Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol.
9, No. 11, November 2024
PENGATURAN HUKUM CITIZEN JOURNALISM
DALAM PRAKTEK PEMBERITAANYA
Irman Syahriar1, Jamil Bazarah2, Khairunnisah3
Universitas 17 Agustus Samarinda, Samarinda, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis perbedaan persepsi terhadap Citizen Journalism sebagai
bagian dari ranah jurnalisme profesional serta menilai implikasinya terhadap standar jurnalistik dan perlindungan hukum bagi pelaku
Citizen Journalism. Metode penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan
data melalui kajian literatur, wawancara mendalam dengan ahli media, dan analisis isi dari sumber-sumber
online serta media cetak.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai status Citizen Journalism dalam
ranah jurnalisme. Sebagian ahli berpendapat bahwa Citizen Journalism belum memenuhi standar jurnalisme profesional, mengingat minimnya penerapan kode etik jurnalistik dan standar verifikasi yang memadai. Namun, kelompok lain menganggap Citizen
Journalism sebagai salah satu
bentuk jurnalisme modern, karena memiliki elemen-elemen dasar jurnalistik, seperti pelaporan berita dan distribusi informasi menggunakan media digital. Penelitian
ini juga menemukan bahwa Citizen Journalism berperan
dalam memberikan akses kepada masyarakat
untuk menyuarakan opini mereka, namun
menghadapi tantangan dalam hal perlindungan
hukum. Pelaku Citizen
Journalism tidak memperoleh
perlindungan hukum yang setara dengan jurnalis
profesional karena ketiadaan status formal sebagai profesi jurnalistik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Citizen
Journalism merupakan fenomena
yang signifikan dalam era
digital, tetapi masih memerlukan pengembangan standar profesional dan pengakuan hukum yang lebih jelas. Implikasi
penelitian ini menekankan pentingnya regulasi yang mengakomodasi peran Citizen Journalism tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar jurnalistik untuk memastikan kredibilitas dan perlindungan hukum yang layak bagi para pelakunya.
Kata Kunci: Citizen Journalism, Perlindungan Hukum, Etika Jurnalistik.
Abstract
This study aims to analyze
differing perceptions of Citizen Journalism as part of the professional
journalism domain and assess its implications for journalistic standards and
legal protection for Citizen Journalists. The research employs a qualitative
descriptive approach, utilizing data collection methods such as literature
reviews, in-depth interviews with media experts, and content analysis from
online and print media sources. The findings reveal that there are conflicting
opinions regarding the status of Citizen Journalism in the field of
professional journalism. Some experts argue that Citizen Journalism does not
meet professional journalism standards due to its lack of adherence to
journalistic codes of ethics and adequate verification standards. However,
other groups regard Citizen Journalism as a form of modern journalism, as it
includes fundamental journalistic elements such as news reporting and
information dissemination through digital media. The study also finds that
Citizen Journalism provides the public with access to voice their opinions but
faces challenges in terms of legal protection. Citizen Journalists do not
receive the same legal protections as professional journalists due to their
lack of formal status within the journalism profession. The study concludes
that Citizen Journalism is a significant phenomenon in the digital era but
requires the development of professional standards and clearer legal
recognition. The implications of this research highlight the importance of
regulations that accommodate the role of Citizen Journalism while upholding
fundamental journalistic principles to ensure credibility and adequate legal
protection for its practitioners.
Keywords: Citizen Journalism, Legal Protection, Journalistic
Ethics.
Pendahuluan
Citizen journalism
atau jurnalisme warga merupakan kegiatan dimana peran wartawan atau kegiatan jurnalistik
bisa dilakukan oleh masyarakat yang secara formal bukan wartawan. Kegiatan yang dilakukannya sama dengan wartawan
pada umumnya, yakni mengumpulkan informasi, menulis berita, mengedit dan menyiarkannya.
Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang Citizen
Journalism (Jurnalisme Warga)
bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan seorang wartawan, hal ini
karena keduanya sama – sama terlibat
didalam dunia jurnalistik. Tetapi, pada umumnya orang –
orang atau masyarakat sudah bisa berasumsi perbedaan keduanya antara wartawan dengan Citizen
Journalism terletak pada peraturan
atau regulasi. Menjadi seorang wartawan sangatlah beresiko apabila tulisan mereka yang telah mereka buat, didalamnya
terdapat sebuah kesalahan, maka secara langsung mereka akan dikenakan
sanksi atas kesalahan yang telah mereka perbuat, selain itu seorang
wartawan juga akan menerima sanksi secara kelembagaan. Sedangkan pada Citizen Journalism, sanksi
nya bersifat fleksibel, artinya mereka akan dikenakan
sanksi sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat
atau lakukan saja, hal ini
dikarenakan seorang Citizen
Journalism tidak terkait atau terikat pada kode etik jurnalistik, berbeda hal nya
dengan seorang wartawan murni yang sudah berpengalaman dalam bidang tulis
menulis dan ada sebuah lembaga pers dari media yang menaunginya.
Istilah Citizen
Journalism ini mengacu pada
sebuah konsep pengertian dimana masyarakatlah yang sebenarnya berperan dalam proses pengumpulan sumber – sumber yang nantinya akan dijadikan sebuah tulisan berita sehingga sampai pada proses penyebaran berita tersebut, dan juga pada akhirnya masyarakatlah yang bertanggung jawab secara penuh
atas tulisan berita yang telah mereka publikasikan.
Citizen Journalism
itidak bisa dipisahkan dari pengaruh berkembangnya teknologi, terutama internet.
Karena internetlah membuat jurnalisme seperti ini dapat terbentuk,
dimana masyarakat bisa dikatakan sebagai seorang wartawan (Pewarta) yang terlihat seperti layaknya seorang wartawan sungguhan. Media baru (Internet) memberikan kesempatan dan juga ruang fasilitas
kepada masyarakat yang mau belajar ataupun
mencoba bagaimana caranya menjadi seorang jurnalis. Dengan adanya hal ini, masyarakat juga bisa memantau tentang
setiap informasi pemberitaan mengenai
suatu peristiwa.
Sebagai seorang Citizen Journalism, masyarakat
juga harus tahu dan juga memperhatikan pedoman atau aturan yang ada. Tentu saja
hal ini berkaitan
dengan “9 Elemen Jurnalistik” yang dipandang dan
juga dijadikan sebagai dasar – dasar peraturan
dalam dunia jurnalistik,
yang pada umumnya digunakan
oleh seluruh wartawan dalam membuat berita
yang nantinya akan diinformasikan kepada khalayak luas (Publik). Karena hal ini, maka
pada intinya seorang
Citizen Journalism juga memiliki pedoman
atau aturan yang harus mereka taati,
yaitu berpedoman padake-9 elemen jurnalistik ini.
Konsep Teori Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosentiel
a) Tunduk Pada Kebenaran
b) Loyalitas
Pada Warga
c) Disiplin Dalam Masalah Verifikasi
d) Independensi
e) Menjadi Pemantau Kekuasaan
f) Menyediakan Forum
Publik untuk Kritik, Komentar Maupun Dukungan Bagi Warga
g) Berupaya Membuat Hal Penting Menjadi Menarik dan Relevan
h) Menjaga Berita Komprehensif dan Proporsional
i) Keharusan Bagi Seorang Jurnalis
Menggunakan Nurani (Hermans & Gyldensted, 2019).
Dari berbagai kalangan yang ada, terutama pihak – pihak yang mengerti betul akan hal
ini berpendapat bahwa sebenarnya Citizen
Journalism ini belum bisa dikatakan masuk kedalam ranah
jurnalisme. Hal ini disebabkan karena pada umumnya jurnalisme memiliki banyak persyaratan yang tentu saja tidak mudah
untuk dilakukan. Mereka menganggap bahwa Citizen Journalism ini sebenarnya hanya dapat dikatakan sebagai kegiatan yang layaknya seperti menulis tulisan sehari – hari, yang membuatnya berbeda adalah karena mereka menggunakan
internet sebagai media mereka.
Namun ada juga pihak yang lain yang menganggap bahwa Citizen
Journalism ini dapat dikategorikan sebagai bentuk dari jurnalisme,
mereka memberikan argumen bahwa didalam
Citizen Journalism juga terdapat beberapa
unsur yang sama seperti kerja jurnalisme
pada umumnya (Nugraha, 2012).
Berbagai penelitian terdahulu telah mengkaji fenomena Citizen
Journalism dalam konteks jurnalisme modern. Bowman dan Willis (2003) dalam penelitian mereka, "We Media: How Audiences are Shaping the
Future of News and Information", menjelaskan
bagaimana internet memberikan
ruang partisipasi kepada masyarakat untuk berkontribusi dalam pengumpulan, penulisan, dan penyebaran berita, meskipun menghadapi tantangan berupa kurangnya regulasi dan verifikasi informasi. Di sisi lain, Hermida
(2012) dalam studi berjudul "The Social and Participatory Web:
Changing the Ethics of Journalism" menyoroti
tantangan etika yang dihadapi Citizen Journalism, khususnya
terkait penerapan standar jurnalistik dalam konteks non-profesional. Hermida menyimpulkan
bahwa Citizen Journalism memperluas
akses terhadap berita, tetapi ketiadaan kode etik yang ketat sering kali memengaruhi kredibilitas informasi yang disampaikan. Penelitian-penelitian
ini menjadi dasar untuk menganalisis
posisi Citizen Journalism dalam
ranah jurnalisme profesional serta implikasinya terhadap standar dan regulasi jurnalistik.
Menyimak dari latar belakang
masalah inilah maka penelitian ini membuat rumusan
masalah sebagai berikut; 1. Bagaimana Perspektif Citizen Journalism dalam
pratek pemberitaanya ?. 2. Bagaimana pengaturan Hukum Profesi Pers Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers ?.
Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis perbedaan persepsi terhadap Citizen Journalism sebagai
bagian dari ranah jurnalisme profesional serta menilai implikasinya terhadap standar jurnalistik dan perlindungan hukum bagi pelaku
Citizen Journalism.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif atau biasa
dikenal dengan hukum doktrinal, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang terdiri dari bahan
hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, semua penelitian yang berkaitan dengan (legal
research) adalah selalu normatif. Jika tipe penelitian ini harus dinyatakan dalam bentuk tulisan cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan adanya
pernyataan demikian maka sudah jelas
bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan-bahan hukum yang digunakan harus dikemukakan (Peter Mahmud Marzuki, 2008).
Dalam Penelitian hukum ini, penulis menggunakan
pendekatan perundang undangan (statue approach) yaitu pendekatan dengan mencari peraturan perundang undangan
yang terkait. Karena di dalam
penelitian hukum ini, penulisakan memecahkan permasalahan
hukum berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Teknik analisis data kualitatif dengan
menggunakan, mengelompokkan,
dan menyeleksi data yang diperoleh
dari penelitian lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Hasil dan
Pembahasan
Perspektif Citizen Journalism dalam
Praktek Pemberitaanya
Label baru untuk kategori
jurnalisme ini, bagaimanapun, menunjukkan bahwa jurnalisme warga merupakan sebuah fenomena unik yang kemunculannya terjadi bersamaan dengan munculnya teknologi penerbitan internet, khususnya blogging. Platform media sosial
telah memfasilitasi kemampuan masyarakat untuk berbagi pengetahuan,
informasi, dan opini mereka secara publik
dengan siapa pun yang memiliki akses internet.
Saat ini pers berada dalam situasi di mana pengertian wartawan dan media mengalami pergeseran penting sebagai akibat dari perkembangan
dua hal, yaitu perkembangan jurnalistik dan perkembangan media. Dunia jurnalistik
kini mengalami perubahan. Dulu, reportase adalah tugas khusus yang dibebankan kepada wartawan atau reporter media massa. Sekarang setiap warga bisa
melaporkan peristiwa kepada media. Inilah yang kemudian disebut citizen
journalism, participatory journalism, atau ada juga yang menyebutkan open source
journalism.
Banyak sarjana yang mencoba mendefinisikan jurnalisme warga secara
teoritis. Terlepas dari upaya teoritis ini, “belum ada konsensus mengenai
definisi jurnalisme warga” . Seiring berkembangnya bidang ini, kita akan
melihat adanya kesepakatan mengenai label konsep dan definisinya. Dalam literatur, orang-orang ini disebut sebagai
jurnalis partisipatif, jurnalis komunitas, jurnalis warga, pro-am, blogger, jurnalis nirlaba, jurnalis alternatif, jurnalis hiperlokal, partisipan yang dibuat oleh pengguna, para jurnalis, dan produser.
Berdasarkan tema-tema yang muncul dari definisi teoritis
yang dikemukakan oleh para peneliti,
tampak bahwa komunitas ilmiah yang mempelajari jurnalisme warga menafsirkan jurnalisme sebagai orang-orang
yang tidak memiliki ikatan organisasi berita, yang mengumpulkan dan/atau menerbitkan konten berita, dan yang meliput kelompok marginal atau hiperlokal. komunitas. Definisi teoritis sebelumnya, yang berasal dari sekitar
tahun 2003 hingga 2011, lebih bersifat idealis yang menyatakan bahwa jurnalis warga berusaha untuk melibatkan warga negara lain atau mendukung demokrasi melalui karya jurnalistik
mereka. Misalnya, beberapa definisi menyatakan bahwa jurnalis warga “menyediakan informasi yang independen, andal, akurat, luas jangkauannya,
dan relevan yang dibutuhkan
oleh demokrasi”; “berusaha untuk mencakup komunitas yang terpinggirkan”; “menguntungkan komunitas”; dan “berniat untuk mengisi
kesenjangan yang dirasakan dalam peliputan suatu isu atau
wilayah dan untuk mendorong
keterlibatan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, jurnalisme warga telah dikaitkan dengan pembuat konten amatir yang telah menghasilkan setidaknya satu konten berita.Definisi setelah tahun 2011 menyatakan bahwa jurnalis warga adalah “setiap orang yang tidak dibayar oleh organisasi berita arus utama untuk
melaporkan”; bahwa jurnalisme warga adalah “berita yang dihasilkan oleh para amatir”; dibuat “bukan oleh para profesional tetapi oleh mereka yang berada di luar organisasi media arus utama”; dan dibuat oleh “peserta yang pernah membuat foto, video, atau tulisan”.
Pada tahun 1976, Johnstone mendefinisikan
jurnalisme sebagai “representasi sehari-hari dari proses sosial yang sedang berlangsung sebagaimana disaring melalui aparat industri berita.” Para peneliti masih mendefinisikan jurnalis
tradisional berdasarkan afiliasi mereka dengan suatu organisasi atau pekerjaan.
Tinjauan ini mengedepankan definisi warga negara yang dimodifikasi Jurnalis.
Jurnalis warga adalah orang-orang yang tidak memiliki afiliasi organisasi
berita yang membuat konten berita dan informasi (teks, video, audio,
interaktif, dll.) yang dimaksudkan untuk disebarluaskan kepada publik. Definisi
teoritis penting karena harus memandu bagaimana seseorang mempelajari dan
mengukur konstruknya.
Pengertian menurut Bowman &
Willis (Jurnalisme warga): Tindakan
warga negara, atau kelompok atau warga negara, yang berperan aktif dalam proses
pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran berita dan informasi. Tujuan
dari partisipasi ini adalah untuk menyediakan informasi yang independen, andal,
akurat, luas, dan relevan yang dibutuhkan oleh demokrasi.
Nip melihat pengertian (Wartawan warga): Orang yang bertanggung jawab mengumpulkan konten, membuat visi, memproduksi,
dan menerbitkan produk berita.
Sedangkan
Friedland dan Kim memberikan pandangan
bahwa (Wartawan warga): Jurnalis warga dapat berupa
individu yang memberikan kontribusi tunggal (koreksi fakta, foto, dll.), blogger, atau profesional yang mengedit konten warga untuk “profesional-amatir”
(pro -am) situs yang mengintegrasikan karya staf profesional
dan kontributor warga.
Nah justru menganggap pengertian (Wartawan warga): Individu [tidak dianggap sebagai jurnalis profesional] yang memproduksi, menyebarkan, dan bertukar berbagai macam berita dan informasi, mulai dari topik
terkini, kepentingan bersama, hingga isu-isu individu.
Rutigliano menafsirkan definisi (Jurnalisme warga): (1) tidak diproduksi oleh organisasi berita tradisional, (2) diproduksi oleh suatu kelompok, dan (3) berupaya meliput komunitas marginal melalui perekrutan anggota komunitas tersebut dan peliputan komunitas-komunitas ini.
Selamat Melihat pada pengertian (Jurnalisme warga): Serangkaian praktik berbasis web dimana pengguna “biasa” terlibat dalam praktik jurnalistik.
Carpenter menekankan (Wartawan warga) adalah: Seseorang yang bermaksud mempublikasikan informasi online dengan tujuan memberikan
manfaat bagi komunitas.
Kaufhold,
Valenzuela dan Gil lebih terbuak
memberikan pemahaman bahwa (Jurnalisme warga): Jurnalisme warga didefinisikan oleh sejumlah atribut, yang membuatnya berbeda, termasuk pekerjaan tidak berbayar.
a.Tipologi Jurnalis Warga
Bila
menyimak dari pendapat peneliti citizen journalis tersebut diatas maka muncul
sebuah sikap Inkonsistensi
dalam literatur jurnalisme warga mungkin disebabkan oleh tingkat partisipasi yang berbeda-beda, mulai dari komentar pengguna
terhadap artikel berita hingga orang-orang yang mengumpulkan konten berita asli untuk
memobilisasi publik dan mengubah masyarakat. Bukan hal yang aneh jika media berita dianggap sebagai satu kesatuan
dan diperlakukan seperti itu. Namun, tipe
jurnalis warga kemungkinan besar mempengaruhi sejauh mana jurnalis warga dipandu oleh norma dan cita-cita jurnalistik, termasuk keinginan mereka untuk mendukung dialog dan cita-cita demokratis. Oleh karena itu, generalisasi
jurnalis warga mungkin bergantung pada konteks, yang merupakan komponen penting dalam teori ilmu
sosial.
Keberagaman bentuk media jurnalisme warga mungkin membuat
orang percaya bahwa fenomena tersebut tidak memerlukan karakteristik yang stabil, namun penting untuk
mencoba mengidentifikasi atribut untuk memastikan
bahwa komunitas pengetahuan yang mempelajari bidang ini memiliki
landasan yang mendukung. pekerjaan masa depan dan pembangunan teorinya. Pada saat ini, fenomena
tersebut telah dipelajari cukup lama untuk memungkinkan artikulasi konteks dan batasan. Para ahli telah berupaya keras dalam mengartikulasikan
apa itu jurnalisme,
dan juga telah meneliti bagaimana jurnalis memerangi orang-orang yang melanggar
bidang keahlian mereka , namun akan ada
kemajuan yang lebih besar dalam studi
jurnalisme. baik jurnalisme tradisional maupun jurnalisme warga jika kita
dapat memahami dengan lebih tepat
bagaimana keduanya saling tumpang tindih dan bagaimana perbedaannya.
b.Jurnalis Warga Partisipatif
Dalam konteks jurnalisme partisipatif, khalayak bekerja sama dengan
jurnalis media berita tradisional dalam produksi konten berita untuk organisasi
berita tradisional. Jurnalis partisipatif didefinisikan sebagai orang yang menyumbangkan berita, opini, dan konten informasi kepada organisasi berita tradisional. Jurnalis partisipatif adalah orang-orang
yang mengirimkan konten hiperlokal untuk dipublikasikan di bagian situs
web yang ditentukan, namun
proses produksi berita jurnalisme partisipatif telah berkembang . Jurnalis tradisional
paling sering mengandalkan jurnalis warga negara atau jurnalis partisipatif
untuk pengalaman langsung atau visual mereka rekaman peristiwa berita terkini seperti bencana alam atau
bencana akibat ulah manusia yang tidak dapat diakses
oleh jurnalis. Misalnya, jurnalis warga mengirimkan lebih dari 1.000 gambar, 20 video,
4.000 pesan teks, dan 20.000 email dalam beberapa jam setelah peristiwa itu
terjadi. Para saksi ini mengirimkan informasi ke situs berita mengenai
peristiwa yang terjadi di depan mata mereka, dan berita- perwakilan organisasi
menerima konten ini karena mereka tidak memiliki sumber daya atau akses selama
krisis karena pembatasan keamanan. Jurnalis berita partisipatif mengirimkan
sebagian besar konten tidak berbayar yang kemudian diverifikasi dan dinilai
nilai beritanya oleh editor organisasi berita. Jurnalis warga jenis ini
mendapat kesenangan dalam berkontribusi terhadap demokrasi melalui pembagian
pendapat mereka mengenai berita-berita yang relevan secara pribadi, mendapatkan
sejumlah uang dengan mengabadikan peristiwa tersebut, atau namanya disebutkan
di media berita.
Namun, para editor organisasi berita jarang mematuhi
cita-cita kolaboratif yang menyatakan bahwa kerja berita merupakan kemitraan
antara organisasi berita dan jurnalis warga. Meskipun organisasi berita sedang
mengkaji ulang bagaimana berita dikonstruksi, konten masih merupakan cerminan
dari rutinitas dan norma media di masa lalu. Penelitian malah menemukan bahwa
jurnalis tradisional tidak menilai jurnalis partisipatif berdasarkan
keterampilan jurnalistik mereka, namun berdasarkan kedekatan mereka dengan sebuah
peristiwa berita. Masukan intelektual dan kreatif jurnalis warga sangat minim
dalam kategori ini karena pemimpin organisasi media berita tradisional menolak
melepaskan kendali editorial dan penjaga gerbang atas proses berita dan berita
mereka. Faktanya, jurnalis tradisional sering memisahkan konten jurnalisme
warga dari konten mereka sendiri karena
persepsi kualitas dan nada emosionalnya.
c.Para Jurnalis Warga
Jurnalis warga juga merupakan orang-orang yang
“melakukan tindakan jurnalisme secara acak. Para jurnalis adalah orang-orang
yang menyumbangkan isi berita, opini, dan informasi yang berpusat pada suatu
peristiwa yang sedang dibuat. Mereka membentuk komunitas sementara yang terikat
oleh arus informasi yang berpusat pada peristiwa tertentu. Papacharissi mengklasifikasikan jenis lingkungan ini
sebagai aliran berita afektif, dan mendefinisikannya sebagai “berita yang dibangun
secara kolaboratif dari pengalaman subjektif, opini, dan emosi, yang semuanya
didukung dan dipertahankan oleh lingkungan berita sekitar”.
Orang-orang berkumpul di ruang online, atau sistem
kesadaran, untuk mengkarakterisasi dan mendiskusikan dampak suatu peristiwa,
yang menghasilkan campuran reaksi dan informasi relevan tentang peristiwa
tersebut. Anggota komunitas yang dimediasi memantau dan berpartisipasi dalam
jaringan untuk memahami kejadian tersebut dan mengetahui informasi darurat.
Motivasinya sering kali mencakup penilaian validitas laporan media berita
tradisional, mendokumentasikan peristiwa dan perjuangan individu, dan membagikan
versi peristiwa tersebut kepada warga lain. Berbagi informasi dan pemantauan
aliran berita memengaruhi komunitas, kohesi sosial, keamanan, pengambilan
keputusan, dan pengambilan keputusan .
Dalam lingkungan berita independen, jurnalis warga
menjaga gerbang dan kontrol editorial atas berita mulai dari tahap pengumpulan
berita hingga tahap keluaran akhir. Oleh karena itu, jurnalis tradisional tidak
dilibatkan. Para jurnalis ini meliput komunitas hiperlokal atau topik khusus
yang tidak diliput oleh jurnalis . Mereka adalah jurnalis berorientasi
komunitas yang melakukan pemberitaan orisinal yang bertujuan untuk mengisi
kesenjangan yang dirasakan dalam peliputan dan/atau untuk mendorong keterlibatan
masyarakat . Jurnalis komunitas adalah “seorang individu yang bermaksud
mempublikasikan informasi yang bertujuan memberikan manfaat dan melibatkan
komunitas” (Rohiman, 2023).
Pengaturan Hukum Profesi
Pers Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers1 yang terdiri dari 10 Bab dan 21 lahir sebagai amanat UUD 1945, khususnya Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 27 dan
Pasal 28 Undang–Undang
Dasar Tahun 1945, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang Pers
(UU Pers) lahir sebagai perwujudan terhadap penghormatan hak asasi manusia dalam hal berekspresi, mengeluarkan pendapat dan pikiran, serta berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pers selain befungsi sebagai instrumen dalam hal peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat, juga berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi, pers merupakan refleksi jati diri
masyarakat, karena berkaitan dengan kegiatan masyarakat yang ditampilkan oleh pers dalam institusi media (Sahputra, 2020)
Keberadaan pers dalam interaksi antara pers dan masyarakat publik, dan institusi- institusi lain yang ada di tengah masyarakat, selalu bersinggungan dengan kepentingan publik, politik dan negara. Berkaitan dengan penyebarluasan informasi dan komunikasi di ruang publik tersebut akan memberikan dampak positif dan negatif pada khalayak. Akibat ketidaksesuaian kehendak dari pemberitaan
pers, sehingga memunculkan permasalahan hukum dengan adanya kepentingan
publik yang disoroti oleh
media.
Akibat pemberitaan pers yang memunculkan
persoalan hukum diperlukan penyelesaian sengketa pers yang berkeadilan. Penyelesaian hukum yang berkeadilan dan melembaga diinginkan berjalan memenuhi rasa keadilan antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pers, masyarakat
dan institusi yang memiliki
kewenangan dalam penanganan dibidang hukum berkaitan dengan tanggung jawab hukum dari
institusi pers.
Salah satu ciri sebuah Negara hukum adalah mengakui prinsip legalitas
dalam konstitusinya. Ciri ini juga terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) yang menjadi konsitusi Negara Indonesia. Pada Pasal 28 I ayat (1) UUD
1945 pasca amademen keempat disebutkan “hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudakan, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Asas legalitas juga menjadi asas umum
dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, dasar hukumnya adalah Pasal 1
ayat (1) KUHP: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
Kedua pasal tersebut secara jelas menyatakan
belakunya asas legalitas.3 Ketentuan umum mengenai asas legalitas
ini sebenarny dapat dikekualikan pada keadaan yang dimaksukan dalam pasal 1 ayat
(2) KUHP: “ Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundang-undangan, dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Apabila dapat ditarik
kesimpulan, Pasal ini sebenarnya terlah menyimpang dari Pasal 28 I Ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang belaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal ini dibuat pada amedemen kedua UUD 1945 sekitar Tahun 2000. Dalam rangcangan KUHP 2008, Pasal
1 dan Pasal 2 berkaitan dengan
asas legalitas.
Setiap sistem hukum modern dengan berbagai cara telah mengadakan
pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan
orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara, karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan
tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam
konsep mapun implementasinya.
Di negara-negara
yang menganut sistem hukum civil law maupun common
law, umumnya pertanggungjawaban
pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya,
undang-undang justru merumuskan keadaan- keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tindak pidana tidak
dapat dipertanggungjawabkan
(Moeljatno, 2021; Purwoleksono, 2014).
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat
dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
Kesemuanya merumuskan hal-hal dapat mengecualikan
pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualiaan pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai
pengecualiaan adanya pertanggungjawaban
Meski telah ada jaminan
konstitusional atas aktivitas jurnalisme, ternyata dalam hukum positif kita
saat ini masih terdapat ketentuan pidana yang pada masa kolonial digunakan oleh Belanda untuk mengkekang aktivitas pers, yang diantaranya terdapat dalam pasal-pasal tentang kejahatan dengan barang cetakan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Pidana tersebut adalah norma pidana umum dan berlaku bagi semua
orang dengan menggunakan barang cetakan, bukan norma pidana yang dikhusukan bagi insan pers ketika menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
Sebagai norma umum dan terbuka, ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tersebut memang dapat dipaksakan
untuk diterapkan terhadap insan pers, yang ternyata dalam hal tertentu akan
merugikan demokrasi dan tatanan negara hukum, karena pada dasarnya insan pers dalam membuat karya pers tidaklah dimaksudkan untuk berbuat jahat,
namun justru untuk melakukan edukasi kepada masyarakat, pengawasan terhadap penguasa, hingga pengawalan hak-hak warga negara, yang kesemuanya dilakukan oleh insan pers sebagai pelaksanaan amanat konstitusi.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat beberapa oknum jurnalis yang menyalah-gunakan profesinya untuk kepentingan sesaat. Namun, terhadap ulah oknum jurnalis
yang demikian tentu harus dilihat terlebih
dahulu, apakah jurnalis tersebut sedang melaksanakan kegiatan jurnalistik, ataukah memang melakukan perbuatan pidana. Sebagai contoh, jika seorang
wartawan melakukan pemerasan dengan memanfaatkan profesinya, jelas hal tersebut
termasuk wilayah hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebaliknya, apabila seorang wartawan telah melakukan investigasi pers yang profesional
dan berimbang, kemudian menuangkannya dalam tulisan di
media massa, maka apabila ada pihak
yang merasa ternista atau tersinggung dengan tulisan tersebut tidak serta merta
dapat melaporkannya secara pidana. Dalam hal ini,
terdapat dua Undang-Undang
yang mengaturnya, yaitu berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau berdasarkan Undang-undang tentang Pers.
Jika berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, maka delik materiilnya tersebar dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan berbagai Undang-Undang pidana materiil lainnya. Sifat pertanggungjawaban pidana berdasar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah
individual, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yaitu pelaku (dader), pelaku yang menyuruh-lakukan (doenplegen), pelaku yang turut melakukan (medeplegen), pelaku yang membujuk untuk melakukan tindak pidana (uitlokken), dan pembantu tindak pidana (medeplichtige). Secara sekilas dapat terbaca, jika ketentuan pidana pers berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini yang diberlakukan, maka akan sangat banyak aktivitas pers yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pers, dan yang harus bertanggung jawab atas pidana tersebut
juga sangat banyak, bukan saja wartawan yang menuliskannya, namun juga Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, hingga penjual koran/majalah. Hal ini dikarenakan aktivitas jurnalisme bukanlah aktivitas individual, namun aktivitas kolektif yang menyangkut sangat banyak pihak.
Sedangkan jika mendasarkan pada Undang-undang Pers, maka delik materiilnya hanya terdapat dalam Pasal 18 Undang-undang Pers
berupa pidana denda. Sifat pertanggungjawabannya
adalah fiktif, yaitu Penanggung Jawab Redaksi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 Undang-undang Pers. Mengingat sistem kerja jurnalistik
yang kolektif, secara sekilas dapat terbaca
bahwa sifat pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Pers inilah yang lebih aplikatif.
Disini seakan terlihat adanya antinomi antara sifat pertanggungjawaban
pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Pers, padahal sistem hukum adalah
sistem yang utuh, integral
dan tidak menghendaki adanya pertentangan diantara bagian- bagiannya. Untuk itu didaya-gunakanlah asas preferensi, yang dalam hal ini
adalah asas lex specialis derogat legi generali. Dalam hal ini
masih terdapat perbedaan pendapat apakah Undang-Undang Pers merupakan lex specialis ataukah bukan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Ketentuan Pertanggungjawaban
Pidana terhadap Delik Pers
Kemerdekaan Pers merupakan sendi fundamental
negara demokrasi yang wajib
dijaga, ditegakkan dan dipelihara oleh setiap anggota masyarakat, baik dalam pelayanan
hukum maupun penegakan hukum terhadap Pers. Kemerdekaan Pers akan menjamin tegaknya
pilar demokrasi, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkomunikasi, kebebasan mencari dan memperoleh informasi, dan hak mengawasi jalannya pemerintahan. Oleh karena itu pengaturan hukum pers memiliki tempat tersendiri dalam sistem hukum
di Indonesia dan dijamin oleh Konstitusi,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa insan pers dalam melaksanakan aktivitas jurnalistiknya pada dasarnya adalah melaksanakan kewajiban konstitusional, yang harus dilindungi oleh hukum.
Hingga saat ini, terdapat
banyak ketentuan pidana, baik sisa
peninggalan kolonial
Belanda maupun produk nasional, yang dapat diterapkan terhadap insan pers. Ketentuan tersebut secara pokok dapat dibagi
dua bagian, yaitu ketentuan pidana sebagaimana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana pada satu sisi, dan ketentuan pidana berdasar Undang-Undang Pers.
Ketentuan pidana materiil pers berdasar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Da’i Bachtiar, Kepala Kepolisian republik Indonesia saat itu, yaitu
meliputi Kejahatan terhadap ketertiban Umum sebagaimana diatur dalam pasal
154, 155,
156 dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintahan Kejahatan penghinaan, yaitu terhadap Presiden dan wakil Presiden
(Pasal 134 dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), termasuk terhadap badan atau alat kekuasaan negara(Pasal 207,
208 dan 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan penghinaan umum (Pasal 310 dan 315 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) Kejahatan melakukan hasutan (provokasi), yaitu berupaya atau tindakan
untuk mendorong, mengajak, membangkitkan atau “membakar” orang lain supaya melakukan suatu perbuatan (Pasal 160 dan 161
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);
Kejahatan menyiarkan kabar bohong (Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946), dan Kejahatan kesusilaan (pornografi) diatur Pasal 282 dan 533 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.3 Sedangkan pertanggungjawaban
pelakunya adalah sebagaimana ketentuan Pasal 55
dan 56 Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana, yaitu dader (pelaku), doen plegen (orang yang menyuruh lakukan), medeplegen (orang yang turut melakukan), uitlokken (orang yang
membujuk untuk melakukan) dan medeplichtige
(orang yang membantu melakukan
tindak pidana).
Sebaliknya, jika mendasarkan pada Undang-Undang Pers, maka ketentuan pidana materiilnya adalah apabila pers tidak memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah (Pasal 5 ayat
[1]), pers tidak melayani hak jawab (Pasal 5 ayat [2]), pers melanggar pemuatan iklan sebagaimana ditegaskan Pasal 13,
pers tidak berbadan hukum (Pasal 9 ayat [2]) dan pers
tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab, ditambah nama dan alamat percetakan (Pasal 12). Sedangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana
pers menurut Undang-Undang
Pers ini adalah penanggung jawab, yang dalam hal berita
biasanya dijabat oleh Pemimpin Redaksi.
Sampai pada titik ini, seakan
terlihat adanya konflik norma (antinomi) antara ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Pers, sehingga untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana pers maka terlebih dahulu
harus diketahui ketentuan pidana pers yang mana
yang akan dipakai, apakah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ketentuan dalam Undang-Undang Pers, ataukah justru kedua ketentuan tersebut saling melengkapi dan keduanya harus diberlakukan.
Pada dasarnya, sistem hukum merupakan suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan bekerja sama kearah
tujuan kesatuan.
Masing-masing bagian atau unsur harus dilihat
dalam kaitannya dengan bagian- bagian atau unsur-unsur
lain dan dengan keseluruhannya.
Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama
lain, tetapi kait mengkait. Arti tiap bagian justru terletak
dalam ikatan sistem, dalam kesatuan,
karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. Diluar sistem atau
kesatuan, masing-masing bagian
tidak mempunyai arti (Rahmawati & Gani, 2017).
Selain berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tatanan dalam masyarakat
(restitutio in integrum), sistematisasi hukum menjadikan kompleksitas kenyataan atau fakta yang pada dasarnya tidak terbatas itu menjadi
lebih mudah dikuasai. Sistematisasi hukum memberi motivasi
pemecahan hukum sebagaimana dalam interpretasi sistematis, yaitu untuk menetapkan
arti suatu ketentuan undang-undang, maka ketentuan tersebut harus dihubungkan secara sistematis dengan ketentuan-ketentuan lainnya (Mertokusumo, 2007).
Dalam konteks antinomi antara aturan pidana
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Undang-Undang
Pers tersebut, digunakan asas preferensi hukum. Asas preferensi
hukum yang digunakan adalah asas lex specialis derogat legi generali, yang dalam hal ini
isu hukumnya adalah apakah Undang-Undang
Pers merupakan lex specialis
dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau bukan. Penentuan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis atau bukan ini akan
sangat menentukan mekanisme
pertanggungjawaban pidana
pers terhadap seorang insan pers yang disangka melakukan tindak pidana ketika melaksanakan
aktivitas jurnalistiknya.
Etika
Citizen Journalism
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta
keberagaman masyrakat (P. W. Indonesia, 2008). Pers sangat diperlukan sesuai dengan fungsinya, baik bagi seseorang,
organisasi, lembagamaupun institusi, tidak hanya untuk memperoleh
informasi tetapi lebih dari itu
karena pers dapat membentuk opini Masyarakat (Surbakti, 2015).
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan
(Firdiansyah, 2023).
Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik
jurnalistik.Tujuannya adalah
agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi (Sudirman, 2005).
Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan.
M. Alwi Dahlan sangat menekankan
betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan. Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu:
a) Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b) Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional;
c) Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d) Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e)
Mencegah
manipulasi informasi oleh narasumber (Alwino, 2019).
Kode Etik Jurnalistik yang
telah diangkat sebagai ketentuan hukum positif dipandang masih relevan
digunakan dalam mekanisme penyelesaian sengketa pers dengan upaya “Hak Tolak,
Hak Jawab, dan Hak Koreksi” sebagaimana telah diatur dalam UU Pers (R. Indonesia, 1999). Di dalam penjelasan dikatakan, tujuan utama hak
tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut digunakan wartawan
bila dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi
di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Akan tetapi bila Majelis Hakim memutuskan bahwa perkara yang tengah diperiksa tidak menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum, maka hak
tolak wartawan tersebut harus tetap dihormati.
Oemar Seno Adji menegaskan “Hak Ingkar” merupakan suatu kekecualian terhadap aturan umum yang memberikan keterangan sebagai saksi di muka pengadilan.
Bagi kategori tertentu kewajiban hukum ini tidak
diberikan. Hak tolak yang bersumber dari kode etik jurnalistik
dan diangkat dari ketentuan normatif menjadi ketentuan positif merupakan suatu pengecualian dari ketentuan umum terutama dalam
perkara pidana. Hak tolak ini merupakan
privelege yang diberikan pembuat undang-undang terhadap wartawan di dalam tugas jurnalistiknya
(Mardani, 2021). Sesuai juga dengan Pasal 13 Kode Etik Jurnalsitik PWI, yang mengatakan Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan
yang bersangkutan untuk tidak disebut nama
dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta, data dan bukan opini. Apabila
nama dan identitas sumber berita tidak
disebutkan, segala tangggungjawab ada pada wartawan yang bersangkutan.
Selain hak tolak, UU Pers juga mengatur mengenai hak jawab, dan hak koreksi yang harus dipenuhi sebagai tanggunjawab Hukum Pers
Nasional terhadap karya jurnalistik, karena UU Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma aga dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah. Ini menunjuk maksud bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan
kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
UU Pers dalam menyelesaikan permasalahan pemberitaan pers
yang timbul akibat kegiatan jurnalistik, diselesaikan dengan mekanisme pelayanan hak jawab dan hak
koreksi secara proporsional dan terhormat, dan kejujuran redaksi melakukan kewajiban koreksi.
Hak jawab dalam UU Pers menegaskan bahwa pers wajib melayani hak jawab yaitu
hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Bila terdapat perusahaan pers tidak melayani hak jawab, UU Pers menegaskan dapat dipidana dengan pidana denda. Sesuai
dengan landasaan idiil dan landasan historis serta fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi, dihubungkan dengan tanggung jawab hukum pemberitaan
dan ulasan yang dikemukakan
pers, di ruang publik, masyarakat dan perorangan pun mendapat pula hak jawab terhadap tulisan yang mereka anggap merugikan
(Setyawan et al., 2021).
Kesimpulan
Kemunculan jurnalisme warga akan kian menggiatkan
komunikasi warga dengan pemerintah serta juga dengan pers. Keberadaan citizen journalism tidak serta merta
mengeliminasi keberlanjutan hidup media massa konvensional. Terlebih lagi di Indonesia yang mayoritas warganya belum mampu mengakses internet secara kontinyu. Para jurnalis tersebut dapat memanfaatkannya sebagai ruang alternatif dalam mengolah
informasi dan mengkonstruksi realitas sosial menjadi realitasmedia. Sementara, keberadaan citizen journalism juga tetap
dapat memberikan andil positif bagi
ruang hidup yang demokratis. Citizen journalism juga bisa
menjadi sarana alternative melihat konstruk realitas sosial yang luput dari perhatian
media massa. Konsekuensi dari kemajuan tehnologi
yang melahirkan konvergensi
membuka ruang proses komunikasi dan interaksi samakin harmonisasi dengan berbagai efek yang muncul.
Pekerjaan jurnalis merupakan pekerjaan profesi yang telah memenuhi syarat syarat sebagai
suatu profesi, maka perlindungan hukum terhadap jurnalis ditempatkan sebagai perlindungan hukum terhadap profesinya berdasarkan standar profesi jurnalistik sesuai dengan kode etik
jurnalis, dan tidak melanggar hukum akan memperoleh jaminan perlindungan hukum dalam bentuk
kekebalan dari tuntutan hukum, baik perdata maupun
pidana. Sebaliknya jurnalis yang melanggar kode etik dan atau
melanggar standar profesi dan atau melanggar hukum tidak memperoleh jaminan perlindungan hukum, maka jurnalis
tersebut dapat dituntut atau dimintai
pertanggung jawaban hukum baik perdata
atau pidana.
BIBLIOGRAFI
Alwino, A. (2019). Etika Pers. Pergulatan Etika
Indonesia, 115.
Bowman, S., & Willis, C. (2003). We media: How
audiences are shaping the future of news and information. The Media Center
at The American Press Institute.
Firdiansyah, M. A. (2023). Penegakan Kode Etik Jurnalistik
di Kalangan Wartawan PWI Kabupaten Tangerang (Studi di PWI Kabupaten Tangerang).
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Hermans, L., & Gyldensted, C. (2019). Elements of
constructive journalism: Characteristics, practical application and audience
valuation. Journalism, 20(4), 535–551.
Hermida, A. (2012). The social and participatory web:
Changing the ethics of journalism. In S. S. Berrington (Ed.), Ethical issues
in journalism and the media (pp. 133-144). Routledge.
Indonesia, P. W. (2008). Kode Etik Jurnalistik. Nangroe
Aceh Darussalam: PWI, 1–5.
Indonesia, R. (1999). Undang-undang Republik Indonesia
nomor 40 tahun 1999 tentang pers. PNRI.
Mardani, D. R. (2021). Hukum Sistem Ekonomi Islam-Rajawali
Pers. PT. RajaGrafindo Persada.
Mertokusumo, S. (2007). Penemuan hukum: Sebuah pengantar.
Moeljatno, S. H. (2021). KUHP (Kitab undang-undang hukum
pidana). Bumi Aksara.
Nugraha, P. (2012). Citizen Journalism: Pandangan,
Pemahaman, dan Pengalaman. Penerbit Buku Kompas.
Peter Mahmud Marzuki. (2008). Penelitian Hukum, Cet 2,.
Kencana.
Purwoleksono, D. E. (2014). Hukum Pidana. Airlangga
University Press.
Rahmawati, I., & Gani, R. A. (2017). Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Delik Pers (Suatu Kajian Normatif). Legalitas: Jurnal Hukum,
1(4), 133–190.
Rohiman, Y. (2023). Reportase wartawan berita kriminal:
Studi fenomenologi pada komunitas wartawan peliput berita kriminal di Kota
Bandung. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sahputra, D. (2020). Implementasi Hukum Pers di Sumatera
Utara. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(2), 259–274.
Setyawan, A., Muharam, F., Atmaja, J., & Nurdiansyah, C.
(2021). Implementasi Penegakkan UU Pers Terhadap Delik Pers dan Kekerasan
Jurnalis di Tahun 2020. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(1).
Sudirman, T. (2005). Jurnalistik Baru. Ciputat: Penerbit
Kalam Indonesia.
Surbakti, D. (2015). Peran dan fungsi pers menurut
Undang-undang Pers tahun 1999 serta perkembangannya. Jurnal Hukum PRIORIS,
5(1), 77–86.
Copyright
holder: Irman Syahriar, Jamil Bazarah, Khairunnisah (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |