Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

                       

ANALISIS TANTANGAN DAN PELUANG PERKEMBANGAN GREEN SUKUK DI INDONESIA

 

Muhammad Fauzan Fahlevi1, Wirdyaningsih2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan tantangan penerbitan instrumen syariah berwawasan lingkungan di pasar modal Indonesia, termasuk green sukuk, blue sukuk, dan green reksa dana syariah. Instrumen ini diharapkan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif melalui studi literatur yang meliputi penerbitan green sukuk oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2018 dan 2019, serta potensi pengembangan oleh sektor swasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa green sukuk, yang ditujukan untuk proyek-proyek daratan, dan blue sukuk, yang berfokus pada ekosistem laut, memiliki peluang besar untuk berkembang. Namun, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan identifikasi aset berkelanjutan, kesiapan perusahaan penerbit, dan minimnya pihak yang melakukan penilaian lingkungan. Selain itu, langkah pemerintah dengan penerbitan green sukuk mendapat apresiasi internasional, namun upaya lebih lanjut dibutuhkan untuk mendorong korporasi menerbitkan instrumen serupa. Penerbitan sukuk bertema lingkungan oleh pemerintah telah membuka jalan bagi pengembangan lebih lanjut oleh sektor swasta. Sehingga perlu adanya penguatan kerja sama antara OJK dan pemangku kepentingan untuk menciptakan infrastruktur pendukung, serta pengembangan indeks syariah yang berfokus pada investasi berwawasan lingkungan. Produk seperti green reksa dana syariah juga perlu dikembangkan untuk memberikan pilihan investasi yang lebih beragam bagi investor yang peduli lingkungan.

Kata kunci: sukuk, green sukuk, pasar modal syariah, ESG, SDGs.

 

Abstract

This study aims to analyze the potential and challenges of issuing environmentally sound sharia instruments in the Indonesian capital market, including green sukuk, blue sukuk, and green sharia mutual funds. These instruments are expected to support sustainable development by taking into account environmental aspects. This research uses a descriptive-qualitative approach through a literature study covering the issuance of green sukuk by the Indonesian government in 2018 and 2019, as well as the potential for development by the private sector. The results show that green sukuk, which are aimed at terrestrial projects, and blue sukuk, which focus on marine ecosystems, have great opportunities for development. However, there are a number of challenges faced, such as the limited identification of sustainable assets, the readiness of issuing companies, and the lack of parties conducting environmental assessments. While the government's move to issue green sukuk has received international appreciation, further efforts are needed to encourage corporations to issue similar instruments. The issuance of environmental-themed sukuk by the government has paved the way for further development by the private sector. Therefore, it is necessary to strengthen cooperation between OJK and stakeholders to create supporting infrastructure, as well as the development of a sharia index that focuses on environmentally sound investments. Products such as sharia green mutual funds also need to be developed to provide more diverse investment options for investors who care about the environment.

Keywords: sukuk, green sukuk, Islamic capital market, ESG, SDGs.

 

Pendahuluan

Saat ini, isu kelestarian dan kesehatan lingkungan menjadi topik hangat dalam pertemuan internasional, sehingga keberadaan institusi yang peduli lingkungan dalam operasional mereka sangat diharapkan, bahkan diwajibkan. Proyek penghijauan muncul sebagai respons terhadap keprihatinan global untuk mencapai pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (Hariyanto, n.d.; Syafari, 2022). Pada tahun 2008, Bank Dunia memperkenalkan konsep "Obligasi Hijau" sebagai bagian dari "Kerangka Strategis untuk Pembangunan dan Perubahan Iklim", yang memberikan cara inovatif bagi investor untuk mendukung energi terbarukan, transportasi massal, dan proyek dengan emisi karbon rendah. Konsep ini juga merupakan jawaban atas meningkatnya permintaan dari investor yang ingin berinvestasi dalam instrumen terkait perubahan iklim dan upaya perlindungan bumi. Pada tahun 2015, Bank Dunia menerbitkan Green Bond senilai USD 8,5 miliar yang tersebar dalam 15 mata uang di seluruh dunia. Yang menarik, Green Bond ini mendapatkan kategori sebagai instrumen investasi berkualitas tinggi dengan risiko rendah.

Industri keuangan syariah, yang bertujuan untuk mencapai falah, selalu berhubungan dengan aktivitas yang mendatangkan manfaat bagi umat. Pembiayaan syariah mengikuti prinsip-prinsip agama yang melarang keterlibatan dalam judi, tembakau, dan alkohol, namun kini lebih menekankan pada tanggung jawab sosial yang lebih luas, termasuk perlindungan lingkungan (Efitra & Uzma, 2024; Fatah, 2024; Sabila, 2024). Keuangan Islam yang berfokus pada lingkungan dan pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat menjawab kekhawatiran masyarakat terkait pencemaran dan kerusakan lingkungan. Prinsip investasi dalam keuangan Islam sejatinya sejalan dengan konsep ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Dengan adanya Obligasi Hijau sebagai instrumen investasi, muncul juga produk keuangan berbasis energi terbarukan dan berkelanjutan dalam pembiayaan syariah, yang dikenal sebagai Green Sukuk.

Gagasan Green Sukuk muncul sebagai inisiatif dari negara-negara maju yang masyarakatnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap pembangunan berkelanjutan. Investasi berbasis pembangunan berkelanjutan tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada cara pemanfaatan sumber daya alam yang sehat dan berkelanjutan (Abdullah & Keshminder, 2022; Faisal et al., 2023). Green Sukuk menjadi instrumen pembiayaan yang krusial bagi kelestarian lingkungan. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang tengah fokus pada pembangunan di berbagai sektor, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dalam pembangunan infrastruktur dapat merugikan lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan melakukan perbaikan lingkungan melalui program-program berkelanjutan. Mengikuti model Green Bond yang dikembangkan oleh Bank Dunia, diharapkan negara-negara lain juga dapat mengembangkan Green Sukuk untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan program pengurangan emisi karbon. Kehadiran Green Sukuk di Indonesia sangat potensial dan penting untuk menyelaraskan pembangunan dengan upaya pelestarian lingkungan. Green Sukuk adalah instrumen keuangan inovatif yang mendukung komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca berdasarkan hukum Islam, dengan panduan dari standar Green Bond dan kerangka Green Sukuk.

Pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini merupakan peluang besar untuk pengembangan Green Sukuk. Pemerintah telah memiliki program pembangunan infrastruktur terpadu dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Agar program ini sejalan dengan pengurangan emisi karbon, perlu adanya penyelarasan antara MP3EI dan konsep infrastruktur hijau (Anggraini, 2018). Beberapa proyek yang dapat dikategorikan sebagai infrastruktur hijau meliputi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, seperti tenaga angin, tenaga surya, dan panas bumi, serta transportasi massal di kota-kota besar. Untuk mendukung pembiayaan infrastruktur tersebut, pemerintah dapat menerbitkan Sukuk Negara.

Penerbitan Green Sukuk saat ini juga memberikan peluang untuk mengembangkan basis investor, mengingat semakin banyak investor, baik korporasi maupun individu, yang peduli terhadap isu lingkungan, terutama penanggulangan perubahan iklim. Dengan potensi ini, pada tahun 2018, Kementerian Keuangan Indonesia berinisiatif menerbitkan green sukuk domestik yang juga menyasar investor internasional. Diharapkan penerbitan Green Sukuk ini dapat membantu pemerintah mendapatkan sumber pembiayaan infrastruktur terbarukan di dalam negeri dan mendukung alokasi pembiayaan yang berwawasan lingkungan. Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang menerbitkan obligasi hijau di Asia Tenggara dan melakukan penerbitan Green Sukuk pertama di dunia oleh negara, dengan nilai USD 1,25 miliar pada Maret 2018 (Riana et al., 2020).

Sebagai inovasi yang masih baru, ada banyak peluang untuk mengembangkan Green Sukuk di Indonesia, serta tantangan yang dapat diminimalkan dalam praktiknya. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana Ekonomi Islam mempelopori konsep pembangunan berkelanjutan, serta peluang dan tantangan dalam pengembangan Green Sukuk di Indonesia. Sehingga, dari uraian latar belakang dan informasi diatas dapat diketengahkan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana Penerbitan Green Sukuk di Indonesia? (2) Bagaimana Peluang dan Tantangan serta Perkembangan Green Sukuk di Indonesia?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini dipilih karena bertujuan untuk menggambarkan analisis tantangan dan peluang, serta strategi yang diterapkan dalam pengembangan produk Green Sukuk.

Data dikumpulkan melalui studi literatur yang mendalam serta wawancara dengan para ahli di bidang keuangan berkelanjutan. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci dalam pengembangan produk tersebut

 

 

Hasil dan Pembahasan

Konsep Investasi terkait ESG dan SDGs

1)  ESG (Environmental, Social, and Governance)

Istilah “ESG”, “investasi yang bertanggung jawab”, dan “investasi berkelanjutan” merujuk pada integrasi pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam keputusan investasi. Investor umumnya mengevaluasi faktor-faktor ESG dengan menggunakan data nonkeuangan yang berkaitan dengan dampak lingkungan (seperti emisi karbon), dampak sosial (seperti kepuasan karyawan), dan aspek tata kelola (seperti struktur dewan). Survei ini akan memberikan definisi yang lebih rinci, tetapi secara umum, investor yang bertanggung jawab berupaya menghindari atau mengurangi risiko terkait ESG dalam investasi mereka, serta mendorong perusahaan untuk lebih berorientasi pada ESG, sehingga dapat memberikan manfaat positif yang lebih besar bagi Masyarakat (Matos, 2020). ESG adalah perkembangan dari Socially Responsible Investments (SRI), yang merupakan gerakan investasi global berlandaskan nilai etika, perlindungan lingkungan, dan peningkatan kondisi sosial (Renneboog et al., 2008). Berbeda dengan SRI, ESG lebih menekankan pada faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola sebagai indikator untuk mengevaluasi kinerja perusahaan. Faktor lingkungan mencakup isu seperti limbah, polusi, dan perubahan iklim. Faktor sosial berfokus pada perlakuan perusahaan terhadap karyawan, keragaman, dan kondisi kerja. Sementara itu, faktor tata kelola menilai kebijakan dan struktur pengelolaan perusahaan.

Pengembangan dari SRI ke ESG dipicu oleh potensi risiko kerusakan lingkungan akibat aktivitas bisnis, yang berdampak pada ekosistem, air, udara, dan kesehatan manusia. Implementasi ESG mencakup strategi perusahaan dalam menghadapi perubahan iklim, pengelolaan air, dan kebijakan kesehatan dan keselamatan. Sekitar 70% CEO di Hong Kong mengakui bahwa kepatuhan terhadap komitmen ESG berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bisnis mereka.

Dari sisi investor, pertumbuhan investasi ESG berkembang lebih cepat dibandingkan SRI, meskipun SRI diperkenalkan lebih dahulu. Pada tahun 2016, investasi ESG mencapai lebih dari USD 22,8 triliun dalam Aset Under Management (AUM), sekitar seperempat dari total aset yang dikelola secara profesional di seluruh dunia. Angka ini meningkat menjadi USD 30,6 triliun pada tahun 2018. Selain itu, 84% investor menyatakan bahwa mereka bersedia mempertimbangkan integrasi kriteria ESG dalam portofolio investasi mereka.

 

Tabel 1. Global Sustainable Investing Asset (2014-2018)

Region

2014 ($)

2014 (%)

2016 ($)

2016 (%)

2018 ($)

2018 (%)

Eropa

10775

58.96

12040

52.6

14075.0

45.87

Amerika Serikat

6572

35.96

8723

38.11

11995.0

39.09

Jepang

7

0.04

474

2.07

2180.0

7.1

Kanada

729

3.99

1086

4.74

1699.0

5.54

Australia/Selandia Baru

148

0.81

516

2.25

734.0

2.39

Asia (kec. Jepang)

45

0.25

52

0.23

N/A

N/A

Total

18276

-

22890

-

30683.0

N/A

Sumber: GSIR 2016 & 2018

 

Investasi ESG secara global menunjukkan tren peningkatan tahunan, meskipun masih didominasi oleh investor di Eropa dan Amerika Serikat, yang mencakup sekitar 90% hingga 2018. Di Asia, termasuk Jepang, proporsi investasi masih sangat kecil; pada tahun 2014, Asia menyumbang hanya 0,25% dan Jepang 0,04%. Meskipun ada peningkatan pada akhir 2018, kontribusi kedua kawasan tersebut tetap di bawah 10% dari total investasi hijau dunia. Sementara porsi investasi ESG di AS, Jepang, dan Kanada meningkat, di Asia malah menurun, disebabkan oleh perbedaan standar tata kelola dan rendahnya transparansi keuangan (de Villiers et al., 2022). Namun, hal ini juga menunjukkan adanya peluang besar untuk investasi ESG di Asia, terutama mengingat masalah lingkungan yang mendesak di kawasan tersebut.

 

 

 

2)  SDGs (Sustainable Development Goals)

Konsep Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diresmikan oleh PBB pada 25 September 2015. SDGs terdiri dari tujuh belas tujuan yang berfokus pada pengembangan global. Untuk negara maju, SDGs bertujuan mengurangi ketimpangan serta konsumsi dan produksi yang berlebihan. Sementara itu, bagi negara berkembang, SDGs berfokus pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, perlindungan ekosistem laut dan hutan, serta akses sanitasi dan air (Collste et al., 2023).

Sebelum SDGs dirumuskan, negara-negara di dunia telah sepakat bahwa pendanaan merupakan kunci keberhasilan implementasi pembangunan berkelanjutan. Komitmen ini tercantum dalam Addis Ababa Action Agenda (AAAA) yang dikeluarkan pada Juli 2015 dalam konferensi United Nations Third International Conference on Financing for Development. Agenda ini dihadiri oleh 174 negara dan berbagai institusi swasta, termasuk bank pembangunan, organisasi PBB, dan organisasi non-pemerintah.

Salah satu strategi pembiayaan yang disepakati dalam AAAA adalah blended financing, yang melibatkan kolaborasi pendanaan antara pemerintah dan sektor swasta. Tujuannya adalah memberikan insentif kepada institusi non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam program pembangunan berkelanjutan, dengan penekanan pada pembagian risiko dan manfaat yang adil. Namun, masih ada kesenjangan pembiayaan untuk mencapai SDGs di negara-negara berkembang yang diperkirakan mencapai USD 2,5-3 triliun per tahun. Kebutuhan ini, terutama di Indonesia, mendorong pemerintah untuk mengembangkan strategi pembiayaan baru guna mempercepat pencapaian SDGs (Kementerian PPN, 2017).

 


Gambar 1. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: Bappenas

 

Untuk mencapai SDGs, Instrumen Keuangan Hijau seperti green bond bisa menjadi alternatif sumber pendanaan. Selain green bond atau sukuk, terdapat juga obligasi sosial yang berfokus pada pembiayaan proyek dengan dampak positif terhadap masalah sosial. Kategori proyek sosial dalam Social Bond Principle (SBP) meliputi akses terhadap infrastruktur dasar (air, sanitasi, energi), kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan), perumahan, pemberdayaan UMKM, dan ketahanan pangan. Target penerima manfaat dari social bond mencakup populasi marginal, pengungsi, difabel, dan migran.

Obligasi berkelanjutan menggabungkan elemen green bond dan social bond, mengingat bahwa beberapa proyek sosial juga dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan. Oleh karena itu, prinsip dasar penerbitan obligasi berkelanjutan diselaraskan dengan komponen inti dalam Green Bond Principles (GBP) dan SBP. Dengan variasi jenis obligasi ini, penerbit memiliki fleksibilitas untuk memilih klasifikasi yang sesuai berdasarkan tujuan dan proyek yang ada.Secara spesifik, green bond dapat memobilisasi sumber daya dari pasar modal domestik dan internasional untuk penanganan perubahan iklim (SDG 13), energi bersih dan terjangkau (SDG 7), ekosistem lautan (SDG 14) serta ekosistem daratan (SDG 15). Penerbitan green bond juga pada akhirnya akan mendukung, antara lain, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan (SDG 3), peningkatan akses air bersih dan sanitasi (SDG 6), serta pembentukan kota dan komunitas yang berkelanjutan (SDG 11) dan tujuan pembangunan berkelanjutan lainnya. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa instrumen green bond berkontribusi besar terhadap pencapaian sebagian besar tujuan dalam SDGs.

 

Standar dan Kerangka Green Bond di Indonesia

Secara definisi, green bond adalah jenis obligasi yang berfungsi sama dengan obligasi biasa, yaitu sebagai pernyataan utang dari penerbit kepada pemegang obligasi, dengan janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunga pada tanggal jatuh tempo. Jangka waktu obligasi umumnya berkisar antara 1 hingga 15 tahun. Perbedaan utama antara obligasi biasa dan green bond terletak pada peruntukannya; green bond khusus dialokasikan untuk membiayai proyek atau kegiatan yang mendukung kelestarian lingkungan. Dengan kata lain, bisnis yang dibiayai melalui green bond harus dijamin tidak merusak lingkungan.

Cicero, lembaga penelitian iklim terkemuka di Norwegia, mengkategorikan green bond menjadi tiga kategori:

a. Dark Green: Proyek yang secara signifikan menurunkan emisi karbon dalam jangka panjang, seperti energi angin.

b. Medium Green: Inisiatif yang merupakan langkah maju yang baik, seperti bus plug-in hybrid.

c. Light Green: Proyek ramah lingkungan yang tidak mengubah prospek jangka panjang, seperti infrastruktur bahan bakar fosil yang lebih efisien.

Contoh proyek yang dapat dibiayai mencakup proyek air bersih, energi terbarukan, efisiensi energi, restorasi sungai dan habitat, serta mitigasi dampak perubahan iklim (Wijaya, 2019).

 

1.      Karakteristik Penerbitan Green Bond

Berdasarkan uraian diatas, secara teknis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan penerbitan Green Bond, antara lain sebagai berikut (Wijaya, 2019):

a.   Green Bond hanya dapat diterbitkan untuk membiayai proyek hijau, yaitu proyek yang terkait dengan: instalasi surya dan angin,

pendanaan teknologi baru yang memungkinkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan,

rehabilitasi pembangkit listrik dan fasilitas transmisi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terkait dengan efisiensi yang lebih besar dalam transportasi, termasuk penggantian bahan bakar dan transportasi massal, pengelolaan limbah (emisi metana) dan konstruksi bangunan hemat energi, pengurangan karbon melalui reboisasi dan menghindari deforestasi, proyek perlindungan terhadap banjir – termasuk reboisasi dan pengelolaan daerah aliran sungai, peningkatan ketahanan pangan, dan

penerapan sistem pertanian yang dapat memperlambat deforestasi.

b.      minimal 70 persen dari hasil dari penjualan Green Bond digunakan untuk membiayai proyek-proyek hijau yang disepakati. Penerbit harus mengelola hasil dari Green Bond. Disamping itu mempunyai kewajiban untuk melaporkan penggunaan hasilnya. Sebagai bagian dari pengelolaan hasil, penerbit harus membuat akun terpisah atau mengungkapkan dalam catatan khusus dalam laporan keuangan.

c.     manfaat lingkungan dari proyek harus didefinisikan dengan jelas dan diverifikasi oleh pihak ketiga yang independen. Kinerja Green Bond dan proyek-proyek harus ditinjau oleh pihak ketiga yang independen dan hasilnya harus dilaporkan setiap tahun kepada Otoritas.

d.     khusus proyek-proyek yang dibiayai oleh Green Bond dari Bank Dunia, peruntukannya termasuk untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ekonomi lokal.

2.  Manfaat Green Bond

Dari berbagai pengalaman di negara – negara di dunia yang menerbitkan Green Bond, diperoleh kesimpulan bahwa manfaat Green Bond, antara lain adalah sebagai berikut (Wijaya, 2019):

a.     Green Bond adalah cara terbaik untuk mengamankan sejumlah besar modal untuk mendukung investasi lingkungan yang tidak ekonomis menggunakan modal yang lebih mahal. Green Bond sangat cocok untuk proyek keberlanjutan skala besar. Oleh sebab itu untuk beberapa negara, Green Bond diberikan insentif, seperti pembebasan pajak dan kredit pajak.

b.     Green Bond dapat meningkatkan reputasi emiten. Emiten dianggap telah menunjukkan komitmen mereka terhadap kepedulian lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Ini juga memberikan akses kepada emiten ke sejumlah investor global tertentu yang hanya berinvestasi dalam kegiatan bisnis yang berkelanjutan.

Penerbit Green Bond memperoleh keuntungan lain berupa semakin banyaknya alternatif investor yang peduli terhadap pelestarian lingkungan. Meningkatnya permintaan yang tinggi untuk Green Bond dapat menurunkan biaya pinjaman yang lebih rendah, sehingga memberikan peluang meningkatkan keuntungan

 

 

Penerbitan Green Sukuk di Indonesia dan Analisis dampak Penerbitan Green Sukuk Ritel

Penerbitan sukuk berkonsep pembiayaan hijau (green financing) di Indonesia saat ini merupakan cara cerdas dari upaya pemerintah untuk mengatasi kendala pengembangan sukuk negara dalam diversifikasi underlying asset. Green Sukuk (obligasi Syariah berbasis pembangunan berwawasan lingkungan) telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSNMUI/IX/2002 tentang obligasi syariah, karena produk investasi sukuk hijau (Green Sukuk) merupakan bagian dari sukuk itu sendiri yang merupakan surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah, berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Dengan demikian, pemegang Green Sukuk juga akan mendapatkan keuntungan bukan dalam bentuk bunga, melainkan dalam bentuk bagi hasil (margin/fee) sehingga Green Sukuk sendiri telah memuat dua standar, yaitu untuk memenuhi mandat kepedulian lingkungan dan kepatuhan syariah (Karina, 2019).

Penerbitan Green Sukuk bertujuan untuk menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian lingkungan demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan. Sebelum inisiatif ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan serangkaian obligasi ritel (ORI), beberapa di antaranya dianggap sebagai prototipe obligasi hijau. Sebagian besar obligasi ini memiliki jangka waktu tiga tahun dan membayar bunga setiap bulan dengan tingkat sekitar 7%, yang dianggap kompetitif dibandingkan instrumen keuangan lainnya (Anugrahaeni, 2017).

Penerbitan Green Sukuk bertujuan untuk menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian lingkungan demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan. Sebelum inisiatif ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan serangkaian obligasi ritel (ORI), beberapa di antaranya dianggap sebagai prototipe obligasi hijau. Sebagian besar obligasi ini memiliki jangka waktu tiga tahun dan membayar bunga setiap bulan dengan tingkat sekitar 7%, yang dianggap kompetitif dibandingkan instrumen keuangan lainnya (Karina, 2019).

Pemerintah Indonesia merespons kesuksesan penerbitan global sovereign green sukuk pada tahun 2018 dengan merilis instrumen Green Sukuk Ritel berseri ST006 dan ST007 pada tahun 2019. SBSN Ritel adalah instrumen Surat Berharga Negara yang ditujukan untuk investor individu domestik. Penerbitan ini dilakukan melalui sukuk ritel yang fleksibel dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder setelah masa penjatahan.

Green Sukuk 2019 menjadi yang pertama dijual secara ritel berbasis rupiah di Indonesia, dengan masa penawaran dari 1 hingga 21 November 2019. Calon investor diminta untuk memahami syarat-syarat yang tercantum dalam memorandum informasi ST006 sebelum melakukan pemesanan. Penerbitan ini diharapkan menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pembiayaan syariah berbasis hijau di tingkat negara (Riana et al., 2020).

Proyek yang dibiayai mengacu pada Green Bonds Principles, mencakup proyek yang mendukung pengurangan emisi karbon dan ketahanan terhadap perubahan iklim, seperti keanekaragaman hayati, transportasi berkelanjutan, pertanian hijau, dan pariwisata hijau. Kerangka kerja green bond dan green sukuk telah disusun pemerintah dengan kolaborasi antar kementerian dan ditinjau oleh CICERO, serta mendapatkan penilaian medium green grade dari pengawas independen. Ini mencerminkan ambisi iklim dan kekuatan tata kelola dalam framework tersebut, yang dikategorikan dari dark green hingga brown.

Dalam pelaksanaan seleksi dan evaluasi proyek yang didanai oleh green sukuk, pemerintah Indonesia menggunakan sistem penandaan anggaran perubahan iklim (Climate Budget Tagging) yang diperkenalkan pada tahun 2015. Sistem ini berfungsi untuk mengidentifikasi alokasi dan realisasi anggaran publik yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Proses Climate Budget Tagging diinisiasi oleh Kementerian Keuangan dengan dukungan United Nations Development Programme (UNDP). Sistem ini terintegrasi dalam sistem KRISNA-Bappenas dan melibatkan kementerian-kementerian teknis untuk menandai anggaran terkait kegiatan mitigasi dan adaptasi.

Untuk laporan dampak green sukuk, masing-masing kementerian bersama dengan Sekretariat Perubahan Iklim di BAPPENAS menganalisis dampak lingkungan dari setiap kegiatan. Hasil analisis ini kemudian divalidasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memastikan konsistensi dengan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

Berdasarkan analisis hasil penerbitan green sukuk ritel ST-006 pada Tahun 2019 beserta evaluasinya, dapat diketahui terdapat beberapa kelemahan dari hasil penerbitan perdana yang telah dilakukan. Meskipun demikian, keberadaaan green sukuk ritel ini membawa dampak yang positif dari berbagai aspek. Pertama, telah diketahui bahwa konsep ekonomi dan keuangan syariah sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada etika, keadilan, dan kesetaraan. Oleh karena itu, instrumen-instrumen ekonomi keuangan syariah termasuk green sukuk ritel memberikan dampak positif dalam mendukung berbagai aktivitas produktif, redistribusi kesejahteraan kepada masyarakat kurang mampu sekaligus mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) (Riana et al., 2020).

Selain itu, green sukuk ritel tidak hanya berfungsi sebagai kebijakan fiskal yang meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Penerbitan green sukuk mendukung komitmen Indonesia untuk mencapai beberapa tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), seperti energi bersih dan terjangkau, pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak, industri, inovasi, infrastruktur, serta aksi terhadap perubahan iklim.

Green sukuk ritel adalah salah satu instrumen keuangan syariah yang hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai proyek-proyek lingkungan (green projects). Penerbitan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri. Investasi pada green sukuk ritel menjadi salah satu bentuk kontribusi warga negara dalam mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan.

Salah satu keunggulan green sukuk domestik adalah terhindar dari risiko nilai tukar. Berbeda dengan green sukuk global yang diterbitkan dalam denominasi US Dollar, green sukuk ritel menggunakan denominasi Rupiah. Setelah krisis ekonomi 1998, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan untuk mengutamakan pembiayaan defisit APBN dari dana dalam negeri. Dengan meminjam dana dari masyarakat, pemerintah dapat menghindari risiko nilai tukar yang mungkin timbul akibat gejolak nilai Rupiah terhadap mata uang asing, terutama US Dollar. Fitur ini diharapkan dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan di dalam negeri.

Selain itu, green sukuk ritel dapat berfungsi sebagai acuan (benchmark) untuk penentuan nilai instrumen keuangan lainnya, khususnya sukuk atau obligasi berorientasi hijau. Yield curve yang terbentuk oleh sukuk ini dapat dijadikan acuan bagi perusahaan dalam menentukan yield sukuk yang mereka terbitkan. Acuan ini juga membantu investor dalam melakukan penilaian (valuasi) dan analisis terhadap harga wajar suatu sukuk dengan tingkat risiko tertentu.

Selain itu, inisiatif pemerintah untuk menerbitkan instrumen berbasis hijau dapat menginspirasi dan mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penerbitan instrumen serupa. Contohnya, PT Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) menerbitkan corporate green bond pertama pada tahun 2019, mengikuti jejak pemerintah. Diharapkan, penerbitan green sukuk oleh pemerintah dapat memicu perusahaan swasta atau daerah untuk melakukan hal yang sama.

Dampak lainnya terkait literasi dan inklusi pasar modal syariah di Indonesia masih sangat rendah, dengan tingkat literasi keuangan hanya 4.44% dan inklusi pasar modal 1.25%, berdasarkan laporan OJK tahun 2016. Untuk pasar modal syariah, tingkat literasi berada di 0.02% dan inklusi di 0.01%. Rendahnya angka ini mendorong pemerintah untuk meningkatkan sosialisasi dan menambah instrumen investasi di pasar modal syariah. Melalui green sukuk ritel, diharapkan dapat memperluas basis investor domestik yang peduli terhadap pelestarian lingkungan dan SDGs, sehingga meningkatkan inklusi pasar modal syariah. Promosi dan sosialisasi yang masif juga diharapkan dapat meningkatkan literasi pasar modal syariah, khususnya mengenai green sukuk.

Sosialisasi budaya investasi dapat disinergikan dengan budaya peduli lingkungan hidup. Kepedulian terhadap lingkungan sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mencakup berbagai aspek seperti pemilihan makanan, pakaian, penggunaan produk ramah lingkungan, hingga pilihan investasi berbasis hijau. Jika investasi hijau menjadi bagian dari budaya masyarakat, dorongan bagi pemerintah dan swasta untuk membangun infrastruktur ramah lingkungan juga akan meningkat. Dengan demikian, komitmen Indonesia untuk memitigasi perubahan iklim dan membangun ketahanan nasional akan lebih cepat terwujud.

Berdasarkan penjelasan di atas, beberapa dampak positif dari penerbitan green sukuk ritel adalah sebagai berikut (Riana et al., 2020):

1.     Kontribusi Masyarakat: Investasi pada green sukuk ritel merupakan bentuk kontribusi masyarakat kepada negara dan mendukung implementasi Paris Agreement serta SDGs.

2.     Pengurangan Emisi: Green sukuk ritel memberikan dampak positif terhadap pengurangan emisi rumah kaca dan pelestarian lingkungan.

3.     Peningkatan Pendapatan Fiskal: Green sukuk ritel dapat berkontribusi pada peningkatan pendapatan fiskal negara dan mewujudkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan.

4.     Acuan bagi Penerbitan Lain: Penerbitan green sukuk oleh pemerintah dapat menjadi acuan dan inspirasi bagi penerbitan green sukuk lainnya oleh korporasi atau daerah.

5.     Jangkauan Investor Baru: Dengan skema ritel, green sukuk dapat menjangkau kelompok nasabah baru, yaitu green investor, yang memperluas basis investor domestik dan berdampak positif pada inklusi finansial.

6.     Sosialisasi Budaya Lingkungan: Adanya green sukuk juga berfungsi sebagai sosialisasi untuk mencintai lingkungan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan budaya investasi untuk pendanaan hijau.

 

Peluang dan Tantangan Perkembangan Green Sukuk di Indonesia

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menjadikan Green Sukuk sebagai bagian dari kebijakan fiskal untuk menangani masalah perubahan iklim. Kebijakan pembiayaan anggaran diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif melalui pengembangan instrumen pembiayaan inovatif yang dikelola secara prudent demi menjaga keberlanjutan fiskal. Kementerian Keuangan menerbitkan Sovereign Green Sukuk, baik dalam bentuk global green sukuk maupun green sukuk ritel (sukuk tabungan), untuk membiayai proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pemerintah.

Peluang penerbitan Green Sukuk di Indonesia masih terbuka lebar, dengan beberapa alasan sebagai berikut (Dwi Irianti Hadiningdyah, Direktur Pembiayaan Syariah, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan):

1.   Tren Hijau: Ada momentum gerakan peduli lingkungan yang semakin meningkat.

2.   Kesadaran Milenial: Meningkatnya kesadaran generasi milenial terhadap isu lingkungan.

3.   Inovasi Pertama: Green Sukuk Ritel ST006 menjadi yang pertama di dunia.

4.   Komitmen Pemerintah: Komitmen pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim.

5.   Pendanaan Proyek Ramah Lingkungan: Green Sukuk digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang ramah lingkungan.

6.   Penurunan Emisi Karbon: Upaya untuk menurunkan emisi karbon dan mendukung keberlanjutan lingkungan.

Pengaruh penerbitan Green Sukuk di Indonesia dapat dilihat melalui studi kasus investasi sebesar Rp1 juta di Green Sukuk Ritel ST007. Dalam dua tahun mendatang, investasi ini akan menjadikan Anda wakil atau pemilik aset hijau negara di sektor transportasi berkelanjutan dan ketahanan terhadap perubahan iklim, memberikan dampak positif bagi bumi dan masyarakat.

Berdasarkan laporan dampak Green Sukuk 2020, penurunan emisi karbon pada proyek jalur kereta Trans Sumatera diproyeksikan mencapai 213.000 ton. Dalam kalkulasi sederhana, setiap investasi ini berpotensi menurunkan emisi sebanyak +/- 2 ton. Dua ton ini dapat diartikan setara dengan perjalanan Jakarta-Bandung sebanyak 56 kali atau menanam sekitar 200 pohon manggis.

Green Sukuk berfungsi sebagai pembiayaan inovatif, di mana penentuan underlying aset mengacu pada data Climate Budget Tagging dan berpedoman pada Indonesia’s Green Bond/Sukuk Framework. Berikut adalah data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan terkait lini masa penerbitan Sovereign Green Sukuk:

Gambar 2. Data Kebijakan Fiskal terkait Lini Masa Penerbitan Sovereign Green Sukuk

Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI

 

Dengan rincian sektor yang dibiayai Green Sukuk sebagai berikut :

Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI

 

Tantangan dan inisiatif strategis mendatang dalam penerbitan Green Sukuk di Indonesia dapat dijelaskan dalam berbagai aspek. Dari sisi calon investor, instrumen Green Sukuk yang relatif baru masih belum dikenal luas. Kurangnya sosialisasi dan edukasi Green Sukuk kepada masyarakat dapat menjadi penghambat dalam pemahaman produk baru tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kegiatan sosialisasi dengan ‘menggandeng’ para stakeholder pasar modal termasuk influencer keuangan syariah dalam bentuk kegiatan edukasi yang berkelanjutan dan berkesinambungan (Hariyanto, n.d.).

Dari sisi penerbit, pemahaman Satuan Kerja di Kementerian Keuangan mengenai proses bisnis Green Sukuk sangat penting untuk mendukung kesuksesan dari tahap persiapan, penggunaan hasil penerbitan, hingga pelaporan kegiatan. Tantangan lain yang dihadapi adalah pelaporan proyek terkait perkembangan pembangunan dan manfaat proyek tersebut untuk mitigasi perubahan iklim serta pembangunan berkelanjutan.

Pelaporan ini disyaratkan oleh lembaga review seperti CICERO, sehingga koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Satuan Kerja perlu ditingkatkan. Ini termasuk menyepakati indikator yang digunakan dalam pelaporan dan menilai dampak dari proyek. Jika diperlukan, pemerintah dapat bekerja sama dengan independent reviewer dalam proses monitoring dan pelaporan untuk memenuhi kriteria yang diharapkan.

Kebijakan pembangunan ekonomi "pro-green" yang telah dicanangkan sejak tahun 2010 perlu dilanjutkan, meskipun terjadi pergantian pimpinan pemerintahan. Pembangunan ekonomi yang memperhatikan keberlanjutan daya dukung lingkungan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat saat ini dan di masa depan.

Pada tahun 2014, Bappenas telah meluncurkan “Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Green Economy,” yang bertujuan menjadi pedoman dalam pengembangan ekonomi berwawasan lingkungan. Sasaran awalnya adalah "menghijaukan" sektor industri, transportasi, energi, serta sektor berbasis lahan seperti pertanian dan kehutanan. Diharapkan prakarsa ini dapat dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan, sejalan dengan komitmen pemerintah dalam upaya pengurangan emisi karbon dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Di sisi fiskal, upaya untuk melakukan inovasi sumber pembiayaan perlu terus dilakukan guna mendukung realisasi aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sesuai dengan target Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang dipimpin oleh Presiden RI, penerbitan Sukuk Negara akan terus ditingkatkan secara bertahap seiring dengan kemampuan pasar keuangan.

Peningkatan penerbitan ini diharapkan dapat menambah porsi Sukuk Negara yang digunakan untuk pembiayaan infrastruktur yang dikategorikan sebagai infrastruktur hijau. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Pengembangan bentuk pembiayaan kerja sama (partnership) yang melibatkan sektor swasta atau BUMN, misalnya dalam pembangunan infrastruktur hijau, menjadi langkah penting. Dengan kolaborasi ini, diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dan mendukung mitigasi perubahan iklim secara lebih efektif.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerbitan Green Sukuk di Indonesia, meskipun masih baru, menghadapi beberapa tantangan, namun menawarkan peluang yang menjanjikan karena manfaatnya bagi manusia dan lingkungan. Karakteristik penerapan prinsip syariah pada Green Sukuk, di mana keuntungan diperoleh dalam bentuk bagi hasil (margin/fee) dan bukan bunga, menunjukkan bahwa Green Sukuk memenuhi dua standar: kepedulian lingkungan dan kepatuhan syariah. Secara khusus, kesimpulan dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Porsi investasi ESG di Asia mengalami penurunan, terutama karena perbedaan standar tata kelola dibandingkan dengan negara maju dan rendahnya transparansi keuangan. Meski demikian, peluang investasi ESG di Asia tetap besar, mengingat relevansinya dengan masalah lingkungan yang mendesak di kawasan ini. (2) Beberapa kategori proyek sosial yang termasuk dalam Social Bond Principle (SBP) mencakup pembiayaan untuk akses infrastruktur dasar (air, sanitasi, energi), kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, jasa keuangan), perumahan, pemberdayaan UMKM, dan ketahanan pangan, yang ditujukan untuk populasi marginal, pengungsi, difabel, dan migran. Di sisi lain, obligasi berkelanjutan menggabungkan elemen green bond dan social bond. (3) Indonesia menjadi pionir penerbitan obligasi hijau di Asia Tenggara dengan menerbitkan Global Sovereign Green Sukuk berjangka waktu lima tahun senilai US$1,25 miliar (Rp16,75 triliun) pada Maret 2018, yang mendapat tanggapan positif, sehingga pemerintah terus mengupayakan pengembangan lebih lanjut. (4) Sesuai dengan target Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang dipimpin oleh Presiden RI, penerbitan Sukuk Negara akan terus ditingkatkan secara bertahap seiring dengan kemampuan pasar keuangan. Peningkatan ini diharapkan dapat menambah porsi Sukuk Negara yang dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur hijau.

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdullah, M. S., & Keshminder, J. S. (2022). What drives green sukuk? A leader’s perspective. Journal of Sustainable Finance and Investment, 12(3). https://doi.org/10.1080/20430795.2020.1821339

Anggraini, Y. (2018). Peran Green Sukuk Dalam Memperkokoh Posisi Indonesia Di Pasar Keuangan Syariah Global. El-Barka: Journal of Islamic Economics and Business, 1(2). https://doi.org/10.21154/elbarka.v1i2.1453

Anugrahaeni, P. (2017). Analisis Inisiatif Sovereign Green Bond dan Green Sukuk Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi & Keuangan, I (1).

Collste, D., Aguiar, A. P. D., Harmáčková, Z. V., Galafassi, D., Pereira, L. M., Selomane, O., & van Der Leeuw, S. (2023). Participatory pathways to the Sustainable Development Goals: inviting divergent perspectives through a cross-scale systems approach. Environmental Research Communications, 5(5). https://doi.org/10.1088/2515-7620/acce25

de Villiers, C., Jia, J., & Li, Z. (2022). Corporate social responsibility: A review of empirical research using Thomson Reuters Asset4 data. Accounting and Finance, 62(4). https://doi.org/10.1111/acfi.13004

Efitra, E., & Uzma, I. (2024). Investasi Tanpa Riba: Membangun Portofolio Saham Syariah yang Berkelanjutan. PT. Sonpedia Publishing Indonesia.

Faisal, Y. A., Gunawan, I., Cupian, Hayati, A., Apriliadi, A., & Fajri, M. (2023). Examining the Purchase Intentions of Indonesian Investors for Green Sukuk. Sustainability (Switzerland), 15(9). https://doi.org/10.3390/su15097430

Fatah, H. (2024). Analysis of Hadith on" Poverty" and Its Correlation with the Hadith of" Production"(Study of the Thought Ali Mustafa Yaqub). Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 7(1), 35–46.

Hariyanto, E. (n.d.). Widyaiswara, Ahli Madya Pusdiklat Keuangan Umum BPPK, Green Financing, Sukuk Negara Dan Pembangunan Berkelanjutan. Https://Www.Djppr.Kemenkeu.Go.Id/Uploads/Files/Kajian_Artikel_DJPPR/GREEN%20FINANCING%20DAN%20SUKUK.Pdf.

Karina, L. A. (2019). Peluang dan tantangan perkembangan green sukuk di Indonesia. Conference on Islamic Management, Accounting, and Economics (CIMAE) Proceeding, 2.

Kementerian PPN. (2017). Peta Jalan SDGs Indonesia Menuju 2030. Kementerian PPN/Bappenas.

Matos, P. (2020). ESG and Responsible Institutional Investing Around the World: A Critical Review. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3668998

Renneboog, L., Ter Horst, J., & Zhang, C. (2008). Socially responsible investments: Institutional aspects, performance, and investor behavior. Journal of Banking and Finance, 32(9). https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2007.12.039

Riana, N., Sadono, M. D., Septianto, M. R., Hardiana, M. D., Nathalia, D., Sukmajaya, M., & Aini, A. N. (2020). Studi mengenai green sukuk ritel di indonesia. UNDP Kementerian Keuangan RI. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Dan Risiko, Kementerian Keuangan. Https://Www. Google. Com/Search.

Sabila, F. H. (2024). Menanggapi Perbedaan Kriteria Sharia Stock Screening. Liabilities (Jurnal Pendidikan Akuntansi), 7(2), 24–34.

Syafari, M. (2022). Manajemen Sumber Daya Manusia Ramah Lingkungan. Equator Journal of Management and Entrepreneurship (EJME), 10(03). https://doi.org/10.26418/ejme.v10i03.54929

Wijaya, K. (2019). Green Bond, Suplemen Sharing Session.

 

 

Copyright holder:

Muhammad Fauzan Fahlevi, Wirdyaningsih (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: