Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

PERKEMBANGAN DAN NILAI-NILAI AJARAN TAREKAT SYATTARIYYAH DI BANTEN

 

Siti Komariah1, Agus Ali Dzawafi2, Salim Rosyadi3

Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Serang, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1, [email protected]2,

[email protected]3

 

Abstrak

Perkembangan Tarekat memiliki pengaruh yang besar pada setiap daerah di Indonesia. Banten salah satu daerah yang memiliki ketenaran mengenai ajaran Tarekat, bahkan menjadi salah satu lembaga keagamaan tersohor yang menolak kolonialisme. Karena itu peneliti mencari fakta-fakta sejarah tentang perkembangan Tarekat, terutama Tarekat Syattariyyah yang pernah menjadi primadona di kalangan kesultanan dan masyarakat Banten. Penggalian sejarah menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode dengan studi lapangan atau field research sebagai data primer. Serta didukung oleh data sekunder seperti buku, jurnal-jurnal dan artikel. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah yang terkubur tentang Tarekat Syattariyyah, dan mengemukakan-nya. Tarekat Syattariyyah yang masih ada di Banten yaitu bertempat di Kresek dan Cakung.  Sedangkan dari hasil penelitian lapangan ditemukan bahwa Tarekat Syattariyyah di Banten juga bertempat di daerah Padarincang, tepatnya di pondok Pesantren Shadana Padarincang-Banten, yang di pimpin langsung oleh Kiyai H. Arif Hidayat. Dengan ditemukannya mursyid Tarekat Syattariyyah di kawasan Padarincang, menegaskan bahwa tarekat Syattariyyah masih memiliki tempat di kalangan masyarakat Banten. Semoga dengan adanya penelitian ini bisa menjadi sebagai sumber referensi untuk penelitian selanjutnya.

Kata Kunci: Tarekat Syattariyyah, Banten. 

 

Abstract

The development of Tarekat has had a great influence on every region of Indonesia. Banten is one of the regions that has gained fame regarding Tarekat teachings, even becoming one of the most famous religious institutions that reject colonialism. Therefore, researchers searched for historical facts about the development of Tarekat, especially the Syattariyyah Tarekat, which was once a favorite among the sultanate and the people of Banten. The historical excavation used a qualitative approach, which is a method with field research as primary data. supported by secondary data such as books, journals, and articles. This research aims to uncover the buried history of the Syattariyyah Order, and put it forward. Tarekat Syattariyyah, which still exists in Banten, is located in Kresek and Cakung. While the results of field research found that Tarekat Syattariyyah in Banten is also located in the Padarincang area, precisely in the Shadana Islamic Boarding School Padarincang-Banten, which is led directly by Kiyai H. Arif Hidayat. With the discovery of the murshid of the Syattariyyah Order in the Padarincang area, it confirms that the Syattariyyah Order still has a place among the people of Banten. Hopefully, this research can be a source of reference for further research.

Keywords: Syattariyyah Order, Banten

 

Pendahuluan

Tarekat Syattariyyah menyebar di Indonesia melalui beberapa jalur (sanad), salah satunya melalui seorang ulama asal Aceh bernama Syekh Abdurauf as-Singkili. Dalam perjalanannya belajar di Madinah, Syekh Abdurauf as-Singkili belajar dibawah bimbingan Syekh Ahmad al-Qusyasyi sampai dia meninggal dunia pada tahun 1660 M dan khalifahnya, Ibrahim al-Kurani. Pada akhirnya Syekh Abdurauf menerima ijazah dari al-Qusyasyi menjadi khalifah tarekat Syattariyyah (Azra, 2013: 247)

Masyhurnya Tarekat Syattariyyah yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad Shinnawi  (wafat 1619 M) kemudian di lanjutkan oleh para muridnya, salah satunya  Syeikh Ahmad Al Qushasi (wafat 1691 M), Penyebarannya di pusatkan di Madinah. Sulaiman al Qanuni yang menjabat sebagai Gubernur Ustmaniyah pada Tahun 1548, mengambil kesempatan emas untuk memperdalam ilmu tasawuf ketika mengetahui Syeikh Ahmad Shinnawi singgah di Istanbul. Kemudian sulaiman Al Qanuni membaiat dirinya untuk masuk kedalam ruang lingkup Tarekat Syattariyah yang diajarkan oleh Syeikh Ahmad Shinnawi.

Tarekat Syattariyyah menyebar ke wilayah-wilayah di Indonesia dibawa oleh tokoh-tokoh terkemuka diantaranya: Aceh (Abdurauf as-Singkili), Minangkabau (Syekh Burhanudin Ulakan), Tasikmalaya (Kyai Soleh Kerta Basuki), Jawa Barat (Syekh Abdul Muhyi, Cirebon (Kyai Muhamad ar-Jaen seorang qadi di Keraton Kanoman Cirebon), Kaliwungu Jawa Tengah (Kiyai Asy’ari), Jawa Timur Desa Purworejo (Kiyai Mahmud Sutari) dan Arya Wangsakara di Banten.

Penyebaran ajaran Tarekat menjadi salah satu pondasi ajaran dalam Islam yang sangat penting, Banten merupakan salah satu wilayah yang memegang erat ajaran Tarekat. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan panjang Tarekat di Banten. Kuatnya ajaran Tarekat di Banten mampu menjelma sebagai lembaga keagamaan yang perkasa, memilki otoritas dalam kehidupan masyarakat. Salah satu kewenangan yang di keluarkan yaitu seruan menolak kehadiran kolonialisme di Banten. Penyebaran ajaran Tarekat Syattariyyah di Banten, selain di syiarkan Abdurrauf singkili dan muridnya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, perkembangan Syattariyyah di Banten menurut Sartono juga di bawa langsung oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saat itu berwisata ke Banten.

Syekh Yusuf Al Makasari datang ke Banten untuk belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Ibrahim Al Kurani muridnya Syekh Ahmad Al Qushasi. Syekh Yusuf umumnya dikenal sebagai ulama sufi di zamannya dan memiliki ijazah tarekat lebih dari satu. Selain dikenal sebagai ulama tarekat Khalwatiyah, Syekh Yusuf juga mempunyai otoritas atas ijazah tarekat Syattariyyah. Beliau menjadi tokoh penting penyebaran tarekat-tarekat yang ada di Banten. selain daripada itu beliau juga merupakan seorang Mufti Ulama Kesultanan Banten sekaligus menantu Sultan Ageng Tirtayasa.

Tarekat Syattariyyah mulai asing di kalangan kerajaan karena pergantian mufti ulama di istana. Pasang surut Tarekat Syattariyyah di Banten, di pengaruhi langsung oleh para pemegang kekuasaan Kerajaan Banten. Bahkan Tarekat Syattariyyah pernah tenggelam setelah Syekh Yusuf tidak lagi memegang otoritas sebagai Mufti Ulama kesultanan Banten.

Pada masa Sultan Abu Nasr Zainal Asyiqin (1753-1757 M), Tarekat Syattariyyah kembali mempunyai tempat di Kesultanan Banten. khususnya lingkungan istana yang kala itu di pegang oleh Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar seorang ulama Banten keturunan Arab. Dia mulai menghidupkan kembali ajaran tarekat Syattariyyah di Banten. Sehingga di dapati sanad keilmuan Tarekat Syattariyyah yang dibawa Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar menyebar sampai ke Mindanao, Filipina. Ulama-ulama Sufi di Filipina abad ke-18, mempunyai geneologi Tarekat Syattariyyah sampai ke Banten, melalui sanad Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar.

Nilai yang terkandung dalam ajaran Tarekat merupakan daya tarik bagi masyarakat, sehingga banyak masyarakat Banten yang bergumul dengan ajaran Tarekat. Salah satu nilai yang terkandung dalam Tarekat yaitu: Nilai Tasawuf, Tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang menyebabkan lalai dari Allah Swt. Sehingga mereka para pengamal ajaran Tarekat memiliki semangat juang  dalam menyebarkan agama Islam.

Melihat pengaruh Tarekat yang sangat luar biasa maka penting mengetahui makna Tarekat itu sendiri. Tarekat  ditinjau dari literatur bahasa memiliki banyak arti, salah satu pengertian tarekat yaitu organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Adapun pada masa permulaannya setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa dari murid ini kelak akan menjadi guru pula. Dapat dikatakan pula tarekat itu sistem ajaran dan metode-metode tasawuf. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui rangkaian amalan-amalan berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama, guru yang sama, dan mengajarkan metode yang sama, dzikir yang sama serta muroqobah yang sama. Dari pengikut tersebut bisa (mansub) yaitu menjadi murid selanjutnya, pembantu Syaikh (khalifahnya) dan akhirnya menjadi seorang guru yang mandiri (mursyid).

Tarekat tersusun pada mata rantai silsilah guru, sumbernya al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW, kemudian menantu beliau Ali bin Abi Tholib RA. Dalam satu hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”. Bagi eksoterisme Islam, hadist ini menjadi dasar pendapat bahwa Ali adalah mata rantai esoteric pertama, yang kepadanya seluruh mata rantai saling mengaitkan.

Adapun tujuan tarekat itu sendiri adalah untuk mencapai ma’rifat, yakni mengenali Tuhan dengan sebenar-benarnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan pernyataan bahwa tarekat merupakan pelaksanaan dari syari’at yang merupakan uraian dari ajaran Islam. Sedangkan hakekat ialah keadaan hati, dan ma’rifat adalah tujuan pokoknya. Syari’at diibaratkan sebagai perahu, tarekat sebagai lautan, dan hakekat sebagai mutiara dan ma’rifat sebagai keindahan mutiaranya. Orang tidak bisa mendapatkan keindahan dari mutiara tanpa berlayar dengan perahu dan menyelam ke dalam lautan.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah komunikasi pribadi, observasi, studi lapangan dan dokumentasi. Untuk memperoleh data tentang perkembangan tarekat Syattariyyah. Penelitian ini dilakukan melalui studi kualitatif. Penelitian ini merupakan hasil penelitian lapangan pada bulan Juni 2023 di Pondok Pesantren Shadana yang bertempat di Padarincang-Banten. Data penelitian ini diperoleh melalui komunikasi pribadi (wawancara nonformal), observasi dan dokumentasi. Dengan menggunakan metode kualitatif yang berbasis pada field research (penelitian lapangan), peneliti juga melakukan wawancara di tempat lain yaitu di tempat mursyid Kresek-Banten, mendokumentasikan kegiatan-kegiatannya dan melakukan wawancara nonformal kepada guru-guru yang terkait dalam judul peneliti.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Temuan Perkembangan Tarekat Syattariyyah di Banten

Kemajuan intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan membuat orang-orang Islam di era modern banyak yang meninggalkan ajaran Tarekat, bahkan ajaran ini dianggap asing dan dianggap sebagai ajaran yang bid’ah oleh beberapa golongan. Hal ini disebabkan karena pengaruh-pengaruh ajaran yang hanya berfokus pada masalah fiqh atau amaliah dzahir saja. Sehingga hanya sibuk dengan hal-hal yang sifatnya ikhtilaf, padahal Islam yang dibawa oleh para Wali Songo ke bumi Nusantara bukan hanya perihal bab fiqh saja. Melainkan banyak ilmu yang diajarkan, salah satunya yaitu ajaran Tarekat.

Ajaran Tarekat sudah sejak lama masuk ke Nusantara, karena ajaran ini mengandung nilai-nilai Tasawuf yang mengajarkan manusia mengenal hakikat diri, mengenal hakikat Tuhan dan mengenal hakikat alam semesta. Salah satu Tarekat yang pernah mashur di zamannya yaitu Tarekat Syattariyyah. Dimana Tarekat ini dibawa oleh seorang ulama asal Aceh bernama Syekh Abdurauf as-Singkili. Dalam perjalanannya belajar di Madinah, Syekh Abdurauf as-Singkili belajar dibawah bimbingan Syekh Ahmad al-Qusyasyi sampai dia meninggal dunia pada tahun 1660 M dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Pada akhirnya Syekh Abdurauf menerima ijazah dari al-Qusyasyi menjadi khalifah tarekat Syattariyyah.

Tarekat ini menyebar ke seluruh penjuru nusantara salah satunya di kawasan  Banten. Asal-usul masuknya tarekat ini menurut Dr. Muhamad Shoheh, MA seorang kepala perpustaan Universita Islam Banten sekaligus sejarawan Banten, dia mengatakan bahwaawal mula masuknya Tarekat Syattariyyah yaitu sekitar abad 15-16M yang dibawa oleh Syekh Yusuf Al-Makasari sampai masa puncak kejayaannya”, puncak kejayaan Tarekat Syattariyyah di Banten yaitu di tandai dengan sebuah simbol perlawanan kepada penjajah. Dimana tarekat syattariyyah menjadi salah satu organisasi yang memberikan fatwa menolak bahkan menyatakan perang kepada para penjajah.

Sampai pada akhirnya VOC berhasil menggoyahkan perlawan tersebut dengan mengelabuhi salah satu anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga terjadi konflik internal di dalam kerajaan. Dengan adanya konflik ini dijadikan momentum oleh VOC untuk mengambil alih kekuasaan dan meruntuhkan kebesaran kesultanan Banten. konflik internal yang semakin membesar membuat para pengikut ajaran tarekat Syattariyah mulai memudar dan mengasingkan diri, hal ini disebabkan oleh perebutan tahta kekuasaan. Benteng surosowan yang menjadi pondasi kokoh kerajaan diambil alih oleh anak dari sultan ageng sendiri, sehingga sultan ageng hanya mampu bertahan di istana sendiri hingga pada Akhirnya berhasil di tangkap dan di Asingkann oleh belanda ke Batavia sampai menjelang ajalnya.

Konflik internal dan pengasingan sultan ageng menjadi awal redupnya tarekat Syattariyah di Baten, meskipun demikian ajaran-ajaran tarekat Syattariyah masih tetap dijalankan, hanya saja tidak masyhur dan bergeming seperti dulu ketika tarekat Syattariyah berada di lingkungan istana. Pergantian tahta kerajaan terus mengalami pergeseran serta pergantian mufti kerajaan membuat posisi tarekat Syattriyah semakin asing di dengar bahkan seperti lenyap ditelan bumi. Jejak-jejak tarekat Syattariyah sulit di temukan di tambah dengan munculnya Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang dibawa oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas pada atahun 1888 sampai sekarang. Akan tetapi dengan adanya organisasi Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Muktabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) dalam upaya penjaringan tarekat-tarekat yang masih diajarkan di Nusantara.

Upaya JATMAN dalam mengorganisir tarekat-tarekat yang masyhur maupun tidak masyhur memberikan ruang informasi bahwa di kawasan Banten masih banyak ajaran tarekt yang diajarkan, mulai dari TQN, syadziliyah, Syattariyah dan Qodariyyah. Dengan demikian bahwa penulis mendapatkan pencahayaan tentang keberadaan adanya tarekat sytattariyah melalui mursyid yang mengajarkan tarekat Syattariyyah. Akan tetapi setelah ditelaah lebih lanjut ditemukan bahwa Tarekat Syattariyyah hanya diajarkan dibeberapa tempat, diantaranya:  Daerah Tanara dan Cakung Banten, dua daerah ini merupakan titik sentral yang mempertahankan ajaran Tarekat Syattariyyah. Yang kemudian dalam perjalanan pencarian perkembangan rekam jejak Syattariyyah di temukan seorang Mursyid Syattariyah yang membawa ajaran ini ke daerah Padarincang Banten.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa ajaran Syattariyyah dibawa oleh seorang Kyai yang bernama Arif Hidayat. Beliau lahir di Tangerang pada tanggal 12 Juni 1968. Kiyai H. Arif Hidayat atau yang sering disebut Abi dikalangan masyarakat Padarincang. Menempuh pendidikan dimulai dari SD Negeri Panunggangan 2 (1981 lulus); SMP Negeri 3 Tangerang (1984 lulus); Ponpes As Salam Gerendeng (1985-1988); Ponpes Al Falahiyyah Sumedang (1988-1990); Ponpes Al Ma’arif Bantar Gedang Tasikmalaya (1990-1991); Ponpes Al Fattah Ciamis (1991-1992); Ponpes Raudhotul Mardiyyah Kudus (1992-1994); Perguruan Tinggi Ilmu al Qur’an (PTIQ) Jakarta (1994-1998).

Pada saat di Perguruan Tinggi beliau sudah melakukan beberapa kajian tentang Al-Qur’an sambil melakukan pengajaran di beberapa Masjid dan Instansi Pemerintah sampai sekarang, antara lain: Masjid al Muttaqin membahas tentang Tafsir al-Qur’an; Masjid al Huda membahas tentang Hadist; Masjid Raudhotul Jannah: Tafsir Tematis al-Qur’an; Taklim para Lurah se Kecamatan Serpong; Tafsir Tematis al-Qur’an; Masjid al Huda: Terjemah dan Tafsir al-Qur’an; Masjid al-Hidayah: Terjemah dan Tafsir al- Qur’an; Masjid al-Maghfiroh: Fiqh dan Terjemah al-Qur’an; Majlis Taklim al-Qodr: Fiqh; Mushola al Hikmah; Hadist.

Dari hasil kajian beliau dan pengajaran yaitu menghasilkan beberapa metode pengajaran yang dirasa sangat mudah. Karya-karya yang sudah dipublikasikan secara terbatas adalah: KB3Q (Kartu Belajar, Bermain dan Bercerita al-Qur’an); TAQWA (Tarjamatul Qur’an lil Awlad); TAFAQUH (Tablimu Fahmil Qur’an bi Maudhu’ihi), TASQU (Tafsir Saku al-Qur’an); KamusQU (Kamus al-Qur’an). Beliau hijrah dari Tangerang ke Padarincang sekitar tahun 2020-an dalam upaya menyebarkan syari’at Islam. Memberikan corak pemikiran yang baru tentang Tasawuf, apa itu makna ahli Hikmah dan apa itu ahli Tarekat.

Adapun beliau mulai mendalami ajaran Tarekat yaitu pada saat beliau menempuh pendidikan di Kediri dengan mulai melakukan riyadoh-riyadoh, dan mengambil beberapa sanad keilmuan di daerah Jawa Barat. Adapun sanad Tarekat Syattariyyah beliau mengambil dari KH. Mustanjid Tajudin Kresek-Banten. KH. Arif Hidayat menerima sanad keilmuan Tarekat Syattariyyah dari KH. Mustanjid Tajudin kepada KH. Syekh Ma’mun kepada Syekh Muhammad Ali al-madinah kepada Syekh Ismail kepada Syekh Soiman kepada Syekh Hasan kepada Syekh Zaenudin kepada Syekh Cinding kepada Syekh Ciliwulung kepada Syekh Kyai Raden Keyep Sumedang kepada Sultan Pangeran Jaga Lautan kepada Sultan Maulana Hasanudin kepada Syekh Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati kepada Syarif Abdullah. Dan mulai mengajarkannya dari sekitar tahun 2003, dan mulai matang mengajar Tarekat di tahun 2005 di kawasan Tangerang sampai dengan sekarang. Selain mengajar di masjid-masjid beliau juga merupakan salah satu dosen di STISNU Tangerang mengajar beberapa mata kuliah seperti Tafsir dan fiqh, sedangkan mengajar Tarekat di masjid-masjid.

KH. Arif Hidayat merupakan mursyid Tarekat Syattariyyah yang sangat selektif, tidak semua orang dapat menerima ijazah darinya. Hal ini di sebabkan standarisasi dari ajaran Tarekat Syattah itu sendiri. Beliau selain memegang penuh ijazah Syattariyyah juga memegang otoritas ijazah TQN. Adapun murid-murid yang sudah beliau ijazahi yaitu Dr. Suhada dan Drs. Muhammad Syamsul yang dianggap sudah memenuhi kriteria pengamal Tarekat syattariyyah selain 2 orang tersebut ada juga salah satu muridnya yang bernama Maulana, dia diijazahi Tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyyah. Mayoritas murid-murid beliau berdomisili di daerah Tangerang.

Sedangkan santri-santri yang berada di pondok pesantren Shadana Padarincang, yang menjadi tempat tinggal  beliau sekarang baru diajarkan ilmu-ilmu dasar seperti: Fiqih; Nahwu; Shorof; dan Tafsir. Kyai Arif Hidayat mengatakan bahwa orang yang berTarekat harus memiliki kemampuan membaca kitab-kitab klasik yang diajarkan di pondok pesantren dengan baik dan benar. Sehingga tidak ada penyalahgunaan makna hakikat dari Tarekat, karena orang yang berTarekat harus mampu menafsirkan setiap kalimat yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih maupun tasawuf. Hal ini disebabkan banyak penyalahgunaan makna tentang seseorang yang ahli dalam berTarekat.

KH. Arif Hidayat juga mengatakan bahwa Tarekat merupakan perpaduan antara kemampuan literasi dan amaliyah dalam upaya mengenal hakikat Tuhan. Karena dalam pandangan Ibnu Arobi bahwa alam semesta ini hanyalah fatamorgana sehingga yang wujud (ada) hakikatnya hanya ada Allah semata. Selain daripada itu orang berTarekat harus memiliki masa yang lama dalam mengamalkan dzikir-dzikir yang terkandung dalam kitab ajaran di setiap Tarekat yang dianut. Dalam mengamalkan Tarekat maka harus terdapat nilai-nilai tasawuf didalamnya. Apabila tidak didapati nilai-nilai tasawuf maka amaliyah tersebut hanya berupa dzikir-dzikir saja tidak disebut sebagai Tarekat. 

Lebih lanjut bahwa didapati dalam makna Tarekat mengandung 2 unsur yang sangat penting. Adapun 2 unsur tersebut, yaitu literasi dan amal (perbuatan). Adapun amal perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan literature dan memiliki nilai-nilai tasawuf, seseorang yang memiliki keinginan untuk mendalami Tarekat maka harus mempelajari 2 bab utama pertama, bab tasawuf Akhlaqi dan kedua tasawuf Falsafi . Jika seseorang memahami dan mengamalkan dengan secara kaffah maka orang tersebut bisa dikatakan sebagai ahli Tarekat.

 

Pembahasan

Pengertian Tarekat

Kata Tarekat bermula dari bahasa arab yakni Thariqah yang artinya jalan, cara, metode, sistem, aliran, mazhab, ataupun keadaan (Munawwir, 1997), Namun kata Thariqah ini diformalkan kedalam bahasa Indonesia menjadi tarekat atau tarikat. Tarekat merupakan sebuah metode ataupun jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Harun, 1992), Sedangkan dalam kajian tasawuf, tarekat merupakan perjalanan seorang salik menuju Tuhan dengan upaya menyucikan diri agar dapat sedekat mungkin dengan Allah Swt (Masyhuri, 2014).

Apabila dilihat dari sisi lain tarekat mempunyai tiga skema yaitu, skema kerahasiaan, skema kekerabatan persaudaraan dan juga skema hierarki seperti khalifah, tawajjuh atau suluk, dan juga mursyid. Dari beberapa penafsiran tarekat di atas dapat disimpulkan bahwa, tarekat yaitu jalan yang ditempuh oleh seorang sufi agar dapat sedekat mungkin dengan Tuhan melalui amalan-amalan tertentu.

Nisbih al-Syathar berasal dari kata Syathara yang berarti membelah dua atau tampak belah, maksud dari kalimat tersebut yakni kalimat Tauhid yang dihayati dalam Dzikir nafi Itsbat, La ila’ (nafi) dan ilaha (itsbat), yang merupakan pembaiatan dari gurunya atas derajat spiritual yang  telah dicapainya. Selanjutnya, Tarekat Syattariyyah merupakan salah satu aliran tarekat yang dipelopori oleh Syaikh Abdullah Al-Syaththar, beliau ialah sosok ulama yang populer pada zamannya, keilmuan beliau tidak perlu diragukan lagi karena keilmuannya sudah bersanad langsung kepada baginda Rasulullah SAW. Syaikh Abdullah Al-Syaththar lahir pada tahun 1376 dan wafat pada tahun 1429/1485 M, dalam masa hidupnya beliau menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu kepada para syaikh-syaikh termasyhur yang keilmuannya sudah bersambung kepada Nabi Muhammad SAW sehingga Syekh Abdullah Al-Syatthar mampu mewujudkan tarekat Syattariyyah yang masih mempunyai wasilah keluarga kepada Syaikh Syihab Al-Din Abu Hafsh Umar Shurawardi yakni pendiri Tarekat Suhrawardiyah.

Perkembangan tarekat Syattariyyah disebarluaskan oleh murid-muridnya yang terkenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) sehingga sampai ke Indonesia yang di bawa oleh Abdul Rauf singkel (1024 H/1615 M1105 H/1693 M), beliau lahir di Aceh dan pada masa hidupnya beliau menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu termasuk ilmu tarekat dan tasawuf. Karena kegigihan beliau tarekat Syattariyyah dapat merintis keluar wilayah Aceh yang disebarluaskan oleh murid-muridnya di berbagai daerah seperti Sumatra Barat yang di kembangkan oleh Syaikh Burhanuddin, daerah Kuningan sampai ke daerah Tasikmalaya oleh Syekh Abdul Muhyi, dan dari Jawa Barat, Tarekat ini kemudian menyebar luas ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Penyebaran Tarekat Syattariyah Di Sulewasi Selatan dibawa oleh salah satu tokoh Tarekat Syattariyyah yang cukup populer dan juga salah satu murid Ibrahim Al-Kurani yaitu Yusuf Tajul Khalwati (1629 1699). Sejak saat itulah Tarekat Syattariyah masuk ke wilayah Banten dan kemudian dikembangkan oleh Hamzah fansuri yang pernah mengembara di Banten khususnya di Istana Kesultanan Banten lalu mengembangkan tarekat Syattariyyah kepada Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Pada saat itu tarekat Syattariyyah sangat populer sekali di kalangan masyarakat Banten, namun pada masa Kesultanan Ageng Tirtayasa sudah tidak populer lagi karena pada masa itu Tarekat Syattariyah di kembangkan oleh Sultan Haji atau Syaikh Abdullah Ibnu Abdul Kohar Al-Syatari al-Bantani yang beranggapan tarekat ini berlawanan dengan politik.

 

Ajaran Tarekat Syattariyah di Banten

Ada beberapa ajaran pokok Tarekat Syattariyah yang akan dikemukakan oleh penulis diantaranya tentang Wahdat al Wujud, Dzikir, Talqin dan Baiat.

a)   Wahdat al Wujud

Kajian wahdat al-wujud merupakan benih munculnya faham wujudiyyah, pada dasarnya ajaran ini bermula dari Ibnu „Arabi (w.1240 M). Ibnu Arabi menyebutkan dalam kitabnya Fushush al-Hikam : wa lakinna alwujud al-wujudiyyah, artinya al-mansubah ila al-wujud al-muthlaq wa hiya al-mawjudat al-afaqiyat, maksudnya semua itu adalah al-wujudiyah yang dinisbahkan kepada al-wujud al-muthlaq (Allah SWT) dan Dia mawjudat yang tertinggi. Jadi wujud yang tertinggi adalah Allah yang Maha Tunggal, tiada wujud selain Dia, maka makna tunggal itu adalah huwa la huwa (Dia bukan Dia), anta la anta (Engkau dan tidak Engkau), pemahaman seperti ini muncul berawal dari memahami ayat al-Quran yang berbunyi, Huwa alAwwal wa al-Akhir wa al-Zhahir wa al-Bathin (QS. Al-Hadid ayat 3), Dia itu ayn (zat) dari sesuatu yang nyata dan Dia zat dari sesuatu yang bathin (Khatib, 2012). Sesuatu yang ada ini, menurut Ibnu Arabi, dijadikan Tuhan untuk menampakkan Dia guna diketahui, maka pada hakikatnya sesuatu itu adalah Dia. Pengertian seperti ini dilanjukan oleh muridnya dan para pengagumnya.

Abdul Rauf dalam kitabnya Tanbih al-Mashi dan Kifayat alMuhtajin menguraikan tentang hubungan ontologis antara tuhan dan alam, anatara Haq dan al-Khalq, antara sang pencipta dan ciptaan-Nya, antara alwujud dan al-mauwjudat, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat. Dari sini kemudian Abdul Rauf memberikan penjelasan yang berisi reinterpretasi sekaligus konsepnya atas doktrin wahdat al-wujud.

Dalam Tanbih al-Mashi Abdul Rauf menjelaskan bahwa kewajiban pertama seorang murid adalah menegaskan al-Haq itu sendiri, Abdul Rauf mengatakan:

Sesungguhnya kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan alHaq Swt, dan mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat: la ilaha illa Allah, yang menghimpun tingkatan tauhid”.

Dalam Kifayat al-Muhtajin, penekanan Abdul Rauf terhadap pentingnya mengesakan al-Haq ini diungkapkan dengan kalimat:

“Hai segala manusia, sembah oleh kamu Tahan kamu, yakni tauhidkan oleh kamu yang menjadikan kamudan segala mereka yang terdahulu daripada kamu dengan berbuat ibadah kepada-Nya, maka banyak-banyaklah atas kita mentauhidkan Tuhan kita padahal kita mengikuti suruh-Nya dengan mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah yang ia menghimpun segala martabat tauhid”.

Dalam kutipan di atas Abdul Rauf menjelaskan ikrar tauhid yang diungkapkan oleh seorang murid harus diiringi dengan penegasan untuk menghilangkan segala atribut, baik sifat maupun perbuatan, yang tidak layak disandang oleh al-Haq. Penegasan tersebut Nampak dalam satu kalimat yaitu la ilaha illa Allah yang mengandung empat tingkatan tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af‟al (mengesakan perbuatan Allah), tauhid sifat (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid dzat (mengesakan dzat Allah).

Kemudian tentang wujud-nya alam, menurut Abdul Rauf, alam hanya merupakan bayangan Tuhan, tidak bisa menjadi wujud-Nya. Jadi alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, dan karena itulah Tuhan bersifat transenden. Alam termasuk manusia di dalamnya, dengan demikian tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran bayangan itu tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan.

Istilah bayangan menurut Abdul Rauf di atas tidak bisa disamakan dengan pantulan bayangan sesesorang di dalam sebuah cermin, dan alam beserta manusia di dalamnya merupakan bayangan dari yang punya bayang yaitu Allah, akan tetapi bayangan yang dimaksudkan disini adalah alam dan manusia di dalamnya merupakan ciptaan Allah, dan ia tidak merupakan bagian zat Allah melainkan makhluk-Nya dan ia juga tidak bisa menyatu dengan Allah, akan tetapi keberadaannya merupakan bukti adanya Allah dan sebagai sarana untuk mengenal Allah, dan kehadirannya sangat bergantung kepada pemilik dan penciptanya yaitu Allah.

b)  Konsep tentang Zikir

Zikir menurut al-Qushashi seraya mengutip Ahmad ibn Ata Allah al-Iskandari dalam al-Simt al-Majid, adalah “al-takhallus min al-gaflah wa al-Nis-yan bidawami huduri al-qalbi ma’a al-Haq” artinyamembersihkan diri dari khilaf dan lupa dengan senantiasa menghadirkan al-Haq (Tuhan) di dalam hati” dan kalimat zikir yang terbaik adalah dengan membaca kalimat tahlil, yakni la ilaha illa Allah (Fathurahman, 2008).

Abdul Rauf dalam kitabnya Tanbih al-Masyi menyebutkan ada dua cara dalam melafalkan zikir itu yaitu dengan nyaring (jahar) dan pelan (sirr). Tetapi di dalam kitab ini tidak disebutkan dalil dari kedua zikir itu, dalilnya disebut dalam karnya yang lain seperti pada Umdat al-Muhtajin, Syaththariyyah, dan Daqa’iq al-Huruf (Khatib, 2012).

c)   Zikir Jahar

Zikir jahar adalah menyebutkan kalimah la ilaha illa Allah dan zikir lainnya dengan menyaringkan suara sekedar hajat atau secara sederhana (tidak terlalu keras dan tidak pula dengan sir). Adapun zikir jahar seperti ini dibagi lagi kepada dua bagian yaitu nafi itsbat dan itsbat saja.

 

 

 

Zikir Nafi Istbat

Dalam kitab Umdat al-Muhtajin dijelaskan bahwa ada empat cara melakukan zikir nafi itsbat ini yaitu :

Pertama, yaitu duduk bersila dengan meletakkan tangan di atas kedua paha, mata dipejamkan, memulai kalimah la dari lambung kiri dengan kepala menunduk, mengangkat kepala maka sampai lafaz ilaha pada bahu yang kanan sambil berniat membuang selain dari Allah di dalam hati, dari bahu yang kanan itu dipukulkan lafaz illa Allah itu ke dalam hati dengan niat supaya masuk ke dalam hati nur atau cahaya dan berbekas kata itsbat itu dalam hati.

Kedua, yaitu duduk bersila, jepitkan ibu jari kaki kanan ke lambung (lutut betis kaki kiri), meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha, anak jari tangan dijarangkan, tundukkan kepala hingga sampai jenggot (bagi yang berjenggot) ke kelingking tangan kiri, dari sini dimulai menyebut la ilaha dan mengangkat kepala sampai pada bahu yang kanan, kemudian diputar lagi kepala itu ke lutut yang kanan dengan mencondongkan kepala ke belakang dan memukulkan sebanyak tiga belas kali ketempat memulainya itu.

Ketiga, yaitu duduk bersila, jepitkan ibu jari yang kanan ke lambung lutut kaki yang kiri, meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha, anak jari dibukakan, tundukkan kepala ke kelingking jari tangan yang kanan hingga sampai jenggotnya (bagi yang berjenggot) ke kelingking itu, dari sana mulai menyebut la ilaha dengan memutarkan kepala ke lutut kanan, membukakan kedua mata serta menafikan semua uluhiyyah dan semua yang terlihat, memejamkan mata sewaktu menyebut illa Allah serta meng-itsbat-kan ilahiyah hanya kepada Allah ta’ala.

Keempat, yaitu duduk bersila, jepitkan ibu jari ke lambung lutut, meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha, tundukkan kepala sampai ke kelingking kiri, dari sana mulai menyebut la ilaha dengan mengangkat kepala, kemudian memukulkan lafaz illa Allah itu sekali kepaha kanan, sekali ke paha kiri, sekali ke antara dua paha dan sekali atas pusat (Khatib, 2012).

1)  Zikir Itsbat

Adapun zikir itsbat terbagi kepada lima macam :

a)  Itsbat saja, yaitu illa Allah, illa Allah

b)  Itsm al-Dzat, yaitu Allah, Allah

c)  Adakalanya huwa, huwa

d)  Adakalanya hu Allah, hu Allah dan

e)  Adakalanya Allah hu, Allah hu

Cara melakukan zikir itsbat itu dimulai lafaz hu Allah itu dari pusat dengan isyarat dan menghela sampai ke atas kepala dan menengadahkan kepala ke langit, kemudian dipukulkan dari kepala itu lafaz Allah dengan pukulan yang sangat keras ke pusat dan mengulangi sampai ke hati dan menahan nafas sewaktu menyebut lafaz Allah itu, tiga kali, lima kali, tujuh kali, Sembilan kali dan seterusnya (Khatib, 2012).

Abdul Rauf berulangkali menyebutkan bahwa zikir Allah, hu Allah dan sebagainya itu dikerjakan setelah sempurnanya zikir la ilaha illa Allah. Zikir la ilaha illa Allah itu lebih afdhal dan lebih sempurna dari yang lainnya. Untuk kesempurnaannya itu, dianjurkan melalui petunjuk guru.

2)  Zikir Sirr

Zikir sirr maksudnya adalah la ilaha illa Allah dan zikir lainnya yang tidak dilafalkan dengan bersuara, tetapi dibaca di dalam hati seperti lidah membacanya dengan berulang kali. Kemudian pindah ke batin zikir itu yaitu tawajjuh dan muraqabat. Tawajjuh artinya hadir hati dengan Allah dan muraqabat artinya selalu merasa diintip dan mengintip-Nya. Dan zikir sirr itu ada tiga, yaitu zikr hifzh al-anfas, zikr al-qalb dan zikr istila’.

1.   Zikir hifzh al-anfas adalah zikir dengan mengatur pernafasan dan membayangkan kalimah yang pertama yaitu la ilaha sewaktu keluar nafas dan kalimah kedua yaitu illa Allah waktu masuknya nafas, demikian dikerjakan terus menerus, seharusnya sesuai petunjuk gurunya.

2.   Zikir al-qalb artinya zikir hati, Abdul Rauf tidak menjelaskan caranya dan pengertiannya dalam kitabkitabnya itu. Hal ini menurut penulis mungkin dibutuhkan guru dan musyid untuk membimbing dan mengajari tata caranya agar tidak salah dalam mengamalkannya. Setelah diperhatikan keterangan - keterangan sebelumnya, bahwa sebagian yang hendak dituju dari zikir al-qalb ini adalah agar tertanamnya zikir itu di dalam lubuk hati, agar hati itu juga berzikir seperti halnya lidah berzikir, setelah bibir dirapatkan bahwa yang berzikir adalah hati.

3.   Zikir istilamaksudnya adalah dikerjakan dengan menahan nafas, lidah ditopangkan ke langit-langit, kemudian menuliskan kalimat la ilaha illa Allah itu dengan qalam pikir (sebagai penanya adalah pemikiran saja). Faedah zikir istilaini sangat banyak sekali, ada yang mengatakan, bila dapat disuratkan kalimah la ilaha illa Allah itu dengan qalam (pena) piker dalam waktu satu nafas sebanyak dua puluh empat kali, hasilnya adalah mukasyafat. Cara menuliskannya itu perlu petunjuk guru.

4.   Zikiribarat, dengan cara memejamkan mata sewaktu melihat sesuatu dan dibukakanya kedua matanya yang disertai mentashwirkan (menggambarkan) ism al-dzat (Allah,Allah) dan dikerjakan tiap-tipa keadaan.

Selain itu di dalam tarekat ini juga dikenal dengan tujuh macam zikir muqaddimah, sebagai sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam zikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam zikir itu sebagai berikut:

1.   Zikir thawaf, yaitu zikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan Illa Allah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kirakira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.

2.   Zikir nafi itsbat, yaitu zikir dengan La Ilaha Illa Allah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, La Ilaha, ketimbang itsbat-nya, Illa Allah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.

3.   Zikir itsbat faqat, yaitu berzikir dengan Illa Allah, Illa Allah, Illa Allah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.

4.   Zikir Ismu Dzat, zikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.

5.   Zikir Taraqqi, yaitu zikir Allah-Hu, Allah-Hu. Zikir Allah diambil dari dalam dada dan dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Zikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.

6.   Zikir Tanazul, yaitu zikir Hu-Allah, Hu-Allah. Zikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Zikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.

7.   Zikir Isim Ghaib, yaitu zikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa (Agustianda, 2016).

Ketujuh macam zikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).

Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:

1.   Nafsu Ammārah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifatsifat berikut: Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.

2.   Nafsu Lawwāmah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.

3.   Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.

4.   Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.

5.   Nafsu Rādhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhūd, warā‟, riyādlah, dan menepati janji.

6.   Nafsu Mardhiyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.

7.   Nafsu Kamīlah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifatsifatnya: Ilmul yaqīn, ainul yaqīn, dan haqqul yaqin.

Masih berkaitan dengan konsep zikir dalam tarekat syattariyah, Syaikh Baha'uddin dalam kitab Risalah Syattariyah juga membagi zikr menjadi tiga kategori, yaitu:

1.   Menyebut nama-narna Allah yang berhubungan dengan sifat-sifat-Nya Yang Agung (jalal) seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir,

2.   Menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan sifat-sifat-Nya Yang lndah (jamal) seperti al-Malik, al-Quddus, al- 'Alim, dan

3.   Menyebut nama-nama Allah secara umum yang menyangkut sifa-tsifat keduanya, seperti al-Mukmin, al-Muhaimin, dll.

Dengan berzikir menggunakan nama-nama Allah yang termasuk kategori pertarna diharapkan bagi sufi pemula hatinya bertambah patuh kepada Allah. Adapun jika berzikir dengan menggunakan nama-nama Allah yang tergolong dalam kategori kedua akan membuat hati kita bertambah halus, sedangkan berzikir dengan nama-nama Allah yang tergolong dalam kategori ketiga (gabungan keduanya) diharapkan membuat hati kita menjadi bersih dan suci.

Dalam tarekat syattariyyah selain dijelaskan konsep zikir juga dijelaskan tata cara atau adab dalam pelaksanaannya,dalam hal ini terdapat sebanyak 20 macam adab berzikir, yaitu lima sebelum zikir, dua belas sewaktu zikir dan tiga sesudah zikir. Adab sebelum zikir ialah : 1). Taubat, 2). Mandi atau berwudhuk, 3). Diam untuk memperoleh kebenaran 4). Meminta pertolongan syaikh, 5). Meyakini bahwa pertolongan syaikh sama dengan pertolongan dari Nabi Muhammad SAW, karena syaikh itu adalah pewarisnya.

Kemudian adab dalam zikir adalah : 1). Duduk ditempat suci, 2). Meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha, 3). Berwangiwangian di tempat zikir, 4). Memakai pakaian yang baik, suci, halal, dan lagi harum, 5). Memilih tempat yang agak gelap (sunyi), 6). Memejamkan kedua mata, 7). Membayangkan syaikhnya, 8). Shidiq dalam zikir (dilihat orang atau tidak), 9). Ikhlas, 10). Memilih kalimah la ilaha illa Allah, 11). Menghadirkan makna zikir, 12). Meniadakan segala wujud di dalam hati.157Adapun adab setelah berzikir ialah : 1). Tetap berdiam diri sekedarnya, 2). Mengatur nafas secara berulang-ulang, 3). Tidak minum air sesudah berzikir.

 

Ajaran Tentang Talqin

Ajaran Tarekat Syattariyyah yang selanjutnya adalah talkin. Talkin adalah langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang di bai’at menjadi anggota tarekat dalam menjalani dunia tarekat. Menurut alQusashi dalam karyanya al-Simt al-Majid menjelaskan diantara tata cara talkin adalah calon murid terlebih dahulu meninap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh Syaikh-nya selama tiga malam dan dalam keadaan suci (berwudlu). Setiap malamnya ia harus melaksanakan sholat sunnah sebanyak enam raka’at dengan tiga kali salam. Pada raka’at pertama dari dua raka’at pertama, setelah selesai membaca surah al-Fatihah membaca surah al-Qadr enam kali, kemudian setelah raka’at kedua setelah baca surah al-Fatihah baca surah al-Qadr dua kali, pahala shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, seraya mengharap pertolongan dari Allah.

Selanjutnya pada raka’at pertama dari dua raka’at kedua, setelah selesai baca surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, dan pada raka’at kedua setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan kepada arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Terahir pada raka’at pertama dari dua raka’at ketiga setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada raka‟at kedua setelah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini pahalanya dihadiahkan kepada para arwah guru-guru tarekat , keluarga, shabat, dan para pengikutnya. Kemudian setelah rangkaian shalat diatas selesai lalu ditutup dengan membaca shalawat kepada nabi sebanyak sepuluh kali.

Kemudian murid disuruh untuk duduk bersila dan dia membaca jaza Allah „anna sayyidina Muhammad shalla Allah alaiyh wa sallama ma huwa ahluhu, seribu kali. Selesai memca jaza Allah itu maka hendaklah murid itu tidur dengan membaringkan badan dengan mendekatkan lambungnya ke tikar serta menghadirkan Nabi Muhammad SAW di hadapannya seolah oleh ia melihat kepada beliau dengan membaca zikir yang tersebut di atas dengan tidak terhingga jumlahnya hingga sampai ia tertidur. Sekiranya Syaikh menyuruh membaca yang lain, maka hendaklah dibaca shalawat yaitu Allahumma ya rabbi Muhammad shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammadin wajzi Muhammadan anni ma huwa ahluh 1000 kali dan la ilaha illa Allah 1000 kali, kemudian shalawat 100 kali lagi dan seterusnya bershalawat dengan tidak ada batasnya sampai tertidur.

Setelah itu murid hendaklah memberitahukan kepada syaikhnya tentang mimpinya selama 3 malam itu. Pada subuh ketiga itu, diajarkanlah kepadanya kaifiyat dan adab zikir seperti tersebut terdahulu, bila syaikh mempertimbangkan dapat langsung di bai’at.

 

Ajaran Tentang Bai’at

Bai’at dalam tarekat syattariyah adalah suatu perjanjian dengan Allah yang dilafalkan oleh seorang murid dengan syaikhnya sebelum mengambil tarekat gurunya itu, bahwa ia berjanji dengan dengan kerelaan hati menerima segala ketentuan dari Allah SWT karena Allah SWT itu adalah Tuhannya, menerima segala suruhan dan larangan dari Nabi Muhammad SAW, karena dia adalah Nabinya, menerima semua orang mukmin, muslim, sekalipun miskin sebagai saudaranya dan menerima syaikh itu sebagai syaikhnya, guru, pembimbing daan penunjuknya.

Secara teknis, menurut al-Qushashi, bai’at dilakukan antara lain dengan cara murid meletakkan kedua tangan di bawah tangan syaikh, yang diiringi ikrar kesetiaan dari murid, kemudian syaikh menggenggam kedua tangan murid sebagai tanda menerima kehadirannya lahir dan batin, dunia dan akhirat. Setelah itu syaikh menasehati murid agar bertaubat dengan mengucapkan istigfar (permohonan ampun), membaca talqin 3 kali, mengusah kopiah atau bagian dari pakaian murid sebagai simbol berpindahnya keadaan murid menjadi anggota tarekat.

Kemudian Syaikh menyuruh murid untuk bersalaman dengan seluruh jamaah yang hadir sebagai simbol masuknya murid ke dalam jamaah tarekat, dan terakhir Syaikh memberikan nasihat agar murid menjauhi hal-hal yang haram dan makruh, mencintai segala perbuatan sunat, terakhir syaikh mengingatkan agar murid tidak mengingkari janji yang telah diikrarkannya, karena hal itu dapat di anggap sebagai perbuatan murtad.

Cara lain untuk melakukan bai’at adalah, murid meletakkan kedua tangannya di bawah tangan guru, keduanya sama-sama terbuka, sekiranya murid itu laki-laki, bila murid itu wanita harus pakai antara, baik itu pakai kain, bejana dan sebagainya, yang dipegang adalah kain itu, atau di bai’at dengan ucapan saja. Kemudian guru membaca lafaz bai‟at dan terjemahannya, murid mengikuti kalimat demi kalimat sebagaimana yang diucapkan guru itu, kalimatnya sebagai berikut :

Artinya: Aku berlindung kepada Alllah dari golongan syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang berjanji (bai’at) dengan engkau. Sesungguhnya mereka berjanji dengan Allah, tangan Allah di atas tangan mereka, barang siapa yang melanggar akan bai‟at itu, maka bahaya pelanggarannya itu atas diri sendiri, dan barang siapa yang menyempurnakan apa yang telah dijanjikan Allah atasnya, maka Allah akan memberikan pahala yang sangat besar kepadanya. Aku rela Allah menjadi Tuhanku, dan aku rela Islam menjadi agamaku, dan aku rela Mehammad SAW menjadi Nabiku, aku rela al-Quran menjadi imamku, aku rela Ka’bah menjadi kiblatku, Aku rela dengan syaikh ku menjadi syaikh, menjadi guru yang mendidikku dan yang akan menunjuki ku, dan dengan semua orang fakir yang mengikut akan agama Allah menjadi saudaraku, bagiku apa yang bagi mereka dan atas apa yang atas mereka, apa yang atas ketaatan menghimpun akan kita, dan kemaksiatan akan menceraikan akan kita.

Setelah itu guru membaca istiqfar berikut ini tiga kali dengan niat mengajarkan zikir serta bai’at dan murid mengikutinya:

Guru membaca kalimat ikhlash  (dan murid mengikuti, sewaktu guru membaca murid mendengar, sewaktu murid membaca murid mendengarkannya, seperti itu lah 3 kali, kemudian ditutup dengan guru membaca do’a bai’at dan murid mengaminkan, do‟anya sebagai berikut:

“Ya Allah, terimalah ia, bukakan pintu setiap kebaikan kepadanya sebagaimana Engkau telah bukakan pintu kebaikan kepada para Nabi, para wali, dan hamba-hambamu yang shaleh”.

Al-Qushashi memberikan catatan bahwa apabila murid yang melakukan bai’at itu adalah seorang perempuan, maka kontak tangan tidak perlu dilakukan cukup melalui nasihat lisan dari Syaikh saja. Adapun bai’at bagi anak-anak yang masih di bawah umur, menurut al-Qushashi, seraya mencontohkan apa yang pernah dilakukan Nabi, adalah dengan cara mengusapkan kepalanya, mendoakannya, dan berqurban seekor kambing yang ditanggung oleh keluarganya.

 

 

 

Kesimpulan

Tarekat atau Thariqah yang berarti jalan, cara, metode, sistem, aliran, mazhab, keadaan. Sedangkan kata Thariqah ini dibakukan kedalam bahasa Indonesia menjadi tarekat atau tarikat. Tarekat ialah cara atau jalan orang Islam untuk sedekat mungkin dengan Allah Subhanahu Wata’ala.  Sedangkan menurut istilah tasawuf, tarekat ialah perjalanan seseorang salik menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk bisa sedekat mungkin dengan Tuhan. Tarekat Syattariyyah pernah menjadi tarekat terpopuler di kalangan masyarakat Banten khususnya ketika era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Seiring bergantinya kepemimpinan maka mengalami pergeseran dan pandangan dikalangan para pengauasa kala itu. Setelah kepergian Abdullah ibn Abdul Qohhar tarekat Syattariyyah tidak sepopuler seperti dahulu. Akan tetapi ajarannya tetap ada meski tidak seperti tarekat yang lainnya. Setelah adanya forum Jam’iyyah Ahlith Thariqah aI-Muktabarah an-Nahdliyah (JATMAN) khususnya di Banten, maka bermunculan informasi-informasi tentang tarekat-tarekat yang masih masif  diajarkan  selain TQN. Yaitu seperti Syattariyyah yang ditemukan masih  di ajarkan di daerah Tanara dan padarincang.

Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran tarekat Syattariyyah tentunya untuk melawan hawa nafsu, agar semakin dekat kepada Allah.  Adapun nafsu-nafsu itu Nafsu Ammarah, Nafsu Lawwamah, Nafsu Mulhimah, Nafsu Muthmainnah, Nafsu Radhiyah, Nafsu Mardhiyah, Nafsu Kamilah. Pastinya untuk menghilangkan dan melawan nafsu-nasfu tersebut maka perlu ilmu pengetahuan yang luas, pengalaman dan pengamalan yang terus menerus.

 

BIBLIOGRAFI

 

Abidin, M. Z. (2012). Ulama Banjar Kharismatik Masa Kini Di Kalimantan Selatan: Studi Terhadap Figur Guru Bachiet, Guru Danau, dan Guru Zuhdi. Al-Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, 11(2). https://doi.org/10.18592/al-banjari.v11i2.421

Abduh, M. A. (2017). Peran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah Syekh Abdul Wahab Rokan (Dalam Dakwah dan Pendidikan Islam di Riau dan Sumut). Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 11(2). https://doi.org/10.24014/af.v11i2.3858

Abitolkha, A. M., & Muvid, M. B. (2020). Melacak Tarekat-Tarekat Muktabar Di Nusantara. Goresan Pena.

Adan, H. Y. (2019). Para auliya dan shalihin Nanggroe Aceh. ’Adnin Foundation Publisher Aceh.

Agustianda, A. (2016). Perkembangan pemikiran tasawuf Syekh Burhanuddin di Kalangan masyarakat Minang kota Medan. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Azhari, A., Musthofa, M., & Wahidin, K. (2021a). Sejarah dan Ajaran Tarekat Syattariyyah di Keraton Keprabonan. Jurnal Sosial Sains, 1(5). https://doi.org/10.36418/sosains.v1i5.100

Azhari, A., Musthofa, M., & Wahidin, K. (2021b). Sejarah dan Ajaran Tarekat Syattariyyah di Keraton Keprabonan. Jurnal Sosial Sains, 1(5). https://doi.org/10.59188/jurnalsosains.v1i5.100

Azra, A. (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah. Prenada Media.

Fadly, F. (2018). Pemahaman Keagamaan Islam di Asia Tengggara Abad XIII-XX Islamic Religious Understanding in Southeast Asia in the XIII-XX Century. Millah, 18(1).

Fanani, A. (2012). Ajaran Tarekat Syattariyyah Dalam Naskah Risālah Shattariyyah Gresik. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(2). https://doi.org/10.21580/ws.20.2.203

Fathurahman, O. (2008). Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Prenadamedia Group.

Hanifiyah, F. (2019). Konsep tasawuf Sunni: Mengurai tasawuf akhlaqi, al-maqamat dan ahwal, al-ma’rifah dan mahabbah perspektif tokoh Sufi Sunni. AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman, 6(2), 214–231.

Harun, N. (1992). Falsafah dan mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 3.

Ihsan, N. H. (2012). Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Indonesia. Kalimah, 10(2).

Khatib, S. B. (2012). Tarekat Abd Al-Rauf Singkel Dalam Tanbih Al-Masyi. Padang: Hayfa Press.

Masyhuri, A. (2014). Ensiklopedi 22 aliran tarekat dalam tasawuf. Imtiyaz.

Mu’min, M. (2014). Sejarah Tarekat Qodiriyah Wan Naqsabandiyah Piji Kudus. Fikrah, 2(1).

Munandar, S. A., & Hoiriyah, N. (2020). Pengaruh Zikir Tarekat Syattariyyah Dalam Pembentukan Kepribadian Santri Di Pondok Pesantren Ar-Ramly Giriloyo Wukirsari Imogiri Bantul. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling Dan Dakwah Islam, 17(1). https://doi.org/10.14421/hisbah.2020.171-05

Munawwir, A. W. (1997). Kamus al-munawwir arab-indonesia (Vol. 1488). Pustaka Progresif.

Nazirman, N., Saharman, S., & Sihombing, A. M. (2021). Sheikh Burhanuddin’s Cultural Da’wah System in Minangkabau. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 15(2). https://doi.org/10.15575/idajhs.v15i2.14888

Riyadi, A. (2016). Tarekat sebagai organisasi tasawuf (Melacak peran tarekat dalam perkembangan dakwah islamiyah). At-Taqaddum, 6(2), 359–385.

Rosidin, D. N. (2019). Jaringan Ulama Cirebon: Keraton, Pesantren dan Tarekat.

Sefriyono. (2020). Tarekat And Peace Building: A Study Of The Inclusivism Of The Community Of Terekat Syattariyyah In The Nagari Of Sungai Buluah Padang Pariaman Regency. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 20(2). https://doi.org/10.22373/jiif.v0i0.5807

Setiawan, W. (2017). Tarekat sebagai Institusi Pendidikan Spiritual (Studi Fenomenologis Tarekat Syattariyyah Ponorogo). Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, Seri 2.

Shadiqin, S. I. (2017). Di Bawah Payung Habib: Sejarah, Ritual, dan Politik Tarekat Syattariyah di Pantai Barat Aceh. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19(1), 75–98.

Sirajul, U. (2021). Dinamika Tarekat Syathariyah di Sumatera Barat Tahun 1963-2020. Universitas Andalas.

Siroj, S. A. (2006). Tasawuf sebagai kritik sosial: mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Mizan Pustaka.

Syukri, Sulaiman Muhammad, S. A. (2019). Motivasi Orang Melayu Mengikuti Tarikat Syattariyyah Tuan Syekh H. Abdurrahman Silau Laut di Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan. In Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M).

Wahyuni, Y. S. (2018). Nazam Qusyasyi (Tarekat Syattariyah Ulakan): Suntingan Teks dan Analisis Isi. Ummi, 12(3), 17–28.

Yani, M. T., Mahfud, C., Rangga Sa’adillah, S. A. P., Bustami, M. R., Maskuri, & Taufiq, A. (2022). Advancing the discourse of Muslim politics in Indonesia: A study on political orientation of Kiai as religious elites in Nahdlatul Ulama. Heliyon, 8(12). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e12218

 

Copyright holder:

Siti Komariah, Latip Ridwan, Sara Yuniar (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: