Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 12, Desember 2024
PENDEKATAN ECONOMIC
ANALYSIS OF LAW TERHADAP KRIMINALISASI DEEPFAKE
Nila Tiara Aziza Miftahul Janah
Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi kerangka hukum terkait Artificial Intelligence (AI) dalam
aspek penyalahgunaan
Deepfake Technology di Indonesia dan menganalisis potensi kriminalisasi atas penyalahgunaan tersebut melalui pendekatan Economic Analysis of Law. Menggunakan
metode penelitian yuridis-normatif, studi ini mengkaji norma-norma hukum baik di dalam
maupun di luar sistem hukum Indonesia, dengan fokus pada bagaimana faktor ekonomi dapat mempengaruhi
kebijakan hukum. Penelitian ini menemukan bahwa kerangka hukum saat ini belum
memiliki regulasi khusus yang mengatur penyalahgunaan Deepfake Technology, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Studi ini
menyarankan perlunya regulasi yang lebih rinci untuk menjamin
kepastian hukum, serta penggunaan analisis ekonomi sebagai panduan dalam merumuskan sanksi yang efektif dan efisien untuk kejahatan
terkait Deepfake. Implikasi
dari pendekatan ini menekankan pentingnya mencapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam menangani
kejahatan siber.
Kata Kunci: Artificial Intelligence, Teknologi
Deepfake, Analisis Ekonomi Hukum, Kerangka
Hukum, Kejahatan Siber, Kriminalisasi.
Abstract
This study aims to explore the legal
framework for Artificial Intelligence (AI) concerning the misuse of Deepfake
Technology in Indonesia and to analyze the potential
criminalization of such misuse through the lens of Economic Analysis of Law.
Employing a normative juridical research method, the study examines legal norms
within and outside the Indonesian legal system, focusing on how economic
factors can influence legal policies. The research finds that the current legal
framework lacks specific regulations addressing the misuse of Deepfake
Technology, leading to legal uncertainty and undermining public trust in law
enforcement. The study suggests that detailed regulations are needed to ensure
legal certainty and proposes that economic analysis should guide the
formulation of effective and efficient punishments for Deepfake-related crimes.
The implications of this approach emphasize the importance of achieving
justice, legal certainty, and the utility of law in addressing cybercrimes.
Keywords: Artificial Intelligence, Deepfake Technology,
Economic Analysis of Law, Legal Framework, Cybercrime, Criminalization.
Pendahuluan
Revolusi Industri 4.0 dan society
5.0 yang sedang berlangsung
saat ini identik dengan perkembangan teknologi yang mempengaruhi kehidupan setiap individu. Bukan menjadi hal
baru lagi bahwa teknologi mengambil peran penting dalam menciptakan
efisiensi pekerjaan manusia, bahkan dalam beberapa kesempatan perkembangan teknologi mampu menggeser peran manusia. Secara sadar, teknologi telah mengubah struktur yang ada dalam masyarakat dari struktur yang bersifat lokal menuju struktur yang bersifat global. Perubahan ini membawa setiap
masyarakat menuju keadaan yang tidak mempunyai batasan antara jarak dan waktu yang dialami oleh setiap orang. Perubahan yang disebabkan oleh perkembangan tekonologi informasi ini berpadu dengan
media komputer yang kemudian
melahirkan berbagai entitas baru
Salah satu dampak dari
perkembangan teknologi yang
sangat massif saat ini adalah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Artificial Intelligence merupakan
sebuah sistem yang dirancang untuk mensimulasikan kecerdasan manusia pada mesin yang telah diprogram untuk berpikir layaknya manusia juga meniru tindakan manusia, seperti contohnya pengambilan keputusan. Kemampuan dalam merasionalisasikan dan mengambil tindakan yang mempunyai peluang terbaik untuk mencapai
tujuan tertentu merupakan karakteristik dari Artificial Intelligence
Sejauh ini Artificial Intelligence mulai
diterapkan oleh beberapa
negara maju sebagai salah satu strategi pembangunan negaranya. Di Indonesia sendiri, sebanyak 14% dari perusahaan yang ada telah menggunakan Artificial
Intelligence. Bahkan, pada beberapa
perusahaan tersebut, Artificial
Intelligence dijadikan sebagai
inti dari strategi bisnis
yang mereka terapkan. Sampai saat ini
terdapat 42% perusahaan
yang dalam masa uji coba penggunaaan teknologi Artificial
Intelligence. Meskipun jumlah
dari angka yang ada belum terlalu
besar jika dibandingkan negara maju lainnya, akan tetapi
Artificial Intelligence menjadi perkembangan pasti dalam perusahaan bisnis di Indonesia (Izme).
Pada sebagian besar organisasi bisnis didunia, dalam mengontrol data Perusahaan dan penggunaan
pembelajaran mesin untuk memahami tren bisnis sudah
biasa menggunakan Artificial
Intelligence. Namun dilain
sisi, keadaan ini membuat peretas
mudah dalam mengeksplorasi teknologi ini untuk membuat
malware yang ditenagai Artificial Intelligence yang
dapat menyebarkan aplikasi berbahaya yang tidak bisa dilacak
dalam muatan data yang tidak berbahaya. Teknik Artificial
Intelligence mampu menyembunyikan
kondisi yang diperlukan dalam membuka muatan
berbahaya sehingga hampir tidak mungkin
untuk merekayasa ulang ancaman teknik
tersebut juga berpotensi melewati sistem deteksi anti-virus dan malware modern. Malware berteknologi Artificial Intelligence dapat dilatih untuk
menunggu hingga terjadi tindakan spesifik yang memicu muatan bermusuhan. Ini mungkin digerakan
oleh pengenalan suara atau wajah, atau
bahkan oleh property geo-lokasi.
Dapat dikatakan bahwa malware Artificial Intelligence mampu dilatih untuk
mendengarkan kata-kata tertentu
atau suara orang yang ditargetkan
Persoalan selanjutnya yang muncul dari perkembangan Artificial
Intelligence adalah teknologi
deepfake (Deepfake Technology) atau Audio/Video
Impersonation (Peniruan Identitas
Audio/Video)
Hasil dari manipulasi video Deepfake dapat berupa video pornografi, video penyebaran berita bohong baik
itu terkait dengan politik dan sebagainya, video ujaran kebencian, dan video yang ditujukan
untuk menipu seseorang yang telah ditargetkan. Potensi kejahatan yang muncul akibat dari deepfake ini sangatlah banyak,
hal itu seperti
penipuan, pemerasan, pencurian identitas, pornografi, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, melakukan manipulasi harga saham, merusak
reputasi merek yang ada, merusak reputasi
seseorang, melakukan perundungan, melakukan intimidasi dan sebagainya.
Beberapa contoh dari penyalahgunaan
tekonologi Deepfake yang telah
terjadi di Indonesia adalah
kasus penipuan yang melibatkan beberapa artis seperti Melaney Ricardo, Raffi
Ahmad dan Najwa Shihab. Pada video Deepfake yang melibatkan
Melaney Ricardo pada 24 Januari
2024 terlihat bahwa Melaney Ricardo seolah-olah mempromosikan suatu produk kecantikan. Dari adanya video ini, beberapa orang yang melihat video
tersebut percaya dan membeli produk kecantikan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Melaney
Ricardo melakukan klarifikasi
dan menyatakan kerugian
yang dideritanya akibat dari adanya video Deepfake tersebut. Selanjutnya terdapat juga video Deepfake Raffi Ahmad dan Najwa Shihab
yang seolah-olah mempromosikan
situs judi online serta
situs pinjaman online. Video Deepfake ini menarik perhatian
banyak masyarakat mengingat judi online merupakan hal yang illegal di
Indonesia, namun dapat dipromosikan oleh public figure. Melihat
video Deepfake ini telah menimbulkan berbagai macam respon publik,
beberapa masyarakat lainnya ikut memberikan
edukasi bahwa video Raffi
Ahmad dan Najwa Shihab tersebut merupakan
hasil dari buatan atau Deepfake. Terakhir, terdapat kasus pemalsuan identitas yang dibeberkan oleh
Wakil Presiden Direktur PT
Bank Central Asia (BCA), Hendra Lembong. Dalam wawancara terkait kasus tersebut
pada tanggal 26 Juli 2023, Deepfake digunakan pelaku sampai dengan manipulasi
foto KTP yang digunakan untuk verifikasi pada tahap pengajuan kredit
Berbagai regulasi yang berkaitan dengan contoh kasus
penyalahgunaan teknologi
Deepfake adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Hak Cipta, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Undang-Undang Transfer Dana, Undang-Undang Dokumen Perusahaan,
Undang-Undang Terorisme dan
Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Melihat
dari salah satu prinsip hukum yaitu
“Lex Specialis Derogat Legi Generalis” (Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum) dan “Lex
Posterior derogat Legi
Priori” (Hukum yang baru mengesampingkan
hukum yang lama, maka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah yang
paling tepat untuk digunakan sebagai dasar dalam setiap
perbuatan penyalahgunan
Deepfake.
Akan tetapi, saat ini
pengaturan terkait Artificial
Intelligence dalam pemidanaan
penyalahgunaan Deepfake belum
diatur secara khusus atau eskplisit
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Berdasarkan kondisi
saat ini menunjukan dalam setiap penyalahgunaan Deepfake aparat penegak hukum dapat berdasar
pada setiap undang-undang
yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Misalnya seperti kejahatan pornografi maka dapat menggunakan
Undang-Undang Pornografi, Kejahatan Pencurian data pribadi dapat menggunakan
Undang-Undang Perlindungan
Data Pribadi, dan sebagainya
Sekalipun pengaturan terkait Artificial
Intelligence dalam pemidanaan
penyalahgunaan Deepfake berkaitan
erat dengan kerugian material maupun
non-material, juga bersinggungan dengan
tujuan lain yang lebih menjerakan dan perbaikan. Berdasarkan hal ini pendekatan kombinasi antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi diharapkan
dapat menjawab kekosongan hukum atas permasalahan yang ada. Economic Analysis of Law merupakan
analisis yang menggunakan
dua konsep ilmu yang berbeda yaitu ilmu
hukum dan ilmu ekonomi, berdasarkan kaitannya dengan perilaku manusia. Economic
Analysis of Law digunakan bukan
hanya untuk mengukur pemidanaan dengan kerugian ekonomis yang timbul, akan tetapi juga untuk memberikan efek jera.
Dalam kaitannya konsep Economic
Analysis of Law sangat dekat dengan
ilmu hukum dimana setiap keputusan
yang diambil akan mempunyai konsekuensi ekonomi. Terdapat dua kriteria yang penting dalam merespon insentif dan disentif dari suatu kebijakan
hukum yang diusulkan dalam Economic Analysis of Law yaitu
1)
Kriteria efeisiensi Pareto, pada kriteria ini menanyakan apakah perubahan politik atau hukum
membuat seseorang menjadi lebih baik
tanpa merugikan orang atau tidak? Kriteria
Pareto memiliki daya tarik intuitif yang kuat. Jika semua orang setuju bahwa keadaan
x lebih disukai daripada keadaan y, maka penilaian kolektif harus memiliki peringkat bahwa x lebih tinggi
dari y. Meskipun kriteria Pareto terlihat sedikit lemah karena
memaksakan sedikit kendala pada pilihan sosial, namun kriteria
Pareto memiliki implikasi
yang kuat untuk agregasi penilaian individu.
2)
Kriteria Kaldor-Hicks
Efficiency, pada kriteria ini
mengajukan pertanyaan terkait apakah suatu kebijakan hukum akan menghasilkan
keuntungan yang cukup bagi mereka yang terdampak dari kebijakan tersebut. Pendekatan seperti ini berhubungan dengan cost benefit analysis.
Cost Benefit
Analysis atau analisis
biaya manfaat merupakan proses sistematis yang digunakan bisnis untuk menganalisis keputusan mana yang harus diambil atau tidak.
Selanjutnya, analisis ini menjumlahkan potensi imbalan yang diharapkan dari suatu situasi atau
tindakan dan kemudian mengurangi total biaya yang terkait dengan pengambilan tindakan tersebut. Secara umum, topik bahasan
variabel dalam Economic Analiysis of Law terkait dengan biaya, harga,
nilai, kegunaan aau kepuasan dan kemewahan (utility).
Analisis juga dilakukan secara menyeluruh dengan melihat efisiensi dari berbagai aspek,
baik korban maupun pelaku bahkan juga negara beserta perangkat penegak hukumnya. Hal ini penting bagi
hukum untuk menentukan aspek-aspek penting dalam praktik
hukum yang tepat (proper
legal practice), sehingga dapat
dirumuskan pemidanaan yang khusus dan sesuai (specific
punishment) atas penyalahgunaan
Deepfake
1)
Bagaimana pengaturan hukum terhadap Artificial Intelligence dalam
aspek penyalahgunaan Deepfake
Technology di Indonesia?
2)
Bagaimana pendekatan Economic Analysis of Law dalam upaya kriminalisasi
penyalahgunaan Deepfake Technology?
Metode Penelitian
Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yaitu mengkaji bahan pustaka berupa norma-norma dan asas-asas hukum yang terkandung didalam peraturan perundang-undangan maupun diluar undang-undang
Hasil dan Pembahasan
1)
Analisis Pengaturan Hukum Terhadap Artificial
Intelligence Dalam Aspek
Penyalahgunaan Deepfake Technology di
Indonesia
Sampai saat ini, tidak
ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara
spesifik mengatur terkait kejahatan dari Artificial Intelligence. Padahal,
jika melihat dari cepatnya perkembangan
Artificial Intelligence yang dapat menjalankan pekerjaan manusia tentunya hal ini menimbulkan
urgensi untuk segera diaturnya Artificial
Intelligence dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Dalam
Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa: “Agen Elektronik adalah
perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan
suatu tindakan terhadap suatu informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselanggaraan oleh Orang”.
Dewasa sekarang ini, terhadap
pengaturan Deepfake yang diselenggarakan
oleh orang terdapat pertanggungjawaban
hukum yang diatur dalam UU ITE. Dimana pertanggungjawaban
hukum tersebut dapat dikenakan juga terhadap penciptanya yaitu orang yang menggunakan
Deepfake untuk tujuan tertentu
Pengaturan lainnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi atau disebut
juga dengan UU PDP. Dalam Undang-Undang ini Deepfake tidak diatur langsung,
namun karena Deepfake merupakan bagian dari Artificial Intelligence yang menggunakan data, maka Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga memberikan perlindungan secara tidak langsung terhadap perbuatan Deepfake
yang dilakukan secara
illegal atau tanpa persetujuan terlebih dahulu dari orang yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Adapun pengaturan terhadap Deepfake dalam Undang-Undang ini terdapat dalam
Pasal 65 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “Setiap
Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh
atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain yang dapat mengakibatkan
kerugian Subjek Data Pribadi”.
Sehingga, barang siapa dalam
ini melakukan pengumpulan data pribadi tanpa sepengetahuan dan izin dari pemiliki
data pribadi tersebut dan memberikan kerugian dari perbuatan tersebut dapat untuk dipidana. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh
atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(Lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Dalam pengaturan data pribadi yang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi merupakan data yang diambil oleh deepfake creator dan bersifat spesifik yaitu data biometrik yang dimiliki oleh subjek data pribadi, hal ini
biasanya dapat berupa wajah dan suara seseorang kemudian diambil untuk dipasang pada gambar atau video lain untuk suatu tujuan
tertentu. Meskipun seseorang atau deepfake
creator dapat terhindar
dari adanya pengaturan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dengan pemenuhan kriteria kepentingan yang sah atau adanya
persetujuan terlebih dahulu dari orang yang diilustrasikan pada Deepfake tersebut,
persetujuan yang ada harus secara eksplisit
dari subjek data pribadi itu sendiri.
Tidak boleh ditemukan adanya unsur paksaan yang terjadi antara pelaku data pribadi dan subjek yang memiliki data pribadi, hal ini
ditujukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Dalam beberapa kasus yang sempat terjadi terkait dengan Artificial
Intelligence, didasarkan pada masing-masing pengaturan yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Contohnya seperti kejahatan Deepfake yang bermuatan pornografi maka aparat penegak
hukum menggunakan undang-undang pornografi sebagai dasar hukum
dari persoalan yang ada. Berbagai pengaturan
lainnya yang dapat digunakan dalam setiap penyalahgunaan Deepfake seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Undang-Undang Transfer Dana, Undang-Undang Dokumen Perusahaan,
Permenkominfo No. 20 Tahun
2016 dan Undang-Undang Teorirsme.
Keadaan yang demikian dikhawatirkan dapat menimbulkan persoalan baru, dimana muncul
berbagai penafsiran atau persepsi yang berbeda dari setiap
kasus terkait kejahatan Deepfake. Hal ini juga tentunya menghilangkan sifat kepastian hukum yang harus selalu ada dalam
setiap regulasi hukum.
2) Pendekatan Economic
Analysis of Law Dalam Upaya Kriminalisasi
Penyalahgunaan Deepfake Technology
Artificial Intelligence telah memberikan manfaat yang signifikan terhadap kehidupan manusia, tidak terkecuali perkembangan dalam bidang hukum.
Dalam bidang hukum, Artificial Intelligence memberikan
manfaat terhadap beberapa aspek seperti, penggunaan tilang elektronik (e-tilang), pemrosesan dokumen hukum, melakukan analisis risiko, pencarian informasi, pengambilan keputusan dan pencegahan kecurangan
Disamping dengan perkembangan yang begitu cepat dan membantu pekerjaan beberapa bidang, Artificial
Intelligence mempunyai persoalan
dan tantangan. Salah satu contoh persoalan dari perkembangan Artificial
Intelligence yang massif tersebut adalah penyalahgunaan Deepfake
Technology. Sesuai dengan
uraian sebelumnya bahwa belum ada
regulasi di Indonesia yang secara
spesifik mengatur terkait penyalahgunaan Artificial
Intelligence khususnya Deepfake. Berkaitan dengan hal ini diperlukan
suatu pembentukan regulasi yang ideal agar persoalan
terkait penyalahgunaan
Deepfake dapat diatasi.
Adapun dalam menjawab persoalan ini dapat
menggunakan pendekatan Economic
Analysis of Law.
Pada dasarnya suatu peraturan itu bersifat mengikat
dan harus dilaksanakan, artinya aturan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang ataupun masyarakat suatu negara. Satjipto Rahardjo memberikan pendapat bahwa peraturan perundang-undangan perlu memiliki beberapa ciri yaitu
pertama, umum dan lengkap. Kedua, bersifat universal (dibuat untuk mengatasi kejadi masa depan yang bentuk spesifiknya belum jelas). Berdasarkan
hal ini, pendekatan Economic Analysis of Law dibutuhkan dalam pembentukan undang-undang khususnya pengaturan terkait Deepfake karena Economic
Analysis of Law melihat bukan
dari apa yang seharusnya dilakukan, melainkan bagaimana kenyataan yang ada dan melihat dari sisi
ekonomi terhadap suatu peraturan
Dalam penggunaan pendekatan Economic
Analysis of Law terhadap suatu
pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya pegaturan Deepfake maka kepentingan pihak - pihak yang akan mengimplementasikan aturan tersebut perlu dipertimbangkan. Pendekatan Economic
Analysis of Law mengatur bahwa
perancang perlu menyiapkan beberapa ketentuan sebelum membuat undang-undang yaitu perbuatan, hak-hak, hak Istimewa, tugas-tugas atau kewajiban. Selanjutnya, menyusun ketentuan yang dilihat dari sisi
orang yang akan diatur atau orang yang akan mematuhi ketentuan peraturan tersebut. Tentunya dalam pertimbangannya, prinsip ekonomi tetap menjadi
penentu. Maka dalam praktiknya, semakin tepat suatu peraturan
dirumuskan maka semakin sedikit halaman yang dibutuhkan terkait penyajian dokumen hukumnya. Seperti, untuk alasan efisiensi maka redaksinya tidak boleh memaksakan
aturan yang mengharuskan pembaca melakukan referensi silang artikel dalam bab
berbeda atau bagian dari bab
berbeda
Lebih lanjut EAL juga dapat diterapkan dalam prinsip pertanggungjawaban hukum. Prinsip dasar pertanggungjawaban hukum adalah bahwa
suatu pihak tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban kecuali ia adalah penyebab
kerugian. Misalnya, jika seorang ahli
bedah lalai melakukan prosedur dan pasiennya meninggal di meja operasi, tetapi
pasien akan meninggal bahkan jika ahli bedah
telah melakukan prosedur dengan benar, ahli bedah
tidak akan bertanggung jawab. Atau jika suatu
perusahaan mencemari sungai dengan agen
karsinogenik dan seseorang
yang tinggal di dekatnya terkena kanker, tetapi kanker tersebut
terbukti disebabkan oleh faktor karsinogenik lain maka perusahaan tersebut akan tidak
dimintai pertanggungjawaban
Hal ini sesuai
dengan penerapan pertanggungjawaban pidana secara negatif baik itu yang berlaku
di negara-negara common law. Misalnya di
Indonesia, KUHP telah mengatur
tentang keadaan-keadaan
yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana,
yang untuk sebagian adalah alasan penghapus
kesalahan atau dengan kata lain merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. Sedangkan dalam praktik peradilan di
negara-negara common law maupun civil law,
diterima berbagai alasan umum pembelaan
ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban. Perumusan tindak pidana secara
negatif dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya pasal dimaksud merumuskan bahwa si pembuat
pidana akan dikecualikan dari pengenaan pidana atau dengan kata lain, pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana atau pengecualian adanya kesalahan
Berdasarkan uraian sebelumnya maka pendekatan EAL dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat regulasi
kejahatan Deepfake. Regulasi
yang dihasilkan harus bersifat spesifik dan memenuhi nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak
yang terlibat. Salah satu sanksi yang dapat diatur dengan mengadopsi
pendekatan EAL adalah sanksi denda kepada
pelaku penyalahgunaan
Deepfake atau perampasan alat yang digunakan atau perangkat untuk melakukan kejahatan Deepfake oleh negara. Perampasan
atau penyitaaan perangkat Artifcial
Intelligence sudah dilakukan
oleh negara Swiss pada sebuah kasus
yang melibatkan perangkat Artificial
Intelligence Random Darknet Shopper (RDS) dimana
perangkat tersebut membeli sejumlah barang terlarang berjenis pil ekstasi
dari sebuah situs jual beli dark web. Dalam kasus ini
selain memberikan sanksi kepada pemilik
entitas AI, Swiss juga menyita
perangkat RDS bernaung (Bahiyaturrohman, 2024).
Kesimpulan
Disamping dengan perkembangan yang begitu cepat dan membantu pekerjaan beberapa bidang, Artificial Intelligence mempunyai persoalan dan tantangan. Salah satu contoh persoalan dari perkembangan Artificial Intelligence yang massif tersebut adalah penyalahgunaan Deepfake Technology. Sesuai dengan uraian sebelumnya bahwa belum ada regulasi di Indonesia yang secara spesifik mengatur terkait penyalahgunaan Artificial Intelligence khususnya Deepfake. Berkaitan dengan hal ini diperlukan suatu pembentukan regulasi yang ideal agar persoalan terkait penyalahgunaan Deepfake dapat diatasi. Adapun dalam menjawab persoalan ini dapat menggunakan pendekatan Economic Analysis of Law.
Tindak Pidana dari penyalahgunaan Deepfake berdampak pada kerugian korban yang dilibatkan dalam kejahatan tersebut. Tidak adanya aturan yang secara spesifik terkait kejahatan Deepfake mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dan juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. oleh karena itu hal yang dapat disarankan berdasarkan dari penulisan ini yaitu: (1) Perlu adanya pengaturan yang lebih detai untuk menjerat pelaku tindak pidana Deepfake. Pengaturan yang dimaksud diharapkan dapat memberikan kepastan hukum terhadap korban yang dirugikan dari tindak pidana Deepfake. (2) Pemberian sanksi pidana yang ideal terhadap pelaku tindak pidana Deepfake. Mengingat hasil tindak pidana Deepfake yang bersifat “cyber crime” dan memberikan keuntungan tertentu kepada pelaku bahkan terhadap tindak pidana tertentu memberikan keuntungan yang besar. Penggunaan Economic Analysis of Law dalam pertimbangan pemidanaan terhadap tindak pidana Deepfake memberikan spesifik punisment yang efisien dan tepat guna, sehingga dapat mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
BIBLIOGRAFI
Abdul, W., &
Mohammad, L. (2005). Kejahatan Mayantara
(Cyber Crime). Refika Aditama,
Hlm.
Amelia, Y. F., Kaimuddin, A., & Ashsyarofi,
H. L. (2024). Pertanggungjawaban Pidana
Pelaku Terhadap Korban Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Menurut Hukum Positif Indonesia.
Dinamika, 30(1), 9675–9691.
Asshiddiqie, J. (2006). Perihal
undang-undang di Indonesia.
Butarbutar, R., Fahlevie,
R. A., & Sianturi, M. (2023). Penerapan Economics Analysis of Law Dalam
Peraturan Perundang-Undangan
di Indonesia. Journal of Sosial Science, 2.
Bahiyaturrohman, B. (2024). Mimpi Buruk Dunia Digital: Tindak Kejahatan yang Dilakukan oleh Entitas Artificial Intelligence. https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/mimpi-buruk-dunia-digital-tindak-kejahatan-yang-dilakukan-oleh-entitas-artificial-intelligence/
Caldwell, M., Andrews, J.
T. A., Tanay, T., & Griffin, L. D. (2020). AI-enabled future crime. Crime
Science, 9(1). https://doi.org/10.1186/s40163-020-00123-8
Chairul, H. (2015). Dari’Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan’, Menuju’Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’.
Kencana.
Doly, D. (2023). Pemanfaatan Artificial Intelligence Dalam
Penegakan Hukum Di Indonesia. Info Singkat, XV(19).
Izme, H. (2024). Studi
Microsoft Indonesia dengan IDC Asia Pasifik. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190312180301-185-376611/14-persen-perusahaan-indonesia-gunakan-kecerdasan-buatan, diakses pada tanggal 20 Februari 2024.
Jufri, M. A. A., & Putra, A. K.
(2021). Aspek Hukum Internasional
Dalam Pemanfaatan Deepfake
Technology Terhadap Perlindungan
Data Pribadi. Uti
Possidetis: Journal of International Law, 2(1).
https://doi.org/10.22437/up.v2i1.11093
Laza, J. M., & Karo Karo, R. (2023). Perlindungan
Hukum Terhadap Artificial Intellegence
Dalam Aspek Penyalahgunaan Deepfake Technology Pada Perspektif UU PDP dan GDPR [Legal Protection of Artificial
Intellegence in Misusage
of Deepfake Technology in the Perspective of PDP Law and GDPR]. Lex Prospicit, 1(2).
https://doi.org/10.19166/lp.v1i2.7386
Mukti, F., & Achmad, Y. (2010). Dualisme
penelitian hukum: normatif & empiris.
Pustaka pelajar.
Pasal
1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik
Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
Pasal
65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
Pasal
67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
Polinsky, a. M., Shavell,
S., Röell, A., Becht, M., & Bolton, P. (2007).
Handbook of law and economics, Volume 1. In Handbook of Law and Economics
(Vol. 2).
Priowirjanto, E. S. (2022). Urgensi
Pengaturan Mengenai
Artificial Intelligence Pada Sektor Bisnis Daring Dalam Masa Pandemi Covid-19 Di
Indonesia. Jurnal Bina Mulia
Hukum, 6(2). https://doi.org/10.23920/jbmh.v6i2.355
Rachmadie, D. T., & Supanto.
(2020). Regulasi Penyimpangan
Artificial Intelligence Pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Udang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2016. Recidive :
Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan, 9(2).
https://doi.org/10.20961/recidive.v9i2.47400
Stanford encyclopedia of philosophy. (2006). Choice Reviews
Online, 43(12). https://doi.org/10.5860/choice.43sup-0193
Sugianto, F. (2015). Economic
approach to Law. Prenada Media.
White, C., & Matulionyte, R. (2019). Artificial Intelligence Painting
The Bigger Picture For Copyright Ownership. SSRN Electronic Journal.
https://doi.org/10.2139/ssrn.3498673
Wu, T. (2019). Will
artificial intelligence eat the law? The rise of hybrid social-ordering
systems. Columbia Law Review, 119(7).
https://doi.org/10.2139/ssrn.3492846
Copyright holder: Nila Tiara Aziza Miftahul Janah (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |