Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
9, No. 9, September 2024
Rizka Anugrah Azhari1,
Rosdiana Saleh2
Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia1,2
Email: [email protected]1,
[email protected]2
Pengadilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai masalah tertentu seperti
perkawinan, warisan, wasiat, hibah wakaf, shodaqoh, dan ekonomi syari'ah. Dalam
perkembangannya, mereka kini menggunakan aplikasi e-court sesuai dengan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang administrasi perkara secara
elektronik. Dengan demikian, penulis ingin mempelajari lebih lanjut tentang
masalah administrasi upaya hukum dan persidangan kasasi secara elektronik, juga
dikenal sebagai e-court, di pengadilan agama. Penelitian mereka berpusat pada
teori sistem hukum Lawrence M. Friedman dan membahas implementasi administrasi
perkara kasasi di pengadilan agama. Penelitian ini bersifat normatif-empiris
dan kualitatif, dan untuk mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan studi
pustaka. Administrasi upaya hukum kasasi e-court meliputi permohonan upaya
hukum kasasi, pembayaran biaya perkara, pembuatan akta permohonan kasasi,
pemberitahuan kepada termohon tentang upaya hukum, pengiriman memori, kontra
memori, inzage, pengiriman berkas, dan pencabutan. Salah satu masalah yang
menghalangi penggunaan pengadilan elektronik, terutama untuk upaya hukum kasasi
elektronik, adalah jaringan. Ketika jaringan tidak stabil, mereka kadang-kadang
tidak dapat mengupload dokumen. Dengan demikian, Pengadilan Agama Raha telah
mendirikan pusat pengadilan elektronik untuk membantu masyarakat jika mereka
menghadapi masalah ketika menggunakan sistem pengadilan elektronik. Upaya hukum
kasasi sistem e-court ini meningkatkan kelancaran, kemudahan, dan kesuksesan
bagi penggunanya.
Kata kunci: Pengadilan
Agama, Kasasi, E-Court
Abstract
Religious
courts are one of the actors of judicial power for people seeking justice who
are Muslims regarding certain issues such as marriage, inheritance, wills, waqf
grants, shodaqoh, and sharia economics. In its development, they are now using
the e-court application in accordance with Supreme Court Regulation no. 1 of
2019 concerning electronic case administration. Thus, the author wants to learn
more about the problem of administering legal remedies and electronic cassation
hearings, also known as e-court, in religious courts. Their research focuses on
Lawrence M. Friedman's legal system theory and discusses the implementation of
cassation case administration in religious courts. This research is
normative-empirical and qualitative, and to collect data, this research uses
library research. Administration of e-court cassation legal action includes
requesting cassation legal action, payment of court fees, making a deed of
cassation request, notification to the respondent regarding legal action,
sending memorandum, counter-memory, inzage, sending files, and revocation. One
of the problems that hinders the use of electronic courts, especially for
electronic cassation efforts, is the network. When the network is unstable,
they sometimes cannot upload documents. Thus, the Raha Religious Court has
established an electronic court center to help the public if they encounter
problems when using the electronic court system. This e-court system's
cassation legal efforts increase smoothness, convenience and success for its
users.
Keywords:
Religious Court, Cassation, E-Court
Pendahuluan
Indonesia setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, negara
ini membentuk sistem hukum yang berlandaskan civil law (hukum kontinental
Eropa). Namun, seiring perkembangannya menuju negara maju, Indonesia juga
mengadopsi elemen dari sistem hukum common law, hukum adat, dan hukum Islam,
sehingga saat ini menganut sistem hukum campuran
Perubahan ini merupakan kabar
baik bagi pencari keadilan, karena gugatan sederhana dapat diajukan untuk
kerugian materi hingga maksimal 500 juta rupiah dengan proses penyelesaian yang
cepat (25 hari dari sidang pertama, ditambah 7 hari jika ada keberatan) dan
biaya yang lebih terjangkau. Selain itu, gugatan sederhana dapat dilakukan
dengan atau tanpa kuasa hukum (dengan biaya yang disesuaikan dengan nilai
kerugian). Proses administrasi peradilan juga dapat dilakukan secara elektronik
melalui E-Court
Sistem hukum Malaysia sebagian
besar didasarkan pada common law, yang merupakan hasil langsung dari penjajahan
Inggris di Malaya, Sarawak, dan Kalimantan Utara antara awal abad ke-19 hingga
1960-an. Konstitusi Malaysia berfungsi sebagai hukum tertinggi negara ini,
menetapkan kerangka hukum serta hak-hak warga negara Malaysia. Badan yudikatif
tertinggi di Malaysia adalah Pengadilan Federal Malaysia atau dikenal sebagai
Mahkamah Persekutuan Malaysia, yang bertugas menjalankan peradilan. Struktur
hukum badan yudikatif Malaysia terdiri dari lima tingkat, yaitu: Federal Court
& Special Court (tingkat 1), Court of Appeal (tingkat 2), High Court
(tingkat 3), Sessions Court (tingkat 4), dan Magistrates Court & Court For
Children (tingkat 5).
Terkait small claim court di
Malaysia, proses peradilan dilakukan di Magistrates Court, yang terbagi menjadi
dua tingkatan, yaitu First Class Magistrate dan Second Class Magistrate (Small
Claim Court). Dasar substansi hukum pelaksanaan small claim court di Malaysia
diatur oleh Order 93 Rules of Court 2012, yang dikeluarkan oleh lembaga
yudikatif Malaysia
Pengadilan tingkat pertama,
yang berlokasi di ibu kota madya, berfungsi sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman untuk rakyat pencari keadilan dalam berbagai masalah, baik pidana
maupun perdata
Di atas semua itu, kita
dapat membuat kesimpulan bahwa penggunaan teknologi sangat penting untuk
menjadi lebih modern. Dengan demikian, penulis ingin menyelidiki lebih lanjut perbandingan
sistem hukum Indonesia dengan Malaysia terkait sistem E-Court. Sehingga
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; (1) bagaimana Persamaan dan Perbedaan Sistem Hukum Dalam
Penggunaan E-Court di Indonesia dan Malaysia, dan (2) apa saja factor-factor
penyebab terjadinya persamaan dan perbedaan system hukum dalam penggunaan
E-Court di Indonesia dan Malaysia.
Metode
Penelitian
Penelitian ini bersifat
normatif-empiris dan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pengumpulan data
dilakukan melalui Studi Pustaka. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
metode deskriptif, mengikuti model analisis Miles dan Huberman, yang mencakup
tiga tahapan utama: Reduksi data, Penyajian data (display), dan Penyimpulan
(verifikasi). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana
pelaksanaan perkara kasasi melalui pengadilan elektronik di Pengadilan Agama
Raha berlangsung, serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
pelaksanaan e-court di pengadilan tersebut.
Hasil dan
Pembahasan
Persamaan
dan Perbedaan Penggunaan E-Court antara Indonesia dan Malaysia
Salah
satu lembaga dalam struktur yudikatif di Indonesia adalah Mahkamah Agung, yang
membawahi beberapa jenis pengadilan, yaitu: Pengadilan Negeri, Pengadilan
Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Terkait dengan
gugatan sederhana di Indonesia, proses ini dilakukan melalui Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Agama, dengan dasar hukum PerMA No. 14 Tahun 2019 yang kemudian
diperbarui melalui PerMA No. 7 Tahun 2022, yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung. Tujuan dari aturan ini adalah untuk membantu masyarakat pencari keadilan
dengan menyediakan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan,
serta menciptakan budaya hukum yang mendukung kepastian hukum dan penyelesaian
cepat.
Di
Malaysia, badan yudikatif tertinggi adalah Pengadilan Federal Malaysia atau
Mahkamah Persekutuan Malaysia, yang berada di puncak struktur peradilan negara.
Struktur hukum yudikatif Malaysia terbagi menjadi lima tingkatan, yaitu:
Federal Court & Special Court (tingkat 1), Court of Appeal (tingkat 2),
High Court (tingkat 3), Sessions Court (tingkat 4), dan Magistrates Court &
Court For Children (tingkat 5). Terkait small claim court di Malaysia, proses
ini dilakukan di Magistrates Court, yang terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu
First Class Magistrate dan Second Class Magistrate (small claim court). Dasar
hukum untuk pelaksanaan small claim court di Malaysia adalah Order 93 Rules of
Court 2012, yang dikeluarkan oleh badan yudikatif Malaysia.
Indonesia
dan Malaysia memiliki sistem hukum yang berbeda. Indonesia menganut sistem
hukum campuran (mixed legal system) yang dipengaruhi oleh hukum adat, hukum
Islam, dan hukum Barat. Sementara itu, Malaysia menggunakan sistem common law.
Selain itu, Konstitusi Malaysia juga mengatur adanya sistem peradilan ganda,
yaitu hukum sekuler (pidana dan perdata) dan hukum Islam. Perbedaan utama
terkait gugatan sederhana antara kedua negara terletak pada lembaga tempat
proses tersebut dilaksanakan: di Indonesia dilakukan di Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama, sedangkan di Malaysia dilakukan di Second Class Magistrate.
Meskipun Indonesia
dan Malaysia memiliki perbedaan yang signifikan dalam system hukum mereka, ada beberapa
persamaan yang dapat diidentifikasi:
1.
Kedua negara Menggunakan Sistem Hukum Tertulis:
Baik Indonesia maupun Malaysia menggunakan system hukum tertulis, di mana hukum
utama mereka tersusun dalam dokumen-dokumen hukum yang resmi seperti kode
hukum, undang-undang, dan peraturan.
1.
Keduanya Menerapkan Sistem Peradilan dengan Berbagai Tingkatan: Baik
Indonesia maupun Malaysia memiliki sistem peradilan yang terdiri dari berbagai
tingkatan pengadilan, mulai dari tingkat pengadilan lokal hingga pengadilan tinggi atau tingkat banding,
dengan pengadilan tertinggi di puncak sistem.
2.
Keduanya Mempunyai Pengadilan Agung: Baik Indonesia maupun Malaysia
memiliki Lembaga pengadilan tertinggi di Tingkat nasional, yaitu Mahkamah Agung
di Indonesia dan Mahkamah Agung Malaysia.
3.
Kedua Negara proses administrasi peradilan dapat di lakukan secara
elektronik (E-Court).
a.
Pengertian E-Court
Pengadilan menggunakan e-court sebagai alat
untuk membantu masyarakat dengan pendaftaran perkara secara online, pembayaran,
dokumen persidangan (replik, duplik, kesimpulan, dan jawaban), dan pemanggilan.
Diharapkan bahwa aplikasi e-court dapat meningkatkan pelayanan dalam fungsinya
untuk menerima pendaftaran perkara secara online, sehingga masyarakat dapat
menghemat waktu dan biaya dengan melakukan pendaftaran perkara secara online
b.
Pengertian Administrasi Kasasi E-Court
Administrasi upaya hukum kasasi di pengadilan
agama tingkat pertama mencakup serangkaian prosedur untuk mengajukan dan
menerima upaya hukum kasasi, menerima pembayaran untuk upaya hukum, menyimpan
dan mengelola dokumen elektronik, dan mengirimkan dokumen elektronik ke
pengadilan agama tingkat pertama yang mengajukan permohonan. Selanjutnya,
penerimaan perkara oleh Mahkamah Agung, penomoran perkara, penunjukan Majelis
Hakim Agung, penunjukan Panitera atau Panitera Pengganti, penetapan hari
sidang, dan pengiriman salinan putusan dan petikan ke pengadilan pengaju secara
elektronik.
c.
Dasar Hukum Upaya Hukum Kasasi E-Court
Melalui PERMA Nomor 3 Tahun 2008 tentang Administrasi Perkara di
Pengadilan secara elektronik, Mahkamah Agung memulai layanan pengadilan
elektronik, termasuk pendaftaran perkara secara elektronik, pembayaran biaya
perkara, dan pemanggilan pihak secara elektronik. Setelah itu, Mahkamah Agung
mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan
Persidangan di Pengadilan yang dipublikasikan secara elektronik. Perma ini
memperluas layanan e-court, yang sebelumnya hanya terbatas pada bagian
administrasi, menjadi mencakup bagian persidangan juga. Kemudian diperbaiki
lagi dengan keluarnya PERMA No. 7 Tahun 2022, yang mengubah Perma No. 1 Tahun
2019 tentang administrasi perkara dan persidangan elektronik di pengadilan.
SEMA Nomor 1 Tahun 2023 oleh Mahkamah Agung mengatur Tata Cara Panggilan dan
Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat. Terakhir, berdasarkan surat Panitera
Mahkamah Agung Nomor 712/PAN/HK1.2.3/4/2024 pada tanggal 23 April 2024,
pengajuan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali elektronik telah
diberlakukan.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Persamaan dan Perbedaan Sistem Hukum Dalam Penggunaan E-Court di Indonesia dan
Malaysia
Selama ini, para pencari keadilan di
Indonesia dalam penyelesaian sengketa perdata umum harus melalui gugatan
perdata biasa, yang dikenal sebagai proses yang panjang dan berbiaya tinggi.
Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan antara nilai nominal kerugian yang
disengketakan dan biaya serta waktu yang harus ditempuh dalam gugatan perdata
biasa. Oleh karena itu, dibutuhkan proses peradilan yang cepat, efisien, dan
berbiaya ringan
Pada 7 Agustus 2015, Mahkamah Agung
memperkenalkan prosedur gugatan sederhana untuk sengketa perdata umum di
Indonesia. Empat tahun kemudian, pada 20 Agustus 2019, Mahkamah Agung
memperbarui hukum terkait gugatan sederhana dengan mengeluarkan PerMA No. 14
Tahun 2019, yang sejalan dengan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman No. 48 Tahun 2009. Kemudian diperbarui lagi dengan PerMA Nomor 7
Tahun 2022, yang menetapkan bahwa peradilan harus dilakukan secara sederhana,
cepat, dan berbiaya ringan.
Inisiatif ini membawa angin segar bagi
pencari keadilan, karena gugatan sederhana dapat diajukan untuk kerugian materi
hingga 500 juta rupiah, dengan proses penyelesaian yang cepat—selesai dalam
waktu 25 hari dari sidang pertama, ditambah 7 hari jika ada upaya hukum
keberatan. Biaya peradilan juga lebih ringan, karena gugatan ini dapat diajukan
dengan atau tanpa kuasa hukum, dan biaya perkara disesuaikan dengan nilai
kerugian. Selain itu, administrasi peradilan dapat dilakukan secara elektronik
melalui E-Court, yang memudahkan proses bagi para pihak.
Di Malaysia, small claim court telah
diberlakukan sejak tahun 2012 sebagai bagian dari sistem hukum common law.
Small claim court di Malaysia dijalankan melalui Magistrates Court (second
class magistrate), yang berada di bawah Sessions Court – High Court. Di
Indonesia, prosedur gugatan sederhana atau small claim court dilaksanakan
melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, yang berada di bawah Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung.
Proses persidangan dalam gugatan sederhana
dilakukan secara elektronik, di mana gugatan, jawaban, replik, duplik, dan
kesimpulan disimpan dalam format elektronik. Semua pihak wajib menyampaikan
dokumen-dokumen ini tepat waktu, sesuai dengan jadwal sidang yang telah
ditetapkan. Setelah dokumen diperiksa, ketua hakim atau hakim akan meneruskan
jawaban tergugat kepada pihak tergugat, yang juga harus disertai dengan bukti
dokumen pendukung
a.
Administrasi perkara kasasi secara
elektronik
1.
Syarat Pengguna Layanan
Setelah terdaftar sebagai pengguna Sistem Informasi Pengadilan, Para
Pihak dapat menggunakan layanan permohonan kasasi secara elektronik.
2.
Permohonan Kasasi Secara Lisan
Jika pemohon datang ke Pengadilan Agama dan mengajukan permohonan kasasi
atau peninjauan kembali secara lisan, panitera pengaju harus membantu pemohon
menuangkan permohonannya secara elektronik agar proses pembuatan akta kasasi
dapat dimulai.
3.
Pembayaran Biaya Perkara
4.
Akta Permohonan Kasasi Secara Elektronik
Setelah permohonan memenuhi persyaratan, Panitera Pengadilan Pengaju
membuat akta permohonan kasasi secara elektronik.
5.
Pemberitahuan Adanya Upaya Hukum
1)
Panitera Pengadilan Agama pengaju memberi tahu termohon tentang
permohonan kasasi dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah
registrasipermohonan.
2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan secara
elektronik jika termohon terdaftar sebagai pengguna SIP (Sistem Informasi
Perkara) atau memiliki domisili elektronik.
3)
Jika pemberitahuan dikirim secara elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), bukti telah dikirimnya pemberitahuan secara elektronik berlaku
sebagai relaas pemberitahuan.
6.
Prinsip Pemberitahuan Proses Upaya Hukum
1)
Pernyataan Upaya Hukum
2)
Memori
a)
Termohon menerima memori kasasi melalui Sistem Informasi Perkara
(SIP).
b)
Jika termohon atau salah satu termohon tidak terdaftar sebagai pengguna
SIP, Panitera Pengadilan Pengaju mengirimkan salinan cetak memori kasasi kepada
pihak tersebut secara langsung.
3)
Kontra Memori
a) Jika
termohon kasasi telah terdaftar sebagai pengguna Sistem Informasi Perkara
(SIP), mereka dapat mengirimkan kontra memori kasasi secara elektronik.
b) Kontra
memori kasasi dikirim melalui SIP.
c) Jika
termohon kasasi belum terdaftar sebagai pengguna SIP, Panitera Pengadilan
Pengaju harus membantunya melakukan pendaftaran SIP, memindai kontra memori
kasasi, dan menggugahnya ke dalam SIP.
4)
Inzage
a)
Para pihak diberitahu oleh panitera bahwa berkas perkara telah selesai.
Paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan diterima, para pihak
memiliki kesempatan untuk memeriksa kelengkapan berkas perkara.
b)
Jika berkas perkara kasasi tidak tersedia secara elektronik, Pengadilan
Pengaju harus memberikan berkas tersebut dengan memindai dokumen cetak yang
tersedia.
c)
Para Pihak mempelajari Berkas Perkara
melalui SIP.
d)
Jika sistem pelayanan elektronik sebagaimana disebutkan pada ayat (4)
tidak tersedia, Inzage dapat dilaksanakan di pengadilan terdekat.
e)
Pemohon atau termohon kasasi dalam perdata agama yang tidak memiliki
alamat tinggal elektronik dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pengaju.
5)
Penetapan Tidak Dapat Diterima
6)
Pencabutan
a)
Panitera Pengadilan Pengaju memeriksa apakah termohon telah terdaftar
sebagai pengguna SIP sebelum mencabut permohonan secara elektronik.
b)
Jika termohon telah terdaftar sebagai pengguna SIP, pemberitahuan
pencabutan permohonan dikirimkan secara elektronik kepada termohon.
c)
Jika termohon belum terdaftar sebagai pengguna SIP, pemberitahuan
pencabutan permohonan dikirimkan secara langsung.
7)
Salinan Putusan
a)
Majelis dan Panitera Pengganti menandatangani petikan atau putusan
secara langsung;
b)
Panitera Muda Perkara membuat salinan putusan atau petikan putusan yang
ditandatangani secara elektronik.
7.
Pengiriman Berkas
1)
Panitera Muda Perkara mengirimkan salinan putusan atau petikan putusan
ke pengadilan pengaju dengan menggugah ke dalam Sistem Informasi Pengadilan
(SIP).
2)
Salinan putusan dipublikasikan melalui sistem informasi publikasi
putusan untuk menjaga informasi terbuka.
3)
Pengadilan pengaju memberikan salinan putusan kepada pihak melalui SIP.
4)
Jika para pihak tidak memiliki alamat email, pemberitahuan salinan
petikan dan/atau keputusan dikirim secara langsung.
8.
Pengarsipan Berkas Perkara
1)
Setiap berkas atau dokumen yang berkaitan dengan kasus kasasi harus
diarsipkan secara elektronik.
2)
Ketua Mahkamah Agung akan menetapkan lebih lanjut tentang prosedur
pengarsipan elektronik.
Ketua hakim atau hakim mengucapkan putusan
atau penetapan secara elektronik setelah menyampaikan salinan putusan atau
penetapan tersebut kepada para pihak melalui sistem informasi pengadilan.
Keputusan atau penetapan ini dianggap telah dihadiri oleh semua pihak dan
dilakukan di sidang terbuka untuk umum, di mana putusan atau penetapan
elektronik dibubuhi tanda tangan elektronik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Kesimpulan
Dari sini, terlihat jelas perbedaan sistem hukum antara
Indonesia dan Malaysia terkait gugatan sederhana. Di Indonesia, proses gugatan
sederhana dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama,
sedangkan di Malaysia, gugatan sederhana dijalankan di Second Class Magistrate.
Adapun perbedaan dalam lembaga pembuat peraturannya adalah sebagai berikut:
Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) tentang Gugatan Sederhana dibuat dan
dikeluarkan oleh Lembaga Yudikatif Indonesia, sedangkan Small Claims Procedure
Order 93 Rules of Court 2012 disusun dan dikeluarkan oleh lembaga yudikatif
Malaysia. Dalam hal ini, baik di Indonesia maupun Malaysia, peraturan gugatan
sederhana sama-sama dibuat oleh lembaga yudikatif masing-masing negara. Selain
itu, penggunaan aplikasi e-court memungkinkan proses persidangan dilakukan
secara elektronik. Setelah penggugat menerima panggilan elektronik, persidangan
elektronik dapat dimulai. Dalam persidangan ini, baik penggugat maupun tergugat
harus menyetujui proses persidangan elektronik dengan mengisi persetujuan
prinsipal. Melalui sistem e-court, para pihak melakukan tindakan mereka sesuai
dengan panggilan elektronik yang telah dikirimkan, sehingga mempercepat dan
mempermudah proses peradilan.
BIBLIOGRAFI
Abd, M. (2021). Telaah Perkembangan
E-Court di Indonesia (Romantisme Peradilan dan Teknologi Informasi di Era
Covid-19). As-Shahifah : Journal of Constitutional
Law and Governance, 1(1).
https://doi.org/10.19105/asshahifah.v1i1.5876
Abubakar, L., & Handayani, T.
(2023). The Environmental Fund Management Model in Indonesia: Some Lessons in
Legal Regulation and Practice. Environmental Policy and Law, 53(2–3).
https://doi.org/10.3233/EPL-230013
Agus, S., & Deviana, Y. (2023).
Perkembangan Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Dasar Pembatalan Perjanjian Dalam
Sistem Hukum Perjanjian Di Indonesia. JUSTICES: Journal of Law, 2(1).
https://doi.org/10.58355/justices.v2i1.31
Ali, N. A., Bakry, M., & R.,
Abd. R. (2022). Penerapan Aplikasi E-Court di Pengadilan Agama Sungguminasa
Kelas I B. Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam, 9(1).
https://doi.org/10.24252/al-qadau.v9i1.27156
Ariani, N. V. (2018). Gugatan
Sederhana dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum De
Jure, 18(3). https://doi.org/10.30641/dejure.2018.v18.381-396
Arifany, P. H. (2021). Analisis
Implementasi Pelaksanaan E-Court di Pengadilan Agama. Jurnal Riset Hukum
Keluarga Islam, 1(1). https://doi.org/10.29313/jrhki.v1i1.199
Ariwijaya, A. R., & Samputra,
P. L. (2022). Evaluasi Kebijakan Peradilan Elektronik (E-Court) Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 51(4).
Faliandy, M Yonandio Lazuardi,
& Tata Sutabri. (2023). Analisis Kesadaran Keamanan Siber pada Pengguna
Aplikasi E-Court di Lingkungan Pengadilan. Jurnal Ilmiah Binary STMIK Bina
Nusantara Jaya Lubuklinggau, 5(2).
https://doi.org/10.52303/jb.v5i2.106
Navisa, F. D. (2024). Reformulasi
Peradilan Elektronik Tata Usaha Negara Pasca Reformasi Di
Era Digital 4.0. Jurnal Hukum Ius Publicum, 5(1), 133–152.
Nuhardianto, F. (2017). Sistem
Hukum dan Posisi Hukum Indonesia. Universitas Nusantara PGRI Kediri, 1(1).
Rachmawati, L. D. (2020). Materi
Perubahan Peraturan Mahkamah Agung tentang Gugatan Sederhana. Syariati : Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum, 6(02).
https://doi.org/10.32699/syariati.v6i02.1541
Rondonuwu, P. M. (2021). Teori
Hukum dari Eksistensi ke Rekonstruksi. In Hukum.
Shodikin, A., Saepullah, A., &
Lestari, I. I. (2021). Efektivitas Penerapan Sistem E-Court Pengadilan Agama
Dalam Perkara Perceraian. Jurnal Mediasas : Media
Ilmu Syari’ah Dan Ahwal Al-Syakhsiyyah, 4(2).
https://doi.org/10.58824/mediasas.v4i2.290
Tappu, S. A., Karim, K., &
Syahril, M. A. F. (2023). Hukum Acara Peradilan Agama.
Tendra, D., & Gultom, E. R.
(2023). Gugatan Sederhana Di Indonesia, Singapore, Malaysia :
Kajian Perbandingan Hukum. UNES LAW REVIEW (Maret 2023), Vol. 5(No.
3).
Triana, A., & Taun. (2021).
Efektivitas Implementasi E-Court Sebagai Perwujudan Peradilan Cepat, Sederhana
Dan Biaya Ringan Di Pengadilan Negeri Karawang. Jurnal Kertha Semaya, 9(7).
Warjiyati, S., Salam, S., Sybelle,
J. A., Fida, I. A., & Ridwan. (2023). The Legalization and Application of
Osing Indigenous People’s Customary Law Model in the Legal System. Lex
Localis, 21(4). https://doi.org/10.4335/21.4.853-875(2023)
Copyright holder: Rizka Anugrah
Azhari, Rosdiana Saleh (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |