Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 10, Oktober 2024
ANALISIS IMPLIKASI KEBIJAKAN
MINYAK MENTAH DAN GAS BUMI SEBAGAI BARANG KENA PAJAK PASCA BERLAKUNYA
UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 PADA KEGIATAN EKSPOR MIGAS OLEH KKKS GROSS SPLIT
Imam Gerson
Towanda1, Haula Rosdiana2
Universitas
Indonesia, Depok, Indonesia1,2
Email: [email protected]1
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji kebijakan perpajakan terkait dengan penetapan minyak
mentah dan gas bumi sebagai barang kena pajak (BKP) dalam konteks industri
minyak dan gas (migas), khususnya apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan
asas netralitas dan kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis
normatif dengan analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti UU
Nomor 7 Tahun 2021 dan PP Nomor 49 Tahun 2022, serta tinjauan literatur
terkait. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini menganalisis perlakuan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam kontrak kerja sama migas, baik untuk skema
gross split maupun cost recovery, serta dampaknya terhadap kontraktor kontrak
kerja sama (KKKS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan minyak mentah
dan gas bumi sebagai BKP dalam rezim perpajakan yang baru dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum, terutama dalam skema gross split yang tidak diatur secara
jelas terkait pengenaan PPN untuk ekspor migas. Dari segi asas netralitas,
kebijakan ini menimbulkan beban tambahan bagi KKKS gross split yang tidak
mendapatkan fasilitas pengembalian PPN, berbeda dengan skema cost recovery.
Kebijakan perpajakan ini masih perlu disesuaikan agar lebih konsisten dengan
asas netralitas dan kepastian hukum, terutama terkait ekspor migas dalam skema
gross split. Perlu revisi regulasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum
dan menciptakan perlakuan pajak yang lebih adil dan netral bagi semua KKKS.
Kata kunci: gross
split, migas, pajak pertambahan nilai, undang undang harmonisasi peraturan
perpajakan
Abstract
This study
aims to examine taxation policies related to the determination of crude oil and
natural gas as taxable goods (BKP) in the context of the oil and gas industry,
specifically whether the policy is in accordance with the principles of
neutrality and legal certainty. This research uses a normative juridical method
by analyzing applicable laws and regulations, such as Law Number 7 of 2021 and
Government Regulation Number 49 of 2022, as well as a review of related
literature. Through a qualitative approach, this research analyzes the
treatment of Value Added Tax (VAT) in oil and gas cooperation contracts, both
for gross split and cost recovery schemes, as well as its impact on cooperation
contractors (KKKS). The results show that the stipulation of crude oil and
natural gas as taxable goods in the new tax regime can lead to legal
uncertainty, especially in the gross split scheme which is not clearly
regulated regarding the imposition of VAT on oil and gas exports. In terms of
the principle of neutrality, this policy creates an additional burden for gross
split PSCs that do not get VAT refund facilities, unlike the cost recovery
scheme. This tax policy still needs to be adjusted to be more consistent with
the principles of neutrality and legal certainty, especially regarding oil and
gas exports in the gross split scheme. Regulatory revisions are needed so as
not to cause legal uncertainty and create a fairer and more neutral tax
treatment for all KKKS.
Keywords: gross split, law on harmonization
of tax regulations, oil and gas, value added tax
Pendahuluan
Pada industri migas, dikenal istilah assume and discharge dimana
Kontraktor Kontrak Kerjasama migas (KKKS) hanya berkewajiban atas Pajak
Penghasilan (PPh) serta PPh final dalam bentuk Branch Profit Tax (BPT)
“Pertamina
shall except with respect to Contractor's obligation to pay the income tax and
the final tax on profits after tax deduction as set forth in clause 5.2.17 of
this Section V, assume and discharge all
other Indonesian taxes of Contractor including value added tax, transfer tax,
import and export duties on materials, equipment and supplies brought into
Indonesia by Contractor, its contractors and subcontractors; exactions in
respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions
including any tax or levy on or in connection
with operations performed hereunder by Contractor”
Adanya
klausul assume and discharge ini dapat memberikan kepastian hukum kepada
KKKS untuk menjamin proyeksi investasi mereka yang bersifat jangka panjang
karena peraturan pajak yang diterapkan bersifat tetap sampai dengan masa izin
usaha KKKS tersebut berakhir atau nailed down
PPN
merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung karena pembayaran atau
pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak.
Untuk KKKS yang kontrak bagi hasil migasnya masih menganut rezim perpajakan assume
and discharge, hanya akan berkewajiban sebagai pemungut PPN
Pada
tahun 2001, Pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang
minyak dan gas bumi dimana pada pasal 31 ayat (4) diatur bahwa dalam kontrak
kerja sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku
pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani atau ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku
Pada tahun 2010, Pemerintah mengeluarkan PP nomor 79
Tahun 2010 dimana pada pasal 11 terkait biaya operasi diatur bahwa pajak tidak
langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah merupakan komponen biaya umum dan
administrasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang nantinya yang dapat
dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil migas (cost recovery)
Pada tahun 2017 Pemerintah Indonesia mengenalkan konsep
baru dalam kontrak bagi hasil migas yaitu berbentuk gross split. Konsep gross
split ini timbul dari pertimbangan pemerintah dimana kontrak bagi hasil
migas berbentuk cost recovery selama ini justru menjadi beban
pemerintah, dimana nilai cost recovery yang diajukan oleh KKKS menjadi
lebih besar dari penerimaan migas Pemerintah Indonesia
Pada tahun 2021 terdapat perubahan kembali
pada rezim perpajakan industri migas, khususnya terkait PPN. Pemerintah
menerbitkan undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan
perpajakan dimana pada Bab IV Pajak Pertambahan Nilai, pada pasal 4A ayat 2
huruf a dihapuskan. Dengan demikian, barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, diantaranya minyak bumi dan
gas bumi, yang pada UU 42 tahun 2009 bukan merupakan BKP, kini atas
penyerahannya menjadi objek pengenaan PPN atau berubah menjadi BKP. KKKS yang
melakukan penjualan minyak bumi dan gas bumi kini juga wajib dikukuhkan untuk
menjadi Pengusaha Kena Pajak. Atas penjualan minyak bumi dan gas bumi, KKKS
wajib menerbitkan faktur pajak. Untuk kepastian hukum, sebagai turunan dari UU
nomor 7 tahun 2021 tersebut pemerintah mengeluarkan PP nomor 49 tahun 2022
tentang PPN dimana pada Pasal 6 ayat 2 huruf s, atas penyerahan minyak dan gas
bumi dibebaskan dari pengenaan PPN. KKKS wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk
penjualan minyak bumi dan gas bumi dengan menggunakan kode awal 080 yang
merupakan kode faktur pajak yang digunakan atas transaksi penyerahan yang
mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan perpajakan terkait dengan
penetapan minyak mentah dan gas bumi sebagai barang kena pajak (BKP) dalam
konteks industri minyak dan gas (migas), khususnya apakah kebijakan tersebut
telah sesuai dengan asas netralitas dan kepastian hukum.
Berdasarkan
tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitan deskriptif
diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan sistematis serta akurat
akan permasalahan penelitian. Penelitan deskriptif juga dapat memberikan
gambaran objek penelitian sesuai dengan fakta yang ada.
Berdasarkan
manfaat penelitian, penelitian ini merupakan penelitian murni. Penelitian murni
dilakukan untuk memenuhi rasa keingintahuan peneliti atas suatu fenomena yang
timbul terhadap hasil suatu aktifitas kausal tanpa memikirkan sisi praktis dan
sisi penerapanya. Hasil dari penelitian dapat menjadi sebuah pengetahuan baru
dan pemahaman baru tentang fenomena yang ada tersebut.
Kemudian
berdasarkan dimensi waktu, jenis penelitian ini tergolong cross sectional. Dimana penelitian cross sectional adalah penelitian yang hanya dilakukan dalam satu
kurun waktu tertentu, dan tidak dilakukan penelitian di waktu yang berbeda
dengan tujuan untuk diperbandingkan.
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan secara
komprehensif agar bisa didapatkan gambaran yang lengkap dari pokok permasalahan
dan hasil penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan
dan studi lapangan.
Peneliti
akan menggunakan studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca dan mempelajari
literatur berupa artikel, undang-undang dan peraturan perpajakan, jurnal dan
buku-buku. Studi literatur memiliki beberapa tujuan, antara lain peneliti dapat
membaca hasil penelitian lain yang terkait erat dengan penelitian yang sedang
dilakukan. Peneliti kemudian dapat menghubungkan penelitian yang sedang
dilakukan dengan studi yang lebih luas dalam literatur-literatur yang ada, dan
juga dapat mengisi kesenjangan dan memperluas dari studi sebelumnya. Hal ini
dapat memberikan kerangka kerja (framework)
untuk menetapkan pentingnya penelitian serta sebagai tolok ukur untuk
membandingkan hasil penelitian dengan temuan pada penelitian lain.
2) Studi Lapangan
Studi lapangan pada penelitian ini akan dilakukan dengan
melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci. Dalam wawancara kualitatif,
peneliti melakukan wawancara tatap muka dengan informan kunci atau melalui
telepon. Wawancara ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan tidak terstruktur dan
umumnya terbuka yang jumlahnya sedikit dan dimaksudkan untuk memperoleh
pandangan dan pendapat dari para informan kunci
Analisis
Kesesuaian dengan Asas Neutrality
Pada UU HPP nomor 7
tahun 2021 pasal 4A ayat 2 dan ayat 3, pemerintah menghapus sebagian besar
jenis barang dan jasa yang pada undang-undang PPN sebelumnya merupakan jenis
barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Jenis barang dan jasa tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
a. barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. jasa
pelayanan kesehatan medik;
d. jasa
pelayanan sosial;
e. jasa
pengiriman surat dengan perangko;
f. jasa
keuangan;
g. jasa
asuransi
h.
jasa pendidikan;
i.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
j. jasa
angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa
tenaga kerja
l. jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam; dan
m.
jasa pengiriman uang dengan wesel pos;
Kebijakan untuk
penghapusan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN bukan tanpa sebab, salah
satu alasannya adalah inefisiensi pemungutan PPN di Indonesia. Sebagai contoh,
apabila total nilai transaksi di Indonesia sebesar 100, dengan tarif PPN saat
ini sebesar 11%, seharusnya besaran penerimaan negara dari PPN adalah sebesar
11. Namun kenyataan yang terjadi adalah jumlah penerimaan negara dari PPN tidak
mencapai atau bahkan jauh dibawah 11. Inefisiensi ini disebabkan karena
banyaknya fasilitas yang diberikan pemerintah dalam bidang PPN. Fasilitas
tersebut dalah satunya berupa dari sisi objeknya tidak terutang PPN atau
terutang PPN namun dibebaskan atau tidak dipungut. Dengan dihapuskannya
beberapa jenis barang dan jasa pada pasal 4A, diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi PPN.
Saat ini
pemerintah Indonesia mulai menggeser basis pemajakan dari pajak penghasilan ke
pajak konsumsi atau PPN karena pada pajak konsumsi pemerintah akan lebih mudah
untuk meningkatkan tax ratio. Hal ini dikarenakan Pajak penghasilan hanya dikenakan pada individu
dan perusahaan yang memperoleh penghasilan, sementara pajak konsumsi dikenakan
pada hampir semua transaksi penjualan barang dan jasa. Dengan demikian,
cakupannya lebih luas dan mencakup lebih banyak wajib pajak. Kemudian PPN cenderung lebih stabil
dibandingkan pajak penghasilan karena konsumsi masyarakat relatif lebih
konsisten, bahkan dalam kondisi ekonomi yang berfluktuasi. Pendapatan dari
konsumsi biasanya tidak mengalami perubahan drastis, sehingga dapat memberikan
penerimaan yang lebih konsisten bagi negara.
Pajak berbasis konsumsi juga tidak terlampau banyak terjadi tax
avoidance atau penghindaran pajak. PPN memiliki keunggulan dibandingkan dengan pajak lainnya yang
disebut dengan self-enforcing. Mekanisme self-enforcing bekerja
dengan menetapkan insentif yang berlawanan untuk penjual dan pembeli. Dari sisi penjual mungkin akan lebih cenderung melaporkan
nilai transaksi lebih rendah untuk membayar pajak lebih sedikit dan dari sisi pembeli cenderung melaporkan
dengan benar atau bahkan berlebihan agar mereka dapat mengklaim lebih banyak pajak masukan dan mengurangi
kewajiban pembayaran PPN
mereka. Namun catatan transaksi yang dihasilkan
oleh para pengusaha kena pajak sepanjang rantai perdagangan, baik pembeli
maupun penjual akan membuat laporan pajak atas transaksi yang sama. Fiskus
dapat mencocokan dan memverifikasi data dari pengusaha kena pajak tersebut
sehingga apabila ada ketidak sesuaian, fiskus langsung dapat melakukan
penegakan hukum
Ditinjau dari asas netralitas, penghapusan sebagian besar jenis barang
dan jasa pada pasal 4A ayat 2 di UU HPP, dapat menghilangkan adanya diskriminasi dalam
pengenaan pajak. Dilihat dari konsep internal neutrality yang mengacu pada prinsip bahwa PPN harus dikenakan
secara adil dan setara terhadap barang dan jasa yang sama
Gas bumi dapat dialirkan melalui saluran
pipa. Metode ini memungkinkan aliran gas bumi secara langsung dari sumbernya ke
tempat penggunaannya, seperti pembangkit listrik, industri, dan atau rumah
tangga. Keunggulan dari aliran melalui saluran pipa adalah kapasitas
pengangkutan yang besar dan kontinuitas pasokan yang terjamin. Kemudian gas
bumi juga dapat diangkut dalam bentuk LNG yang akan lebih memudahkan
pengangkutan jarak jauh menggunakan kapal tanker. LNG sangat berguna untuk
ekspor gas alam ke negara-negara yang tidak memiliki koneksi pipa langsung.
Meskipun membutuhkan infrastruktur yang mahal seperti fasilitas pencairan,
penyimpanan, dan regasifikasi, LNG menawarkan fleksibilitas pengangkutan dan
kemampuan distribusi yang lebih luas.
Pada tahun 2020, melalui PP nomor 48 tahun
2020, pemerintah memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas penyerahan LNG.
Perlakuan yang sama juga diberikan untuk gas bumi, dimana melalui PP 49 tahun
2022, pemerintah memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas penyerahan gas bumi.
Asas legal neutrality menyatakan bahwa setiap aktivitas penjualan barang
atau jasa yang sejenis yang dilakukan oleh pengusaha harus dikenakan pajak
dengan tarif yang setara. Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa gas bumi
dan LNG pada dasarnya adalah barang dengan jenis yang sama namun LNG melalui
satu rangkaian proses tambahan dengan tujuan untuk kemudahan transportasi
distribusi atau penjualan produk gas bumi. Meskipun gas bumi dan LNG merupakan
barang dengan jenis yang sama, pada proses tambahan yang dilakukan pada LNG
sejatinya menambahkan value dari gas bumi.
Untuk produk gas bumi lainnya yaitu Liquefied Petroleum Gas (LPG) adalah merupakan campuran dari hidrokarbon yang terutama terdiri dari propana dan butana.
LPG merupakan produk sampingan dari gas
bumi yang telah melalui proses penyulingan. Meskipun berbeda jenis dengan gas bumi, namun asal dan
peruntukan LPG sama dengan gas bumi. Sampai UU HPP berlaku, perlakuan PPN atas
LPG dan gas bumi juga masih dibedakan. LPG tidak mendapatkan fasilitas PPN
dibebaskan seperti gas bumi dan LNG.
Analisis
Kesesuaian dengan Asas Certainty
Sebagai dampak dihapuskannya minyak mentah dan gas
bumi dari jenis barang yang tidak dikenai PPN pada UU HPP nomor 7 tahun 2021,
kini minyak mentah dan gas bumi telah dikategorikan sebagai BKP dan dikenakan
PPN. Hal ini membawa perubahan signifikan bagi KKKS yang sebelumnya tidak
diwajibkan memungut PPN terhadap penyerahan minyak mentah dan gas bumi. Dengan
status baru ini, KKKS sebagai wajib pajak yang melakukan penyerahan minyak
mentah dan gas bumi memiliki kewajiban untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Sesuai dengan ketentuan PPN, KKKS kini wajib menerbitkan faktur pajak untuk
setiap tagihan atau invoice yang terkait dengan penyerahan minyak mentah dan
gas bumi. PP nomor 49 tahun 2022 sebagai
peraturan turunan dari UU HPP nomor 7 tahun 2021 mengikat dan berlaku ke semua
jenis industri hulu migas, baik itu industri hulu migas dengan skema bagi hasil
cost recovery maupun gross split.
Dalam PP nomor 49 tahun 2022 pasal 6 ayat 2,
dijelaskan bahwa fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN hanya berlaku untuk
penyerahan minyak mentah dan gas bumi. Lebih lanjut, merujuk pada UU PPN pasal 4 ayat 1 huruf a, PPN dikenakan
atas penyerahan BKP yang dilakukan di dalam daerah pabean. Ketentuan untuk
kegiatan ekspor BKP berwujud diatur pada pasal 4 ayat 1 huruf f. Ini
menunjukkan adanya perbedaan antara terminologi "penyerahan" dan
"ekspor", dimana "penyerahan" yang terutang PPN adalah
penyerahan di dalam daerah pabean, sedangkan "ekspor" digunakan
ketika BKP dijual ke luar daerah pabean.
Tarif PPN untuk kegiatan ekspor BKP adalah 0%
sesuai dengan UU PPN pasal 7, sehingga pajak keluaran yang terutang atas
transaksi ekspor tersebut adalah “0”. Berdasarkan pasal 9 UU PPN, PKP berhak
untuk mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa pajak dengan pajak
keluarannya. Dengan demikian, jika PKP hanya melakukan kegiatan ekspor BKP,
maka akan terjadi kelebihan pembayaran pajak masukan dan kelebihan tersebut
dapat diajukan permohonan pengembalian dalam bentuk restitusi PPN. Permohonan
restitusi PPN ini dapat diajukan setiap masa pajak oleh PKP yang hanya
melakukan kegiatan ekspor.
Pada industri hulu migas dengan skema bagi hasil
gross split, perlakuan perpajakannya secara spesifik diatur dalam PP nomor 53
tahun 2017. Perlakuan PPN atas kontrak bagi hasil gross split adalah dibebankan
sebagai biaya operasi. Skema bagi hasil gross split tidak mengenal adanya
pengembalian biaya operasi dari negara ke KKKS, sehingga pengeluaran KKKS atas
biaya operasi beserta PPN akan ditanggung sendiri dan menjadi beban usaha KKKS
tersebut. KKKS dituntut untuk dapat beroperasi secara efektif dan efisien agar
biaya operasional dapat ditekan dan KKKS bisa mendapatkan profit yang ekonomis.
Meskipun demikian biaya operasi yang perlu dikeluarkan oleh KKKS tetap akan
sangat tinggi, terlebih di fase awal eksplorasi migas sampai dengan fase
pengembangan lapangan dan pembangunan fasilitas produksi (development).
Dengan adanya penambahan beban biaya operasi berupa PPN, maka biaya operasi ini
akan dapat mempengaruhi keputusan investasi KKKS. Sehingga pada PP nomor 53
tahun 2017, pemerintah memberikan insentif berupa PPN tidak dipungut bagi KKKS
gross split yang masih dalam tahap eksplorasi dan eksploitasi sampai dengan
dimulainya produksi komersial. Setelah KKKS mencapai fase produksi komersial
maka PPN wajib dibayarkan dan dibebanka sebagai biaya operasi.
Setelah berlakunya PP nomor 49 tahun 2022, KKKS
dengan skema bagi hasil gross split yang melakukan kegiatan ekspor minyak
mentah dan gas bumi dikenakan PPN dengan tarif 0%, yang berarti pajak keluaran
yang harus dibayarkan adalah nol. Mengacu pada Undang-Undang PPN, KKKS memiliki
hak untuk mengkreditkan pajak masukan yang telah mereka bayarkan. Walaupun
demikian, jika kita merujuk ke PP nomor 53 tahun 2017, pajak masukan untuk KKKS
dengan skema gross split seharusnya dianggap sebagai biaya operasi.
Hal ini membawa persoalan karena kedua peraturan
pemerintah tersebut tidak selaras. Sementara PP nomor 49 tahun 2022 memberikan
KKKS gross split tarif PPN 0% untuk kegiatan ekspor dan kemudahan dalam
pelaporan pajak keluaran, PP nomor 53 tahun 2017 mengharuskan pajak masukan
sebagai biaya operasi, yang mungkin dapat mempengaruhi bagaimana KKKS mengelola
aspek keuangannya. Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa terkadang terdapat
ketidaksesuaian antara peraturan pemerintah yang berlaku, sehingga memerlukan pemahaman
yang cermat dan penyesuaian dalam menjalankan aktivitas bisnis migas, terutama
bagi KKKS dengan skema bagi hasil gross split yang terlibat dalam kegiatan
ekspor minyak mentah dan gas bumi.
Untuk menyelesaikan pertentangan antar peraturan
perundang-undangan, dikenal asas hukum yaitu lex posterior derogat legi
priori. Dalam konteks ini, asas ini secara sederhana berarti bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih baru akan mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang lebih lama. Tujuan utama dari asas ini adalah untuk
menghindari terjadinya ketidakpastian hukum yang mungkin timbul ketika ada dua
peraturan yang memiliki kedudukan hukum yang sama dalam hierarki
peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian, asas lex posterior derogat legi priori
memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam menentukan peraturan mana yang
harus diikuti ketika terjadi benturan antara dua peraturan hukum yang berlaku.
Prinsip ini memastikan bahwa dalam kasus konflik antara peraturan yang lebih
tua dan yang lebih baru, peraturan yang lebih baru harus dijadikan acuan dan
berlaku, sehingga mencegah kerancuan pelaksanaan hukum serta menjamin
keseragaman penegakan hukum.
Melihat asas lex posterior derogat legi priori
tersebut maka acuan peraturan yang seharusnya digunakan adalah PP terbaru yaitu
PP 49 tahun 2022. Meskipun demikian, hal ini tidak bisa serta merta dilakukan
oleh KKKS gross split. Karena berdasarkan kontrak bagi hasil, KKKS gross split
telah menyepakati perhitungan bagi hasil untuk kontraktor (contractor take)
dengan telah memperhitungkan faktor PPN dalam biaya operasi tersebut. Sehingga
apabila KKKS memanfaatkan hak nya untuk mengkreditkan pajak masukan atas ekspor
minyak mentah dan gas bumi, hal ini dapat merugikan pemerintah dan keuangan
negara.
Kesimpulan
Kebijakan
dihapuskannya sebagian besar jenis barang dan jasa pada Pasal 4 ayat 2 di UU
HPP nomor 7 tahun 2021 merupakan perubahan yang signifikan khususnya pada
industri hulu migas. Apabila dilihat dari asas netralitas, khusus untuk
perlakuan PPN atas minyak mentah dan gas bumi, UU HPP telah dapat menjamin
terciptanya legal neutrality dimana setiap aktivitas penjualan gas bumi dan barang lain yang sejenis
harus dikenakan pajak dengan tarif yang setara. Hal ini dapat terlihat dari
perbandingan perlakuan PPN atas gas bumi dengan LNG sebelum dan setelah UU HPP
berlaku. Namun demikian apabila dibandingkan dengan produk turunan gas bumi
lainnya seperti LPG, masih terdapat perbedaan perlakuan PPN. Apabila dilihat
dari sisi tujuan awal pemerintah untuk meningkatkan efisiensi penerimaan PPN
dengan meningkatkan penerapan prinsip netralitas, maka hal ini belum tercapai.
Karena setelah berlakunya UU HPP, pemerintah menerbitkan kembali PP 49 tahun
2022 yang memberikan fasilitas PPN dibebaskan atas produk minyak dan gas bumi.
Implementasi PP nomor 49
tahun 2022 dapat memberikan kepastian atas pengenaan PPN bagi industri hulu
migas khususnya untuk KKKS gross split yang melakukan penyerahan atau penjualan
minyak mentah dan gas bumi secara domestik, yaitu dibebaskan dari pengenaan
PPN. Perlakuan PPN untuk KKKS gross split yang menjual minyak mentah dan gas
bumi ke pembeli di luar negeri atau secara ekspor juga secara jelas tetap
terutang pajak keluaran dengan tarif 0%. Namun untuk perlakuan atas pajak
masukan, terdapat konflik dengan PP 53 tahun 2017 yang masih merujuk ke UU PPN
nomor 42 tahun 2009 yang sudah digantikan dengan UU HPP nomor 7 tahun 2021.
Perbedaan perlakuan atas pajak masukan tersebut dapat berdampak pada timbulnya
kesalahan KKKS gross split dalam menjalankan administrasi atas kewajiban
perpajakannya. KKKS gross split tidak bisa serta merta menerapkan sesuai aturan
PP nomor 49 tahun 2022.
BIBLIOGRAFI
Astuti,
T. P., & Aryani, Y. A. (2016). Tren penghindaran pajak perusahaan
manufaktur di Indonesia yang terdaftar di BEI tahun 2001-2014. Jurnal
Akuntansi, 20(3), 375–388.
Creswell,
J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research design: Qualitative,
quantitative, and mixed methods approaches (5th ed.). Sage Publications.
Djamaluddin,
M. S. (2019). Klausa yang Menyatakan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sewa
Bangunan Ditanggung oleh Pihak Penyewa. Jurnal Education and Development,
7(4), 135–137.
Firmansyah,
R. A., & Wijaya, S. (2022). Natura Dan Kenikmatan Sebelum Dan Sesudah
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jurnal Pajak Dan Keuangan
Negara (PKN), 3(2), 343–359.
Jalil,
F. Y., Azhar, I., Annas, M., Galib, A., Tarmizi, R., Tanjung, J., Meutia, T.,
de Fretes, A. V. C., Solihin, A., & Wulandari, S. S. (2024). Dasar-dasar
perpajakan. Sada Kurnia Pustaka.
Jannah,
M. (2011). Analisis undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi ditinjau dari konsep pegelolaan kepemilikan umum dalam Islam.
Lubiantara,
B. (2012). Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas.
Grasindo.
Mahi,
B. R. (2019). Kebijakan Perpajakan: Optimalisasi Insentif dan Kesinambungan
Fiskal. Gramedia Pustaka Utama.
Marsadita,
B. (2022). Mekanisme Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Peloporan PPN
Atas Belanja BKP pada CV. Timur Jaya. Jurnal Aplikasi Perpajakan, 3(1).
Mascagni,
G., & Santoro, F. (2023). The Tax Side of the Pandemic: Shifts in
Compliance Attitudes and Perceptions in Rwanda. Journal of Development
Studies, 59(6). https://doi.org/10.1080/00220388.2023.2178304
Pohan,
C. A. (2014). Pembahasan Komprehensif Perpajakan Indonesia Teori dan Kasus.
Putri,
A. K., & Taun, T. (2023). Peranan Hukum Pajak Dalam Pembangunan Ekonomi
Nasional Guna Mencapai Tujuan Negara. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9(1),
198–209.
Ramdhanny,
I., & Juliarini, A. (2022). Analisis Kewajiban Perpajakan Badan Usaha
Milik Desa Dalam Kebangkitan Ekonomi Pascapandemi Covid-19. Info Artha,
6(2), 139–148.
Rosdiana,
H. (2004). Pengantar ilmu pajak: kebijakan dan implementasi di Indonesia. Why
We Need the Journal of Interactive Advertising, 10(10).
Shobah,
S., Widhiyanti, H. N., Audrey, P., & Kn, M. (2015). Cost Recovery Dalam
Kontrak Kerjasama Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Kontrak
Internasional. Brawijaya University.
Copyright holder: Imam
Gerson Towanda, Haula Rosdiana (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |