Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

ANALISIS YURIDIS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PROSES PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DARI SEORANG IBU DI DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL (DUKCAPIL)

 

Raoda Kudoti1, Husein Alting2, Siti Barora Sinay3

Universitas Khairun, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menganalis Kepastian Hukum Terhadap Proses Pencatatan Kelahiran Anak dari Seorang Ibu di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), serta mengkaji implikasi hukum terkait Pencatatan Kelahiran Anak Tanpa Ayah Biologis dalam Kartu Keluarga di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni jenis penelitian hukum normatif, karena dalam analisisnya menggunakan bahan bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitian. Penelitian normatif disini tentang perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang status kewarisan anak hasil sewa rahim. Penelitian ini tergolong penelitain pustaka atau literatur. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dibantah oleh pihak ketiga. Karena akta-akta yang dibuat oleh Lembaga Catatan Sipil adalah mengikat terhadap mereka yang berkepentingan, dapat diketahui pula suatu negara yang merupakan negara hukum, maka akan menghendaki pula adanya masyarakat yang teratur, tertib, aman, dan tenteram. Bahwa pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Pencatatan Kelahiran, Anak, ibu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).

 

Abstract

This study aims to analyze the Legal Certainty of the Process of Recording the Birth of a Child from a Mother at the Directorate General of Population and Civil Registration (Dukcapil), as well as examining the legal implications related to Recording the Birth of a Child Without a Biological Father in the Family Card at the Directorate General of Population and Civil Registration (Dukcapil). The research method used in this research is normative legal research, because in its analysis it uses library materials as a source of research data. Normative research here is about the comparison of Islamic law and positive law regarding the status of inheritance of children from uterine leases. This research is classified as literature research or literature. The results of this study indicate that in order to realize legal certainty, all deeds registered and issued by the Civil Registry have definite strength and are not disputed by third parties. Because the deeds made by the Civil Registry Institution are binding on those concerned, it can also be known that a country that is a state of law, it will also want an orderly, orderly, safe and peaceful society. That the administrative registration carried out by the state is intended so that marriage, as an important legal act in the life carried out by those concerned, which has implications for very broad legal consequences, can later be proven with perfect evidence.

Keywords: Legal Certainty, Birth Registration, Child, mother, Directorate General of Population and Civil Registration (Dukcapil)

 

Pendahuluan

 Pencatatan perkawinan dalam sistem hukum di Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan (Rahman et al., 2023; Safitri et al., 2022; Setiawan, 2022).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi hukum dan pembaharuan hukum. Ide unifikasi hukum merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan dalam derajat yang sama, baik terhadap hak maupun kewajiban yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua warga Negara. Sedangkan ide pembaharuan hukum pada dasarnya berusaha menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa. Ketentuan pencatatan perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Lebih lanjutt pelaksanaan pencatatan perkawinan terkait Pasal 2 ayat (1) dan (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu:(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. (2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan (Kamila, 2022; Nasution, 2019; Waluyo, 2020).

Salah satu jenis pelayanan publik yang mendasar yakni dibidang administrasi kependudukan, karena berhubungan dengan keberadaan individu sebagai warga Negara Indonesia. Hal ini menyangkut Pelayanan dalam bidang administrasi kependudukan merupakan salah satu pelayanan yang memiliki banyak pekerjaan seperti melayani kartu tanda penduduk, akta nikah, kartu keluarga, akta kelahiran, akta kematian, yang kemudian dikhususkan pada akta kelahiran.

Umumnya kedudukan hukum seseorang dimulai pada saat ia dilahirkan dan akan berakhir pada ia meninggal dunia. Sedangkan peristiwa kelahiran sampai dengan peristiwa kematian tersebut akan menimbulkan akibat-akibat hukum yang sangat penting tidak saja yang bersangkutan dengan diri sendiri tetapi dapat menyangkut orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebuah surat tanda bukti diri adalah hal yang penting demi kedudukannya dalam hukum dan kepastian hukum (Mutriadi, 2022; Safryan Dilapanga et al., 2021).

Selaras dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 27 yang menyebutkan bahwa: (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa keiahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Registrasi Akta Kelahiran dan Menerbitkan Akta Keiahiran tersebut. Untuk itu, maka pada setiap keiahiran seorang anak harus segera dilaporkan kepada pejabat setempat untuk segera dicatat dan diterbikan Akta Kelahirannya, supaya dapat diperjelas anak yang dilahirkan tersebut (Hidayati, 2022; M.Yunus & Aini, 2020; Santoso & Zeinudin, 2021).

Pada umumnya, status hukum seseorang dimulai pada saat ia dilahirkan hidup dan akan berakhir dengan kematian Akta Kelahiran menjadi sangat penting karena dengan Akta Kelahiran tersebut, seorang anak memiliki bukti secara hukum tentang statusnya sebagai anak sah dimata hukum, serta memperoleh kedudukan yang pasti sebagai warga Negara Indonesia. Dapat dikatakan sebagai anak yang sah dari orang tuanya apabila anak tersebut dapat menujukan bukti-bukti yang kuat dan otentik.

Alat bukti yang sah tentunya adalah alat bukti terulis dan otentik yang menerapkan tentang suatu hal agar hal tersebut mempunyai dasar ketentuan hukum yang pasti dan kuat. Akta Keiahiran dapt dijadikan jati diri atau alat membuktikan diri atas pemiliknya, sebab dalam suatu Akta Keiahiran anak tersebut akan dicantumkan dengan jelas tentang hari, tempat lahir, tanggal lahir, bulan, dan tahun kelahoiran serta ditegaskan nama orang tua yang melahirkan. Oleh karena itu, Akta Keiahiran dapat memnuktikan bahwa orang tersebut telah mencapai umur tertentu untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya perkawinan dan masih banyak yang lain.

Demikian pula dengan peristiwa keiahiran seseorang, peristiwa keiahiran anak perlu mempunyai bukti yang tertulis dan otentik, karena untuk membuktikan identitas seseorang yang pasti dan sah adalah dapat kita lihat Akta Keiahiran yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan akta tersebut yakni oleh pejabat yang benvenag, dalam hal ini adalah pegawai Catatan Sipil.

Berdasarkan persoalan yang dikemukakan di atas, maka persoalan berkaitan dengan implikasi yuridis terhadap penerbitan Kartu Keluarga bagi pasangan nikah siri menjadi menarik dikaji. Terutama dalam perspektif harmonisasi hukum antara Undang-Undang Perkawinan dengan Peraturan Menteri dalam Negeri yang mana di salah satu norma menginginkan supaya perkawinan mengkehendaki agar dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya dalam norma yang lain mengkehendaki nikah sirri juga dapat diberikan KK dengan penambahan keterangan perkawinan belum dicatatkan. Maka dalam penelitian ini dipilih, sebagai judul di dalam penelitian ini yang membuat peneliti tertarik untuk lebih lanjut meneliti dan membahas mengenai hal tersebut yakni: “Analisis Yuridis Kepastian Hukum Terhadap Proses Pencatatan Kelahiran Anak dari Seorang Ibu di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)”

Berdasarkan latar belakang yang telah duraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1)  Untuk menganalis Kepastian Hukum Terhadap Proses Pencatatan Kelahiran Anak dari Seorang Ibu di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)

2)  Untuk mengkaji implikasi hukum terkait Pencatatan Kelahiran Anak Tanpa Ayah Biologis dalam Kartu Keluarga di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)

 

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

         Dari latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas, bahwa jenis penelitian masuk ke dalam katagori penelitian hukum normatif, karena dalam analisisnya menggunakan bahan bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitian. Penelitian normatif disini tentang perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang status kewarisan anak hasil sewa rahim. Penelitian ini tergolong penelitain pustaka atau literatur. Dalam penelitian hukum, jenis ini masuk ke dalam katagori penelitan hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, oleh karena itu dalam penelitian ini bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmupenelitian digolongkan sebagai data sekunder. Penggunaan metode penelitian ini dikarenakan peneliti hanya mengkaji aspek yuridis terkait pembolehan penerbitan KK baru bagi pasangan nikah siri dengan menganalisisnya dalam perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia dan asas hukum serta kaidah-kaidah yang berlaku.

 

Sumber Data

         Sumber data adalah objek dari mana data itu diperoleh karena penelitian ini adalah tergolong penelitian pustaka, maka keseluruhan data adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian normatif dimana bahan pustaka merupakan dasar dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer yakni UU Perkawinan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang pemboleh pembuatan KK bagi pasangan nikah siri. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan hukum yang terdapat dalam literatur perpustakaan khususnya yang membahas tentang nikah siri, dampak nikah siri terhadap perempuan dan anak serta literatur yang terkait lainnya.

 

Teknik Menganalisis Data

Analisis yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah melalui
pengelola bahan-bahan hukum yang telah dikumpulakan terlebih dahulu kemudian disusun secara sistematis dan terarah. Langkah-langkah dalam melakukan penelitian hukum di atas merupakan sebuah analisis bahan hukum terhadap sebuah penelitian hukum yang telah menggunakan tipe penelitian normatif.

Tujuan analisis bahan hukum tersebut adalah untuk menemukan jawaban atas permasalahan pokok yang dibahas. Dalam analisis terkait masalah tesis ini dengan menganisis buku-buku, karya ilmiah, artikel, dan lain-lain mengenai pandangan yang terkait pada tesis ini. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan cara memberikan interpretasikan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kemudian disusun secara sistematis agar dapat dipahami dengan mudah sesuai dengan kaidah dan asas-asas hukum yang ada.

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Kepastian Hukum Terhadap Proses Pencatatan Kelahiran Anak dari Seorang Ibu

Pemerintah Indonesia telah mengatur tentang Perkawinan yang telah disahkan pada tanggal 1 Oktober 1975 yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan). Ketentuan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan (Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dimana perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan adanya tujuan yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan yang paling utama dalam perkawinan adalah membina kehidupan rumah tangga yang kekal dan bahagia diantara suami dan isteri yang melangsungkan perkawinan dengan maksud untuk melanjutkan keturunan (Saepudin & Aripin, 2013). Di Indonesia, perkawinan merupakan sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan. Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dibahas bahwa Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Serta setiap perkawinan yang terjadi akan dicatat sesuai yang diatur didalam Peraturan yang berlaku. Namun berdasarkan praktek dalam masyarakat, masih banyak dijumpai adanya perkawinan yang dilangsungkan dengan tidak mengikuti aturan yang ada. Seperti perkawinan yang dilakukan dibawah tangan atau yang lebih dikena dengan Perkawinan Siri.

Perkawinan siri akan menimbulkan dampak negatif terhadap pasangan suami isteri yang melaksanakannya, terhadap anak yang lahir didalam perkawinan dan juga berdampak pada harta dalam perkawinan tersebut. Karena perkawinan siri yang dilangsungkan tidak memiliki kekuatan hukum dimana perkawinan tersebut tidak memiliki surat nikah yang merupakan alat bukti yang otentik dalam xperkawinan . Sehingga apabila dilaksanakan hanya secara agama, maka suami dengan mudahnya dapat mengingkari perkawinan tersebut (Sanjaya & Rahim, 2017). Perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah, maka salah satu pihak yang menjadi korban. Secara yuridis, pihak yang sering menjadi korban adalah pihak perempuan dan anak yang lahir dalam perkawinan siri. Anak yang lahir akibat perkawinan siri hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja sesuai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Status anak akibat perkawinan siri di Indonesia masih menimbulkan persoalan dan ketidakpastian bagi si anak. dimana status anak yang dilahirkan dimata hukum dianggap sebagai anak luar kawin. Berdasarkaan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jelas diatur bahwa anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja. Anak luar kawin tidak mendapatkan perlindungan hukum atas hak warisnya. Namun untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hak warisnya anak luar kawin, dapat menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan.

Pemenuhan hak atas identitas anak adalah pemenuhan hak asasi terhadap anak. Dalam perspektif perlindungan Hak Asasi Manusia, jaminan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sesungguhnya telah dimuat dalam Konvensi Hak Anak tahun 1989 yang disepakati dalam sidang Majelis Umum (General Assembly) PBB ke-44 yang selanjutnya telah dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Konvensi Hak Anak ini merupakan hukum internasional yang mengikat negara peserta (state parties), termasuk Indonesia. Sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum (legally binding) dengan konvensi PBB tentang hak anak (United Nation Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dengan demikian Indonesia berkewajiban untuk melakukan harmonisasi Konvensi Hak Anak dengan hukum nasional, melaksanakan program berbasis hak anak dan membangun institusi independen perlindungan anak dan membuat pelaporan kemajuan implementasi Konvensi Anak secara berkala.

Dalam Pasal 28B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diberikan oleh Undang-Undang Dasar ini memberikan landasan yang sangat kokoh bagi seluruh anak Indonesia untuk dipenuhi hak-haknya termasuk di dalamnya kepemilikan Akta Kelahiran. Berdasarkan hak anak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mewajibkan pemerintah untuk memberikan Akta Kelahiran bagi anak, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.

Hak atas Akta Kelahiran yang merupakan identitas anak merupakan hak pertama anak, yaitu hak yang harus diperoleh anak segera sejak saat kelahirannya. Meski pun di sejumlah negara maju lebih dikedepankan sisi pencatatannya karena sudah menerapkan data elektronik online terpusat, namun untuk memastikan kekuatan hukumnya secara timbal balik pada negara dan individu bersangkutan, maka identitas anak perlu dituangkan dalam bentuk fisik berupa Akta Kelahiran, sebagai bukti yuridis pengakuan negara atas keberadaannya di muka bumi ini. Berdasarkan prinsip, asas dan norma tentang pencatatan kelahiran, maka pemenuhan hak identitas anak melalui pembuatan Akta Kelahiran paling tidak memiliki lima fungsi, yaitu antara lain: 1) memberikan bukti fakta mengenai adanya kelahiran seseorang dan fakta yang berkaitan dengan kelahiran itu, termasuk orangtua kandungnya atau situasi ketika ia merupakan anak temuan; 2) memberikan identitas dasar berupa nama, baik nama diri maupun nama keluarga (bila ada); 3) memberikan perlindungan dasar berupa status kewarganegaraan anak tersebut; 4) memberikan bukti usia seseorang melalui tanggal kelahirannya untuk menegakkan haknya saat mencapai usia tertentu; dan 5) memberikan bukti tempat kelahiran dan tempat pencatatan kelahiran seseorang untuk keperluan pembuktian administrasi.

Akta Kelahiran bagi anak sangat penting sebagai salah satu bukti pemenuhan hak anak oleh Negara, dan memiliki manfaat bagi anak di kemudian hari. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1)     Menjamin kepastian hukum terkait nama, kewarganegaraan, asal-usul, dan usia anak sehingga bisa menghindari manipulasi data dalam berbagai bidang hukum perdata, keluarga, waris dan hukum publik;

2)     Merupakan bukti adanya hubungan hukum antara anak dan orangtua kandungnya, yang mempunyai akibat hukum terhadap hak dan kewajiban anak dengan orang tua secara timbal balik. Dari segi hukum keluarga dan hukum waris, akta kelahiran merupakan bukti status hukum seseorang sebagai subjek hukum individu;

3)     Memastikan akurasi data hubungan keluarga dan penentuan silsilah yang berguna bagi upaya pencegahan pernikahan sedarah (incest), dan memperkuat dokumen medis anak terkait usia dan penelusuran genetika;

4)     Menjadi dokumen dasar untuk penerbitan berbagai dokumen lain, dan kegiatan yang ditentukan berdasarkan usia, antara lain kartu tanda penduduk, kartu keluarga;

5)     Memudahkan anak mengikuti pendidikan formal dan juga memperoleh ijazah kelulusan;

6)     Memudahkan anak mengikuti kegiatan kompetisi olahraga, seni dan budaya yang didasarkan kepada kelompok usia;

7)     Mencegah munculnya pekerja anak dibawah usia yang diperbolehkan bekerja yaitu 15 tahun terutama pada jenis pekerjaan yang terlarang bagi anak atau yang sering diistilahkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak;

8)     Mencegah dilangsungkannya pengadilan terhadap anak dibawah usia yang diperbolehkan menempuh persidangan (12 tahun); dan

9)     Mencegah terjadinya manipulasi usia, eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap anak, perdagangan anak, pernikahan dini pengangkatan anak ilegal ataupun tindakan pelanggaran perlindungan anak lainnya, khususnya bagi anak yang berada pada kegiatan pengasuhan alternatif di lembaga masyarakat dan keorganisasian lain yang menjadi pengasuh, wali, pendamping, pembimbing agama, pendidik atau praktisi penanganan masalah anak, termasuk yang menangani anak berkebutuhan khusus dan anak dari kelompok rentan.

Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum yang dinyatakan tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ( Pasal 27 ayat 1-4) disebutkan bahwa: Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya. Identitas sebagaimana dimaksud dituangkan dalam akta kelahiran.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan batas waktunya disebutkan bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran; dan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.

Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dibantah oleh pihak ketiga. Karena akta-akta yang dibuat oleh Lembaga Catatan Sipil adalah mengikat terhadap mereka yang berkepentingan, dapat diketahui pula suatu negara yang merupakan negara hukum, maka akan menghendaki pula adanya masyarakat yang teratur, tertib, aman, dan tenteram. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, tentu saja pada kehidupan masyarakatnya yang kompleks akan terdapat pula pandangan hidup yang berbeda-beda. Mengenai catatan sipil ini, dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. Karena lembaga ini, maka masyarakat yang memerlukan pelayanan mengenai pembuatan akta-akta, dapat langsung berhubungan dengan kantor Catatan Sipil. Jadi, lembaga ini khusus membantu masyarakat dalam hal terciptanya ketertiban juga memerlukan bukti yang paling kuat dan sempurna.

Persyaratan pencatatan akta kelahiran sebagai berikut:

-       Surat keterangan lahir dari dokter/bidan/penolong kelahiran;

-       Akta nikah/kutipan akta perkawinan

-       KK dimana penduduk adak didaftarkan sebagai anggota keluarga;

-       KTP-el orang tua/wali/pelapor;

-       Paspor bagi WNI bukan penduduk dan orang asing

Berdasarkan persyaratan pencatatan kelahiran tersebut bila syarat berupa surat keterangan lahir dari ddokter/bidang/penolong kelahiran tidak terpenuhi maka pemohon melampirkan Surat Pernyataan Tanggun Jawab Mutlak (SPTJM) kebenaran data kelahiran. Begitu juga dengan hal jika syarat berupa akta nikah/kutipan akta perkawinan tidak terpenuhi, maka pemohon melampirkan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami isteri. Dalam membuat permohonan SPTJM tersebut maka tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemohon. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak dibagi menjadi dua, yaitu :

a)     Surat Pernyataan TanggungJawab Mutlak (SPTJM) Keterangan Lahir Dalam membuat permohonan STPJM keterangan lahir, maka pemohohon harus memenuhi persyaratan pemohon, diantaranya ialah: 1) KTP 2) Kartu Keluarga

b)    Surat Pernyataan TanggungJawab Mutlak (SPTJM) Keterangan Lahir Dalam membuat permohonan STPJM keterangan lahir, maka pemohohon harus memenuhi persyaratan pemohon, diantaranya ialah: 1) KTP 2) Kartu Keluarga

Persyaratan dalam pembuatan akta kelahiran anak terdapat dua kategori dalam Permendagri No. 9 Tahun 2016 ini, yaitu :

a)     Akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam suatu sebagai akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang- undangan tetapi status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga (KK) menunjukan hubungan perkawinan sebagai suami isteri. Jika status pada Kartu Keluarga menunjukan hal tersebut maka formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak dibuat frase “yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang- undangan”

b)    Akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam suatu akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan dan status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga (KK) tidak menunjukkan hubungan perkawinan sebagai suami isteri. Jika pada Kartu Keluarga tidak meunjukan sebagai pasangan suami isteri maka dalam akte kelahiran anak tersebut dibuat anak dari seorang ibu.

Kepastian hukum,

 

Implikasi hukum terkait Pencatatan Kelahiran Anak Tanpa Ayah Biologis dalam Kartu Keluarga

Dalam kacamata hukum positif Indonesia Perkawinan dianggap sah jika telah dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaannya serta dicatatkan pada lembaga yang berwenang. Selain berdasarkan pada hal tersebut, sahnya perkawinan juga dipengaruhi oleh rukun dan syarat yang harus terpenuhi dalam sebuah perkawinantanpa adanya salah satu rukun dan atau syarat maka suatu perkawinan dapat diragukan keabsahannya (Millah & Jahar, 2021). Perkawinan merupakan aspek penting dalam kehidupan, maka dari itu sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan oleh seseorang memberikan dampak yang amat penting bagi orang tersebut, keturunan serta keluarganya. Perkawinan tidak sah akan menimbulkan dampak yang kurang baik, salah satunya adalah permasalahan mengenai kedudukan hukum dari anak (keturunan) yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan tidak sah. Seorang anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang tidak sah maka berkedudukan sebagai anak tidak sah. Untuk berkedudukan sebagai anak sah maka kedua orang tuanya harus mengajukan permohonan asal usul anak pada Pengadilan yang berwenang untuk menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak sah dari para pemohon.

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Selanjutnya KHI menjelaskan, “akte kelahiran dapat dijadikan bukti asal-usul anak dan jika seorang anak tidak mempunyai akte kelahiran maka pengadilan agama dapat berhak menetapkan asal usul anak dengan melalui pemeriksaan yang berdasarkan buktibukti dan fakta persidangan dengan teliti, berdasarkan hal tersebut maka Pengadilan Agama dapat memerintahkan instansi pencatat kelahiran untuk memberikan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan”.

Seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan (Witanto, 2012). Kelahiran seorang anak di tengah-tengah keluarga, tentu akan memberi kebahagian tersendiri bagi keluarga tersebut. Kehadiran anak sebagai anggota keluarga yang baru, menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak tersebut menjadi orang yang berguna. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang tidak sah akan mendapat julukan dalam masyarakat sebagai anak luar nikah. Hal ini tentu saja akan menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, status hukum anak dan sebagainya. Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap bukanlah pernikahan yang sah oleh negara tetapi sah menurut agama, maka anak yang dilahirkan dalam pernikahan tersebut dikategorikan sebagai anak luar perkawinan yang sah. Dalam arti bagi anak tersebut dikeluarkan akta kenal lahir yang isinya adalah anak tersebut lahir dari seroang wanita yang tanpa kawin. Dengan demikian anak dari hasil pernikahan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya saja, sedangkan anak tersebut tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dalam bentuk waris, hak dan kewajiban secara timbal balik.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 46/PUU/VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca :

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap 33 perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;

Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsipprinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundangundangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945].

pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;

 Jadi, jika ingin si anak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya juga, hal itu dapat dibuktikan secara hukum, yakni dengan melalui penetapan pengadilan. Untuk kepentingan penerbitan akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan guna perlindungan hukum anak itu sendiri. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia. Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah diterbitkannya akta kelahiran.

Kewajiban Pemerintah untuk melakukan pencatatan kelahiran sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan telah diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependuduka, serta lebih lanjut lagi dituangkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Dengan adanya pengaturan ini maka dalam konteks kepemilikan Akta Kelahiran, setiap anak diharapkan dapat terpenuhi hak identitasnya dan terlindungi keberadaannya.

Beberapa instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan upayaupaya perlindungan dan pemenuhan hak atas identitas anak tersebut dapat diungkap, diantaranya ;

1.     Deklarasi Universal tentang HakHak Asasi Manusia, yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948

2.     Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial and Culture Rights/ICESCR)

3.     Konvensi Hak Anak (Convention on he Rights of the Child)

4.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

5.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

6.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

7.     Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

8.     Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Disamping hal tersebut selama ini pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam UU ini ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara melalui sistem stelsel aktif penduduk. Penduduk yang harus pro aktif mencatatkan kelahirannya agar bisa memiliki akte kelahiran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan 4, 30 ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2 serta penjelasan Umum UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Pasal-pasal tersebut mengatur keharusan setiap warga negara melaporkan kelahirannya sampai sanksi denda bagi siapa yang melanggar.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang diperoleh adalal; (1) Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dibantah oleh pihak ketiga. Karena akta-akta yang dibuat oleh Lembaga Catatan Sipil adalah mengikat terhadap mereka yang berkepentingan, dapat diketahui pula suatu negara yang merupakan negara hukum, maka akan menghendaki pula adanya masyarakat yang teratur, tertib, aman, dan tenteram. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, tentu saja pada kehidupan masyarakatnya yang kompleks akan terdapat pula pandangan hidup yang berbeda-beda. Mengenai catatan sipil ini, dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. (2) Pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Hidayati, A. (2022). Analisis Yuridis Pencatatan Perkawinan Beda Agama (Tinjauan Terhadap Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan. Jurnal Jantera Hukum Borneo, 5(2).

Kamila, M. Z. (2022). Dinamika Politik dalam Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Peradilan Islam, 3(2). https://doi.org/10.15575/as.v3i2.13542

Millah, S., & Jahar, A. S. (2021). Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Fiqh dan KHI (Vol. 253). Amzah (Bumi Aksara).

Mutriadi, A. (2022). Kedudukan Hukum Anak Luar Nikah Dalam Perwarisan. Juripol, 5(2). https://doi.org/10.33395/juripol.v5i2.11726

M.Yunus, F., & Aini, Z. (2020). Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam). Media Syari’ah, 20(2). https://doi.org/10.22373/jms.v20i2.6512

Nasution, H. (2019). Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Tentang Usia Perkawinan Di Indonesia (Studi Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Dan Hukum.

Rahman, G., Soeradji, E., & Dakhoir, A. (2023). Virginitas dalam Sistem Pencatatan Perkawinan: Pendekatan Multiparadigma. JURNAL PENELITIAN SERAMBI HUKUM, 15(01). https://doi.org/10.59582/sh.v15i01.714

Saepudin, A., & Aripin, E. N. W. J. (2013). Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis. Jakarta: Kencana.

Safitri, N. A., Suprihatin, T., & Lis Sulistiani, S. (2022). Analisis UUP 1/1974 dan Hukum Islam terhadap Pasal 4 Ayat (2) PERMENDAGRI No. 9 Tahun 2016 tentang Penggunaan SPTJM Nikah Sirri. Bandung Conference Series: Islamic Family Law, 2(2). https://doi.org/10.29313/bcsifl.v2i2.2660

Safryan Dilapanga, M. M., Astati, D., & Nurjannah, E. (2021). Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) dalam Memperoleh Harta Waris Menurut Hukum Islam. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(1). https://doi.org/10.23887/jkh.v7i1.31460

Sanjaya, U. H., & Rahim, A. (2017). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. PT.Gama Media.

Santoso, A., & Zeinudin, Moh. (2021). Rekontruksi Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 20013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Jurnal Jendela Hukum, 8(1). https://doi.org/10.24929/fh.v8i1.1333

Setiawan, Y. (2022). Analisa Pencatatan Nikah (Kawin Belum Tercatat) Pada Kk Dalam Persfektif Disdukcapil Purwakarta. Muttaqien; Indonesian Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, 3(2). https://doi.org/10.52593/mtq.03.2.02

Waluyo, B. (2020). Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 2(1). https://doi.org/10.23887/jmpppkn.v2i1.135

Witanto, D. Y. (2012). Hukum keluarga: hak dan kedudukan anak luar kawin: pasca keluarnya putusan MK tentang uji materiil UU perkawinan. In (No Title). Prestasi Pustaka.

 

 

Copyright holder:

Raoda Kudoti, Husein Alting, Siti Barora Sinay (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: