Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No.
11, November 2024
OPTIMALISASI
PERANAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI
GUNA MENCEGAH TERJADINYA GAGAL BAYAR OLEH PERUSAHAAN ASURANSI
Muhammad Ridwan1*, Elisatris Gultom2
Universitas Padadjaran, Bandung,
Indonesia1,2
Email: [email protected]1,
[email protected]2
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran industri asuransi dalam pembangunan nasional Indonesia, dengan fokus pada kontribusi investasi asuransi dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan implikasinya
terhadap pembiayaan infrastruktur negara. Penelitian ini juga mengevaluasi tantangan yang dihadapi industri asuransi, termasuk kasus gagal bayar yang melibatkan perusahaan asuransi besar seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera
1912, dan Kresna Life, serta
dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan analisis data sekunder dari laporan
keuangan industri asuransi, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran asuransi
sebagai instrumen keuangan tidak hanya memberikan proteksi terhadap risiko individu tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional melalui investasi dalam SBN, yang pada September 2023 mencapai
Rp 898,17 triliun atau
46,8% dari total portofolio
investasi PPDP. Namun, kasus gagal bayar
yang terjadi telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi, yang berpotensi mengurangi aliran dana investasi ke SBN. Kesimpulan penelitian ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai pembina dan pengawas industri asuransi dalam memberikan kepastian hukum, keamanan, dan kenyamanan bagi masyarakat. Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya penguatan regulasi, pengawasan, dan transparansi untuk memitigasi risiko gagal bayar,
meningkatkan kepercayaan masyarakat, serta memastikan keberlanjutan kontribusi industri asuransi terhadap pembangunan infrastruktur nasional. Optimalisasi sektor asuransi dapat menjadi salah satu kunci dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Kata
Kunci:
Perlindungan Hukum, Asuransi, Pemegang Polis
Abstract
This study aims to analyze
the role of the insurance industry in Indonesia's national development,
focusing on the contribution of insurance investments in Government Securities
(SBN) and its implications for financing national infrastructure. The study
also evaluates the challenges faced by the insurance industry, including
default cases involving major insurance companies such as Jiwasraya,
AJB Bumiputera 1912, and Kresna Life, as well as
their impact on public trust. The research employs a qualitative descriptive
method, using secondary data analysis from insurance industry financial
reports, data from the Financial Services Authority (OJK), and related
literature. The findings indicate that insurance, as a financial instrument,
not only provides risk protection for individuals but also significantly
contributes to national development through investments in SBN, which amounted
to IDR 898.17 trillion or 46.8% of the total PPDP investment portfolio as of
September 2023. However, the default cases have reduced public trust in
insurance products, potentially decreasing the flow of investment funds into
SBN. The study concludes that the government’s role as a regulator and
supervisor of the insurance industry is crucial to ensuring legal certainty,
security, and public confidence. The implications of this study emphasize the
need to strengthen regulations, oversight, and transparency to mitigate default
risks, enhance public trust, and sustain the insurance industry’s contribution
to national infrastructure development. Optimizing the insurance sector could
be a key driver in supporting sustainable economic growth and national
development.
Keywords: Legal Protection, Insurance,
Policy Holder, Default
Pendahuluan
Manusia
sebagai makhluk sosial dalam menjalankan kegiatan guna memenuhi kebutuhan dan
keinginan dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari resiko berupa
kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak dikehendaki yang dapat menimbukan
kerugian, misalnya kerusakan benda, kehilangan benda, kecelakaan, kehilangan
pekerjaan, dan kematian. Menurut teori
pengalihan resiko (risk transfer theory), manusia secara alami menyadari
bahwa ada ancaman dan bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap
jiwanya, manusia menyadari sebagai pihak yang terancam bahaya dan merasa berat
memikul beban resiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi (Ganie &
SE, 2023)
Dengan
akal budi dan nalurinya, manusia ketika dihadapkan dengan resiko, memiliki
pilihan dalam bertindak antara lain menerima (assumption or retention), menghindar (avoidance), mencegah (prevention), dan mengalihkan atau membagi (transfer or
distribution) (Shofie, 2003).
Salah
satu cara untuk menghadapi Resiko adalah dengan mengalihkan resiko (transfer
of risk) kepada instrumen hukum dan keuangan yaitu Asuransi. Asuransi
sebagai suatu perikatan yang objek utamanya adalah pengalihan resiko merupakan
kegiatan penting dalam kehidupan suatu negara modern, karena melibatkan
perputaran uang yang dapat bermanfaat untuk berbagai sektor dan bidang
kehidupan suatu negara.
Kebutuhan
masyarakat akan proteksi resiko yang difasilitasi oleh kegiatan asuransi,
memberikan dampak yang besar bagi kemajuan suatu negara. Karena dana investasi
yang dinvestasikan Industri Asuransi kedalam Surat Berharga Negara, digunakan
Pemerintah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur
negara, sehingga kemajuan dunia usaha Perasuransian menjadi pilar penting dalam
pembangunan nasional. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, portofolio
investasi yang dimiliki oleh Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP)
mayoritas ditempatkan pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dan obligasi
investasi, sebesar Rp 898,17 triliun atau setara dengan 46,8% (Azizah et
al., 2023)
Namun dalam
prakteknya, banyak terjadi sengketa hukum yang diakibatkan oleh gagalnya
Perusahaan Asuransi memenuhi hak-hak Pemegang Polis dengan angka kerugian
masyarakat yang fantastis, diantara kasus-kasus besar yang menarik perhatian
besar masyarat antara lain (Puspadini, 6 C.E.):
1.
Jiwasraya
Jiwasraya pertama
kali mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018. Dalam pengumuman itu, Jiwasraya
tak mampu lunasi klaim polis nasabah sebesar Rp 802 miliar. Kemudian angka
gagal bayar produk JS Saving Plan terus bertambah. Manajemen baru Jiwasraya pun
menegaskan tidak akan sanggup membayar polis JS Saving Plan milik nasabah
senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo Oktober-Desember 2019.
Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) juga merilis perhitungan kerugian negara (PKN) akibat kasus mega
skandal Jiwasraya. Hasilnya, jumlah PKN yang dihitung BPK mencapai Rp 16,81
triliun.
2.
ASABRI
2012
hingga 2019, Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan serta Kadiv
Investasi Asabri bersepakat dengan pihak di luar Asabri yang bukan merupakan
konsultan investasi ataupun manajer investasi yaitu Heru Hidayat, Benny
Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi. Mereka bersepakat untuk membeli atau
menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru Hidayat,
Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi
tinggi dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik.
Dengan
transaksi itu, sehingga seolah-olah saham tersebut bernilai tinggi dan likuid,
padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan
menguntungkan Heru, Benny dan Lukman serta merugikan investasi Asabri. Ini
karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga dibawah
harga perolehan saham-saham tersebut. Kejaksaan
Agung (Kejagung) menyatakan perhitungan sementara kerugian negara pada kasus
korupsi PT Asabri (Persero) tembus Rp 23,7 triliun (Idris, 2021).
3.
AJB Bumiputera 1912
Permasalahan
pada Bumiputera lebih terfokus kepada miss management atau kesalahan mengelola
perusahaan. Pada Januari 2018 perusahaan mengaku mengalami keterlambatan
pembayaran klaim dalam 1 -2 bulan karena minimnya premi yang dihasilkan
perusahaan.
Pada
akhir tahun 2018, perusahaan mengalami permasalahan solvabilitas sebesar
Rp20,72 triliun, dimana aset yang tercatat hanya sebesar Rp 10,279 triliun
tetapi liabilitas perusahaan mencapai Rp31,008 triliun. Hingga semester I-2019,
rasio RBC Bumiputera minus 628,4%, sedangkan rasio kecukupan investasinya hanya
sebesar 22,4%, dan rasio likuiditas 52,4%.
Pengurus
AJB Bumiputera yang baru pun berkomitmen dan berjibaku menyelesaikan tunggakan
klaim tahun 2020 jumbo Rp 5,3 triliun dari sebanyak 365.000 pemegang polis di
seluruh Indonesia.
4.
Wanaartha Life
PT
Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau Wanaartha Life (WAL) tercatat gagal
bayar hingga Rp 15 triliun. OJK telah mencabut izin usaha WAL sebagai
Perusahaan Asuransi Jiwa dikarenakan perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan
yang menjadi penyebab dikenakannya sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU).
Sanksi
dikenakan kepada WAL karena pelanggaran tingkat solvabilitas minimum, rasio
kecukupan investasi minimum, serta ekuitas minimum tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Sejak
pencabutan izin usaha WAL, Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan
Pegawai WAL dilarang mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan atau menggunakan
kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau
menurunkan nilai aset PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha.
Peristiwa hukum
berupa gagal bayar yang menimpa Perusahaan Asuransi tidak bisa dilihat dari
“kacamata” teori hukum perdata umum sebagai sengketa hukum perdata biasa yang
hanya bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita individu. Kerugian yang
diderita Masyarakat dalam kegiatan usaha perasuransian khususnya yang dimiliki
oleh negara seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero),
dapat menurunkan secara signifikan kepercayaan/trust Masyarakat kepada industri
asuransi pada umumnya.
Menurunnya
kepercayaan/trust Masyarakat kepada industri asuransi berakibat pada
terhambatnya pembangunan nasional yang diakibatkan minimnya suntikan dana dari
industri asuransi kepada instrumen surat berharga negara yang digunakan untuk
keperluan membangun sarana dan prasarana negara. Berkaca pada permasalahan
hukum yang sudah terjadi dan menjadi catatan buruk bagi Perusahaan Asuransi di
Indonesia diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
a. Posisi
Pemegang Polis yang sangat lemah dibandingkan dengan Perusahaan Asuransi
dikarenakan perjanjian asuransi yang menjadi landasan hubungan hukum asuransi,
umunya berbentuk klausul baku/printed draft contract/contract of adhesion
yang mana pengaturan hak dan kewajiban para pihak sudah ditentukan oleh
Perusahaan Asuransi. Suatu
perjanjian dengan klausul baku sesungguhnya telah menghilangkan atau paling
tidak membatasi kebebasan berkontrak (freedom of contract) dari mitra
berkontraknya (Diputra &
Rio, 2018).
b.
Perusahaan Asuransi tidak memiliki
kompetensi dan kemampuan finansial yang kuat dalam menjalankan usaha
perasuransian. Kepercayaan masyarakat akan proteksi resiko dalam produk
asuransi harus dikelola oleh entitas yang tidak hanya berfokus menjaring nasabah
dan menghimpun dana sebesar-besarnya, namun harus memiliki perhatian atas
kepastian, kenyamanan, keamanan pemegang polis dalam menggunakan produk
Asuransi.
c.
Perusahaan Asuransi tidak menjalankan Tata
Keloa Perusahaan yang baik atau good corporate governance yang
menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan keuangan perusahaan, dan pada
akhirnya menimbulkan permasalahan hukum dalam pemenuhan hak-hak pemegang polis.
d.
Kurangnya transparansi Perusahaan Asuransi
kepada pemerintah dan masyarakat terkait pengelolaan dana yang dihimpun
Perusahaan Asuransi, padahal nasib dari pengguna produk asuransi dan industri
Perasuansian bertumpu pada kondisi finansial dan pengelolaan dana oleh
Perusahaan Asuransi
e.
Produk asuransi unit link yang
menggabungkan manfaat proteksi resiko dan instrumen investasi uang menjanjikan
return/imbal hasil kepada pemegang polis, menjadi andalan perusahaan asuransi
untuk mengumpulkan dana pemegang polis, padahal secara konseptual dalam Usaha
Perasuransian, imbal hasil dalam instrumen investasi bukan merupakan tujuan
utama dalam kegiatan usaha Perasuransian.
f.
Instrumen investasi dalam produksi
asuransi menjanjikan return dengan angka yang tidak wajar, misalnya dalam kasus
jiwasraya, produk asuransi js saving plan menjanjikan imbal hasil 8
sampai dengan 13 persen yang mana sangat tidak wajar dan melebihi bunga
obligasi negara. perusahaan asuransi seharusnya mengutamakan proteksi resiko
kepada pemegang polis, bukan imbal hasil yang tidak wajar dari instrumen investasi.
g.
Dana yang dihimpun dan dikelola dari premi
pemegang polis, Sebagian besar digunakan untuk berinvestasi di instrumen dengan
resiko tinggi seperti saham, sebagaimana pernah terjadi dalam kasus gagal bayar
bakrie life yang menginvestasikan 80 persen dana nasabah di pasar saham.
Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwasannya suatu instrumen hukum dapat dikatakan
memberikan perlindungan hukum apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut (Ali, 2022):
1.
Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap
warganya;
2.
Jaminan kepastian hukum;
3.
Berkaitan dengan hak-hak warga negara;
4.
Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang
melanggarnya.
Adapun perlindungan hukum yang diberikan oleh
Pemerintah diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu (Muchsin,
2003):
1.
Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan
yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan
suatu kewajiban.
2. Perlindungan
Hukum Represif
Perlindungan
hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi yang diberikan
apabila sudah terjadi sengketa atau pelanggaran.
Subjek
Hukum yang hak-haknya dijamin oleh hukum yang berlaku, dalam upaya untuk
memperjuangkan pemenuhan hak dan kepentingannya dapat menggunakan sarana
perlindungan hukum yang terdiri dari dua jenis sarana hukum yaitu:
1.
Sarana perlindungan hukum preventif
Dalam
sarana hukum preventif, subjek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan sebelum suatu keputusan pemerintah ditetapkan. Sarana perlindungan
hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Pemerintah sebagai
regulator harus bersifat hati-hati dalam membuat suatu produk hukum yang
mengatur masyarakat.
2. Sarana
perlindungan represif
Subjek
hukum mempunyai kewenangan untuk menuntut pemenuhan hak-haknya didepan
pengadilan. Konsep sarana perlindungan represif berlandaskan pada konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Perlindunga terhadap hak-hak asasi manusia mendapat
tempat utama berkaitan dengan tujuan negara hukum (Lotulung,
1986).
Kepercayaan
masyarakat terhadap asuransi bukan hanya tanggung jawab seluruh perusahaan
asuransi sebagai pihak yang langsung berhadapan dengan Masyarakat, tetapi juga
oleh pemerintah sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian. Membiarkan perusahaan asuransi berjalan sendiri
(auto pilot) dalam menyelenggarakan usaha asuransi sama seperti seseorang yang
dibiarkan masuk dalam hutan belantara tanpa panduan apa-apa (Gultom, 2024).
Peranan
Pemerintah dalam mencegah terjadinya peristiwa gagal bayar dalam Industri
Asuransi diberikan dalam bentuk perlindungan hukum preventif yang mencakup
berbagai aspek kegiatan Perasuransian
dimulai dari perizinan usaha, kelembagaan Perusahaan, produk Asuransi, sampai
berjalannya kegiatan Usaha Perasuransian di masyarakat. Perlindungan Hukum
Preventif dari Pemerintah harus menjadi perhatian utama dalam melindungi
Masyarakat dalam industru Perasuransian, karena merupakan “tembok pertama” yang
melindungi Masyarakat agar terhindar dari kerugian dalam menggunakan produk
Perasuransian.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran industri asuransi dalam pembangunan nasional Indonesia, dengan fokus pada kontribusi investasi asuransi dalam Surat Berharga Negara (SBN)
dan implikasinya terhadap pembiayaan infrastruktur negara.
Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
jurnal ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum
yang mengutamakan cara meneliti data sekunder, berupa hukum positif yang
terkait dengan Peranan Pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada
pemegang polis guna mencegah terjadinya gagal bayar oleh Perusahaan Asuransi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta serta data
yang dibutuhkan, dengan data terkumpul tersebut, kemudian ditarik identifikasi
masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah (Diantha &
Sh, 2016).
Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif, yaitu
dengan cara mengkaji data berdasarkan aspek hukum tanpa menggunakan diagram
ataupun statistik yang selanjutnya diberikan secara deskriptif berupa kalimat
yang teratur dan logis. Kemudian data
primer digunakan sebagai penunjang data sekunder dalam menarik suatu kesimpulan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Mamudji,
2012).
Hasil dan Pembahasan
Instrumen Hukum Dalam Kegiatan Industri
Perasuransian Guna Mencegah Terjadinya Gagal Bayar Kepada Pemegang Polis
Asuransi
Agar terwujudnya
industri perasuransian yang sehat, aman, dan memberikan kepastian hukum guna
mencegah tidak dipenuhinya hak-hak Masyarakat sebagai Pemegang Polis.
Pemerintah sebagai pengayom, Pembina, dan pengawas kegiatan usaha Perasuransian
di Indonesia menciptakan instrumen hukum yang mengatur banyak segi dalam
kegiatan usaha perasuransian, utamanya kapasitas, kondisi finansial, dan produk
Perusahaan Asuransi yang menjadi faktor utama dalam mencegah terjadinya gagal
bayar. Ruang lingkup instrumen hukum tersebut dapat dibagi menjadi beberapa
segi dan bagian sebagai berikut:
1. Perjanjian
Asuransi
Perjanjian
Asuransi yang merupakan dasar hukum fundamental dalam hubungan hukum antara
Perusahaan Asuransi dan Pemegang Polis. Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian yang berjenis “Perjanjian
Formal” yang mana sifat sah dan mengikatnya membutuhkan formalitas hukum
tertentu selain daripada yang disyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata (Muhtarom, 2014)
formalitas yang wajib dilekatkan kepada Perjanjian Asuransi. menurut Pasal 255
KUHD Perjanjian Asuransi wajib dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang
dinamakan polis.
Untuk
isi dari Polis selain dari Polis Asuransi Jiwa, Pasal 256 KUHD mengatur
setidak-tidaknya harus memuat:
a. Hari
dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi.
b. Nama
tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga.
c. Uraian
yang jelas mengenai benda yang diasuransikan.
d. Jumlah
yang diasuransikan
e. Bahaya-bahaya/evenemen
yang ditanggung oleh penanggung.
Pada Prakteknya Polis Asuransi sering
dibuat dengan klausula baku, yang mana Perusahaan Asuransi sudah mempersiapkan
pengaturan hak dan kewajiban dalam Polis tanpa membuka ruang negosiasi dengan
Pemegang Polis. Namun praktek penyusunan klausula baku ini diatur
batasan-batasan agar tidak merugikan Pemegang Polis, dan seluruh konsumen dunia
usaha pada umumnya. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mengatur sebagai berikut:
(1) Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
2. Ruang Lingkup Usaha Perasuransian
Perusahaan
Asuransi dalam menawarkan dan menjalankan produk asuransi kepada masyarakat
dibatasi dengan ruang lingkup usaha yang dinyatakan dalam dokumen perizinan
Perusahaan. Adapun ruang lingkup usaha asuransi diatur dalam Pasal 1, Pasal 2,
dan Pasal 3 POJK Nomor 69 /POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah dan dirubah oleh POJK Nomor 38 /POJK.05/2020 (selanjutnya
disebut “POJK Nomor 38 /POJK.05/2020) adalah sebagai berikut:
a.
Perusahaan asuransi umum hanya
menyelenggarakan Usaha Asuransi termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini
usaha asuransi kecelakaan diri; serta Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan
Asuransi Umum lain.
b. Perusahaan
asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini
usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi
kecelakaan diri.
c. Perusahaan
reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
d. Perusahaan
asuransi umum syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah,
termasuk lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan lini
usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah, serta Usaha
Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain.
e. Perusahaan
asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha asuransi
kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri
berdasarkan Prinsip Syariah.
f. Perusahaan
reasuransi syariah hanya dapat menyelenggaralan Usaha Reasuransi Syariah.
g. Perusahaan
pialang asuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.
h. Perusahaan
pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.
i.
Perusahaan penilai kerugian asuransi hanya
dapat menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi.
Untuk Melindungi Pemegang Polis dari
produk asuransi yang berpotensi merugikan, OJK mengeluarkan instrumen hukum
yang mengatur materi produk Asuransi yang boleh dipasarkan oleh Perusahaan
Asuransi. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 3 POJK Nomor 8 Tahun
2024 Produk Asuransi Dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi (selanjutnya disebut
“POJK Nomor 8 Tahun 2024”) yang mengatur sebagai berikut;
1)
Produk Asuransi harus:
a.
Memberikan pelindungan dari paling sedikit
1 (satu) jenis risiko yang dapat diasuransikan;
b.
Memiliki Premi/Kontribusi yang sesuai
dengan manfaat yang dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang mencukupi,
tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif.
c.
memiliki Polis Asuransi yang tidak
mengandung kata, frasa, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang
berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah, dan kewajiban Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta; dan/atau mempersulit Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
mengurus haknya.
2.
Perizinan Usaha Asuransi
Perizinan sebagai
suatu tahapan paling awal dalam berjalannya kegiatan suatu Perusahaan Asuransi,
memiliki peranan yang sangat penting sebagai saringan pertama atas kelayakan
dan kompetensi Perusahaan Asuransi yang akan menghimpun dan mengelola dana Pemegang
Polis. Perusahaan Asuransi sebagai Subjek Hukum dalam
suatu Perstiwa Hukum harus mempunyai cukup kemampuan untuk bertanggung jawab
atas kewajiban yang akan dipikulnya (Arsil et al.,
2006)
Untuk mewujudkan ekosistem industri
Perasuransian yang kuat dan sehat, OJK memperketat regulasi dalam aspek
permodalan, kelembagaan dan operasional yang diatur secara teknis dalam POJK Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut “POJK
Nomor 23 tahun 2023”) yang antara lain mengatur sebagai berikut:
a.
Perusahaan Asuransi hanya boleh dimiliki
oleh:
(1) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh
warga negara Indonesia; atau
(2) warga
negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, bersama-sama dengan warga
negara asing atau Badan Hukum Asing yang harus merupakan Perusahaan yang
memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya
bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis.
b.
Perusahaan Asuransi harus memenuhi batas
minimun jumlah modal disetor sebagai berikut:
(1) Perusahaan
Asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki
Modal Disetor pada saat pendirian paling
sedikit Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).
(3)
Perusahaan Asuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian
paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
(4) Perusahaan Reasuransi Syariah harus
memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
b. Pada
saat pengajuan izin usaha, Perusahaan harus memiliki Dana Jaminan paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari Modal Disetor minimum yang
Dipersyaratkan.
3.
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
Pengelolaan perusahaan yang baik adalah suatu proses dan struktur yang
digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan
guna meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang
dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan moral, etika, dan
peraturan perundang-undangan, dibagi 3 (tiga) aktivitas, yaitu menerapkan
kebijakan nasional, menyempurnakan kerangka regulasi, membangun inisiatif
sektor swasta (Khairandy
& Malik, 2007).
Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik merupakan salah satu pilar dalam membangun kondisi
perekonomian yang sehat. Untuk
meningkatkan perkembangan industri perasuransian dan persaingan usaha yang
sehat, sangat penting bagi industri perasuransian untuk menerapkan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik. Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik oleh industri
perasuransian merupakan bagian penting dalam menangani risiko. Apabila
penerapapan tata kelola Perusahaan Perasuransian dapat berjalan dengan baik,
maka manajemen risiko juga akan berjalan dengan efektif.
Regulasi teknis
mengenai tata kelola Perusahaan Asuransi diatur terakhir diatur dalam POJK
Nomor 43 /POJK.05/2019 tentang Perubahan atas POJK Nomor 73/POJK.05/2016
tentang Tata kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian
(selanjutnya disebut “POJK Nomor 43 /POJK.05/2019”). Beberapa hal yang
diatur mengenai ruang lingkup dan penerapan Tata kelola Perusahaan Yang Baik
adalah sebagai berikut:
1)
Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana meliputi:
a.
keterbukaan (transparency), yaitu
keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai Perusahaan
Perasuransian, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;
b.
akuntabilitas (accountability), yaitu
kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan
Perasuransian sehingga kinerja Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara
transparan, wajar, efektif, dan efisien;
c.
pertanggungjawaban (responsibility), yaitu
kesesuaian pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;
d.
kemandirian (independency), yaitu keadaan
Perusahaan Perasuransian yang dikelola secara mandiri dan professional serta
bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat; dan
e.
kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu
kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak- hak Pemangku
Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian, dan nilai-nilai etika serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat.
2)
Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik wajib dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit harus
diwujudkan dalam:
a.
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Direksi, DewanKomisaris, dan DPS;
b.
pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite
yang menjalankan fungsi pengendalian internal Perusahaan Perasuransian;
c.
penerapan fungsi kepatuhan, auditor
internal, dan auditor eksternal;
d.
penerapan manajemen risiko, termasuk
sistem pengendalian internal dan penerapan tata kelola teknologi informasi;
e.
penerapan kebijakan remunerasi;
f.
rencana strategis Perusahaan Perasuransian;
dan
g.
transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan Perusahaan Perasuransian.
3)
Perusahaan Perasuransian wajib menyusun
laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir tahun
buku, yang mana laporan tersebut paling sedikit terdiri dari:
a.
transparansi penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek
pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik;
b.
penilaian sendiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; dan
c.
rencana tindak (action plan) yang meliputi
Tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian
serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Peranan
Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Preventif Kepada Pemegang Polis
Pemerintah guna mencapai tujuan menciptakan
industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif
yang menjadi pilar pembangunan nasional, Pemerintah harus meningkatkan peran
sebagai Pengayom, Pembina, dan Pengawas dalam pelindungan bagi Pemegang Polis.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional
terwujud apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam
menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan
menjalankan kegiatan usaha.
Dengan
terjadinya kejadian kelam dimana Perusahan-Perusahaan Asuransi besar utamanya
BUMN gagal dalam memenuhi hak-hak Masyarakat sebagai Pemegang Polis, Pemerintah
harus lebih pro-aktif memberikan perlindungan hukum untuk mencegah terjadinya
kembali gagal bayar Perusahaan Asuransi yang telah sangat merugikan Masyarakat.
Walaupun Negara Indonesia memiliki instrumen peradilan dan penegakkan hukum
apabila Masyarakat mengalami kerugian materiil yang diakibatkan oleh Perusahaan
Asuransi, faktanya melihat kebelakang atas kasus-kasus gagal bayar yang
terjadi, sangatlah sulit bagi Masyarakat untuk mendapatkan kembali hak-haknya.
Untuk
mengembalikan kepercayaan Masyarakat dan meningkatkan kembali kemajuan dunia
usaha Perasuransian, pemerintah memiliki peranan dan kewenangan yang luas untuk
memberikan perlindungan hukum preventif berupa tindakakan pengaturan dan
pengawasan guna mencegah terjadinya gagal bayar Perusahaan Asuransi melalui
instrumen hukum dan aparatur negara yang mengayomi, membina, dan mengawasi
kegiatan usaha Perasuransian.
Pemerintah
dalam melihat banyaknya permasalahan belum optimalnya perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan termasuk Usaha Perasuransian, membentuk suatu lembaga
pengawasan yang terintegrasi, dan terkordinasi guna optimalisasi penanganan
masalah yang timbul dalam sistem usaha Perusasuransian shingga dapat lebih
menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Melalui dibentuknya
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya
disebut “UU OJK”). Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar
keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara
secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
OJK dalam
fungsinya mengatur dan mengawasi kegiatan Usaha Perasuransian memeliki peranan
yang penting untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum yang merugikan
pemegang polis. Tindakan Pengawasan dari OJK diatur dalam Pasal 60 Nomor 14
Tahun 2014 Perasuransian sebagai berikut:
a.
Menyetujui atau menolak memberikan izin
Usaha Perasuransian;
b. Mencabut
ijin Usaha Perasuransian;
c. Menyetujui
atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan
publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan
Perasuransian;
d. Membatalkan
pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau
pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;
e. Mewajibkan
Perusahaan Perasuransian menyampaikan laporan secara berkala;
f. Melakukan
pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan pihak lain yang sedang atau
pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada Perusahaan
Perasuransian;
g. Menetapkan
Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
h. Menyetujui
atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi Pengendali Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah;
i. Mewajibkan
suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah;
j. Melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan
pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, dan Pengendali;
k. Menonaktifkan
direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan
Pengelola Statuter.
l. memberi
perintah tertulis kepada: 1. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal
tertentu, atas biaya Perusahaan Perasuransian dan disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; 2. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mengalihkan sebagian atau
seluruh portofolio pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau Perusahaan reasuransi syariah
lain; 3. Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian; 4. Perusahaan Perasuransian untuk memperbaiki atau
menyempurnakan
sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari pemanfaatan
Perusahaan Perasuransian untuk kejahatan keuangan; 5. Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran produk asuransi
tertentu; dan 6. Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang dari
jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi
tertentu untuk menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut
tidak kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan di bidang
perasuransian;
m. mengenakan
sanksi kepada Perusahaan Perasuransian, pemegang saham, direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan,
dan/atau auditor internal; dan
n.
melaksanakan kewenangan lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Peneliti membagi beberapa bagian penting
dalam tindakan pengawasan OJK dalam penyelenggaraan usaha Perasuransian yang
harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan, utamanya Pemerintah sebagai
Pengayom, Pembina, dan Pengawas kegiatan usaha Perasuransian guna mencegah
terjadinya gagal bayar kepada Pemegang Polis, diantaranya sebagai berikut:
1.
Polis dan Produk Asuransi
- Dalam
setiap penutupan asuransi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
wajib memastikan penerbitan Polis Asuransi telah sesuai dengan spesimen Polis
Asuransi yang merupakan bagian dari Produk Asuransi yang telah:
a.
mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; atau
b.
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
(
Pasal 23 ayat 1 POJK 8/2024 PRODUK ASURANSI DAN SALURAN PEMASARAN PRODUK
ASURASI).
Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dalam penyelenggaraan Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf b, berupa Produk Asuransi
baru dan Produk Asuransi dengan kriteria tertentu ( Pasal 32 ayat 1 POJK Nomor
8 Tahun 2024 ).
- Pemegang
polis, tertanggung, atau peserta telah menerima polis dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pembayaran Premi atau kontribusi dan
pertanggungan dinyatakan diterima ( Pasal 24 ayat 1 POJK Nomor 38
/POJK.05/2020) .
- Dalam
hal produk asuransi memiliki jangka waktu pertanggungan lebih dari 1 (satu)
tahun atau bukan merupakan produk asuransi mikro, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memberikan kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk
mempelajari polis dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari sejak
pemegang polis, tertanggung, atau peserta menerima polis ( Pasal 24 ayat 2 POJK
Nomor 38 /POJK.05/2020).
- Dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dilarang melakukan investasi terhadap Premi yang diterima dari pembayaran polis
yang dikaitkan dengan investasi, kecuali telah mendapatkan persetujuan tertulis
dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang menyatakan bahwa pemegang
polis, tertanggung, atau peserta telah memahami risiko investasinya. ( Pasal 24
ayat 3 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020).
- Perusahaan
atau Unit Syariah wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai
produk dan/atau layanan yang akurat, jelas, dan tidak menyesatkan kepada
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding terkait
produk asuransi atau produk asuransi syariah yang dipasarkan ( Pasal 15 POJK
Nomor 38 /POJK.05/2020) .
- OJK
dapat meminta Perusahaan atau Unit Syariah untuk menarik materi iklan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal permintaan OJK.
Dalam hal OJK menilai materi iklan yang disampaikan tidak akurat, tidak jelas,
dan/atau dapat menyesatkan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding (Pasal 15 ayat 3 POJK
Nomor 38 /POJK.05/2020)
2.
Kapasitas dan Kapabilitas Perusahan
Perasuransian
- Perusahaan
Asuransi wajib mengidentifikasi dan melaporkan kepada OJK terkait:
a.
Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh
Badan Hukum Asing
b.
Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh
warga negara asing secara tidak langsung; dan
c.
Pemenuhan kriteria Badan Hukum Asing
sebagai Pemilik Perusahan
(Pasal 6 Ayat 1 POJK Nomor 23 Tahun 2023)
- Setiap
Pihak yang melakukan Usaha Asuransi Umum Syariah, Usaha Asuransi Jiwa Syariah,
atau Usaha Reasuransi Syariah wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan serta
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 16 dan Pasal 17 POJK
Nomor 23 Tahun 2023).
- Dalam
memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a.
analisis atas kelengkapan dokumen;
b.
verifikasi sumber dana dan setoran modal;
c.
analisis kelayakan atas rencana bisnis
Perusahaan dalam rangka persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (3) huruf a, Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 21 ayat (1) huruf a;
d.
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon pihak utama;
e.
analisis pelaporan persetujuan/pencatatan
produk Asuransi atau produk Asuransi Syariah; dan
f.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian
(Pasal 24 ayat 2
POJK Nomor 23 Tahun 2023).
- memberikan
hak kepada Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan peninjauan ke kantor
Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional Perusahaan (Pasal 24 ayat 3
POJK Nomor 23 Tahun 2023).
- Perusahaan
yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan
kegiatan usaha paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 25 ayat 1 POJK Nomor 23 Tahun 2023).
-
Perusahaan yang telah mendapat izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha (Pasal 25
ayat 2 POJK Nomor 23 Tahun 2023).
-
Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi kepada
Otoritas Jasa Keuangan dilampiri dengan bukti kegiatan
pertanggungan/kepesertaan yang telah dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah atau bukti pertanggungan/kepesertaan ulang yang
telah dilakukan oleh Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah
(Pasal 25 ayat 3 POJK Nomor 23 Tahun
2023).
- Perusahaan
yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal
surat Persetujuan, Penerimaan, atau penerimaan pemberitahuan, dari instansi
yang berwenang (Pasal 132 ayat 1 POJK Nomor 23
Tahun 2023).
- Perusahaan
yang melakukan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
anggota DPS; dan/atau perubahan nama pemegang saham, wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang (Pasal 133
ayat 1 POJK Nomor 23 Tahun 2023).
- Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang ingin memperluas ruang lingkup
usahanya wajib mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan, dan hanya
terbatas untuk usaha kegiatan usaha PAYDI, usaha berbasis imbalan jasa fee
based, kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship dan/atau kegiatan usaha
lain berdasarkan penugasan dari pemerintah. ( Pasal 4 dan Pasal 5 ayat 2 POJK
Nomor 38 /POJK.05/2020)
- Untuk
memperoleh persetujuan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi harus memenuhi ketentuan:
a.
tingkat solvabilitas minimum Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi;
b.
tidak sedang dikenai sanksi pembatasan
kegiatan usaha untuk Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; dan
c.
berdasarkan hasil penilaian risiko yang
dilakukan oleh OJK memiliki tingkat risiko rendah atau sedang-rendah.
( Pasal 6 POJK
Nomor 38 /POJK.05/2020)
- Perusahaan
atau Unit Syariah wajib melaporkan perjanjian kerja sama kepada OJK dalam hal
telah melakukan kerja sama dengan pihak lain (Agen Asuransi, bank, badan usaha
selain bank, atau badan usaha yang mempekerjakan Agen Asuransi) dalam rangka
memperoleh bisnis atau melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan
usahanya ( Pasal 64 dan Pasal 65 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020).
3.
Tata Kelola dan Kesehatan Perusahaan
Asuransi
-
Perusahaan wajib memastikan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Usaha Perasuransian dan
peraturan perundang-undangan lain (Pasal 7 POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).
-
Anggota Direksi, Komisaris Perusahaan
Perasuransian wajib mendapat Persetujuan dari OJK (Pasal 10 huruf a Pasal 20
ayat 2 huruf a POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).
- Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan
Prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang telah mendapat
persetujuan OJK (Pasal 35 ayat 1 dan ayat 3 huruf a POJK Nomor 43
/POJK.05/2019).
-
Perusahaan wajib menyampaikan rencana
korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK
paling lambat pada tanggal 31 Oktober (Pasal 68 ayat 4 POJK POJK Nomor 43
/POJK.05/2019).
- Perusahaan
Perasuransian wajib memberikan informasi kepada OJK secara lengkap, tepat waktu
dan dengan cara yang efisien. (Pasal 69 ayat 1 POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).
4.
Penjaminan Polis
Dalam mendukung
dan memperkuat sektor keuangan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan (selanjutnya disebut sebagai “UU PPSK”). Undang-undang ini
memberikan mandat baru kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjalankan
Program Penjaminan Polis (PPP), yang dimulai dalam jangka waktu lima tahun
setelah disahkannya UU ini. Mandat baru ini bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransi yang
kehilangan izin usahanya karena masalah keuangan.
Kesimpulan
OJK sebagai Lembaga yang diberikan mandat dan
kewenangan oleh Pemerintah dan DPR RI untuk mengatur dan mengawasi Usaha
Perasuransian telah memiliki regulasi yang mengatur secara luas dan teknis
dalam Usaha Perasuransian, antara lain mencakup perizinan, penyelenggaraan,
tata kelola perusahaan yang baik, dan kesehatan keuangan Perusahaan. namun
Instrumen Hukum yang luas dan teknis tersebut tidak akan berguna dalam
melindungi Masyarakat sebagai konsumen Usaha Perasuransian apabila OJK tidak
menjalankan fungsi pengawasan yang maksimal untuk menjalankan berbagai tindakan
hukum atas banyaknya pelanggaran Hukum dalam penyelenggaraan Usaha
Perasuransian.
OJK
tidak boleh hanya sebagai “Pemadam Kebakaran” yang baru bertindak ketika
sengketa Hukum sudah terjadi, namun harus bisa mencegah terjadinya sengketa
hukum dengan memaksimalkan pengawasan secara menyeluruh atas penyelenggaraan
usaha Perasuransian, utamanya Perusahaan Asuransi yang mengelola dana
Masyarakat dengan angka yang fantastis melalu produk asuransi yang dipasarkan
sebagai instrumen investasi dengan menjanjikann return/imbal hasil yang tinggi.
Kemudian dengan LPS diberikan mandat baru oleh UU PPSK untuk menjalankan
Program Penjaminan Polis (PPP) dengan pembetukan Lembaga Penjaminan Polis (LPP)
oleh LPS bersama OJK. Dengan keterlibatan OJK tersebut, diharapkan LPP yang
akan berjalan di tahun 2028 akan memberikan skema perlindungan hukum yang komprehensif
kepada Pemegang Polis, guna meningkatkan rasa kepercayaan, kenyamanan dan
keamanan masyarakat untuk menggunakan produk Perasuransian di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Ali, H. Z. (2022). Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.
Arsil, R., Asri, R., Enizar, E., Ieke, I., & Imam, S.
(2006). Manual rekam medis.
Azizah, L., Salamah, A. N., Aini, M. H., & Abadi, M. T.
(2023). Perkembangan Dana pensiun syariah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan
Manajemen, 1(4), 344–352.
Diantha, I. M. P., & Sh, M. S. (2016). Metodologi
penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media.
Diputra, I. G., & Rio, A. (2018). Pelaksanaan Perancangan
Kontrak dalam Pembuatan Struktur Kontrak Bisnis. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 3(3), 495–560.
Ganie, A. J., & SE, S. H. (2023). Hukum Asuransi
Indonesia. Sinar Grafika.
Gultom, E. (2024). Assessing the Effectiveness of Rice
Farming Corps Insurance in Protecting Farmers and Ensuring Legal Certainly. KRTHA
BHAYANGKARA, 18(2), 312–327.
Idris, M. (2021). Ini Kronologi Korupsi Asabri yang Merugikan
Negara Rp 23, 7 Triliun. Kompas. Com. Link: Https://Money. Kompas.
Com/Read/2021/02/03/03040, 326.
Khairandy, R., & Malik, C. (2007). Good corporate
governance: perkembangan pemikiran dan implementasinya di Indonesia dalam
perspektif hukum. Total Media.
Lotulung, P. E. (1986). Beberapa sistem tentang kontrol
segi hukum terhadap pemerintah. Bhuana Ilmu Populer.
Mamudji, S. S. dan S. (2012). Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada.
Muchsin, M. (2003). Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi
Investor di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.
Muhtarom, M. (2014). Asas-asas hukum perjanjian: Suatu
landasan dalam pembuatan kontrak.
Puspadini, M. (6 C.E.). Kasus Gagal Bayar Ini Nodai
Asuransi RI, Nilainya Fantastis. CNBC Indonesia.
Shofie, Y. (2003). Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cet. Ke.
Copyright holder: Muhammad
Ridwan, Elisatris Gultom (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |