Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 9, September 2024

 

PENGUATAN INTEGRASI BANGSA SEBAGAI UPAYA KONSOLIDASI DEMOKRASI PASCA PEMILU

 

Fransiskus X. Gian Tue Mali

Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Indonesia, sebagai negara yang majemuk dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah dinamika demokrasi. Konsolidasi demokrasi menjadi penting untuk memperkuat kualitas demokrasi, mengatasi politik identitas, hegemoni, dan ancaman terhadap ideologi Pancasila. Penelitian ini menyoroti pentingnya menanamkan nilai-nilai persatuan bangsa sebagai fondasi konsolidasi demokrasi. Pancasila, sebagai landasan normatif, memainkan peran sentral dalam upaya ini. Beberapa strategi yang disarankan meliputi: memperkuat pendidikan nasional, mendorong elit politik untuk menjadi pemersatu, meningkatkan partisipasi politik yang inklusif, mengembangkan budaya politik yang sehat, membangun komunikasi efektif antara pemerintah dan masyarakat, serta memperkuat kebijakan ekonomi yang inklusif. Dengan implementasi strategi ini, diharapkan demokrasi Indonesia dapat berkembang lebih kokoh dan inklusif, menjaga persatuan bangsa dalam menghadapi tantangan global dan internal.

Kata kunci: penguatan integrasi bangsa, konsolidasi demokrasi, pasca pemilu

 

Abstract

Indonesia, as a diverse nation with a wide array of ethnicities, cultures, and religions, faces significant challenges in maintaining unity and cohesion amidst the dynamics of democracy. The consolidation of democracy is crucial for enhancing its quality, addressing identity politics, hegemony, and threats to the ideology of Pancasila. This research highlights the importance of instilling national unity values as a foundation for democratic consolidation. Pancasila, as a normative foundation, plays a central role in this effort. The recommended strategies include strengthening national education, encouraging political elites to act as unifiers, promoting inclusive political participation, fostering a healthy political culture, establishing effective communication between the government and the public, and reinforcing inclusive economic policies. With the implementation of these strategies, Indonesia's democracy is expected to become stronger and more inclusive, preserving national unity in the face of global and internal challenges.

Keywords: strengthening national integration, democratic consolidation, post-election.

 

 

 

 

Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dikenal dengan keanekaragaman adat, suku, budaya, dan keyakinannya, yang semuanya berakar pada cita-cita menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur. Semangat dan tekad ini terwujud dalam narasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI dapat dianalogikan sebagai sebuah organisme hidup, sebagaimana dikemukakan oleh Frederick Ratzel, yang mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan pada akhirnya dapat menghadapi kepunahan. Sebagai organisme, NKRI tidak eksis dalam ruang yang terisolasi, melainkan berinteraksi dengan entitas lain, yang menyebabkan gesekan kepentingan dalam upaya mempertahankan eksistensinya (Khairo, 2017; Shofa, 2016; Zein, 2021). Gesekan ini dapat memicu konflik, yang jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi mengancam keberlangsungan negara yang lemah.

Pemahaman yang mendalam mengenai NKRI sangat penting untuk memperkuat persatuan bangsa, yang merupakan modal utama dalam menghadapi dinamika gesekan kepentingan tersebut (Sembiring & Ima, 2021; Ufie, 2018). Selain itu, pemahaman ini juga berperan dalam memperkuat identitas nasional yang inklusif, merangkul seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan semakin solid dan bersatu dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu nilai mendasar dari NKRI yang perlu terus ditumbuhkembangkan adalah nilai persatuan. Nilai ini memerlukan upaya membangun kesadaran dan pengakuan terhadap Indonesia sebagai negara kesatuan yang beragam dalam suku, agama, dan budaya (Nisa’ et al., 2021; Sianturi & Dewi, 2021; Yohana & Anggraeni, 2021). Di era demokrasi saat ini, ketika bangsa Indonesia tengah mengupayakan konsolidasi demokrasi, nilai persatuan harus menjadi fondasi yang kokoh bagi kelangsungan negara dan kesejahteraan rakyat.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa implementasi nilai-nilai persatuan dalam menciptakan kerukunan antarmasyarakat tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai idealnya. Keberagaman masyarakat Indonesia, dalam beberapa kasus, telah memicu konflik sosial antaragama, etnis, dan kelompok masyarakat, bahkan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, seperti yang terjadi di Papua. Konflik antarumat beragama juga terjadi di berbagai daerah, seperti Poso pada tahun 2000, Aceh Singkil pada tahun 2015, Sampang pada tahun 2012, dan Bangka Belitung pada tahun 2016. Selain itu, perbedaan pilihan politik juga menjadi sumber konflik, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik, seperti yang terjadi pada pemilukada 2017 dan pemilu nasional serentak 2019. Perkembangan teknologi komunikasi digital juga turut berkontribusi pada munculnya ujaran kebencian yang merusak kehidupan berbangsa. Konflik-konflik ini mencerminkan rendahnya pemahaman terhadap nilai persatuan bangsa.

Dalam konteks dinamika demokrasi di Indonesia, polarisasi seperti ini sering terjadi selama pemilihan umum dan kampanye politik. Namun, polarisasi yang terlalu tajam dan disertai retorika yang memecah belah dapat mengancam persatuan bangsa dan melemahkan konsolidasi demokrasi. Oleh karena itu, menjaga nilai persatuan bangsa dalam konteks demokrasi Indonesia sangat penting agar polarisasi politik tidak berujung pada konflik yang merugikan negara dan masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan mengedepankan dialog dan kerjasama di antara berbagai kelompok dan pihak yang berbeda, serta memperkuat kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan persatuan dalam membangun bangsa yang lebih baik.

Nilai persatuan bangsa sangat krusial dalam konsolidasi demokrasi, karena konsolidasi demokrasi itu sendiri memerlukan partisipasi aktif dari seluruh warga negara untuk menciptakan keputusan politik yang menguntungkan semua pihak (Nisa’ et al., 2021; Nugroho, 2015). Tanpa persatuan yang kuat, partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dapat terhambat, dan masyarakat bisa terpecah belah menjadi kelompok-kelompok yang saling bersaing. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dan agama, nilai persatuan bangsa juga penting untuk mendorong masyarakat melihat perbedaan sebagai sumber kekayaan dan kekuatan bangsa, bukan sebagai sumber konflik dan perpecahan. Dengan menghormati perbedaan dan keberagaman, masyarakat akan lebih mudah bersatu dalam upaya mencapai tujuan bersama dalam proses konsolidasi demokrasi.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif/deskriptif dengan pengumpulan dan analisis dilakukan melalui studi kepustakaan dan mengumpulkan data sekunder melalui berbagai referensi yang ada (Sugiyono, 2019). Pendekatan Tinjauan naratif merangkum studi-studi yang telah diterbitkan sebelumnya, dengan fokus pada konsep, teori, metode penelitian, atau temuan penelitian. Tinjauan ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menyintesis literatur yang ada serta memberikan laporan lengkap tentang pengetahuan terbaru dalam bidang yang diteliti. Selain menawarkan ide-ide baru dan mengkritisi literatur, tinjauan naratif juga berfungsi sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut dan membantu peneliti dalam mendefinisikan serta menyempurnakan pertanyaan atau teori (Templier & Paré, 2015). Meskipun terdapat kritik, tinjauan ini sangat berguna dalam mengumpulkan dan menyintesis literatur untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada pembaca serta menekankan pentingnya penelitian baru.

 

Hasil dan Pembahasan

Teori Integrasi Sosial

Untuk memahami integrasi sosial, perlu berpindah dari teori masyarakat umum ke teori sosial, yang mencakup teori sistem dan teori tindakan. Integrasi dalam tradisi kolektivis, seperti yang dikembangkan oleh pemikir seperti Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan Niklas Luhmann, berfokus pada hubungan antara diferensiasi dan integrasi dalam masyarakat. Luhmann mendefinisikan integrasi sebagai pembatasan bersama terhadap kebebasan, tetapi pendekatan ini terlalu abstrak untuk analisis konkret. Luhmann menggabungkan integrasi dengan saling ketergantungan, menyebut masyarakat modern sebagai "terlalu terintegrasi," yang meningkatkan ketidakpastian dalam menghitung perubahan sosial (Lee, 2000).

Namun, teori sistem yang sering digunakan dalam studi integrasi sosial tidak selalu cocok dengan penelitian ketidaksetaraan, migrasi, dan sosiologi politik yang berorientasi individualistik. Dari perspektif teori tindakan, masalah integrasi sosial harus dilihat dari pola interpretasi dan kepentingan aktor sosial, bukan dari tingkat sistem yang lebih tinggi. Sensitivitas terhadap masalah sosial berbeda-beda di antara individu, sehingga analisis harus bersifat relatif dan bertahap.

Max Weber menawarkan pandangan alternatif dengan konsep "Vergesellschaftung" (sosialisasi) dan "Vergemeinschaftung" (komunalisasi), yang menunjukkan bahwa masyarakat dan komunitas dapat coexist dalam kombinasi yang berbeda dalam masyarakat modern. Weber menekankan bahwa integrasi sosial melibatkan kerangka acuan yang memungkinkan individu untuk melihat diri mereka sebagai setara. Proses sosialisasi dan diferensiasi telah membentuk kategori sosial modern, seperti kelas pekerja dan kelompok etnis (Weber, 2018).

Teori integrasi sosial harus dimulai dari struktur yang tersegmentasi dalam masyarakat modern, yang mencakup kategori seperti pekerja, perempuan, dan minoritas etnis. Program integrasi individualistik modern berfokus pada partisipasi institusional, tetapi sering kali gagal sepenuhnya, terutama bagi kelompok-kelompok tertentu. Penelitian tentang ketidaksetaraan, pendidikan, dan pasar tenaga kerja menunjukkan bagaimana inklusi sosial yang tidak merata menciptakan dinamika sosialisasi dan komunalisasi yang kompleks, yang tidak dapat disederhanakan menjadi masalah institusional semata (Cohen & Parsons, 1972). Nilai-nilai sosial, meskipun penting, tidak dapat sepenuhnya mengatasi masalah struktural yang ada. Institusi berperan penting dalam menyatukan nilai-nilai dan struktur, meskipun tidak dapat sepenuhnya meredakan dinamika integrasi dan disintegrasi sosial.

 

Internalisasi

Proses internalisasi sebagaimana yang disebutkan oleh Ihsan (2003) merupakan sebuah proses penanaman sebuah ideologi tertentu kedalam benak sanubari seseorang yang bertujuan melestarikan sebuah perilaku yang di harapkan, internalisasi juga merupakan sebuah proses yang dapat tercermin pada perilaku maupun sika yang diwujudkan dalam keseharianya. Dalam perpsektif lainya Soediharto (2003) menjelaskan bahwa internalisasi adalah sebuah proses pendalaman dan penghayatan secara mendalam melalui pembinaan, bimbingan dan beberapa metode yang dapat menunjang proses internalisasi, hal ini dilakukan agar nilai dan norma yang ditanamkan akan sesuai dengan standar yang di harapkan.

 

Dampak Implementasi Demokrasi Terhadap Disintegrasi Bangsa

Konsolidasi demokrasi dapat disebut sebagai bentuk koreksi atas demokratisasi itu sendiri. Sebab demokrasi yang dipraktekkan di negara-negara berkembang mayoritas terjebak dalam perilaku politik yang tidak rasional, atau emosional, terjebak dalam orientasi kepentingan parsial akibat kemiskinan, serta rendahnya partisipasi publik akibat maraknya klientelisme. Penyebabnya adalah feodalisme, dan kondisi masyarakat tradisional. Sehingga visi demokrasi pasca lengsernya Orde Baru yang dicita-citakan dianggap semakin jauh terwujud, bentuk ketidakpuasan mulai muncul ke permukaan sebagai akibat dari minmnya upaya demokratisasi yang tepat.

Kondisi ini diperparah sebenarnya oleh penerapan liberalisme dalam seluruh aspek kehidupan bangsa. Baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik, hingga sosial budaya, kehendak akan kebebasan tidak terkontrol pasca reformasi. Seolah kebebasan atas pemerintahan otoritarian yang dicita-citakan harus diwujudkan secara riil oleh setiap individu, hingga pada prefrensi kebenaran pribadi. Sehingga kebenaran umum dianggap sebagai bentuk pengekangan. Havel kemudian menunjukkan contoh Cekoslovakia pasca komunisme seolah bebas sebebas-bebasnya, hingga pada konteks tingkah laku. Malah tingkah kebebasan yang ditunjukkan mendegradasikan moralitas dan perilaku manusia menjadi lebih buruk dibandingkan ketika masih terkekang (Rauf, 2013). Gambaran yang sama kini tengah dihadapi oleh Indonesia, sebagian pihak merasa bahwa demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Kebebasan berpendapat dan berekpresi dilakukan tanpa ada batas etika dan moral.

Liberalisme, yang berkembang pesat setelah Perang Dunia II dan tahun 2000-an, membawa semangat kebebasan yang berbenturan dengan nilai-nilai lokal dalam politik Indonesia. Hal ini mengakibatkan transisi dalam demokratisasi Indonesia, di mana sistem perwakilan konsensus (musyawarah mufakat) yang diamanatkan oleh Pancasila digantikan oleh prinsip voting "one man one vote," yang menimbulkan mayoritas dan minoritas, berpotensi menyebabkan disintegrasi. Liberalisme dalam politik tanpa dukungan prinsip-prinsip Pancasila dapat menghasilkan ketimpangan dan hegemoni, karena kebebasan dan kesetaraan yang diusungnya tidak selalu tercapai. Politik identitas kemudian muncul sebagai akibat dari ketidaksetaraan ini, yang dapat memicu konflik sosial jika digunakan untuk menciptakan hegemoni. Perbedaan pilihan politik yang tajam juga memunculkan sikap politik ekstrem dan dendam, menjadikan politik sebagai pemecah, bukan pemersatu bangsa.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, sebuah bangsa tidak akan maju jika rakyat dan elitnya terpecah-belah, terutama jika terjebak dalam konflik ras yang tiada akhir. Oleh karena itu, persatuan harus menjadi gerakan dan budaya kolektif seluruh komponen bangsa. Elit politik harus memberi contoh keteladanan dan kenegarawanan, dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Ruang publik harus diisi dengan suara-suara yang mendorong persatuan. Indonesia akan tetap utuh dan maju jika terhindar dari kegaduhan dan perpecahan, karena kemajuan bisa hilang jika negara terpecah-belah (Anggoro, n.d.). Perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial dan platform digital, telah berkontribusi pada penurunan kualitas praktik demokrasi di Indonesia. Informasi dapat tersebar dengan cepat, namun tanpa kontrol yang memadai, hoaks dan kabar bohong juga mudah menyebar, memengaruhi opini publik dan mengganggu stabilitas demokrasi. Media sosial cenderung memperkuat polarisasi karena orang berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa, yang dapat mengancam integrasi bangsa. Konten berisi ujaran kebencian dan intoleransi juga mudah disebarkan oleh pengguna anonim, memicu konflik sosial dan merusak demokrasi. Selain itu, elit politik sering kali memperparah perpecahan masyarakat demi kepentingan kekuasaan, bukannya mempersatukan bangsa seperti yang diamanatkan oleh para pendiri negara. Persatuan, yang menjadi fondasi kemerdekaan dan kebinekaan Indonesia, kini terancam oleh praktik politik yang memecah belah.

Kemajemukan bangsa ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menjelma sebagai berkah sekaligus kutukan. Sayangnya, kemajemukan bangsa ini telah menjelma menjadi kutukan ketika perbedaan etnik menjadi sumber prasangka sosial, perbedaan pilihan politik menjadi sumber konflik, dan perbedaan agama menjadi pemicu kebencian dan kekerasan. Teror atas nama Tuhan juga terjadi di negeri yang berketuhanan ini (Sukidi, 2022). Kondisi tersebut disebabkan karena nilai persatuan pada sebagian masyarakat Indonesia mulai luntur. Ada sejumlah faktor yang membuat persatuan bangsa memudar di Indonesia, antara lain:

1)    Perbedaan politik yang tajam antara pemerintah, oposisi, elit politik, dan masyarakat, yang dapat memicu perpecahan.

2)    Konflik sosial, baik horizontal maupun vertikal, yang memperburuk keadaan dan melemahkan persatuan.

3)    Kemiskinan dan kesenjangan sosial yang tinggi, yang memicu ketidakpuasan dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi, berpotensi memecah belah bangsa.

4)    Kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang persatuan, yang membuat masyarakat kurang memahami dan memperjuangkan pentingnya persatuan.

5)    Pengaruh media sosial dan internet, yang dapat menyebarkan informasi negatif dengan cepat dan memicu konflik.

6)    Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, yang memungkinkan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan, merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan negara, serta mengancam persatuan bangsa.

Lunturnya persatuan bangsa berdampak negatif pada konsolidasi demokrasi di Indonesia, membuka peluang polarisasi dan konflik kepentingan antar kelompok masyarakat. Ketika nilai persatuan tidak dihargai, masyarakat cenderung melihat isu-isu dari perspektif kelompok masing-masing, yang memicu persaingan dan rivalitas dalam perebutan kekuasaan. Hal ini juga dapat menurunkan partisipasi politik karena masyarakat merasa tidak ada kesamaan tujuan nasional. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat nilai persatuan dalam demokrasi Indonesia yang berbasis musyawarah-mufakat, berbeda dari demokrasi barat yang mengutamakan mayoritas. Implementasi nilai persatuan dapat mencegah konflik kepentingan dan menjaga stabilitas politik serta sosial yang berkelanjutan, sebagai upaya mitigasi disintegrasi bangsa.

 

 

 

Penerapan Nilai Persatuan Bangsa Dalam Mencegah Konflik Disintegrasi Guna Meningkatkan Konsolidasi Demokrasi

Persatuan bangsa adalah nilai kebangsaan yang berasal dari konsensus dasar Indonesia, yaitu NKRI. Persatuan ini mencakup ikatan dari berbagai suku bangsa yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dengan kesadaran dan kehendak bersama untuk memperjuangkan hak hidup dan mencapai cita-cita nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan ini menekankan keeratan semua komponen bangsa untuk mencapai tujuan bersama. Persatuan bangsa adalah keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena tanpanya, pembangunan dan tujuan nasional tidak akan tercapai. Cita-cita nasional tersebut tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Berdasarkan teori kontrak sosial John Locke, negara terbentuk atas persetujuan individu-individu dalam masyarakat untuk perlindungan dan keamanan. Pancasila, yang disepakati melalui BPUPKI dan PPKI, berfungsi sebagai kontrak sosial yang menjadi landasan, proses, arah, dan tujuan bangsa Indonesia. Locke merumuskan gagasan terbentuknya negara berdasarkan persetujuan rakyat sebagai solusi untuk mengatasi berbagai kekacauan tatanan sosial yang diakibatkan oleh perang saudara dan perang agama, agar terciptanya tatanan sosial dalam masyarakat yang harmonis (McDonald & Lee, 1968). Gagasan Locke dan Pancasila sejalan dengan struktur masyarakat Indonesia yang beragam. Sehingga makna nilai persatuan bangsa merupakan landasan kontrak sosial bangsa Indonesia yang beragam tersebut.

Pancasila berfungsi sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta sebagai ideologi politik yang menjadi dasar, proses, dan tujuan yang harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian, Pancasila berperan sebagai norma sosial bangsa Indonesia, memenuhi indikator teori integrasi menurut Ogburn dan Nimkoff. Untuk menjadikan Pancasila sepenuhnya sebagai landasan dalam konsolidasi demokrasi Indonesia, perlu dilakukan upaya peningkatan solidaritas sosial melalui pembagian fungsional di berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan pendidikan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesalingtergantungan yang mencegah tirani minoritas atau mayoritas, ujaran kebencian, dan politisasi identitas. Persatuan bangsa adalah pondasi kokoh bagi kedaulatan negara, dengan nilai-nilai nasionalisme yang menjunjung tinggi persaudaraan, kekeluargaan, solidaritas, serta kerukunan dan keamanan. Persatuan mengharuskan masyarakat untuk bersikap dan bertindak dengan saling menghormati perbedaan suku, bahasa, agama, budaya, dan ras guna menciptakan kesatuan. Sila Persatuan Indonesia pada dasarnya bersifat universal dan melampaui batas-batas golongan, suku, ras, dan ikatan lainnya yang bersifat sektarian atau primordial (Latif, 2011).

Nilai persatuan bangsa sangat relevan dalam konteks konsolidasi demokrasi, karena ketika ada kesatuan di antara masyarakat, maka mereka cenderung lebih mampu memahami dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Ketika masyarakat merasa tergabung dalam sebuah kesatuan nasional, maka mereka akan lebih mudah untuk menghargai hak-hak individu, menghormati keputusan mayoritas, dan memahami bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam sebuah sistem demokrasi. Namun, proses demokratisasi yang masih relatif baru dan beberapa tantangan dalam prosesnya memerlukan adanya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Implementasi nilai persatuan bangsa dalam konsolidasi demokrasi dapat diwujudkan melalui beberapa hal berikut:

1)    Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat berperan penting dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai persatuan bangsa. Melalui program pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mempromosikan nilai-nilai ini, masyarakat dapat lebih memahami dan menghargai pentingnya persatuan dalam konteks kebhinekaan Indonesia. Selain itu, pemberdayaan masyarakat yang lebih luas akan memperkuat partisipasi mereka dalam proses demokrasi, sehingga mereka lebih aktif dan berperan serta dalam menjaga dan memperkuat demokrasi yang inklusif.

2)    Partisipasi Politik yang Sehat. Partisipasi politik yang sehat sangat penting untuk memperkuat nilai persatuan bangsa. Hal ini dapat dicapai dengan menekankan penghormatan terhadap perbedaan serta mendorong dialog yang konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan politik. Partisipasi politik yang sehat tidak hanya mendukung nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan berbicara dan hak untuk memilih, tetapi juga memfasilitasi terciptanya kerukunan sosial yang diperlukan dalam menjaga persatuan di tengah-tengah keragaman.

3)    Memperkuat Lembaga-Lembaga Demokratis. Lembaga-lembaga demokratis seperti parlemen, partai politik, dan lembaga pemilihan umum harus berperan aktif dalam mempromosikan nilai-nilai persatuan bangsa. Ini dapat dilakukan dengan menekankan pentingnya kerjasama dan dialog dalam setiap proses politik, serta bekerja keras untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan pers. Memperkuat lembaga-lembaga ini juga berarti memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan baik, transparan, dan adil, yang pada gilirannya akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.

4)    Peningkatan Kesadaran Akan Pentingnya Persatuan Bangsa. Upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya persatuan bangsa dapat dilakukan melalui kampanye publik yang mendorong toleransi dan kerjasama di antara berbagai kelompok masyarakat. Kampanye-kampanye ini harus dirancang untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya menjaga kesatuan di tengah keragaman, serta memotivasi warga negara untuk mendukung upaya-upaya yang mempromosikan kerukunan dan kesatuan dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan menciptakan fondasi yang kuat bagi konsolidasi demokrasi yang lebih stabil dan berkelanjutan di Indonesia.

Upaya konsolidasi demokrasi bertujuan untuk memperkuat kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan di antara warga negara Indonesia serta memperkuat identitas nasional. Konsolidasi ini tidak berarti kembali ke bentuk otoritarian, tetapi tetap menjaga kebebasan yang dicapai pasca reformasi dalam kerangka NKRI dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi yang diterapkan harus berorientasi pada kehidupan publik yang bebas, setara, dan berlandaskan pada negara hukum.

Konsolidasi demokrasi di Indonesia memerlukan pranata sosial yang demokratis dan sirkulasi elit yang berdasarkan nilai-nilai demokrasi. Pranata sosial ini mencakup sistem kelembagaan dan nilai-nilai sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan, pembagian kekuasaan, akuntabilitas, transparansi, kontrol pemerintahan, partisipasi politik yang tinggi, keterbukaan informasi, dan sirkulasi elit politik yang teratur. Sirkulasi elit bertujuan mencegah sentralisasi kekuasaan dan dilakukan secara berkala melalui evaluasi kepentingan umum, dengan prosedur pemilihan umum sebagai mekanisme demokrasi. Keterlibatan aktif semua warga negara dalam pemilu, baik sebagai kandidat maupun pemilih, serta dalam perumusan kebijakan dan penetapan visi masa depan, sangat penting untuk keberhasilan konsolidasi demokrasi ini.

Contoh bagaimana nilai persatuan dapat mencegah konflik terlihat pada Pemilihan Presiden 2019. Saat itu, kontestasi politik dipenuhi dengan politik identitas, yang memicu polarisasi dan kebencian di masyarakat. Ketika KPU mengumumkan kemenangan Presiden Jokowi, kubu Prabowo Subianto awalnya tidak menerima kekalahan dan berencana menggugat hasilnya ke Mahkamah Konstitusi, dengan narasi kecurangan yang sistematis dan masif. Namun, situasi yang memanas berakhir dengan antiklimaks ketika Prabowo menerima kekalahannya dan bersedia mendukung pemerintahan terpilih, bahkan bergabung dalam kabinet. Sikap Prabowo ini mencerminkan nilai persatuan yang mampu mencegah potensi konflik dan menyelamatkan negeri dari perpecahan. Sebagai bangsa, Indonesia tidak hanya terdiri dari masyarakat di wilayah yang sama, tetapi juga terikat oleh semangat persatuan sebagai "imagined communities" yang digambarkan oleh Benedict Anderson. Persatuan hanya dapat terwujud jika masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat tanpa etnosentrisme berlebihan. Dalam konsep ini, Indonesia mencakup manusia, wilayah, dan semangat yang sama untuk menciptakan persatuan dengan menanamkan nilai solidaritas, saling membutuhkan, dan menghormati. Jika nilai-nilai ini diintegrasikan ke dalam sistem politik, hal ini akan meningkatkan kualitas demokrasi Pancasila.

Sebagai negara yang majemuk dan multikultural, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan di tengah keragaman. Implementasi nilai persatuan bangsa menjadi sangat penting untuk membangun dan memperkuat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terdapat berbagai strategi yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan nilai persatuan bangsa sebagai fondasi yang kokoh bagi stabilitas dan kemajuan demokrasi. Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam upaya tersebut:

1)    Memperkuat pendidikan nasional yang mempromosikan nilai-nilai persatuan bangsa dan kebhinekaan. Pendidikan harus menjadi sarana untuk mengajarkan nilai-nilai persatuan dan toleransi kepada generasi muda. Upaya ini mencakup kajian dan evaluasi kurikulum pendidikan, penyempurnaan metode pendidikan Pancasila, pembuatan materi pembelajaran digital yang kreatif, produksi film-film bertema Pancasila dan nasionalisme, serta evolusi pendidikan karakter di sekolah.

2)    Mendorong para elit politik dan pemimpin nasional untuk menjadi pemersatu yang meneladani implementasi nasionalisme dan nilai persatuan bangsa. Hal ini termasuk pendidikan kepemimpinan untuk elit politik, kewajiban partai politik untuk menyelenggarakan sekolah politik, dan regulasi tegas yang melarang politik identitas dalam kampanye.

3)    Mendorong partisipasi politik yang inklusif dan berkeadilan bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi. Ini melibatkan perbaikan daftar pemilih, partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan, integrasi sistem pemerintahan berbasis elektronik, dan mendorong keterlibatan generasi muda dalam politik.

4)    Mengembangkan budaya politik yang baik dengan menghargai hasil pemilihan umum, menyelesaikan perselisihan secara damai, dan menolak kekerasan dalam politik. Ini mencakup pembinaan partai politik, penyempurnaan undang-undang partai, dan peningkatan dana bantuan partai.

5)    Membangun komunikasi yang efektif dan terbuka antara pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat saling pengertian dan kerjasama. Upaya ini melibatkan peningkatan kemampuan komunikasi publik, kecepatan merespons kegaduhan informasi, dan penyediaan pusat layanan informasi masyarakat.

6)    Memperkuat upaya pemberantasan diskriminasi dan intoleransi untuk menjaga persatuan dan integritas bangsa. Ini termasuk penegakan hukum terhadap tindakan diskriminasi, perlindungan kelompok minoritas, dan upaya preventif untuk mencegah intoleransi.

7)    Memperkuat kerja sama dan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat dalam memperkuat persatuan dan membangun konsolidasi demokrasi yang sehat. Ini dilakukan melalui diskusi dengan berbagai elemen masyarakat dan kolaborasi dengan dunia pendidikan.

8)    Memperkuat peran industri perfilman dan media massa dalam mempromosikan nilai persatuan bangsa. Ini mencakup produksi film bertema nasionalisme, kampanye kreatif, kerjasama dengan media massa, serta pemberian insentif bagi media yang mempromosikan persatuan.

9)    Memperkuat kebijakan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan agar seluruh lapisan masyarakat merasakan manfaatnya. Upaya ini termasuk program pembangunan untuk mengatasi kesenjangan sosial, percepatan infrastruktur di wilayah tertinggal, dan perencanaan pembangunan nasional berkelanjutan yang fokus pada pemerataan.

 

Kesimpulan

Konsolidasi demokrasi di Indonesia sangat penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi, terutama dalam menghadapi tantangan seperti politik identitas, hegemoni oleh minoritas atau mayoritas, KKN, ujaran kebencian, politik uang, dan ancaman terhadap demokrasi dan ideologi Pancasila. Untuk memperbaiki demokratisasi, diperlukan penanaman nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa, dengan Pancasila sebagai landasan normatifnya. Upaya ini melibatkan peningkatan nasionalisme melalui pendekatan komprehensif yang didasarkan pada prinsip integrasi. Beberapa strategi yang disarankan meliputi: memperkuat pendidikan nasional yang mempromosikan nilai persatuan dan kebhinekaan, mendorong elit politik dan pemimpin nasional untuk menjadi teladan dalam menerapkan nasionalisme, mendorong partisipasi politik yang inklusif dan adil, mengembangkan budaya politik yang menghargai hasil pemilu dan menolak kekerasan, membangun komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat, memperkuat upaya pemberantasan diskriminasi dan intoleransi, serta memperkuat peran media dan kebijakan ekonomi inklusif yang merata. Rekomendasi yang diberikan mencakup evaluasi dan perbaikan sistem pendidikan untuk menyempurnakan pendidikan Pancasila dan nasionalisme, pendidikan kepemimpinan dan wawasan kebangsaan bagi elit politik, serta peningkatan pendidikan politik masyarakat untuk mencegah manipulasi politik.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anggoro, A. P. (n.d.). Jadikan Persatuan sebagai Gerakan Kolektif Bangsa. Kompas.Id.

Cohen, P. S., & Parsons, T. (1972). The System of Modern Societies. Man, 7(2). https://doi.org/10.2307/2799753

Ihsan;, F. (2003). Dasar-dasar kependidikan: komponen MKDK / Fuad Ihsan. (Jakarta : Rineka Cipta).

Khairo, F. (2017). Urgensi Sosialisasi Empat Pilar Bagi Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. LEX PUBLICA: Jurnal Ilmu Hukum Asosiasi Pimpinan.

Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama.

Lee, D. (2000). The Society of Society: The grand finale of Niklas Luhmann. Sociological Theory, 18(2). https://doi.org/10.1111/0735-2751.00102

McDonald, & Lee, C. (1968). Western Political Theory. Hartcout, Barce and World Inc.

Nisa’, F., Larasati, H. R., & Supratman, Y. B. (2021). Hubungan Mata Pelajaran Pancasila Di Sekolah Terhadap Penerapan Implementasi Pancasila Pada Pelajar. Jurnal Pancasila Dan Bela Negara, 1(1). https://doi.org/10.31315/jpbn.v1i1.4435

Nugroho, H. (2015). Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 1(1). https://doi.org/10.22146/jps.v1i1.23419

Rauf. (2013). Tantangan Konsolidasi Demokrasi: Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Adab Berdemokrasi. Jakarta: Kemenkopolhukam & BPS RI.

Sembiring, I. H. R. U., & Ima, R. (2021). Membangun Karakter Berwawasan Kebangsaan. Media Nusa Creative (MNC Publishing).

Shofa, A. M. A. (2016). Memaknai Kembali Multikulturalisme Indonesia dalam Bingkai Pancasila. JPK (Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan), 1(1).

Sianturi, Y. R. U., & Dewi, D. A. (2021). Penerapan Nilai Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Sehari Hari Dan Sebagai Pendidikan Karakter [Application of Pancasila Values ​​in Everyday Life and as Character Education}. Jurnal Kewarganegaraan, 5(1).

Soediharto. (2003). Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu. Balai Pustaka Publisher.

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

Sukidi. (2022). Menegakkan Kembali Persatuan Indonesia. Https://Www.Kompas.Id/Baca/Analisis-Politik/2022/04/20/Menegakkan-Kembali-Persatuan-Indonesia.

Templier, M., & Paré, G. (2015). A framework for guiding and evaluating literature reviews. Communications of the Association for Information Systems, 37. https://doi.org/10.17705/1cais.03706

Ufie, A. (2018). Mengintegrasikan Nilai-Nilai Multikulturalisme Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah. Indonesian Journal of History Education, 6(2).

Weber, M. (2018). Economy and society: An outline of interpretive sociology (an excerpt). In Ekonomicheskaya Sotsiologiya (Vol. 19, Issue 3). https://doi.org/10.17323/1726-3247-2018-3-68-78

Yohana, & Anggraeni, D. (2021). Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari dan Sebagai Pendidikan Karakter. Jurnal Kewarganegaraan, 5.

Zein, M. F. (2021). Adab sebelum Ilmu: Membangun Indonesia dengan Pendidikan dan Pembangunan Karakter Bangsa. Mohamad Fadhilah Zein Digital Publishing.

 

 

Copyright holder:

Fransiskus X. Gian Tue Mali (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: