Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
OPTIMALISASI PENGGUNAAN BANTARAN SUNGAI YANG DIHUNI
SECARA TURUN TEMURUN SERTA DIKLAIM KEPEMILIKANYA DALAM KONTEKS PERTANAHAN
Wiji Nurfi Utami1, Sri
Wahyu Handayani2
Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto, Indonesia1,2
Email: [email protected]1
Abstrak
Tanah
di sepanjang sungai termasuk dalam kategori kawasan lindung yang memerlukan
perlindungan khusus. Sempadan sungai yang menjadi satu kesatuan dengan sungai
merupakan tanah Negara, namun pada kenyataannya masyarakan memanfaatkan tanah
tersebut menjadi tempat hunian dan ditempati secara turun temurun. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis aspek hukum penggunaan tanah di bantaran
sungai yang termasuk dalam kategori kawasan lindung, yang sering kali digunakan
oleh masyarakat sebagai hunian secara turun temurun. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, dan
karakteristik preskriptif. Dari hasil kajian didapati bahwa pemberian izin rekomendasi tanah
di wilayah bantaran sungai harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan
masyarakat dengan keberlanjutan lingkungan, serta memastikan bahwa tindakan
yang diambil tidak merugikan lingkungan hidup. Perlindungan lingkungan dan
keberlanjutan ekosistem sungai merupakan prioritas utama dalam pengelolaan
sempadan sungai. Perlunya pendekatan hukum yang adil dan transparan sesuai
dengan Pancasila dalam menangani proses pensertifikatan tanah di bantaran
sungai agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang muncul, seperti proses
permohonan yang lambat dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait prosedur
hukum yang berlaku.
Kata
kunci: Optimalisasi, Bantaran Sungai, Pertanahan
Abstract
The land along the river falls into the category of
protected areas that require special protection. The riverbank which is part of
the river is state land, but in reality people use this land as a place to live
and have occupied it for generations. This research aims to analyze the legal aspects of land use
on riverbanks that are included in the category of protected areas, which are
often used by the community as residences for generations. The research method
used is qualitative with a normative juridical approach and prescriptive
characteristics. From the results of the study, it was found that granting land
recommendation permits in riverbank areas must pay attention to the balance
between community needs and environmental sustainability, as well as ensuring
that the actions taken do not harm the environment. Environmental protection
and sustainability of river ecosystems are the main priorities in river border
management. There is a need for a fair and transparent legal approach in
accordance with Pancasila in handling the land certification process on
riverbanks in order to overcome the obstacles that arise, such as slow
application processes and the lack of public knowledge regarding applicable
legal procedures.
Keywords:
optimization, Riverbanks, Land
Realita
bahwa persediaan lahan tetap, sementara jumlah penduduk terus meningkat
menuntut pemerintah untuk mengelola sumber daya lahan dengan bijaksana.
Otoritas dalam mengelola sumber daya lahan berada ditangan penyelenggara
negara, yaitu pemerintah
Masalah pemanfaatan lahan atau tanah
merupakan masalah yang mempunyai kompleksitas cukup pelik, permasalahan ini
bukan hanya menaungi permasalahan batas sektoral tetapi sudah masuk kedalam
ranah multisektoral. Upaya-upaya dalam tingkat pusat maupun daerah harus
memulai mengupayakan adanya sebuah regulasi yang mengatur kompleksitas dalam
memberikan kepastian hukum dan pengoptimalan pemanfaatan lahan/tanah sesuai
dengan peruntukannya terutama permasalahan bantaran sungai yang menjadi lahan
yang dimanfaatkan sebagai hunian.
Tanah di sepanjang sungai termasuk
dalam kategori kawasan lindung yang memerlukan perlindungan khusus, penggunaan
dan pemanfaatan lahan di tepi sungai di kawasan lindung dan kawasan budidaya
harus selaras dengan fungsi wilayah tersebut dan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Penggunaan lahan di kawasan lindung harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu fungsi ekologis alamiah dan tidak merubah
karakteristik alam dan ekosistem asli
Sempadan sungai ditetapkan sebagai
kawasan lindung yang memberikan perlindungan setempat untuk menjaga kelestarian
alam dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung dan menjadi lokasi sasaran penanganan konservasi tanah berdasarkan
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan dan Menteri
dalam Negeri Nomor 19/1984, KH. 059/KPTSII/1984 dan PU. 124/KPTS/1984 Tahun
1984 tentang Penanganan Konservasi Tanah Dalam Rangka Pengamana Daerah Aliran
Sungai Prioritas.
Terdapat pengecualian terhadap
pemanfaatan bantaran sungai yang dapat dilakukan pengelolaanya oleh warga atau
masyarakat sebagai hunian dengan mendasari ketentuan yang terdapat pada Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mengatur bahwa garis
sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan dengan ketentuan
sebagai berikut
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2011 tentang Sungai, garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan ditentukan minimal 3 m dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur
sungai. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah
di sempadan sungai, terutama di kawasan perkotaan, dapat diizinkan oleh
pemerintah daerah untuk mendukung kebutuhan pemukiman warga ekonomi lemah,
dengan tetap memperhatikan aspek keterkaitan ekosistem, kelestarian lingkungan,
kepentingan umum, dan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan dan hal Ini
merupakan tanggung jawab masyarakat dalam memanfaatkan kawasan lindung secara
optimal.
Setelah mendapat izin, masyarakat harus
menggunakan tanah sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, serta berpartisipasi
dalam menjaga kebersihan, keindahan, dan ketertiban lingkungan sekitarnya untuk
mencegah kerusakan dan menjamin kesuburan tanah, sejalan dengan program K3
(Kebersihan, Keindahan, Ketertiban). Fenomena yang menarik mengenai Kawasan
bantaran/sempadan sungai yang dijadikan tempat hunian yang ditinggali secara
turun temurun dan dirawat bersama maka masyarakat merasa tanah bantaran/sepadan
tersebut dapat dimohonkan sebagai tanah kepemilikan pribadi
Penguasaan oleh masyarakat di wilayah
pesisir dan sempadan/bataran sungai tersebut seringkali menyebabkan konflik.
Hal ini dikarenakan tanah di wilayah pesisir yang umumnya adalah tanah dengan
status hak milik negara atau dikuasai oleh negara, hanya dikuasai secara fisik
oleh masyarakat sekitar pesisir tanpa adanya suatu alas hak sehingga
menyebabkan ketidakjelasan status penguasaannya dan tidak ada suatu kepastian
hukum bagi mereka yang menguasai tanah di wilayah pesisir tersebut. Begitu pula
dengan penguasaan tanah sempadan yang dilakukan oleh masyarakat setempat
menjadi tidak jelas karena andanya aturan mengenai sempadan bataran sungai yang
harus terbebas dari bangunan penunjang kegiatan rekreasi bataran sungai,
pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional. Dampak dari permasalahan tersebut tentunya akan mempengaruhi
aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan bataran sungai sebagai
sumber kehidupan dan penghidupan mereka termasuk kepastian hukum diatasnya yang
menimbulkan potensi konflik penguasaan pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah. Dengan demikian sangat diperlukan akan adanya peranan hukum dalam bentuk
pengaturan oleh negara. Pengaturan yang dimaksud dalam hal ini meliputi
pemilikan, penguasaan, serta pemeliharaannya sehingga tertata secara
sistimatis. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Pertama,
bagaimana status kepemilikan tanah yang dimohonkan terhadap tanah
bantaran/sempadan sungai yang ditinggali secara turun temurun dalam persepsi
hukum pertanahan di Indonesia. Dan kedua, bagaimana konsistensi
dan penegakan hukum yang efektif dalam menangani masalah sempadan sungai?
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis aspek hukum penggunaan tanah di bantaran sungai yang termasuk
dalam kategori kawasan lindung, yang sering kali digunakan oleh masyarakat
sebagai hunian secara turun temurun.
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
pendekatan yuridis normatif, memiliki karakteristik preskriptif yang memberikan
penilaian tentang sesuatu yang benar atau salah dan sesuai atau tidak sesuai.
Cara penarikan kesimpulan menggunakan cara berpikir deduktif yang dihadapkan
dengan kasus tertentu untuk dibuat kesimpulan atau konklusi
Kepemilikan
Tanah yang Dimohonkan terhadap Tanah Bantaran/Sempadan Sungai yang Ditinggali
Secara Turun Temurun dalam Persepsi Hukum Pertanahan di Indonesia
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat
mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap
saat manusia selalu berhubungan dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Tanah juga mempunyai
arti penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, hal ini karena Negara
Indonesia merupakan negara agraris, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
senantiasa membutuhkan dan melibatkan soal tanah
Tidak ada pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang secara tegas mengatur tentang tanah bantaran sungai. Kemudian,
timbul pendapat mengenai status hukum tanah bantaran, dimana anslibbing (lidah tanah), yakni
pertumbuhan tanah di tepi sungai, danau, atau laut, dianggap menjadi milik yang
berbatasan dengan pemilik tanah sekitarnya karena biasanya pertumbuhan tersebut
terjadi sebagai hasil usaha. Status hukum tanah bantaran lebih banyak ditentukan
oleh keputusan pengadilan setelah terjadi sengketa antara pemilik tanah yang
berbatasan dengan masyarakat hukumnya mengenai hak kepemilikan atas tanah yang
baru tumbuh itu
Menurut
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah,
menyatakan bahwa tanah yang berasal dari proses timbulan atau hasil reklamasi
di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai
merupakan kepemilikan langsung oleh Negara. Meskipun demikian, tanah yang
ditempati oleh masyarakat tersebut terletak di dekat tanggul sungai yang
sebenarnya difungsikan sebagai penghalang banjir. Tanah tersebut sebetulnya
adalah milik negara, namun masyarakat telah membangun rumah permanen baik
dengan izin ataupun tidak dan dihuni secara turun temurun.
Terdapat beberapa kasus atau kondisi yang mirip dalam
uraian diatas seperti Pemerintah Kota Surakarta, dibawah kepemimpinan Walikota
Surakarta, telah memberikan persetujuan terhadap pendaftaran tanah di bantaran
sungai dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah bahwa pemohon telah
lama menempati wilayah tersebut, bersedia untuk direlokasi untuk menghindari
kondisi lingkungan yang tidak layak, dan pengukuran Surakarta menunjukkan bahwa
wilayah tersebut berada di luar sempadan sungai
Masyarakat yang menolak pensertifikatan tanah di
bantaran sungai juga merujuk pada Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa tanah di bantaran sungai
secara langsung dikuasai oleh Negara, sehingga warga tidak berhak mendapatkan
sertifikat atas tanah tersebut. Mereka berpendapat bahwa pendirian bangunan
rumah dan pemberian sertifikat melanggar peraturan lingkungan dan agraria, dan
menyerukan agar pemerintah memberikan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Meskipun demikian, Pemerintah Kota Surakarta tetap memberikan izin rekomendasi
pendaftaran tanah di bantaran sungai dengan alasan menciptakan kepastian hukum
bagi pemegang hak atas tanah dan menerapkan ketertiban pertanahan
Selain permasalahan dikota Surakarta Menurut Kepala
Seksi Pembinaan dan Pengawasan Pertanahan dan Tata Ruang dari Dinas Pertanahan
dan Tata Ruang Kabupaten Sleman, status tanah di sepanjang Sungai Code di
wilayah Sleman terbagi menjadi empat kategori, yaitu hak milik, Sultan Ground
(SG) atau yang dikenal sebagai Tanah Sultan Ground, "Wedikenser"
(dalam Bahasa Jawa), dan Tanah Khas Desan
Pengendalian pembangunan di sepanjang sungai dilakukan
melalui pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang mengharuskan pemenuhan
syarat-syarat tertentu, termasuk persyaratan teknis seperti memenuhi ketentuan
sempadan sungai. Namun, rumah yang sudah berdiri sebelum pembentukan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan sudah ditetapkan sebagai
status quo tetap diizinkan. Meskipun demikian, permukiman yang berada di
sepanjang Sungai Code dianggap belum layak huni karena tidak memenuhi tujuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman. Hal ini disebabkan karena tidak memiliki
kepastian hukum sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun
2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031 dan juga tidak
aman karena rawan terjadi bencana alam seperti longsor, banjir, termasuk banjir
lahar dingin dari Gunung Merapi
Dari kedua uraian kasus di atas yang
berkaitan dengan bantaran sungai, dapat disimpulkan bahwa kedua kasus tersebut
menyoroti permasalahan kompleks terkait status hukum dan pengelolaan tanah di
sepanjang sungai dengan peraturan di daerah masing-masing jarang penyelesaian
masalah menggunakan peraturan perundang-undangan karena penyesesuain geografis
dan prinsip otonomi daerah. Dalam kasus pertama di Surakarta, pemerintah
setempat memberikan izin rekomendasi pendaftaran tanah di bantaran sungai
kepada sebagian warga dengan alasan tertentu, seperti pemukiman yang sudah lama
ada dan kesanggupan masyarakat untuk mematuhi peraturan yang dibuat pemerintah.
Namun, hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat karena dianggap melanggar
peraturan lingkungan dan agraria, terutama terkait dengan status hukum tanah di
bantaran sungai yang seharusnya dikuasai langsung oleh Negara.
Sementara dalam kasus kedua di Sleman,
terdapat pembagian status tanah di sepanjang Sungai Code menjadi beberapa
kategori, seperti hak milik, Sultan Ground (SG), wedikenser, dan Tanah Khas
Desa. Meskipun pengendalian pembangunan dilakukan melalui pemberian Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dengan syarat-syarat tertentu, permukiman yang berada
di sepanjang sungai dinilai belum layak huni karena tidak memenuhi tujuan
perumahan dan kawasan permukiman yang aman dan sesuai dengan peraturan hukum
yang berlaku.
Secara hukum, kedua kasus tersebut
menyoroti kompleksitas dalam penerapan peraturan agraria dan lingkungan hidup
terkait pengelolaan tanah di bantaran sungai. Di satu sisi, terdapat upaya
pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah di sepanjang
sungai, tetapi di sisi lain, hal ini dapat melanggar peraturan yang mengatur
kepemilikan tanah di bantaran sungai yang seharusnya menjadi aset negara dan
kawasan lindung.
Pemberian izin rekomendasi pendaftaran
tanah di bantaran sungai memiliki implikasi yang signifikan terhadap aspek
sosial dan lingkungan. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa salah satu tujuan utama penataan ruang
adalah untuk melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif terhadap
lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan ruang. Oleh karena itu, diperlukan
tindakan-tindakan yang aktif untuk menjaga fungsi ruang serta mencegah dampak
negatif terhadap lingkungan akibat eksploitasi ruang. Hal ini menegaskan bahwa
perlindungan fungsi ruang sempadan sungai menjadi sangat penting dalam konteks
ini.
Konsistensi
dan Penegakan Hukum yang Efektif dalam Menangani Masalah Sempadan Sungai
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kewenangan dan
kewajiban hukum, yang diatur dalam Pasal 63 Ayat (1) huruf a dan b, menyatakan
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas
dan berwenang menetapkan kebijakan nasional dan menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang
Sungai, khususnya Pasal 12, secara tegas menyatakan bahwa garis sempadan sungai
bertanggul ditentukan paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar
kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sedangkan garis sempadan sungai tanpa
tanggul ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh
pejabat yang berwenang
Adapun berbagai hambatan yang muncul
dalam pensertifikatan tanah bantaran sungai antara lain adalah proses
permohonan yang lama, fasilitas dan sumber daya manusia untuk melakukan
pengukuran tanah yang minim, sehingga prosesnya relatif lama, pengetahuan masyarakat
yang masih minim mengenai prosedur pensertifikatan tanah, sistem untuk
mengajukan permohonan tanah negara belum disosialisasikan secara transparan,
tidak ada warga masyarakat yang mempunyai pengetahuan mengenai pengajuan
permohonan tanah negara tersebut, penolakan warga masyarakat lainnya dan warga
yang mengajukan permohonan hak milik adalah merupakan warga masyarakat yang
tergolong tingkat ekonominya rendah. Karena belum pernah merasakan bagaimanakah
rasanya mempunyai rumah di atas tanah sendiri, maka karena didorong oleh rasa
memiliki tersebut akhirnya mereka mengajukan permohonan terhadap tanah yang
mereka tempati. Banyak warga sekitar yang menolak dan mencemooh mereka karena
telah mendirikan atau menyerobot tanah negara, padahal mereka adalah juga
sama-sama warga negara Indonesia. Selain itu setiap penduduk Indonesia juga
ingin diperlakukan sama haknya dalam bidang hukum dan pemerintahan
Terkait pemberian izin rekomendasi
pendaftaran tanah bantaran sungai menyoroti beberapa aspek penting yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal
3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, menegaskan pentingnya melindungi fungsi
ruang dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Ini mengindikasikan
bahwa pemberian izin tersebut harus mempertimbangkan aspek lingkungan dengan
serius untuk memastikan keberlanjutan ekosistem sungai dan lingkungannya.
Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan landasan
hukum yang kuat untuk mengendalikan kegiatan yang memiliki dampak sosial,
termasuk izin pendaftaran tanah di bantaran sungai. Pasal-pasal dalam
undang-undang tersebut menekankan pentingnya kebijakan nasional dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan perlunya pendekatan prefentif, preemtif, dan
proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung lingkungan hidup.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2011 tentang sungai memberikan ketentuan jelas terkait garis sempadan
sungai, baik yang dilindungi oleh tanggul maupun yang tidak. Ini menunjukkan
bahwa perlindungan terhadap sempadan sungai harus diatur secara tegas dan dapat
diterapkan secara konsisten oleh pemerintah dalam menangani izin-izin terkait
lahan di bantaran sungai.
Selain dengan tiga aspek penting
diatas, pemberian izin rekomendasi pendaftaran tanah bantaran sungai harus dilandaskan
pada Pancasila. Pada Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa
Indonesia sepakat bahwa tanah merupakan karunia Tuhan yang memiliki sifat magis-religius.
Permasalahan tanah juga bukan hanya persoalan antara penghuni dengan
pemerintah, namun juga melibatkan lingkungan sosialnya dan bahkan hubungannya
dengan Tuhan. Oleh karenanya, tanah yang menjadi tempat tinggalnya harus jelas
statusnya. Sikap penghuni bantaran sungai yang memperjuangkan haknya merupakan
wujud masyarakat yang menjunjung tinggi norma kehidupan, dan sikap Negara yang
memfasilitasi warga negaranya merupakan perwujudan kewajiban Negara untuk
menciptakan suasana yang harmonis dan meningkatkan kesejahteraan umum sebagai
tanggungjawab yang suci, tanpa mengurangi atau melukai hak masyarakat lain.
Pada Sila kedua yatu Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, apabila dikembalikan kepada tujuan penggunaan sumber daya
alam dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang mengamanahkan bahwa sumber daya alam
termasuk tanah harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Maka secara normatif, hukum tidak boleh menutup peluang bagi masyarakat untuk
dapat merasakan adanya keadilan hak atas tanah. Keseriusan penghuni bantaran
sungai dalam menjamin, menjaga dan memastikan keberlanjutan ekosistem sungai
dan lingkungan, menjadi bukti konsistensi penerapan Sila kedua yaitu bangsa
yang beradab.
Pada Sila ketiga yaitu Persatuan
Indonesia, tercermin pada keputusan Pemerintah dalam memberikan rekomendasi hak
atas tanah, yang pada awalnya banyak warga sekitar yang menolak dan mencemooh penghuni
bantaran sungai karena telah mendirikan atau menyerobot tanah negara, sehingga
menimbulkan suasana yang tidak sehat, padahal penghuni bantaran sungai tersebut
juga sama-sama warga negara Indonesia, selain itu setiap penduduk Indonesia
juga ingin diperlakukan sama haknya dalam bidang hukum dan pemerintahan. Dengan
tindakan pemerintah yang transparan dan melalui proses pengukuran oleh Tim
Teknis Tata Kota, baik penghuni bantaran sungai maupun warga sekitar bisa
menerima dengan baik hasilnya.
Pada Sila keempat yaitu Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dalam hal
ini masyarakat penghuni bantaran sungai hanya bisa mengajukan permohonan kepada
pemerintah, dan pemerintah wajib memberikan kepastian hukum sesuai dengan
prosedur yang berlaku, masyarakat wajib patuh dan menghargai kebijakan
pemerintah tersebut.
Pada Sila kelima yaitu Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam hal ini Negara wajib memberikan keadilan
bagi masyarakat secara luas dan mempertimbangkan masa yang akan datang. Tanah
harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran yang berkeadilan dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai
alat spekulasi orang atau masyarakat, karena kemerdekaan Indonesia bukanlah
hasil perjuangan perorangan atau golongan lain tetapi merupakan perjuangan
seluruh rakyat Indonesia. Agar tercipta keadilan, masyarakat penghuni bantaran
sungai yang sudah menempati lahan bantaran secara turun temurun dan didapati
dengan cara yang benar, diberikan hak untuk memperjuangkan kepastian hukumnya.
Namun,
meskipun ada landasan hukum yang jelas, masih ada hambatan-hambatan dalam
proses pensertifikatan tanah di bantaran sungai. Hambatan ini meliputi proses
permohonan yang lambat, kurangnya fasilitas dan sumber daya manusia, serta
minimnya pengetahuan masyarakat terkait prosedur pensertifikatan. Selain itu,
adanya penolakan dari sebagian warga masyarakat menunjukkan kompleksitas dalam
penyelesaian masalah hukum dan sosial terkait pemberian izin tersebut. Hal ini
terjadi karena Pancasila tidak diaplikasikan pada falsafah hidup, maka diperlukan
upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan akses yang lebih
mudah terkait proses pensertifikatan, dan memastikan penerapan hukum yang adil
dan transparan bagi semua warga negara.
Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat ditarik adalah; (1) Secara hukum, status kepemilikan tanah yang telah ditinggali secara turun temurun dan dimohonkan untuk dapat dimiliki pribadi pada kasus Surakarta dan Sleman menyoroti kompleksitas dalam penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di satu sisi, terdapat upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah di wilayah sungai dan menerapkan ketertiban pertanahan, tetapi di sisi lain, hal ini dapat melanggar peraturan yang mengatur kepemilikan tanah di bantaran sungai yang seharusnya menjadi aset negara dan kawasan lindung. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian izin rekomendasi tanah di wilayah bantaran sungai harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan lingkungan, serta memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak merugikan lingkungan hidup. Perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem sungai merupakan prioritas utama dalam pengelolaan sempadan sungai. (2) Konsistensi dan penegakan hukum yang efektif diperlukan dalam menangani masalah terkait sempadan sungai. Peraturan yang jelas, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, perlu diterapkan secara konsisten untuk menetapkan garis sempadan sungai dengan jelas. Selain itu, perlunya pendekatan hukum yang adil dan transparan sesuai dengan Pancasila dalam menangani proses pensertifikatan tanah di bantaran sungai agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang muncul, seperti proses permohonan yang lambat dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait prosedur hukum yang berlaku.
Chomzah, A. A. (2003). Seri
Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum
Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah. Prestasi Pustaka,
Jakarta.
Djibran, R. O. (2020).
Tinjauan Yuridis Pendaftaran Tanah Di Sempadan Sungai Serinjing Desa Jambu
Kabupaten Kediri. Novum: Jurnal Hukum, 7(4).
Hanafiah, J. Q. (2016). Analisis
Hukum Atas Kekuatan Hukum Grant Sultan Terhadap Adanya Penerbitan Sertipikat
Oleh Pihak Lain Dilokasi Yang Sama. Premise Law Journal, 17(1).
Harsono, B. (2015). Hukum
agraria indonesia. Buku Dosen-2014.
Irwansyah, I. (2020).
Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel. Yogyakarta:
Mirra Buana Media, 8.
Ismail. (2017). Etika
Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek Etika Pemerintahan. In Sosiohumanitas.
24(2).
Kuswartojo, T., & Salim,
S. A. (1994). Perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan.
Pusat Studi Lingkungan Hidup, Institut Teknologi Bandung.
Prakoso, H. A. (2023).
Kajian Pemberian Rekomendasi Ijin Pendaftaran Tanah Bantaran Sungai di Kota
Surakarta. Humani (Hukum Dan Masyarakat Madani), 13(2), 327–340.
Priscilia, B. (2020). Penggunaan
Sempadan Sungai Code Di Wilayah Sleman Untuk Permukiman Berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. Penggunaan Sempadan Sungai Code Di
Wilayah Sleman Untuk Permukiman Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman
Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun
2011-2031, ii, 8 p, 1–8.
Saifullah, S. (2016).
Formulasi Kebijakan Pelaksana Pelindungan Sempadan Sungai Kbupaten Sukamara. Politika:
Jurnal Ilmu Politik, 7(1), 65–93.
Sauni, H. (2006). Politik
Hukum Agraria. Pustaka Bangsa Press, Kampus USU.
Sudirman, A. (2014). Sejarah
Lengkap Indonesia. (No Title).
Tjhin, S. (2020). Keberadaan
Permukiman di Garis Sempadan Sungai Gajah Wong Berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 2 tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta. Keberadaan
Permukiman Di Garis Sempadan Sungai Gajah Wong Berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta, 12p.,
1–12.
Widyastomo, D. (2011).
Perubahan Pola Permukiman Tradisional Suku Sentani Di Pesisir Danau Sentani. Jurnal
Permukiman, 6(2), 67–77.
Yamin, H. M. (2004). Beberapa
Masalah Aktual Hukum Agraria. Pustaka Bangsa Press.
Copyright
holder: Wiji Nurfi Utami, Sri Wahyu
Handayani (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |