Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 11, November 2024

                                                

OPTIMALISASI PERANAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI GUNA MENCEGAH TERJADINYA GAGAL BAYAR OLEH PERUSAHAAN ASURANSI

 

Muhammad Ridwan1*, Elisatris Gultom2

Universitas Padadjaran, Bandung, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran industri asuransi dalam pembangunan nasional Indonesia, dengan fokus pada kontribusi investasi asuransi dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan implikasinya terhadap pembiayaan infrastruktur negara. Penelitian ini juga mengevaluasi tantangan yang dihadapi industri asuransi, termasuk kasus gagal bayar yang melibatkan perusahaan asuransi besar seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera 1912, dan Kresna Life, serta dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan analisis data sekunder dari laporan keuangan industri asuransi, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran asuransi sebagai instrumen keuangan tidak hanya memberikan proteksi terhadap risiko individu tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional melalui investasi dalam SBN, yang pada September 2023 mencapai Rp 898,17 triliun atau 46,8% dari total portofolio investasi PPDP. Namun, kasus gagal bayar yang terjadi telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi, yang berpotensi mengurangi aliran dana investasi ke SBN. Kesimpulan penelitian ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai pembina dan pengawas industri asuransi dalam memberikan kepastian hukum, keamanan, dan kenyamanan bagi masyarakat. Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya penguatan regulasi, pengawasan, dan transparansi untuk memitigasi risiko gagal bayar, meningkatkan kepercayaan masyarakat, serta memastikan keberlanjutan kontribusi industri asuransi terhadap pembangunan infrastruktur nasional. Optimalisasi sektor asuransi dapat menjadi salah satu kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Asuransi, Pemegang Polis

 

Abstract

This study aims to analyze the role of the insurance industry in Indonesia's national development, focusing on the contribution of insurance investments in Government Securities (SBN) and its implications for financing national infrastructure. The study also evaluates the challenges faced by the insurance industry, including default cases involving major insurance companies such as Jiwasraya, AJB Bumiputera 1912, and Kresna Life, as well as their impact on public trust. The research employs a qualitative descriptive method, using secondary data analysis from insurance industry financial reports, data from the Financial Services Authority (OJK), and related literature. The findings indicate that insurance, as a financial instrument, not only provides risk protection for individuals but also significantly contributes to national development through investments in SBN, which amounted to IDR 898.17 trillion or 46.8% of the total PPDP investment portfolio as of September 2023. However, the default cases have reduced public trust in insurance products, potentially decreasing the flow of investment funds into SBN. The study concludes that the government’s role as a regulator and supervisor of the insurance industry is crucial to ensuring legal certainty, security, and public confidence. The implications of this study emphasize the need to strengthen regulations, oversight, and transparency to mitigate default risks, enhance public trust, and sustain the insurance industry’s contribution to national infrastructure development. Optimizing the insurance sector could be a key driver in supporting sustainable economic growth and national development.

Keywords: Legal Protection, Insurance, Policy Holder, Default

 

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalankan kegiatan guna memenuhi kebutuhan dan keinginan dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari resiko berupa kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak dikehendaki yang dapat menimbukan kerugian, misalnya kerusakan benda, kehilangan benda, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, dan kematian. Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory), manusia secara alami menyadari bahwa ada ancaman dan bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya, manusia menyadari sebagai pihak yang terancam bahaya dan merasa berat memikul beban resiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi (Ganie & SE, 2023)

Dengan akal budi dan nalurinya, manusia ketika dihadapkan dengan resiko, memiliki pilihan dalam bertindak antara lain menerima (assumption or retention), menghindar (avoidance), mencegah (prevention), dan mengalihkan atau membagi (transfer or distribution) (Shofie, 2003).

Salah satu cara untuk menghadapi Resiko adalah dengan mengalihkan resiko (transfer of risk) kepada instrumen hukum dan keuangan yaitu Asuransi. Asuransi sebagai suatu perikatan yang objek utamanya adalah pengalihan resiko merupakan kegiatan penting dalam kehidupan suatu negara modern, karena melibatkan perputaran uang yang dapat bermanfaat untuk berbagai sektor dan bidang kehidupan suatu negara.

Kebutuhan masyarakat akan proteksi resiko yang difasilitasi oleh kegiatan asuransi, memberikan dampak yang besar bagi kemajuan suatu negara. Karena dana investasi yang dinvestasikan Industri Asuransi kedalam Surat Berharga Negara, digunakan Pemerintah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur negara, sehingga kemajuan dunia usaha Perasuransian menjadi pilar penting dalam pembangunan nasional.  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, portofolio investasi yang dimiliki oleh Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) mayoritas ditempatkan pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dan obligasi investasi, sebesar Rp 898,17 triliun atau setara dengan 46,8% (Azizah et al., 2023)


Namun dalam prakteknya, banyak terjadi sengketa hukum yang diakibatkan oleh gagalnya Perusahaan Asuransi memenuhi hak-hak Pemegang Polis dengan angka kerugian masyarakat yang fantastis, diantara kasus-kasus besar yang menarik perhatian besar masyarat antara lain (Puspadini, 6 C.E.):


1.     Jiwasraya

Jiwasraya pertama kali mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018. Dalam pengumuman itu, Jiwasraya tak mampu lunasi klaim polis nasabah sebesar Rp 802 miliar. Kemudian angka gagal bayar produk JS Saving Plan terus bertambah. Manajemen baru Jiwasraya pun menegaskan tidak akan sanggup membayar polis JS Saving Plan milik nasabah senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo Oktober-Desember 2019.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga merilis perhitungan kerugian negara (PKN) akibat kasus mega skandal Jiwasraya. Hasilnya, jumlah PKN yang dihitung BPK mencapai Rp 16,81 triliun.

2.     ASABRI

2012 hingga 2019, Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan serta Kadiv Investasi Asabri bersepakat dengan pihak di luar Asabri yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi yaitu Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi. Mereka bersepakat untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik.

Dengan transaksi itu, sehingga seolah-olah saham tersebut bernilai tinggi dan likuid, padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan menguntungkan Heru, Benny dan Lukman serta merugikan investasi Asabri. Ini karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga dibawah harga perolehan saham-saham tersebut. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan perhitungan sementara kerugian negara pada kasus korupsi PT Asabri (Persero) tembus Rp 23,7 triliun (Idris, 2021).


3.     AJB Bumiputera 1912

Permasalahan pada Bumiputera lebih terfokus kepada miss management atau kesalahan mengelola perusahaan. Pada Januari 2018 perusahaan mengaku mengalami keterlambatan pembayaran klaim dalam 1 -2 bulan karena minimnya premi yang dihasilkan perusahaan.

Pada akhir tahun 2018, perusahaan mengalami permasalahan solvabilitas sebesar Rp20,72 triliun, dimana aset yang tercatat hanya sebesar Rp 10,279 triliun tetapi liabilitas perusahaan mencapai Rp31,008 triliun. Hingga semester I-2019, rasio RBC Bumiputera minus 628,4%, sedangkan rasio kecukupan investasinya hanya sebesar 22,4%, dan rasio likuiditas 52,4%.

Pengurus AJB Bumiputera yang baru pun berkomitmen dan berjibaku menyelesaikan tunggakan klaim tahun 2020 jumbo Rp 5,3 triliun dari sebanyak 365.000 pemegang polis di seluruh Indonesia.

4.     Wanaartha Life

PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha atau Wanaartha Life (WAL) tercatat gagal bayar hingga Rp 15 triliun. OJK telah mencabut izin usaha WAL sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa dikarenakan perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan yang menjadi penyebab dikenakannya sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU).

Sanksi dikenakan kepada WAL karena pelanggaran tingkat solvabilitas minimum, rasio kecukupan investasi minimum, serta ekuitas minimum tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Sejak pencabutan izin usaha WAL, Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan Pegawai WAL dilarang mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha.

Peristiwa hukum berupa gagal bayar yang menimpa Perusahaan Asuransi tidak bisa dilihat dari “kacamata” teori hukum perdata umum sebagai sengketa hukum perdata biasa yang hanya bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita individu. Kerugian yang diderita Masyarakat dalam kegiatan usaha perasuransian khususnya yang dimiliki oleh negara seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero), dapat menurunkan secara signifikan kepercayaan/trust Masyarakat kepada industri asuransi pada umumnya.

Menurunnya kepercayaan/trust Masyarakat kepada industri asuransi berakibat pada terhambatnya pembangunan nasional yang diakibatkan minimnya suntikan dana dari industri asuransi kepada instrumen surat berharga negara yang digunakan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana negara. Berkaca pada permasalahan hukum yang sudah terjadi dan menjadi catatan buruk bagi Perusahaan Asuransi di Indonesia diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:

a.   Posisi Pemegang Polis yang sangat lemah dibandingkan dengan Perusahaan Asuransi dikarenakan perjanjian asuransi yang menjadi landasan hubungan hukum asuransi, umunya berbentuk klausul baku/printed draft contract/contract of adhesion yang mana pengaturan hak dan kewajiban para pihak sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi. Suatu perjanjian dengan klausul baku sesungguhnya telah menghilangkan atau paling tidak membatasi kebebasan berkontrak (freedom of contract) dari mitra berkontraknya (Diputra & Rio, 2018).


b.   Perusahaan Asuransi tidak memiliki kompetensi dan kemampuan finansial yang kuat dalam menjalankan usaha perasuransian. Kepercayaan masyarakat akan proteksi resiko dalam produk asuransi harus dikelola oleh entitas yang tidak hanya berfokus menjaring nasabah dan menghimpun dana sebesar-besarnya, namun harus memiliki perhatian atas kepastian, kenyamanan, keamanan pemegang polis dalam menggunakan produk Asuransi.

c.   Perusahaan Asuransi tidak menjalankan Tata Keloa Perusahaan yang baik atau good corporate governance yang menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan keuangan perusahaan, dan pada akhirnya menimbulkan permasalahan hukum dalam pemenuhan hak-hak pemegang polis.

d.   Kurangnya transparansi Perusahaan Asuransi kepada pemerintah dan masyarakat terkait pengelolaan dana yang dihimpun Perusahaan Asuransi, padahal nasib dari pengguna produk asuransi dan industri Perasuansian bertumpu pada kondisi finansial dan pengelolaan dana oleh Perusahaan Asuransi

e.   Produk asuransi unit link yang menggabungkan manfaat proteksi resiko dan instrumen investasi uang menjanjikan return/imbal hasil kepada pemegang polis, menjadi andalan perusahaan asuransi untuk mengumpulkan dana pemegang polis, padahal secara konseptual dalam Usaha Perasuransian, imbal hasil dalam instrumen investasi bukan merupakan tujuan utama dalam kegiatan usaha Perasuransian.

f.    Instrumen investasi dalam produksi asuransi menjanjikan return dengan angka yang tidak wajar, misalnya dalam kasus jiwasraya, produk asuransi js saving plan menjanjikan imbal hasil 8 sampai dengan 13 persen yang mana sangat tidak wajar dan melebihi bunga obligasi negara. perusahaan asuransi seharusnya mengutamakan proteksi resiko kepada pemegang polis, bukan imbal hasil yang tidak wajar dari instrumen investasi.

g.   Dana yang dihimpun dan dikelola dari premi pemegang polis, Sebagian besar digunakan untuk berinvestasi di instrumen dengan resiko tinggi seperti saham, sebagaimana pernah terjadi dalam kasus gagal bayar bakrie life yang menginvestasikan 80 persen dana nasabah di pasar saham.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwasannya suatu instrumen hukum dapat dikatakan memberikan perlindungan hukum apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut (Ali, 2022):


1.     Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya;

2.     Jaminan kepastian hukum;

3.     Berkaitan dengan hak-hak warga negara;

4.     Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Adapun perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintah diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu (Muchsin, 2003):


1.     Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

2.     Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau pelanggaran.

Subjek Hukum yang hak-haknya dijamin oleh hukum yang berlaku, dalam upaya untuk memperjuangkan pemenuhan hak dan kepentingannya dapat menggunakan sarana perlindungan hukum yang terdiri dari dua jenis sarana hukum yaitu:

1.     Sarana perlindungan hukum preventif

Dalam sarana hukum preventif, subjek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan sebelum suatu keputusan pemerintah ditetapkan. Sarana perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Pemerintah sebagai regulator harus bersifat hati-hati dalam membuat suatu produk hukum yang mengatur masyarakat.

2.     Sarana perlindungan represif

Subjek hukum mempunyai kewenangan untuk menuntut pemenuhan hak-haknya didepan pengadilan. Konsep sarana perlindungan represif berlandaskan pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Perlindunga terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama berkaitan dengan tujuan negara hukum (Lotulung, 1986).


Kepercayaan masyarakat terhadap asuransi bukan hanya tanggung jawab seluruh perusahaan asuransi sebagai pihak yang langsung berhadapan dengan Masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian. Membiarkan perusahaan asuransi berjalan sendiri (auto pilot) dalam menyelenggarakan usaha asuransi sama seperti seseorang yang dibiarkan masuk dalam hutan belantara tanpa panduan apa-apa (Gultom, 2024).


Peranan Pemerintah dalam mencegah terjadinya peristiwa gagal bayar dalam Industri Asuransi diberikan dalam bentuk perlindungan hukum preventif yang mencakup berbagai  aspek kegiatan Perasuransian dimulai dari perizinan usaha, kelembagaan Perusahaan, produk Asuransi, sampai berjalannya kegiatan Usaha Perasuransian di masyarakat. Perlindungan Hukum Preventif dari Pemerintah harus menjadi perhatian utama dalam melindungi Masyarakat dalam industru Perasuransian, karena merupakan “tembok pertama” yang melindungi Masyarakat agar terhindar dari kerugian dalam menggunakan produk Perasuransian.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran industri asuransi dalam pembangunan nasional Indonesia, dengan fokus pada kontribusi investasi asuransi dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan implikasinya terhadap pembiayaan infrastruktur negara.

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian jurnal ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti data sekunder, berupa hukum positif yang terkait dengan Peranan Pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pemegang polis guna mencegah terjadinya gagal bayar oleh Perusahaan Asuransi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta serta data yang dibutuhkan, dengan data terkumpul tersebut, kemudian ditarik identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah (Diantha & Sh, 2016).


Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji data berdasarkan aspek hukum tanpa menggunakan diagram ataupun statistik yang selanjutnya diberikan secara deskriptif berupa kalimat yang teratur dan logis. Kemudian data primer digunakan sebagai penunjang data sekunder dalam menarik suatu kesimpulan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Mamudji, 2012).


 

Hasil dan Pembahasan

Instrumen Hukum Dalam Kegiatan Industri Perasuransian Guna Mencegah Terjadinya Gagal Bayar Kepada Pemegang Polis Asuransi

Agar terwujudnya industri perasuransian yang sehat, aman, dan memberikan kepastian hukum guna mencegah tidak dipenuhinya hak-hak Masyarakat sebagai Pemegang Polis. Pemerintah sebagai pengayom, Pembina, dan pengawas kegiatan usaha Perasuransian di Indonesia menciptakan instrumen hukum yang mengatur banyak segi dalam kegiatan usaha perasuransian, utamanya kapasitas, kondisi finansial, dan produk Perusahaan Asuransi yang menjadi faktor utama dalam mencegah terjadinya gagal bayar. Ruang lingkup instrumen hukum tersebut dapat dibagi menjadi beberapa segi dan bagian sebagai berikut:

1.   Perjanjian Asuransi

Perjanjian Asuransi yang merupakan dasar hukum fundamental dalam hubungan hukum antara Perusahaan Asuransi dan Pemegang Polis. Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian yang berjenis “Perjanjian Formal” yang mana sifat sah dan mengikatnya membutuhkan formalitas hukum tertentu selain daripada yang disyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata (Muhtarom, 2014) formalitas yang wajib dilekatkan kepada Perjanjian Asuransi. menurut Pasal 255 KUHD Perjanjian Asuransi wajib dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. 

Untuk isi dari Polis selain dari Polis Asuransi Jiwa, Pasal 256 KUHD mengatur setidak-tidaknya harus memuat:

a.     Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi.

b.     Nama tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga.

c.     Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan.

d.     Jumlah yang diasuransikan

e.     Bahaya-bahaya/evenemen yang ditanggung oleh penanggung.

Pada Prakteknya Polis Asuransi sering dibuat dengan klausula baku, yang mana Perusahaan Asuransi sudah mempersiapkan pengaturan hak dan kewajiban dalam Polis tanpa membuka ruang negosiasi dengan Pemegang Polis. Namun praktek penyusunan klausula baku ini diatur batasan-batasan agar tidak merugikan Pemegang Polis, dan seluruh konsumen dunia usaha pada umumnya. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur sebagai berikut:

(1)  Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a.     menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b.     menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c.     menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d.     menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e.     mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f.      memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g.     menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h.     menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2)  Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3)  Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

2. Ruang Lingkup Usaha Perasuransian

Perusahaan Asuransi dalam menawarkan dan menjalankan produk asuransi kepada masyarakat dibatasi dengan ruang lingkup usaha yang dinyatakan dalam dokumen perizinan Perusahaan. Adapun ruang lingkup usaha asuransi diatur dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 POJK Nomor 69 /POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah dan dirubah oleh  POJK Nomor 38 /POJK.05/2020 (selanjutnya disebut “POJK Nomor 38 /POJK.05/2020) adalah sebagai berikut:

a.     Perusahaan asuransi umum hanya menyelenggarakan Usaha Asuransi termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; serta Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain.

b.     Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri.

c.     Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi.

d.     Perusahaan asuransi umum syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah, serta Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain.

e.     Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah.

f.      Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggaralan Usaha Reasuransi Syariah.

g.     Perusahaan pialang asuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.

h.     Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.

i.      Perusahaan penilai kerugian asuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi.

Untuk Melindungi Pemegang Polis dari produk asuransi yang berpotensi merugikan, OJK mengeluarkan instrumen hukum yang mengatur materi produk Asuransi yang boleh dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 3  POJK Nomor 8 Tahun 2024 Produk Asuransi Dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi (selanjutnya disebut “POJK Nomor 8 Tahun 2024”) yang mengatur sebagai berikut;

1)      Produk Asuransi harus:

a.     Memberikan pelindungan dari paling sedikit 1 (satu) jenis risiko yang dapat diasuransikan;

b.     Memiliki Premi/Kontribusi yang sesuai dengan manfaat yang dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif.

c.     memiliki Polis Asuransi yang tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, dan kewajiban Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan/atau mempersulit Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengurus haknya.

2.   Perizinan Usaha Asuransi

Perizinan sebagai suatu tahapan paling awal dalam berjalannya kegiatan suatu Perusahaan Asuransi, memiliki peranan yang sangat penting sebagai saringan pertama atas kelayakan dan kompetensi Perusahaan Asuransi yang akan menghimpun dan mengelola dana Pemegang Polis. Perusahaan Asuransi sebagai Subjek Hukum dalam suatu Perstiwa Hukum harus mempunyai cukup kemampuan untuk bertanggung jawab atas kewajiban yang akan dipikulnya (Arsil et al., 2006)

Untuk mewujudkan ekosistem industri Perasuransian yang kuat dan sehat, OJK memperketat regulasi dalam aspek permodalan, kelembagaan dan operasional yang diatur secara teknis dalam POJK Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut “POJK Nomor 23 tahun 2023”) yang antara lain mengatur sebagai berikut:

a.   Perusahaan Asuransi hanya boleh dimiliki oleh:

(1)   warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; atau

(2)  warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, bersama-sama dengan warga negara asing atau Badan Hukum Asing yang harus merupakan Perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis.

b.   Perusahaan Asuransi harus memenuhi batas minimun jumlah modal disetor sebagai berikut:

(1) Perusahaan Asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).

(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat  pendirian paling sedikit Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).

(3) Perusahaan Asuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

 (4) Perusahaan Reasuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).

b.     Pada saat pengajuan izin usaha, Perusahaan harus memiliki Dana Jaminan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Modal Disetor minimum yang

Dipersyaratkan.

 

3.   Tata Kelola Perusahaan Yang Baik

Pengelolaan perusahaan yang baik adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan moral, etika, dan peraturan perundang-undangan, dibagi 3 (tiga) aktivitas, yaitu menerapkan kebijakan nasional, menyempurnakan kerangka regulasi, membangun inisiatif sektor swasta (Khairandy & Malik, 2007).

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik merupakan salah satu pilar dalam membangun kondisi perekonomian yang sehat.  Untuk meningkatkan perkembangan industri perasuransian dan persaingan usaha yang sehat, sangat penting bagi industri perasuransian untuk menerapkan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik oleh industri perasuransian merupakan bagian penting dalam menangani risiko. Apabila penerapapan tata kelola Perusahaan Perasuransian dapat berjalan dengan baik, maka manajemen risiko juga akan berjalan dengan efektif.

Regulasi teknis mengenai tata kelola Perusahaan Asuransi diatur terakhir diatur dalam POJK Nomor 43 /POJK.05/2019 tentang Perubahan atas POJK Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian (selanjutnya disebut “POJK Nomor 43 /POJK.05/2019”). Beberapa hal yang diatur mengenai ruang lingkup dan penerapan Tata kelola Perusahaan Yang Baik adalah sebagai berikut:

1)    Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana meliputi:

a.     keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai Perusahaan Perasuransian, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;

b.     akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien;

c.     pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;

d.     kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan Perasuransian yang dikelola secara mandiri dan professional serta bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat; dan

e.     kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak- hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat.

2)    Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik wajib dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit harus diwujudkan dalam:

a.     pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, DewanKomisaris, dan DPS;

b.     pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang menjalankan fungsi pengendalian internal Perusahaan Perasuransian;

c.     penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal;

d.     penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal dan penerapan tata kelola teknologi informasi;

e.     penerapan kebijakan remunerasi;

f.      rencana strategis Perusahaan Perasuransian; dan

g.     transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perusahaan Perasuransian.

3)    Perusahaan Perasuransian wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir tahun buku, yang mana laporan tersebut paling sedikit terdiri dari:

a.     transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik;

b.     penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; dan

c.     rencana tindak (action plan) yang meliputi Tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.

 

Peranan Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Preventif Kepada Pemegang Polis

 Pemerintah guna mencapai tujuan menciptakan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif yang menjadi pilar pembangunan nasional, Pemerintah harus meningkatkan peran sebagai Pengayom, Pembina, dan Pengawas dalam pelindungan bagi Pemegang Polis. Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terwujud apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha.

Dengan terjadinya kejadian kelam dimana Perusahan-Perusahaan Asuransi besar utamanya BUMN gagal dalam memenuhi hak-hak Masyarakat sebagai Pemegang Polis, Pemerintah harus lebih pro-aktif memberikan perlindungan hukum untuk mencegah terjadinya kembali gagal bayar Perusahaan Asuransi yang telah sangat merugikan Masyarakat. Walaupun Negara Indonesia memiliki instrumen peradilan dan penegakkan hukum apabila Masyarakat mengalami kerugian materiil yang diakibatkan oleh Perusahaan Asuransi, faktanya melihat kebelakang atas kasus-kasus gagal bayar yang terjadi, sangatlah sulit bagi Masyarakat untuk mendapatkan kembali hak-haknya.

Untuk mengembalikan kepercayaan Masyarakat dan meningkatkan kembali kemajuan dunia usaha Perasuransian, pemerintah memiliki peranan dan kewenangan yang luas untuk memberikan perlindungan hukum preventif berupa tindakakan pengaturan dan pengawasan guna mencegah terjadinya gagal bayar Perusahaan Asuransi melalui instrumen hukum dan aparatur negara yang mengayomi, membina, dan mengawasi kegiatan usaha Perasuransian.

Pemerintah dalam melihat banyaknya permasalahan belum optimalnya perlindungan konsumen sektor jasa keuangan termasuk Usaha Perasuransian, membentuk suatu lembaga pengawasan yang terintegrasi, dan terkordinasi guna optimalisasi penanganan masalah yang timbul dalam sistem usaha Perusasuransian shingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Melalui dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “UU OJK”). Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

OJK dalam fungsinya mengatur dan mengawasi kegiatan Usaha Perasuransian memeliki peranan yang penting untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum yang merugikan pemegang polis. Tindakan Pengawasan dari OJK diatur dalam Pasal 60 Nomor 14 Tahun 2014 Perasuransian sebagai berikut:

a.     Menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian;

b.     Mencabut ijin Usaha Perasuransian;

c.     Menyetujui atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

d.     Membatalkan pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

e.     Mewajibkan Perusahaan Perasuransian menyampaikan laporan secara berkala;

f.      Melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

g.     Menetapkan Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;

h.     Menyetujui atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi Pengendali Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;

i.      Mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;

j.      Melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, dan Pengendali;

k.     Menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter.

l.      memberi perintah tertulis kepada: 1. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya Perusahaan Perasuransian dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; 2. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau Perusahaan reasuransi syariah lain; 3. Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; 4. Perusahaan Perasuransian untuk memperbaiki atau

menyempurnakan sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari pemanfaatan Perusahaan Perasuransian untuk kejahatan keuangan; 5. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu; dan 6. Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perasuransian;

m.   mengenakan sanksi kepada Perusahaan Perasuransian, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal; dan

n.     melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Peneliti membagi beberapa bagian penting dalam tindakan pengawasan OJK dalam penyelenggaraan usaha Perasuransian yang harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan, utamanya Pemerintah sebagai Pengayom, Pembina, dan Pengawas kegiatan usaha Perasuransian guna mencegah terjadinya gagal bayar kepada Pemegang Polis, diantaranya sebagai berikut:

1.   Polis dan Produk Asuransi

-       Dalam setiap penutupan asuransi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memastikan penerbitan Polis Asuransi telah sesuai dengan spesimen Polis Asuransi yang merupakan bagian dari Produk Asuransi yang telah:

a.     mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; atau

b.     dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan

( Pasal 23 ayat 1 POJK 8/2024 PRODUK ASURANSI DAN SALURAN PEMASARAN PRODUK ASURASI).

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dalam penyelenggaraan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf b, berupa Produk Asuransi baru dan Produk Asuransi dengan kriteria tertentu ( Pasal 32 ayat 1 POJK Nomor 8 Tahun 2024 ).

-       Pemegang polis, tertanggung, atau peserta telah menerima polis dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pembayaran Premi atau kontribusi dan pertanggungan dinyatakan diterima ( Pasal 24 ayat 1 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020) .

-       Dalam hal produk asuransi memiliki jangka waktu pertanggungan lebih dari 1 (satu) tahun atau bukan merupakan produk asuransi mikro, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memberikan kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk mempelajari polis dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari sejak pemegang polis, tertanggung, atau peserta menerima polis ( Pasal 24 ayat 2 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020).

-       Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang melakukan investasi terhadap Premi yang diterima dari pembayaran polis yang dikaitkan dengan investasi, kecuali telah mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang menyatakan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta telah memahami risiko investasinya. ( Pasal 24 ayat 3 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020).

-       Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jelas, dan tidak menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding terkait produk asuransi atau produk asuransi syariah yang dipasarkan ( Pasal 15 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020) .

-       OJK dapat meminta Perusahaan atau Unit Syariah untuk menarik materi iklan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal permintaan OJK. Dalam hal OJK menilai materi iklan yang disampaikan tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat menyesatkan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding  (Pasal 15 ayat 3 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020)

 

2.   Kapasitas dan Kapabilitas Perusahan Perasuransian

-       Perusahaan Asuransi wajib mengidentifikasi dan melaporkan kepada OJK terkait:

a.     Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh Badan Hukum Asing

b.     Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh warga negara asing secara tidak langsung; dan

c.     Pemenuhan kriteria Badan Hukum Asing sebagai Pemilik Perusahan

 (Pasal 6 Ayat 1 POJK Nomor 23  Tahun 2023)

-       Setiap Pihak yang melakukan Usaha Asuransi Umum Syariah, Usaha Asuransi Jiwa Syariah, atau Usaha Reasuransi Syariah wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan serta mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 16 dan Pasal 17 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:

a.     analisis atas kelengkapan dokumen;

b.     verifikasi sumber dana dan setoran modal;

c.     analisis kelayakan atas rencana bisnis Perusahaan dalam rangka persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a, Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 21 ayat (1) huruf a;

d.     penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pihak utama;

e.     analisis pelaporan persetujuan/pencatatan produk Asuransi atau produk Asuransi Syariah; dan

f.      analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian

(Pasal 24 ayat 2 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       memberikan hak kepada Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan peninjauan ke kantor Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional Perusahaan (Pasal 24 ayat 3 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 25 ayat 1 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha (Pasal 25 ayat 2 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dilampiri dengan bukti kegiatan pertanggungan/kepesertaan yang telah dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah atau bukti pertanggungan/kepesertaan ulang yang telah dilakukan oleh Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah (Pasal 25 ayat 3 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Perusahaan yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal surat Persetujuan, Penerimaan, atau penerimaan pemberitahuan, dari instansi yang berwenang (Pasal 132 ayat 1 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Perusahaan yang melakukan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS; dan/atau perubahan nama pemegang saham, wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang (Pasal 133 ayat 1 POJK Nomor 23  Tahun 2023).

-       Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang ingin memperluas ruang lingkup usahanya wajib mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan, dan hanya terbatas untuk usaha kegiatan usaha PAYDI, usaha berbasis imbalan jasa fee based, kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship dan/atau kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah. ( Pasal 4 dan Pasal 5 ayat 2 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020)

-       Untuk memperoleh persetujuan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi harus memenuhi ketentuan:

a.     tingkat solvabilitas minimum Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi;

b.     tidak sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; dan

c.     berdasarkan hasil penilaian risiko yang dilakukan oleh OJK memiliki tingkat risiko rendah atau sedang-rendah.

( Pasal 6 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020)

-       Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaporkan perjanjian kerja sama kepada OJK dalam hal telah melakukan kerja sama dengan pihak lain (Agen Asuransi, bank, badan usaha selain bank, atau badan usaha yang mempekerjakan Agen Asuransi) dalam rangka memperoleh bisnis atau melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya ( Pasal 64 dan Pasal 65 POJK Nomor 38 /POJK.05/2020).

 

3.   Tata Kelola dan Kesehatan Perusahaan Asuransi

-       Perusahaan wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Usaha Perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain (Pasal 7 POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).

-       Anggota Direksi, Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib mendapat Persetujuan dari OJK (Pasal 10 huruf a Pasal 20 ayat 2 huruf a POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).

-       Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan Prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang telah mendapat persetujuan OJK (Pasal 35 ayat 1 dan ayat 3 huruf a POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).

-       Perusahaan wajib menyampaikan rencana korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lambat pada tanggal 31 Oktober (Pasal 68 ayat 4 POJK POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).

-       Perusahaan Perasuransian wajib memberikan informasi kepada OJK secara lengkap, tepat waktu dan dengan cara yang efisien. (Pasal 69 ayat 1 POJK Nomor 43 /POJK.05/2019).

 

4.   Penjaminan Polis

Dalam mendukung dan memperkuat sektor keuangan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (selanjutnya disebut sebagai “UU PPSK”). Undang-undang ini memberikan mandat baru kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjalankan Program Penjaminan Polis (PPP), yang dimulai dalam jangka waktu lima tahun setelah disahkannya UU ini. Mandat baru ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransi yang kehilangan izin usahanya karena masalah keuangan.

 

Kesimpulan

OJK sebagai Lembaga yang diberikan mandat dan kewenangan oleh Pemerintah dan DPR RI untuk mengatur dan mengawasi Usaha Perasuransian telah memiliki regulasi yang mengatur secara luas dan teknis dalam Usaha Perasuransian, antara lain mencakup perizinan, penyelenggaraan, tata kelola perusahaan yang baik, dan kesehatan keuangan Perusahaan. namun Instrumen Hukum yang luas dan teknis tersebut tidak akan berguna dalam melindungi Masyarakat sebagai konsumen Usaha Perasuransian apabila OJK tidak menjalankan fungsi pengawasan yang maksimal untuk menjalankan berbagai tindakan hukum atas banyaknya pelanggaran Hukum dalam penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

OJK tidak boleh hanya sebagai “Pemadam Kebakaran” yang baru bertindak ketika sengketa Hukum sudah terjadi, namun harus bisa mencegah terjadinya sengketa hukum dengan memaksimalkan pengawasan secara menyeluruh atas penyelenggaraan usaha Perasuransian, utamanya Perusahaan Asuransi yang mengelola dana Masyarakat dengan angka yang fantastis melalu produk asuransi yang dipasarkan sebagai instrumen investasi dengan menjanjikann return/imbal hasil yang tinggi. Kemudian dengan LPS diberikan mandat baru oleh UU PPSK untuk menjalankan Program Penjaminan Polis (PPP) dengan pembetukan Lembaga Penjaminan Polis (LPP) oleh LPS bersama OJK. Dengan keterlibatan OJK tersebut, diharapkan LPP yang akan berjalan di tahun 2028 akan memberikan skema perlindungan hukum yang komprehensif kepada Pemegang Polis, guna meningkatkan rasa kepercayaan, kenyamanan dan keamanan masyarakat untuk menggunakan produk Perasuransian di Indonesia.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ali, H. Z. (2022). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.

Arsil, R., Asri, R., Enizar, E., Ieke, I., & Imam, S. (2006). Manual rekam medis.

Azizah, L., Salamah, A. N., Aini, M. H., & Abadi, M. T. (2023). Perkembangan Dana pensiun syariah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Manajemen, 1(4), 344–352.

Diantha, I. M. P., & Sh, M. S. (2016). Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media.

Diputra, I. G., & Rio, A. (2018). Pelaksanaan Perancangan Kontrak dalam Pembuatan Struktur Kontrak Bisnis. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 495–560.

Ganie, A. J., & SE, S. H. (2023). Hukum Asuransi Indonesia. Sinar Grafika.

Gultom, E. (2024). Assessing the Effectiveness of Rice Farming Corps Insurance in Protecting Farmers and Ensuring Legal Certainly. KRTHA BHAYANGKARA, 18(2), 312–327.

Idris, M. (2021). Ini Kronologi Korupsi Asabri yang Merugikan Negara Rp 23, 7 Triliun. Kompas. Com. Link: Https://Money. Kompas. Com/Read/2021/02/03/03040, 326.

Khairandy, R., & Malik, C. (2007). Good corporate governance: perkembangan pemikiran dan implementasinya di Indonesia dalam perspektif hukum. Total Media.

Lotulung, P. E. (1986). Beberapa sistem tentang kontrol segi hukum terhadap pemerintah. Bhuana Ilmu Populer.

Mamudji, S. S. dan S. (2012). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada.

Muchsin, M. (2003). Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.

Muhtarom, M. (2014). Asas-asas hukum perjanjian: Suatu landasan dalam pembuatan kontrak.

Puspadini, M. (6 C.E.). Kasus Gagal Bayar Ini Nodai Asuransi RI, Nilainya Fantastis. CNBC Indonesia.

Shofie, Y. (2003). Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cet. Ke.

 

 

Copyright holder:

Muhammad Ridwan, Elisatris Gultom (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: