Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

ANALISIS IMPLIKASI KEBIJAKAN MINYAK MENTAH DAN GAS BUMI SEBAGAI BARANG KENA PAJAK PASCA BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 PADA KEGIATAN EKSPOR MIGAS OLEH KKKS GROSS SPLIT

 

Imam Gerson Towanda1, Haula Rosdiana2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2

Email: [email protected]1

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan perpajakan terkait dengan penetapan minyak mentah dan gas bumi sebagai barang kena pajak (BKP) dalam konteks industri minyak dan gas (migas), khususnya apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan asas netralitas dan kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti UU Nomor 7 Tahun 2021 dan PP Nomor 49 Tahun 2022, serta tinjauan literatur terkait. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam kontrak kerja sama migas, baik untuk skema gross split maupun cost recovery, serta dampaknya terhadap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan minyak mentah dan gas bumi sebagai BKP dalam rezim perpajakan yang baru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam skema gross split yang tidak diatur secara jelas terkait pengenaan PPN untuk ekspor migas. Dari segi asas netralitas, kebijakan ini menimbulkan beban tambahan bagi KKKS gross split yang tidak mendapatkan fasilitas pengembalian PPN, berbeda dengan skema cost recovery. Kebijakan perpajakan ini masih perlu disesuaikan agar lebih konsisten dengan asas netralitas dan kepastian hukum, terutama terkait ekspor migas dalam skema gross split. Perlu revisi regulasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciptakan perlakuan pajak yang lebih adil dan netral bagi semua KKKS.

Kata kunci: gross split, migas, pajak pertambahan nilai, undang undang harmonisasi peraturan perpajakan

 

Abstract

This study aims to examine taxation policies related to the determination of crude oil and natural gas as taxable goods (BKP) in the context of the oil and gas industry, specifically whether the policy is in accordance with the principles of neutrality and legal certainty. This research uses a normative juridical method by analyzing applicable laws and regulations, such as Law Number 7 of 2021 and Government Regulation Number 49 of 2022, as well as a review of related literature. Through a qualitative approach, this research analyzes the treatment of Value Added Tax (VAT) in oil and gas cooperation contracts, both for gross split and cost recovery schemes, as well as its impact on cooperation contractors (KKKS). The results show that the stipulation of crude oil and natural gas as taxable goods in the new tax regime can lead to legal uncertainty, especially in the gross split scheme which is not clearly regulated regarding the imposition of VAT on oil and gas exports. In terms of the principle of neutrality, this policy creates an additional burden for gross split PSCs that do not get VAT refund facilities, unlike the cost recovery scheme. This tax policy still needs to be adjusted to be more consistent with the principles of neutrality and legal certainty, especially regarding oil and gas exports in the gross split scheme. Regulatory revisions are needed so as not to cause legal uncertainty and create a fairer and more neutral tax treatment for all KKKS.

Keywords: gross split, law on harmonization of tax regulations, oil and gas, value added tax

 

Pendahuluan

Pada industri migas, dikenal istilah assume and discharge dimana Kontraktor Kontrak Kerjasama migas (KKKS) hanya berkewajiban atas Pajak Penghasilan (PPh) serta PPh final dalam bentuk Branch Profit Tax (BPT) (Mahi, 2019; Shobah et al., 2015). KKKS tidak dibebankan lagi pajak-pajak lainnya termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Klausul ini biasanya tertuang dalam kontrak bagi hasil migas antara Pemerintah Indonesia dengan KKKS yang umumnya mengikat selama tiga puluh (30) tahun sejak kontrak Kerjasama migas tersebut ditandatangani. Salah satu contohnya dapat dilihat pada kontrak bagi hasil wilayah kerja Pangkah yang ditandatangani oleh Pertamina sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia dengan Premier Oil Pangkah Limited, Seafield Resources (Indonesia) LLC, dan Amerada Hess (Indonesia-Pangkah) Ltd pada tanggal 8 May 1996 sebagaimana berikut:

“Pertamina shall except with respect to Contractor's obligation to pay the income tax and the final tax on profits after tax deduction as set forth in clause 5.2.17 of this  Section V, assume and discharge all other Indonesian taxes of Contractor including value added tax, transfer tax, import and export duties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by Contractor, its contractors and subcontractors; exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions including any tax or levy on or in connection  with operations performed hereunder by Contractor”

Adanya klausul assume and discharge ini dapat memberikan kepastian hukum kepada KKKS untuk menjamin proyeksi investasi mereka yang bersifat jangka panjang karena peraturan pajak yang diterapkan bersifat tetap sampai dengan masa izin usaha KKKS tersebut berakhir atau nailed down (Djamaluddin, 2019; Firmansyah & Wijaya, 2022; Putri & Taun, 2023; Ramdhanny & Juliarini, 2022). Klausul-klausul perpajakan yang berlaku pada kontrak bagi hasil migas sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku pada saat kontrak bagi hasil migas tersebut ditandatangani. KKKS dapat memproyeksikan berapa uang yang perlu mereka siapkan selama masa investasi serta nilai keekonomian suatu lapangan migas untuk dilanjutkan ke tahap pengembangan lapangan dan pembangunan suatu fasilitas produksi. Apabila ditemukan suatu sumber cadangan migas di wilayah kerja yang dikelola KKKS tersebut, namun menurut perhitungan estimasi pendapatan dengan mekanisme bagi hasil ke pemerintah serta komponen perpajakan atas pendapatan dari suatu lapangan tersebut tidak ekonomis, maka KKKS dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan investasi di wilayah kerja tersebut.

PPN merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak. Untuk KKKS yang kontrak bagi hasil migasnya masih menganut rezim perpajakan assume and discharge, hanya akan berkewajiban sebagai pemungut PPN (Jalil et al., 2024; Marsadita, 2022). Undang-undang PPN yang berlaku pada rezim PPN tersebut, menyatakan bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, diantaranya adalah minyak bumi dan gas bumi, merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN, atau bukan merupakan objek PPN. Minyak bumi dan gas bumi bukan merupakan Barang Kena Pajak (BKP) sehingga KKKS yang melakukan penjualan minyak bumi dan gas bumi juga bukan merupakan subjek PPN. Kewajiban KKKS dalam melakukan perannya sebagai pemungut PPN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 11/PMK.03/2005 sebagaimana diubah dengan PMK nomor 73/PMK.03/2010 pada tahun 2010. PPN yang telah dipungut, disetorkan dan dilaporkan oleh KKKS dapat dimintakan pembayaran kembali ke Pemerintah melalui mekanisme VAT reimbursement yang mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 518/KMK.06/2003 sebagaimana telah diubah dengan PMK nomor 64/PMK.02/2005 tahun 2005 dan PMK nomor 218/PMK.02/2014 tahun 2014. Nilai PPN yang yang dapat diajukan VAT reimbursement oleh KKKS tidak boleh melebihi besaran bagian negara yang telah diterima oleh Pemerintah atas bagi hasil penjualan minyak mentah dan gas bumi di wilayah kerja yang dikelola oleh KKKS tersebut.

Pada tahun 2001, Pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dimana pada pasal 31 ayat (4) diatur bahwa dalam kontrak kerja sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani atau ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku (Jannah, 2011). Pemerintah Indonesia dengan persetujuan KKKS dapat memilih alternatif atas aturan perpajakan yang akan berlaku pada kontrak bagi hasil migas di suatu wilayah kerja, apakah bersifat nailed down atau prevailing mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku sesuai dengan perkembangan peraturan perpajakan di Indonesia. Aturan perpajakan yang bersifat prevailing akan lebih menarik bagi investasi migas apabila peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku pada saat itu dan proyeksi kedepannya akan menarik dunia investasi, misalnya dengan beragamnya rencana pemerintah memberikan insentif-insentif perpajakan di industri migas dan industri lainnya. Hal ini juga dapat terlihat dari perkembangan situasi ekonomi dan politik yang ada di Indonesia. Namun demikian, pada umumnya KKKS masih lebih memilih aturan perpajakan yang ada pada kontrak bagi hasil migas bersifat nailed down.

Pada tahun 2010, Pemerintah mengeluarkan PP nomor 79 Tahun 2010 dimana pada pasal 11 terkait biaya operasi diatur bahwa pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah merupakan komponen biaya umum dan administrasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang nantinya yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil migas (cost recovery) (Astuti & Aryani, 2016). Dengan berlakunya PP 79 tahun 2010 ini terdapat perubahan rezim PPN di industri migas dimana PPN, sebagai bagian dari pajak tidak langsung, wajib dibayarkan terlebih dahulu oleh KKKS dan kemudian dapat diperhitungkan pada saat KKKS mencapai tahapan produksi komersial sebagai bagian dari perhitungan cost recovery. PP 79 tahun 2010 berlaku dan mengikat untuk kontrak bagi hasil migas yang ditandatangani setelah PP 79 tahun 2010 terbit. Di awal berlakunya PP 79 tahun 2010 ini terjadi masalah pada saat implementasi aturan terkait pajak tidak langsung ini dikarenakan biaya pajak tidak langsung dan pajak daerah cukup besar untuk dipikul KKKS yang masih dalam tahap eksplorasi, khususnya untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Empat tahun kemudian, di tahun 2014, Pemerintah mengeluarkan PMK nomor 267/PMK.011/2014 untuk menghapuskan pengenaan PBB untuk KKKS yang masih dalam tahap eksplorasi. Terbitnya PP 79 tahun 2010 merupakan titik awal berubahnya mekanisme pengenaan pajak tidak langsung di industri migas Indonesia. Pada tahun 2017, Pemerintah kembali mengeluarkan PP nomor 27 tahun 2017 tentang perubahan atas PP nomor 79 tahun 2010, namun untuk aturan terkait pajak tidak langsung di PP 27 tahun 2017 masih sama dengan aturan pajak tidak langsung di PP 79 tahun 2010, yaitu dibebankan sebagai biaya operasi KKKS.

Pada tahun 2017 Pemerintah Indonesia mengenalkan konsep baru dalam kontrak bagi hasil migas yaitu berbentuk gross split. Konsep gross split ini timbul dari pertimbangan pemerintah dimana kontrak bagi hasil migas berbentuk cost recovery selama ini justru menjadi beban pemerintah, dimana nilai cost recovery yang diajukan oleh KKKS menjadi lebih besar dari penerimaan migas Pemerintah Indonesia (Lubiantara, 2012; Pohan, 2014). Dengan konsep kontrak bagi hasil gross split, biaya operasi migas sepenuhnya menjadi beban KKKS. Pemerintah akan menyesuaikan besaran bagi hasil sesuai dengan karakteristik wilayah kerja yang dikelola oleh KKKS serta tingkat kesulitan yang dimiliki dalam proses eksplorasi dan eksploitasi migas pada wilayah kerja tersebut. Untuk wilayah kerja migas yang pengelolaannya ditawarkan ke KKKS setelah tahun 2017, bentuk kontrak kerjasamanya adalah berupa kontrak bagi hasil gross split. Pemerintah kemudian mengeluarkan PP nomor 53 tahun 2017 sebagai landasan perpajakan bagi KKKS gross split. KKKS yang baru mengakuisisi atau memenangkan lelang wilayah kerja migas serta KKKS yang mengajukan perpanjangan pengelolaan wilayah kerja migas sejak tahun 2017 secara otomatis akan terikat dengan PP 57 tahun 2017 ini. Pada Pasal 5 ayat (4) PP 57 tahun 2017, PPN, sebagai salah satu jenis pajak tidak langsung, tetap diatur untuk diperhitungkan sebagai bagian dari biaya operasi.

Pada tahun 2021 terdapat perubahan kembali pada rezim perpajakan industri migas, khususnya terkait PPN. Pemerintah menerbitkan undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dimana pada Bab IV Pajak Pertambahan Nilai, pada pasal 4A ayat 2 huruf a dihapuskan. Dengan demikian, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, diantaranya minyak bumi dan gas bumi, yang pada UU 42 tahun 2009 bukan merupakan BKP, kini atas penyerahannya menjadi objek pengenaan PPN atau berubah menjadi BKP. KKKS yang melakukan penjualan minyak bumi dan gas bumi kini juga wajib dikukuhkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak. Atas penjualan minyak bumi dan gas bumi, KKKS wajib menerbitkan faktur pajak. Untuk kepastian hukum, sebagai turunan dari UU nomor 7 tahun 2021 tersebut pemerintah mengeluarkan PP nomor 49 tahun 2022 tentang PPN dimana pada Pasal 6 ayat 2 huruf s, atas penyerahan minyak dan gas bumi dibebaskan dari pengenaan PPN. KKKS wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk penjualan minyak bumi dan gas bumi dengan menggunakan kode awal 080 yang merupakan kode faktur pajak yang digunakan atas transaksi penyerahan yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan perpajakan terkait dengan penetapan minyak mentah dan gas bumi sebagai barang kena pajak (BKP) dalam konteks industri minyak dan gas (migas), khususnya apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan asas netralitas dan kepastian hukum.

 

Metode Penelitian

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitan deskriptif diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan sistematis serta akurat akan permasalahan penelitian. Penelitan deskriptif juga dapat memberikan gambaran objek penelitian sesuai dengan fakta yang ada.

Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini merupakan penelitian murni. Penelitian murni dilakukan untuk memenuhi rasa keingintahuan peneliti atas suatu fenomena yang timbul terhadap hasil suatu aktifitas kausal tanpa memikirkan sisi praktis dan sisi penerapanya. Hasil dari penelitian dapat menjadi sebuah pengetahuan baru dan pemahaman baru tentang fenomena yang ada tersebut.

Kemudian berdasarkan dimensi waktu, jenis penelitian ini tergolong cross sectional. Dimana penelitian cross sectional adalah penelitian yang hanya dilakukan dalam satu kurun waktu tertentu, dan tidak dilakukan penelitian di waktu yang berbeda dengan tujuan untuk diperbandingkan. 

 

Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan secara komprehensif agar bisa didapatkan gambaran yang lengkap dari pokok permasalahan dan hasil penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.

1)    Studi Kepustakaan

Peneliti akan menggunakan studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca dan mempelajari literatur berupa artikel, undang-undang dan peraturan perpajakan, jurnal dan buku-buku. Studi literatur memiliki beberapa tujuan, antara lain peneliti dapat membaca hasil penelitian lain yang terkait erat dengan penelitian yang sedang dilakukan. Peneliti kemudian dapat menghubungkan penelitian yang sedang dilakukan dengan studi yang lebih luas dalam literatur-literatur yang ada, dan juga dapat mengisi kesenjangan dan memperluas dari studi sebelumnya. Hal ini dapat memberikan kerangka kerja (framework) untuk menetapkan pentingnya penelitian serta sebagai tolok ukur untuk membandingkan hasil penelitian dengan temuan pada penelitian lain.

2)    Studi Lapangan

Studi lapangan pada penelitian ini akan dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci. Dalam wawancara kualitatif, peneliti melakukan wawancara tatap muka dengan informan kunci atau melalui telepon. Wawancara ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan tidak terstruktur dan umumnya terbuka yang jumlahnya sedikit dan dimaksudkan untuk memperoleh pandangan dan pendapat dari para informan kunci (Creswell & Creswell, 2018). Informan kunci pada penelitian ini yaitu pelaku usaha migas serta akademisi, untuk mengetahui peristiwa yang dialami oleh atau pendapat masing-masing informan terhdap ketentuan penetapan minyak mentah menjadi BKP pada UU HPP.

 

Hasil dan Pembahasan

Analisis Kesesuaian dengan Asas Neutrality

            Pada UU HPP nomor 7 tahun 2021 pasal 4A ayat 2 dan ayat 3, pemerintah menghapus sebagian besar jenis barang dan jasa yang pada undang-undang PPN sebelumnya merupakan jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Jenis barang dan jasa tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

a.     barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b.     barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c.     jasa pelayanan kesehatan medik;

d.     jasa pelayanan sosial;

e.     jasa pengiriman surat dengan perangko;

f.      jasa keuangan;

g.     jasa asuransi

h.     jasa pendidikan;

i.      jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan

j.      jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

k.     jasa tenaga kerja

l.      jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; dan

m.   jasa pengiriman uang dengan wesel pos;

Kebijakan untuk penghapusan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN bukan tanpa sebab, salah satu alasannya adalah inefisiensi pemungutan PPN di Indonesia. Sebagai contoh, apabila total nilai transaksi di Indonesia sebesar 100, dengan tarif PPN saat ini sebesar 11%, seharusnya besaran penerimaan negara dari PPN adalah sebesar 11. Namun kenyataan yang terjadi adalah jumlah penerimaan negara dari PPN tidak mencapai atau bahkan jauh dibawah 11. Inefisiensi ini disebabkan karena banyaknya fasilitas yang diberikan pemerintah dalam bidang PPN. Fasilitas tersebut dalah satunya berupa dari sisi objeknya tidak terutang PPN atau terutang PPN namun dibebaskan atau tidak dipungut. Dengan dihapuskannya beberapa jenis barang dan jasa pada pasal 4A, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi PPN.

Saat ini pemerintah Indonesia mulai menggeser basis pemajakan dari pajak penghasilan ke pajak konsumsi atau PPN karena pada pajak konsumsi pemerintah akan lebih mudah untuk meningkatkan tax ratio. Hal ini dikarenakan Pajak penghasilan hanya dikenakan pada individu dan perusahaan yang memperoleh penghasilan, sementara pajak konsumsi dikenakan pada hampir semua transaksi penjualan barang dan jasa. Dengan demikian, cakupannya lebih luas dan mencakup lebih banyak wajib pajak. Kemudian PPN cenderung lebih stabil dibandingkan pajak penghasilan karena konsumsi masyarakat relatif lebih konsisten, bahkan dalam kondisi ekonomi yang berfluktuasi. Pendapatan dari konsumsi biasanya tidak mengalami perubahan drastis, sehingga dapat memberikan penerimaan yang lebih konsisten bagi negara.

Pajak berbasis konsumsi juga tidak terlampau banyak terjadi tax avoidance atau penghindaran pajak. PPN memiliki keunggulan dibandingkan dengan pajak lainnya yang disebut dengan self-enforcing. Mekanisme self-enforcing bekerja dengan menetapkan insentif yang berlawanan untuk penjual dan pembeli. Dari sisi penjual mungkin akan lebih cenderung melaporkan nilai transaksi lebih rendah untuk membayar pajak lebih sedikit dan dari sisi pembeli cenderung melaporkan dengan benar atau bahkan berlebihan agar mereka dapat mengklaim lebih banyak pajak masukan dan mengurangi kewajiban pembayaran PPN mereka. Namun catatan transaksi yang dihasilkan oleh para pengusaha kena pajak sepanjang rantai perdagangan, baik pembeli maupun penjual akan membuat laporan pajak atas transaksi yang sama. Fiskus dapat mencocokan dan memverifikasi data dari pengusaha kena pajak tersebut sehingga apabila ada ketidak sesuaian, fiskus langsung dapat melakukan penegakan hukum (Mascagni & Santoro, 2023).

Ditinjau dari asas netralitas, penghapusan sebagian besar jenis barang dan jasa pada pasal 4A ayat 2 di UU HPP, dapat menghilangkan adanya diskriminasi dalam pengenaan pajak. Dilihat dari konsep internal neutrality yang mengacu pada prinsip bahwa PPN harus dikenakan secara adil dan setara terhadap barang dan jasa yang sama (Rosdiana, 2004), khusus antara barang berupa minyak mentah dan gas bumi, perlakuan pengenaan PPN nya kini juga menjadi sama dengan barang lain sejenis seperti gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang pada UU PPN sebelumnya sudah diatur merupakan BKP. Perbedaan antara gas bumi dengan LNG adalah gas bumi merupakan gas hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, sedangkan LNG adalah bentuk gas alam yang telah didinginkan hingga mencapai suhu sekitar -162°C sehingga bentuknya berubah dari gas menjadi cairan. Proses pencairan ini mengurangi volume cairan sekitar 600 kali dibandingkan dengan volume gas yang sama.

Gas bumi dapat dialirkan melalui saluran pipa. Metode ini memungkinkan aliran gas bumi secara langsung dari sumbernya ke tempat penggunaannya, seperti pembangkit listrik, industri, dan atau rumah tangga. Keunggulan dari aliran melalui saluran pipa adalah kapasitas pengangkutan yang besar dan kontinuitas pasokan yang terjamin. Kemudian gas bumi juga dapat diangkut dalam bentuk LNG yang akan lebih memudahkan pengangkutan jarak jauh menggunakan kapal tanker. LNG sangat berguna untuk ekspor gas alam ke negara-negara yang tidak memiliki koneksi pipa langsung. Meskipun membutuhkan infrastruktur yang mahal seperti fasilitas pencairan, penyimpanan, dan regasifikasi, LNG menawarkan fleksibilitas pengangkutan dan kemampuan distribusi yang lebih luas.

Pada tahun 2020, melalui PP nomor 48 tahun 2020, pemerintah memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas penyerahan LNG. Perlakuan yang sama juga diberikan untuk gas bumi, dimana melalui PP 49 tahun 2022, pemerintah memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas penyerahan gas bumi. Asas legal neutrality menyatakan bahwa setiap aktivitas penjualan barang atau jasa yang sejenis yang dilakukan oleh pengusaha harus dikenakan pajak dengan tarif yang setara. Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa gas bumi dan LNG pada dasarnya adalah barang dengan jenis yang sama namun LNG melalui satu rangkaian proses tambahan dengan tujuan untuk kemudahan transportasi distribusi atau penjualan produk gas bumi. Meskipun gas bumi dan LNG merupakan barang dengan jenis yang sama, pada proses tambahan yang dilakukan pada LNG sejatinya menambahkan value dari gas bumi.

Untuk produk gas bumi lainnya yaitu Liquefied Petroleum Gas (LPG) adalah merupakan campuran dari hidrokarbon yang terutama terdiri dari propana dan butana. LPG merupakan produk sampingan dari gas bumi yang telah melalui proses penyulingan. Meskipun berbeda jenis dengan gas bumi, namun asal dan peruntukan LPG sama dengan gas bumi. Sampai UU HPP berlaku, perlakuan PPN atas LPG dan gas bumi juga masih dibedakan. LPG tidak mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan seperti gas bumi dan LNG.

 

Analisis Kesesuaian dengan Asas Certainty

Sebagai dampak dihapuskannya minyak mentah dan gas bumi dari jenis barang yang tidak dikenai PPN pada UU HPP nomor 7 tahun 2021, kini minyak mentah dan gas bumi telah dikategorikan sebagai BKP dan dikenakan PPN. Hal ini membawa perubahan signifikan bagi KKKS yang sebelumnya tidak diwajibkan memungut PPN terhadap penyerahan minyak mentah dan gas bumi. Dengan status baru ini, KKKS sebagai wajib pajak yang melakukan penyerahan minyak mentah dan gas bumi memiliki kewajiban untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Sesuai dengan ketentuan PPN, KKKS kini wajib menerbitkan faktur pajak untuk setiap tagihan atau invoice yang terkait dengan penyerahan minyak mentah dan gas bumi. PP nomor 49 tahun 2022 sebagai peraturan turunan dari UU HPP nomor 7 tahun 2021 mengikat dan berlaku ke semua jenis industri hulu migas, baik itu industri hulu migas dengan skema bagi hasil cost recovery maupun gross split.

Dalam PP nomor 49 tahun 2022 pasal 6 ayat 2, dijelaskan bahwa fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN hanya berlaku untuk penyerahan minyak mentah dan gas bumi. Lebih lanjut, merujuk pada UU PPN pasal 4 ayat 1 huruf a, PPN dikenakan atas penyerahan BKP yang dilakukan di dalam daerah pabean. Ketentuan untuk kegiatan ekspor BKP berwujud diatur pada pasal 4 ayat 1 huruf f. Ini menunjukkan adanya perbedaan antara terminologi "penyerahan" dan "ekspor", dimana "penyerahan" yang terutang PPN adalah penyerahan di dalam daerah pabean, sedangkan "ekspor" digunakan ketika BKP dijual ke luar daerah pabean.

Tarif PPN untuk kegiatan ekspor BKP adalah 0% sesuai dengan UU PPN pasal 7, sehingga pajak keluaran yang terutang atas transaksi ekspor tersebut adalah “0”. Berdasarkan pasal 9 UU PPN, PKP berhak untuk mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa pajak dengan pajak keluarannya. Dengan demikian, jika PKP hanya melakukan kegiatan ekspor BKP, maka akan terjadi kelebihan pembayaran pajak masukan dan kelebihan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian dalam bentuk restitusi PPN. Permohonan restitusi PPN ini dapat diajukan setiap masa pajak oleh PKP yang hanya melakukan kegiatan ekspor.

Pada industri hulu migas dengan skema bagi hasil gross split, perlakuan perpajakannya secara spesifik diatur dalam PP nomor 53 tahun 2017. Perlakuan PPN atas kontrak bagi hasil gross split adalah dibebankan sebagai biaya operasi. Skema bagi hasil gross split tidak mengenal adanya pengembalian biaya operasi dari negara ke KKKS, sehingga pengeluaran KKKS atas biaya operasi beserta PPN akan ditanggung sendiri dan menjadi beban usaha KKKS tersebut. KKKS dituntut untuk dapat beroperasi secara efektif dan efisien agar biaya operasional dapat ditekan dan KKKS bisa mendapatkan profit yang ekonomis. Meskipun demikian biaya operasi yang perlu dikeluarkan oleh KKKS tetap akan sangat tinggi, terlebih di fase awal eksplorasi migas sampai dengan fase pengembangan lapangan dan pembangunan fasilitas produksi (development). Dengan adanya penambahan beban biaya operasi berupa PPN, maka biaya operasi ini akan dapat mempengaruhi keputusan investasi KKKS. Sehingga pada PP nomor 53 tahun 2017, pemerintah memberikan insentif berupa PPN tidak dipungut bagi KKKS gross split yang masih dalam tahap eksplorasi dan eksploitasi sampai dengan dimulainya produksi komersial. Setelah KKKS mencapai fase produksi komersial maka PPN wajib dibayarkan dan dibebanka sebagai biaya operasi.

Setelah berlakunya PP nomor 49 tahun 2022, KKKS dengan skema bagi hasil gross split yang melakukan kegiatan ekspor minyak mentah dan gas bumi dikenakan PPN dengan tarif 0%, yang berarti pajak keluaran yang harus dibayarkan adalah nol. Mengacu pada Undang-Undang PPN, KKKS memiliki hak untuk mengkreditkan pajak masukan yang telah mereka bayarkan. Walaupun demikian, jika kita merujuk ke PP nomor 53 tahun 2017, pajak masukan untuk KKKS dengan skema gross split seharusnya dianggap sebagai biaya operasi.

Hal ini membawa persoalan karena kedua peraturan pemerintah tersebut tidak selaras. Sementara PP nomor 49 tahun 2022 memberikan KKKS gross split tarif PPN 0% untuk kegiatan ekspor dan kemudahan dalam pelaporan pajak keluaran, PP nomor 53 tahun 2017 mengharuskan pajak masukan sebagai biaya operasi, yang mungkin dapat mempengaruhi bagaimana KKKS mengelola aspek keuangannya. Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa terkadang terdapat ketidaksesuaian antara peraturan pemerintah yang berlaku, sehingga memerlukan pemahaman yang cermat dan penyesuaian dalam menjalankan aktivitas bisnis migas, terutama bagi KKKS dengan skema bagi hasil gross split yang terlibat dalam kegiatan ekspor minyak mentah dan gas bumi.

Untuk menyelesaikan pertentangan antar peraturan perundang-undangan, dikenal asas hukum yaitu lex posterior derogat legi priori. Dalam konteks ini, asas ini secara sederhana berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih baru akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih lama. Tujuan utama dari asas ini adalah untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum yang mungkin timbul ketika ada dua peraturan yang memiliki kedudukan hukum yang sama dalam hierarki peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian, asas lex posterior derogat legi priori memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam menentukan peraturan mana yang harus diikuti ketika terjadi benturan antara dua peraturan hukum yang berlaku. Prinsip ini memastikan bahwa dalam kasus konflik antara peraturan yang lebih tua dan yang lebih baru, peraturan yang lebih baru harus dijadikan acuan dan berlaku, sehingga mencegah kerancuan pelaksanaan hukum serta menjamin keseragaman penegakan hukum.

Melihat asas lex posterior derogat legi priori tersebut maka acuan peraturan yang seharusnya digunakan adalah PP terbaru yaitu PP 49 tahun 2022. Meskipun demikian, hal ini tidak bisa serta merta dilakukan oleh KKKS gross split. Karena berdasarkan kontrak bagi hasil, KKKS gross split telah menyepakati perhitungan bagi hasil untuk kontraktor (contractor take) dengan telah memperhitungkan faktor PPN dalam biaya operasi tersebut. Sehingga apabila KKKS memanfaatkan hak nya untuk mengkreditkan pajak masukan atas ekspor minyak mentah dan gas bumi, hal ini dapat merugikan pemerintah dan keuangan negara.

 

Kesimpulan

Kebijakan dihapuskannya sebagian besar jenis barang dan jasa pada Pasal 4 ayat 2 di UU HPP nomor 7 tahun 2021 merupakan perubahan yang signifikan khususnya pada industri hulu migas. Apabila dilihat dari asas netralitas, khusus untuk perlakuan PPN atas minyak mentah dan gas bumi, UU HPP telah dapat menjamin terciptanya legal neutrality dimana setiap aktivitas penjualan gas bumi dan barang lain yang sejenis harus dikenakan pajak dengan tarif yang setara. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan perlakuan PPN atas gas bumi dengan LNG sebelum dan setelah UU HPP berlaku. Namun demikian apabila dibandingkan dengan produk turunan gas bumi lainnya seperti LPG, masih terdapat perbedaan perlakuan PPN. Apabila dilihat dari sisi tujuan awal pemerintah untuk meningkatkan efisiensi penerimaan PPN dengan meningkatkan penerapan prinsip netralitas, maka hal ini belum tercapai. Karena setelah berlakunya UU HPP, pemerintah menerbitkan kembali PP 49 tahun 2022 yang memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas produk minyak dan gas bumi.

Implementasi PP nomor 49 tahun 2022 dapat memberikan kepastian atas pengenaan PPN bagi industri hulu migas khususnya untuk KKKS gross split yang melakukan penyerahan atau penjualan minyak mentah dan gas bumi secara domestik, yaitu dibebaskan dari pengenaan PPN. Perlakuan PPN untuk KKKS gross split yang menjual minyak mentah dan gas bumi ke pembeli di luar negeri atau secara ekspor juga secara jelas tetap terutang pajak keluaran dengan tarif 0%. Namun untuk perlakuan atas pajak masukan, terdapat konflik dengan PP 53 tahun 2017 yang masih merujuk ke UU PPN nomor 42 tahun 2009 yang sudah digantikan dengan UU HPP nomor 7 tahun 2021. Perbedaan perlakuan atas pajak masukan tersebut dapat berdampak pada timbulnya kesalahan KKKS gross split dalam menjalankan administrasi atas kewajiban perpajakannya. KKKS gross split tidak bisa serta merta menerapkan sesuai aturan PP nomor 49 tahun 2022.

 

BIBLIOGRAFI

 

Astuti, T. P., & Aryani, Y. A. (2016). Tren penghindaran pajak perusahaan manufaktur di Indonesia yang terdaftar di BEI tahun 2001-2014. Jurnal Akuntansi, 20(3), 375–388.

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (5th ed.). Sage Publications.

Djamaluddin, M. S. (2019). Klausa yang Menyatakan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sewa Bangunan Ditanggung oleh Pihak Penyewa. Jurnal Education and Development, 7(4), 135–137.

Firmansyah, R. A., & Wijaya, S. (2022). Natura Dan Kenikmatan Sebelum Dan Sesudah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara (PKN), 3(2), 343–359.

Jalil, F. Y., Azhar, I., Annas, M., Galib, A., Tarmizi, R., Tanjung, J., Meutia, T., de Fretes, A. V. C., Solihin, A., & Wulandari, S. S. (2024). Dasar-dasar perpajakan. Sada Kurnia Pustaka.

Jannah, M. (2011). Analisis undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi ditinjau dari konsep pegelolaan kepemilikan umum dalam Islam.

Lubiantara, B. (2012). Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Grasindo.

Mahi, B. R. (2019). Kebijakan Perpajakan: Optimalisasi Insentif dan Kesinambungan Fiskal. Gramedia Pustaka Utama.

Marsadita, B. (2022). Mekanisme Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Peloporan PPN Atas Belanja BKP pada CV. Timur Jaya. Jurnal Aplikasi Perpajakan, 3(1).

Mascagni, G., & Santoro, F. (2023). The Tax Side of the Pandemic: Shifts in Compliance Attitudes and Perceptions in Rwanda. Journal of Development Studies, 59(6). https://doi.org/10.1080/00220388.2023.2178304

Pohan, C. A. (2014). Pembahasan Komprehensif Perpajakan Indonesia Teori dan Kasus.

Putri, A. K., & Taun, T. (2023). Peranan Hukum Pajak Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Guna Mencapai Tujuan Negara. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9(1), 198–209.

Ramdhanny, I., & Juliarini, A. (2022). Analisis Kewajiban Perpajakan Badan Usaha Milik Desa Dalam Kebangkitan Ekonomi Pascapandemi Covid-19. Info Artha, 6(2), 139–148.

Rosdiana, H. (2004). Pengantar ilmu pajak: kebijakan dan implementasi di Indonesia. Why We Need the Journal of Interactive Advertising, 10(10).

Shobah, S., Widhiyanti, H. N., Audrey, P., & Kn, M. (2015). Cost Recovery Dalam Kontrak Kerjasama Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Kontrak Internasional. Brawijaya University.

 

 

 

Copyright holder:

Imam Gerson Towanda, Haula Rosdiana (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: