Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

PENDEKATAN ECONOMIC ANALYSIS OF LAW TERHADAP KRIMINALISASI DEEPFAKE

 

Nila Tiara Aziza Miftahul Janah

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kerangka hukum terkait Artificial Intelligence (AI) dalam aspek penyalahgunaan Deepfake Technology di Indonesia dan menganalisis potensi kriminalisasi atas penyalahgunaan tersebut melalui pendekatan Economic Analysis of Law. Menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, studi ini mengkaji norma-norma hukum baik di dalam maupun di luar sistem hukum Indonesia, dengan fokus pada bagaimana faktor ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan hukum. Penelitian ini menemukan bahwa kerangka hukum saat ini belum memiliki regulasi khusus yang mengatur penyalahgunaan Deepfake Technology, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Studi ini menyarankan perlunya regulasi yang lebih rinci untuk menjamin kepastian hukum, serta penggunaan analisis ekonomi sebagai panduan dalam merumuskan sanksi yang efektif dan efisien untuk kejahatan terkait Deepfake. Implikasi dari pendekatan ini menekankan pentingnya mencapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam menangani kejahatan siber.

Kata Kunci: Artificial Intelligence, Teknologi Deepfake, Analisis Ekonomi Hukum, Kerangka Hukum, Kejahatan Siber, Kriminalisasi.

 

Abstract

This study aims to explore the legal framework for Artificial Intelligence (AI) concerning the misuse of Deepfake Technology in Indonesia and to analyze the potential criminalization of such misuse through the lens of Economic Analysis of Law. Employing a normative juridical research method, the study examines legal norms within and outside the Indonesian legal system, focusing on how economic factors can influence legal policies. The research finds that the current legal framework lacks specific regulations addressing the misuse of Deepfake Technology, leading to legal uncertainty and undermining public trust in law enforcement. The study suggests that detailed regulations are needed to ensure legal certainty and proposes that economic analysis should guide the formulation of effective and efficient punishments for Deepfake-related crimes. The implications of this approach emphasize the importance of achieving justice, legal certainty, and the utility of law in addressing cybercrimes.

Keywords: Artificial Intelligence, Deepfake Technology, Economic Analysis of Law, Legal Framework, Cybercrime, Criminalization.

 

Pendahuluan

Revolusi Industri 4.0 dan society 5.0 yang sedang berlangsung saat ini identik dengan perkembangan teknologi yang mempengaruhi kehidupan setiap individu. Bukan menjadi hal baru lagi bahwa teknologi mengambil peran penting dalam menciptakan efisiensi pekerjaan manusia, bahkan dalam beberapa kesempatan perkembangan teknologi mampu menggeser peran manusia. Secara sadar, teknologi telah mengubah struktur yang ada dalam masyarakat dari struktur yang bersifat lokal menuju struktur yang bersifat global. Perubahan ini membawa setiap masyarakat menuju keadaan yang tidak mempunyai batasan antara jarak dan waktu yang dialami oleh setiap orang. Perubahan yang disebabkan oleh perkembangan tekonologi informasi ini berpadu dengan media komputer yang kemudian melahirkan berbagai entitas baru (Abdul & Mohammad, 2005).

Salah satu dampak dari perkembangan teknologi yang sangat massif saat ini adalah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Artificial Intelligence merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk mensimulasikan kecerdasan manusia pada mesin yang telah diprogram untuk berpikir layaknya manusia juga meniru tindakan manusia, seperti contohnya pengambilan keputusan. Kemampuan dalam merasionalisasikan dan mengambil tindakan yang mempunyai peluang terbaik untuk mencapai tujuan tertentu merupakan karakteristik dari Artificial Intelligence (Wu, 2019). Saat ini Artificial Intelligence telah berkembang memasuki gelombang keempat (fourth wave), yang menekankan pada kemampuan otomatisasi (autonomous). Sehingga keadaan yang terjadi saat ini adalah Artificial Intelligence tidak lagi membutuhkan tenaga manusia, karena Artificial Intelligence mampu bekerja secara mandiri yaitu mampu menciptakan hasil karya secara autonomous lewat data-data yang telah dikumpulkan. Pada kondisi ini Artificial Intelligence mengalami peningkatan kemampuan dari yang hanya mengerjakan tugas penghitungan dan pendataan menjadi memproses dan mengolah informasi selayaknya otak manusia (White & Matulionyte, 2019).

Sejauh ini Artificial Intelligence mulai diterapkan oleh beberapa negara maju sebagai salah satu strategi pembangunan negaranya. Di Indonesia sendiri, sebanyak 14% dari perusahaan yang ada telah menggunakan Artificial Intelligence. Bahkan, pada beberapa perusahaan tersebut, Artificial Intelligence dijadikan sebagai inti dari strategi bisnis yang mereka terapkan. Sampai saat ini terdapat 42% perusahaan yang dalam masa uji coba penggunaaan teknologi Artificial Intelligence. Meskipun jumlah dari angka yang ada belum terlalu besar jika dibandingkan negara maju lainnya, akan tetapi Artificial Intelligence menjadi perkembangan pasti dalam perusahaan bisnis di Indonesia (Izme).

Pada sebagian besar organisasi bisnis didunia, dalam mengontrol data Perusahaan dan penggunaan pembelajaran mesin untuk memahami tren bisnis sudah biasa menggunakan Artificial Intelligence. Namun dilain sisi, keadaan ini membuat peretas mudah dalam mengeksplorasi teknologi ini untuk membuat malware yang ditenagai Artificial Intelligence yang dapat menyebarkan aplikasi berbahaya yang tidak bisa dilacak dalam muatan data yang tidak berbahaya. Teknik Artificial Intelligence mampu menyembunyikan kondisi yang diperlukan dalam membuka muatan berbahaya sehingga hampir tidak mungkin untuk merekayasa ulang ancaman teknik tersebut juga berpotensi melewati sistem deteksi anti-virus dan malware modern. Malware berteknologi Artificial Intelligence dapat dilatih untuk menunggu hingga terjadi tindakan spesifik yang memicu muatan bermusuhan. Ini mungkin digerakan oleh pengenalan suara atau wajah, atau bahkan oleh property geo-lokasi. Dapat dikatakan bahwa malware Artificial Intelligence mampu dilatih untuk mendengarkan kata-kata tertentu atau suara orang yang ditargetkan (Rachmadie & Supanto, 2020).

Persoalan selanjutnya yang muncul dari perkembangan Artificial Intelligence adalah teknologi deepfake (Deepfake Technology) atau Audio/Video Impersonation (Peniruan Identitas Audio/Video) (Caldwell et al., 2020). Deepfake merupakan metode yang seringkali digunakan untuk memalsukan atau memanipulasi foto, audio dan video dengan memanfaatkan teknik pemindaian menyeluruh dan mendasar terhadap gambar manusia menggunakan Teknik Deep Leaning. Manipulasi foto, audio dan video digabungkan, dipersatukan dan diganti untuk menghasilkan video palsu agar dapat terlihat seperti video asli yang dapat menarik atensi publik ataupun orang yang ditargetkan untuk percaya (Laza & Karo Karo, 2023).

Hasil dari manipulasi video Deepfake dapat berupa video pornografi, video penyebaran berita bohong baik itu terkait dengan politik dan sebagainya, video ujaran kebencian, dan video yang ditujukan untuk menipu seseorang yang telah ditargetkan. Potensi kejahatan yang muncul akibat dari deepfake ini sangatlah banyak, hal itu seperti penipuan, pemerasan, pencurian identitas, pornografi, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, melakukan manipulasi harga saham, merusak reputasi merek yang ada, merusak reputasi seseorang, melakukan perundungan, melakukan intimidasi dan sebagainya.

Beberapa contoh dari penyalahgunaan tekonologi Deepfake yang telah terjadi di Indonesia adalah kasus penipuan yang melibatkan beberapa artis seperti Melaney Ricardo, Raffi Ahmad dan Najwa Shihab. Pada video Deepfake yang melibatkan Melaney Ricardo pada 24 Januari 2024 terlihat bahwa Melaney Ricardo seolah-olah mempromosikan suatu produk kecantikan. Dari adanya video ini, beberapa orang yang melihat video tersebut percaya dan membeli produk kecantikan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Melaney Ricardo melakukan klarifikasi dan menyatakan kerugian yang dideritanya akibat dari adanya video Deepfake tersebut. Selanjutnya terdapat juga video Deepfake Raffi Ahmad dan Najwa Shihab yang seolah-olah mempromosikan situs judi online serta situs pinjaman online. Video Deepfake ini menarik perhatian banyak masyarakat mengingat judi online merupakan hal yang illegal di Indonesia, namun dapat dipromosikan oleh public figure. Melihat video Deepfake ini telah menimbulkan berbagai macam respon publik, beberapa masyarakat lainnya ikut memberikan edukasi bahwa video Raffi Ahmad dan Najwa Shihab tersebut merupakan hasil dari buatan atau Deepfake. Terakhir, terdapat kasus pemalsuan identitas yang dibeberkan oleh Wakil Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA), Hendra Lembong. Dalam wawancara terkait kasus tersebut pada tanggal 26 Juli 2023, Deepfake digunakan pelaku sampai dengan manipulasi foto KTP yang digunakan untuk verifikasi pada tahap pengajuan kredit (Amelia et al., 2024).

Berbagai regulasi yang berkaitan dengan contoh kasus penyalahgunaan teknologi Deepfake adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Transfer Dana, Undang-Undang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Melihat dari salah satu prinsip hukum yaituLex Specialis Derogat Legi Generalis” (Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum) dan “Lex Posterior derogat Legi Priori” (Hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, maka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah yang paling tepat untuk digunakan sebagai dasar dalam setiap perbuatan penyalahgunan Deepfake.

Akan tetapi, saat ini pengaturan terkait Artificial Intelligence dalam pemidanaan penyalahgunaan Deepfake belum diatur secara khusus atau eskplisit dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan kondisi saat ini menunjukan dalam setiap penyalahgunaan Deepfake aparat penegak hukum dapat berdasar pada setiap undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Misalnya seperti kejahatan pornografi maka dapat menggunakan Undang-Undang Pornografi, Kejahatan Pencurian data pribadi dapat menggunakan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, dan sebagainya (Rachmadie & Supanto, 2020).

Sekalipun pengaturan terkait Artificial Intelligence dalam pemidanaan penyalahgunaan Deepfake berkaitan erat dengan kerugian material maupun non-material, juga bersinggungan dengan tujuan lain yang lebih menjerakan dan perbaikan. Berdasarkan hal ini pendekatan kombinasi antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi diharapkan dapat menjawab kekosongan hukum atas permasalahan yang ada. Economic Analysis of Law merupakan analisis yang menggunakan dua konsep ilmu yang berbeda yaitu ilmu hukum dan ilmu ekonomi, berdasarkan kaitannya dengan perilaku manusia. Economic Analysis of Law digunakan bukan hanya untuk mengukur pemidanaan dengan kerugian ekonomis yang timbul, akan tetapi juga untuk memberikan efek jera.

Dalam kaitannya konsep Economic Analysis of Law sangat dekat dengan ilmu hukum dimana setiap keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi ekonomi. Terdapat dua kriteria yang penting dalam merespon insentif dan disentif dari suatu kebijakan hukum yang diusulkan dalam Economic Analysis of Law yaitu (“Stanford Encyclopedia of Philosophy,” 2006):

1)    Kriteria efeisiensi Pareto, pada kriteria ini menanyakan apakah perubahan politik atau hukum membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa merugikan orang atau tidak? Kriteria Pareto memiliki daya tarik intuitif yang kuat. Jika semua orang setuju bahwa keadaan x lebih disukai daripada keadaan y, maka penilaian kolektif harus memiliki peringkat bahwa x lebih tinggi dari y. Meskipun kriteria Pareto terlihat sedikit lemah karena memaksakan sedikit kendala pada pilihan sosial, namun kriteria Pareto memiliki implikasi yang kuat untuk agregasi penilaian individu.

2)    Kriteria Kaldor-Hicks Efficiency, pada kriteria ini mengajukan pertanyaan terkait apakah suatu kebijakan hukum akan menghasilkan keuntungan yang cukup bagi mereka yang terdampak dari kebijakan tersebut. Pendekatan seperti ini berhubungan dengan cost benefit analysis.

Cost Benefit Analysis atau analisis biaya manfaat merupakan proses sistematis yang digunakan bisnis untuk menganalisis keputusan mana yang harus diambil atau tidak. Selanjutnya, analisis ini menjumlahkan potensi imbalan yang diharapkan dari suatu situasi atau tindakan dan kemudian mengurangi total biaya yang terkait dengan pengambilan tindakan tersebut. Secara umum, topik bahasan variabel dalam Economic Analiysis of Law terkait dengan biaya, harga, nilai, kegunaan aau kepuasan dan kemewahan (utility).

Analisis juga dilakukan secara menyeluruh dengan melihat efisiensi dari berbagai aspek, baik korban maupun pelaku bahkan juga negara beserta perangkat penegak hukumnya. Hal ini penting bagi hukum untuk menentukan aspek-aspek penting dalam praktik hukum yang tepat (proper legal practice), sehingga dapat dirumuskan pemidanaan yang khusus dan sesuai (specific punishment) atas penyalahgunaan Deepfake (Sugianto, 2015). Dengan menggunakan sudut pandang ilmu ekonomi yaitu Economic Analysis of Law, diharapkan mampu memberikan kejelasan persoalan kekosongan hukum terhadap penyalahgunaan Deepfake sebagai legal issue dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui;

1)    Bagaimana pengaturan hukum terhadap Artificial Intelligence dalam aspek penyalahgunaan Deepfake Technology di Indonesia?

2)    Bagaimana pendekatan Economic Analysis of Law dalam upaya kriminalisasi penyalahgunaan Deepfake Technology?

Metode Penelitian

Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yaitu mengkaji bahan pustaka berupa norma-norma dan asas-asas hukum yang terkandung didalam peraturan perundang-undangan maupun diluar undang-undang (Mukti & Achmad, 2010). Selanjutnya, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Economic Analysis of Law, yaitu pendekatan yang melihat bukan dari apa yang seharusnya dilakukan, melainkan bagaimana kenyataan yang ada dan melihat dari sisi ekonomi terhadap suatu peraturan. Pendekatan ini akan menjadi pedoman bagi penulis dalam memberikan argumentasi hukum terhadap suatu pemecahan masalah yaitu kekosongan hukum terhadap pengaturan Deepfake Technology.

 

Hasil dan Pembahasan

1)  Analisis Pengaturan Hukum Terhadap Artificial Intelligence Dalam Aspek Penyalahgunaan Deepfake Technology di Indonesia

Sampai saat ini, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur terkait kejahatan dari Artificial Intelligence. Padahal, jika melihat dari cepatnya perkembangan Artificial Intelligence yang dapat menjalankan pekerjaan manusia tentunya hal ini menimbulkan urgensi untuk segera diaturnya Artificial Intelligence dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa: “Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselanggaraan oleh Orang”.

Dewasa sekarang ini, terhadap pengaturan Deepfake yang diselenggarakan oleh orang terdapat pertanggungjawaban hukum yang diatur dalam UU ITE. Dimana pertanggungjawaban hukum tersebut dapat dikenakan juga terhadap penciptanya yaitu orang yang menggunakan Deepfake untuk tujuan tertentu (Priowirjanto, 2022). Dalam pengaturan ini pencipta atau pengguna (user) “Dilarang untuk mendistribusikan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang mempunyai muatan mengandung kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman”. Pengaturan ini sesuai dengan aspek yang terkandung dalam perbuatan Deepfake, dimana secara umum penyalahgunaan yang terjadi terkait Deepfake berupa perbuatan-perbuatan tersebut. Dimana hal tersebut seperti mencemarkan nama baik public figure (artist, influencer dan politikus), muatan yang melanggar kesusilaan berupa memasukan gambar seseorang/wanita Bintang film porno dan mengubah wajahnya menjadi seseorang/wanita yang bahkan tidak pernah melakukan perbuatan asusila dengan tujuan mencemarkan nama baik atau mengambil keuntungan dari perbuatan tersebut (Jufri & Putra, 2021).

Pengaturan lainnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi atau disebut juga dengan UU PDP. Dalam Undang-Undang ini Deepfake tidak diatur langsung, namun karena Deepfake merupakan bagian dari Artificial Intelligence yang menggunakan data, maka Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga memberikan perlindungan secara tidak langsung terhadap perbuatan Deepfake yang dilakukan secara illegal atau tanpa persetujuan terlebih dahulu dari orang yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Adapun pengaturan terhadap Deepfake dalam Undang-Undang ini terdapat dalam Pasal 65 ayat (1) yang menyatakan bahwaSetiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi”.

Sehingga, barang siapa dalam ini melakukan pengumpulan data pribadi tanpa sepengetahuan dan izin dari pemiliki data pribadi tersebut dan memberikan kerugian dari perbuatan tersebut dapat untuk dipidana. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan bahwaSetiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dalam pengaturan data pribadi yang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi merupakan data yang diambil oleh deepfake creator dan bersifat spesifik yaitu data biometrik yang dimiliki oleh subjek data pribadi, hal ini biasanya dapat berupa wajah dan suara seseorang kemudian diambil untuk dipasang pada gambar atau video lain untuk suatu tujuan tertentu. Meskipun seseorang atau deepfake creator dapat terhindar dari adanya pengaturan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dengan pemenuhan kriteria kepentingan yang sah atau adanya persetujuan terlebih dahulu dari orang yang diilustrasikan pada Deepfake tersebut, persetujuan yang ada harus secara eksplisit dari subjek data pribadi itu sendiri. Tidak boleh ditemukan adanya unsur paksaan yang terjadi antara pelaku data pribadi dan subjek yang memiliki data pribadi, hal ini ditujukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.

Dalam beberapa kasus yang sempat terjadi terkait dengan Artificial Intelligence, didasarkan pada masing-masing pengaturan yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Contohnya seperti kejahatan Deepfake yang bermuatan pornografi maka aparat penegak hukum menggunakan undang-undang pornografi sebagai dasar hukum dari persoalan yang ada. Berbagai pengaturan lainnya yang dapat digunakan dalam setiap penyalahgunaan Deepfake seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Transfer Dana, Undang-Undang Dokumen Perusahaan, Permenkominfo No. 20 Tahun 2016 dan Undang-Undang Teorirsme. Keadaan yang demikian dikhawatirkan dapat menimbulkan persoalan baru, dimana muncul berbagai penafsiran atau persepsi yang berbeda dari setiap kasus terkait kejahatan Deepfake. Hal ini juga tentunya menghilangkan sifat kepastian hukum yang harus selalu ada dalam setiap regulasi hukum.

 

2)  Pendekatan Economic Analysis of Law Dalam Upaya Kriminalisasi Penyalahgunaan Deepfake Technology

Artificial Intelligence telah memberikan manfaat yang signifikan terhadap kehidupan manusia, tidak terkecuali perkembangan dalam bidang hukum. Dalam bidang hukum, Artificial Intelligence memberikan manfaat terhadap beberapa aspek seperti, penggunaan tilang elektronik (e-tilang), pemrosesan dokumen hukum, melakukan analisis risiko, pencarian informasi, pengambilan keputusan dan pencegahan kecurangan (Doly, 2023).

Disamping dengan perkembangan yang begitu cepat dan membantu pekerjaan beberapa bidang, Artificial Intelligence mempunyai persoalan dan tantangan. Salah satu contoh persoalan dari perkembangan Artificial Intelligence yang massif tersebut adalah penyalahgunaan Deepfake Technology. Sesuai dengan uraian sebelumnya bahwa belum ada regulasi di Indonesia yang secara spesifik mengatur terkait penyalahgunaan Artificial Intelligence khususnya Deepfake. Berkaitan dengan hal ini diperlukan suatu pembentukan regulasi yang ideal agar persoalan terkait penyalahgunaan Deepfake dapat diatasi. Adapun dalam menjawab persoalan ini dapat menggunakan pendekatan Economic Analysis of Law.

Pada dasarnya suatu peraturan itu bersifat mengikat dan harus dilaksanakan, artinya aturan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang ataupun masyarakat suatu negara. Satjipto Rahardjo memberikan pendapat bahwa peraturan perundang-undangan perlu memiliki beberapa ciri yaitu pertama, umum dan lengkap. Kedua, bersifat universal (dibuat untuk mengatasi kejadi masa depan yang bentuk spesifiknya belum jelas). Berdasarkan hal ini, pendekatan Economic Analysis of Law dibutuhkan dalam pembentukan undang-undang khususnya pengaturan terkait Deepfake karena Economic Analysis of Law melihat bukan dari apa yang seharusnya dilakukan, melainkan bagaimana kenyataan yang ada dan melihat dari sisi ekonomi terhadap suatu peraturan (Butarbutar et al., 2023).

Dalam penggunaan pendekatan Economic Analysis of Law terhadap suatu pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya pegaturan Deepfake maka kepentingan pihak - pihak yang akan mengimplementasikan aturan tersebut perlu dipertimbangkan. Pendekatan Economic Analysis of Law mengatur bahwa perancang perlu menyiapkan beberapa ketentuan sebelum membuat undang-undang yaitu perbuatan, hak-hak, hak Istimewa, tugas-tugas atau kewajiban. Selanjutnya, menyusun ketentuan yang dilihat dari sisi orang yang akan diatur atau orang yang akan mematuhi ketentuan peraturan tersebut. Tentunya dalam pertimbangannya, prinsip ekonomi tetap menjadi penentu. Maka dalam praktiknya, semakin tepat suatu peraturan dirumuskan maka semakin sedikit halaman yang dibutuhkan terkait penyajian dokumen hukumnya. Seperti, untuk alasan efisiensi maka redaksinya tidak boleh memaksakan aturan yang mengharuskan pembaca melakukan referensi silang artikel dalam bab berbeda atau bagian dari bab berbeda (Asshiddiqie, 2006).

Lebih lanjut EAL juga dapat diterapkan dalam prinsip pertanggungjawaban hukum. Prinsip dasar pertanggungjawaban hukum adalah bahwa suatu pihak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban kecuali ia adalah penyebab kerugian. Misalnya, jika seorang ahli bedah lalai melakukan prosedur dan pasiennya meninggal di meja operasi, tetapi pasien akan meninggal bahkan jika ahli bedah telah melakukan prosedur dengan benar, ahli bedah tidak akan bertanggung jawab. Atau jika suatu perusahaan mencemari sungai dengan agen karsinogenik dan seseorang yang tinggal di dekatnya terkena kanker, tetapi kanker tersebut terbukti disebabkan oleh faktor karsinogenik lain maka perusahaan tersebut akan tidak dimintai pertanggungjawaban (Polinsky et al., 2007).

Hal ini sesuai dengan penerapan pertanggungjawaban pidana secara negatif baik itu yang berlaku di negara-negara common law. Misalnya di Indonesia, KUHP telah mengatur tentang keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana, yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan atau dengan kata lain merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law maupun civil law, diterima berbagai alasan umum pembelaan ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban. Perumusan tindak pidana secara negatif dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya pasal dimaksud merumuskan bahwa si pembuat pidana akan dikecualikan dari pengenaan pidana atau dengan kata lain, pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana atau pengecualian adanya kesalahan (Chairul, 2015).

Berdasarkan uraian sebelumnya maka pendekatan EAL dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat regulasi kejahatan Deepfake. Regulasi yang dihasilkan harus bersifat spesifik dan memenuhi nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak yang terlibat. Salah satu sanksi yang dapat diatur dengan mengadopsi pendekatan EAL adalah sanksi denda kepada pelaku penyalahgunaan Deepfake atau perampasan alat yang digunakan atau perangkat untuk melakukan kejahatan Deepfake oleh negara. Perampasan atau penyitaaan perangkat Artifcial Intelligence sudah dilakukan oleh negara Swiss pada sebuah kasus yang melibatkan perangkat Artificial Intelligence Random Darknet Shopper (RDS) dimana perangkat tersebut membeli sejumlah barang terlarang berjenis pil ekstasi dari sebuah situs jual beli dark web. Dalam kasus ini selain memberikan sanksi kepada pemilik entitas AI, Swiss juga menyita perangkat RDS bernaung (Bahiyaturrohman, 2024).

 

Kesimpulan

Disamping dengan perkembangan yang begitu cepat dan membantu pekerjaan beberapa bidang, Artificial Intelligence mempunyai persoalan dan tantangan. Salah satu contoh persoalan dari perkembangan Artificial Intelligence yang massif tersebut adalah penyalahgunaan Deepfake Technology. Sesuai dengan uraian sebelumnya bahwa belum ada regulasi di Indonesia yang secara spesifik mengatur terkait penyalahgunaan Artificial Intelligence khususnya Deepfake. Berkaitan dengan hal ini diperlukan suatu pembentukan regulasi yang ideal agar persoalan terkait penyalahgunaan Deepfake dapat diatasi. Adapun dalam menjawab persoalan ini dapat menggunakan pendekatan Economic Analysis of Law.

Tindak Pidana dari penyalahgunaan Deepfake berdampak pada kerugian korban yang dilibatkan dalam kejahatan tersebut. Tidak adanya aturan yang secara spesifik terkait kejahatan Deepfake mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dan juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. oleh karena itu hal yang dapat disarankan berdasarkan dari penulisan ini yaitu: (1) Perlu adanya pengaturan yang lebih detai untuk menjerat pelaku tindak pidana Deepfake. Pengaturan yang dimaksud diharapkan dapat memberikan kepastan hukum terhadap korban yang dirugikan dari tindak pidana Deepfake. (2) Pemberian sanksi pidana yang ideal terhadap pelaku tindak pidana Deepfake. Mengingat hasil tindak pidana Deepfake yang bersifatcyber crime” dan memberikan keuntungan tertentu kepada pelaku bahkan terhadap tindak pidana tertentu memberikan keuntungan yang besar. Penggunaan Economic Analysis of Law dalam pertimbangan pemidanaan terhadap tindak pidana Deepfake memberikan spesifik punisment yang efisien dan tepat guna, sehingga dapat mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdul, W., & Mohammad, L. (2005). Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Refika Aditama, Hlm.

Amelia, Y. F., Kaimuddin, A., & Ashsyarofi, H. L. (2024). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Terhadap Korban Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Menurut Hukum Positif Indonesia. Dinamika, 30(1), 9675–9691.

Asshiddiqie, J. (2006). Perihal undang-undang di Indonesia.

Butarbutar, R., Fahlevie, R. A., & Sianturi, M. (2023). Penerapan Economics Analysis of Law Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Journal of Sosial Science, 2.

Bahiyaturrohman, B. (2024). Mimpi Buruk Dunia Digital: Tindak Kejahatan yang Dilakukan oleh Entitas Artificial Intelligence. https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/mimpi-buruk-dunia-digital-tindak-kejahatan-yang-dilakukan-oleh-entitas-artificial-intelligence/

Caldwell, M., Andrews, J. T. A., Tanay, T., & Griffin, L. D. (2020). AI-enabled future crime. Crime Science, 9(1). https://doi.org/10.1186/s40163-020-00123-8

Chairul, H. (2015). Dari’Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’, Menuju’Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Kencana.

Doly, D. (2023). Pemanfaatan Artificial Intelligence Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Info Singkat, XV(19).

Izme, H. (2024). Studi Microsoft Indonesia dengan IDC Asia Pasifik. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190312180301-185-376611/14-persen-perusahaan-indonesia-gunakan-kecerdasan-buatan, diakses pada tanggal 20 Februari 2024.

Jufri, M. A. A., & Putra, A. K. (2021). Aspek Hukum Internasional Dalam Pemanfaatan Deepfake Technology Terhadap Perlindungan Data Pribadi. Uti Possidetis: Journal of International Law, 2(1). https://doi.org/10.22437/up.v2i1.11093

Laza, J. M., & Karo Karo, R. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Artificial Intellegence Dalam Aspek Penyalahgunaan Deepfake Technology Pada Perspektif UU PDP dan GDPR [Legal Protection of Artificial Intellegence in Misusage of Deepfake Technology in the Perspective of PDP Law and GDPR]. Lex Prospicit, 1(2). https://doi.org/10.19166/lp.v1i2.7386

Mukti, F., & Achmad, Y. (2010). Dualisme penelitian hukum: normatif & empiris. Pustaka pelajar.

Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

Polinsky, a. M., Shavell, S., Röell, A., Becht, M., & Bolton, P. (2007). Handbook of law and economics, Volume 1. In Handbook of Law and Economics (Vol. 2).

Priowirjanto, E. S. (2022). Urgensi Pengaturan Mengenai Artificial Intelligence Pada Sektor Bisnis Daring Dalam Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(2). https://doi.org/10.23920/jbmh.v6i2.355

Rachmadie, D. T., & Supanto. (2020). Regulasi Penyimpangan Artificial Intelligence Pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Udang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016. Recidive : Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan, 9(2). https://doi.org/10.20961/recidive.v9i2.47400

Stanford encyclopedia of philosophy. (2006). Choice Reviews Online, 43(12). https://doi.org/10.5860/choice.43sup-0193

Sugianto, F. (2015). Economic approach to Law. Prenada Media.

White, C., & Matulionyte, R. (2019). Artificial Intelligence Painting The Bigger Picture For Copyright Ownership. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3498673

Wu, T. (2019). Will artificial intelligence eat the law? The rise of hybrid social-ordering systems. Columbia Law Review, 119(7). https://doi.org/10.2139/ssrn.3492846

 

 

Copyright holder:

Nila Tiara Aziza Miftahul Janah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: