Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

PROFIL URTIKARIA KRONIS DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE JANUARI 2018-DESEMBER 2021

 

Wibisono Nugraha1, Alfina Rahma2, Dita Eka Novriana3, Rieska Widyaswari4, Muhammad Eko Irawanto5

Univesitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia1,2,3,4,5

Email: [email protected]1, [email protected]3, [email protected]4, [email protected]5

 

Abstrak

Urtikaria kronis merupakan urtikaria, angioedema, atau keduanya yang muncul selama lebih dari 6 minggu. Meskipun cukup jarang, urtikaria kronis dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Patomekanisme urtikaria kronis hingga kini belum jelas, namun dikaitkan dengan baerbagai faktor imunologis yang dapat pula dikaitkan dengan berbagai komorbiditas. Antihistamin-H1 generasi kedua merupakan tatalaksana utama urtikaria kronis. Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif yang melibatkan pasien urtikaria kronis dari Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018 sampai Desember 2021. Sebanyak 45 pasien urtikaria kronis diikutkan dalam penelitian ini. Sebagian besar sampel merupakan perempuan (73,33%). Kelompok usia dengan jumlah pasien terbanyak adalah kelompok 51-60 tahun (26,67%). Sebanyak 53,33% pasien merupakan pekerja swasta. Hasil pemeriksaan skin prick test (SPT) positif pada 16 pasien. 16 belas pasien terbukti memiliki alergi terhadap > 1 alergen makanan. Alergen makanan yang paling sering menyebabkan hasil positif adalah tomat, kacang tanah, dan kuning telur. Sebanyak 12 pasien (26,67%) memiliki riwayat alergi, dimana alergi tersering adalah alergi dingin (17,78%). Dari 45 pasien urtikaria kronis, sebanyak 15 pasien (33,33%) memiliki penyakit penyerta/komorbid, dengan komorbid terbanyak gigi berlubang (15,56%). Sebagian besar pasien (91,11%) menerima terapi oral antihistamin-H1 generasi kedua (setirizin 10 mg) baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain, sementara 4 pasien hanya menerima terapi topikal pelembab. Karakteristik pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta sesuai dengan karakteristik pasien urtikaria kronis secara globa.

Kata kunci: Angioedema, Antihistamin, Skin prick test, Urtikaria kronis

 

Abstract

Chronic urticaria is wheals, angioedema, or both that lasts longer than 6 weeks. Chronic urticaria, though uncommon, can have a negative impact on a patient's quality of life. The pathomechanism of chronic urticaria is unknown, but it is linked to a variety of immunological factors, which can also be linked to a variety of comorbidities. Chronic urticaria is treated primarily with second-generation H1 antihistamines. This was a retrospective descriptive study involving chronic urticaria patients from the Dermatology and Venereology Polyclinic RSUD Dr. Moewardi Surakarta from January 2018 to December 2021. This study included 45 chronic urticaria patients. The majority (73.33%) of the sample is female, with 26,67% patients belonging to age group 51-60 years. Up to 53.33% of patients are private employees. In 16 patients, the skin prick test (SPT) was positive, all of whom were allergic to >1 food allergens. Tomatoes, peanuts, and egg yolks are the food allergens that most frequently produce positive results. Twelve patients (26.67%) had a history of allergies, with cold allergy being the most common (17.78%). 15 (33.33%) of the patients had co-morbidities, with cavities being the most common (15.56%). Up to 91.11% patients received second-generation antihistamine-H1 (cetirizine 10 mg) alone or in combination with other drugs, while four patients received only topical moisturizer. Characteristics of chronic urticaria patients at the Dermatology and Venereology Polyclinic of RSUD Dr. Moewardi Surakarta are similar to globally.

Keywords: angioedema, antihistamine, chronic urticaria, skin prick test

 

Pendahuluan

Urtikaria merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat aktivasi dan degranulasi sel mast yang diikuti produksi histamin dan mediator lain sehingga memicu aktivasi saraf sensorik, vasodilatasi dan ekstravasasi sel. Urtikaria umumnya hilang dalam 1-24 jam (Beck et al., 2017; Debora & Zuraida, 2020). Gejala utama urtikaria adalah rasa gatal atau pruritus.(Sussman et al., 2015) Urtikaria kronis didefinisikan sebagai urtika, angioedema atau keduanya yang muncul selama lebih dari 6 minggu (Powell et al., 2015; Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Urtikaria kronis dapat bermanifestasi sebagai wheals dengan berbagai bentuk dan ukuran tanpa disertai adanya perubahan pada epidermis (skuama,krusta) atau angioedema pada membran mukosa proksimal (edema okular atau bibir) atau edema perifer berat. The European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) membagi urtikaria kronis menjadi chronic spontaneous urticaria (CSU) dan urtikaria yang dapat diinduksi oleh stimulus fisik (inducible urticaria) (Colgecen et al., 2015; Sussman et al., 2015; Zuberbier et al., 2022). Beberapa pasien dapat pula mengalami lebih dari satu subtipe urtikaria (Beck et al., 2017; Zuberbier et al., 2022).

Sebanyak 5-20% kasus urtikaria merupakan urtikaria kronis (Colgecen et al., 2015). Urtikaria kronis mengenai 0,1-5% individu di seluruh dunia (Dionigi et al., 2016; Fine & Bernstein, 2016; Fricke et al., 2020; Powell et al., 2015). Prevalensi urtikaria kronis berbeda-beda di tiap negara. Prevalensi urtikaria kronis di Amerika Utara diperkirakan sebesar 0,1%, Eropa 0,5%, Amerika Latin 1,4% dan negara-negara Asia sebesar 1,5% (Gonçalo et al., 2021). Chronic spontaneous urticaria (CSU) merupakan subtipe urtikaria kronis yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak dua pertiga kasus urtikaria (Balp et al., 2015; Beck et al., 2017). Chronic spontaneous urticaria (CSU) paling sering ditemukan pada kelompok usia 20-45 tahun, meskipun semua kelompok usia memiliki risiko untuk mengalami CSU. Perempuan memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi mengalami CSU dibandingkan laki-laki (Balp et al., 2015; Colgecen et al., 2015; Dionigi et al., 2016; Fricke et al., 2020; Gonçalo et al., 2021).

Komorbiditas yang paling sering ditemukan pada pasien dengan CSU adalah inducible urticaria, penyakit autoimun, alergi dan sindrom metabolik (Powell et al., 2015). Diagnosis penyakit autoimun seringkali ditegakkan setelah pasien terdiagnosis urtikaria kronis (Darlenski et al., 2014; Dionigi et al., 2016). Etiologi urtikaria kronis diduga berkaitan dengan infeksi, gangguan metabolik dan hormonal, keganasan serta faktor emosional, meskipun belum ditemukan bukti yang kuat terkait hubungan tersebut (Colgecen et al., 2015; Criado et al., 2015). Infeksi yang diduga memiliki kaitan dengan urtikaria kronis adalah infeksi telinga-hidung-tenggorokan (THT), gastrointestinal dan gigi (Criado et al., 2015; Darlenski et al., 2014). Studi oleh Balp et al. (2015) melaporkan bahwa CSU juga dikaitkan dengan munculnya gangguan mental seperti depresi, ansietas, disfungsi seksual dan gangguan tidur (Balp et al., 2015; Powell et al., 2015).

Tujuan utama manajemen urtikaria kronis adalah untuk mengontrol gejala dan remisi. Prinsip tatalaksana dari urtikaria kronis adalah menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan eksaserbasi CSU seperti stress dan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). Tatalaksana medikamentosa lini pertama untuk urtikaria kronis berdasarkan The European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) adalah antihistamin-H1 non sedatif generasi kedua dan apabila belum dapat mencapai remisi gejala, maka dosis dapat ditingkatkan hingga 2-4 kali lipat. Terapi alternatif pada kondisi urtikaria kronis yang rekalsitran dapat ditambahkan dalam regimen terapi adalah omalizumab dan siklosporin. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018-Desember 2021.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif yang dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2018-Desember 2021.

Alur penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis dan kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu pasien dengan diagnosis urtikaria kronis yang berkunjung pada periode Januari 2018-Desember 2021, usia 11 tahun sampai > 60 tahun dan jenis kelamin. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap.

 

Hasil dan Pembahasan

Penelitian yang dilakukan dengan mengambil data sekunder di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan 45 pasien urtikaria kronis pada periode Januari 2018 - Desember 2021. Karakteristik demografi menunjukkan jenis kelamin pasien urtikaria kronis terbanyak adalah perempuan dengan jumlah 33 pasien (73,33%), kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 51-60 tahun dengan jumlah 12 pasien (26,67%), serta jenis pekerjaan terbanyak adalah swasta dengan jumlah 24 pasien (53,33%), sedangkan sebanyak 15 pasien (33,33%) memiliki penyakit penyerta/komorbid, dengan komorbid terbanyak adalah gigi berlubang, yakni sebanyak 7 pasien (15,56%) (Tabel 1)

Terapi yang didapatkan pasien urtikaria kronis yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada periode Januari 2018-Desember 2021 meliputi terapi antihistamin oral, terapi pelembab topikal atau kombinasi terapi antihistamin oral dan pelembab topikal. Jenis terapi antihistamin oral yang diberikan adalah setirizin 10 mg/24 jam, setirizin 10 mg/12 jam, loratadin 10 mg/24 jam dan desloratadin 5 mg/24 jam. Jenis terapi topikal yang diberikan adalah pelembab atopiclair® losion atau Soft U Derm®. Sebanyak 32 pasien (71,1%) mendapatkan terapi antihistamin oral saja, 4 pasien (8,89%) mendapatkan terapi pelembab topikal saja dan 9 pasien (19,99%) mendapatkan terapi kombinasi oral dan topikal (Tabel 1).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1. Karakteristik demografi subjek penelitian

Karakteristik

Jumlah (n=45)

Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki - laki

Perempuan

Usia

11-20 tahun

21-30 tahun

31-40 tahun

41-50 tahun

51-60 tahun

>60 tahun

Pekerjaan

PNS*

Swasta

Pelajar/Mahasiswa

Petani

IRT*

Pensiunan

Lain-lain

Jumlah pasien dengan komorbid

Diabetes Mellitus

Hipertensi

Rinitis

Asma

Gastritis

Penyakit hepar

Gigi berlubang

Jenis terapi

Antihistamin oral

Pelembab topikal tunggal

Kombinasi antihistamin oral + pelembab topikal

 

 

12

33

 

4

8

9

9

12

3

 

4

24

7

1

5

2

2

 

2

1

2

2

2

1

7

 

32

4

9

 

 

26,67

73,33

 

8,89

17,78

20,00

20,00

26,67

6,67

 

8,89

53,33

15,56

2,22

11,11

4,44

24,76

 

4,44

2,22

4,44

4,44

4,44

2,22

   15,56

 

71,1

8,89

19,99

 

*PNS = Pegawai Negeri Sipil. IRT = Ibu Rumah Tangga

 

Sebanyak 16 pasien (35,56%) menunjukkan hasil pemeriksaan Skin Prick Test (SPT) positif terhadap sejumlah alergen (Tabel 2). Berdasarkan hasil pemeriksaan SPT didapatkan 16 pasien dengan hasil pemeriksaan SPT positif menunjukkan reaksi positif terhadap satu atau lebih alergen makanan. Alergen tersering penyebab hasil pemeriksaan SPT positif adalah tomat, kacang tanah dan kuning telur dengan persentase hasil positif untuk alergen-alergen tersebut sebesar masing-masing 6 dari 16 pasien (37,50%). Dari 16 pasien dengan SPT positif, terdapat 8 pasien (50%) yang menunjukkan reaksi positif terhadap aeroalergen (debu rumah dan/atau bulu anjing), dimana hanya 1 pasien yang menunjukkan hasil positif terhadap kedua aeroallergen tersebut (Tabel 3).

 

 

 

 

Tabel 2. Pemeriksaan Skin Prick Test (SPT) pasien urtikaria kronis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta Januari 2018-Desember 2021

Pemeriksaan SPT

Jumlah (n=45)

Persentase (%)

Hasil positif

Belum diperiksa

16

29

35,56

64,44

  

Tabel 3 Hasil pemeriksaan SPT

Alergen

Jumlah (n=16)

Persentase (%)

Debu rumah

Bulu anjing

Gandum

Cokelat

Kacang mete

Kopi

Teh

Tomat

Wortel

Nanas

Kacang tanah

Susu sapi

Putih telur

Kuning telur

Tongkol

Cumi-cumi

Bandeng

Udang

Kakap

Kepiting

Kerang

 

4

5

2

3

3

1

4

6

4

2

6

2

3

6

3

5

2

1

5

3

4

25,00

31,25

12,50

18,75

18,75

6,25

25,00

37,50

25,00

12,50

37,50

12,50

18,75

37,50

18,75

31,25

12,50

6,25

11,11

6,67

8,89

*SPT = Skin Prick Test

 

Pembahasan

Urtikaria merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat aktivasi dan degranulasi sel mast yang diikuti produksi histamin dan mediator lain sehingga memicu aktivasi saraf sensorik, vasodilatasi dan ekstravasasi sel. Urtikaria ditandai oleh adanya edema sentral superfisial dengan batas yang tegas dan dikelilingi oleh reflex erythema, terasa gatal atau menyebabkan sensasi terbakar dan bersifat sementara dimana kulit akan kembali normal dalam 30 menit hingga 24 jam (Powell et al., 2015; Zuberbier et al., 2022). Urtikaria kronis didefinisikan sebagai urtikaria (wheals), angioedema, atau keduanya yang muncul selama lebih dari 6 minggu (Powell et al., 2015; Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Urtikaria kronis bermanifestasi sebagai edema sentral pucat berbatas tegas yang dikelilingi oleh eritema dengan ukuran dan jumlah yang bervariasi.(Debora & Zuraida, 2020) Urtikaria ini seringkali terasa sangat gatal, meskipun pada sejumlah kasus urtikaria dapat disertai rasa terbakar atau tertusuk dan dapat terjadi secara intermittent/recurrent atapun muncul terus-menerus setiap hari.3,4,7,8

The European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) membagi urtikaria kronis menjadi chronic spontaneous urticaria (CSU) dan urtikaria yang dapat diinduksi oleh stimulus fisik (inducible urticaria) (Colgecen et al., 2015; Sussman et al., 2015; Zuberbier et al., 2022). Chronic spontaneous urticaria (CSU) didefinisikan sebagai munculnya wheals, angioedema, atau keduanya selama >6 minggu secara spontan oleh karena penyebab yang diketahui ataupun tidak diketahui. Salah satu contoh penyebab CSU adalah autoimunitas tipe 1 (autoalergi) dan autoimunitas tipe IIb yang disebabkan oleh autoantibodi yang mengaktifkan sel mast. Sejumlah pasien mengalami CSU yang dapat dicetuskan oleh faktor-faktor tertentu, dimana keberadaan faktor pencetus ini tidak selalu menginduksi tanda dan gejala urtikaria. Inducible urticaria ditandai oleh adanya pemicu yang jelas dan spesifik, dimana urtikaria kronis hanya muncul saat terdapat faktor penginduksi tersebut (Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Inducible urticaria disebabkan oleh stimulasi dingin, panas, tekanan, getaran, air, sinar ultraviolet (UV), maupun olahraga (Fine & Bernstein, 2016; Powell et al., 2015; Zuberbier et al., 2022).

Prevalensi urtikaria kronis global diperkirakan sebesar 0,1-5%.16 Prevalensi urtikaria kronis berbeda di setiap negara. Prevalensi urtikaria kronis di Amerika Utara diperkirakan sebesar 0,1%, Eropa 0,5%, Amerika Latin 1,4% dan negara-negara Asia 1,5% (Beck et al., 2017; Darlenski et al., 2014; Gonçalo et al., 2021). Systematic review dengan meta-analisis oleh Fricke et al. (2019) melaporkan bahwa prevalensi urtikaria kronis ditemukan tertinggi di Asia sebesar 1,4%.(Fricke et al., 2020) Penelitian oleh Wardhana (2017) di Bali melaporkan terdapat 48,1% pasien urtikaria kronis dari seluruh pasien urtikaria.29 Pada penelitian ini didapatkan pasien urtikaria kronis sebanyak 45 orang selama 4 tahun di RSUD Moewardi Surakarta.

Chronic spontaneous urticaria (CSU) paling sering ditemukan pada kelompok usia 20-45 tahun, meskipun semua kelompok usia memiliki risiko untuk mengalami CSU.(Balp et al., 2015; Colgecen et al., 2015; Dionigi et al., 2016; Fine & Bernstein, 2016) Rata-rata usia yang mengalami inducible urticaria adalah 40 tahun, meskipun sebanyak 22% pasien urtikaria kronis anak diketahui memiliki inducible urticaria (Gonçalo et al., 2021). Studi epidemiologi oleh Seo et al. (2019) di Korea Selatan menemukan prevalensi urtikaria kronis tertinggi pada usia 40-59 tahun (Seo & Kwon, 2019). Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian oleh Wertenteil dkk (2019) di Amerika Serikat memperkirakan prevalensi urtikaria kronis tertinggi ditemukan pada kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun (Wertenteil et al., 2019). Prevalensi urtikaria kronis pada anak di bawah 18 tahun adalah sebesar 1,4% dan anak di bawah 14 tahun sebesar 1%. Sementara itu, pasien berusia > 65 tahun terdapat 10-21,7% kasus pada urtikaria kronis (Gonçalo et al., 2021). Hasil pada penelitian ini menunjukkan prevalensi urtikaria kronis tertinggi berada pada kelompok usia yang lebih tua dibandingkan penelitian-penelitian lain, yakni kelompok usia 51-60 tahun (26,67%). Namun, apabila disesuaikan dengan rentang usia yang digunakan pada prevalensi global, maka kelompok usia 20-40 tahun pada penelitian kami juga merupakan kelompok dengan prevalensi tertinggi, yakni 37,78% (17/45 pasien) (Tabel 1). Perempuan diketahui memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki untuk mengalami CSU.9 Perbedaan prevalensi urtikaria pada laki-laki dan perempuan ini tidak begitu signifikan pada anak di bawah 15 tahun, pasien lanjut usia maupun populasi Asia (Fricke et al., 2020; Gonçalo et al., 2021). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urtikaria kronis diderita lebih banyak oleh perempuan, yakni sebanyak 73,33% (33/45 pasien) (Tabel 1). Dari hasil penelitian tersebut, mayoritas perempuan yang memiliki risiko terjadinya CSU dikarenakan adanya pengaruh faktor hormonal seperti pubertas, kehamilan dan penggunaan kontrasepsi kombinasi.

Chronic spontaneous urticaria (CSU) merupakan subtipe urtikaria kronis yang paling sering ditemukan, dimana sebanyak dua pertiga kasus urtikaria kronis merupakan CSU (Balp et al., 2015; Beck et al., 2017). Meski demikian, sebanyak 7-30% pasien CSU mengalami inducible urticaria konkomitan. Pada pasien dengan inducible urticaria, dermografisme simptompatik merupakan tipe inducible urticaria yang paling sering ditemukan, diikuti dengan urtikaria akibat suhu dingin dan delayed pressure urticaria (Gonçalo et al., 2021). Sebanyak 50% pasien urtikaria kronis dapat mengalami resolusi spontan dalam 1 tahun, sementara 80% mengalami resolusi setelah 5 tahun. Faktor-faktor yang dikaitkan dengan kecepatan resolusi urtikaria adalah adanya pencetus fisik, angioedema dan autoantibodi (Shahzad Mustafa & Sánchez-Borges, 2018).

Urtikaria merupakan penyakit yang didominasi oleh aktivitas sel mast (Zuberbier et al., 2022). Urtikaria kronis disebabkan oleh pelepasan mediator bioaktif seperti histamin, leukotrien, prostaglandin, platelet-activating factor (PAF) dan sitokin-sitokin oleh sel mast dan basofil setelah aktivasi sistem imun adaptif maupun didapat (Asero et al., 2017; Fine & Bernstein, 2016; Sussman et al., 2015; Zuberbier et al., 2022). Mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast di kulit selanjutnya mengaktifkan saraf sensoris serta memicu vasodilatasi, ekstravasasi plasma dan menarik sel-sel inflamasi ke lokasi urtikaria (Zuberbier et al., 2022). Urtikaria dapat terjadi akibat aktivasi sel mast oleh antibodi immunoglobulin E (IgE), IgM atau IgG spesifik yang mengaktifasi jalur komplemen klasik (Fine & Bernstein, 2016; Sussman et al., 2015). Mediator lain seperti neuropeptida, senyawa P, calcitonin gene related peptide dan neurokinin A juga dapat mengaktivasi sel mast dan basofil secara langsung melalui reseptor spesifik. Obat-obatan seperti asam asetilsalisilat dan NSAID juga dapat menginduksi urtikaria melalui jalur yang tidak dimediasi IgE (Fine & Bernstein, 2016).

Secara histologis wheals tampak sebagai edema pada bagian dermis atas dan tengah yang disertai dilatasi serta peningkatan permeabilitas venula dan vasa limfatik pada dermis atas. Pada lokasi munculnya urtika ditemukan juga infiltrat perivaskular yang mengandung sel T, eosinophil dan basofil. Pada kulit pasien CSU yang tanpa lesi, ditemukan adanya peningkatan jumlah molekul adhesi, eosinofil dan gangguan ekspresi sitokin, serta peningkatan jumlah sel mast derajat ringan-sedang. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme yang kompleks terkait terjadinya urtikaria kronis (Sussman et al., 2015).

Skin prick test (SPT) merupakan pemeriksaan yang dapat mengkonfirmasi adanya hipersensitifitas tipe I atau sensitisasi terhadap alergen tertentu dengan cara mendeteksi IgE spesifik (Anggraeni et al., 2021; Antunes et al., 2009; Kulthanan et al., 2008). Skin prick test (SPT) pertama kali digunakan oleh Sir Thomas Lewis di tahun 1924.(Antunes et al., 2009) Pemeriksaan ini sering digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan rhinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, riwayat atopik dan alergi makanan atau obat (Heinzerling et al., 2013). Pemeriksaan ini dianggap sebagai alat diagnostik yang baik untuk penyakit yang terkait alergi karena mudah digunakan, aman, akurat dan relatif murah (Anggraeni et al., 2021).

Skin prick test (SPT) dilakukan pada area volar lengan, 2-3 cm dari pergelangan tangan dan lipat siku (fossa antecubiti). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan di punggung terutama pada bayi. Jarak antara dua tusukan > 2 cm untuk menghindari hasil positif palsu akibat kontaminasi alergen atau refleks akson (Heinzerling et al., 2013). Alergen yang diinjeksikan secara subkutan pada prosedur SPT akan berikatan dengan pre-formed IgE yang berikatan pada high-affinity receptor/Fc epsilon reseptor IgE (FcERI) pada sel mast. Hal ini akan menyebabkan transduksi sinyal intraseluler dan degranulasi sel mast dalam beberapa detik. Histamin yang dilepaskan oleh sel mast akan menyebabkan peningkatan aliran darah dan permeabilitas vaskular. Reaksi berupa wheal muncul dalam hitungan menit dan bertahan hingga 30 menit. Sel mast yang telah aktif juga menghasilkan dan melepaskan kemokin, prostaglandin, leukotriene, platelet activating factor (PAF), interleukin (IL)-4 dan IL-13 yang semakin meningkatkan response sel Th2. Interpretasi hasil SPT didasarkan pada ukuran urtikaria (wheal) yang terbentuk. Hasil negatif dapat digunakan untuk mengeksklusi adanya hipersensitifitas tipe I, namun hasil positif belum tentu dapat disimpulkan relevan secara klinis.(Antunes et al., 2009) Hasil SPT dapat dipengaruhi oleh reaktivitas kulit, dimana pasien yang terpolisensitisasi biasanya menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi. Selain itu, SPT juga rentan terhadap inter-observer variability, histamine equivalent prick (HEP)-index area yang dapat digunakan untuk mengkoreksi faktor-faktor yang mempengaruhi hasil SPT tersebut (van der Valk et al., 2016). Histamine equivalent prick-index dilakukan dengan membagi area atau diameter urtikaria yang diinduksi alergen dengan area atau diameter pada urtikaria kontrol (yang diinduksi histamin) (van der Valk et al., 2016).

Banyak pasien urtikaria kronis mengaitkan eksaserbasi urtikaria pada makanan, meskipun reaksi tersebut tidak segera muncul dan tidak konsisten. Meski demikian, pasien seringkali merasa cemas jika makanan tertentu dapat menginduksi urtikaria yang dialami, sehingga pemeriksaan SPT dapat digunakan untuk memberikan edukasi pasien terkait hubungan antara alergen dengan gejala urtikaria yang dialami. Secara keseluruhan, prevalensi hasil SPT positif pada pasien dengan urtikaria kronis berkisar antara 26-64% (Kulthanan et al., 2008). Pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Kulthanan dkk, dimana sebanyak 35,56% pasien urtikaria kronis menunjukkan hasil SPT positif (Tabel 2).

Penelitian oleh Criado pada 838 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 1-3% pasien mengalami pseudo-alergi terhadap makanan (Criado et al., 2015). Studi oleh Mahesh et al. (2004) di India menemukan sebanyak 78 (64%) subjek dengan urtikaria kronis menunjukkan hasil SPT positif terhadap debu rumah (D. pteronyssinus dan D. farniae) (Mahesh et al., 2005). Liutu et al. (1998) melaporkan 47 pasien (51%) urtikaria kronis yang diteliti menunjukkan hasil SPT positif terhadap makanan dan aeroalergen, dimana 10 orang bereaksi terhadap makanan (sereal, udang, ikan, rempah-rempah, sayur, buah, kacang-kacangan, daging, susu dan telur), 14 orang terhadap serbuk tanaman, 11 terhadap epitel dari hewan, 9 terhadap debu rumah dan 5 terhadap mold dan yeast (Liutu et al., 1998). Penelitian yang dilakukan Kulthanan et al. (2008) di Thailand terhadap 88 pasien urtikaria kronis menemukan sebanyak 47,7% pasien menunjukkan hasil positif pada SPT, dimana sebanyak 30% pasien menunjukkan SPT positif terhadap alergen makanan, 41% positif terhadap aeroallergen, dan 22,7% positif terhadap keduanya.(Kulthanan et al., 2008) Caliskaner pada tahun 2004 di Turki melaporkan bahwa 259 pasien urtikaria kronis dan angioedema tanpa riwayat rhinitis dan/atau asma menunjukkan bahwa sebanyak 27,4% subyek memiliki hasil SPT positif, dimana alergen yang paling sering ditemukan adalah debu rumah (24,7%). Hasil SPT positif pada penelitian tersebut dikaitkan dengan aeroalergen serbuk tanaman (7,7%) dan kecoak (0,8%). Proporsi pasien urtikaria kronis dengan hasil SPT positif terhadap debu rumah lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yang sehat, namun masih lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol atopi. Selain itu, reaktivitas terhadap aeroalergen pada kelompok urtikaria kronis juga tidak signifikan secara statistik dengan kelompok sehat.(Caliskaner et al., 2004; Criado et al., 2015) Hasil penelitian kami sejalan dengan penelitian oleh Liutu (1998) dan Kulthanan (2008) yang telah dilakukan sebelumnya, dimana penyebab hasil positif terbanyak adalah makanan (tomat, kacang tanah dan telur) dengan persentase 37,50%. Perbedaan yang ditemukan pada penelitian kami adalah lebih rendahnya persentase hasil positif akibat aeroallergen yang kami gunakan (debu rumah dan bulu anjing) dibandingkan akibat makanan. Terdapat 16 pasien yang menunjukkan hasil SPT positif menunjukkan reaksi terhadap alergen makanan, sementara hanya 8 pasien (50%) yang menunjukkan reaksi terhadap aeroalergen (debu rumah atau bulu anjing) (Tabel 3). Lebih sedikitnya reaksi positif akibat aeroalergen pada penelitian kami mungkin disebabkan oleh jumlah jenis aeroalergen yang digunakan jauh lebih sedikit dibandingkan alergen makanan. Meskipun pasien urtikaria kronis dapat menunjukkan hasil SPT positif, namun berbagai studi menyimpulkan bahwa adanya hasil positif SPT memiliki relevansi klinis yang rendah terhadap urtikaria kronis. Adanya hasil positif menunjukkan keberadaan IgE spesifik, namun reaksi terhadap alergen dapat pula disebabkan oleh reaksi yang tidak dimediasi oleh IgE (Kulthanan et al., 2008). Penelitian oleh Augey yang dilakukan pada tahun 2006-2008 di Prancis terhadap 128 pasien dengan urtikaria kronis menemukan adanya hubungan urtikaria kronis dengan sensitisasi IgE dan alergi, dimana urtikaria kronis lebih sering ditemukan pada pasien dengan sensitisasi IgE (Augey et al., 2011).

Hubungan antara makanan dengan urtikaria kronis diduga diperantarai oleh histamin, meskipun hubungan antara keduanya hingga kini masih kontroversial (Criado et al., 2015; Kulthanan et al., 2008). Pasien urtikaria kronis diduga mengalami intoleransi histamin akibat tingginya kadar histamin dalam diet dan/atau akibat metabolisme histamin yang abnormal (defisiensi diamine oxidase). Enzim ini merupakan enzim utama pada proses degradasi histamin yang bekerja pada mukosa usus halus. Konsumsi alkohol (anggur, bir) dan sejumlah obat (imipenem, dobutamin, pancuronium, pentamidin, salazosulfapyridin, verapamil, isoniazid, asam klavulanat, dihydralazin, klorokuin, sikloserin, asetilsistein, metoklorpramid dan sefuroksim) diketahui dapat menurunkan aktivitas diamine oxidase sehingga menyebabkan pasien lebih sensitif terhadap makanan tinggi histamin. Beberapa contoh makanan tinggi histamin antara lain ikan (tuna, sarden, teri), keju (Emmenthal, Gouda), salami, sosis dan tomat. Sejumlah aditif makanan seperti sodium metabisulfite, sodium benzoate, monosodium glutamate (MSG), sodium nitrat, tartrazine, erythrosine, sorbic acid, dan butylated hydroxyanisole juga dapat memicu atau memperburuk urtikaria melalui mekanisme pseudoalergi yang independen IgE (Criado et al., 2015; Kulthanan et al., 2008). Penelitian ini sesuai dengan penjelasan terkait hubungan histamin dengan urtikaria kronis, yakni tingginya hasil SPT positif (37,50%) akibat tomat yang merupakan salah satu makanan tinggi histamin (Tabel 3).

Komorbiditas yang paling sering ditemukan pada pasien urtikaria kronis adalah penyakit autoimun, sindrom metabolik, infeksi dan alergi (Darlenski et al., 2014; Dionigi et al., 2016; Gonçalo et al., 2021; Powell et al., 2015). Sebuah studi kohort longitudinal oleh Dionigi et al. (2014) terhadap 100 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 29% pasien terdiagnosis penyakit infeksi dan 21% terdiagnosis penyakit autoimun (Dionigi et al., 2016). Autoimunitas terkait tiroid ditemukan pada 4-37,1% pasien dengan CSU (Gonçalo et al., 2021). Data dari 13.000 pasien urtikaria kronis menunjukkan bahwa pasien perempuan memiliki insidensi yang secara signifikan lebih tinggi untuk menderita rheumatoid arthritis (RA), sindrom Sjorgen, celiac disease, diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan systemic lupus erythematosus (SLE), dimana diagnosis penyakit autoimun tersebut sebagian besar ditegakkan 10 tahun setelah diagnosis urtikaria kronis (Darlenski et al., 2014).

Salah satu mekanisme patogenik urtikaria kronis adalah histamine-releasing autoantibody pada pasien urtikaria kronis yang menunjukkan adanya autoimunitas sebagai dasar dari kondisi ini (Asero et al., 2017). Sebanyak 40-50% anak dan dewasa dengan urtikaria kronis diketahui memiliki autoantibodi terhadap FcER1 alpha-subunit of the high-affinity IgE receptor. Sejumlah studi telah membuktikan bahwa antibodi IgG dapat mengalami cross-link dengan high-affinity IgE FcER1 pada sel mast dan basofil. Pasien dengan urtikaria kronis diketahui mengalami peningkatan risiko kondisi autoimun seperti penyakit tiroid (hipotiroidisme), DM tipe 1, SLE dan RA.(Fine & Bernstein, 2016)

Beberapa studi membuktikan adanya ko-eksistensi urtikaria kronis dengan sindrom metabolik seperti hipertensi dan obesitas, dimana pasien dengan urtikaria kronis dan sindrom metabolik memiliki karakteristik berupa usia yang lebih tua, memiliki derajat penyakit yang lebih berat, menunjukkan kadar biomarker inflamasi yang lebih tinggi (eosinophil cationic protein [ECP], tumor necrosis factor [TNF]-α, dan komplemen), serta lebih sering menunjukkan hasil negatif pada autologous serum skin test (ASST) dibandingkan pasien urtikaria kronis tanpa sindrom metabolik. Hal ini membuktikan adanya kaitan urtikaria kronis dengan kondisi pro-inflamasi sistemik (Asero et al., 2017; Darlenski et al., 2014; Gonçalo et al., 2021). Asero pada tahun 2017 melaporkan pada populasi Asia juga menemukan bahwa urtikaria kronis lebih sering ditemukan pada pasien yang telah terdiagnosis hiperlipidemia sebelumnya. Urtikaria kronis juga dikaitkan dengan peningkatan kadar adipokin (lipocalin-2, IL-6, IL-10 dan TNF-α) dan penurunan kadar adiponectin (Asero et al., 2017).

Infeksi juga diduga memiliki kaitan dengan urtikaria kronis, terutama infeksi pada telinga-hidung-tenggorokan (THT), gastrointestinal, dan gigi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori, Streptococcus spp., Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, virus hepatitis B dan C, parasit serta Human Herpes Virus-6 (Criado et al., 2015; Darlenski et al., 2014; Gonçalo et al., 2021). Penyakit Infeksi seperti infeksi saluran kemih (ISK) dan sinusitis merupakan diagnosis yang paling sering diasosiasikan dengan urtikaria kronis, meskipun beberapa penyakit lain seperti tiroiditis dan hepatitis juga pernah dilaporkan berkaitan dengan urtikaria kronis (Fine & Bernstein, 2016). Studi oleh Colgecen et al. (2015) terhadap 500 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa sebanyak 18,8% subyek mengalami minimal satu infeksi yang mungkin dapat dikaitkan dengan etiologi urtikaria kronis, dimana pada 5,3% kasus gejala urtikaria mengalami resolusi setelah diberikan terapi terhadap infeksi yang diderita (Colgecen et al., 2015). Urtikaria kronis menyebabkan penurunan kualitas hidup yang signifikan, dimana sebanyak 30% pasien menderita komorbiditas terkait kesehatan mental seperti ansietas, depresi dan gangguan somatoform (Gonçalo et al., 2021; Powell et al., 2015). Pada penelitian ini menunjukkan infeksi (gigi berlubang) sebagai komorbiditas tersering, yakni sebanyak 7 pasien (15,56%). Sindrom metabolik berupa hipertensi dan diabetes mellitus hanya ditemukan pada 3 pasien (6,67%) (Tabel 1). 

Prinsip manajemen urtikaria kronis adalah untuk mencapai kontrol terkait gejala dan mencapai remisi (Sussman et al., 2015). Tatalaksana non-medikamentosa utama adalah menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan eksaserbasi atau memicu munculnya urtikaria kronis (Sussman et al., 2015). Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu penyebab yang mendasari munculnya urtikaria kronis untuk kemudian berusaha mengeliminasi faktor-faktor tersebut. Meski demikian, mengeliminasi penyebab urtikaria kronis sangat sulit dilakukan mengingat penyebab urtikaria kronis seringkali tidak diketahui. Menghindari faktor pemicu yang sering menyebabkan eksaserbasi CSU seperti stress dan NSAIDs, atau menghindari faktor-faktor yang menginduksi Inducible urticaria seperti dingin dan panas, dapat membantu menurunkan frekuensi eksaserbasi (Sussman et al., 2015; Zuberbier et al., 2022).

Untuk mencapai remisi spontan, terapi medikamentosa dengan antihistamin-H1 generasi kedua dianjurkan untuk diberikan secara berkelanjutan hingga pasien mencapai remisi (Antia et al., 2018; Zuberbier et al., 2022). Sejumlah pasien dengan Inducible urticaria juga dapat diberikan terapi profilaktik dengan antihistamin kerja pendek sebelum terpapar faktor pencetus tertentu. Pedoman European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) tahun 2018 tidak lagi merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi pertama karena efek sampingnya yang cukup serius. Antihistamin-H1 generasi pertama terbukti mengganggu fase tidur rapid eye movement (REM), mengganggu kemampuan belajar dan aktivitas sensorimotor kompleks, serta dapat menyebabkan overdosis yang lethal (Zuberbier et al., 2022). Antihistamin-H1 generasi pertama juga memiliki efek antikolinergik yang kuat dan memiliki interaksi dengan alkohol atau obat yang berefek pada sistem saraf pusat seperti analgesik, hipnotik dan sedatif. Pedoman dari United State Joint Task Force Chronic Urticaria Practice Parameter (US JTF) tahun 2014 masih merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi pertama untuk ditambahkan jika antihistamin-H1 generasi kedua tidak dapat mencapai kontrol gejala. Antihistamin-H1 generasi pertama disarankan untuk diminum sebelum tidur guna meminimalisir efek samping akibat sedasi dan penurunan neurokognisi (Zuberbier & Bernstein, 2018).

Antihistamin-H1 generasi kedua seperti setirizin, levosetirizin, desloratadin, loratadin, bilastin, ebastin, feksofenadin dan rupatadin telah terbukti efektif dan aman digunakan untuk terapi urtikaria. Pedoman EAACI merekomendasikan penggunaan antihistamin-H1 generasi kedua dosis standar sebagai terapi lini pertama pada urtikaria, meskipun rekomendasi terkait obat yang sebaiknya digunakan hingga kini belum ditentukan (Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Sebanyak lebih dari 50% pasien urtikaria kronis diketahui tidak berespon terhadap terapi standar, sehingga dosis obat dapat ditingkatkan hingga 2-4 kali lipat dosis standar (Antia et al., 2018; Beck et al., 2017; Zuberbier et al., 2022). Peningkatan dosis obat dapat dilakukan apabila dalam 2-4 minggu tidak terjadi perbaikan gejala atau apabila gejala tidak bisa ditoleransi pasien (Fricke et al., 2020; Zuberbier et al., 2022). Meningkatkan dosis antihistamin-H1 generasi kedua lebih direkomendasikan oleh EAACI dibandingkan mengkombinasikan beberapa antihistamin-H1 generasi kedua karena tidak ada bukti adanya peningkatan efikasi dengan penggunaan lebih dari 1 jenis antihistamin-H1 generasi kedua (Zuberbier & Bernstein, 2018). Pedoman dari US JTF merekomendasikan penambahan jenis antihistamin-H1 generasi kedua, antagonis-H2, leukotriene receptor antagonist (LTRA), atau antihistamin-H1 generasi pertama apabila dengan 1 jenis antihistamin-H1 generasi kedua dengan dosis maksimal tidak dapat mencapai kontrol gejala (Zuberbier et al., 2022). Sejumlah studi menunjukkan bahwa penambahan antagonis-H2 (simetidin) dapat meningkatkan waktu paruh antihistamin-H1 generasi kedua. Keuntungan penambahan LTRA ke dalam regimen terapi urtikaria kronis hingga kini masih kontroversial. Meski demikian, sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan LTRA pada pasien urtikaria kronis dengan intoleransi aspirin atau aditif makanan atau pasien dengan positive autologous serum skin test menunjukkan respons yang baik (Antia et al., 2018; Beck et al., 2017).

Pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi antihistamin-H1 generasi kedua (urtikaria kronis refrakter) dengan dosis yang sudah ditingkatkan, maka omalizumab dapat ditambahkan dalam regimen terapi (Beck et al., 2017; Zuberbier et al., 2022; Zuberbier & Bernstein, 2018). Omalizumab merupakan anti-IgE yang telah terbukti aman dan efektif untuk digunakan pada urtikaria kronis. Pada pasien CSU, omalizumab terbukti mencegah pembentukan wheal dan angioedema, meningkatkan kualitas hidup, baik digunakan sebagai terapi jangka panjang, dan dapat digunakan secara efekif saat terjadi kekambuhan setelah penghentian penggunaan rutin omalizumab. Dosis inisial omalizumab untuk CSU adalah 300 mg yang diinjeksikan secara subkutan setiap 4 minggu sekali. Dosis tidak bergantung pada kadar serum IgE total. Untuk mencapai remisi, dosis omalizumab dapat ditingkatkan, interval pemberian dapat diperpendek, atau kombinasi keduanya (Zuberbier et al., 2022). Sejumlah kekurangan dari terapi omalozumab adalah risiko anafilaksis, biaya yang tinggi, dan cara administrasi obat yang lebih invasif, sehingga membuat terapi ini jarang digunakan (Beck et al., 2017).

Pasien yang tidak berespon secara adekuat terhadap terapi kombinasi omalizumab dan antihistamin dapat diberikan siklosporin 3,5-5 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Siklosporin merupakan agen immunosupresif yang memiliki efek langsung terhadap pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast. Hingga kini, siklosporin masih merupakan terapi off-label untuk urtikaria, meskipun sejumlah placebo-controlled trial dan open-label controlled trial telah membuktikan efikasi ciclosporin yang dikombinasikan dengan antihistamin-H1 generasi kedua (Antia et al., 2018; Beck et al., 2017; Zuberbier et al., 2022). Siklosporin dapat menimbulkan efek samping ringan dan sementara berupa gangguan gastrointestinal, parestesia, dan infeksi. Siklosporin sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan komorbid hipertensi dan/atau insufisiensi renal karena adanya risiko nefrotoksisitas pada penggunaan siklosporin jangka panjang.(Beck et al., 2017)

Steroid sistemik merupakan terapi tambahan yang dapat diberikan pada pasien urtikaria kronis, utamanya pada pasien yang refrakter terhadap terapi antihistamin (Antia et al., 2018; Zuberbier et al., 2022). Studi oleh Antia et al. (2018) melaporkan sebanyak 54,7% pasien dengan urtikaria kronis menggunakan steroid sistemik (Antia et al., 2018). Steroid sistemik dapat diberikan dengan dosis setara dengan prednison 20-50 mg/hari. Penggunaan steroid jangka pendek (maksimum 10 hari) saat eksaserbasi akut CSU dapat menurunkan durasi eksaserbasi (Zuberbier et al., 2022). Sebuah studi retrospektif oleh Asero tahun 2010 melaporkan 750 pasien urtikaria kronis menemukan bahwa 47% pasien yang resisten antihistamin mengalami remisi setelah pemberian prednisone oral selama 3 hari (Antia et al., 2018; Beck et al., 2017). Penggunaan steroid jangka panjang tidak direkomendasikan karena memiliki efek samping seperti osteopenia/osteoporosis, katarak, glaukoma, perlemakan hati, intoleransi glukosa dan atrofi kulit.Click or tap here to enter text.

Sebagian besar pasien pada penelitian ini mendapatkan terapi oral, baik tunggal maupun kombinasi, yakni sebanyak 41 pasien, sementara 4 pasien (8,89%) hanya mendapatkan terapi topikal. Dari 41 pasien terdapat 32 pasien menerima terapi antihistamin oral tunggal. Dengan demikian, regimen terapi yang digunakan pada penelitian kami telah mengikuti rekomendasi terapi baik dari EAACI maupun US JTF.

 

Kesimpulan

Pada penelitian ini ditemukan 45 pasien urtikaria kronis selama periode Januari 2018 hingga Desember 2021 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jumlah pasien perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, dengan rentang usia terbanyak berada pada kelompok usia 51-60 tahun. Sebanyak kurang dari 50% pasien urtikaria kronis yang kami teliti menunjukkan hasil SPT positif, yakni hanya 16 dari 45 pasien (35,56%). Keenambelas pasien menunjukkan hasil SPT positif terhadap alergen makanan dan tomat merupakan salah satu yang banyak ditemukan pada pemeriksaan SPT sebesar 37,5%. Sebagian besar pasien telah menerima terapi berupa antihistamin-H1 generasi kedua sesuai dengan rekomendasi pedoman-pedoman internasional. Secara kesuluruhan, hasil penelitian kami sesuai dengan penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya, meskipun penelitian di Asia dan Indonesia masih sangat terbatas.

 

BIBLIOGRAFI

 

Anggraeni, S., Ayu Umborowati, M., Endaryanto, A., & Rosita Sigit Prakoeswa, C. (2021). The Accuracy of Indonesian New Local Skin Prick Test (SPT) Allergen Extracts as Diagnostic Tool of IgE-mediated Atopic Dermatitis. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, 15(3).

Antia, C., Baquerizo, K., Korman, A., Alikhan, A., & Bernstein, J. A. (2018). Urticaria: A comprehensive review: Treatment of chronic urticaria, special populations, and disease outcomes. In Journal of the American Academy of Dermatology (Vol. 79, Issue 4, pp. 617–633). Mosby Inc. https://doi.org/10.1016/j.jaad.2018.01.023

Antunes, J., Borrego, L., Romeira, A., & Pinto, P. (2009). Skin prick tests and allergy diagnosis. In Allergologia et Immunopathologia (Vol. 37, Issue 3, pp. 155–164). https://doi.org/10.1016/S0301-0546(09)71728-8

Asero, R., Tedeschi, A., Marzano, A. V., & Cugno, M. (2017). Chronic urticaria: A focus on pathogenesis. In F1000Research (Vol. 6). Faculty of 1000 Ltd. https://doi.org/10.12688/f1000research.11546.1

Augey, F., Gunera-Saad, N., Bensaid, B., Nosbaum, A., Berard, F., & Nicolas, J. F. (2011). Chronic spontaneous urticaria is not an allergic disease. European Journal of Dermatology, 21(3), 349–353. https://doi.org/10.1684/ejd.2011.1285

Balp, M. M., Vietri, J., Tian, H., & Isherwood, G. (2015). The Impact of Chronic Urticaria from the Patient’s Perspective: A Survey in Five European Countries. Patient, 8(6), 551–558. https://doi.org/10.1007/s40271-015-0145-9

Beck, L. A., Bernstein, J. A., & Maurer, M. (2017). A review of international recommendations for the diagnosis and management of chronic urticaria. In Acta Dermato-Venereologica (Vol. 97, Issue 2, pp. 149–158). Medical Journals/Acta D-V. https://doi.org/10.2340/00015555-2496

Caliskaner, Z., Ozturk, S., Turan, M., & Karaayvaz, M. (2004). Skin test positivity to aeroallergens in the patients with chronic urticaria without allergic respiratory disease. Journal of Investigational Allergology & Clinical Immunology, 14(1), 50–54.

Colgecen, E., Ozyurt, K., Gul, A. I., & Utas, S. (2015). Evaluation of Etiological Factors in Patients with Chronic Urticaria. Acta Dermatovenerol Croat, 25(1), 36–42.

Criado, P. R., Criado, R. F. J., Maruta, C. W., & dos Reis, V. M. S. (2015). Chronic urticaria in adults: State-of-the-art in the new millennium. In Anais Brasileiros de Dermatologia (Vol. 90, Issue 1, pp. 74–89). Sociedade Brasileira de Dermatologia. https://doi.org/10.1590/abd1806-4841.20153509

Darlenski, R., Kazandjieva, J., Zuberbier, T., & Tsankov, N. (2014). Chronic urticaria as a systemic disease. In Clinics in Dermatology (Vol. 32, Issue 3, pp. 420–423). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2013.11.009

Debora, V., & Zuraida, R. (2020). Penatalaksanaan Holistik pada Remaja Laki-Laki dengan Urtikaria Kronik Tanpa Angioedema et causa Rangsangan Fisik. Medula, 9(4), 727–735.

Dionigi, P. C. L., Menezes, M. C. S., & Forte, W. C. N. (2016). A prospective ten-year follow-up of patients with chronic urticaria. Allergologia et Immunopathologia, 44(4), 286–291. https://doi.org/10.1016/j.aller.2015.10.004

Fine, L. M., & Bernstein, J. A. (2016). Guideline of chronic urticaria beyond. In Allergy, Asthma and Immunology Research (Vol. 8, Issue 5, pp. 396–403). Korean Academy of Asthma, Allergy and Clinical Immunology. https://doi.org/10.4168/aair.2016.8.5.396

Fricke, J., Ávila, G., Keller, T., Weller, K., Lau, S., Maurer, M., Zuberbier, T., & Keil, T. (2020). Prevalence of chronic urticaria in children and adults across the globe: Systematic review with meta-analysis. Allergy: European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 75(2), 423–432. https://doi.org/10.1111/all.14037

Gonçalo, M., Gimenéz-Arnau, A., Al-Ahmad, M., Ben-Shoshan, M., Bernstein, J. A., Ensina, L. F., Fomina, D., Galvàn, C. A., Godse, K., Grattan, C., Hide, M., Katelaris, C. H., Khoshkhui, M., Kocatürk, E., Kulthanan, K., Medina, I., Nasr, I., Peter, J., Staubach, P., … Maurer, M. (2021). The global burden of chronic urticaria for the patient and society*. British Journal of Dermatology, 184(2), 226–236. https://doi.org/10.1111/bjd.19561

Heinzerling, L., Mari, A., Bergmann, K. C., Bresciani, M., Burbach, G., Darsow, U., Durham, S., Fokkens, W., Gjomarkaj, M., Haahtela, T., Bom, A. T., Wöhrl, S., Maibach, H., & Lockey, R. (2013). The skin prick test - European standards. Clinical and Translational Allergy, 3(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/2045-7022-3-3

Kulthanan, K., Jiamton, S., Rutnin, N. O., Insawang, M., & Pinkaew, S. (2008). Prevalence and relevance of the positivity of skin prick testing in patients with chronic urticaria. Journal of Dermatology, 35(6), 330–335. https://doi.org/10.1111/j.1346-8138.2008.00477.x

Liutu, M., Kalimo, K., Uksila, J., & Kalimo, H. (1998). Etiologic aspects of chronic urticaria.

Mahesh, P., Kushalappa, P., Holla, A., & Vedanthan, P. (2005). House dust mite sensitivity is a factor in chronic urticaria. Indian J Dermatol Venerol Leprol, 71(2), 99–101.

Powell, R. J., Leech, S. C., Till, S., Huber, P. A. J., Nasser, S. M., & Clark, A. T. (2015). BSACI guideline for the management of chronic urticaria and angioedema. Clinical and Experimental Allergy, 45(3), 547–565. https://doi.org/10.1111/cea.12494

Seo, J. H., & Kwon, J. W. (2019). Epidemiology of urticaria including physical urticaria and angioedema in Korea. Korean Journal of Internal Medicine, 34(2), 418–425. https://doi.org/10.3904/kjim.2017.203

Shahzad Mustafa, S., & Sánchez-Borges, M. (2018). Chronic Urticaria: Comparisons of US, European, and Asian Guidelines. In Current Allergy and Asthma Reports (Vol. 18, Issue 7). Current Medicine Group LLC 1. https://doi.org/10.1007/s11882-018-0789-3

Sussman, G., Hébert, J., Gulliver, W., Lynde, C., Waserman, S., Kanani, A., Ben-Shoshan, M., Horemans, S., Barron, C., Betschel, S., Yang, W. H., Dutz, J., Shear, N., Lacuesta, G., Vadas, P., Kobayashi, K., Lima, H., & Simons, E. F. R. (2015). Insights and advances in chronic urticaria: A Canadian perspective. In Allergy, Asthma and Clinical Immunology (Vol. 11, Issue 1). BioMed Central Ltd. https://doi.org/10.1186/s13223-015-0072-2

van der Valk, J. P. M., Gerth Van Wijk, R., Hoorn, E., Groenendijk, L., Groenendijk, I. M., & de Jong, N. W. (2016). Measurement and interpretation of skin prick test results. Clinical and Translational Allergy, 6(1). https://doi.org/10.1186/s13601-016-0092-0

Wertenteil, S., Strunk, A., & Garg, A. (2019). Prevalence estimates for chronic urticaria in the United States: A sex- and age-adjusted population analysis. Journal of the American Academy of Dermatology, 81(1), 152–156. https://doi.org/10.1016/j.jaad.2019.02.064

Zuberbier, T., Abdul Latiff, A. H., Abuzakouk, M., Aquilina, S., Asero, R., Baker, D., Ballmer-Weber, B., Bangert, C., Ben-Shoshan, M., Bernstein, J. A., Bindslev-Jensen, C., Brockow, K., Brzoza, Z., Chong Neto, H. J., Church, M. K., Criado, P. R., Danilycheva, I. v., Dressler, C., Ensina, L. F., … Maurer, M. (2022). The international EAACI/GA2LEN/EuroGuiDerm/APAAACI guideline for the definition, classification, diagnosis, and management of urticaria. Allergy: European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 77(3), 734–766. https://doi.org/10.1111/all.15090

Zuberbier, T., & Bernstein, J. A. (2018). A Comparison of the United States and International Perspective on Chronic Urticaria Guidelines. In Journal of Allergy and Clinical Immunology: In Practice (Vol. 6, Issue 4, pp. 1144–1151). American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. https://doi.org/10.1016/j.jaip.2018.04.012

 

                                                

Copyright holder:

Wibisono Nugraha, Alfina Rahma, Dita Eka Novriana, Rieska Widyaswari, Muhammad Eko Irawanto (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: