Syntax Literate: Indonesian Scientific Journal p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

ANALISIS PEMBERIAN N-ACETYLCYSTEINE DOSIS TINGGI TERHADAP FUNGSI GINJAL PASIEN YANG DIDIAGNOSIS ACUTE KIDNEY INJURY PERIODE JANUARI – DESEMBER 2021 DI RSPON JAKARTA

 

Nurul Ulya1*, Ros Sumarny2, Wawaimuli Arozal3, Eka Musridharta4

Universitas Pancasila, Jakarta, Indonesia1,2

Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia3

RS Pusat Otak Nasional, MT Haryono, Jakarta, Indonesia4

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efek pemberian N-acetylcysteine dosis tinggi 5000 mg iv terhadap fungsi ginjal pasien terdiagnosis AKI dilihat dari serum Kreatinin, GFR dan Ureum. Studi ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan cross sectional retrospektif. Penelitian ini menggunakan data rekam medis. Analisa perbedaan fungsi ginjal dengan parameter hasil lab ureum, kreatinin, dan GFR pasien AKI baik kelompok kontrol maupun kelompok uji, sebelum dan sesudah diberikan N-acetylcysteine dosis tinggi 5000 mg iv. Data dianalisis secara bivariat dengan uji T berpasangan dan uji T Independent untuk perbedaan antar kelompok pada p ≤0.05.Terdapat 60 total sampel kemudian terbagi menjadi 30 pasien AKI yang diberikan N-acetylcysteine dan 30 pasien tanpa diberikan N-acetylcysteine. Analisis hubungan sebelum dan sesudah pemberian N-acetyceyteine pada masing-masing kelompok Terjadi perbedaan bermakna pada kelompok uji yaitu pada nilai Serum Kreatinin (p=0,002)  dan GFR (p=0,001). Sedangkan pada uji beda pada kedua kelompok didapatkan hasil terjadi perbedaan bermakna pada nilai Serum kreatinin yaitu (p=0,003) dan nilai GFR yaitu (p=0.014).  Hasil tersebut menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada perbaikan fungsi ginjal antara kelompok yang diberikan N-acetylcysteine  (uji) dengan kelompok pasien tanpa N-acetylcysteine (kontrol) yaitu dilihat pada nilai SCr dan GFR. Kelompok uji memberikan efek perbaikan fungsi ginjal yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok Kontrol.

Kata kunci: N-acetylcysteine, Acute Kidney Injury (AKI), Intensive Care Unit

 

Abstract

The research aims to determine the effect of high-dose administration of N-acetylcysteine by 5000 mg iv on kidney function in patients diagnosed with AKI based on creatinine serum, GFR, and urea. The research was a descriptive-analytic with retrospective cross-sectional. Further, the research employed medical data records. Differential analysis of kidney function with the laboratory results of urea, creatinine, and GFR parameters in AKI patients. It was performed on both the control and the testes groups, pre- and post-administration of a high-dose of N-acetylcysteine by 5000 mg iv. In addition, data were analyzed by bivariate with the paired t-test and independent t-test for differences between groups at p ≤ 0.05. There were 60 total samples, which were divided into 30 AKI patients, administered with N-acetylcysteine, and 30 patients, treated with N-acetylcysteine. The relationship analysis of pre-and post-administration of N-acetylcysteine in each group demonstrated significant differences in the tested group, such as the values of Creatinine Serum (p = 0.002) and GFR (p = 0.001). Meanwhile, the results of the differential test between the two groups show that there was a significant difference in the difference values of creatinine serum, such as (p=0.003), and the difference values of GFR, such as (p=0.014). These results depict that there was a significant difference in the improvement of kidney function between the group of patients, who were administered with N-acetylcysteine (the tested group), and the group of patients, who were not administered with N-acetylcysteine (the controlled group). It was seen from the values of SCr and GFR. However, the tested group provided a better-improving effect on kidney function than the controlled group.

Keywords: N-acetylcysteine, Acute Kidney Injury (AKI), Intensive Care Unit

 

Pendahuluan

Acute Kidney Injury (AKI) adalah sindrom berbagai kondisi klinis akibat penurunan fungsi ginjal secara mendadak (dalam beberapa jam hingga beberapa minggu) dari laju filtrasi glomerulus (GFR), yang biasanya reversibel, diikuti oleh ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan produk limbah nitrogen dengan / tanpa gangguan cairan dan elektrolit  (KDGIO, 2012).

Selama dekade terakhir, insiden Acute Kidney Injury (AKI) telah meningkat, yang mengarah ke hasil jangka panjang yang merugikan. AKI merupakan komplikasi umum pada pasien yang menjalani perawatan di unit perawatan intensif (ICU) dan berhubungan dengan peningkatan lama rawat di rumah sakit juga peningkatan risiko kematian, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Hoste et al., 2015).

Pada dasarnya, penanganan AKI sangat bergantung pada penyebab AKI dan pada stadium apa ditemukan. Jika ditemukan pada prerenal dan stadium awal, harus dilakukan upaya pengobatan penyakit yang mendasarinya secara optimal untuk mencegah pasien berkembang ke stadium AKI selanjutnya. Upaya tersebut antara lain hidrasi bila prerenal/hipovolemia merupakan penyebab AKI, pengobatan sepsis, penghentian obat nefrotoksik, koreksi obstruksi postrenal, dan menghindari penggunaan obat nefrotoksik (Baskoro et al., 2015).

Keberhasilan terapi AKI  masih belum mencapai keberhasilan yang maksimal, mengingat tatalaksana AKI pada saat ini masih dilakukan berdasarkan penyebab dan gejala yang timbul (Sinto & Nainggolan, 2010). Tata laksana AKI perlu dilakukan pengembangan mengingat sangat seriusnya efek yang ditimbulkan dari AKI.

Pemberian terapi obat antioksidan N-acetylcysteine sebagai tambahan pada terapi standar menjadi salah satu pilihan yang dapat digunakan dalam terapi AKI. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Omar Faruk 2016 menyebutkan bahwa penggunaan profilaksis N-acetylcysteine pada pasien cardiac surgery memiliki efek perlindungan ginjal dibandingkan dengan kelompok lainnya (Marwanta, 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Heng Fan 2019 menyebutkan bahwa N-acetylcyateine sebagai pretreatment acute kidney injury pada tikus yang menderita sepsis menunjukan bahwa N-acetylcysteine mempunyai efek perlindungan pada cidera ginjal akut (Fan et al., 2020).

Pada Systematic review yang dilakukan oleh Johnny. W. Huang 2021  menyebutkan bahwa enam studi dengan total 199 peserta yang memenuhi syarat untuk tinjauan sistematis dan metaanalisis menunjukan adanya penurunan kreatinin serum yang kecil namun signifikan setelah pemberian NAC secara keseluruhan (Huang et al., 2021).

Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta (National Brain Centre Hospital) merupakan salah satu rumah sakit vertical tipe A milik Kementerian Kesehatan, terletak di Jalan MT Haryono Jakarta. Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta merupakan pusat rujukan nasional dalam penanganan khusus kesehatan otak dan saraf juga sebagai percontohan dalam pelayanan khusus kesehatan otak dan saraf. Akreditasi Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta sudah mendapat akreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).

Jumlah pasien di Intensive Care Unit RSPON pada setiap tahunnya cukup banyak, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang membutuhkan terapi intensive pada kasus kasus tertentu. Terhitung pada Januari – Desember tahun 2021 jumlah pasien ICU di RSPON adalah 754 pasien dan pasien dengan kondisi AKI yaitu sebesar 142 pasien.

Atas dasar latarbelakang di atas maka peneliti ingin melakukan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian NAC dosis tinggi pada fungsi ginjal pasien yang didiagnosa AKI di Intensive Care Unit RSPON Jakarta.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang untuk menganalisa adanya hubungan antara nilai data lab ureum, kreatinin dan GFR pasien gangguan fungsi ginjal sesudah dan sebelum pemberian NAC (N-Acetylcysteine) di ruang rawat Intensif  Care Unit di RSPON Jakarta. Penelusuran data secara retrospektif observasional. Data laboratorium nilai ureum kreatinin dan GFR diambil melalui data rekamedis. Penelitian ini menggunakan total sampel dari seluruh pasien AKI yang dirawat di ruang Intensif Care Unit RSPON periode Januari – Desember 2021.

 

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi form pengumpulan data pasien dan aplikasi SPSS versi 26. Adapun bahan yang digubakan adalah rekam medik pasien dan panduan praktek klinik.

 

Jalannya Penelitian

Tempat dilaksanakannya penelitian adalah di RSPON Jakarta menggunakan data retrospektif rekamedis pasien periode Januari – Desember 2021 dengan persetujuan Komite Etik Penelitian RSPON Jakarta dengan Nomor : LB.02.01/KEP/ 122/2022. Pada penelitian ini, populasi adalah semua pasien ICU yang terdiagnosis AKI dan mendapatkan N-acetylcysteine dosis tinggi.

Kriteria inklusi mencakup pasien pria dan wanita usia 35 – 85 tahun, Sedang mangalami perawatan intensive di ICU RSPON, Mengalami penurunan fungsi ginjal dan didiagnosis AKI dilihat dari peningkatan serum kreatinin ≥1.5 x nilai dasar, Jika sampel uji tidak terdapat nilai dasar, maka nilai dasar dikatakan 1.0 mg/dl. Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah Pasien penurunan fungsi ginjal wanita ataupun pria yang telah dilakukan Tindakan Hemodialisa /cucidarah/ CAPD, Pengukuran hasil lab setelah pemberian obat intervensi lebih dari 5 hari, Pemberian obat intervensi lebih dari 3 hari, Pasien yang diberikan obat intervensi hanya 1 x pemberian.

Pengumpulan data dimulai dari penentuan pasien sesuai dengan kriteria inklusi kemudian mendokumentasikan data dari rekam medik pasien. Data yang diperlukan meliputi: data demografi, hasil laboratorium, diagnosis selama dirawat, dan pengobatan yang didapatkan.

 

 

 

Analisis data

Penilaian Outcome Klinik

Perbandingan efek N-acetylcysteine dilihat dari nilai hasil laboratorium Serum kreatinin, GFR dan Ureum pasien baik pada kelompok uji saat sesudah dan sebelum diberikan obat intervensi. Maupun Pada kelompok Kontrol pada saat 2-3 hari setelah didiagnosis AKI.

 

Analisis Data

Data karakteristik demografi pasien , profil klinis pasien, dan profil pengobatan pasien dianalisis secara deskriptif. Analisis datanilai hasil laboratorium fungsi ginjal dianalisis dengan menggunakan statistic.

Pengolahan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan statistic uji T berpasangan untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah pemberian obat N-Acetylcysteine. Sedangkan untuk melihat perbedaan antara kelompok uji dan kelompok kontrol menggunakan uji T independent.

Uji Kolmogorov Smirnov dilakukan untuk mengetahui sebaran data berdistribusi normal atau tidak dan uji Levene untuk mengetahui sebaran data homogen atau tidak. Jika hasil pengujian sebaran data tidak berdistribusi normal dan masuk ke kategori non parametrik, maka uji statistic yang digunakan adalah uji Wilcoxon test. Namun jika hasil pengujian sebaran data berdistribusi normal dan masuk dalam kategori parametrik maka pengujian statistic menggunakan Uji T berpasangan.  Uji T independent digunakan untuk menganalisa perbedaan antara kelompok uji dan kelompok kontrol. Jika data tidak bersifat normal dan masuk kategori non parametrik maka pengujian menggunakan Uji Man withney.

 

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik

Usia

Data sampel yang dikumpulkan selama penelitian di RS Pusat Otak Nasional menunjukan bahwa jumlah pasien terbanyak berada pada rentang umur 55 – 65 tahun. Pada kelompok uji dan kelompok kontrol sengaja peneliti samakan karakteristiknya agar dalam membandingkan hasil kuantitatif  hasil lab terkait fungsi ginjal nanti lebih seimbang dan adil dengan karakteristik yang sama.


 


Gambar 1. Profil Usia Pasien AKI

 

Dari data di atas telah di dapatkan bahwa kelompok usia paling terbanyak yang menderita AKI dan diberikan N-acetylcysteine dosis 5000 mg iv adalah kelompok 56 – 65 tahun (lansia akhir) yaitu 40%, sementara kelompok terbanyak kedua adalah kelompok usia 46 – 55 tahun (lansia awal) yaitu 26.67%. Hal ini dapat berpengaruh dari fungsi organ lansia dan manula yang sudah mengalami penurunan sehingga perbaikan fungsi ginjal pun menurun.

Hal tersebut juga dijelaskan dalam karya tulis Risa Utami menyebutkan bahwa, hal tersebut dipengaruhi oleh ginjal yang mengalami perubahan struktural dan fungsional. Perubahan yang mengakibatkan penurunan yang signifikan pada massa ginjal, jumlah nefron dan fungsi dasar ginjal. Dalam kondisi normal, perubahan ini dapat dikompensasi dengan penyesuaian hemodinamik ginjal untuk mempertahankan GFR. Namun, dalam kondisi patofisiologis, ginjal lansia tidak mampu beradaptasi dengan perubahan hemodinamik dan keseimbangan elektrolit yang cepat, sehingga AKI lebih mungkin terjadi pada pasien lansia. Selain pengaruh usia, penyakit penyerta yang terkait dengan pasien yang lebih tua juga meningkatkan risiko AKI (Risa, 2015)

 

Jenis kelamin

Pada kelompok uji dan kelompok kontrol diperoleh data bahwa jenis kelamin laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu pada kelompok uji persentase laki-laki sebanyak 80% (24 sampel), pada kelompok kontrol sebanyak 63.33% (19 sampel). 

Dari diagram batang di bawah digambarkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang menderita AKI dibandingkan perempuan, hal tersebut juga dijabarkan pada penelitian Pranandari et,all dia menyebutkan bahwa pria secara klinis dua kali lebih mungkin mengalami gagal ginjal kronis dibandingkan wanita. Hal ini dimungkinkan karena wanita lebih memperhatikan kesehatan dan menjalani gaya hidup sehat dibandingkan pria, sehingga membuat pria lebih rentan mengalami gagal ginjal dibandingkan wanita. Perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki ketika menggunakan obat-obatan karena perempuan lebih mampu mengurus diri sendiri dan mengatur penggunaan obat-obatan mereka (Oranandari & Supadmi, 2015).

Pada data Riskesda 2013 menyebutkan bahwa prevalensi gagal ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan Perempuan (0,2%). Hasil yang bertentangan dari penelitian oleh Hill et al. (2016) tentang Global prevalence of Chronic Kidney Disease, Asystematic review and meta-analysis yang didapatkan hasil bahwa penyakit ginjal lebih banyak diidap oleh jenis kelamin Perempuan dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki (Hill et al., 2016).

Studi yang dilakukan oleh Liu et al. (2020) mengemukakan bahwa terdapat ketidak konsistenan dalam beberapa studi, sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan apakah jenis kelamin meningkatkan risiko AKI. Terdapat studi yang mengemukakan bahwa laki-laki dengan sepsis lebih berisiko terkena AKI hal ini dikarenakan testosterone memiliki efek penghambat respon imun sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banyak infeksi yang menyebabkan peningkatan risiko terjadinya kerusakan ginjal terkait sepsis. Studi lainnya mengemukakan defisiensi estrogen dapat menginduksi kerusakan tubulus ginjal sehingga laki-laki dengan sepsis lebih rentan terjadi AKI (Elhapidi et al., 2023). Dari beberapa data yang ada, hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan resiko terjadinya AKI.

 


 

 


Gambar 2. Profil Jenis Kelamin Pasien AKI


 

Tabel 1. Tabel Profil Diagnosa Pasien AKI

Diagnosa

N sampel = 60 (uji 30, kontrol 30)

UJI

KONTROL

TOTAL

%

Cerebral infarction

9

4

13

21.66%

Cerebral infarction + Covid-19

6

11

17

28.33%

ICH + Covid-19

2

4

6

10%

ISOL (intracranial Space Occupying Lesion)

1

0

1

1.66%

SAH (Subarachnoid Haemorrhage)

2

0

2

3.33%

Hydrocephalus

0

1

1

8.33%

SAH + Covid-19

0

1

1

1.66%

Dizziness and giddiness

0

1

1

1.66%

Encephalopathy

0

1

1

1.66%

Guillain Barre Syndrome + covid

0

1

1

1.66%

ISOL + Covid-19

0

2

2

3.33%

Covid-19 + STEMI

0

1

1

1.66%

Encephalopaty + Covid-19

0

1

1

1.66%

Cerebral aneurysma

1

0

1

1.66%

ICH (Intacranial Haemorrhage)

9

2

11

18.33%

Total

30

30

60

100%

 




 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasil Laboratorium

 

Tabel 2. Tabel hasil laboratorium pasien AKI (n = 30 : 30)

Kelompok

UJI (n= 30)

KONTROL (n=30)

Jenis pemeriksaan

Normal

Tidak normal

Normal

Tidak normal

Hemoglobin

13 (43.33%)

17

(56.67%)

15

(50%)

15

(50%)

Hematokrit

9

(30%)

21

(70%)

11 (36.67%)

19

(63.33%)

Trombosit

21

(70%)

9

(30%)

24

(80%)

6

(20%)

Eritrosit

11 (36.67%)

19

(63.33%)

15

(50%)

15

(50%)

Leukosit

6

(20%)

24

(80%)

5 (16.67%)

25

(83.33%)

Glukosa darah

20 (66.67%)

10

(33.33%)

13 (43.33%)

17

(56.67%)

Total Sampel

60


 

Pada tabel 1. profil diagnosa pasien di atas disebutkan bahwa diagnosis paling terbanyak adalah  cerebral infarction + covid yaitu 28.33%, sedangkan tertinggi kedua adalah cerebral infarction yaitu 21.66%. Sementara penyakit penyerta terbanyak adalah covid 19, yaitu sebanyak 29 pasien yang terdiagnosis Covid-19 atau 48.33 % dari total pasien  menderita covid 19.

Pada data di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bernard et,all menyebutkan Prevalensi Covid 19 dengan prognosis AKI sebesar 10,7%, mortalitas AKI berdasarkan GFR sebesar 63,6% dan berdasarkan kreatinin serum sebesar 77,8%. Badai sitokin akibat infeksi virus Covid-19 dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi ginjal, sehingga pasien dengan AKI berat dapat meningkatkan angka kematian pada pasien Covid-19 (Yong & Dermawan, 2022).

Pada tabel 2. Analisa profil klinis hasil lab pasien, dari 30 total pasien kelompok uji yang diteliti, ada sebanyak 17 pasien yang mengalami kadar hemoglobin dibawah normal yaitu sebesar 56.67 % dari total pasien, kadar hematokrit tidak normal yaitu sebanyak 21 pasien yaitu sebesar 70% (dibawah normal 20 pasien, diatas normal 1 pasien) dan kadar eritrosit tidak normal sebanyak 19 sampel (18 pasien dibawah normal, 1 pasien diatas normal) yaitu 63.33 % dari total sampel uji.  Sementara untuk kadar trombosit cendrung sedikit stabil yaitu hanya 9 sampel yang mengalami kadar trombosit tidak normal (7 subjek dibawah kadar normal dan 2 subjek diatas kadar normal).

Pada kelompok kontrol, dari 30 total pasien kelompok kontrol yang diteliti ada sebanyak 15 pasien yang mengalami kadar hemoglobin tidak normal (13 pasien dibawah normal, dan 2 pasien diatas nilai normal) yaitu sebesar 50% dari total sampel, kadar hematokrit tidak normal yaitu sebanyak 19 sampel (17 pasien dibawah nilai normal, dan 2 pasien diatas nilai normal) yaitu sebesar 63.33% dan kadar eritrosit dibawah normal sebanyak 15 sampel yaitu 50% dari total sampel kelompok kontrol.

Kecendrungan hemoglobin,  hematokrit dan eritrosit dibawah normal ini kemungkinan disebabkan karena fungsi ginjal yang tidak optimal dalam pematangan sel darah merah dikarenakan kadar hormone eritropoetin yang berkurang.

Hal yang sama juga dilakukan pada penelitian oleh Fabio et al. menerangkan  bahwa kerusakan ginjal pada penderita gagal ginjal pasti mengganggu fungsi ginjal yaitu sebagai penghasil hormon erythropoietin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah dalam proses eritropoiesis. Hal ini dapat mengganggu sel darah merah itu sendiri sebagai penyalur oksigen bagi jaringan tubuh, yang berkaitan dengan kadar hemoglobin di dalam sel darah merah itu sendiri. 

Hemoglobin (Hb) merupakan protein tetramerik yang berikatan dengan molekul non protein, yaitu senyawa besi porfirin yang disebut heme. Hemoglobin memiliki dua fungsi transportasi penting dalam tubuh manusia, yaitu mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan perifer dan mengangkut karbon dioksida dari jaringan perifer ke paru-paru. Saat kadar hemoglobin turun, bisa terjadi anemia, suatu kondisi di mana kadar sel darah merah dalam tubuh manusia tidak mencukupi (Patrick et al., 2019). Sel darah merah yang tidak tercukupi pada kasus pasien AKI disebabkan karena kurangnya produksi hormon eritropoetin pada ginjal, yang menyebabkan sel darah merah berkurang dan hemoglobin pun menurun. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian diatas bahwa pasien AKI pada kelompok uji yang mengalami anemia / hemoglobin dibawah normal yaitu sebanyak 56,67 %.

Untuk kadar leukosit, pada kelompok uji terdapat sebanyak 24 pasien yaitu 80 % dari total sampel yang mengalami kenaikan kadar leukosit atau leukosit diatas normal, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 25 pasien yaitu 83.33% dari total sampel mengalami kenaikan kadar leukosit diatas normal. Artinya sebanyak 80 % pasien uji dan 83.33% pasien kontrol yang menderita AKI kemungkinan juga mengalami infeksi sistemik bahkan sepsis (Setiawan et al., 2018).

Pada kadar glukosa darah, ada sebanyak 27 pasien (kelompok Uji 10 pasien dan kelompok Kontrol 17 pasien) yang mempunyai kadar glukosa darah diatas normal yaitu 45% % dari total pasien. Artinya 45% pasien kemungkinan mempunyai komorbid diabetes melitus. Data di atas juga dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Elhapidi et al. (2023) menyebutkan bahwa diabetes mellitus dapat meningkatkan kerentanan terjadinya iskemia pada ginjal dan terjadinya penurunan perfusi pada ginjal. Penurunan perfusi ginjal merupakan faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya AKI (Elhapidi et al., 2023).

 


Tabel 3. Profil pengobatan

No

Golongan

UJI

KONTROL

Jumlah

(N=349)

(%)

Jumlah

(N=333)

(%)

1.

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

 

 

 

 

 

 

3

4.

5.

 

 

6.

 

 

 

7

 

8.

9.

10.

11.

 

 

12.

13.

14.

15.

 

16

17.

18.

Antibiotik

a.    Carbapenem

b.   Fluroquinolone

c.    Aminoglikosida

d.   Cefalosporin

e.    Penicillin

f.    OAT

g.   makrolida

h.   Sulfonamid

Antihipertensi

a. ACE Inhibitor

b. ARB

c. CCB

d. Centrally Acting Adrenergic Drugs

e. Diuretik

f. Beta Bloker

Inotropic

Antikonvulsan

Vitamin dan Mineral

a. Vitamin

b. zinc

Antiulserasi

a. PPI

b. Antagonis Reseptor

c. Pelindung Mukosa

Antiansietas dan Anti Insomnia

NSAID

Analgetik Opioid

Antipiretik

Antidiabetes

a.      oral

b.     insulin

Penurun Kolesterol

Antianemia

Pengencer Darah

Antiplatelet

Antikoagulan

Mukolitik

Anti Fungi

Antihistamin

53

8

20

9

13

3

0

0

0

67

0

10

22

6

13

16

4

11

19

15

4

44

23

8

10

3

 

6

5

27

14

4

10

17

7

13

10

3

35

9

13

15.19%

 

 

 

 

 

 

 

 

19.20%

 

 

 

 

 

 

1.15%

3.15%

5.44%

 

 

12.61%

 

 

 

0.86%

 

1.72%

1.43%

7.74%

4.01%

 

 

4.87%

2.05%

3.72%

 

 

10.03%

2.58%

3.72%

 

56

8

22

3

10

8

3

1

1

63

1

7

18

5

18

14

0

5

46

34

12

28

17

9

2

7

 

8

2

18

15

5

10

25

10

28

22

6

23

6

5

16.82%

 

 

 

 

 

 

 

 

18.92%

 

 

 

 

 

 

0%

1.50%

13.81%

 

 

8.41%

 

 

 

2.10%

 

2.40%

0.60%

5.40%

4.50%

 

 

7.51%

3%

8.41%

 

 

6.91%

1.80%

1.50%

 



Kelompok obat tertinggi adalah kelompok obat antihipertensi yaitu 18.92% pada kelompok control dan 19.20%  pada kelompok uji, ini disebabkan karena banyaknya pasin AKI yang juga menderita hipertensi. Sedangkan tertinggi kedua adalah antibiotic yaitu sebesar 15.19% pada kelompok uji dan 16.82% pada kelompok kontrol, hal ini kemungkinan juga disebabkan pasien AKI di Intensive Care Unit juga menderita infeksi sistemik.


 

Analisa perbedaan nilai ureum, kreatinin, dan GFR sebelum dan sesudah pemberian Nacetylcystein pada kelompok uji dan kelompok control

 

Tabel 4. Analisa perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah pemberian N-Acetylcysteine

 

Rata-rata SCr (mg/dl)

Rata-rata GFR (ml/menit)

Rata-rata Ureum (mg/dl)

Before

After

Sig

Before

after

Sig

before

after

Sig

Uji

3.20

2.62

0.002*

24.17

32.72

0.001*

124.64

136.0

0.271

Kontrol

2.65

2.78

0.89

28.84

30.56

0.619

98.34

114.10

0.063

Kadar normal :

SCR = laki-laki: 0.67 – 1.17 (mg/dl)     GFR = laki-laki:  > 90 ml/menit    Ureum = laki-laki : 16.6 -48.5 (mg/dl)

Wanita :  0.51 – 0.95 (mg/dl)                       Wanita :  >90 ml/menit                       Wanita : 16.6 – 48.5 (mg/dl)                           



Dari data di atas pada kelompok uji diperoleh bahwa terdapat perbedaan signifkan antara sebelum dan sesudah pemberian N-acetylcystein di hasil laboratorium Scr dan GFR yaitu dengan nilai signifikansi 0.002 (P<0.05) untuk pengujian Scr dan nilai signifikansi 0.001 (P<0.05) untuk pengujian GFR. Namun tidak terjadi perbedaan signifikan pada nilai Ureum yaitu dengan signifikansi 0.271 (P>0.05). Artinya setelah diberikan N-acetylcysteine ada perbaikan signifikan pada nilai Scr dan GFR pasien AKI. Namun tidak ada perbaikan yang signifikan pada nilai ureum.

Pada kelompok kontrol diperoleh data tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap hasil lab Scr, GFR dan Ureum. Artinya tidak ada perbaikan fungsi ginjal yang bermakna dilihat dari nilai Scr, GFR, dan Ureum.

Hal serupa juga disampaikan pada penelitian Sochman 2006 disebutkan bahwa ketika pasien Gagal ginjal yang diberikan NAC intravena akan memiliki efek menguntungkan pada tingkat kreatinin (Sochman & Krizova, 2006).

 


Tabel 5.  Analisa perbedaan parameter fungsi ginjal sesudah dan sebelum pemberian N-acetylcysteine (menggunakan data selisih)

 

SCr

GFR

Ureum

Mean

sig

Mean

sig

Mean

Sig

Uji

-0.5757

0.037*

8.5567

0.014*

11.3567

0.726

Kontrol

0.1277

1.7267

15.7667

           


Pada tabel Analisa perbedaan dengan menggunakan data selisih (selisih nilai sebelum dan setelah diberikan N-acetylcysteine) dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan signifikansi 0.003 (P<0.05) pada nilai SCr kelompok kontrol dan nilai SCr kelompok uji. Diperoleh rata-rata selisih nilai SCr sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol yaitu 0.1277, artinya pada kelompok kontrol mengalami kenaikan nilai serum kreatinin yaitu sebesar 0.1277 poin dari nilai sebelumnya. Sedangkan, rata-rata selisih nilai SCr sebelum dan sesudah pada kelompok uji yaitu -0.5757, artinya pada kelompok uji mengalami penurunan (perbaikan) nilai serum kreatinin sebanyak 0.5757 dari sebelum diberikan obat intervensi.

Sedangkan untuk analisis menggunakan data GFR diperoleh data signifikansi 0.014 (P<0.05). Hal demikian bermakna bahwa terdapat perbedaan signifikan nilai GFR kelompok kontrol dan nilai GFR kelompok uji. Diperoleh rata-rata kenaikan nilai GFR pada kelompok uji lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, yaitu kenaikan nilai GFR untuk kelompok uji  adalah 8.5567 point dari nilai sebelum nya. Dan nilai rata-rata kenaikan GFR kelompok kontrol adalah 1.7267 poin dari nilai sebelumnya. Artinya, kenaikan perbaikan fungsi ginjal lebih baik pada kelompok uji dibandingkan dengan kelompok uji kontrol.

Untuk data analisis menggunakan data Ureum diperoleh hasil nilai P-value = 0,726 (P>0,05). Hal demikian bermakna bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan nilai UREUM kelompok kontrol dan nilai UREUM kelompok uji.

 

Kesimpulan

Kelompok usia paling terbanyak yang menderita AKI dan diberikan N-acetylcysteine dosis 5000 mg iv adalah kelompok 56 – 65 tahun (lansia akhir) yaitu 40%, sementara kelompok terbanyak kedua adalah kelompok usia 46 – 55 tahun (lansia awal) yaitu 26.67%. Pada uji profil jenis kelamin diperoleh, jenis kelamin laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu pada kelompok uji persentase laki-laki sebanyak 80% (24 sampel), pada kelompok kontrol sebanyak 63.33% (19 sampel).   Diagnosis paling terbanyak adalah cerebral infarction yaitu 23.33%, sedangkan tertinggi kedua adalah cerebral infarction + covid-19 yaitu 21.66%. Sementara penyakit penyerta terbanyak adalah covid 19, yaitu sebanyak 29 pasien yang terdiagnosis Covid-19 atau 48.33 % dari total pasien menderita covid 19. Pada analisis hasil laboratorium, kadar hemoglobin, eritrosit, hematokrit pada kelompok uji dan kelompok kontrol cendrung dibawah normal. Sedangkan untuk kadar leukosit pada kelompok uji dan kelompok kontrol cendrung berada di atas normal yaitu sebanyak 80% – 83.33% pasien mengalami kenaikan nilai leukosit.

Pada Analisa profil pengobatan, jenis obat tertinggi adalah jenis obat antihipertensi yaitu 18.92% pada kelompok kontrol dan 19.20% pada kelompok uji, ini disebabkan karena banyaknya pasin AKI yang juga menderita hipertensi. Sedangkan tertinggi kedua adalah antibiotic yaitu sebesar 15.19% pada kelompok uji dan 16.82% pada kelompok kontrol, hal ini kemungkinan juga disebabkan pasien AKI di Intensive Care Unit juga menderita infeksi sistemik. Pada uji perbedaan fungsi ginjal pada kelompok uji dan kontrol, dapat disimpulkan bahwa terjadi signifikansi perbedaan pada perbaikan nilai fungsi ginjal antara kelompok uji dan kelompok kontrol yaitu di tingkat Scr dengan nilai signifikansi 0.003 (P<0.05) dan ditingkat GFR dengan nilai signifikansi 0.014 (P<0.05). Kelompok pasien yang telah diberikan N-acetylcysteine dosis tinggi iv lebih baik perbaikan fungsi ginjal nya dibandingkan dengan kelompok yang tanpa diberikan N-Acetylcysteine dosis tinggi iv.

 

BIBLIOGRAFI

 

Baskoro, R., Rw, C. F., & Suryono. (2015). Acute Kidney Injury ( AKI ) Sebagai Faktor Prediktor. Jurnal Komplikasi Anestesi, 2(2), 19–28.

Elhapidi, N. Z., Kalew, P. A., Darmadji, E. G., Pake, I. A. R., & Regina, S. (2023). Risk Prediction Acute Kidney Injury Pada Pasien Sepsis. Health Information: Jurnal Penelitian.

Fan, H., Le, J., & Zhu, J. (2020). Protective Effect of N-Acetylcysteine Pretreatment on Acute Kidney Injury in Septic Rats. Journal of Surgical Research, 254(59), 125–134. https://doi.org/10.1016/j.jss.2020.04.017

Hill N, Fatoba S, Oke J, Hirst J,  et al. (2016). Global prevalence of chronic kidney disease - A systematic review and meta analysis review. plos one. 1–18.

Hoste, E. A. J., Bagshaw, S. M., Bellomo, R., Cely, C. M., Colman, R., Cruz, D. N., Edipidis, K., Forni, L. G., Gomersall, C. D., Govil, D., Honoré, P. M., Joannes-Boyau, O., Joannidis, M., Korhonen, A. M., Lavrentieva, A., Mehta, R. L., Palevsky, P., Roessler, E., Ronco, C., … Kellum, J. A. (2015). Epidemiology of acute kidney injury in critically ill patients: the multinational AKI-EPI study. Intensive Care Medicine, 41(8), 1411–1423. https://doi.org/10.1007/s00134-015-3934-7

Huang, J. W., Lahey, B., Clarkin, O. J., Kong, J., Clark, E., Kanji, S., McCudden, C., Akbari, A., J.W. Chow, B., Shabana, W., & Hiremath, S. (2021). A Systematic Review of the Effect of N-Acetylcysteine on Serum Creatinine and Cystatin C Measurements. Kidney International Reports, 6(2), 396–403. https://doi.org/10.1016/j.ekir.2020.11.018

KDGIO. (2012). Clinical Practice Guidline for Acute Kidney Injury. ISN.

Liu, J., Xie, H., Ye, Z., Li, F., & Wang, L. (2020). Rates, predictors, and mortality of sepsis-associated acute kidney injury: a systematic review and meta-analysis. BMC nephrology21, 1-16.

Marwanta, S. (2012). Pengaruhn-Asetil Sistein Oral Terhadap Penurunan Kadar Tnf-? dan Prokalsitonin pada Pasien Penyakit Ginjalkronis Stadium V Yangmenjalanicapd di RSUD dr. Moewardi Surakarta. UNS (Sebelas Maret University).

Oranandari, R., & Supadmi, W. (2015). Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di Unit Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di Unit Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo, 25(7), 316–320.

Patrick, F. M., Umboh, O. R. H., & Rotty, L. W. A. (2019). Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Laju Filtrasi Glomerulus pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 3 dan 4 Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2017 - Desember 2018. E-CliniC, 8(1), 115–119. https://doi.org/10.35790/ecl.8.1.2020.27190

Risa, U. (2015). Angka kejadian Acute Kidney berdasarkan kriteria AKIN di ruang ICU di RSU DR.Soedarso tahun 2013. Ekp, 13(3), 1576–1580.

Setiawan, D., Harun, H., Azmi, S., & Priyono, D. (2018). Biomarker Acute Kidney Injury (AKI) pada Sepsis. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 113. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.838

Sinto, R., & Nainggolan, G. (2010). Acute kidney injury: pendekatan klinis dan tata laksana. Maj Kedokt Indon, 60(2), 81–88.

Sochman, J., & Krizova, B. (2006). Pencegahan kerusakan ginjal yang diinduksi agen kontras pada pasien dengan insufisiensi ginjal kronis dan penyakit jantung dengan N-acetylcysteine intravena dosis tinggi : sebuah studi percontohan.

Yong, B. J. C., & Dermawan, K. (2022). Profil Fungsi Ginjal Pasien Covid-19 Derajat Berat dengan Acute Kidney Injury terhadap Mortalitas di Unit Perawatan Intensif. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 8189–8197.

 

 

Copyright holder:

Nurul Ulya, Ros Sumarny, Wawaimuli Arozal, Eka Musridharta (2024)

 

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

 

 

This article is licensed under: