Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
ANALISIS TANTANGAN DAN PELUANG
PERKEMBANGAN GREEN SUKUK DI INDONESIA
Muhammad Fauzan Fahlevi1, Wirdyaningsih2
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan tantangan penerbitan instrumen
syariah berwawasan lingkungan di pasar modal Indonesia, termasuk green sukuk,
blue sukuk, dan green reksa dana syariah. Instrumen ini diharapkan dapat
mendukung pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif melalui studi
literatur yang meliputi penerbitan green sukuk oleh pemerintah Indonesia pada
tahun 2018 dan 2019, serta potensi pengembangan oleh sektor swasta. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa green sukuk, yang ditujukan untuk proyek-proyek
daratan, dan blue sukuk, yang berfokus pada ekosistem laut, memiliki peluang
besar untuk berkembang. Namun, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi,
seperti keterbatasan identifikasi aset berkelanjutan, kesiapan perusahaan
penerbit, dan minimnya pihak yang melakukan penilaian lingkungan. Selain itu,
langkah pemerintah dengan penerbitan green sukuk mendapat apresiasi
internasional, namun upaya lebih lanjut dibutuhkan untuk mendorong korporasi
menerbitkan instrumen serupa. Penerbitan sukuk bertema lingkungan oleh
pemerintah telah membuka jalan bagi pengembangan lebih lanjut oleh sektor
swasta. Sehingga perlu adanya penguatan kerja sama antara OJK dan pemangku
kepentingan untuk menciptakan infrastruktur pendukung, serta pengembangan
indeks syariah yang berfokus pada investasi berwawasan lingkungan. Produk
seperti green reksa dana syariah juga perlu dikembangkan untuk memberikan
pilihan investasi yang lebih beragam bagi investor yang peduli lingkungan.
Kata kunci: sukuk, green sukuk, pasar
modal syariah, ESG, SDGs.
Abstract
This
study aims to analyze the potential and challenges of issuing environmentally
sound sharia instruments in the Indonesian capital market, including green
sukuk, blue sukuk, and green sharia mutual funds. These instruments are
expected to support sustainable development by taking into account
environmental aspects. This research uses a descriptive-qualitative approach
through a literature study covering the issuance of green sukuk by the
Indonesian government in 2018 and 2019, as well as the potential for
development by the private sector. The results show that green sukuk, which are
aimed at terrestrial projects, and blue sukuk, which focus on marine
ecosystems, have great opportunities for development. However, there are a
number of challenges faced, such as the limited identification of sustainable
assets, the readiness of issuing companies, and the lack of parties conducting
environmental assessments. While the government's move to issue green sukuk has
received international appreciation, further efforts are needed to encourage
corporations to issue similar instruments. The issuance of environmental-themed
sukuk by the government has paved the way for further development by the
private sector. Therefore, it is necessary to strengthen cooperation between
OJK and stakeholders to create supporting infrastructure, as well as the
development of a sharia index that focuses on environmentally sound
investments. Products such as sharia green mutual funds also need to be
developed to provide more diverse investment options for investors who care
about the environment.
Keywords: sukuk, green sukuk, Islamic
capital market, ESG, SDGs.
Pendahuluan
Saat ini, isu kelestarian dan kesehatan
lingkungan menjadi topik hangat dalam pertemuan internasional, sehingga
keberadaan institusi yang peduli lingkungan dalam operasional mereka sangat
diharapkan, bahkan diwajibkan. Proyek penghijauan muncul sebagai respons
terhadap keprihatinan global untuk mencapai pembangunan yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan
Industri keuangan syariah, yang
bertujuan untuk mencapai falah, selalu berhubungan dengan aktivitas yang
mendatangkan manfaat bagi umat. Pembiayaan syariah mengikuti prinsip-prinsip
agama yang melarang keterlibatan dalam judi, tembakau, dan alkohol, namun kini
lebih menekankan pada tanggung jawab sosial yang lebih luas, termasuk
perlindungan lingkungan
Gagasan Green Sukuk muncul sebagai
inisiatif dari negara-negara maju yang masyarakatnya telah memiliki kesadaran
tinggi terhadap pembangunan berkelanjutan. Investasi berbasis pembangunan
berkelanjutan tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada cara
pemanfaatan sumber daya alam yang sehat dan berkelanjutan
Pembangunan infrastruktur yang gencar
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini merupakan peluang besar untuk
pengembangan Green Sukuk. Pemerintah telah memiliki program pembangunan
infrastruktur terpadu dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI). Agar program ini sejalan dengan pengurangan emisi
karbon, perlu adanya penyelarasan antara MP3EI dan konsep infrastruktur hijau
Penerbitan Green Sukuk saat ini juga
memberikan peluang untuk mengembangkan basis investor, mengingat semakin banyak
investor, baik korporasi maupun individu, yang peduli terhadap isu lingkungan,
terutama penanggulangan perubahan iklim. Dengan potensi ini, pada tahun 2018,
Kementerian Keuangan Indonesia berinisiatif menerbitkan green sukuk domestik
yang juga menyasar investor internasional. Diharapkan penerbitan Green Sukuk
ini dapat membantu pemerintah mendapatkan sumber pembiayaan infrastruktur
terbarukan di dalam negeri dan mendukung alokasi pembiayaan yang berwawasan
lingkungan. Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang menerbitkan obligasi
hijau di Asia Tenggara dan melakukan penerbitan Green Sukuk pertama di dunia
oleh negara, dengan nilai USD 1,25 miliar pada Maret 2018
Sebagai inovasi yang masih baru, ada
banyak peluang untuk mengembangkan Green Sukuk di Indonesia, serta tantangan
yang dapat diminimalkan dalam praktiknya. Penelitian ini akan menjelaskan
bagaimana Ekonomi Islam mempelopori konsep pembangunan berkelanjutan, serta
peluang dan tantangan dalam pengembangan Green Sukuk di Indonesia. Sehingga, dari uraian latar
belakang dan informasi diatas dapat diketengahkan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana Penerbitan Green Sukuk di
Indonesia? (2) Bagaimana Peluang dan Tantangan serta
Perkembangan Green Sukuk di Indonesia?
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif. Metode ini dipilih karena bertujuan untuk
menggambarkan analisis tantangan dan peluang, serta strategi yang diterapkan
dalam pengembangan produk Green Sukuk.
Data dikumpulkan melalui studi
literatur yang mendalam serta wawancara dengan para ahli di bidang keuangan
berkelanjutan. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk mengidentifikasi
faktor-faktor kunci dalam pengembangan produk tersebut
Hasil dan Pembahasan
Konsep Investasi terkait ESG dan SDGs
1) ESG (Environmental, Social, and Governance)
Istilah “ESG”,
“investasi yang bertanggung jawab”, dan “investasi berkelanjutan” merujuk pada
integrasi pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam
keputusan investasi. Investor umumnya mengevaluasi faktor-faktor ESG dengan
menggunakan data nonkeuangan yang berkaitan dengan dampak lingkungan (seperti
emisi karbon), dampak sosial (seperti kepuasan karyawan), dan aspek tata kelola
(seperti struktur dewan). Survei ini akan memberikan definisi yang lebih rinci,
tetapi secara umum, investor yang bertanggung jawab berupaya menghindari atau
mengurangi risiko terkait ESG dalam investasi mereka, serta mendorong
perusahaan untuk lebih berorientasi pada ESG, sehingga dapat memberikan manfaat
positif yang lebih besar bagi Masyarakat
Pengembangan dari SRI ke ESG dipicu
oleh potensi risiko kerusakan lingkungan akibat aktivitas bisnis, yang berdampak
pada ekosistem, air, udara, dan kesehatan manusia. Implementasi ESG mencakup
strategi perusahaan dalam menghadapi perubahan iklim, pengelolaan air, dan
kebijakan kesehatan dan keselamatan. Sekitar 70% CEO di Hong Kong mengakui
bahwa kepatuhan terhadap komitmen ESG berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
bisnis mereka.
Dari sisi investor, pertumbuhan
investasi ESG berkembang lebih cepat dibandingkan SRI, meskipun SRI
diperkenalkan lebih dahulu. Pada tahun 2016, investasi ESG mencapai lebih dari
USD 22,8 triliun dalam Aset Under Management (AUM), sekitar seperempat dari
total aset yang dikelola secara profesional di seluruh dunia. Angka ini
meningkat menjadi USD 30,6 triliun pada tahun 2018. Selain itu, 84% investor
menyatakan bahwa mereka bersedia mempertimbangkan integrasi kriteria ESG dalam
portofolio investasi mereka.
Tabel 1. Global Sustainable
Investing Asset (2014-2018)
Region |
2014 ($) |
2014 (%) |
2016 ($) |
2016 (%) |
2018 ($) |
2018 (%) |
Eropa |
10775 |
58.96 |
12040 |
52.6 |
14075.0 |
45.87 |
Amerika
Serikat |
6572 |
35.96 |
8723 |
38.11 |
11995.0 |
39.09 |
Jepang |
7 |
0.04 |
474 |
2.07 |
2180.0 |
7.1 |
Kanada |
729 |
3.99 |
1086 |
4.74 |
1699.0 |
5.54 |
Australia/Selandia
Baru |
148 |
0.81 |
516 |
2.25 |
734.0 |
2.39 |
Asia (kec.
Jepang) |
45 |
0.25 |
52 |
0.23 |
N/A |
N/A |
Total |
18276 |
- |
22890 |
- |
30683.0 |
N/A |
Sumber: GSIR 2016 & 2018
Investasi ESG secara global menunjukkan
tren peningkatan tahunan, meskipun masih didominasi oleh investor di Eropa dan
Amerika Serikat, yang mencakup sekitar 90% hingga 2018. Di Asia, termasuk
Jepang, proporsi investasi masih sangat kecil; pada tahun 2014, Asia menyumbang
hanya 0,25% dan Jepang 0,04%. Meskipun ada peningkatan pada akhir 2018,
kontribusi kedua kawasan tersebut tetap di bawah 10% dari total investasi hijau
dunia. Sementara porsi investasi ESG di AS, Jepang, dan Kanada meningkat, di
Asia malah menurun, disebabkan oleh perbedaan standar tata kelola dan rendahnya
transparansi keuangan
2)
SDGs (Sustainable Development Goals)
Konsep Sustainable Development Goals (SDGs)
atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diresmikan oleh PBB pada 25 September
2015. SDGs terdiri dari tujuh belas tujuan yang berfokus pada pengembangan
global. Untuk negara maju, SDGs bertujuan mengurangi ketimpangan serta konsumsi
dan produksi yang berlebihan. Sementara itu, bagi negara berkembang, SDGs
berfokus pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas kesehatan,
pendidikan, perlindungan ekosistem laut dan hutan, serta akses sanitasi dan air
Sebelum SDGs dirumuskan, negara-negara di
dunia telah sepakat bahwa pendanaan merupakan kunci keberhasilan implementasi
pembangunan berkelanjutan. Komitmen ini tercantum dalam Addis Ababa Action
Agenda (AAAA) yang dikeluarkan pada Juli 2015 dalam konferensi United Nations
Third International Conference on Financing for Development. Agenda ini dihadiri
oleh 174 negara dan berbagai institusi swasta, termasuk bank pembangunan,
organisasi PBB, dan organisasi non-pemerintah.
Salah satu strategi pembiayaan yang disepakati
dalam AAAA adalah blended financing, yang melibatkan kolaborasi pendanaan
antara pemerintah dan sektor swasta. Tujuannya adalah memberikan insentif
kepada institusi non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam program pembangunan
berkelanjutan, dengan penekanan pada pembagian risiko dan manfaat yang adil.
Namun, masih ada kesenjangan pembiayaan untuk mencapai SDGs di negara-negara
berkembang yang diperkirakan mencapai USD 2,5-3 triliun per tahun. Kebutuhan
ini, terutama di Indonesia, mendorong pemerintah untuk mengembangkan strategi
pembiayaan baru guna mempercepat pencapaian SDGs
Gambar 1. Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Bappenas
Untuk mencapai SDGs, Instrumen Keuangan
Hijau seperti green bond bisa menjadi alternatif sumber pendanaan. Selain green
bond atau sukuk, terdapat juga obligasi sosial yang berfokus pada pembiayaan
proyek dengan dampak positif terhadap masalah sosial. Kategori proyek sosial
dalam Social Bond Principle (SBP) meliputi akses terhadap infrastruktur dasar
(air, sanitasi, energi), kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan), perumahan,
pemberdayaan UMKM, dan ketahanan pangan. Target penerima manfaat dari social
bond mencakup populasi marginal, pengungsi, difabel, dan migran.
Obligasi berkelanjutan menggabungkan
elemen green bond dan social bond, mengingat bahwa beberapa proyek sosial juga
dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan. Oleh karena itu, prinsip dasar
penerbitan obligasi berkelanjutan diselaraskan dengan komponen inti dalam Green
Bond Principles (GBP) dan SBP. Dengan variasi jenis obligasi ini, penerbit
memiliki fleksibilitas untuk memilih klasifikasi yang sesuai berdasarkan tujuan
dan proyek yang ada.Secara spesifik, green bond dapat memobilisasi
sumber daya dari pasar modal domestik dan internasional untuk penanganan
perubahan iklim (SDG 13), energi bersih dan terjangkau (SDG 7), ekosistem
lautan (SDG 14) serta ekosistem daratan (SDG 15). Penerbitan green bond
juga pada akhirnya akan mendukung, antara lain, peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan (SDG 3), peningkatan akses air bersih dan sanitasi (SDG 6), serta
pembentukan kota dan komunitas yang berkelanjutan (SDG 11) dan tujuan
pembangunan berkelanjutan lainnya. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa instrumen green
bond berkontribusi besar terhadap pencapaian sebagian besar tujuan dalam
SDGs.
Standar dan Kerangka Green Bond di
Indonesia
Secara definisi, green bond adalah
jenis obligasi yang berfungsi sama dengan obligasi biasa, yaitu sebagai
pernyataan utang dari penerbit kepada pemegang obligasi, dengan janji untuk membayar
kembali pokok utang beserta kupon bunga pada tanggal jatuh tempo. Jangka waktu
obligasi umumnya berkisar antara 1 hingga 15 tahun. Perbedaan utama antara
obligasi biasa dan green bond terletak pada peruntukannya; green bond khusus
dialokasikan untuk membiayai proyek atau kegiatan yang mendukung kelestarian
lingkungan. Dengan kata lain, bisnis yang dibiayai melalui green bond harus
dijamin tidak merusak lingkungan.
Cicero,
lembaga penelitian iklim terkemuka di Norwegia, mengkategorikan green bond
menjadi tiga kategori:
a. Dark Green: Proyek yang secara
signifikan menurunkan emisi karbon dalam jangka panjang, seperti energi angin.
b. Medium Green: Inisiatif yang
merupakan langkah maju yang baik, seperti bus plug-in hybrid.
c. Light Green: Proyek ramah
lingkungan yang tidak mengubah prospek jangka panjang, seperti infrastruktur
bahan bakar fosil yang lebih efisien.
Contoh
proyek yang dapat dibiayai mencakup proyek air bersih, energi terbarukan,
efisiensi energi, restorasi sungai dan habitat, serta mitigasi dampak perubahan
iklim
1.
Karakteristik Penerbitan Green Bond
Berdasarkan uraian diatas, secara
teknis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan penerbitan Green
Bond, antara lain sebagai berikut
a.
Green Bond hanya dapat
diterbitkan untuk membiayai proyek hijau, yaitu proyek yang terkait dengan: instalasi
surya dan angin,
pendanaan teknologi baru yang
memungkinkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan,
rehabilitasi pembangkit listrik dan
fasilitas transmisi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terkait dengan
efisiensi yang lebih besar dalam transportasi, termasuk penggantian bahan bakar
dan transportasi massal, pengelolaan limbah (emisi metana) dan konstruksi
bangunan hemat energi, pengurangan karbon melalui reboisasi dan menghindari
deforestasi, proyek perlindungan terhadap banjir – termasuk reboisasi dan
pengelolaan daerah aliran sungai, peningkatan ketahanan pangan, dan
penerapan sistem pertanian yang dapat memperlambat
deforestasi.
b.
minimal 70
persen dari hasil dari penjualan Green Bond digunakan untuk membiayai
proyek-proyek hijau yang disepakati. Penerbit harus mengelola hasil dari Green
Bond. Disamping itu mempunyai kewajiban untuk melaporkan penggunaan
hasilnya. Sebagai bagian dari pengelolaan hasil, penerbit harus membuat akun
terpisah atau mengungkapkan dalam catatan khusus dalam laporan keuangan.
c.
manfaat
lingkungan dari proyek harus didefinisikan dengan jelas dan diverifikasi oleh
pihak ketiga yang independen. Kinerja Green Bond dan proyek-proyek harus
ditinjau oleh pihak ketiga yang independen dan hasilnya harus dilaporkan setiap
tahun kepada Otoritas.
d.
khusus
proyek-proyek yang dibiayai oleh Green Bond dari Bank Dunia,
peruntukannya termasuk untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ekonomi
lokal.
2.
Manfaat Green Bond
Dari berbagai pengalaman di negara – negara di dunia yang
menerbitkan Green Bond, diperoleh kesimpulan bahwa manfaat Green
Bond, antara lain adalah sebagai berikut
a.
Green Bond adalah cara
terbaik untuk mengamankan sejumlah besar modal untuk mendukung investasi
lingkungan yang tidak ekonomis menggunakan modal yang lebih mahal. Green
Bond sangat cocok untuk proyek keberlanjutan skala besar. Oleh sebab itu
untuk beberapa negara, Green Bond diberikan insentif, seperti pembebasan
pajak dan kredit pajak.
b.
Green Bond dapat
meningkatkan reputasi emiten. Emiten dianggap telah menunjukkan komitmen mereka
terhadap kepedulian lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Ini juga
memberikan akses kepada emiten ke sejumlah investor global tertentu yang hanya
berinvestasi dalam kegiatan bisnis yang berkelanjutan.
Penerbit Green Bond
memperoleh keuntungan lain berupa semakin banyaknya alternatif investor yang
peduli terhadap pelestarian lingkungan. Meningkatnya permintaan yang tinggi
untuk Green Bond dapat menurunkan biaya pinjaman yang lebih
rendah, sehingga memberikan peluang meningkatkan keuntungan
Penerbitan Green Sukuk di Indonesia dan
Analisis dampak Penerbitan Green Sukuk Ritel
Penerbitan sukuk berkonsep pembiayaan hijau (green
financing) di Indonesia saat ini merupakan cara cerdas dari upaya
pemerintah untuk mengatasi kendala pengembangan sukuk negara dalam
diversifikasi underlying asset. Green Sukuk (obligasi Syariah berbasis
pembangunan berwawasan lingkungan) telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 32/DSNMUI/IX/2002 tentang obligasi syariah, karena produk
investasi sukuk hijau (Green Sukuk) merupakan bagian dari sukuk itu
sendiri yang merupakan surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah,
berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana
obligasi pada saat jatuh tempo. Dengan demikian, pemegang Green Sukuk
juga akan mendapatkan keuntungan bukan dalam bentuk bunga, melainkan dalam
bentuk bagi hasil (margin/fee) sehingga Green Sukuk
sendiri telah memuat dua standar, yaitu untuk memenuhi mandat kepedulian
lingkungan dan kepatuhan syariah
Penerbitan Green Sukuk bertujuan untuk
menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian lingkungan demi mencapai
pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan. Sebelum inisiatif ini, pemerintah
Indonesia telah menerbitkan serangkaian obligasi ritel (ORI), beberapa di
antaranya dianggap sebagai prototipe obligasi hijau. Sebagian besar obligasi
ini memiliki jangka waktu tiga tahun dan membayar bunga setiap bulan dengan
tingkat sekitar 7%, yang dianggap kompetitif dibandingkan instrumen keuangan
lainnya
Penerbitan Green Sukuk bertujuan untuk
menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian lingkungan demi mencapai
pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan. Sebelum inisiatif ini, pemerintah
Indonesia telah menerbitkan serangkaian obligasi ritel (ORI), beberapa di
antaranya dianggap sebagai prototipe obligasi hijau. Sebagian besar obligasi
ini memiliki jangka waktu tiga tahun dan membayar bunga setiap bulan dengan tingkat
sekitar 7%, yang dianggap kompetitif dibandingkan instrumen keuangan lainnya
Pemerintah Indonesia merespons kesuksesan
penerbitan global sovereign green sukuk pada tahun 2018 dengan merilis
instrumen Green Sukuk Ritel berseri ST006 dan ST007 pada tahun 2019. SBSN Ritel
adalah instrumen Surat Berharga Negara yang ditujukan untuk investor individu
domestik. Penerbitan ini dilakukan melalui sukuk ritel yang fleksibel dan dapat
diperdagangkan di pasar sekunder setelah masa penjatahan.
Green Sukuk 2019 menjadi yang pertama dijual
secara ritel berbasis rupiah di Indonesia, dengan masa penawaran dari 1 hingga
21 November 2019. Calon investor diminta untuk memahami syarat-syarat yang
tercantum dalam memorandum informasi ST006 sebelum melakukan pemesanan.
Penerbitan ini diharapkan menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pembiayaan
syariah berbasis hijau di tingkat negara
Proyek yang dibiayai mengacu pada Green Bonds
Principles, mencakup proyek yang mendukung pengurangan emisi karbon dan
ketahanan terhadap perubahan iklim, seperti keanekaragaman hayati, transportasi
berkelanjutan, pertanian hijau, dan pariwisata hijau. Kerangka kerja green bond
dan green sukuk telah disusun pemerintah dengan kolaborasi antar kementerian
dan ditinjau oleh CICERO, serta mendapatkan penilaian medium green grade dari
pengawas independen. Ini mencerminkan ambisi iklim dan kekuatan tata kelola dalam
framework tersebut, yang dikategorikan dari dark green hingga brown.
Dalam pelaksanaan seleksi dan evaluasi proyek
yang didanai oleh green sukuk, pemerintah Indonesia menggunakan sistem
penandaan anggaran perubahan iklim (Climate Budget Tagging) yang diperkenalkan
pada tahun 2015. Sistem ini berfungsi untuk mengidentifikasi alokasi dan
realisasi anggaran publik yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Proses Climate Budget Tagging diinisiasi oleh
Kementerian Keuangan dengan dukungan United Nations Development Programme
(UNDP). Sistem ini terintegrasi dalam sistem KRISNA-Bappenas dan melibatkan
kementerian-kementerian teknis untuk menandai anggaran terkait kegiatan
mitigasi dan adaptasi.
Untuk laporan dampak green sukuk,
masing-masing kementerian bersama dengan Sekretariat Perubahan Iklim di
BAPPENAS menganalisis dampak lingkungan dari setiap kegiatan. Hasil analisis
ini kemudian divalidasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk
memastikan konsistensi dengan Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia.
Berdasarkan analisis hasil penerbitan
green sukuk ritel ST-006 pada Tahun 2019 beserta evaluasinya, dapat diketahui
terdapat beberapa kelemahan dari hasil penerbitan perdana yang telah dilakukan.
Meskipun demikian, keberadaaan green sukuk ritel ini membawa dampak yang
positif dari berbagai aspek. Pertama, telah diketahui bahwa konsep ekonomi dan
keuangan syariah sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang
menekankan pada etika, keadilan, dan kesetaraan. Oleh karena itu,
instrumen-instrumen ekonomi keuangan syariah termasuk green sukuk ritel
memberikan dampak positif dalam mendukung berbagai aktivitas produktif,
redistribusi kesejahteraan kepada masyarakat kurang mampu sekaligus mendukung
pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)
Selain itu, green sukuk ritel tidak
hanya berfungsi sebagai kebijakan fiskal yang meningkatkan pendapatan negara,
tetapi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Penerbitan green sukuk
mendukung komitmen Indonesia untuk mencapai beberapa tujuan Sustainable
Development Goals (SDGs), seperti energi bersih dan terjangkau, pertumbuhan
ekonomi dan pekerjaan yang layak, industri, inovasi, infrastruktur, serta aksi
terhadap perubahan iklim.
Green sukuk ritel adalah salah satu
instrumen keuangan syariah yang hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai
proyek-proyek lingkungan (green projects). Penerbitan ini mencerminkan komitmen
pemerintah untuk mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri. Investasi pada
green sukuk ritel menjadi salah satu bentuk kontribusi warga negara dalam
mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan.
Salah satu keunggulan green sukuk
domestik adalah terhindar dari risiko nilai tukar. Berbeda dengan green sukuk
global yang diterbitkan dalam denominasi US Dollar, green sukuk ritel
menggunakan denominasi Rupiah. Setelah krisis ekonomi 1998, pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan untuk mengutamakan pembiayaan defisit APBN dari dana dalam
negeri. Dengan meminjam dana dari masyarakat, pemerintah dapat menghindari
risiko nilai tukar yang mungkin timbul akibat gejolak nilai Rupiah terhadap
mata uang asing, terutama US Dollar. Fitur ini diharapkan dapat memperkuat
stabilitas sistem keuangan di dalam negeri.
Selain itu, green sukuk ritel dapat
berfungsi sebagai acuan (benchmark) untuk penentuan nilai instrumen keuangan
lainnya, khususnya sukuk atau obligasi berorientasi hijau. Yield curve yang
terbentuk oleh sukuk ini dapat dijadikan acuan bagi perusahaan dalam menentukan
yield sukuk yang mereka terbitkan. Acuan ini juga membantu investor dalam
melakukan penilaian (valuasi) dan analisis terhadap harga wajar suatu sukuk
dengan tingkat risiko tertentu.
Selain itu, inisiatif pemerintah untuk
menerbitkan instrumen berbasis hijau dapat menginspirasi dan mendorong sektor
swasta untuk berpartisipasi dalam penerbitan instrumen serupa. Contohnya, PT
Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) menerbitkan corporate green bond pertama
pada tahun 2019, mengikuti jejak pemerintah. Diharapkan, penerbitan green sukuk
oleh pemerintah dapat memicu perusahaan swasta atau daerah untuk melakukan hal
yang sama.
Dampak lainnya terkait literasi dan
inklusi pasar modal syariah di Indonesia masih sangat rendah, dengan tingkat
literasi keuangan hanya 4.44% dan inklusi pasar modal 1.25%, berdasarkan
laporan OJK tahun 2016. Untuk pasar modal syariah, tingkat literasi berada di
0.02% dan inklusi di 0.01%. Rendahnya angka ini mendorong pemerintah untuk
meningkatkan sosialisasi dan menambah instrumen investasi di pasar modal
syariah. Melalui green sukuk ritel, diharapkan dapat memperluas basis investor
domestik yang peduli terhadap pelestarian lingkungan dan SDGs, sehingga
meningkatkan inklusi pasar modal syariah. Promosi dan sosialisasi yang masif
juga diharapkan dapat meningkatkan literasi pasar modal syariah, khususnya
mengenai green sukuk.
Sosialisasi budaya investasi dapat
disinergikan dengan budaya peduli lingkungan hidup. Kepedulian terhadap
lingkungan sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mencakup
berbagai aspek seperti pemilihan makanan, pakaian, penggunaan produk ramah
lingkungan, hingga pilihan investasi berbasis hijau. Jika investasi hijau
menjadi bagian dari budaya masyarakat, dorongan bagi pemerintah dan swasta
untuk membangun infrastruktur ramah lingkungan juga akan meningkat. Dengan
demikian, komitmen Indonesia untuk memitigasi perubahan iklim dan membangun
ketahanan nasional akan lebih cepat terwujud.
Berdasarkan penjelasan di atas, beberapa dampak positif dari
penerbitan green sukuk ritel adalah sebagai berikut
1.
Kontribusi
Masyarakat: Investasi pada green sukuk ritel merupakan bentuk kontribusi
masyarakat kepada negara dan mendukung implementasi Paris Agreement serta SDGs.
2.
Pengurangan
Emisi: Green sukuk ritel memberikan dampak positif terhadap pengurangan emisi
rumah kaca dan pelestarian lingkungan.
3.
Peningkatan
Pendapatan Fiskal: Green sukuk ritel dapat berkontribusi pada peningkatan
pendapatan fiskal negara dan mewujudkan kemandirian dalam pembiayaan
pembangunan.
4.
Acuan
bagi Penerbitan Lain: Penerbitan green sukuk oleh pemerintah dapat menjadi
acuan dan inspirasi bagi penerbitan green sukuk lainnya oleh korporasi atau
daerah.
5.
Jangkauan
Investor Baru: Dengan skema ritel, green sukuk dapat menjangkau kelompok
nasabah baru, yaitu green investor, yang memperluas basis investor domestik dan
berdampak positif pada inklusi finansial.
6.
Sosialisasi
Budaya Lingkungan: Adanya green sukuk juga berfungsi sebagai sosialisasi untuk
mencintai lingkungan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan budaya investasi
untuk pendanaan hijau.
Peluang dan Tantangan Perkembangan Green Sukuk
di Indonesia
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan menjadikan Green Sukuk sebagai bagian dari kebijakan fiskal untuk
menangani masalah perubahan iklim. Kebijakan pembiayaan anggaran diarahkan
untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif melalui pengembangan instrumen
pembiayaan inovatif yang dikelola secara prudent demi menjaga keberlanjutan
fiskal. Kementerian Keuangan menerbitkan Sovereign Green Sukuk, baik dalam
bentuk global green sukuk maupun green sukuk ritel (sukuk tabungan), untuk
membiayai proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pemerintah.
Peluang penerbitan Green Sukuk di
Indonesia masih terbuka lebar, dengan beberapa alasan sebagai berikut (Dwi
Irianti Hadiningdyah, Direktur Pembiayaan Syariah, Ditjen Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan):
1.
Tren
Hijau: Ada momentum gerakan peduli lingkungan yang semakin meningkat.
2.
Kesadaran
Milenial: Meningkatnya kesadaran generasi milenial terhadap isu lingkungan.
3.
Inovasi
Pertama: Green Sukuk Ritel ST006 menjadi yang pertama di dunia.
4.
Komitmen
Pemerintah: Komitmen pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim.
5.
Pendanaan
Proyek Ramah Lingkungan: Green Sukuk digunakan untuk membiayai proyek-proyek
yang ramah lingkungan.
6.
Penurunan
Emisi Karbon: Upaya untuk menurunkan emisi karbon dan mendukung keberlanjutan
lingkungan.
Pengaruh penerbitan Green Sukuk di Indonesia
dapat dilihat melalui studi kasus investasi sebesar Rp1 juta di Green Sukuk
Ritel ST007. Dalam dua tahun mendatang, investasi ini akan menjadikan Anda
wakil atau pemilik aset hijau negara di sektor transportasi berkelanjutan dan
ketahanan terhadap perubahan iklim, memberikan dampak positif bagi bumi dan
masyarakat.
Berdasarkan laporan dampak Green Sukuk 2020,
penurunan emisi karbon pada proyek jalur kereta Trans Sumatera diproyeksikan
mencapai 213.000 ton. Dalam kalkulasi sederhana, setiap investasi ini
berpotensi menurunkan emisi sebanyak +/- 2 ton. Dua ton ini dapat diartikan
setara dengan perjalanan Jakarta-Bandung sebanyak 56 kali atau menanam sekitar
200 pohon manggis.
Green Sukuk berfungsi sebagai
pembiayaan inovatif, di mana penentuan underlying aset mengacu pada data Climate
Budget Tagging dan berpedoman pada Indonesia’s Green Bond/Sukuk
Framework. Berikut adalah data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
terkait lini masa penerbitan Sovereign Green Sukuk:
Gambar
2. Data Kebijakan Fiskal terkait Lini Masa
Penerbitan Sovereign Green Sukuk
Sumber: Badan
Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI
Dengan rincian sektor yang dibiayai Green Sukuk sebagai berikut
:
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI
Tantangan dan inisiatif strategis
mendatang dalam penerbitan Green Sukuk di Indonesia dapat dijelaskan
dalam berbagai aspek. Dari sisi calon investor, instrumen Green Sukuk
yang relatif baru masih belum dikenal luas. Kurangnya sosialisasi dan edukasi Green
Sukuk kepada masyarakat dapat menjadi penghambat dalam pemahaman produk
baru tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kegiatan sosialisasi
dengan ‘menggandeng’ para stakeholder pasar modal termasuk influencer
keuangan syariah dalam bentuk kegiatan edukasi yang berkelanjutan dan
berkesinambungan
Dari sisi penerbit, pemahaman Satuan
Kerja di Kementerian Keuangan mengenai proses bisnis Green Sukuk sangat penting
untuk mendukung kesuksesan dari tahap persiapan, penggunaan hasil penerbitan,
hingga pelaporan kegiatan. Tantangan lain yang dihadapi adalah pelaporan proyek
terkait perkembangan pembangunan dan manfaat proyek tersebut untuk mitigasi
perubahan iklim serta pembangunan berkelanjutan.
Pelaporan ini disyaratkan oleh lembaga
review seperti CICERO, sehingga koordinasi antara Kementerian Keuangan dan
Satuan Kerja perlu ditingkatkan. Ini termasuk menyepakati indikator yang
digunakan dalam pelaporan dan menilai dampak dari proyek. Jika diperlukan,
pemerintah dapat bekerja sama dengan independent reviewer dalam proses
monitoring dan pelaporan untuk memenuhi kriteria yang diharapkan.
Kebijakan pembangunan ekonomi
"pro-green" yang telah dicanangkan sejak tahun 2010 perlu
dilanjutkan, meskipun terjadi pergantian pimpinan pemerintahan. Pembangunan
ekonomi yang memperhatikan keberlanjutan daya dukung lingkungan diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat saat ini dan di masa
depan.
Pada tahun 2014, Bappenas telah
meluncurkan “Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Green Economy,” yang
bertujuan menjadi pedoman dalam pengembangan ekonomi berwawasan lingkungan.
Sasaran awalnya adalah "menghijaukan" sektor industri, transportasi,
energi, serta sektor berbasis lahan seperti pertanian dan kehutanan. Diharapkan
prakarsa ini dapat dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan, sejalan
dengan komitmen pemerintah dalam upaya pengurangan emisi karbon dan adaptasi
terhadap dampak perubahan iklim.
Di sisi fiskal, upaya untuk melakukan
inovasi sumber pembiayaan perlu terus dilakukan guna mendukung realisasi
aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sesuai dengan target Komite
Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang dipimpin oleh Presiden RI,
penerbitan Sukuk Negara akan terus ditingkatkan secara bertahap seiring dengan
kemampuan pasar keuangan.
Peningkatan penerbitan ini diharapkan
dapat menambah porsi Sukuk Negara yang digunakan untuk pembiayaan infrastruktur
yang dikategorikan sebagai infrastruktur hijau. Selain itu, pemerintah juga
perlu mendorong sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
terlibat dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Pengembangan bentuk pembiayaan kerja
sama (partnership) yang melibatkan sektor swasta atau BUMN, misalnya dalam
pembangunan infrastruktur hijau, menjadi langkah penting. Dengan kolaborasi
ini, diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan
dan mendukung mitigasi perubahan iklim secara lebih efektif.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerbitan Green Sukuk di Indonesia,
meskipun masih baru, menghadapi beberapa tantangan, namun menawarkan peluang
yang menjanjikan karena manfaatnya bagi manusia dan lingkungan. Karakteristik
penerapan prinsip syariah pada Green Sukuk, di mana keuntungan diperoleh dalam
bentuk bagi hasil (margin/fee) dan bukan bunga, menunjukkan bahwa Green Sukuk
memenuhi dua standar: kepedulian lingkungan dan kepatuhan syariah. Secara
khusus, kesimpulan dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Porsi investasi ESG di Asia mengalami penurunan,
terutama karena perbedaan standar tata kelola dibandingkan dengan negara maju
dan rendahnya transparansi keuangan. Meski demikian, peluang investasi ESG di
Asia tetap besar, mengingat relevansinya dengan masalah lingkungan yang
mendesak di kawasan ini. (2) Beberapa kategori proyek sosial yang termasuk dalam Social Bond Principle
(SBP) mencakup pembiayaan untuk akses infrastruktur dasar (air, sanitasi,
energi), kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, jasa
keuangan), perumahan, pemberdayaan UMKM, dan ketahanan pangan, yang ditujukan
untuk populasi marginal, pengungsi, difabel, dan migran. Di sisi lain, obligasi
berkelanjutan menggabungkan elemen green bond dan social bond. (3) Indonesia menjadi pionir penerbitan obligasi
hijau di Asia Tenggara dengan menerbitkan Global Sovereign Green Sukuk
berjangka waktu lima tahun senilai US$1,25 miliar (Rp16,75 triliun) pada Maret
2018, yang mendapat tanggapan positif, sehingga pemerintah terus mengupayakan
pengembangan lebih lanjut. (4) Sesuai dengan target Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS)
yang dipimpin oleh Presiden RI, penerbitan Sukuk Negara akan terus ditingkatkan
secara bertahap seiring dengan kemampuan pasar keuangan. Peningkatan ini
diharapkan dapat menambah porsi Sukuk Negara yang dialokasikan untuk pembiayaan
infrastruktur hijau.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, M. S., & Keshminder,
J. S. (2022). What drives green sukuk? A leader’s perspective. Journal of
Sustainable Finance and Investment, 12(3).
https://doi.org/10.1080/20430795.2020.1821339
Anggraini, Y. (2018). Peran Green
Sukuk Dalam Memperkokoh Posisi Indonesia Di Pasar Keuangan Syariah Global. El-Barka:
Journal of Islamic Economics and Business, 1(2).
https://doi.org/10.21154/elbarka.v1i2.1453
Anugrahaeni, P. (2017). Analisis
Inisiatif Sovereign Green Bond dan Green Sukuk Indonesia. Jurnal Kajian
Ekonomi & Keuangan, I (1).
Collste, D., Aguiar, A. P. D.,
Harmáčková, Z. V., Galafassi, D., Pereira, L. M., Selomane, O., & van Der
Leeuw, S. (2023). Participatory pathways to the Sustainable Development Goals:
inviting divergent perspectives through a cross-scale systems approach. Environmental
Research Communications, 5(5).
https://doi.org/10.1088/2515-7620/acce25
de Villiers, C., Jia, J., & Li,
Z. (2022). Corporate social responsibility: A review of empirical research
using Thomson Reuters Asset4 data. Accounting and Finance, 62(4).
https://doi.org/10.1111/acfi.13004
Efitra, E., & Uzma, I. (2024). Investasi
Tanpa Riba: Membangun Portofolio Saham Syariah yang Berkelanjutan. PT.
Sonpedia Publishing Indonesia.
Faisal, Y. A., Gunawan, I., Cupian,
Hayati, A., Apriliadi, A., & Fajri, M. (2023). Examining the Purchase
Intentions of Indonesian Investors for Green Sukuk. Sustainability
(Switzerland), 15(9). https://doi.org/10.3390/su15097430
Fatah, H. (2024). Analysis of
Hadith on" Poverty" and Its Correlation with the Hadith of"
Production"(Study of the Thought Ali Mustafa Yaqub). Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah, 7(1), 35–46.
Hariyanto, E. (n.d.). Widyaiswara,
Ahli Madya Pusdiklat Keuangan Umum BPPK, Green Financing, Sukuk Negara Dan
Pembangunan Berkelanjutan.
Https://Www.Djppr.Kemenkeu.Go.Id/Uploads/Files/Kajian_Artikel_DJPPR/GREEN%20FINANCING%20DAN%20SUKUK.Pdf.
Karina, L. A. (2019). Peluang dan
tantangan perkembangan green sukuk di Indonesia. Conference on Islamic
Management, Accounting, and Economics (CIMAE) Proceeding, 2.
Kementerian PPN. (2017). Peta Jalan
SDGs Indonesia Menuju 2030. Kementerian PPN/Bappenas.
Matos, P. (2020). ESG and
Responsible Institutional Investing Around the World: A Critical Review. SSRN
Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3668998
Renneboog, L., Ter Horst, J., &
Zhang, C. (2008). Socially responsible investments: Institutional aspects,
performance, and investor behavior. Journal of Banking and Finance, 32(9).
https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2007.12.039
Riana, N., Sadono, M. D.,
Septianto, M. R., Hardiana, M. D., Nathalia, D., Sukmajaya, M., & Aini, A.
N. (2020). Studi mengenai green sukuk ritel di indonesia. UNDP Kementerian
Keuangan RI. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Dan Risiko,
Kementerian Keuangan. Https://Www. Google. Com/Search.
Sabila, F. H. (2024). Menanggapi
Perbedaan Kriteria Sharia Stock Screening. Liabilities (Jurnal Pendidikan
Akuntansi), 7(2), 24–34.
Syafari, M. (2022). Manajemen
Sumber Daya Manusia Ramah Lingkungan. Equator Journal of Management and
Entrepreneurship (EJME), 10(03).
https://doi.org/10.26418/ejme.v10i03.54929
Wijaya, K. (2019). Green Bond,
Suplemen Sharing Session.
Copyright
holder: Muhammad Fauzan Fahlevi, Wirdyaningsih (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |