Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 8, Agustus 2024

 

PENGALAMAN HIDUP ORANG DENGAN HIV DALAM MENGHADAPI DIAGNOSIS POSITIF HIV: STUDI FENOMENOLOGI

 

Sonia Katerina1, Zainal Abidin2

Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia1,2

Email: [email protected]1

 

Abstrak

HIV/AIDS sebagai krisis kemanusiaan dapat menyebabkan trauma psikologis dan stres yang berat bagi para pasien. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari berbagai aspek kehidupan mereka guna memperoleh dukungan dan perawatan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk menggali pengalaman hidup pasien yang terinfeksi HIV dalam menghadapi diagnosis positif penyakit tersebut. Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan fenomenologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan acak dan peserta dipilih berdasarkan kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukan 4 partisipan berpartisipasi dalam penelitian ini dengan data diperoleh 4 tema utama dan 11 subtema, yang meliputi respon emosional negative (Menyangkal, stress, sedih, depresi), Keputusasaan (Tidak mempunyai harapan, merasa lemah dan tidak berarti, ingin mengakhiri hidup), Konflik spiritual (marah dengan Tuhan) , dan Isolasi diri (Isolasi).

Kata kunci: HIV/AIDS, Pengalaman hidup, Studi fenomenologi

 

Abstract

HIV/AIDS as a humanitarian crisis can cause psychological trauma and severe stress for patients. Therefore, it is important to learn about various aspects of their lives in order to obtain better support and care. This study aims to explore the life experiences of HIV-infected patients in facing a positive diagnosis of the disease. The method used in this research uses phenomenology. Sampling was carried out purposively and participants were selected based on inclusion criteria. Data collection was carried out using semi-structured interviews. The research results showed that 4 participants participated in this research with data obtained from 4 main themes and 11 sub-themes, which included negative emotional responses (denying, stress, sadness, depression), despair (having no hope, feeling weak and meaningless). , wanting to end life), Spiritual conflict (angry with God), and Self-isolation (Isolation).

Keywords: HIV/AIDS, Pengalaman hidup, Studi fenomenologi

 

Pendahuluan

Di Indonesia, HIV/AIDS sering dianggap sebagai penyakit mematikan yang dapat menular. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, yang membuat tubuh tidak mampu lagi melindungi dari berbagai penyakit lain yang menyertainya (Infeksi oportunistik) (Kemenkes RI, 2017).

Kasus HIV pada tahun 2021 di beberapa negara diantaranya Malaysia 82.000 kasus, Singapura 8.000 kasus, Myanmar 270.000 kasus, Thailand 520.000 kasus dan Indonesia memiliki jumlah orang yang hidup dengan HIV terbanyak di Asia Tenggara, yakni sekitar 540.000 jiwa pada 2021 (Ahdiat, 2022). Distribusi perolehan infeksi HIV baru berdasarkan populasinya ialah 11% dari pekerja seks, 12% dari pengguna narkoba suntik, 46% dari pria gay dan jenis pria lainnya yang berhubungan seks dengan pria, 3% dari wanita transgender, 24% dari pelanggan pekerja seks dan pasangan seks dari semua populasi kunci dan 4% dari populasi lainnya (UNAIDS, 2022)

Berdasarkan beberapa literatur menyampaikan jika HIV/AIDS memberikan dampak psikologis. Orang dengan HIV sering menderita depresi dan kecemasan saat mereka menyesuaikan diri dengan dampak diagnosis terinfeksi dan menghadapi kesulitan hidup dengan penyakit kronis yang mengancam jiwa, misalnya harapan hidup yang lebih pendek, rejimen terapi yang rumit, stigmatisasi, dan hilangnya dukungan sosial, keluarga atau teman (Yatim & Atmosukarto, 2022) . Stres juga dapat memperburuk keadaan dari ODHIV, seperti yang dijelaskan Sodroski et al (dalam Ogden, 2012)  bahwa stres dapat meningkatkan proses replikasi virus HIV.

Tinjauan literatur terkini menemukan bahwa ODHA, usia rata-rata 39 tahun, memiliki risiko kematian akibat bunuh diri 100 kali lipat lebih tinggi daripada orang yang tidak hidup dengan HIV, bahkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk orang yang hidup dengan AIDS (Wisnousky et al., 2021). Beberapa faktor psikologis terkait keinginan untuk bunuh diri pada ODHIV ini termasuk juga pada gangguan penggunaan zat bersamaan, riwayat depresi masa lalu,  adanya keputusasaan dan stigmatisasi (Yatim & Atmosukarto, 2022).

Prasyarat untuk keberhasilan perencanaan dan intervensi bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS melibatkan pendekatan yang dekat dengan mereka dan melakukan wawancara mendalam secara bertahap. Hal ini bertujuan untuk mengungkap perasaan dan sikap mereka, pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, penyakit mereka, dan orang lain; serta motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam intervensi dan menindaklanjuti perawatan (Duru et al., 2015). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengalaman hidup pasien yang terinfeksi HIV dalam menghadapi diagnosis positif penyakit ini. Dengan memahami pengalaman subjektif pasien HIV, penelitian ini dapat memberikan kontribusi penting bagi upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan dan dukungan psikososial. Hal ini juga dapat membantu dalam merancang program edukasi dan advokasi yang lebih efektif untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terkait HIV/AIDS.

 

Metode Penelitian

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna yang muncul dari pengalaman kesadaran setiap individu dengan mengidentifikasi kualitas essensial dari pengalaman kesadaran dengan cara melakukan penelitian yang mendalam (Smith et al., 2009).  Tujuan utama penggalian data dalam studi fenomenologi adalah mendeskripsikan  pengalaman individu atau kelompok individu dengan cara menggali informasi apa yang dialami dan bagaimana mengalaminya (Hamzah, 2020).

Penelitian ini pemilihan partisipan menggunakan teknik Purposive Sampling. Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah empat orang dengan HIV. Adapun Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menyetujui informed consent dan didiagnosa HIV positif.

 

Analisis Data

Analisis data dilakukan menggunakan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Thematic analysis merupakan pendekatan analisis utama yang digunakan dalam IPA. Terdapat empat tahap yang digunakan (Kahija, 2017): a. membaca berkali-kali, b. membuat catatan-catatan awal, c. membuat tema emergen, d. membuat tema superordinat.

 

Etik Penelitian

Penelitian ini telah terdaftar dengan nomor kode etik 1293/UN6.KEP/EC/2023 di Universitas Padjadjaran. Persetujuan semua partisipan diperoleh pada langkah pertama. Seluruh partisipan diyakinkan bahwa informasi yang diperoleh akan tetap dirahasiakan dan tidak informasi pribadi akan diungkapkan.

 

Hasil dan Pembahasan

Partisipan berjumlah empat orang, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Para partisipan telah terinfeksi rata-rata selama 11 hingga 25 tahun hidup dengan HIV. Analisis pengalaman pasien yang terinfeksi HIV menghadapi diagnosis positif penyakit mengungkapkan empat tema utama: respon emosional negative, keputusasaan, konflik spiritual, dan isolasi diri.           

 

Table 1. Profil Informan

 

Partisipan

Jenis Kelamin

Usia

 

Pendidikan Terakhir

 Pekerjaan

Status

Tahun didiagnosa HIV

P1

Laki-laki

45

tahun

D3

Pendamping Rehabilitasi  Sosial

Menikah

1999
(25 Tahun)

P2

Perempuan

45

tahun

SMA

Co-founder Female Plus

Menikah

2004 (20 Tahun)

P3

Laki-laki

50

tahun

SMA

Staff JIP (Jaringan Indonesia Positif)

Cerai meninggal

2009 ( 15 Tahun)

P4

Perempuan

49

tahun

SMK

Pendamping Sebaya ODHIV

Cerai meninggal

2013 ( 11 Tahun)

 

Table 2. Tema dan sub tema

Tema

Sub tema

Respon Emosional Negatif

Menyangkal

Stress

Sedih

Depresi

Keputusasaan

Tidak mempunyai harapan

Merasa lemah dan tidak berarti

Ingin mengakhiri hidup

Konflik spiritual

Marah dengan tuhan

Isolasi diri

Isolasi

 

Respon emosional Negatif

Respon emosional negatif pada penderita HIV saat awal diagnosis sering kali mencakup berbagai perasaan yang intens dan beragam. Beberapa respon emosional negatif yang umum dialami antara lain:

 

Menyangkal

Dua partisipan awalnya menolak menerima kenyataan diagnosis mereka, sesekali berpikir bahwa ia benar-benar hidup dengan HIV atau tidak. Satu partisipan lain berulang bertanya mengapa bisa terinfeksi HIV dan munculnya perasaan tidak terima karena telah terinfeksi HIV.

“wah menyangkal, jadi kaya bener enggak sih saya HIV, saya bener-bener berasa mimpi saat itu” (P1)

“tapi sesekali suka merasa bahwa, kok aku bisa begini ya” (P4)

“…, aku tidak terima, aku denial…” (P4)

 

Stress

Diagnosis menyebabkan peningkatan signifikan dalam tingkat stres, dengan kekhawatiran tentang masa depan. Mereka bertanya-tanya terkait langkah yang mungkin berhenti karena status HIV.

“.. ah gila stress disitu, dan pas dibuka hasil tes sama UD pun aku lari itu teh rek bunuh diri.. (P1)

“..perasaan ya udah aja dan mikir sebentar lagi mati…” (P2)

“..gagal dalam hidup. Gabisa kawin, saya gabisa mimpi tercapai..” (P1)

“..Saya ngedrop yaudah tinggal nunggu mati aja…” (P3)

 

Sedih

Perasaan sedih yang mendalam sering muncul pada salah satu partisipan karena ia telah menularkan ke istrinya yang membuat istrinya lebih dahulu meninggal karena HIV. Sampai saat ini bahkan partisipan belum dapat menerima telah kehilangan istri  karena dirinya.

“…pas awal-awal sedih waktu di dalem, karena sedihnya itu menularkan ke istri” (P3)

 

Depresi

Depresi adalah salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum dialami oleh Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Kondisi ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk perubahan besar dalam kehidupan akibat diagnosis, stigma sosial, isolasi, dan dampak fisik dari penyakit itu sendiri.

“..saya kena mental kan, saya kena depresi,..” (P4)

 

Keputusasaan

Keputusasaan adalah tema kedua yang signifikan, dengan subtema yang mencakup: merasa lemah dan tidak berarti, tidak mempunyai harapan serta ingin mengakhiri hidupnya.

Merasa lemah dan tidak berarti

Ada perasaan ketidakberdayaan dan rendah diri, di mana partisipan merasa bahwa dirinya  tidak lagi memiliki nilai atau arti dalam kehidupan. Satu partisipan menyampaikan bahwa ia tidak memiliki kekuatan dan arti dalam kehidupannya.

“semenjak saya tahu status saya saat itu merasa lemah, merasa down, merasa nothing, tidak berarti apa-apa” (P4)

 

 

 

Ingin mengakhiri hidup

Dua partisipan menyatakan bahwa mereka sangat kecewa dengan hasil positifnya diagnosis penyakitnya dan mereka langsung berpikir mereka tidak dapat menerima kenyataan dan hal terbaik untuk dilakukan adalah mengakhiri hidup mereka sendiri. “..Saya udah yakin ini udah positif, istri tertular dari Saya gitu kan. Jadi yaudahlah mending keneh maot.”(P3)

“…rek bunuh diri. Nabrakeun maneh caritana mah, gapake sendal-sendal Acan. Aku mau ini untungnya balik deui, mikir, sieun ongkoh nya” (P2)

 

Tidak mempunyai harapan

Partisipan merasa kehilangan harapan untuk masa depan yang cerah dan merasa tidak ada jalan keluar dari situasi mereka.

“merasa hopeless aja…” (P3)

“…merasa akhir dari dunia, the end of the world,…” (P4)

 

Konflik spiritual

Konflik spiritual juga merupakan tema yang penting, dengan partisipan mengungkapkan perasaan marah terhadap Tuhan. Mereka merasa bahwa penyakit ini adalah hukuman atau cobaan yang tidak adil dan merasa dikhianati oleh kepercayaan mereka.

 

Marah dengan Tuhan

Perasaan marah dan frustrasi terhadap Tuhan atau entitas spiritual, mempertanyakan mengapa mereka harus mengalami penderitaan ini. Tiga orang partisipan merasakan kemarahan dan kebingungan, bahkan terhadap Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, saat menghadapi diagnosis yang mengubah hidup ini. Satu partisipan diantara, sudah bertekad untuk berhenti dari penggunaan narkoba suntiknya, namun harus menghadapi kenyataan lain, hidup dengan HIV sebagai faktor dari penggunaan narkoba suntik bergantian.

“.. jadi saya sebenarnya begini tahun 99 saya sempet berdoa saya pengen berhenti narkoba, saya udah cape pake narkoba, tau-taunya tahun 99 doa saya dibuktikan saat itu dan terkena HIV, saya pikir ‘ko jawabannya seperti ini’”  (P1)

“saya marah aja sama tuhan, karena mau marah sama suami suami saya sudah meninggal” (P4)

 

Kecewa dengan Tuhan

Perasaan kecewa dengan Tuhan juga dirasakan oleh salah satu partisipan dalam tema konflik spiritual. Salah satu partisipan menyampaikan bahwa sudah berhenti lebih dulu untuk menghentikan penggunaan zat namun ia diberi takdir dengan terinfeksi HIV dan merasakan ketidakadilan.

“.. jadi aku disitu agak sedikit kecewa gitu loh, aku sempet nyalahin Allah sebenernya sempet marah sama tuhan karena kan dibandingin temen-temen yang lain, yang berhenti duluan itu aku gitu loh, kok rasanya gak adil ya..” (P2)

 

Isolasi diri

Isolasi diri adalah tema terakhir yang diidentifikasi, di mana salah satu partisipan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial mereka. Satu orang partisipan memilih untuk mengisolasi diri dari keluarga, teman, dan masyarakat umum karena rasa malu, stigma, dan ketakutan akan penolakan. Perasaan malu dan takut terhadap stigma sosial dapat menyebabkan isolasi diri. Partisipan menghindari interaksi sosial dan menarik diri dari lingkungan mereka.

“Saya di rumah Weh cicing gamau ngapa-ngapain, dari 99 ke 2000 tuh kurang lebih hampir 8 bulanan gamau keluar rumah.” (P1)

 

Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan bahwa diagnosis HIV positif memiliki dampak psikologis dan emosional yang signifikan pada individu yang terinfeksi. Respon emosional negatif seperti penyangkalan, stres, sedih, dan depresi merupakan reaksi umum yang menunjukkan kebutuhan akan dukungan psikologis bagi ODHA. Pada awal diagnosis, banyak ODHA mengalami penyangkalan sebagai mekanisme pertahanan untuk mengatasi kenyataan yang mengejutkan. Penyangkalan ini sering kali muncul karena ketakutan dan stigma yang melekat pada HIV. Penyangkalan adalah salah satu respons umum terhadap diagnosis HIV, yang bisa berlanjut selama beberapa waktu sebelum individu mulai menerima kenyataan (Kamen et al., 2015). Diagnosis HIV juga menimbulkan stres yang luar biasa karena perubahan drastis dalam kehidupan sehari-hari dan ketidakpastian tentang masa depan. Stres ini sering diperparah oleh stigma sosial dan ketakutan akan diskriminasi.Tingkat stres pada ODHA meningkat signifikan setelah diagnosis, terutama karena perubahan dalam rutinitas hidup dan tekanan sosial (Nanni et al., 2015). Perasaan sedih juga merupakan  reaksi emosional yang umum setelah menerima diagnosis HIV. Kesedihan ini sering kali terkait dengan kehilangan harapan dan mimpi yang sebelumnya dimiliki sebelum diagnosis. Kesedihan mendalam sering dialami ODHA akibat perasaan kehilangan dan perubahan dalam harapan hidup mereka (Katz et al., 2013)​.

Penerimaan diagnosis HIV sering kali menjadi sumber utama stres dan depresi. Proses ini dapat menghancurkan harapan dan perencanaan masa depan seseorang, yang dapat memicu depresi (Rich et al., 2022).  Banyak ODHA merasa masa depan mereka suram setelah diagnosis, kehilangan harapan untuk mencapai tujuan hidup yang sebelumnya mereka impikan. Kehilangan harapan merupakan faktor umum yang disampaikan oleh ODHA, yang sering kali merasa hidup mereka tidak lagi memiliki tujuan atau arah (Katz et al., 2013). Selain itu diagnosis HIV juga  dapat membuat ODHA merasa lemah dan tidak berdaya, baik secara fisik maupun emosional. Perasaan ini sering diperparah oleh stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi. Penelitian oleh Emlet (2006)  menunjukkan bahwa perasaan tidak berharga sering kali muncul karena stigma internalisasi, di mana ODHA mulai mempercayai stereotip negatif tentang diri mereka sendiri​. Tingkat depresi dan keputusasaan yang tinggi dapat meningkatkan risiko keinginan untuk mengakhiri hidup. Beberapa ODHA merasa bahwa bunuh diri adalah satu-satunya cara untuk menghindari penderitaan yang mereka alami. Penelitian oleh Sherr et al. (2008) mencatat bahwa keinginan untuk mengakhiri hidup adalah masalah serius di kalangan ODHA, dengan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Keputusasaan yang dirasakan oleh partisipan mencerminkan betapa pentingnya memberikan harapan dan dukungan yang berkelanjutan. Keputusasaan dan perasaan tidak berdaya dapat membuat ODHA merasa bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar. ODHA dengan depresi yang tidak terkelola memiliki risiko bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum (Kalichman et al., 2000).

ODHA sering kali mempertanyakan keadilan Tuhan dalam memberi mereka penyakit ini. Mereka merasa bahwa penyakit ini adalah hukuman atau ujian yang tidak adil. Penelitian oleh Ironson, G., et al. (2002) menunjukkan bahwa banyak ODHA mengalami konflik spiritual sebagai akibat dari upaya mereka untuk memahami mengapa mereka harus menghadapi penyakit ini (Rich et al., 2022)​. Setelah diagnosis HIV, ODHA mungkin merasa ditinggalkan oleh Tuhan atau bahwa Tuhan tidak peduli dengan penderitaan mereka. Perasaan ini dapat memperdalam konflik spiritual dan menimbulkan rasa putus asa.  Perasaan ditinggalkan oleh Tuhan sering muncul pada individu yang menghadapi penyakit kronis, termasuk HIV/AIDS​ (Pargament et al., 2013).

Banyak ODHA mengalami stigma dan diskriminasi dari masyarakat, keluarga, dan teman-teman mereka. Ketakutan akan penolakan dan pengucilan sering kali mendorong ODHA untuk menarik diri dari lingkungan sosial mereka. Penelitian oleh Herek, G.M. (1999) menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi terkait HIV/AIDS berperan besar dalam menyebabkan isolasi diri pada ODHA (Rich et al., 2022). ODHA sering kali merasa malu dengan status HIV mereka dan memiliki rasa rendah diri yang mendalam. Perasaan ini dapat membuat mereka menghindari interaksi sosial dan memilih untuk mengisolasi diri. Penelitian juga menemukan bahwa rasa malu dan rendah diri adalah faktor utama yang mendorong ODHA untuk menarik diri dari hubungan sosial​ (Holzemer et al., 2007).  Isolasi diri yang dilakukan oleh partisipan menunjukkan pentingnya upaya untuk mengurangi stigma sosial terhadap HIV/AIDS. Edukasi masyarakat dan kampanye anti-stigma perlu ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS.

 

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan HIV  akan mengalami berbagai pengalaman tidak menyenangkan saat menerima diagnosis positif HIV. Pengalaman ini meliputi respon emosional negative, keputusasaan, konflik spiritual, dan isolasi diri. Perlunya pendekatan holistik dalam perencanaan dan intervensi bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS, dengan mempertimbangkan aspek emosional, psikologis, spiritual, dan sosial mereka. Dukungan dari keluarga, teman, komunitas, serta layanan kesehatan yang sensitif dan empatik sangat penting untuk membantu mereka mengatasi tantangan yang mereka hadapi.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Duru, P., Örsal, Ö., & Karadağ, E. (2015). Development of an Attitude Scale for Home Care. Research and Theory for Nursing Practice, 29(4), 306–324. https://doi.org/10.1891/1541-6577.29.4.306

Emlet. (2006). An examination of the social networks and social isolation in older and younger adults living with HIV/AIDS. Health & Social Work.

Hamzah, A. (2020). Metode Penelitian Fenomenologi. Literasi Nusantara Abadi.

Holzemer, W. L., Uys, L., Makoae, L., Stewart, A., Phetlhu, R., Dlamini, P. S., Greeff, M., Kohi, T. W., Chirwa, M., Cuca, Y., & Naidoo, J. (2007). A conceptual model of HIV/AIDS stigma from five African countries. Journal of Advanced Nursing.

Kalichman, S. C., Heckman, T., Kochman, A., Sikkema, K., & Bergholte, J. (2000). Depression and thoughts of suicide among middle-aged and older persons living with HIV-AIDS. Psychiatric Services (Washington, D.C.).

Kamen, C., Arganbright, J., Kienitz, E., Weller, M., Khaylis, A., Shenkman, T., Smith, S., Koopman, C., & Gore-Felton, C. (2015). HIV-related stigma: implications for symptoms of anxiety and depression among Malawian women. African Journal of AIDS Research : AJAR, .

Katz, I. T., Ryu, A. E., Psaros, C., Onuegbu, A. G., Weiser, S. D., Bangsberg, D. R., & Tsai, A. C. (2013). Impact of HIV-related stigma on treatment adherence: Systematic review and meta-synthesis. Journal International AIDS Society.

Kemenkes RI. (2017). Panduan Perawatan Orang Dengan HIV AIDS Untuk Keluarga dan Masyarakat.

Nanni, M. G., Caruso, R., Mitchell, A. J., Meggiolaro, E., & Grassi, L. (2015). Depression in HIV infected patients: a review. Current Psychiatry Reports.

Ogden, J. (2012). HEALTH PSYCHOLOGY (Fifth Edition). www.openup.co.ukCoverdesignHybertDesign•www.hybertdesign.com

Pargament, K. I., Falb, M. D., Ano, G., & Wachholtz. (2013). The Religious Dimension of Coping: Advances in Theory, Research, and Practice.

Rich, C., Mavhu, W., France, N. F., Munatsi, V., Byrne, E., Willis, N., & Nolan, A. (2022). Exploring the beliefs, experiences and impacts of HIV-related self-stigma amongst adolescents and young adults living with HIV in Harare, Zimbabwe: A qualitative study. PLoS ONE, 17(5 May). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0268498

Sherr, L., Lampe, F. C., Fisher, M., Arthur, G., Anderson, J., Zetler, S., & Johnson, M. A. (2008). Suicidal ideation in UK HIV clinic attenders. AIDS (London, England).

Smith, A. J., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research.

UNAIDS. (2022). UNAIDS DATA 2022.

Wisnousky, H., Lazzara, N., Ciarletta, M., Pelton, M., Chinchilli, V. M., Ssentongo, A. E., & Ssentongo, P. (2021). Rates and risk factors for suicidal ideation, suicide attempts and suicide deaths in persons with HIV: A protocol for a systematic review and meta-analysis. In BMJ Open (Vol. 11, Issue 2). BMJ Publishing Group. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2020-037154

Yatim, D. I., & Atmosukarto, I. I. (2022). HIV dan Kesehatan Mental. Spirita.

 

Copyright holder:

Sonia Katerina, Zainal Abidin (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: