Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

OPTIMALISASI PENGGUNAAN BANTARAN SUNGAI YANG DIHUNI SECARA TURUN TEMURUN SERTA DIKLAIM KEPEMILIKANYA DALAM KONTEKS PERTANAHAN

 

Wiji Nurfi Utami1, Sri Wahyu Handayani2

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia1,2

Email: [email protected]1

 

Abstrak

Tanah di sepanjang sungai termasuk dalam kategori kawasan lindung yang memerlukan perlindungan khusus. Sempadan sungai yang menjadi satu kesatuan dengan sungai merupakan tanah Negara, namun pada kenyataannya masyarakan memanfaatkan tanah tersebut menjadi tempat hunian dan ditempati secara turun temurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek hukum penggunaan tanah di bantaran sungai yang termasuk dalam kategori kawasan lindung, yang sering kali digunakan oleh masyarakat sebagai hunian secara turun temurun. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, dan karakteristik preskriptif. Dari hasil kajian didapati bahwa pemberian izin rekomendasi tanah di wilayah bantaran sungai harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan lingkungan, serta memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak merugikan lingkungan hidup. Perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem sungai merupakan prioritas utama dalam pengelolaan sempadan sungai. Perlunya pendekatan hukum yang adil dan transparan sesuai dengan Pancasila dalam menangani proses pensertifikatan tanah di bantaran sungai agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang muncul, seperti proses permohonan yang lambat dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait prosedur hukum yang berlaku.

Kata kunci: Optimalisasi, Bantaran Sungai, Pertanahan

 

Abstract

The land along the river falls into the category of protected areas that require special protection. The riverbank which is part of the river is state land, but in reality people use this land as a place to live and have occupied it for generations. This research aims to analyze the legal aspects of land use on riverbanks that are included in the category of protected areas, which are often used by the community as residences for generations. The research method used is qualitative with a normative juridical approach and prescriptive characteristics. From the results of the study, it was found that granting land recommendation permits in riverbank areas must pay attention to the balance between community needs and environmental sustainability, as well as ensuring that the actions taken do not harm the environment. Environmental protection and sustainability of river ecosystems are the main priorities in river border management. There is a need for a fair and transparent legal approach in accordance with Pancasila in handling the land certification process on riverbanks in order to overcome the obstacles that arise, such as slow application processes and the lack of public knowledge regarding applicable legal procedures.

Keywords: optimization, Riverbanks, Land

 

 

 

Pendahuluan

Realita bahwa persediaan lahan tetap, sementara jumlah penduduk terus meningkat menuntut pemerintah untuk mengelola sumber daya lahan dengan bijaksana. Otoritas dalam mengelola sumber daya lahan berada ditangan penyelenggara negara, yaitu pemerintah (Ismail, 2017). Lahan yang dimaksud mencakup lahan yang sudah memiliki hak serta lahan yang belum terklaim. Penerapan wewenang negara disini lebih luas terhadap lahan-lahan yang belum dimiliki oleh hak kepemilikan apapun. Lahan yang belum dimiliki oleh hak kepemilikan disebut sebagai Tanah Negara.

Masalah pemanfaatan lahan atau tanah merupakan masalah yang mempunyai kompleksitas cukup pelik, permasalahan ini bukan hanya menaungi permasalahan batas sektoral tetapi sudah masuk kedalam ranah multisektoral. Upaya-upaya dalam tingkat pusat maupun daerah harus memulai mengupayakan adanya sebuah regulasi yang mengatur kompleksitas dalam memberikan kepastian hukum dan pengoptimalan pemanfaatan lahan/tanah sesuai dengan peruntukannya terutama permasalahan bantaran sungai yang menjadi lahan yang dimanfaatkan sebagai hunian.

Tanah di sepanjang sungai termasuk dalam kategori kawasan lindung yang memerlukan perlindungan khusus, penggunaan dan pemanfaatan lahan di tepi sungai di kawasan lindung dan kawasan budidaya harus selaras dengan fungsi wilayah tersebut dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Penggunaan lahan di kawasan lindung harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi ekologis alamiah dan tidak merubah karakteristik alam dan ekosistem asli (Sauni, 2006). Hal ini didasarkan pada Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menegaskan bahwa penggunaan lahan di sepanjang sungai harus memperhitungkan kepentingan umum serta mempertimbangkan keterbatasan daya dukung, pembangunan berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati, dan kelestarian lingkungan (Kuswartojo & Salim, 1994). Sempadan sungai yang menjadi satu kesatuan dengan sungai memang merupakan tanah Negara, yang dimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang menjelaskan tanah Negara termasuk obyek pendaftaran tanah. Tetapi lain hal dengan sempadan sungai. Karena ditetapkannya sempadan sungai dimaksudkan kegiatan perlindungan dan pengendalian sumber daya alam sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Oleh sebab itu ditetapkan garis sempadan sungai yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/Prt/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) dibedakan menjadi 4 kriteria, yaitu (Djibran, 2020), yakni sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan, sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan, sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, dan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan.

Sempadan sungai ditetapkan sebagai kawasan lindung yang memberikan perlindungan setempat untuk menjaga kelestarian alam dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan menjadi lokasi sasaran penanganan konservasi tanah berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan dan Menteri dalam Negeri Nomor 19/1984, KH. 059/KPTSII/1984 dan PU. 124/KPTS/1984 Tahun 1984 tentang Penanganan Konservasi Tanah Dalam Rangka Pengamana Daerah Aliran Sungai Prioritas.

Terdapat pengecualian terhadap pemanfaatan bantaran sungai yang dapat dilakukan pengelolaanya oleh warga atau masyarakat sebagai hunian dengan mendasari ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mengatur bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan dengan ketentuan sebagai berikut (Tjhin, 2020): (1) Minimal 10 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai untuk sungai dengan kedalaman kurang dari atau sama dengan 3 m. (2) Minimal 15 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 3 m hingga 20 m. (3) Minimal 30 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 20 m.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan minimal 3 m dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah di sempadan sungai, terutama di kawasan perkotaan, dapat diizinkan oleh pemerintah daerah untuk mendukung kebutuhan pemukiman warga ekonomi lemah, dengan tetap memperhatikan aspek keterkaitan ekosistem, kelestarian lingkungan, kepentingan umum, dan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan dan hal Ini merupakan tanggung jawab masyarakat dalam memanfaatkan kawasan lindung secara optimal.

Setelah mendapat izin, masyarakat harus menggunakan tanah sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, serta berpartisipasi dalam menjaga kebersihan, keindahan, dan ketertiban lingkungan sekitarnya untuk mencegah kerusakan dan menjamin kesuburan tanah, sejalan dengan program K3 (Kebersihan, Keindahan, Ketertiban). Fenomena yang menarik mengenai Kawasan bantaran/sempadan sungai yang dijadikan tempat hunian yang ditinggali secara turun temurun dan dirawat bersama maka masyarakat merasa tanah bantaran/sepadan tersebut dapat dimohonkan sebagai tanah kepemilikan pribadi (Widyastomo, 2011).

Penguasaan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan sempadan/bataran sungai tersebut seringkali menyebabkan konflik. Hal ini dikarenakan tanah di wilayah pesisir yang umumnya adalah tanah dengan status hak milik negara atau dikuasai oleh negara, hanya dikuasai secara fisik oleh masyarakat sekitar pesisir tanpa adanya suatu alas hak sehingga menyebabkan ketidakjelasan status penguasaannya dan tidak ada suatu kepastian hukum bagi mereka yang menguasai tanah di wilayah pesisir tersebut. Begitu pula dengan penguasaan tanah sempadan yang dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi tidak jelas karena andanya aturan mengenai sempadan bataran sungai yang harus terbebas dari bangunan penunjang kegiatan rekreasi bataran sungai, pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dampak dari permasalahan tersebut tentunya akan mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam memanfaatkan bataran sungai sebagai sumber kehidupan dan penghidupan mereka termasuk kepastian hukum diatasnya yang menimbulkan potensi konflik penguasaan pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian sangat diperlukan akan adanya peranan hukum dalam bentuk pengaturan oleh negara. Pengaturan yang dimaksud dalam hal ini meliputi pemilikan, penguasaan, serta pemeliharaannya sehingga tertata secara sistimatis. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Pertama, bagaimana status kepemilikan tanah yang dimohonkan terhadap tanah bantaran/sempadan sungai yang ditinggali secara turun temurun dalam persepsi hukum pertanahan di Indonesia. Dan kedua, bagaimana konsistensi dan penegakan hukum yang efektif dalam menangani masalah sempadan sungai?

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek hukum penggunaan tanah di bantaran sungai yang termasuk dalam kategori kawasan lindung, yang sering kali digunakan oleh masyarakat sebagai hunian secara turun temurun.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, memiliki karakteristik preskriptif yang memberikan penilaian tentang sesuatu yang benar atau salah dan sesuai atau tidak sesuai. Cara penarikan kesimpulan menggunakan cara berpikir deduktif yang dihadapkan dengan kasus tertentu untuk dibuat kesimpulan atau konklusi (Irwansyah, 2020).

 

Hasil dan Pembahasan

Kepemilikan Tanah yang Dimohonkan terhadap Tanah Bantaran/Sempadan Sungai yang Ditinggali Secara Turun Temurun dalam Persepsi Hukum Pertanahan di Indonesia

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Tanah juga mempunyai arti penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, hal ini karena Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia senantiasa membutuhkan dan melibatkan soal tanah (Yamin, 2004). Tanah bantaran sungai adalah area tanah yang muncul di pinggiran atau di tengah sungai sebagai hasil dari pengendapan material oleh aliran air yang berlangsung secara berkelanjutan. Sempadan sungai ini berfungsi sebagai zona penyangga antara ekosistem perairan sungai dan daratan sekitarnya. Kawasan bantaran sungai juga berperan sebagai zona perlindungan tepi sungai yang berintegrasi dengan sungai itu sendiri. Proses terbentuknya tanah bantaran sungai biasanya disebabkan oleh endapan lumpur atau pasir yang terjadi secara alami di bawah permukaan air, namun seringkali dipercepat oleh campur tangan manusia dan intervensi lingkungan (Saifullah, 2016).

Tidak ada pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang secara tegas mengatur tentang tanah bantaran sungai. Kemudian, timbul pendapat mengenai status hukum tanah bantaran, dimana anslibbing (lidah tanah), yakni pertumbuhan tanah di tepi sungai, danau, atau laut, dianggap menjadi milik yang berbatasan dengan pemilik tanah sekitarnya karena biasanya pertumbuhan tersebut terjadi sebagai hasil usaha. Status hukum tanah bantaran lebih banyak ditentukan oleh keputusan pengadilan setelah terjadi sengketa antara pemilik tanah yang berbatasan dengan masyarakat hukumnya mengenai hak kepemilikan atas tanah yang baru tumbuh itu (Harsono, 2015).

Menurut Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, menyatakan bahwa tanah yang berasal dari proses timbulan atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai merupakan kepemilikan langsung oleh Negara. Meskipun demikian, tanah yang ditempati oleh masyarakat tersebut terletak di dekat tanggul sungai yang sebenarnya difungsikan sebagai penghalang banjir. Tanah tersebut sebetulnya adalah milik negara, namun masyarakat telah membangun rumah permanen baik dengan izin ataupun tidak dan dihuni secara turun temurun.

Terdapat beberapa kasus atau kondisi yang mirip dalam uraian diatas seperti Pemerintah Kota Surakarta, dibawah kepemimpinan Walikota Surakarta, telah memberikan persetujuan terhadap pendaftaran tanah di bantaran sungai dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah bahwa pemohon telah lama menempati wilayah tersebut, bersedia untuk direlokasi untuk menghindari kondisi lingkungan yang tidak layak, dan pengukuran Surakarta menunjukkan bahwa wilayah tersebut berada di luar sempadan sungai (Priscilia, 2020). Selain itu, pemohon juga telah menunjukkan ketaatan pada peraturan dan kesanggupan untuk memenuhi kewajiban, serta daerah tersebut dinilai layak untuk dijadikan tempat hunian yang produktif dan aman dari banjir. Namun, keputusan tersebut menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sebagian warga di sekitar sungai Bengawan Solo menolak kebijakan Pemerintah Kota Surakarta karena dianggap melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah tentang Sungai. Hal tersebut mengacu pada Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Masyarakat yang menolak pensertifikatan tanah di bantaran sungai juga merujuk pada Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa tanah di bantaran sungai secara langsung dikuasai oleh Negara, sehingga warga tidak berhak mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut. Mereka berpendapat bahwa pendirian bangunan rumah dan pemberian sertifikat melanggar peraturan lingkungan dan agraria, dan menyerukan agar pemerintah memberikan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Meskipun demikian, Pemerintah Kota Surakarta tetap memberikan izin rekomendasi pendaftaran tanah di bantaran sungai dengan alasan menciptakan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dan menerapkan ketertiban pertanahan (Priscilia, 2020).

Selain permasalahan dikota Surakarta Menurut Kepala Seksi Pembinaan dan Pengawasan Pertanahan dan Tata Ruang dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Sleman, status tanah di sepanjang Sungai Code di wilayah Sleman terbagi menjadi empat kategori, yaitu hak milik, Sultan Ground (SG) atau yang dikenal sebagai Tanah Sultan Ground, "Wedikenser" (dalam Bahasa Jawa), dan Tanah Khas Desan (Sudirman, 2014). Hak atas tanah yang dapat dimiliki berdasarkan status tanah di sepanjang Sungai Code antara lain dapat berupa hak milik yang dapat disertifikatkan, hak pakai di atas tanah kasultanan Sultan Ground (SG) atau Tanah Sultan Ground dengan bukti kepemilikan serat kekancingan, wedikenser untuk tanah atau pasir yang menepi di bantaran sungai dan tidak memiliki pemilik. Status tanah juga dapat ditentukan dengan keberadaan bukti seperti "Tondoyekti" (dalam Bahasa Jawa), yang merupakan tanda atau keterangan pada peta desa, seperti P1 (persil) dan D3 (tanah lungguh). Tanah yang termasuk wedikenser namun tidak memiliki "Tondoyekti" dianggap sebagai tanah Sultan Ground (Tjhin, 2020).

Pengendalian pembangunan di sepanjang sungai dilakukan melalui pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang mengharuskan pemenuhan syarat-syarat tertentu, termasuk persyaratan teknis seperti memenuhi ketentuan sempadan sungai. Namun, rumah yang sudah berdiri sebelum pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan sudah ditetapkan sebagai status quo tetap diizinkan. Meskipun demikian, permukiman yang berada di sepanjang Sungai Code dianggap belum layak huni karena tidak memenuhi tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Hal ini disebabkan karena tidak memiliki kepastian hukum sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031 dan juga tidak aman karena rawan terjadi bencana alam seperti longsor, banjir, termasuk banjir lahar dingin dari Gunung Merapi (Prakoso, 2023). Pemberian status hak atas tanah tidak melanggar ketentuan daerah sempadan Sungai Kalianyar. Adapun dasar pertimbangan diberikannya sertipikat tanah dan pelaksaan permohonan hak atas tanah di sekitar bantaran sungai Kalianyar menjadi hak milik di Kota Surakarta khususnya di kelurahan Gilingan dan Kelurahan Nusukan, yaitu diberikannya rekomendasi oleh Walikota Surakarta, karena pemohon sudah lama menempati daerah tersebut, pemohon mau ditata untuk menjaga lingkungan dari kekumuhan. Kajian ini merekomendasikan perlu dilakukan penertiban penggunaan tanah agar sesuai dengan batas pemberian hak atas tanahnya (Priscilia, 2020).

Dari kedua uraian kasus di atas yang berkaitan dengan bantaran sungai, dapat disimpulkan bahwa kedua kasus tersebut menyoroti permasalahan kompleks terkait status hukum dan pengelolaan tanah di sepanjang sungai dengan peraturan di daerah masing-masing jarang penyelesaian masalah menggunakan peraturan perundang-undangan karena penyesesuain geografis dan prinsip otonomi daerah. Dalam kasus pertama di Surakarta, pemerintah setempat memberikan izin rekomendasi pendaftaran tanah di bantaran sungai kepada sebagian warga dengan alasan tertentu, seperti pemukiman yang sudah lama ada dan kesanggupan masyarakat untuk mematuhi peraturan yang dibuat pemerintah. Namun, hal ini menimbulkan kontroversi di masyarakat karena dianggap melanggar peraturan lingkungan dan agraria, terutama terkait dengan status hukum tanah di bantaran sungai yang seharusnya dikuasai langsung oleh Negara.

Sementara dalam kasus kedua di Sleman, terdapat pembagian status tanah di sepanjang Sungai Code menjadi beberapa kategori, seperti hak milik, Sultan Ground (SG), wedikenser, dan Tanah Khas Desa. Meskipun pengendalian pembangunan dilakukan melalui pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan syarat-syarat tertentu, permukiman yang berada di sepanjang sungai dinilai belum layak huni karena tidak memenuhi tujuan perumahan dan kawasan permukiman yang aman dan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

Secara hukum, kedua kasus tersebut menyoroti kompleksitas dalam penerapan peraturan agraria dan lingkungan hidup terkait pengelolaan tanah di bantaran sungai. Di satu sisi, terdapat upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah di sepanjang sungai, tetapi di sisi lain, hal ini dapat melanggar peraturan yang mengatur kepemilikan tanah di bantaran sungai yang seharusnya menjadi aset negara dan kawasan lindung.

Pemberian izin rekomendasi pendaftaran tanah di bantaran sungai memiliki implikasi yang signifikan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa salah satu tujuan utama penataan ruang adalah untuk melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan ruang. Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan yang aktif untuk menjaga fungsi ruang serta mencegah dampak negatif terhadap lingkungan akibat eksploitasi ruang. Hal ini menegaskan bahwa perlindungan fungsi ruang sempadan sungai menjadi sangat penting dalam konteks ini.

 

 

 

Konsistensi dan Penegakan Hukum yang Efektif dalam Menangani Masalah Sempadan Sungai

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kewenangan dan kewajiban hukum, yang diatur dalam Pasal 63 Ayat (1) huruf a dan b, menyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan nasional dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, khususnya Pasal 12, secara tegas menyatakan bahwa garis sempadan sungai bertanggul ditentukan paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sedangkan garis sempadan sungai tanpa tanggul ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat yang berwenang (Yamin, 2004).

Adapun berbagai hambatan yang muncul dalam pensertifikatan tanah bantaran sungai antara lain adalah proses permohonan yang lama, fasilitas dan sumber daya manusia untuk melakukan pengukuran tanah yang minim, sehingga prosesnya relatif lama, pengetahuan masyarakat yang masih minim mengenai prosedur pensertifikatan tanah, sistem untuk mengajukan permohonan tanah negara belum disosialisasikan secara transparan, tidak ada warga masyarakat yang mempunyai pengetahuan mengenai pengajuan permohonan tanah negara tersebut, penolakan warga masyarakat lainnya dan warga yang mengajukan permohonan hak milik adalah merupakan warga masyarakat yang tergolong tingkat ekonominya rendah. Karena belum pernah merasakan bagaimanakah rasanya mempunyai rumah di atas tanah sendiri, maka karena didorong oleh rasa memiliki tersebut akhirnya mereka mengajukan permohonan terhadap tanah yang mereka tempati. Banyak warga sekitar yang menolak dan mencemooh mereka karena telah mendirikan atau menyerobot tanah negara, padahal mereka adalah juga sama-sama warga negara Indonesia. Selain itu setiap penduduk Indonesia juga ingin diperlakukan sama haknya dalam bidang hukum dan pemerintahan (Chomzah, 2003; Hanafiah, 2016).

Terkait pemberian izin rekomendasi pendaftaran tanah bantaran sungai menyoroti beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan. Pertama, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, menegaskan pentingnya melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Ini mengindikasikan bahwa pemberian izin tersebut harus mempertimbangkan aspek lingkungan dengan serius untuk memastikan keberlanjutan ekosistem sungai dan lingkungannya.

Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengendalikan kegiatan yang memiliki dampak sosial, termasuk izin pendaftaran tanah di bantaran sungai. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut menekankan pentingnya kebijakan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup dan perlunya pendekatan prefentif, preemtif, dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung lingkungan hidup.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai memberikan ketentuan jelas terkait garis sempadan sungai, baik yang dilindungi oleh tanggul maupun yang tidak. Ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap sempadan sungai harus diatur secara tegas dan dapat diterapkan secara konsisten oleh pemerintah dalam menangani izin-izin terkait lahan di bantaran sungai.

Selain dengan tiga aspek penting diatas, pemberian izin rekomendasi pendaftaran tanah bantaran sungai harus dilandaskan pada Pancasila. Pada Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia sepakat bahwa tanah merupakan karunia Tuhan yang memiliki sifat magis-religius. Permasalahan tanah juga bukan hanya persoalan antara penghuni dengan pemerintah, namun juga melibatkan lingkungan sosialnya dan bahkan hubungannya dengan Tuhan. Oleh karenanya, tanah yang menjadi tempat tinggalnya harus jelas statusnya. Sikap penghuni bantaran sungai yang memperjuangkan haknya merupakan wujud masyarakat yang menjunjung tinggi norma kehidupan, dan sikap Negara yang memfasilitasi warga negaranya merupakan perwujudan kewajiban Negara untuk menciptakan suasana yang harmonis dan meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tanggungjawab yang suci, tanpa mengurangi atau melukai hak masyarakat lain.

Pada Sila kedua yatu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, apabila dikembalikan kepada tujuan penggunaan sumber daya alam dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang mengamanahkan bahwa sumber daya alam termasuk tanah harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka secara normatif, hukum tidak boleh menutup peluang bagi masyarakat untuk dapat merasakan adanya keadilan hak atas tanah. Keseriusan penghuni bantaran sungai dalam menjamin, menjaga dan memastikan keberlanjutan ekosistem sungai dan lingkungan, menjadi bukti konsistensi penerapan Sila kedua yaitu bangsa yang beradab.

Pada Sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia, tercermin pada keputusan Pemerintah dalam memberikan rekomendasi hak atas tanah, yang pada awalnya banyak warga sekitar yang menolak dan mencemooh penghuni bantaran sungai karena telah mendirikan atau menyerobot tanah negara, sehingga menimbulkan suasana yang tidak sehat, padahal penghuni bantaran sungai tersebut juga sama-sama warga negara Indonesia, selain itu setiap penduduk Indonesia juga ingin diperlakukan sama haknya dalam bidang hukum dan pemerintahan. Dengan tindakan pemerintah yang transparan dan melalui proses pengukuran oleh Tim Teknis Tata Kota, baik penghuni bantaran sungai maupun warga sekitar bisa menerima dengan baik hasilnya.

Pada Sila keempat yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dalam hal ini masyarakat penghuni bantaran sungai hanya bisa mengajukan permohonan kepada pemerintah, dan pemerintah wajib memberikan kepastian hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku, masyarakat wajib patuh dan menghargai kebijakan pemerintah tersebut.

Pada Sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam hal ini Negara wajib memberikan keadilan bagi masyarakat secara luas dan mempertimbangkan masa yang akan datang. Tanah harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, karena kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil perjuangan perorangan atau golongan lain tetapi merupakan perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Agar tercipta keadilan, masyarakat penghuni bantaran sungai yang sudah menempati lahan bantaran secara turun temurun dan didapati dengan cara yang benar, diberikan hak untuk memperjuangkan kepastian hukumnya.

Namun, meskipun ada landasan hukum yang jelas, masih ada hambatan-hambatan dalam proses pensertifikatan tanah di bantaran sungai. Hambatan ini meliputi proses permohonan yang lambat, kurangnya fasilitas dan sumber daya manusia, serta minimnya pengetahuan masyarakat terkait prosedur pensertifikatan. Selain itu, adanya penolakan dari sebagian warga masyarakat menunjukkan kompleksitas dalam penyelesaian masalah hukum dan sosial terkait pemberian izin tersebut. Hal ini terjadi karena Pancasila tidak diaplikasikan pada falsafah hidup, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan akses yang lebih mudah terkait proses pensertifikatan, dan memastikan penerapan hukum yang adil dan transparan bagi semua warga negara.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat ditarik adalah; (1) Secara hukum, status kepemilikan tanah yang telah ditinggali secara turun temurun dan dimohonkan untuk dapat dimiliki pribadi pada kasus Surakarta dan Sleman menyoroti kompleksitas dalam penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di satu sisi, terdapat upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah di wilayah sungai dan menerapkan ketertiban pertanahan, tetapi di sisi lain, hal ini dapat melanggar peraturan yang mengatur kepemilikan tanah di bantaran sungai yang seharusnya menjadi aset negara dan kawasan lindung. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian izin rekomendasi tanah di wilayah bantaran sungai harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan lingkungan, serta memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak merugikan lingkungan hidup. Perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem sungai merupakan prioritas utama dalam pengelolaan sempadan sungai. (2) Konsistensi dan penegakan hukum yang efektif diperlukan dalam menangani masalah terkait sempadan sungai. Peraturan yang jelas, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, perlu diterapkan secara konsisten untuk menetapkan garis sempadan sungai dengan jelas. Selain itu, perlunya pendekatan hukum yang adil dan transparan sesuai dengan Pancasila dalam menangani proses pensertifikatan tanah di bantaran sungai agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang muncul, seperti proses permohonan yang lambat dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait prosedur hukum yang berlaku.

 

BIBLIOGRAFI

 

Chomzah, A. A. (2003). Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah. Prestasi Pustaka, Jakarta.

Djibran, R. O. (2020). Tinjauan Yuridis Pendaftaran Tanah Di Sempadan Sungai Serinjing Desa Jambu Kabupaten Kediri. Novum: Jurnal Hukum, 7(4).

Hanafiah, J. Q. (2016). Analisis Hukum Atas Kekuatan Hukum Grant Sultan Terhadap Adanya Penerbitan Sertipikat Oleh Pihak Lain Dilokasi Yang Sama. Premise Law Journal, 17(1).

Harsono, B. (2015). Hukum agraria indonesia. Buku Dosen-2014.

Irwansyah, I. (2020). Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel. Yogyakarta: Mirra Buana Media, 8.

Ismail. (2017). Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek Etika Pemerintahan. In Sosiohumanitas. 24(2).

Kuswartojo, T., & Salim, S. A. (1994). Perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan. Pusat Studi Lingkungan Hidup, Institut Teknologi Bandung.

Prakoso, H. A. (2023). Kajian Pemberian Rekomendasi Ijin Pendaftaran Tanah Bantaran Sungai di Kota Surakarta. Humani (Hukum Dan Masyarakat Madani), 13(2), 327–340.

Priscilia, B. (2020). Penggunaan Sempadan Sungai Code Di Wilayah Sleman Untuk Permukiman Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. Penggunaan Sempadan Sungai Code Di Wilayah Sleman Untuk Permukiman Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031, ii, 8 p, 1–8.

Saifullah, S. (2016). Formulasi Kebijakan Pelaksana Pelindungan Sempadan Sungai Kbupaten Sukamara. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 7(1), 65–93.

Sauni, H. (2006). Politik Hukum Agraria. Pustaka Bangsa Press, Kampus USU.

Sudirman, A. (2014). Sejarah Lengkap Indonesia. (No Title).

Tjhin, S. (2020). Keberadaan Permukiman di Garis Sempadan Sungai Gajah Wong Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta. Keberadaan Permukiman Di Garis Sempadan Sungai Gajah Wong Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta, 12p., 1–12.

Widyastomo, D. (2011). Perubahan Pola Permukiman Tradisional Suku Sentani Di Pesisir Danau Sentani. Jurnal Permukiman, 6(2), 67–77.

Yamin, H. M. (2004). Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria. Pustaka Bangsa Press.

 

 

Copyright holder:

Wiji Nurfi Utami, Sri Wahyu Handayani (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: