https://doi.org/10.2340/00015555-2496
Caliskaner, Z., Ozturk, S., Turan, M., & Karaayvaz, M. (2004). Skin test positivity to aeroallergens in the patients with chronic urticaria without allergic respiratory disease. Journal of Investigational Allergology & Clinical Immunology, 14(1), 50–54.
Colgecen, E., Ozyurt, K., Gul, A. I., & Utas, S. (2015). Evaluation of Etiological Factors in Patients with Chronic Urticaria. Acta Dermatovenerol Croat, 25(1), 36–42.
Criado, P. R., Criado, R. F. J., Maruta, C. W., & dos Reis, V. M. S. (2015). Chronic urticaria in adults: State-of-the-art in the new millennium. In Anais Brasileiros de Dermatologia (Vol. 90, Issue 1, pp. 74–89). Sociedade Brasileira de Dermatologia. https://doi.org/10.1590/abd1806-4841.20153509
Darlenski, R., Kazandjieva, J., Zuberbier, T., & Tsankov, N. (2014). Chronic urticaria as a systemic disease. In Clinics in Dermatology (Vol. 32, Issue 3, pp. 420–423). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2013.11.009
Debora, V., & Zuraida, R. (2020). Penatalaksanaan Holistik pada Remaja Laki-Laki dengan Urtikaria Kronik Tanpa Angioedema et causa Rangsangan Fisik. Medula, 9(4), 727–735.
Dionigi, P. C. L., Menezes, M. C. S., & Forte, W. C. N. (2016). A prospective ten-year follow-up of patients with chronic urticaria. Allergologia et Immunopathologia, 44(4), 286–291. https://doi.org/10.1016/j.aller.2015.10.004
Fine, L. M., & Bernstein, J. A. (2016). Guideline of chronic urticaria beyond. In Allergy, Asthma and Immunology Research (Vol. 8, Issue 5, pp. 396–403). Korean Academy of Asthma, Allergy and Clinical Immunology. https://doi.org/10.4168/aair.2016.8.5.396
Fricke, J., Ávila, G., Keller, T., Weller, K., Lau, S., Maurer, M., Zuberbier, T., & Keil, T. (2020). Prevalence of chronic urticaria in children and adults across the globe: Systematic review with meta-analysis. Allergy: European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 75(2), 423–432. https://doi.org/10.1111/all.14037
Gonçalo, M., Gimenéz-Arnau, A., Al-Ahmad, M., Ben-Shoshan, M., Bernstein, J. A., Ensina, L. F., Fomina, D., Galvàn, C. A., Godse, K., Grattan, C., Hide, M., Katelaris, C. H., Khoshkhui, M., Kocatürk, E., Kulthanan, K., Medina, I., Nasr, I., Peter, J., Staubach, P., … Maurer, M. (2021). The global burden of chronic urticaria for the patient and society*. British Journal of Dermatology, 184(2), 226–236. https://doi.org/10.1111/bjd.19561
Heinzerling, L., Mari, A., Bergmann, K. C., Bresciani, M., Burbach, G., Darsow, U., Durham, S., Fokkens, W., Gjomarkaj, M., Haahtela, T., Bom, A. T., Wöhrl, S., Maibach, H., & Lockey, R. (2013). The skin prick test - European standards. Clinical and Translational Allergy, 3(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/2045-7022-3-3
Kulthanan, K., Jiamton, S., Rutnin, N. O., Insawang, M., & Pinkaew, S. (2008). Prevalence and relevance of the positivity of skin prick testing in patients with chronic urticaria. Journal of Dermatology, 35(6), 330–335. https://doi.org/10.1111/j.1346-8138.2008.00477.x
Liutu, M., Kalimo, K., Uksila, J., & Kalimo, H. (1998). Etiologic aspects of chronic urticaria.
Mahesh, P., Kushalappa, P., Holla, A., & Vedanthan, P. (2005). House dust mite sensitivity is a factor in chronic urticaria. Indian J Dermatol Venerol Leprol, 71(2), 99–101.
Powell, R. J., Leech, S. C., Till, S., Huber, P. A. J., Nasser, S. M., & Clark, A. T. (2015). BSACI guideline for the management of chronic urticaria and angioedema. Clinical and Experimental Allergy, 45(3), 547–565. https://doi.org/10.1111/cea.12494
Seo, J. H., & Kwon, J. W. (2019). Epidemiology of urticaria including physical urticaria and angioedema in Korea. Korean Journal of Internal Medicine, 34(2), 418–425. https://doi.org/10.3904/kjim.2017.203
Shahzad Mustafa, S., & Sánchez-Borges, M. (2018). Chronic Urticaria: Comparisons of US, European, and Asian Guidelines. In Current Allergy and Asthma Reports (Vol. 18, Issue 7). Current Medicine Group LLC 1. https://doi.org/10.1007/s11882-018-0789-3
Sussman, G., Hébert, J., Gulliver, W., Lynde, C., Waserman, S., Kanani, A., Ben-Shoshan, M., Horemans, S., Barron, C., Betschel, S., Yang, W. H., Dutz, J., Shear, N., Lacuesta, G., Vadas, P., Kobayashi, K., Lima, H., & Simons, E. F. R. (2015). Insights and advances in chronic urticaria: A Canadian perspective. In Allergy, Asthma and Clinical Immunology (Vol. 11, Issue 1). BioMed Central Ltd. https://doi.org/10.1186/s13223-015-0072-2
van der Valk, J. P. M., Gerth Van Wijk, R., Hoorn, E., Groenendijk, L., Groenendijk, I. M., & de Jong, N. W. (2016). Measurement and interpretation of skin prick test results. Clinical and Translational Allergy, 6(1). https://doi.org/10.1186/s13601-016-0092-0
Wertenteil, S., Strunk, A., & Garg, A. (2019). Prevalence estimates for chronic urticaria in the United States: A sex- and age-adjusted population analysis. Journal of the American Academy of Dermatology, 81(1), 152–156. https://doi.org/10.1016/j.jaad.2019.02.064
Zuberbier, T., Abdul Latiff, A. H., Abuzakouk, M., Aquilina, S., Asero, R., Baker, D., Ballmer-Weber, B., Bangert, C., Ben-Shoshan, M., Bernstein, J. A., Bindslev-Jensen, C., Brockow, K., Brzoza, Z., Chong Neto, H. J., Church, M. K., Criado, P. R., Danilycheva, I. v., Dressler, C., Ensina, L. F., … Maurer, M. (2022). The international EAACI/GA2LEN/EuroGuiDerm/APAAACI guideline for the definition, classification, diagnosis, and management of urticaria. Allergy: European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 77(3), 734–766. https://doi.org/10.1111/all.15090
Zuberbier, T., & Bernstein, J. A. (2018). A Comparison of the United States and International Perspective on Chronic Urticaria Guidelines. In Journal of Allergy and Clinical Immunology: In Practice (Vol. 6, Issue 4, pp. 1144–1151). American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. https://doi.org/10.1016/j.jaip.2018.04.012
Copyright holder: Wibisono Nugraha, Alfina Rahma, Dita Eka Novriana, Rieska Widyaswari, Muhammad Eko Irawanto (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |