Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 11, November 2024

 

PENGATURAN HUKUM CITIZEN JOURNALISM DALAM PRAKTEK PEMBERITAANYA

 

Irman Syahriar1, Jamil Bazarah2, Khairunnisah3

Universitas 17 Agustus Samarinda, Samarinda, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi terhadap Citizen Journalism sebagai bagian dari ranah jurnalisme profesional serta menilai implikasinya terhadap standar jurnalistik dan perlindungan hukum bagi pelaku Citizen Journalism. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui kajian literatur, wawancara mendalam dengan ahli media, dan analisis isi dari sumber-sumber online serta media cetak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai status Citizen Journalism dalam ranah jurnalisme. Sebagian ahli berpendapat bahwa Citizen Journalism belum memenuhi standar jurnalisme profesional, mengingat minimnya penerapan kode etik jurnalistik dan standar verifikasi yang memadai. Namun, kelompok lain menganggap Citizen Journalism sebagai salah satu bentuk jurnalisme modern, karena memiliki elemen-elemen dasar jurnalistik, seperti pelaporan berita dan distribusi informasi menggunakan media digital. Penelitian ini juga menemukan bahwa Citizen Journalism berperan dalam memberikan akses kepada masyarakat untuk menyuarakan opini mereka, namun menghadapi tantangan dalam hal perlindungan hukum. Pelaku Citizen Journalism tidak memperoleh perlindungan hukum yang setara dengan jurnalis profesional karena ketiadaan status formal sebagai profesi jurnalistik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Citizen Journalism merupakan fenomena yang signifikan dalam era digital, tetapi masih memerlukan pengembangan standar profesional dan pengakuan hukum yang lebih jelas. Implikasi penelitian ini menekankan pentingnya regulasi yang mengakomodasi peran Citizen Journalism tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar jurnalistik untuk memastikan kredibilitas dan perlindungan hukum yang layak bagi para pelakunya.

Kata Kunci: Citizen Journalism, Perlindungan Hukum, Etika Jurnalistik.

 

Abstract

This study aims to analyze differing perceptions of Citizen Journalism as part of the professional journalism domain and assess its implications for journalistic standards and legal protection for Citizen Journalists. The research employs a qualitative descriptive approach, utilizing data collection methods such as literature reviews, in-depth interviews with media experts, and content analysis from online and print media sources. The findings reveal that there are conflicting opinions regarding the status of Citizen Journalism in the field of professional journalism. Some experts argue that Citizen Journalism does not meet professional journalism standards due to its lack of adherence to journalistic codes of ethics and adequate verification standards. However, other groups regard Citizen Journalism as a form of modern journalism, as it includes fundamental journalistic elements such as news reporting and information dissemination through digital media. The study also finds that Citizen Journalism provides the public with access to voice their opinions but faces challenges in terms of legal protection. Citizen Journalists do not receive the same legal protections as professional journalists due to their lack of formal status within the journalism profession. The study concludes that Citizen Journalism is a significant phenomenon in the digital era but requires the development of professional standards and clearer legal recognition. The implications of this research highlight the importance of regulations that accommodate the role of Citizen Journalism while upholding fundamental journalistic principles to ensure credibility and adequate legal protection for its practitioners.

Keywords: Citizen Journalism, Legal Protection, Journalistic Ethics.

 

Pendahuluan

Citizen journalism atau jurnalisme warga merupakan kegiatan dimana peran wartawan atau kegiatan jurnalistik bisa dilakukan oleh masyarakat yang secara formal bukan wartawan. Kegiatan yang dilakukannya sama dengan wartawan pada umumnya, yakni mengumpulkan informasi, menulis berita, mengedit dan menyiarkannya.

Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan seorang wartawan, hal ini karena keduanya samasama terlibat didalam dunia jurnalistik. Tetapi, pada umumnya orang – orang atau masyarakat sudah bisa berasumsi  perbedaan keduanya antara wartawan dengan Citizen Journalism terletak pada peraturan atau regulasi. Menjadi seorang wartawan sangatlah beresiko apabila tulisan mereka yang telah mereka buat, didalamnya terdapat sebuah kesalahan, maka secara langsung mereka akan dikenakan sanksi atas kesalahan yang telah mereka perbuat, selain itu seorang wartawan juga akan menerima sanksi secara kelembagaan. Sedangkan pada Citizen Journalism, sanksi nya bersifat fleksibel, artinya mereka akan dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat atau  lakukan saja, hal ini dikarenakan seorang Citizen Journalism tidak terkait atau  terikat pada kode etik jurnalistik, berbeda hal nya dengan seorang wartawan murni yang sudah berpengalaman dalam bidang tulis menulis dan ada sebuah lembaga pers dari media yang menaunginya.

 Istilah Citizen Journalism ini mengacu pada sebuah konsep pengertian dimana masyarakatlah yang sebenarnya berperan dalam proses pengumpulan sumbersumber yang nantinya akan dijadikan sebuah tulisan berita sehingga sampai pada proses penyebaran berita tersebut, dan juga pada akhirnya masyarakatlah yang bertanggung jawab secara penuh atas tulisan  berita yang telah mereka publikasikan.

Citizen Journalism itidak bisa dipisahkan dari pengaruh berkembangnya teknologi, terutama internet. Karena internetlah membuat jurnalisme seperti ini dapat terbentuk, dimana masyarakat bisa dikatakan sebagai seorang wartawan (Pewarta) yang terlihat seperti layaknya seorang wartawan sungguhan. Media baru (Internet) memberikan kesempatan dan juga ruang  fasilitas kepada masyarakat yang mau belajar ataupun mencoba bagaimana caranya menjadi seorang jurnalis. Dengan adanya hal ini, masyarakat juga bisa memantau tentang setiap informasi  pemberitaan mengenai suatu peristiwa.

Sebagai seorang Citizen Journalism, masyarakat juga harus tahu dan juga memperhatikan pedoman atau aturan yang ada. Tentu saja hal ini berkaitan dengan “9 Elemen Jurnalistik” yang dipandang dan juga dijadikan sebagai dasardasar peraturan dalam dunia jurnalistik, yang pada umumnya digunakan oleh seluruh wartawan dalam membuat berita yang nantinya akan diinformasikan kepada khalayak luas (Publik). Karena hal ini, maka pada intinya seorang Citizen Journalism juga memiliki pedoman atau aturan yang harus mereka taati, yaitu berpedoman padake-9 elemen jurnalistik ini.

Konsep Teori Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosentiel

a)    Tunduk Pada Kebenaran

b)    Loyalitas Pada Warga

c)    Disiplin Dalam Masalah Verifikasi

d)    Independensi

e)    Menjadi Pemantau Kekuasaan

f)     Menyediakan Forum Publik untuk Kritik, Komentar Maupun Dukungan Bagi Warga

g)    Berupaya Membuat Hal Penting Menjadi Menarik dan Relevan

h)    Menjaga Berita Komprehensif dan Proporsional

i)     Keharusan Bagi Seorang Jurnalis Menggunakan Nurani (Hermans & Gyldensted, 2019).

Dari berbagai kalangan yang ada, terutama pihakpihak yang mengerti betul akan hal ini berpendapat bahwa sebenarnya Citizen Journalism ini belum bisa dikatakan masuk kedalam ranah jurnalisme. Hal ini disebabkan karena pada umumnya jurnalisme memiliki banyak persyaratan yang tentu saja tidak mudah untuk dilakukan. Mereka menganggap bahwa Citizen Journalism ini sebenarnya hanya dapat dikatakan sebagai kegiatan yang layaknya seperti menulis tulisan seharihari, yang membuatnya berbeda adalah karena mereka menggunakan internet sebagai media mereka.

Namun ada juga pihak yang lain yang menganggap bahwa Citizen Journalism ini dapat dikategorikan sebagai bentuk dari jurnalisme, mereka memberikan argumen bahwa didalam Citizen Journalism juga terdapat beberapa unsur yang sama seperti kerja jurnalisme pada umumnya (Nugraha, 2012).

Berbagai penelitian terdahulu telah mengkaji fenomena Citizen Journalism dalam konteks jurnalisme modern. Bowman dan Willis (2003) dalam penelitian mereka, "We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information", menjelaskan bagaimana internet memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat untuk berkontribusi dalam pengumpulan, penulisan, dan penyebaran berita, meskipun menghadapi tantangan berupa kurangnya regulasi dan verifikasi informasi. Di sisi lain, Hermida (2012) dalam studi berjudul "The Social and Participatory Web: Changing the Ethics of Journalism" menyoroti tantangan etika yang dihadapi Citizen Journalism, khususnya terkait penerapan standar jurnalistik dalam konteks non-profesional. Hermida menyimpulkan bahwa Citizen Journalism memperluas akses terhadap berita, tetapi ketiadaan kode etik yang ketat sering kali memengaruhi kredibilitas informasi yang disampaikan. Penelitian-penelitian ini menjadi dasar untuk menganalisis posisi Citizen Journalism dalam ranah jurnalisme profesional serta implikasinya terhadap standar dan regulasi jurnalistik.

Menyimak dari latar belakang masalah inilah maka penelitian ini membuat rumusan masalah sebagai berikut; 1. Bagaimana Perspektif Citizen Journalism dalam pratek pemberitaanya ?. 2. Bagaimana pengaturan Hukum Profesi Pers Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers ?.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi terhadap Citizen Journalism sebagai bagian dari ranah jurnalisme profesional serta menilai implikasinya terhadap standar jurnalistik dan perlindungan hukum bagi pelaku Citizen Journalism.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian  hukum normatif atau biasa dikenal dengan hukum doktrinal, yaitu penelitian yang  dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer dan  bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, semua penelitian yang  berkaitan dengan  (legal research) adalah selalu normatif. Jika tipe penelitian ini harus  dinyatakan dalam bentuk tulisan cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah  penelitian hukum. Dengan adanya pernyataan demikian maka sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan-bahan hukum  yang digunakan harus dikemukakan (Peter Mahmud Marzuki, 2008).

Dalam Penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan perundang undangan (statue approach) yaitu pendekatan dengan mencari peraturan perundang  undangan yang terkait. Karena di dalam penelitian hukum ini, penulisakan memecahkan  permasalahan hukum berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Teknik analisis data kualitatif  dengan menggunakan, mengelompokkan, dan menyeleksi data yang diperoleh dari  penelitian lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan.

 

Hasil dan Pembahasan

Perspektif Citizen Journalism dalam Praktek Pemberitaanya

Label baru untuk kategori jurnalisme ini, bagaimanapun, menunjukkan bahwa jurnalisme warga merupakan sebuah fenomena unik yang kemunculannya terjadi bersamaan dengan munculnya teknologi penerbitan internet, khususnya blogging. Platform media sosial telah memfasilitasi kemampuan masyarakat untuk berbagi pengetahuan, informasi, dan opini mereka secara publik dengan siapa pun yang memiliki akses internet.

Saat ini pers berada dalam situasi di mana pengertian wartawan dan media mengalami pergeseran penting sebagai akibat dari perkembangan dua hal, yaitu perkembangan jurnalistik dan perkembangan media. Dunia jurnalistik kini mengalami perubahan. Dulu, reportase adalah tugas khusus yang dibebankan kepada wartawan atau reporter media massa. Sekarang setiap warga bisa melaporkan peristiwa kepada media. Inilah yang kemudian disebut citizen journalism, participatory journalism, atau ada juga yang menyebutkan open source journalism.

Banyak sarjana yang mencoba mendefinisikan jurnalisme warga secara teoritis. Terlepas dari upaya teoritis ini, “belum ada konsensus mengenai definisi jurnalisme warga” . Seiring berkembangnya bidang ini, kita akan melihat adanya kesepakatan mengenai label konsep dan definisinya. Dalam literatur, orang-orang ini disebut sebagai jurnalis partisipatif, jurnalis komunitas, jurnalis warga, pro-am, blogger, jurnalis nirlaba, jurnalis alternatif, jurnalis hiperlokal, partisipan yang dibuat oleh pengguna, para jurnalis, dan produser.

Berdasarkan tema-tema yang muncul dari definisi teoritis yang dikemukakan oleh para peneliti, tampak bahwa komunitas ilmiah yang mempelajari jurnalisme warga menafsirkan jurnalisme sebagai orang-orang yang tidak memiliki ikatan organisasi berita, yang mengumpulkan dan/atau menerbitkan konten berita, dan yang meliput kelompok marginal atau hiperlokal. komunitas. Definisi teoritis sebelumnya, yang berasal dari sekitar tahun 2003 hingga 2011, lebih bersifat idealis yang menyatakan bahwa jurnalis warga berusaha untuk melibatkan warga negara lain atau mendukung demokrasi melalui karya jurnalistik mereka. Misalnya, beberapa definisi menyatakan bahwa jurnalis wargamenyediakan informasi yang independen, andal, akurat, luas jangkauannya, dan relevan yang dibutuhkan oleh demokrasi”; “berusaha untuk mencakup komunitas yang terpinggirkan”; “menguntungkan komunitas”; dan “berniat untuk mengisi kesenjangan yang dirasakan dalam peliputan suatu isu atau wilayah dan untuk mendorong keterlibatan masyarakat.

 Seiring berjalannya waktu, jurnalisme warga telah dikaitkan dengan pembuat konten amatir yang telah menghasilkan setidaknya satu konten berita.Definisi setelah tahun 2011 menyatakan bahwa jurnalis warga adalahsetiap orang yang tidak dibayar oleh organisasi berita arus utama untuk melaporkan”; bahwa jurnalisme warga adalahberita yang dihasilkan oleh para amatir”; dibuatbukan oleh para profesional tetapi oleh mereka yang berada di luar organisasi media arus utama”; dan dibuat oleh “peserta yang pernah membuat foto, video, atau tulisan”.

Pada tahun 1976, Johnstone  mendefinisikan jurnalisme sebagairepresentasi sehari-hari dari proses sosial yang sedang berlangsung sebagaimana disaring melalui aparat industri berita.” Para peneliti masih mendefinisikan jurnalis tradisional berdasarkan afiliasi mereka dengan suatu organisasi atau pekerjaan. Tinjauan ini mengedepankan definisi warga negara yang dimodifikasi Jurnalis. Jurnalis warga adalah orang-orang yang tidak memiliki afiliasi organisasi berita yang membuat konten berita dan informasi (teks, video, audio, interaktif, dll.) yang dimaksudkan untuk disebarluaskan kepada publik. Definisi teoritis penting karena harus memandu bagaimana seseorang mempelajari dan mengukur konstruknya.

Pengertian  menurut Bowman & Willis  (Jurnalisme warga): Tindakan warga negara, atau kelompok atau warga negara, yang berperan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran berita dan informasi. Tujuan dari partisipasi ini adalah untuk menyediakan informasi yang independen, andal, akurat, luas, dan relevan yang dibutuhkan oleh demokrasi.

Nip melihat pengertian (Wartawan warga): Orang yang bertanggung jawab mengumpulkan konten, membuat visi, memproduksi, dan menerbitkan produk berita.

Sedangkan Friedland dan Kim memberikan pandangan bahwa  (Wartawan warga): Jurnalis warga dapat berupa individu yang memberikan kontribusi tunggal (koreksi fakta, foto, dll.), blogger, atau profesional yang mengedit konten warga untukprofesional-amatir” (pro -am) situs yang mengintegrasikan karya staf profesional dan kontributor warga.

Nah justru menganggap pengertian (Wartawan warga): Individu [tidak dianggap sebagai jurnalis profesional] yang memproduksi, menyebarkan, dan bertukar berbagai macam berita dan informasi, mulai dari topik terkini, kepentingan bersama, hingga isu-isu individu.

Rutigliano menafsirkan definisi (Jurnalisme warga): (1) tidak diproduksi oleh organisasi berita tradisional, (2) diproduksi oleh suatu kelompok, dan (3) berupaya meliput komunitas marginal melalui perekrutan anggota komunitas tersebut dan peliputan komunitas-komunitas ini.

Selamat Melihat pada pengertian (Jurnalisme warga): Serangkaian praktik berbasis web dimana penggunabiasaterlibat dalam praktik jurnalistik.

Carpenter menekankan (Wartawan warga) adalah: Seseorang yang bermaksud mempublikasikan informasi online dengan tujuan memberikan manfaat bagi komunitas.

Kaufhold, Valenzuela dan Gil lebih terbuak memberikan pemahaman bahwa (Jurnalisme warga): Jurnalisme warga didefinisikan oleh sejumlah atribut, yang membuatnya berbeda, termasuk pekerjaan tidak berbayar.

 

a.Tipologi Jurnalis Warga

Bila menyimak dari pendapat peneliti citizen journalis tersebut diatas maka muncul sebuah sikap  Inkonsistensi dalam literatur jurnalisme warga mungkin disebabkan oleh tingkat partisipasi yang berbeda-beda, mulai dari komentar pengguna terhadap artikel berita hingga orang-orang yang mengumpulkan konten berita asli untuk memobilisasi publik dan mengubah masyarakat. Bukan hal yang aneh jika media berita dianggap sebagai satu kesatuan dan diperlakukan seperti itu. Namun, tipe jurnalis warga kemungkinan besar mempengaruhi sejauh mana jurnalis warga dipandu oleh norma dan cita-cita jurnalistik, termasuk keinginan mereka untuk mendukung dialog dan cita-cita demokratis. Oleh karena itu, generalisasi jurnalis warga mungkin bergantung pada konteks, yang merupakan komponen penting dalam teori ilmu sosial.

Keberagaman bentuk media jurnalisme warga mungkin membuat orang percaya bahwa fenomena tersebut tidak memerlukan karakteristik yang stabil, namun penting untuk mencoba mengidentifikasi atribut untuk memastikan bahwa komunitas pengetahuan yang mempelajari bidang ini memiliki landasan yang mendukung. pekerjaan masa depan dan pembangunan teorinya. Pada saat ini, fenomena tersebut telah dipelajari cukup lama untuk memungkinkan artikulasi konteks dan batasan. Para ahli telah berupaya keras dalam mengartikulasikan apa itu jurnalisme, dan juga telah meneliti bagaimana jurnalis memerangi orang-orang yang melanggar bidang keahlian mereka , namun akan ada kemajuan yang lebih besar dalam studi jurnalisme. baik jurnalisme tradisional maupun jurnalisme warga jika kita dapat memahami dengan lebih tepat bagaimana keduanya saling tumpang tindih dan bagaimana perbedaannya.

 

b.Jurnalis Warga Partisipatif

Dalam konteks jurnalisme partisipatif, khalayak bekerja sama dengan jurnalis media berita tradisional dalam produksi konten berita untuk organisasi berita tradisional. Jurnalis partisipatif didefinisikan sebagai orang yang menyumbangkan berita, opini, dan konten informasi kepada organisasi berita tradisional. Jurnalis partisipatif adalah orang-orang yang mengirimkan konten hiperlokal untuk dipublikasikan di bagian situs web yang ditentukan, namun proses produksi berita jurnalisme partisipatif telah berkembang . Jurnalis tradisional paling sering mengandalkan jurnalis warga negara atau jurnalis partisipatif untuk pengalaman langsung atau visual mereka rekaman peristiwa berita terkini seperti bencana alam atau bencana akibat ulah manusia yang tidak dapat diakses oleh jurnalis. Misalnya, jurnalis warga mengirimkan lebih dari 1.000 gambar, 20 video, 4.000 pesan teks, dan 20.000 email dalam beberapa jam setelah peristiwa itu terjadi. Para saksi ini mengirimkan informasi ke situs berita mengenai peristiwa yang terjadi di depan mata mereka, dan berita- perwakilan organisasi menerima konten ini karena mereka tidak memiliki sumber daya atau akses selama krisis karena pembatasan keamanan. Jurnalis berita partisipatif mengirimkan sebagian besar konten tidak berbayar yang kemudian diverifikasi dan dinilai nilai beritanya oleh editor organisasi berita. Jurnalis warga jenis ini mendapat kesenangan dalam berkontribusi terhadap demokrasi melalui pembagian pendapat mereka mengenai berita-berita yang relevan secara pribadi, mendapatkan sejumlah uang dengan mengabadikan peristiwa tersebut, atau namanya disebutkan di media berita.

Namun, para editor organisasi berita jarang mematuhi cita-cita kolaboratif yang menyatakan bahwa kerja berita merupakan kemitraan antara organisasi berita dan jurnalis warga. Meskipun organisasi berita sedang mengkaji ulang bagaimana berita dikonstruksi, konten masih merupakan cerminan dari rutinitas dan norma media di masa lalu. Penelitian malah menemukan bahwa jurnalis tradisional tidak menilai jurnalis partisipatif berdasarkan keterampilan jurnalistik mereka, namun berdasarkan kedekatan mereka dengan sebuah peristiwa berita. Masukan intelektual dan kreatif jurnalis warga sangat minim dalam kategori ini karena pemimpin organisasi media berita tradisional menolak melepaskan kendali editorial dan penjaga gerbang atas proses berita dan berita mereka. Faktanya, jurnalis tradisional sering memisahkan konten jurnalisme warga dari konten mereka sendiri karena persepsi kualitas dan nada emosionalnya.

 

c.Para Jurnalis Warga

Jurnalis warga juga merupakan orang-orang yang “melakukan tindakan jurnalisme secara acak. Para jurnalis adalah orang-orang yang menyumbangkan isi berita, opini, dan informasi yang berpusat pada suatu peristiwa yang sedang dibuat. Mereka membentuk komunitas sementara yang terikat oleh arus informasi yang berpusat pada peristiwa tertentu. Papacharissi  mengklasifikasikan jenis lingkungan ini sebagai aliran berita afektif, dan mendefinisikannya sebagai “berita yang dibangun secara kolaboratif dari pengalaman subjektif, opini, dan emosi, yang semuanya didukung dan dipertahankan oleh lingkungan berita sekitar”.

Orang-orang berkumpul di ruang online, atau sistem kesadaran, untuk mengkarakterisasi dan mendiskusikan dampak suatu peristiwa, yang menghasilkan campuran reaksi dan informasi relevan tentang peristiwa tersebut. Anggota komunitas yang dimediasi memantau dan berpartisipasi dalam jaringan untuk memahami kejadian tersebut dan mengetahui informasi darurat. Motivasinya sering kali mencakup penilaian validitas laporan media berita tradisional, mendokumentasikan peristiwa dan perjuangan individu, dan membagikan versi peristiwa tersebut kepada warga lain. Berbagi informasi dan pemantauan aliran berita memengaruhi komunitas, kohesi sosial, keamanan, pengambilan keputusan, dan pengambilan keputusan .

Dalam lingkungan berita independen, jurnalis warga menjaga gerbang dan kontrol editorial atas berita mulai dari tahap pengumpulan berita hingga tahap keluaran akhir. Oleh karena itu, jurnalis tradisional tidak dilibatkan. Para jurnalis ini meliput komunitas hiperlokal atau topik khusus yang tidak diliput oleh jurnalis . Mereka adalah jurnalis berorientasi komunitas yang melakukan pemberitaan orisinal yang bertujuan untuk mengisi kesenjangan yang dirasakan dalam peliputan dan/atau untuk mendorong keterlibatan masyarakat . Jurnalis komunitas adalah “seorang individu yang bermaksud mempublikasikan informasi yang bertujuan memberikan manfaat dan melibatkan komunitas” (Rohiman, 2023).

 

Pengaturan Hukum Profesi Pers Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers1 yang terdiri dari 10 Bab dan 21 lahir sebagai amanat UUD 1945, khususnya Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 28 UndangUndang Dasar Tahun 1945, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Pers (UU Pers) lahir sebagai perwujudan terhadap penghormatan hak asasi  manusia  dalam hal  berekspresi,  mengeluarkan pendapat dan pikiran,  serta berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pers selain befungsi sebagai instrumen dalam hal peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, juga berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi, pers merupakan refleksi jati diri masyarakat, karena berkaitan dengan kegiatan masyarakat yang ditampilkan oleh pers dalam institusi media (Sahputra, 2020)

Keberadaan pers dalam interaksi antara pers dan masyarakat publik, dan institusi- institusi lain yang ada di tengah masyarakat, selalu bersinggungan dengan kepentingan publik, politik dan negara. Berkaitan dengan penyebarluasan informasi dan komunikasi di ruang publik tersebut akan memberikan dampak positif dan negatif pada khalayak. Akibat ketidaksesuaian kehendak dari pemberitaan pers, sehingga memunculkan permasalahan hukum dengan adanya kepentingan publik yang disoroti oleh media.

Akibat pemberitaan pers yang memunculkan persoalan hukum diperlukan penyelesaian sengketa pers yang berkeadilan. Penyelesaian hukum yang berkeadilan dan melembaga diinginkan berjalan memenuhi rasa keadilan antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pers, masyarakat dan institusi yang memiliki kewenangan dalam penanganan dibidang hukum berkaitan dengan tanggung jawab hukum dari institusi pers.

Salah satu ciri sebuah Negara hukum adalah mengakui prinsip legalitas dalam konstitusinya. Ciri ini juga terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menjadi konsitusi Negara Indonesia. Pada Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 pasca amademen keempat disebutkan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudakan, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Asas legalitas juga menjadi asas umum dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, dasar hukumnya adalah Pasal 1 ayat (1) KUHP: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”

Kedua pasal tersebut secara jelas menyatakan belakunya asas legalitas.3 Ketentuan umum mengenai asas legalitas ini sebenarny dapat dikekualikan pada keadaan yang dimaksukan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP: “ Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Apabila dapat ditarik kesimpulan, Pasal ini sebenarnya terlah menyimpang dari Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang belaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal ini dibuat pada amedemen kedua UUD 1945 sekitar Tahun 2000. Dalam rangcangan KUHP 2008, Pasal 1 dan Pasal 2 berkaitan dengan asas legalitas.

Setiap sistem hukum modern dengan berbagai cara telah mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara, karena pendekatan yang berbeda   mengenai   cara   bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep mapun implementasinya.

Di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan- keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan (Moeljatno, 2021; Purwoleksono, 2014).

Perumusan pertanggungjawaban pidana   secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal   44, 48, 49, 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kesemuanya merumuskan hal-hal dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualiaan pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualiaan adanya pertanggungjawaban

Meski telah ada jaminan konstitusional atas aktivitas jurnalisme, ternyata dalam hukum positif kita saat ini masih terdapat ketentuan pidana yang pada masa kolonial digunakan oleh Belanda untuk mengkekang aktivitas pers, yang diantaranya terdapat dalam pasal-pasal tentang kejahatan dengan barang cetakan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Pidana tersebut adalah norma pidana umum dan berlaku bagi semua orang dengan menggunakan barang cetakan, bukan norma pidana yang dikhusukan bagi insan pers ketika menjalankan aktivitas jurnalistiknya.

Sebagai norma umum dan terbuka, ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tersebut memang dapat dipaksakan untuk diterapkan terhadap insan pers, yang ternyata dalam hal tertentu akan merugikan demokrasi dan tatanan negara hukum, karena pada dasarnya insan pers dalam membuat karya pers tidaklah dimaksudkan untuk berbuat jahat, namun justru untuk melakukan edukasi kepada masyarakat, pengawasan terhadap penguasa, hingga pengawalan hak-hak warga negara, yang kesemuanya dilakukan oleh insan pers sebagai pelaksanaan amanat konstitusi.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat beberapa oknum jurnalis yang menyalah-gunakan profesinya untuk kepentingan sesaat. Namun, terhadap ulah oknum jurnalis yang demikian tentu harus dilihat terlebih dahulu, apakah jurnalis tersebut sedang melaksanakan kegiatan jurnalistik, ataukah memang melakukan perbuatan pidana. Sebagai contoh, jika seorang wartawan melakukan pemerasan dengan memanfaatkan profesinya, jelas hal tersebut termasuk wilayah hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebaliknya, apabila seorang wartawan telah melakukan investigasi pers yang profesional dan berimbang, kemudian menuangkannya dalam tulisan di media massa, maka apabila ada pihak yang merasa ternista atau tersinggung dengan tulisan tersebut tidak serta merta dapat melaporkannya secara pidana. Dalam hal ini, terdapat dua Undang-Undang yang mengaturnya, yaitu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau berdasarkan Undang-undang tentang Pers.

Jika berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka delik materiilnya tersebar dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan berbagai Undang-Undang pidana materiil lainnya. Sifat pertanggungjawaban pidana berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah individual, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu pelaku (dader), pelaku yang menyuruh-lakukan (doenplegen), pelaku yang turut melakukan (medeplegen), pelaku yang membujuk untuk melakukan tindak pidana (uitlokken), dan pembantu tindak pidana (medeplichtige). Secara sekilas dapat terbaca, jika ketentuan pidana pers berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini yang diberlakukan, maka akan sangat banyak aktivitas pers yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pers, dan yang harus bertanggung jawab atas pidana tersebut juga sangat banyak, bukan saja wartawan yang menuliskannya, namun juga Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, hingga penjual koran/majalah. Hal ini dikarenakan aktivitas jurnalisme bukanlah aktivitas individual, namun aktivitas kolektif yang menyangkut sangat banyak pihak.

Sedangkan jika mendasarkan pada Undang-undang Pers, maka delik materiilnya hanya terdapat dalam Pasal 18 Undang-undang Pers berupa pidana denda. Sifat pertanggungjawabannya adalah fiktif, yaitu Penanggung Jawab Redaksi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 Undang-undang Pers. Mengingat sistem kerja jurnalistik yang kolektif, secara sekilas dapat terbaca bahwa sifat pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Pers inilah yang lebih aplikatif.

Disini seakan terlihat adanya antinomi antara sifat pertanggungjawaban pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Pers, padahal sistem hukum adalah sistem yang utuh, integral dan tidak menghendaki adanya pertentangan diantara bagian- bagiannya. Untuk itu didaya-gunakanlah asas preferensi, yang dalam hal ini adalah asas lex specialis derogat legi generali. Dalam hal ini masih terdapat perbedaan pendapat apakah Undang-Undang Pers merupakan lex specialis ataukah bukan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

 

Ketentuan Pertanggungjawaban Pidana terhadap Delik Pers

Kemerdekaan Pers merupakan sendi fundamental negara demokrasi yang wajib dijaga, ditegakkan dan dipelihara oleh setiap anggota masyarakat, baik dalam pelayanan hukum maupun penegakan hukum terhadap Pers. Kemerdekaan Pers akan menjamin tegaknya pilar demokrasi, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkomunikasi, kebebasan mencari dan memperoleh informasi, dan hak mengawasi jalannya pemerintahan. Oleh karena itu pengaturan hukum pers memiliki tempat tersendiri dalam sistem hukum di Indonesia dan dijamin oleh Konstitusi, sehingga dapatlah dikatakan bahwa insan pers dalam melaksanakan aktivitas jurnalistiknya pada dasarnya adalah melaksanakan kewajiban konstitusional, yang harus dilindungi oleh hukum.

Hingga saat ini, terdapat banyak ketentuan pidana, baik sisa peninggalan kolonial Belanda maupun produk nasional, yang dapat diterapkan terhadap insan pers. Ketentuan tersebut secara pokok dapat dibagi dua bagian, yaitu ketentuan pidana sebagaimana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana pada satu sisi, dan ketentuan pidana berdasar Undang-Undang Pers.

Ketentuan pidana materiil pers berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Da’i Bachtiar, Kepala Kepolisian republik Indonesia saat itu, yaitu meliputi Kejahatan terhadap ketertiban Umum sebagaimana diatur dalam pasal 154, 155,

156 dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintahan Kejahatan penghinaan, yaitu terhadap Presiden dan wakil Presiden (Pasal 134 dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), termasuk terhadap badan atau alat kekuasaan negara(Pasal 207, 208 dan 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan penghinaan umum (Pasal 310 dan 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Kejahatan melakukan hasutan (provokasi), yaitu berupaya atau tindakan untuk mendorong, mengajak, membangkitkan ataumembakar” orang lain supaya melakukan suatu perbuatan (Pasal 160 dan 161 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana); Kejahatan menyiarkan kabar bohong (Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946), dan Kejahatan kesusilaan (pornografi) diatur Pasal 282 dan 533 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.3 Sedangkan pertanggungjawaban pelakunya adalah sebagaimana ketentuan Pasal 55 dan 56 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yaitu dader (pelaku), doen plegen (orang yang menyuruh lakukan), medeplegen (orang yang turut melakukan), uitlokken (orang yang membujuk untuk melakukan) dan medeplichtige (orang yang membantu melakukan tindak pidana).

Sebaliknya, jika mendasarkan pada Undang-Undang Pers, maka ketentuan pidana materiilnya adalah apabila pers tidak memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat [1]), pers tidak melayani hak jawab (Pasal 5 ayat [2]), pers melanggar pemuatan iklan sebagaimana ditegaskan Pasal 13, pers tidak berbadan hukum (Pasal 9 ayat [2]) dan pers tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab, ditambah nama dan alamat percetakan (Pasal 12). Sedangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pers menurut Undang-Undang Pers ini adalah penanggung jawab, yang dalam hal berita biasanya dijabat oleh Pemimpin Redaksi.

Sampai pada titik ini, seakan terlihat adanya konflik norma (antinomi) antara ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers, sehingga untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana pers maka terlebih dahulu harus diketahui ketentuan pidana pers yang mana yang akan dipakai, apakah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ketentuan dalam Undang-Undang Pers, ataukah justru kedua ketentuan tersebut saling melengkapi dan keduanya harus diberlakukan.

Pada dasarnya, sistem hukum merupakan suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan bekerja sama kearah tujuan kesatuan. Masing-masing bagian atau unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian- bagian atau unsur-unsur lain dan dengan keseluruhannya. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain, tetapi kait mengkait. Arti tiap bagian justru terletak dalam ikatan sistem, dalam kesatuan, karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. Diluar sistem atau kesatuan, masing-masing bagian tidak mempunyai arti (Rahmawati & Gani, 2017).

Selain berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tatanan dalam masyarakat (restitutio in integrum), sistematisasi hukum menjadikan kompleksitas kenyataan atau fakta yang pada dasarnya tidak terbatas itu menjadi lebih mudah dikuasai. Sistematisasi hukum memberi motivasi pemecahan hukum sebagaimana dalam interpretasi sistematis, yaitu untuk menetapkan arti suatu ketentuan undang-undang, maka ketentuan tersebut harus dihubungkan secara sistematis dengan ketentuan-ketentuan lainnya (Mertokusumo, 2007).

Dalam konteks antinomi antara aturan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Pers tersebut, digunakan asas preferensi hukum. Asas preferensi hukum yang digunakan adalah asas lex specialis derogat legi generali, yang dalam hal ini isu hukumnya adalah apakah Undang-Undang Pers merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau bukan. Penentuan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis atau bukan ini akan sangat menentukan mekanisme pertanggungjawaban pidana pers terhadap seorang insan pers yang disangka melakukan tindak pidana ketika melaksanakan aktivitas jurnalistiknya.

 

Etika Citizen Journalism

Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman masyrakat (P. W. Indonesia, 2008). Pers sangat diperlukan sesuai dengan fungsinya, baik bagi seseorang, organisasi, lembagamaupun institusi, tidak hanya untuk memperoleh informasi tetapi lebih dari itu karena pers dapat membentuk opini Masyarakat (Surbakti, 2015).

Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan (Firdiansyah, 2023).

Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik.Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi (Sudirman, 2005).

Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan. M. Alwi Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan. Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu:

a)     Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;

b)    Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional;

c)     Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;

d)    Mencegah kecurangan antar rekan profesi;

e)     Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber (Alwino, 2019).

Kode Etik Jurnalistik yang telah diangkat sebagai ketentuan hukum positif dipandang masih relevan digunakan dalam mekanisme penyelesaian sengketa pers dengan upaya “Hak Tolak, Hak Jawab, dan Hak Koreksi” sebagaimana telah diatur dalam UU Pers (R. Indonesia, 1999). Di dalam penjelasan dikatakan, tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut digunakan wartawan bila dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Akan tetapi bila Majelis Hakim memutuskan bahwa perkara yang tengah diperiksa tidak menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum, maka hak tolak wartawan tersebut harus tetap dihormati.

Oemar Seno Adji menegaskan “Hak Ingkarmerupakan suatu kekecualian terhadap aturan umum yang memberikan keterangan sebagai saksi di muka pengadilan. Bagi kategori tertentu kewajiban hukum ini tidak diberikan. Hak tolak yang bersumber dari kode etik jurnalistik dan diangkat dari ketentuan normatif menjadi ketentuan positif merupakan suatu pengecualian dari ketentuan umum terutama dalam perkara pidana. Hak tolak ini merupakan privelege yang diberikan pembuat undang-undang terhadap wartawan di dalam tugas jurnalistiknya (Mardani, 2021). Sesuai juga dengan Pasal 13 Kode Etik Jurnalsitik PWI, yang mengatakan Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta, data dan bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tangggungjawab ada pada wartawan yang bersangkutan.

Selain hak tolak, UU Pers juga mengatur mengenai hak jawab, dan hak koreksi yang harus dipenuhi sebagai tanggunjawab Hukum Pers Nasional terhadap karya jurnalistik, karena UU Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma aga dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ini menunjuk maksud bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.

UU Pers dalam menyelesaikan permasalahan pemberitaan pers yang timbul akibat kegiatan jurnalistik, diselesaikan dengan mekanisme pelayanan hak jawab dan hak koreksi secara proporsional dan terhormat, dan kejujuran redaksi melakukan kewajiban koreksi.

Hak jawab dalam UU Pers menegaskan bahwa pers wajib melayani hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Bila terdapat perusahaan pers tidak melayani hak jawab, UU Pers menegaskan dapat dipidana dengan pidana denda. Sesuai dengan landasaan idiil dan landasan historis serta fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi, dihubungkan dengan tanggung jawab hukum pemberitaan dan ulasan yang dikemukakan pers, di ruang publik, masyarakat dan perorangan pun mendapat pula hak jawab terhadap tulisan yang mereka anggap merugikan (Setyawan et al., 2021).

 

Kesimpulan

Kemunculan jurnalisme warga akan kian menggiatkan komunikasi warga dengan pemerintah serta juga dengan pers. Keberadaan citizen journalism tidak serta merta mengeliminasi keberlanjutan hidup media massa konvensional. Terlebih lagi di Indonesia yang mayoritas warganya belum mampu mengakses internet secara kontinyu. Para jurnalis tersebut dapat memanfaatkannya sebagai ruang alternatif dalam mengolah informasi dan mengkonstruksi realitas sosial menjadi realitasmedia. Sementara, keberadaan citizen journalism juga tetap dapat memberikan andil positif bagi ruang hidup yang demokratis. Citizen journalism juga bisa menjadi sarana alternative melihat konstruk realitas sosial yang luput dari perhatian media massa. Konsekuensi dari kemajuan tehnologi yang melahirkan  konvergensi membuka ruang proses komunikasi dan interaksi samakin harmonisasi dengan berbagai efek yang muncul.

Pekerjaan jurnalis merupakan pekerjaan profesi yang telah memenuhi syarat syarat sebagai suatu profesi, maka perlindungan hukum terhadap jurnalis ditempatkan sebagai perlindungan hukum terhadap profesinya berdasarkan standar profesi jurnalistik sesuai dengan kode etik jurnalis, dan tidak melanggar hukum akan memperoleh jaminan perlindungan hukum dalam bentuk kekebalan dari tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana. Sebaliknya jurnalis yang melanggar kode etik dan atau melanggar standar profesi dan atau melanggar hukum tidak memperoleh jaminan perlindungan hukum, maka jurnalis tersebut dapat dituntut atau dimintai pertanggung jawaban hukum baik perdata atau pidana.

 

BIBLIOGRAFI

 

Alwino, A. (2019). Etika Pers. Pergulatan Etika Indonesia, 115.

Bowman, S., & Willis, C. (2003). We media: How audiences are shaping the future of news and information. The Media Center at The American Press Institute.

Firdiansyah, M. A. (2023). Penegakan Kode Etik Jurnalistik di Kalangan Wartawan PWI Kabupaten Tangerang (Studi di PWI Kabupaten Tangerang). UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Hermans, L., & Gyldensted, C. (2019). Elements of constructive journalism: Characteristics, practical application and audience valuation. Journalism, 20(4), 535–551.

Hermida, A. (2012). The social and participatory web: Changing the ethics of journalism. In S. S. Berrington (Ed.), Ethical issues in journalism and the media (pp. 133-144). Routledge.

Indonesia, P. W. (2008). Kode Etik Jurnalistik. Nangroe Aceh Darussalam: PWI, 1–5.

Indonesia, R. (1999). Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang pers. PNRI.

Mardani, D. R. (2021). Hukum Sistem Ekonomi Islam-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada.

Mertokusumo, S. (2007). Penemuan hukum: Sebuah pengantar.

Moeljatno, S. H. (2021). KUHP (Kitab undang-undang hukum pidana). Bumi Aksara.

Nugraha, P. (2012). Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman. Penerbit Buku Kompas.

Peter Mahmud Marzuki. (2008). Penelitian Hukum, Cet 2,. Kencana.

Purwoleksono, D. E. (2014). Hukum Pidana. Airlangga University Press.

Rahmawati, I., & Gani, R. A. (2017). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Delik Pers (Suatu Kajian Normatif). Legalitas: Jurnal Hukum, 1(4), 133–190.

Rohiman, Y. (2023). Reportase wartawan berita kriminal: Studi fenomenologi pada komunitas wartawan peliput berita kriminal di Kota Bandung. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sahputra, D. (2020). Implementasi Hukum Pers di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(2), 259–274.

Setyawan, A., Muharam, F., Atmaja, J., & Nurdiansyah, C. (2021). Implementasi Penegakkan UU Pers Terhadap Delik Pers dan Kekerasan Jurnalis di Tahun 2020. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(1).

Sudirman, T. (2005). Jurnalistik Baru. Ciputat: Penerbit Kalam Indonesia.

Surbakti, D. (2015). Peran dan fungsi pers menurut Undang-undang Pers tahun 1999 serta perkembangannya. Jurnal Hukum PRIORIS, 5(1), 77–86.

 

Copyright holder:

Irman Syahriar, Jamil Bazarah, Khairunnisah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: