Syntax Literate: Indonesian Scientific Journal p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 10, Oktober 2024

 

TINJAUAN KEBIJAKAN GLOBAL MINIMUM TAX DAN IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA

 

Daniel Belianto1, Ning Rahayu2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Penerapan Global Minimum Tax (GMT) adalah upaya global untuk mengurangi praktik perpindahan laba perusahaan dan penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. GMT merupakan representasi dari OECD Pilar Dua yang merupakan tindak lanjut dari BEPS Action Plan yang telah dicanangkan OECD sebelumnya. GMT dipandang dapat mengatasi sisa risiko penggerusan basis pemajakan dengan memastikan perusahaan multinasional membayar pajak minimum. Indonesia termasuk negara-negara anggota OECD yang tergabung dalam Inclusive Framework on BEPS telah memastikan menyetujui penerapan GMT. Namun demikian, terdapat berbagai tantangan dalam penerapannya sehingga diperlukan desain kebijakan yang baik sehingga penerapan GMT akan justru memperkuat sistem perpajakan menjadi adil dan efisien.

Kata kunci: Global Minimum Tax, GMT, OECD Pilar Dua, Pajak Internasional

 

Abstract

The implementation of Global Minimum Tax (GMT) is a global effort to reduce the practice of shifting corporate profits and tax avoidance by multinational companies. GMT is a representation of OECD Pillar Two which is a follow-up to the BEPS Action Plan that was previously launched by the OECD. GMT is seen as being able to address the remaining risk of tax base erosion by ensuring multinational companies pay minimum tax. Indonesia, one of the OECD member countries which is part of the Inclusive Framework on BEPS, has confirmed that it agrees to the implementation of GMT. However, there are various challenges in its implementation so good policy design is needed so that the implementation of GMT will actually strengthen the tax system to be fair and efficient.

Keywords: Global Minimum Tax, GMT, OECD Pillar Two, International Tax

 

Pendahuluan

Pada era globalisasi dan kemajuan teknologi, perusahaan multinasional semakin mudah untuk melakukan penghindaran pajak untuk mengurangi atau menghindari pembayaran pajak. Praktik ini umumnya dilakukan dengan cara menyembunyikan atau menghilangkan pendapatan atau aset yang seharusnya dikenai pajak, atau dengan menggunakan celah-celah dalam peraturan pajak untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan. Praktik penghindaran pajak ini semakin menjadi perhatian publik dan pemerintah di seluruh dunia karena dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi penerimaan negara dan berdampak negatif pada pembangunan ekonomi dan sosial. Menurut sebuah laporan pada 2015 dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dapat mengakibatkan kerugian pajak hingga USD 240 miliar per tahunnya. (OECD, 2015). Hal ini diperkuat dengan riset yang dilakukan oleh Cobham dan Janský pada tahun 2018 bahwa untuk anggota OECD diperkiraan kerugian pendapatan pajak karena pergeseran laba perusahaan berjumlah 0,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebaliknya, negara-negara non-OECD diperkirakan kehilangan sekitar 1,32% dari PDB.

 

A picture containing text, screenshot, diagram, font

Description automatically generated

Gambar 1. Kerugian rata-rata/PDB berdasarkan pendapatan

Sumber: Cobham dan Janský (2018)

 

Data di atas berasal dari International Monetary Fund (IMF) dan GRD (Government Revenue Dataset) yang mengacu pada nilai rata-rata perkiraan kerugian pendapatan masing-masing dengan menggunakan data IMF dan GRD. Meskipun negara-negara OECD secara konsisten yang mengalami kerugian terbesar secara absolut, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah justru mengalami peningkatan yang lebih tajam dalam kerugian pendapatan (Cobham & Janský, 2018).

Kemudian, laporan terbaru yang diterbitkan OECD pada tahun 2021, menyebutkan bahwa negara-negara di seluruh dunia kehilangan pendapatan pajak sekitar 10% dari total pendapatan pajak yang seharusnya diterima, akibat dari aktivitas penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin terutama terkena dampak dari penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, sementara negara-negara di Eropa dan Amerika Utara mengalami kerugian yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa masalah penghindaran pajak dan perpindahan basis pajak merupakan masalah global yang memerlukan solusi global (OECD. 2021).

Untuk mengatasi masalah penghindaran pajak, beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan organisasi internasional. Salah satu upaya yang diinisiasi sejak 2013 oleh OECD dan G20 adalah dengan memperkenalkan rencana aksi untuk mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). BEPS bertujuan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak dan perpindahan basis pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Pada tahun 2015, OECD menerbitkan laporan final "BEPS Action Plan" yang terdiri dari 15 tindakan konkret untuk melawan praktik perpindahan basis pajak dan penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Sejak diperkenalkannya BEPS, banyak negara di seluruh dunia telah mengambil tindakan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip BEPS, baik melalui undang-undang nasional maupun melalui perjanjian bilateral dan multilateral (OECD, 2021).

Pada tahun 2019, OECD melalui dokumen yang berjudul "Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy", mengusulkan OECD Pillar, yaitu Pillar One dan Pilar Dua, sebagai solusi untuk mereformasi perpajakan internasional dan mengatasi tantangan perpajakan yang timbul dari digitalisasi ekonomi global. OECD Pillar merupakan kelanjutan dari upaya BEPS Action Plan untuk mereformasi perpajakan internasional dengan memperhatikan pergeseran pola bisnis global dan penggunaan teknologi digital dalam perdagangan. Pilar One berfokus pada pembagian keuntungan perusahaan multinasional antara negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi, berdasarkan kriteria seperti pendapatan, lokasi, dan basis pelanggan. Sedangkan, Pilar Dua berfokus pada pengenalan Global Minimum Tax (GMT), yaitu tarif pajak minimum yang diberlakukan pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Sejak itu, OECD terus memperbarui dan memperbaiki inisiatif OECD Pillar melalui konsultasi publik dan dialog internasional dengan para pemangku kepentingan, dan pada tahun 2021, OECD mencapai kesepakatan mengenai rancangan final OECD Pillar bersama dengan negara-negara G20 dan Inclusive Framework on BEPS (OECD, 2021).

OECD Pillar diharapkan akan berlaku pada tahun 2023 setelah disepakatinya rancangan final dan diimplementasikan oleh negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework on BEPS. Namun, tanggal resmi pelaksanaan masih belum ditetapkan dan kemungkinan dapat mengalami penundaan atau perubahan karena timbulnya berbagai masalah terkait kesepakatan antara negara-negara anggota. Salah satu masalah utama dalam pelaksanaan OECD Pillar khususnya Pilar Dua adalah bagaimana menerapkan pajak ini pada perusahaan multinasional yang beroperasi di sejumlah negara. Sebagian besar perusahaan multinasional memiliki struktur perusahaan yang kompleks dengan anak perusahaan di seluruh dunia. Oleh karena itu, menerapkan GMT pada perusahaan ini dapat menjadi sulit karena sulit untuk menentukan keuntungan yang dihasilkan di masing-masing negara. Ada kekhawatiran bahwa negara-negara yang lebih miskin akan kehilangan pajak yang dapat mereka peroleh dari perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara mereka jika perusahaan-perusahaan ini memindahkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Sebuah laporan dari Tax Justice Network menunjukkan bahwa proposal GMT yang diajukan terutama akan menguntungkan negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Negara-negara miskin, terutama di Afrika dan Asia, mungkin tidak mendapat manfaat yang signifikan dari proposal ini (Tax Justice Network, 2021).

Indonesia adalah salah satu negara yang tergabung dalam Inclusive Framework on BEPS dan berpartisipasi aktif dalam pengembangan OECD Pillar khususnya Pilar Dua. Indonesia telah menyatakan dukungannya terhadap implementasi Pilar Dua tersebut. Indonesia mungkin akan menghadapi beberapa tantangan dalam mengimplementasikan mekanisme GMT ini. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengelola dampak kebijakan GMT pada penerimaan pajak dan pengaruhi daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Sebagai contoh, investor mungkin menjadi kurang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia jika pajak yang harus mereka bayar di Indonesia menjadi lebih tinggi dari sebelumnya sebagai akibat dari pemberlakuan kebijakan baru ini.

Globalisasi dan perkembangan teknologi telah memperkenalkan tantangan baru dalam perpajakan dan bagaimana kebijakan pajak yang efisien dapat membantu mengatasi tantangan tersebut (Wu, 2015). Pemerintah dituntut untuk dapat membuat kebijakan yang mampu untuk mengatasi masalah praktik perpajakan global yang salah satunya melalui penerapan GMT di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu dikaji lebih lanjut mengenai kebijakan GMT dan implikasinya di Negara Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif (qualitative research) yang berfokus pada pemahaman yang mendalam mengenai fenomena yang diteliti, dan memperhatikan perspektif dan pengalaman subjek penelitian. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini berfokus pada studi literatur. Metode penelitian kualitatif yang hanya didasarkan pada studi literatur dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur, kemudian melakukan analisis secara sistematis terhadap data tersebut. Analisis data dalam metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik seperti content analysis, discourse analysis, atau thematic analysis (Creswell, 2014). Pengumpulan data dalam metode ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pencarian informasi melalui mesin pencari seperti Google Scholar, atau melalui akses ke perpustakaan digital yang terkait dengan topik penelitian (Silverman, 2016).

 

Hasil dan Pembahasan

Konsep Pilar Dua Terkait Global Minimum Tax

 Pilar Dua memiliki 2 (dua) konsep utama yaitu Global Anti-Base Erosion (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR). GloBE merupakan bagian dari upaya OECD untuk mengatasi praktik perpindahan keuntungan yang tidak adil antara negara-negara. Proposal ini bertujuan untuk memperkuat kerangka pajak internasional dengan memperkenalkan Global Minimum Tax (GMT) yang diterapkan pada perusahaan-perusahaan multinasional. Sedangkan STTR diakui sebagai bagian integral dari pencapaian konsensus Pilar Dua untuk negara berkembang, dimana ketentuan dalam STTR mengharuskan perubahan pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Klausul STTR diterapkan oleh negara-negara anggota Inclusive Framework ke dalam perjanjian bilateral mereka dengan anggota Inclusive Framework yang merupakan negara berkembang, jika diminta. Hak pemajakan melalui STTR dibatasi sebesar selisih antara tarif pajak minimum dan tarif pajak untuk pembayaran royalti, bunga, dan pembayaran tertentu lainnya. Rencanya tarif Pajak minimum STTR adalah 9% (Siburian, 2022)

Kembali pada konsep GloBE, bahwa status ketentuan yang digunakan adalah berdasarkan common approach dimana negara-negara anggota Inclusive Framework tidak diharuskan untuk mengadopsi aturan GloBE, tetapi, jika mereka memilih untuk melakukannya, mereka akan menerapkan dan mengelola aturan dengan cara yang konsisten dengan hasil yang ditentukan dalam Pilar Dua, termasuk mengacu kepada model aturan dan panduan yang disepakati oleh Inclusive Framework. Selain itu, Negara-negara anggota Inclusive Framework menerima penerapan aturan GloBE yang diterapkan oleh anggota Inclusive Framework lainnya termasuk kesepakatan tentang hierarki aturan dan penerapan safe harbours yang disepakati

Perusahaan multinasional yang akan dikenakan GMT sebesar 15% adalah mereka yang memiliki pendapatan global minimal €750 juta atau perusahaan yang ditentukan berdasarkan OECD BEPS Action 13 tentang CBCR. Ketentuan ini tidak berlaku apabila yang perusahaan multinasional tersebut merupakan entitas pemerintah, organisasi internasional, lembaga nirlaba, serta lembaga pengelola dana pensiun dan investasi. Model pemajakan GMT terdiri dari 2 (dua) elemen penting yaitu Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Payment Rule (UTPR). Di bawah IIR, pajak minimum dibayarkan pada tingkat entitas induk, sebanding dengan kepemilikannya di entitas yang memiliki penghasilan kena pajak rendah. Umumnya, IIR diterapkan di bagian atas, di tingkat entitas induk terakhir atau yang dikenal dengan Ultimate Parent Entity (UPE), dan berjalan ke bawah dalam rantai kepemilikan. Aturan juga disediakan untuk memungkinkan IIR diterapkan oleh entitas induk yang memiliki kepentingan minoritas yang signifikan, untuk meminimalkan kebocoran penghasilan kena pajak yang rendah.

Cara kerja IIR mirip dengan ketentuan controlled foreign corporation, dimana mengharuskan Entitas Induk untuk memungut pajak top-up dari Entitas Konstituen yang memiliki pajak yang lebih rendah. IIR menggunakan pendekatan top-down untuk mengoordinasikan penerapan IIR di yurisdiksi yang berbeda.

 

A picture containing text, diagram, screenshot, font

Description automatically generated

Gambar 2. Contoh skema umum IIR (OECD, 2023)

 

Berdasarkan contoh diatas disimpulkan bahwa Hold Co memiliki prioritas untuk menerapkan IIR dibandingkan B Co. Selenjutnya, dalam pendekatan top-down, jika UPE tidak memiliki IIR, maka entitas yang lebih tinggi dalam rantai kepemilikan memiliki prioritas untuk menerapkan aturan tersebut. Untuk lebih memahami hal tersebut dapat dilihat dari contoh skema sebagai berikut:

 

A picture containing text, diagram, line, screenshot

Description automatically generated

Gambar 3. Contoh skema IIR dengan pendekatan top-down (OECD, 2023)

 

Berdasarkan contoh pada gambar 2 diatas bahwa B Co memiliki prioritas di atas C Co 1 untuk menerapkan IIR. Selnjutnya, ketentuan IIR tidak mewajibkan Entitas Induk untuk mengendalikan Entitas Konstituen berpajak rendah selama IIR merupakan Entitas Konstituen dari grup perusahaan multinasional. Berdasarkan contoh pada gambar 2 diatas C Co 2 menerapkan IIR sehubungan dengan 40% dari pajak top-up D Co 1, terlepas bahwa itu tidak mengendalikan D Co. Kettentuan lain yang perlu diperhatikan dalam IIR adalah pendekatan top-down tunduk pada aturan kepemilikan terpisah. Aturan ini memberikan prioritas kepada Entitas Induk yang Dimiliki Sebagian atau Partially-Owned Parent Entity (POPE) untuk menerapkan aturan. UPE atau Entitas Induk yang diwajibkan untuk menerapkan aturan tersebut harus mengurangi jumlah pajak top-up yang harus mereka bayar dengan jumlah yang harus dibayar oleh POPE.

Pendukung diperlukan untuk memastikan pembayaran pajak minimum di mana entitas dengan penghasilan kena pajak rendah dipegang melalui rantai kepemilikan yang tidak mengakibatkan penghasilan dengan pajak rendah dibebankan di bawah IIR melalui UTPR. Oleh sebab itu UTPR sering disebut sebagai backstop atau pendukung IIR. Beberapa ketentuan dasar yang diatur dalam UTPR, pertama UTPR emungut Pajak top-up yang tidak dipungut oleh IIR. Kedua, UTPR tidak berlaku jika pajak top-up yang terutang oleh UPE dipungut oleh UPE atau Entitas Induk lainnya dari grup perusahaan multinasional. Ketiga, jumlah pajak top-up yang dipungut berdasarkan UTPR didasarkan pada perhitungan yang sama dengan IIR. Keempat, UTPR dapat berlaku untuk yurisdiksi UPE jika merupakan yurisdiksi berpajak rendah dan pajak tambahan minimum domestik atau Qualified Domestic Minimum top-up Tax (QDMTT) yang memenuhi syarat tidak dibayarkan di yurisdiksi tersebut.

UTPR berfungsi sebagai penolakan pengurangan (atau penyesuaian yang setara) yang menaikkan pajak di tingkat anak perusahaan. Penyesuaian tersebut merupakan jumlah yang cukup untuk membuat entitas grup membayar bagian mereka dari pajak top-up yang tersisa setelah IIR. Jumlah pajak top-up UTPR dialokasikan antara yurisdiksi UTPR di mana Entitas Konstituen grup perusahaan multinasional berada berdasarkan formula alokasi. Alokasi berdasarkan: nilai tercatat aset berwujud dan jumlah karyawan. Untuk lebih memahami hal tersebut dapat dilihat dari contoh skema UTPR sebagai berikut:

A picture containing text, diagram, line, screenshot

Description automatically generated

Gambar 4. Contoh skema UTPR (OECD, 2023)

 

Negara D adalah Yurisdiksi Pajak Rendah, dimana pajak top-up masing-masing D Co 1, D Co 2, D Co 3 adalah 100, 200, dan 300. Hold Co dan C Co berlokasi di yurisdiksi yang belum menerapkan IIR. Kemudian, B Co 1 menerapkan IIR dan mengumpulkan 200 yang berasal dari jumlah penuh pajak top-up D Co 1 sebesar 100 dan 50% dari pajak top-up Pajak D Co 2 sebesar 100. Adapun jumlah yang harus dikumpulkan berdasarkan UTPR adalah 400 yang berasal dari 50% dari pajak top-up D Co 2 sebesar 100) dan jumlah penuh pajak top-up D Co 3 sebesar 300. UTPR sebesar 400 adalah jumlah pajak top-up UTPR yang harus dialokasikan antara yurisdiksi yang telah mengadopsi UTPR. Apabila diasumsikan bahwa jumlah pajak top-up UTPR penuh dialokasikan ke Negara B, maka jumlah pajak top-up UTPR dibagi rata antara B Co 1 dan B Co 2 berdasarkan peraturan Negara B. Apabila Negara B memiliki tarif pajak 20%, maka berikut hasil penyesuaian setelah UTPR.

 

Tabel 1. Contoh penyesuaian setelah skema UTPR (OECD, 2023)

 

CIT Computations

After UTPR Adjustments

 

Gross income

Deductible expenses

Taxable income

Tax

UTPR Adjustments

Taxable income

Tax

B Co 12

2000

(1000)

1000

200

(1000)

2000

400

(200+200)

B Co 2

1000

(1000)

0

0

(1000)

1000

200

 

Berdasarkan tabel 1, hasil penyesuaian pajak top-up setelah UTPR adalah B Co1 menjadi sebesar 400 dan B Co 2 menjadi 200. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa UTPR berbentuk penyesuaian ke entitas yang kemungkinan besar memiliki kapasitas untuk membayar jumlah pajak top-up yang diwajibkan. Perhitungan yang sama diterapkan apakah pajak top-up dibebankan berdasarkan IIR atau UTPR, untuk memastikan hasil yang terkoordinasi. Namun, mengingat biasanya akan ada anak perusahaan di beberapa yurisdiksi yang berbeda, UTPR mensyaratkan tingkat kerjasama administrasi yang lebih tinggi, yang menggarisbawahi pentingnya persyaratan pelaporan informasi standar.

 

Kebijakan Indonesia dalam Mempersiapkan Penerapan Global Minimum Tax

   Sejak tahun 2021, Indonesia telah memulai inisiasi untuk membentuk legislasi terkait dengan penerapan GMT. Inisialsi dimulai ketika Pemerintah mengusulkan alternative minimum tax atau pajak penghasilan minimum di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun demikian, dalam pembahasan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berujung dengan dihapuskannya usulan tersebut. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Dolfie O.F.P mengatakan bahwa dibatalkannya substansi mengenai pajak penghasilan minimum lebih disebabkan oleh faktor teknis dan pertimbangan risiko jangka panjang (Bisnis.com, 2021)

Meskipun substansi pajak penghasilan minimum dihapus, Pemerinta tetap menyiapkan lingkungan peraturan terkait GMT yang termuat pada Pasal 32A, dimana Pemerintah berwenang untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka: penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak; dan kerja sama perpajakan lainnya.

Lebih lanjut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 pada akhir tahun 2022, dimana dijelaskan pada Pasal 52 terdapat penegasan keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan global, dimana Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan ketentuan dalam perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi dan/atau penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya. Pada Pasal 54 diatur dengan jelas bahwa dalam mengatasi tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya, grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan, dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak dijelaskan dengan detail mengenai pengaturan GMT. Ketentuan teknis mengenai pengenaan GMT baru akan diatur kemudian di dalam Peraturan Menteri Keuangan.

 

Implikasi dan Tantangan Indonesia dalam Penerapan Global Minimum Tax

Tantangan utama terkait GMT adalah kesulitannya menetapkan tarif pajak yang adil dan berlaku global. Sementara negara-negara maju seperti AS dan Inggris mendukung tarif pajak minimum sebesar 15%, beberapa negara di Uni Eropa menuntut tarif yang lebih tinggi, yaitu sekitar 21%. Negara-negara berkembang seperti India dan Afrika Selatan juga mengusulkan tarif pajak minimum yang lebih tinggi untuk memaksimalkan pendapatan negara mereka. Menurut Oxfam, tingkat pajak global minimum 15% tidak akan cukup untuk memastikan perusahaan-perusahaan besar membayar pajak yang seharusnya. Mereka mengklaim bahwa tingkat pajak minimum yang diperlukan harus setidaknya 25% (Oxfam, 2015). Oleh karena itu, penentuan tarif pajak yang adil untuk GMT menjadi tantangan besar dalam negosiasi antarnegara.

Lebih dari itu, Indonesia selaku negara Inclusive Framework yang telah mensepakati penerapan GMT memiliki tantangan tersendiri yang mungkin juga dirasakan oleh beberapa negara yang memiliki kondisi yang sama dengan Indonesia. Pertama, mengenai pembentukan peraturan teknis. Secara khusus Direktorat Perpajakan Internasional, Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa pedoman teknis secara global masih belum selesai menyebabkan peraturan teknis dalam negeri belum dapat dilakukan pengaturan. Selain itu, secara internal masih terbatasnya unit yang mengetahui persis terkait dengan GMT dan perkembangannya (Siburian, 2022)

Tantangan kedua, potensi berkurangnya penerimaan pajak top-up dan kaitannya dengan penerapan QDMTT. Dengan asumsi yurisdiksi entitas induk menerima hak untuk memungut pajak top-up setiap kali terjadi melalui skema IRR, proposal GMT tidak akan memberikan manfaat bagi negara sumber di mana under taxation terjadi. Oleh karena itu, sebagai negara sumber, Indonesia akan mengalami kehilangan pendapatan dan tidak menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dikumpulkan dari GMT kecuali Indonesia menerapkan QDMTT atau penerapan pajak minimum domestik untuk mengambil sendiri jumlah pajak top-up (Sudiantini et al., 2023). Oleh sebab itu, penerapan QDMTT dengan tanpa membahayakan skema insentif pajak dalam negeri. Masih diperlukan kajian lebih lanjut apakah terdapat distorsi ke dalam ekonomi (Siburian, 2022)

Ketiga, penerapan GMT dapat mempengaruhi investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI). Seperti diketahui, pajak hanyalah salah satu aspek dari banyak faktor yang mempengaruhi kemudahan berusaha. Terdapat indikator lainnya yang mencakup berbagai indikator seperti prosedur perizinan, perlindungan investor, penegakan kontrak, akses ke kredit, dan sebagainya. (Worldbank, 2021). Meskipun demikian, penelitian terbaru oleh menemukan bahwa peningkatan tarif pajak pada sektor tertentu berdampak negatif terhadap aliran FDI. Hasil mereka menunjukkan bahwa kenaikan pajak menyebabkan penurunan minat investor asing untuk berinvestasi dalam sektor tersebut (Smith dan Johnson, 2022). Aturan GMT akan sangat mempengaruhi insentif pajak yang terkait dengan investasi yang diberikan pemerintah, khususnya tax holiday dan pembebasan pajak. Berdasarkan aturan GMT, jika insentif mengurangi kewajiban pajak aktual yang dibayarkan oleh entitas dan tarif pajak efektif turun di bawah minimum yaitu 15%, entitas wajib membayar pajak top-up ke yurisdiksi IIR.

Secara khusus, penerapan GMT akan berdampak langsung pada peraturan terkait dengan insentif pajak diantaranya: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020, dimana GMT diindikasikan berpengaruh terhadap efektivitas Tax Holiday. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK NO. 153/PMK.010/2020, dimana GMT diindikasikan mempengaruhi efektivitas Super Deduction dalam hal R&D yang signifikan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 96 /PMK.010/2020, dimana GMT diperkirakan dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan Tax Allowance jika jumlah investasinya signifikan (Siburian, 2022).

Tantangan terakhir, skema GMT akan menghasilkan biaya administrasi yang tinggi baik untuk grup perusahaan multinasional maupun otoritas pajak. Pada umumnya, perusahaan diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan komersial setiap tahunnya. Untuk tujuan kepatuhan perpajakan, mereka juga diwajibkan untuk menyiapkan laporan fiskal tahunan. Di bawah tindakan BEPS 13, semua perusahaan multinasional besar diharuskan menyiapkan laporan negara per negara setiap tahun. Keempat Aturan GMT mensyaratkan kapasitas sistem administrasi perpajakan untuk mengakomodasi perhitungan pajak top-up. Oleh karena itu mereka membawa tantangan baru bagi otoritas pendapatan Indonesia karena sistem pelaporan pajak online (e-filing) tidak mengakomodasi penghitungan pajak top-up (yang sangat rumit dan bergantung pada data laporan keuangan). Ketiadaan platform elektronik untuk mengakomodasi penghitungan pajak top-up berpotensi meningkatkan ketidakpatuhan pajak (Prastuti, 2023).

 

Rekomendasi Kebijakan dalam Penerapan Global Minimum Tax di Indonesia

Dalam rangka menghadapi tantangan global terkait penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, secara khusus penerapan GMT, perlu adanya desain kebijakan yang baik. Desain kebijakan publik yang baik adalah yang mampu menggabungkan kebijakan yang efektif, berbasis bukti, berorientasi pada pemangku kepentingan, dan mampu mencapai hasil yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat (Bemelmans-Videc et al., 2011).

Kebijakan GMT harus dimaknai sebagai sesuatu yang sangat penting, sehingga perlu dorongan bagi Pemerintah untuk lebih concern terhadap perkembangan ketentuan GMT. Pembentukan unit khusus yang bertugas sebagai pengawal bahkan negosiator dalam perkembangan ketentuan GMT global menjadi satu hal yang penting. Unit khusus juga bertugas menerjemahkan penerapan ketentuan teknis GMT. Unit khusus juga bertugas untuk membangun kerangka kerja kepatuhan multilateral terkait penerapan GMT dan bertugas untuk membangun upaya kolaboratif di lingkungan global. Kolaborasi ini juga akan mengarah pada pedenkatan penyelesaian sengketa lintas batas menjadi lebih efektif sehingga menurunkan biaya administrasi.

Untuk kebijakan investasi ke luar, Indonesia akan mendapat manfaat dari penerapan GMT dengan memperkenalkan IIR dan UTPR jika Perusahaan Multinasional di Indonesia berinvestasi di negara dengan pajak rendah atau tanpa pajak dan negara tersebut tidak menerapkan pajak minimum domestik. Menerapkan IIR dan UTPR akan memberikan Indonesia hak perpajakan pertama untuk memungut pajak top-up setiap kali terjadi di yurisdiksi yang tidak mengadopsi GMT. Mengadopsi aturan-aturan ini untuk memungut pajak top-up potensial dari negara lain akan memecahkan masalah. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut jumlah perusahaan multinasional Indonesia dan potensi besaran pajak top-up yang akan diperoleh Indonesia.

Untuk kebijakan investasi ke dalam, Indonesia harus QDMTT, jika ingin mempertahankan penerimaan pajak dalam negerinya. Ini adalah pajak minimum yang dimasukkan ke dalam undang-undang pajak domestik suatu negara dan secara konsisten diterapkan dan diatur berdasarkan peraturan GMT. Suatu negara dapat memilih untuk menerapkan QDMTT ke lanskap domestiknya tetapi tidak memiliki persyaratan untuk mengadopsi aturan GLOBE. Mempraktikkan QDMTT didasarkan pada dua landasan kebijakan. Yang pertama adalah, secara tegas, untuk memungkinkan Indonesia, sebagai negara sumber, untuk mengamankan potensi pendapatan pajak yang seharusnya dapat dikumpulkan oleh yurisdiksi lain. Adopsi seperti itu akan menempatkan Indonesia, sebagai negara sumber, pada urutan pertama untuk menerima pajak top-up (Prastuti, 2023)

Penerapan GMT akan memberikan dorongan untuk reformasi pajak. Reformasi harus didasarkan pada analisis khusus yurisdiksi, mengidentifikasi dan menilai insentif pajak yang paling mungkin terkena dampak Peraturan GMT. Dalam membuat desain kebijakan insentif pajak pasca penerapan GMT, OECD memberikan beberapa pedoman kepada pembuat peraturan. Pertama, insentif yang ditargetkan secara sempit (untuk kategori pendapatan atau pengeluaran tertentu mungkin kurang terpengaruh, begitu juga insentif dengan plafon atau batas). Kedua, insentif berbasis pendapatan mungkin lebih terpengaruh daripada insentif berbasis pengeluaran, terutama untuk investasi yang sangat menguntungkan. Ketiga, insentif pajak berbasis pengeluaran yang ditargetkan untuk penggajian atau aset berwujud mungkin lebih dilindungi oleh substance-based income exclusion (SBIE). Keempat, insentif berdasarkan perbedaan waktu cenderung tidak terpengaruh, misalnya pengeluaran atau penyusutan yang dipercepat (untuk aset tertentu) atau akumulasi kerugian yang diperpanjang. Kelima, kredit pajak yang dapat dikembalikan yang memenuhi syarat mungkin kurang terpengaruh. Namun, yurisdiksi harus mempertimbangkan konsekuensi pendapatan dari insentif pajak yang dapat dikembalikan (OECD, 2023).

Terkahir, perlunya menggabungkan sistem pajak Indonesia dengan penghitungan pajak top-up akan menyederhanakan administrasi aturan GMT (Prastuti, 2023). Hal itu juga perlu didukung dengan penguatan dan pengintegrasian sistem teknologi dan informasi dalam rangka transparansi pelaporan GMT dan meningkatkan kepatuhan pajak. Hal ini sejalan dengan pernyataan OECD, yang menegaskan bahwa kemudahan dan kenyamanan layanan pajak elektronik membantu pembayar pajak untuk mematuhi administrasi perpajakan. Integrasi tersebut akan menghasilkan tiga manfaat: (1) penyederhanaan administrasi perpajakan; (2) mempromosikan kepatuhan dengan desain; dan (3) meningkatkan keandalan informasi yang dikumpulkan oleh otoritas pendapatan. (OECD, 2004)

 

Kesimpulan

Penerapan GMT di Indonesia merupakan langkah yang penting dalam memperkuat keadilan pajak global dan mengurangi praktik perpindahan laba perusahaan multinasional. Meskipun terdapat berbagai tantangan dalam perkembangannya, Indonesia telah mengambil sikap positif terhadap penerapan GMT dan terlibat dalam negosiasi internasional. Untuk berhasil menerapkan GMT, Indonesia perlu membuat desain kebijakan pajak yang baik diantaranya: penguatan kelembagaan, penentuan arah kebijakan investasi dari dan/atau ke luar negeri, reformulasi kebijakan insentif pajak pasca penerapan BEPS, dan integrasi sistem teknologi dan informasi. Dengan melakukan langkah-langkah ini, Indonesia dapat berkontribusi pada upaya global untuk memperkuat sistem perpajakan yang adil dan efisien, serta memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang wajar di negara di mana mereka beroperasi. Penerapan GMT yang efektif akan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak negara, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bemelmans-Videc, M.-L., Rist, R. C., & Vedung, E. O. (2011). Carrots, sticks, and sermons: Policy instruments and their evaluation (Vol. 1). Transaction Publishers.

Bisnis.com (2021) "Sulit dan Berisiko, Pajak Penghasilan Minimum Dihapus dari RUU HPP", Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20211004/259/1450004/sulit-dan-berisiko-pajak-penghasilan-minimum-dihapus-dari-ruu-hpp

Cobham, A., & Janský, P. (2018). Global distribution of revenue loss from corporate tax avoidance: re‐estimation and country results. Journal of International Development, 30(2), 206–232.

Creswell, J. W. (2014). Research design: qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.

OECD. (2004). Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance. OECD Publishing.

OECD. (2015). Addressing Base Erosion and Profit Shifting. OECD Publishing.

OECD. (2021). OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS: Statement by the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS on the Agreement on the Pillar One and Pilar Dua Blueprints. Diakses dari https://www.oecd.org/tax/beps/statement-by-the-oecd-g20-inclusive-framework-on-beps-on-the-agreement-on-the-pillar-one-and-pillar-two-blueprints-july-2021.pdf

OECD. (2021). About BEPS: An Overview. Diakses dari http://www.oecd.org/tax/beps/about-beps.htm

OECD. (2021). Corporate Tax Statistics: Second Edition. OECD Publishing.

OECD. (2023). The Key Provisions of the GloBE Rules (5) Applying the top-up tax under the IIR and UTPR. Diakses dari https://www.oecd.org/tax/tax-global/training-two-pillar-solution.htm

OECD. (2023). Tax Incentives & GloBe Rules. Diakses dari https://www.oecd.org/tax/tax-global/training-two-pillar-solution.htm

Oxfam. (2021). G7’s ‘historic agreement’ on global tax reform falls short of what’s needed. Diakses dari: https://www.oxfam.org/en/press-releases/g7s-historic-agreement-global-tax-reform-falls-short-whats-needed

Prastuti, G. (2023). An Indonesian Perspective on Global Tax Reform and Pillar 2. SSRN.

Siburian, M. E. (2022). Perkembangan Pilar Dua: Dampak dan harapannya bagi Indonesia. IAI Regular Tax Discussion

Silverman, D. (2016). Qualitative research. Sage publications.

Smith, A., & Johnson, B. (2022). The Impact of Taxes on Foreign Direct Investment: Evidence from Recent Trends. Journal of International Economics, 45(2), 123-145.

Sudiantini, D., Ayu, M. P., Aswan, M. C. A. S., Prastuti, M. A., & Apriliya, M. (2023). Transformasi Digital: Dampak, Tantangan, Dan Peluang Untuk Pertumbuhan Ekonomi Digital. Trending: Jurnal Manajemen Dan Ekonomi, 1(3), 21–30.

Tax Justice Network. (2021). G7 tax deal will benefit rich countries and offer little for the rest. Diakses dari : https://www.taxjustice.net/2021/06/09/g7-tax-deal-will-benefit-rich-countries-and-offer-little-for-the-rest/

Wu, A. Y. (2015). Globalization and Taxation: Challenges and Opportunities. Social Science Research Network. 10.2139/ssrn.2675585.

World Bank. (2021). Doing Business 2021: Comparing Business Regulation in 190 Economies. Washington, DC: World Bank Group.

 

 

Copyright holder:

Daniel Belianto, Ning Rahayu (2024)

 

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

 

 

This article is licensed under: