Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 8, Agustus 2024
CANDIDA SP PADA KULTUR URIN (CANDIDURIA), TANTANGAN DALAM TERAPI ANTIFUNGAL: NARRATIVE LITERATURE REVIEW
Eka Dian A. A. Fatem
Universitas Cenderawasih, Papua, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Candiduria didefinisikan sebagai adanya sel yeast dalam urin. Mayoritas pasien yang didiagnosis dengan candiduria tidak menunjukkan gejala apa pun dan memang sangat sulit untuk membedakan antara gejala bakteriuria dan candiduria pada pasien. Sebagai latar belakang tulisan ini, keputusan untuk memberikan terapi pada candiduria, menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami diagnosis dan terapi candiduria yang kompleks, serta memperkuat kemampuan klinisi dalam mengenali gejala dan menentukan terapi yang tepat untuk candiduria. Metode yang digunakan adalah narrative review, yang bertujuan untuk mengeksplorasi candiduria yang sering ditemukan pada kultur urin, serta manajemen terapi, dengan menggunakan pencarian di Pubmed. Dari hasil penelusuran, untuk menentukan diagnosis dan terapi dari candiduria bukanlah hal mudah, serta memerlukan informasi klinis dan kemampuan klinisi untuk mengenali gejala maupun terapi yang diperlukan untuk candiduria. Manajemen candiduria membutuhkan pemahaman yang komprehensif mengenai faktor risiko, pertimbangan spesifik spesies, dan tantangan terkait dengan terapi empiris dan profilaksis.
Kata Kunci: Candiduria, Candida UTI, funguria
Abstract
Candiduria is defined as the presence of yeast cells in the urine. The majority of patients diagnosed with candiduria are asymptomatic and it is very difficult to distinguish between symptoms of bacteriuria and candiduria in patients. As a background to this paper, the decision to treat candiduria is a challenge for the clinician. This study aims to understand the complex diagnosis and therapy of candiduria, as well as strengthen the clinician's ability to recognize symptoms and determine the appropriate therapy for candiduria. The method used is narrative review, which aims to explore candiduria that is often found in urine culture, as well as therapeutic management, using Pubmed search. From the search results, to determine the diagnosis and therapy of candiduria is not easy, and requires clinical information and clinician's ability to recognize symptoms and therapy needed for candiduria. Management of candiduria requires a comprehensive understanding of risk factors, species-specific considerations, and challenges associated with empirical and prophylactic therapies.
Keywords: Candiduria, Candida UTI, funguria
Pendahuluan
Candiduria merupakan terminologi yang digunakan untuk menjelaskan adanya sel yeast pada urin. Sehingga untuk mengkonfirmasi hal tersebut maka perlu dilakukan kultur urin agar dapat diketahui lebih spesifik terkait spesies Candida pada urin. Kondisi candiduria ini perlu dibedakan apakah merupakan infeksi maupun kolonisasi pada saluran genitourinaria, atau kontaminasi dari sampel urin. Adanya Candida pada urin merupakan pemicu bagi klinisi untuk mempertimbangkan apakah seorang pasien mengalami infeksi saluran kemih akibat Candida sp. Pasien yang paling berisiko mengalami candiduria adalah pasien geriatri, jenis kelamin wanita, memiliki riwayat diabetes, penggunaan kateter urin (termasuk pasien yang dirawat di ICU), menerima terapi antibiotik, dan pernah menjalani prosedur pembedahan sebelumnya (Sobel et al., 2011). Pada pasien tanpa gejala, candiduria hampir selalu merupakan kolonisasi, dan ketika faktor risiko disingkirkan, seperti penggantian kateter urin, dapat mengatasi candiduria (Pappas et al., 2016). Apabila sampel urin terkontaminasi oleh flora normal saluran genitourinaria, maka perlu memperhatikan langkah pre-analitik, tentang bagaimana prosedur pengambilan specimen urin yang baik dan disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada studi prospektif selama satu tahun yang dilakukan di salah satu Rumah Sakit tersier di India, dari kultur urin yang diperiksa, Candida tropicalis adalah spesies yang paling sering diisolasi (65,7%), diikuti oleh Candida albicans (14,3%), Candida glabrata (7,1%), Candida krusei (5,7%), Candida parapsilosis (4,3%), dan Candida dubliniensis (2,9%) (Pramodhini et al., 2021). Sedangkan studi lainnya yang dilakukan sebelumnya di Iran pada 2016, dari kultur urin yang paling sering diisolasi adalah C. albicans (n: 13), C. glabrata (n: 5), dan C. parapsilosis (n: 1) (Fazeli et al., 2019). Dapat dilihat bahwa terjadi pergeseran Candida sp yang diisolasi pada kultur urin, dari yang sebelumnya didominasi oleh C. albicans, kini nampak lebih banyak non-albicans candida (NAC).
Definisi candiduria tidak terstandardisasi dan pada sebagian besar penelitian, candiduria diterima setidaknya satu kultur urin yang menghasilkan ≥ 1 × 103 hingga > 1 × 104 koloni Candida / ml pada populasi penelitian yang berbeda dan kelompok dengan risiko tinggi seperti pada pasien di ICU, nosocomial, dll (Álvarez-Lerma et al., 2003; Colodner et al., 2008). Pada candiduria neonatal, tidak ada kriteria diagnostik dari batas ambang colony forming unit (CFU) atau teknik pengumpulan (aspirasi suprapubik dibandingkan dengan bag collection) yang terstandardisasi. Bahkan pada orang dewasa, kriteria CFU untuk mendiagnosis candiduria berkisar antara 103 hingga 105 CFU/mL. Dalam beberapa penelitian, candiduria bahkan didefinisikan secara berbeda untuk wanita dan pria (Achkar & Fries, 2010).
Dalam keputusan pemberian terapi antifungal inilah klinisi perlu memiliki kompetensi untuk mencermati hasil dari kultur urin. Apakah Candida sp yang diisolasi dari kultur urin merupakan agen patogen penyebab infeksi, atau kolonisasi saja, ataukah merupakan kontaminasi dari specimen urin. Dalam hal ini klinisi dapat berkomunikasi dengan dokter laboratorium, seperti spesialis mikrobiologi klinik untuk memutuskan pemberian terapi antifungal yang tepat, efektif, dan efisien sesuai hasil kultur, yang tentunya akan disesuaikan dengan kondisi pasien terkait. Penelitian ini bertujuan untuk memahami diagnosis dan terapi candiduria yang kompleks, serta memperkuat kemampuan klinisi dalam mengenali gejala dan menentukan terapi yang tepat untuk candiduria.
Metode Penelitian
Gambar 1. Alur pencarian literatur
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan proses pencarian, ditemukan 266 artikel, dengan 60 artikel duplikat. Proses dilanjutkan dengan pemilihan judul, abstrak yang relevan, kriteria inklusi dan eksklusi yang sesuai, dan artikel dengan teks lengkap hingga diperoleh dua artikel yang relevan (Gambar 1). Berdasarkan penelusuran lanjutan dan seleksi yang dan menyeluruh sesuai dengan tujuan penelitian literatur yang relevan, terdapat 2 artikel yang termasuk tinjauan terpilih. (Tabel 1).
Table 1. Kesimpulan managemen candiduria
No. |
References |
Methods |
Results |
1. |
Odabasi & Mert, 2020 |
Review |
Rekomendasi diberikan berdasarkan kondisi pasien yang dikategorikan sebagai simptomatik (dengan atau tanpa pemakaian kateter, dengan factor risiko tertentu, dan pasien dengan tindakan urologi. Serta kategori lainnya adalah pada pasien simptomatik dengan infeksi saluran kemih |
2. |
He et al., 2021 |
Secara retrospektif meninjau data klinis dari 251 pasien candiduria yang dirawat di rumah sakit antara 1 Januari 2016 dan 31 Desember 2018 |
Pasien candiduria dibagi menjadi kelompok bergejala dan tanpa gejala berdasarkan tanda-tanda klinis. Dari 251 pasien candiduria, 41 di antaranya bergejala dan 210 tidak bergejala. Sebanyak 70,7% (28/41) pasien bergejala dan 45,2% (96/210) pasien tanpa gejala memiliki catatan penggunaan kateter. Ketika candiduria pada perawatan, tingkat penggantian kateter adalah 39,3% (11/28) untuk pasien yang menggunakan kateter bergejala dan 21,9% (21/96) untuk pasien yang menggunakan kateter tanpa gejala. Agen antijamur banyak digunakan untuk manajemen candiduria. Dari 251 pasien kandiduria, 87 diobati dengan agen antijamur, termasuk 31 pasien bergejala dan 56 pasien tanpa gejala. Flukonazol adalah obat yang paling sering digunakan untuk manajemen kandiduria di fasiliras kesehatan, dengan frekuensi 52,9%, diikuti oleh vorikonazol dan itrakonazol. |
|
|
|
|
Pembahasan
Terapi pada pasien dengan asimptomatik candiduria, biasanya direkomendasikan untuk menyingkirkan kontaminasi terlebih dahulu (Kauffman, 2014; Thomas & Tracy, 2015). Kontaminasi dapat disingkirkan dengan ppengulangan kultur urin 1 atau 2 hari kemudian pada pasien tanpa penggunaan kateter urin. Pada wanita lanjut usia dan pasien yang tidak dapat mengumpulkan urin midstream, sampel kedua dapat diambil dengan kateterisasi. Jika setelah kultur ulang negatif untuk Candida spp. maka hal tersebut dianggap sebagai kontaminasi. Pada pasien asimptomatik dengan penggunaan kateter urin, kultur ulang harus dilakukan keesokan harinya setelah mengganti kateter. Jika kultur ulang negatif, pendekatan diagnostik atau terapeutik tambahan tidak direkomendasikan. Persistensi kandidiasis pada pasien tanpa gejala memerlukan penilaian faktor predisposisi. Eliminasi faktor predisposisi seperti penggantian kateter uretra biasanya dapat menghilangkan Candida spp. sehingga tidak direkomendasikan penggunaan antifungal (Kauffman et al., 2000). Berdasarkan rekomendasi IDSA (The Infectious Diseases Society of America), pasien asimptomatik candiduria tanpa diketahuinya factor risiko, harus ditindaklanjuti dengan kultur urin, dan candiduria akan sembuh pada sebagian besar pasien dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan tanpa pengobatan antijamur. Terapi antifungal pada candiduria tanpa gejala direkomendasikan hanya pada pasien yang berisiko tinggi mengalami candidemia, yaitu pasien neutropenia, pasien dengan prosedur urologi, dan bayi dengan berat lahir sangat rendah (<1500 g). Untuk pasien yang menjalani prosedur urologi, flukonazol (400 mg setiap hari, atau 6 mg/kg) biasanya direkomendasikan untuk beberapa hari sebelum dan sesudah prosedur (Pappas et al., 2016).
Terapi candiduria tanpa gejala pada penerima transplantasi ginjal juga tidak dianjurkan, karena terapi pada pasien tersebut tampaknya tidak menghasilkan hasil yang lebih baik (Safdar et al., 2005). Terapi antifungal yang tidak sesuai indikasi dapat meningkatkan risiko resistensi antifungal dan efek samping obat juga perlu diperhitungkan. Sayangnya, pengobatan yang berlebihan untuk candiduria tanpa gejala cukup sering ditemui dalam praktik klinis. Pada studi yang dilakukan oleh Jacobs et al., melaporkan bahwa sekitar setengah dari pasien candiduria di rumah sakit tidak ditangani dengan tepat sesuai dengan pedoman, dan pasien tersebut juga mengalami peningkatan insiden rawat inap ulang (Jacobs et al., 2018). Begitu pun seperti pada studi yang dilaporkan oleh He dan rekan, bahwa tingginya kasus candiduria yang ditangani secara tidak tepat berdasarkan rekomendasi dari IDSA, baik dalam penggantian kateter urin dan terapi antifungal. Penanganan yang berlebihan sering terjadi pada pasien candiduria tanpa gejala. Untuk pasien bergejala, pemilihan obat yang tidak tepat juga cukup sering terjadi(He et al., 2021). Pada pasien rawat jalan tanpa gejala dengan candiduria yang persisten, namun memiliki faktor risiko yang mendasari, menghilangkan faktor predisposisi (mengkontrol gula darah, melepas kateter kandung kemih, pengobatan obstruksi atau kelainan urologis, penghentian antibiotik) biasanya cukup dan tidak memerlukan terapi antijamur (Sobel et al., 2011).
Candiduria dapat berkembang melalui dua rute yang berbeda. Sebagian besar candiduria simptomatik berkembang sebagai infeksi ascending yang dimulai dari saluran kemih bagian bawah, mirip dengan patogenesis ISK bakterial. Pasien dengan infeksi ascending dapat mengalami gejala sistitis atau pielonefritis. Rute infeksi lainnya terjadi akibat penyebaran hematogen ke ginjal pada pasien yang mengalami candidemia. Pasien-pasien ini biasanya tidak memiliki gejala atau tanda infeksi saluran kemih, dan diobati untuk candidemia (Fisher, Kavanagh, et al., 2011). Pada pasien candiduria asimptomatik rawat inap maupun rawat jalan yang juga memiliki kondisi predisposisi (pemasangan kateter urin, diabetes melitus, dll.), beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengobatan antifungal tidak menurunkan morbiditas atau mortalitas, dan tidak meningkatkan angka kesembuhan candiduria (Kauffman et al., 2000; Safdar et al., 2005; Simpson et al., 2004).
Pada pasien dengan evidence yang kuat adanya keterlibatan ginjal atau penyebaran sistemik, pemberian terapi antifungal dapat dipertimbangkan. Gambaran radiologis dari sistem saluran kemih, evaluasi faktor risiko candidiasis invasif, kultur darah, dan kultur non-steril lainnya serta pemeriksaan oftalmologis adalah beberapa prosedur yang direkomendasikan (Fisher, Sobel, et al., 2011). Adanya kolonisasi Candida di beberapa lokasi tubuh seperti urin, sekresi pernapasan, oral, rektal, dan inguinal dapat menjadi petunjuk penting untuk candidiasis invasif. Candida Score dan indeks kolonisasi digunakan untuk membedakan kolonisasi Candida dan kandidiasis invasif pada pasien sakit kritis non-neutropenik, dan kolonisasi pada beberapa lokasi tubuh merupakan parameter penting (León et al., 2009). Pada pasien ICU dengan demam non-neutropenik, pengobatan antifungal empiris dapat direkomendasikan jika pasien memiliki faktor risiko candidiasis invasive, seperti pertumbuhan Candida di beberapa bagian tubuh yang tidak steril dan demam yang terjadi tidak dapat dijelaskan dari mana sumbernya(Pappas et al., 2016).
Simptomatik candiduria merupakan kondisis kandung kemih yang terinfeksi oleh Candida spp. Biasanya, kandung kemih adalah steril, oleh karena itu, adanya Candida spp. dapat menyebabkan sistitis Candida, yang dikenal sebagai gejala ISK bagian bawah. Kadang-kadang, sistitis Candida dapat menyebabkan gejala candiduria, seperti frekuensi buang air kecil yang sering, disuria dan hematuria. Sedangkan pielonefritis Candida adalah ISK bagian atas yang berat yang dapat menyebabkan candidemia dan sepsis. Gejala utama yang paling dominan yang berkaitan dengan candidiasis pielonefritis Candida dilaporkan sebagai demam dan candiduria (Kauffman, 2014). Candiduria pada pasien yang tidak stabil, misalnya pada pasien yang sakit kritis, candiduria baik yang bergejala maupun tidak, pada awalnya harus dianggap sebagai pertanda candidiasis diseminata, karena ginjal merupakan target candidemia pada 80% pasien. Sehingga klinisi akan segera mempertimbangkan candidiasis diseminata pada pasien tersebut dan memeriksa fundus optikus, kulit, dan perangkat akses vaskular serta kultur darah untuk jamur. Untungnya, sebagian besar pasien tidak mengalami gejala berat, dan saluran kemih hanya mengalami kolonisasi oleh Candida, terutama jika terdapat kateter urin yang menetap (Fisher, Sobel, et al., 2011).
Berdasarkan guideline IDSA, flukonazol oral adalah obat pilihan untuk pengobatan sistitis Candida dengan durasi 2 minggu (3 mg/kg) setiap hari, jika Candida yang terdeteksi masih sensitive azole. Untuk C. glabrata yang resisten terhadap flukonazol, AmB (amphoterisin B) deoksikolat, 0,3-0,6 mg/kg setiap hari selama 1-7 hari atau flusitosin oral, 25 mg/kg 4 kali sehari selama 7-10 hari direkomendasikan. Sedangkan Untuk C. krusei, direkomendasikan AmB deoxycholate, 0,3-0,6 mg / kg setiap hari, selama 1-7 hari. Atau irigasi kandung kemih dengan AmB deoksikolat, 50 mg/L air steril setiap hari selama 5 hari, juga dapat direkomendasikan untuk pengobatan sistitis karena spesies Candida yang resisten terhadap flukonazol, seperti C. glabrata dan C. krusei. Selain itu pengangkatan kateter kandung kemih yang menetap juga sangat direkomendasikan (Pappas et al., 2016).
Untuk terapi candiduria simptomatik pielonefritis dari guideline IDSA merekomendasikan pemberian flukonazol oral, 200-400 mg (3-6 mg/kg) setiap hari selama 2 minggu, untuk organisme yang rentan terhadap flukonazol. Sedangkan untuk fluconazole resistant C. glabrata dan C. krusei dapat diberikan terapi dengan AmB deoksikolat, 0,3-0,6 mg / kg setiap hari selama 1-7 hari, dengan atau tanpa flusitosin oral, 25 mg / kg 4 kali sehari. Eliminasi obstruksi saluran kemih sangat dianjurkan, dan untuk pasien yang memiliki tube nefrostomi atau stent yang terpasang, dapat dipertimbangkan untuk melepas atau mengganti, jika memungkinkan (Pappas et al., 2016).
Kesimpulan
Pada pasien tanpa gejala, candiduria hampir selalu merupakan kolonisasi, dan penghilangan faktor risiko yang mendasarinya, seperti kateter yang menetap, sering kali cukup memadai untuk mengeliminasi candiduria. Pedoman IDSA merupakan pendekatan yang penting untuk menstandarisasi pengelolaan pasien candiduria secara klinis.
BIBLIOGRAFI
Achkar, J. M., & Fries, B. C. (2010). Candida infections of the genitourinary tract. Clinical Microbiology Reviews, 23(2), 253–273. https://doi.org/10.1128/CMR.00076-09
Álvarez-Lerma, F., Nolla-Salas, J., León, C., Palomar, M., Jordá, R., Carrasco, N., & Bobillo, F. (2003). Candiduria in critically ill patients admitted to intensive care medical units. Intensive Care Medicine, 29(7), 1069–1076. https://doi.org/10.1007/S00134-003-1807-Y/METRICS
Colodner, R., Nuri, Y., Chazan, B., & Raz, R. (2008). Community-acquired and hospital-acquired candiduria: comparison of prevalence and clinical characteristics. European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases : Official Publication of the European Society of Clinical Microbiology, 27(4), 301–305. https://doi.org/10.1007/S10096-007-0438-6
Fazeli, A., Kordbacheh, P., Nazari, A., Ghazvini, R. D., Mirhendi, H., Safara, M., Bakhshi, H., & Yaghoubi, R. (2019). Candiduria in Hospitalized Patients and Identification of Isolated Candida Species by Morphological and Molecular Methods in Ilam, Iran. Iran J Public Health, 48(1), 156–161. http://ijph.tums.ac.ir
Fisher, J. F., Kavanagh, K., Sobel, J. D., Kauffman, C. A., & Newman, C. A. (2011). Candida urinary tract infection: pathogenesis. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America, 52 Suppl 6(SUPPL. 6). https://doi.org/10.1093/CID/CIR110
Fisher, J. F., Sobel, J. D., Kauffman, C. A., & Newman, C. A. (2011). Candida Urinary Tract Infections—Treatment. Clinical Infectious Diseases, 52(suppl_6), S457–S466. https://doi.org/10.1093/cid/cir112
He, Z., Huo, X., Lei, D., Zhao, H., Jia, K., & Wang, F. (2021). Management of candiduria in hospitalized patients: a single-center study on the implementation of IDSA guidelines and factors affecting clinical decisions. European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases : Official Publication of the European Society of Clinical Microbiology, 40(1), 59–65. https://doi.org/10.1007/S10096-020-03999-1
Jacobs, D. M., Dilworth, T. J., Beyd, N. D., Casapao, A. M., & Bowerse, D. R. (2018). Overtreatment of Asymptomatic Candiduria among Hospitalized Patients: a Multi-institutional Study. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 62(1). https://doi.org/10.1128/AAC.01464-17
Kauffman, C. A. (2014). Diagnosis and management of fungal urinary tract infection. Infectious Disease Clinics of North America, 28(1), 61–74. https://doi.org/10.1016/J.IDC.2013.09.004
Kauffman, C. A., Vazquez, J. A., Sobel, J. D., Gallis, H. A., McKinsey, D. S., Karchmer, A. W., Sugar, A. M., Sharkey, P. K., Wise, G. J., Mangi, R., Mosher, A., Lee, J. Y., & Dismukes, W. E. (2000). Prospective multicenter surveillance study of funguria in hospitalized patients. The National Institute for Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Mycoses Study Group. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America, 30(1), 14–18. https://doi.org/10.1086/313583
León, C., Ruiz-Santana, S., Saavedra, P., Galván, B., Blanco, A., Castro, C., Balasini, C., Utande-Vázquez, A., González De Molina, F. J., Blasco-Navalproto, M. A., López, M. J., Charles, P. E., Martín, E., & Hernández-Viera, M. A. (2009). Usefulness of the ‘Candida score’ for discriminating between Candida colonization and invasive candidiasis in non-neutropenic critically ill patients: a prospective multicenter study. Critical Care Medicine, 37(5), 1624–1633. https://doi.org/10.1097/CCM.0B013E31819DAA14
Odabasi, Z., & Mert, A. (2020). Candida urinary tract infections in adults. World Journal of Urology, 38(11), 2699–2707. https://doi.org/10.1007/S00345-019-02991-5
Pappas, P. G., Kauffman, C. A., Andes, D. R., Clancy, C. J., Marr, K. A., Ostrosky-Zeichner, L., Reboli, A. C., Schuster, M. G., Vazquez, J. A., Walsh, T. J., Zaoutis, T. E., & Sobel, J. D. (2016). Clinical Practice Guideline for the Management of Candidiasis: 2016 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America, 62(4), e1–e50. https://doi.org/10.1093/CID/CIV933
Pramodhini, S., Srirangaraj, S., & Easow, J. M. (2021). Candiduria—Study of Virulence Factors and Its Antifungal Susceptibility Pattern in Tertiary Care Hospital. Journal of Laboratory Physicians, 13(03), 231–237. https://doi.org/10.1055/S-0041-1730880
Safdar, N., Slattery, W. R., Knasinski, V., Gangnon, R. E., Li, Z., Pirsch, J. D., & Andes, D. (2005). Predictors and outcomes of candiduria in renal transplant recipients. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America, 40(10), 1413–1421. https://doi.org/10.1086/429620
Simpson, C., Blitz, S., & Shafran, S. D. (2004). The effect of current management on morbidity and mortality in hospitalised adults with funguria. Journal of Infection, 49(3), 248–252. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2003.08.008
Sobel, J. D., Fisher, J. F., Kauffman, C. A., & Newman, C. A. (2011). Candida urinary tract infections--epidemiology. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America, 52 Suppl 6(SUPPL. 6). https://doi.org/10.1093/CID/CIR109
Thomas, L., & Tracy, C. R. (2015). Treatment of Fungal Urinary Tract Infection. Urologic Clinics of North America, 42(4), 473–483. https://doi.org/10.1016/J.UCL.2015.05.010
Copyright holder: Eka Dian A. A. Fatem (2024)
|
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
|
This article is licensed under: |