Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
12, Desember 2024
ANALISIS YURIDIS KEPASTIAN
HUKUM TERHADAP PROSES PENCATATAN KELAHIRAN ANAK DARI SEORANG IBU DI DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN
PENCATATAN SIPIL (DUKCAPIL)
Raoda Kudoti1, Husein Alting2,
Siti Barora Sinay3
Universitas Khairun, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalis Kepastian
Hukum Terhadap Proses Pencatatan
Kelahiran Anak dari Seorang Ibu di
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil),
serta mengkaji implikasi hukum terkait
Pencatatan
Kelahiran Anak Tanpa Ayah Biologis dalam Kartu Keluarga di
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni jenis penelitian hukum normatif,
karena dalam analisisnya menggunakan bahan bahan
kepustakaan sebagai sumber data penelitian.
Penelitian normatif disini tentang perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang
status kewarisan anak hasil sewa rahim.
Penelitian ini tergolong penelitain
pustaka atau literatur. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua
akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dibantah oleh pihak ketiga. Karena akta-akta yang dibuat oleh
Lembaga Catatan Sipil adalah mengikat terhadap mereka yang berkepentingan, dapat diketahui pula suatu negara yang merupakan negara hukum, maka akan menghendaki
pula adanya masyarakat yang
teratur, tertib, aman, dan tenteram. Bahwa pencatatan
secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan,
sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang
bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di
kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta
otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak
yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara
efektif dan efisien.
Kata Kunci: Kepastian Hukum, Pencatatan
Kelahiran, Anak, ibu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (Dukcapil).
Abstract
This study aims to analyze
the Legal Certainty of the Process of Recording the Birth of a Child from a Mother at the Directorate General of Population and Civil
Registration (Dukcapil), as well as examining the
legal implications related to Recording the Birth of a Child Without a
Biological Father in the Family Card at the Directorate General of Population
and Civil Registration (Dukcapil). The research
method used in this research is normative legal research, because in its
analysis it uses library materials as a source of research data. Normative
research here is about the comparison of Islamic law and positive law regarding
the status of inheritance of children from uterine leases. This research is
classified as literature research or literature. The results of this study
indicate that in order to realize legal certainty, all deeds registered and
issued by the Civil Registry have definite strength and are not disputed by
third parties. Because the deeds made by the Civil Registry Institution are
binding on those concerned, it can also be known that a country that is a state
of law, it will also want an orderly, orderly, safe and peaceful society. That
the administrative registration carried out by the state is intended so that
marriage, as an important legal act in the life carried out by those concerned,
which has implications for very broad legal consequences, can later be proven
with perfect evidence.
Keywords: Legal Certainty, Birth Registration, Child, mother,
Directorate General of Population and Civil Registration (Dukcapil)
Pendahuluan
Pencatatan
perkawinan dalam sistem hukum di Indonesia
diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dan disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi
hukum dan pembaharuan hukum. Ide unifikasi hukum
merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum
kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan dalam derajat yang sama, baik terhadap hak
maupun kewajiban yang bersifat nasional dan berlaku
untuk semua warga Negara. Sedangkan ide
pembaharuan hukum pada dasarnya berusaha
menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa. Ketentuan pencatatan perkawinan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu: “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Lebih lanjutt
pelaksanaan pencatatan perkawinan terkait
Pasal 2 ayat (1) dan (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu:(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk. (2) Pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada kantor catatan
Salah satu jenis
pelayanan publik yang mendasar yakni dibidang administrasi kependudukan, karena
berhubungan dengan keberadaan individu sebagai warga Negara Indonesia. Hal ini
menyangkut Pelayanan dalam bidang administrasi kependudukan merupakan salah satu
pelayanan yang memiliki banyak pekerjaan seperti melayani kartu tanda penduduk,
akta nikah, kartu keluarga, akta kelahiran, akta kematian, yang kemudian
dikhususkan pada akta kelahiran.
Umumnya kedudukan
hukum seseorang dimulai pada saat ia dilahirkan dan akan berakhir pada ia
meninggal dunia. Sedangkan peristiwa kelahiran sampai dengan peristiwa kematian
tersebut akan menimbulkan akibat-akibat hukum yang sangat penting tidak saja
yang bersangkutan dengan diri sendiri tetapi dapat menyangkut orang-orang yang
ada di sekitarnya. Sebuah surat tanda bukti diri adalah hal yang penting demi
kedudukannya dalam hukum dan kepastian hukum
Selaras dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 27 yang menyebutkan
bahwa: (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa keiahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Registrasi Akta Kelahiran dan Menerbitkan Akta Keiahiran tersebut. Untuk itu, maka
pada setiap keiahiran seorang anak harus
segera dilaporkan kepada pejabat setempat untuk segera dicatat dan diterbikan Akta Kelahirannya, supaya dapat diperjelas anak yang dilahirkan tersebut
Pada umumnya, status hukum
seseorang dimulai pada saat ia dilahirkan
hidup dan akan berakhir dengan kematian Akta Kelahiran
menjadi sangat penting karena dengan Akta
Kelahiran tersebut, seorang anak memiliki
bukti secara hukum tentang statusnya
sebagai anak sah dimata hukum,
serta memperoleh kedudukan yang pasti sebagai warga Negara Indonesia. Dapat dikatakan sebagai anak yang sah dari orang tuanya apabila anak tersebut dapat
menujukan bukti-bukti yang kuat dan otentik.
Alat bukti yang sah tentunya adalah alat bukti terulis
dan otentik yang menerapkan
tentang suatu hal agar hal tersebut
mempunyai dasar ketentuan hukum yang pasti dan kuat. Akta Keiahiran dapt dijadikan jati diri atau
alat membuktikan diri atas pemiliknya,
sebab dalam suatu Akta Keiahiran
anak tersebut akan dicantumkan dengan jelas tentang
hari, tempat lahir, tanggal lahir, bulan, dan tahun kelahoiran serta ditegaskan nama orang tua yang melahirkan. Oleh karena itu, Akta Keiahiran
dapat memnuktikan bahwa orang tersebut telah mencapai umur tertentu untuk
dapat melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya perkawinan dan masih banyak yang lain.
Demikian pula dengan peristiwa keiahiran seseorang, peristiwa keiahiran anak perlu mempunyai bukti yang tertulis dan otentik, karena untuk membuktikan identitas seseorang yang pasti dan sah adalah
dapat kita lihat Akta Keiahiran
yang dikeluarkan oleh suatu
lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan akta tersebut yakni
oleh pejabat yang benvenag,
dalam hal ini adalah pegawai
Catatan Sipil.
Berdasarkan
persoalan yang dikemukakan di atas, maka persoalan berkaitan dengan implikasi yuridis terhadap penerbitan Kartu Keluarga
bagi pasangan nikah siri menjadi menarik
dikaji. Terutama dalam perspektif harmonisasi hukum antara Undang-Undang Perkawinan dengan Peraturan Menteri dalam Negeri yang mana
di salah satu norma menginginkan supaya
perkawinan mengkehendaki agar dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebaliknya dalam norma yang lain mengkehendaki nikah sirri juga
dapat diberikan KK dengan penambahan keterangan
perkawinan belum dicatatkan. Maka dalam penelitian ini dipilih, sebagai
judul di dalam penelitian ini yang membuat peneliti tertarik untuk lebih lanjut
meneliti dan membahas mengenai hal tersebut yakni: “Analisis Yuridis Kepastian Hukum Terhadap
Proses Pencatatan Kelahiran
Anak dari Seorang Ibu di
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)”
Berdasarkan latar
belakang yang telah duraikan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)
Untuk menganalis Kepastian Hukum Terhadap Proses Pencatatan Kelahiran Anak dari Seorang Ibu di Direktorat Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Dukcapil)
2)
Untuk mengkaji implikasi hukum terkait
Pencatatan
Kelahiran Anak Tanpa Ayah Biologis dalam Kartu Keluarga di Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)
Metode
Penelitian
Jenis Penelitian
Dari latar
belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas, bahwa jenis penelitian masuk ke dalam katagori penelitian
hukum normatif, karena dalam analisisnya
menggunakan bahan bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitian. Penelitian
normatif disini tentang perbandingan hukum Islam dan hukum
positif tentang status kewarisan
anak hasil sewa rahim. Penelitian ini
tergolong penelitain pustaka atau literatur. Dalam
penelitian hukum, jenis ini masuk ke dalam katagori penelitan hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan,
oleh karena itu dalam penelitian ini bahan
pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmupenelitian
digolongkan sebagai data sekunder. Penggunaan metode penelitian ini dikarenakan peneliti hanya mengkaji aspek yuridis terkait pembolehan penerbitan KK
baru bagi pasangan nikah siri dengan menganalisisnya dalam perspektif hukum
positif yang berlaku di Indonesia dan asas hukum
serta kaidah-kaidah yang berlaku.
Sumber Data
Sumber data adalah objek dari mana data
itu diperoleh karena penelitian ini
adalah tergolong penelitian pustaka, maka keseluruhan data adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum.
Oleh karena itu, penelitian ini merupakan
penelitian normatif dimana bahan pustaka merupakan dasar dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai
data sekunder. Bahan hukum yang digunakan
terdiri dari bahan hukum primer yakni UU Perkawinan
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang pemboleh pembuatan KK bagi pasangan nikah siri. Bahan hukum sekunder
yang digunakan adalah bahan hukum yang terdapat dalam literatur perpustakaan
khususnya yang membahas tentang nikah siri,
dampak nikah siri terhadap perempuan dan anak serta literatur yang terkait lainnya.
Teknik Menganalisis Data
Analisis yang
dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah melalui
pengelola bahan-bahan hukum yang telah dikumpulakan terlebih dahulu kemudian disusun secara sistematis dan terarah. Langkah-langkah
dalam melakukan penelitian hukum di atas
merupakan sebuah analisis bahan hukum terhadap
sebuah penelitian hukum yang telah menggunakan tipe penelitian normatif.
Tujuan
analisis bahan hukum tersebut adalah untuk menemukan jawaban atas permasalahan pokok yang
dibahas. Dalam analisis terkait masalah tesis
ini dengan menganisis buku-buku, karya ilmiah, artikel, dan lain-lain mengenai pandangan yang terkait pada tesis ini. Analisis data dilakukan secara
kualitatif dengan cara memberikan interpretasikan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kemudian disusun secara sistematis agar dapat dipahami
dengan mudah sesuai dengan kaidah dan
asas-asas hukum yang ada.
Hasil dan Pembahasan
Kepastian Hukum Terhadap Proses Pencatatan Kelahiran Anak dari Seorang Ibu
Pemerintah
Indonesia telah mengatur tentang Perkawinan yang telah disahkan pada tanggal 1
Oktober 1975 yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan).
Ketentuan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pencatatan Perkawinan (Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
dimana perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri
dengan adanya tujuan yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan yang paling utama dalam
perkawinan adalah membina kehidupan rumah tangga yang kekal dan bahagia diantara suami dan isteri yang
melangsungkan perkawinan dengan maksud untuk melanjutkan keturunan
Perkawinan siri
akan menimbulkan dampak negatif terhadap pasangan suami isteri
yang melaksanakannya, terhadap anak yang lahir didalam
perkawinan dan juga berdampak pada harta dalam perkawinan tersebut. Karena
perkawinan siri yang dilangsungkan tidak memiliki kekuatan hukum dimana perkawinan tersebut tidak memiliki surat nikah yang
merupakan alat bukti yang otentik dalam xperkawinan .
Sehingga apabila dilaksanakan hanya secara agama, maka suami dengan mudahnya
dapat mengingkari perkawinan tersebut
Status anak akibat
perkawinan siri di Indonesia masih menimbulkan persoalan dan ketidakpastian
bagi si anak. dimana status anak yang dilahirkan
dimata hukum dianggap sebagai anak luar kawin. Berdasarkaan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jelas
diatur bahwa anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya
saja. Anak luar kawin tidak mendapatkan perlindungan hukum atas hak warisnya.
Namun untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hak warisnya anak luar kawin,
dapat menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
menyatakan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah
biologisnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan.
Pemenuhan hak atas
identitas anak adalah pemenuhan hak asasi terhadap anak. Dalam perspektif
perlindungan Hak Asasi Manusia, jaminan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak
anak sesungguhnya telah dimuat dalam Konvensi Hak Anak tahun 1989 yang
disepakati dalam sidang Majelis Umum (General Assembly)
PBB ke-44 yang selanjutnya telah dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25
tanggal 5 Desember 1989. Konvensi Hak Anak ini merupakan hukum internasional
yang mengikat negara peserta (state parties), termasuk Indonesia. Sejak tahun 1990 Indonesia
terikat secara hukum (legally binding)
dengan konvensi PBB tentang hak anak (United Nation Convention on the
Rights of the Child) yang diratifikasi
dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dengan demikian Indonesia
berkewajiban untuk melakukan harmonisasi Konvensi Hak Anak dengan hukum
nasional, melaksanakan program berbasis hak anak dan membangun institusi
independen perlindungan anak dan membuat pelaporan kemajuan implementasi
Konvensi Anak secara berkala.
Dalam Pasal 28B
Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diberikan oleh Undang-Undang
Dasar ini memberikan landasan yang sangat kokoh bagi seluruh anak Indonesia
untuk dipenuhi hak-haknya termasuk di dalamnya kepemilikan Akta Kelahiran.
Berdasarkan hak anak yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mewajibkan pemerintah untuk
memberikan Akta Kelahiran bagi anak, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 28I ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.
Hak atas Akta
Kelahiran yang merupakan identitas anak merupakan hak pertama anak, yaitu hak
yang harus diperoleh anak segera sejak saat kelahirannya. Meski pun di sejumlah
negara maju lebih dikedepankan sisi pencatatannya karena sudah menerapkan data
elektronik online terpusat, namun untuk memastikan
kekuatan hukumnya secara timbal balik pada negara dan individu bersangkutan,
maka identitas anak perlu dituangkan dalam bentuk fisik berupa Akta Kelahiran,
sebagai bukti yuridis pengakuan negara atas keberadaannya di muka bumi ini.
Berdasarkan prinsip, asas dan norma tentang pencatatan kelahiran, maka
pemenuhan hak identitas anak melalui pembuatan Akta Kelahiran paling tidak
memiliki lima fungsi, yaitu antara lain: 1) memberikan bukti fakta mengenai
adanya kelahiran seseorang dan fakta yang berkaitan dengan kelahiran itu,
termasuk orangtua kandungnya atau situasi ketika ia
merupakan anak temuan; 2) memberikan identitas dasar berupa nama, baik nama
diri maupun nama keluarga (bila ada); 3) memberikan perlindungan dasar berupa
status kewarganegaraan anak tersebut; 4) memberikan bukti usia seseorang
melalui tanggal kelahirannya untuk menegakkan haknya saat mencapai usia
tertentu; dan 5) memberikan bukti tempat kelahiran dan tempat pencatatan
kelahiran seseorang untuk keperluan pembuktian administrasi.
Akta Kelahiran bagi anak sangat penting sebagai salah
satu bukti pemenuhan hak anak oleh Negara, dan memiliki manfaat bagi anak di
kemudian hari. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Menjamin
kepastian hukum terkait nama, kewarganegaraan, asal-usul, dan usia anak
sehingga bisa menghindari manipulasi data dalam berbagai bidang hukum perdata,
keluarga, waris dan hukum publik;
2) Merupakan
bukti adanya hubungan hukum antara anak dan orangtua
kandungnya, yang mempunyai akibat hukum terhadap hak dan kewajiban anak dengan
orang tua secara timbal balik. Dari segi hukum keluarga dan hukum waris, akta
kelahiran merupakan bukti status hukum seseorang sebagai subjek hukum individu;
3) Memastikan
akurasi data hubungan keluarga dan penentuan silsilah yang berguna bagi upaya
pencegahan pernikahan sedarah (incest), dan
memperkuat dokumen medis anak terkait usia dan penelusuran genetika;
4) Menjadi
dokumen dasar untuk penerbitan berbagai dokumen lain, dan kegiatan yang
ditentukan berdasarkan usia, antara lain kartu tanda penduduk, kartu keluarga;
5) Memudahkan
anak mengikuti pendidikan formal dan juga memperoleh ijazah kelulusan;
6) Memudahkan
anak mengikuti kegiatan kompetisi olahraga, seni dan budaya yang didasarkan
kepada kelompok usia;
7) Mencegah
munculnya pekerja anak dibawah usia yang
diperbolehkan bekerja yaitu 15 tahun terutama pada jenis pekerjaan yang
terlarang bagi anak atau yang sering diistilahkan sebagai bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk bagi anak;
8) Mencegah
dilangsungkannya pengadilan terhadap anak dibawah
usia yang diperbolehkan menempuh persidangan (12 tahun); dan
9) Mencegah
terjadinya manipulasi usia, eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap
anak, perdagangan anak, pernikahan dini pengangkatan anak ilegal ataupun
tindakan pelanggaran perlindungan anak lainnya, khususnya bagi anak yang berada
pada kegiatan pengasuhan alternatif di lembaga masyarakat dan keorganisasian
lain yang menjadi pengasuh, wali, pendamping, pembimbing agama, pendidik atau
praktisi penanganan masalah anak, termasuk yang menangani anak berkebutuhan
khusus dan anak dari kelompok rentan.
Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan negara
terhadap keberadaan seseorang di depan hukum yang dinyatakan tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
( Pasal 27 ayat 1-4) disebutkan bahwa: Identitas diri setiap Anak harus
diberikan sejak kelahirannya. Identitas sebagaimana dimaksud dituangkan dalam
akta kelahiran.
Sedangkan dalam
ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan batas waktunya disebutkan bahwa setiap kelahiran
wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya
peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran; dan
berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan
Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta
Kelahiran.
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta
didaftar dan dikeluarkan
oleh Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dibantah oleh pihak ketiga. Karena akta-akta yang dibuat oleh Lembaga Catatan Sipil adalah mengikat
terhadap mereka yang berkepentingan, dapat diketahui pula suatu negara yang merupakan negara hukum, maka akan menghendaki
pula adanya masyarakat yang
teratur, tertib, aman, dan tenteram. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, tentu saja pada kehidupan masyarakatnya yang kompleks akan terdapat pula pandangan hidup yang berbeda-beda. Mengenai catatan sipil ini,
dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. Karena lembaga ini, maka masyarakat
yang memerlukan pelayanan mengenai pembuatan akta-akta, dapat langsung berhubungan dengan kantor Catatan
Sipil. Jadi, lembaga ini khusus membantu
masyarakat dalam hal terciptanya ketertiban juga memerlukan bukti yang paling kuat dan sempurna.
Persyaratan
pencatatan akta kelahiran sebagai berikut:
-
Surat keterangan lahir dari
dokter/bidan/penolong kelahiran;
-
Akta nikah/kutipan akta perkawinan
-
KK dimana
penduduk adak didaftarkan sebagai anggota keluarga;
-
KTP-el orang
tua/wali/pelapor;
-
Paspor bagi WNI bukan penduduk dan orang
asing
Berdasarkan
persyaratan pencatatan kelahiran tersebut bila syarat berupa surat keterangan
lahir dari ddokter/bidang/penolong kelahiran tidak
terpenuhi maka pemohon melampirkan Surat Pernyataan Tanggun
Jawab Mutlak (SPTJM) kebenaran data kelahiran. Begitu juga dengan hal jika
syarat berupa akta nikah/kutipan akta perkawinan tidak terpenuhi, maka pemohon
melampirkan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami isteri.
Dalam membuat permohonan SPTJM tersebut maka
tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemohon. Surat Pernyataan
Tanggung Jawab Mutlak dibagi menjadi dua, yaitu :
a)
Surat Pernyataan TanggungJawab
Mutlak (SPTJM) Keterangan Lahir Dalam membuat permohonan STPJM keterangan
lahir, maka pemohohon harus memenuhi persyaratan
pemohon, diantaranya ialah: 1) KTP 2) Kartu Keluarga
b)
Surat Pernyataan TanggungJawab
Mutlak (SPTJM) Keterangan Lahir Dalam membuat permohonan STPJM keterangan
lahir, maka pemohohon harus memenuhi persyaratan
pemohon, diantaranya ialah: 1) KTP 2) Kartu Keluarga
Persyaratan
dalam pembuatan akta kelahiran anak terdapat dua kategori dalam Permendagri No.
9 Tahun 2016 ini, yaitu :
a)
Akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam
suatu sebagai akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang- undangan tetapi status hubungan dalam keluarga
pada Kartu Keluarga (KK) menunjukan hubungan
perkawinan sebagai suami isteri. Jika
status pada Kartu Keluarga menunjukan hal tersebut
maka formulasi kalimat kutipan akta kelahiran anak dibuat frase “yang
perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”
b)
Akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam
suatu akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan
dan status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga (KK) tidak menunjukkan
hubungan perkawinan sebagai suami isteri. Jika pada
Kartu Keluarga tidak meunjukan sebagai pasangan suami
isteri maka dalam akte
kelahiran anak tersebut dibuat anak dari seorang ibu.
Kepastian hukum,
Implikasi hukum terkait Pencatatan Kelahiran Anak Tanpa Ayah Biologis dalam
Kartu Keluarga
Dalam kacamata
hukum positif Indonesia Perkawinan dianggap sah jika telah dilaksanakan sesuai
dengan agama dan kepercayaannya serta dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Selain berdasarkan pada hal tersebut, sahnya perkawinan juga dipengaruhi oleh
rukun dan syarat yang harus terpenuhi dalam sebuah perkawinantanpa
adanya salah satu rukun dan atau syarat maka suatu perkawinan dapat diragukan
keabsahannya
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo.
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Selanjutnya KHI
menjelaskan, “akte kelahiran dapat dijadikan bukti
asal-usul anak dan jika seorang anak tidak mempunyai akte
kelahiran maka pengadilan agama dapat berhak menetapkan asal usul anak dengan
melalui pemeriksaan yang berdasarkan buktibukti dan
fakta persidangan dengan teliti, berdasarkan hal tersebut maka Pengadilan Agama
dapat memerintahkan instansi pencatat kelahiran untuk memberikan akta kelahiran
bagi anak yang bersangkutan”.
Seorang anak
memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga,
karena tujuan melangsungkan perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan
meneruskan keturunan
Mahkamah
Konstitusi melalui putusan Nomor 46/PUU/VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012
memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 bila
tidak dibaca :
Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.
Menimbang bahwa
pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap 33 perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya
mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;
Menimbang bahwa
pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan
perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning)
pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4
huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsipprinsip
perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di
samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Berdasarkan
Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah
merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan
merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah
syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon
mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundangundangan merupakan kewajiban administratif. Makna
pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut,
menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif
negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan
jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang
bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945].
Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian
menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena
pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan
dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945].
pencatatan secara
administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai
perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan,
yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat
dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga
perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari
suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan
efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang
timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik,
karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan
pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam
Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat
dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan
putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif
dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;
Jadi, jika ingin si anak memiliki hubungan
perdata dengan ayahnya juga, hal itu dapat dibuktikan secara hukum, yakni
dengan melalui penetapan pengadilan. Untuk kepentingan penerbitan akta
kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan guna perlindungan hukum anak itu
sendiri. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia.
Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah
diterbitkannya akta kelahiran.
Kewajiban Pemerintah untuk melakukan pencatatan
kelahiran sebagaimana tertuang dalam UndangUndang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, dan telah diatur lebih lanjut melalui
peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 102 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependuduka, serta lebih lanjut lagi
dituangkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Dengan adanya pengaturan ini
maka dalam konteks kepemilikan Akta Kelahiran, setiap anak diharapkan dapat
terpenuhi hak identitasnya dan terlindungi keberadaannya.
Beberapa instrumen
hukum internasional dan instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan upayaupaya perlindungan dan pemenuhan hak atas identitas
anak tersebut dapat diungkap, diantaranya ;
1.
Deklarasi Universal tentang HakHak Asasi Manusia, yang telah disetujui dan diumumkan
oleh Resolusi Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948
2.
Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (International Covenant on
Economic, Sosial and Culture Rights/ICESCR)
3.
Konvensi Hak Anak (Convention
on he Rights of the Child)
4.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
6.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan
8.
Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Disamping hal tersebut
selama ini pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU
No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam
UU ini ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara
melalui sistem stelsel aktif penduduk. Penduduk yang
harus pro aktif mencatatkan kelahirannya agar bisa memiliki akte
kelahiran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan 4, 30
ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2 serta penjelasan Umum UU 23
tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Pasal-pasal tersebut mengatur
keharusan setiap warga negara melaporkan kelahirannya sampai sanksi denda bagi
siapa yang melanggar.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian,
kesimpulan yang diperoleh adalal; (1) Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta
didaftar dan dikeluarkan
oleh Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dibantah oleh pihak ketiga. Karena akta-akta yang dibuat oleh Lembaga Catatan Sipil adalah mengikat
terhadap mereka yang berkepentingan, dapat diketahui pula suatu negara yang merupakan negara hukum, maka akan menghendaki
pula adanya masyarakat yang
teratur, tertib, aman, dan tenteram. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, tentu saja pada kehidupan masyarakatnya yang kompleks akan terdapat pula pandangan hidup yang berbeda-beda. Mengenai catatan sipil ini,
dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. (2) Pencatatan secara administratif yang
dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum
penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang
berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat
dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga
perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari
suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan
efisien.
BIBLIOGRAFI
Hidayati, A. (2022). Analisis
Yuridis Pencatatan Perkawinan Beda Agama (Tinjauan Terhadap Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi
Kependudukan. Jurnal Jantera Hukum Borneo, 5(2).
Kamila, M. Z. (2022). Dinamika
Politik dalam Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah:
Jurnal Hukum Keluarga Dan Peradilan Islam, 3(2).
https://doi.org/10.15575/as.v3i2.13542
Millah, S., & Jahar, A. S.
(2021). Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Fiqh dan KHI
(Vol. 253). Amzah (Bumi Aksara).
Mutriadi, A. (2022). Kedudukan Hukum Anak
Luar Nikah Dalam Perwarisan. Juripol,
5(2). https://doi.org/10.33395/juripol.v5i2.11726
M.Yunus, F., & Aini, Z. (2020). Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam). Media Syari’ah,
20(2). https://doi.org/10.22373/jms.v20i2.6512
Nasution, H. (2019). Pembaharuan
Hukum Keluarga Islam Tentang Usia Perkawinan Di Indonesia (Studi Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Jurusan
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah
Dan Hukum.
Rahman, G., Soeradji,
E., & Dakhoir, A. (2023). Virginitas
dalam Sistem Pencatatan Perkawinan: Pendekatan Multiparadigma.
JURNAL PENELITIAN SERAMBI HUKUM, 15(01).
https://doi.org/10.59582/sh.v15i01.714
Saepudin, A., & Aripin, E. N.
W. J. (2013). Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis. Jakarta: Kencana.
Safitri, N. A., Suprihatin, T.,
& Lis Sulistiani, S. (2022). Analisis UUP 1/1974 dan Hukum Islam terhadap
Pasal 4 Ayat (2) PERMENDAGRI No. 9 Tahun 2016 tentang Penggunaan SPTJM Nikah
Sirri. Bandung Conference Series:
Islamic Family Law, 2(2). https://doi.org/10.29313/bcsifl.v2i2.2660
Safryan Dilapanga, M. M., Astati, D., & Nurjannah, E. (2021).
Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling)
dalam Memperoleh Harta Waris Menurut Hukum Islam. Jurnal Komunikasi Hukum
(JKH), 7(1). https://doi.org/10.23887/jkh.v7i1.31460
Sanjaya, U. H., & Rahim, A.
(2017). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. PT.Gama
Media.
Santoso, A., & Zeinudin, Moh. (2021). Rekontruksi
Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 20013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Jurnal Jendela Hukum,
8(1). https://doi.org/10.24929/fh.v8i1.1333
Setiawan, Y. (2022). Analisa
Pencatatan Nikah (Kawin Belum Tercatat) Pada Kk
Dalam Persfektif Disdukcapil
Purwakarta. Muttaqien; Indonesian Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, 3(2).
https://doi.org/10.52593/mtq.03.2.02
Waluyo, B. (2020). Sahnya
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 2(1). https://doi.org/10.23887/jmpppkn.v2i1.135
Witanto, D. Y. (2012). Hukum
keluarga: hak dan kedudukan anak luar kawin: pasca keluarnya putusan MK
tentang uji materiil UU perkawinan. In (No Title). Prestasi Pustaka.
Copyright holder: Raoda
Kudoti, Husein Alting,
Siti Barora Sinay (2024) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |